Upload
rambu-fergie
View
248
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
dm 2
Citation preview
Diabetes Melitus Tipe 2 yang Tidak Terkontrol pada Laki-laki 35 Tahun
Fergie Merrywen Tamu Rambu102011227
Kelompok : C1
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510
Email : [email protected]
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Sudah banyak sekali orang yang menderita penyakit ini. Diperkirakan sekitar 14,57%
kelompok pada usia 45-54 tahun meninggal akibat DM. Angka ini menduduki ranking kedua
penyebab kematian di daerah perkotaan. Indonesia adalah dengan jumlah penderita DM
tertinggi di dunia. Tingginya angka penderita DM ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah
satunya adalah pola hidup dan pola makan yang tidak teratur. Selain karena faktor pola
makan dan gaya hidup yang tidak diatur dengan baik, DM bisa timbul karena kelainan yang
terjadi pada sistem tubuh yang berfungsi untuk mengatur pengeluaran insulin.
Sistem tubuh yang mengalami kelainan tersebut adalah pada reseptor hormon insulin.
Selain itu, kelainan juga bisa terjadi pada sel pankreas. Jika kelainan ini terjadi, maka organ
tubuh tidak akan bisa melakukan tugasnya sebagai pengatur kadar gula dengan baik. Jika
pengaturan ini tidak berjalan baik, orang akan bisa mengalami DM. Sesuai dengan skenario,
seorang laki-laki 35 tahun datang untuk berkonsultasi karena ia merasa makin lemah sejak 2
minggu lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun lalu. Maka dari itu, untuk
mengetahui secara lengkap dan jelas, penulis akan membahas tentang diabetes melitus mulai
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis dan lain sebagainya.
Anamnesa
Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘Anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lagi’,
‘kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta
bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan
yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.
Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian
perkembangan gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu
khas untuk penyakit bersangkutan.1 Selain itu tujuan melakukan anamnesa dan pemeriksaan
fisik adalah mengembangkan pemahaman mengenai masalah medis pasien dan membuat
diagnosis banding. Selain itu, proses ini juga memungkinkan dokter untuk mengenal
pasiennya, juga sebaliknya, serta memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan
latar belakang sosial pasien.
Anamnesa yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan,
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit dalam keluarga. Anamnesa yang
dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa Umum
Seorang laki-laki, umur 35 tahun, alamat, pekerjaan.
2. Keluhan Utama: gangguan atau keluhan yang terpenting, yang dirasakan penderita
sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta
menjelaskan tentang lamamnya keluhan tersebut. Keluhan utama merupakan dasar
untuk memulai evaluasi pasien.
Merasa makin lemah sejak 2 minggu lalu
3. Riwayat Penyakit Sekarang: apakah ada keluhan lainnya seperti
Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya
sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari
tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur
Polidipsi. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsi disebabkan
oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan
Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar
Penurunan berat badan
Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada
bagian distal tubuh seperti kaki.
Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar
sembuh, terutama pada bagian kaki
Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan
penglihatan.1
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Diabetes Melitus sejak 5 tahun lalu
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Apakah di keluarganya pernah ada yang mengalami hal yang sama.
6. Riwayat Pengobatan: Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat
pengobatan apa dan apakah keadaan membaik atau tidak, sedang mengkonsumsi suatu
obat atau tidak
Sedang mengkonsumsi metformin dan glibenklamid1
Pemeriksaan
Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak
memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium).1,2
Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan – keterangan yang
menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya adalah pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran, tanda-
tanda vital (TTV), pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada anggota gerak
yaitu kaki. Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa hal berikut:
Keadaan umum pasien baik
TTV: TD 120/ 80, nadi 88x/ menit, suhu afibris, RR 16x/ menit
Inspeksi: hiperpigmentasi pada daerah leher dan ketiak (merupakan salah satu ciri khas
dari resisten insulin)
IMT: 22,4 (normal)
Pemeriksaan fisik lain yang seharusnya dapat dilakukan adalah :
Inspeksi.1
- Warna kulit dan kondisi kulit (kering, normal, lembab)
- Atrofi / hipotrofi otot
- Lesi kulit ( infiltrate, ulkus, abses, gangren)
- Gerakan yang terbatas dan kontraktur
Palpasi.1
- Pemeriksaan suhu raba
- Pemeriksaan pulsasi a.dorsalis pedis dan tibialis posterior
- Pemeriksaan sensibilitas dengan monofilament
- Pemeriksaan refleks fisiologis (APR, KPR) dan patologis (babinsky)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Glukosa Darah
Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1
mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-komponen
struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa per unit volume. Jadi,
nilai normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L).
Nilai normal glukosa plasma atau darah yang sudah diterima memerlukan koreksi usia
sebesar 1 mg/dL (0,056 mmol/L) per tahun usia di atas 60 tahun. Jadi kadar glukosa plasma
puasa pada orang tua non-diabetes berkisar antara 80 hingga 150 mg/dL (4,4-8,3 mmol/L).2,3
Sampel Darah Vena
Sampel Darah Kapiler
Kadar Glukosa Plasma Puasa
Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L0 pada lebih dari satu
pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling
baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.2,3
Uji Toleransi Glukosa Oral
Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi
klinik DM dan hiperglikemia. 2,3
Interpretasi
Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi
glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan
meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau
dengan kata lain glukosa plasma pu8asa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya
akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai – nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui
200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).2
State Glukosa Darah Puasa
(GDP)
TTGO HbA1C
Normal < 100mg/dL < 140mg/dL < 5.7 %
Pre-
diabetes
100-125mg/dL 140-199mg/dL 5.7 – 6.4%
Diabetes ≥ 126mg/dL ≥ 200mg/dL >6.5%
Tabel 1. Diagnosis DM Tipe 2 (ADA, 2011)
Selain berdasarkan kriteria dari ADA, DM bisa dilihat dari hasil glukosa darah
sewaktu (GDS) dan glukosa darah puasa (GDP). Kriteria DM tipe 2 ini bisa ditegakan
berdasarkan:
- Gejala klasik DM + GDS ≥ 200mg/dL (cukup u/ menegakan WD)
- Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/dL (mudah dilakukan)
- TTGO ≥ 200mg/dL (TTGO dilakukan jika gejala klasik tidak terlihat)
Berdasarkan skenario didapatkan hasil pasien sebagai berikut:
GDS = 252mg/dL, HbA1C = 10%
Kadar Insulin
Untuk mengukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau
plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum
diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20µU/mL dalam keadaan
puasa, dan mencapai 50 – 130 µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah
30µU/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena
alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia
dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan
tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana
pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat
merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.3,4
Homeostasis Model of Assessment - Insulin Resistance (HOMA-IR):
Merupakan parameter untuk mengukur kualitas / mutu insulin. Jika Homa IR dibawah
nilai normal, berarti kualitas insulin bagus, maka otomatis HbA1C turun sehingga Gula darah
2 jamPP pasti TURUN. Artinya Homa IR dikatakan baik jika hasilnya < Nilai normal (2,77)
International Formula: fasting glucose (mmol/L) x fasting insulin (mU/L) / 22.5
US Formula: fasting glucose (mg/dL) x fasting insulin (µU/mL) / 4053
Working Diagnosis
Working Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa
hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejala-gejala
yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat ditarik kesimpulan kalau
pasien tersebut menderita diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus (DM) mengacu pada sekelompok kelainan metabolik dengan gejala
hiperglikemia. Terdapat beberapa jenis DM dan disebabkan oleh interaksi antara faktor
genetic dan lingkungan. Berdasarkan etiologi yang menyebabkan DM, faktor yang ikut
berperan dalam terjadinya hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, pengurangan
kemampuan menggunakan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Kelainan metabolik
yang menyertai DM dapat menyebabkan perubahan patofisiologik sekunder pada berbagai
sistem organ. Di US, DM adalah penyebab utama terjadinya End-Stage Renal Disease
(ESRD), amputasi ekstremitas bawah non-trauma, kebutaan pada orang dewasa. DM juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya kelainan kardiovaskular.5,6
Diagnosis sesuai dengan kriteria ADA untuk orang dewasa yang tidak hamil, diagnosis
diabetes melitus ditegakkan berdasarkan penemuan :2
1. Gejala-gejala klasik diabetes dan hiperglikemia yang jelas.
2. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl (7 mmol/L) pada sekurang-kurangnya dua
kesempatan.
3. Kadar glukosa oral (OGTT) ≥200 mg/dl pada 2 jam dan paling sedikit satu kali antara
0 sampai 2 jam sesudah pasien makan glukosa.
Kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah 126 mg/dl karena kadar tersebut merupakan
indeks terbaik dengan nilai setelah 2 jam pemberian glukosa adalah 200 mg/dl dan pada
kadar tersebut retinopati diabetik, yaitu suatu komplikasi diabetes muncul untuk pertama
kalinya.2,5
Pasien dengan gangguan toleransi glukosa (IGT) tidak dapat memenuhi kriteria diabetes
melitus yang telah dijelaskan diatas; tetapi, tes toleransi glukosanya memeprlihatkan
kelainan. Pasien-pasien ini asimptomatis. Dipandang dari sudut biokimia pasien dengan IGT
menunjukkan kadar glukosa plasma puasa (≥110 dan <126 mg/dl/ 100ml) namun nilai-nilai
selama diadakan OGTT adalah ≥200 mg/dl pada menit ke-30, 60, atau 90, dan mencapai 140
sampai 200 mg/dl setelah 2 jam.2,3
Etiologi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.7 Agaknya, diabetes melitus
tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu, asupan kalori berlebihan, pengeluaran
tidak memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di atas genotipe rentan. Indeks massa
tubuh di mana berat badan berlebih meningkatkan risiko untuk diabetes bervariasi dengan
kelompok-kelompok ras yang berbeda. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes mellitus
tipe 2 adalah obesitas.4,5
Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:
Umur lebih dari 45 tahun (meskipun, seperti disebutkan di atas, diabetes mellitus tipe
2 terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada orang muda)
Bobot yang lebih besar dari 120% dari berat badan yang diinginkan
Riwayat keluarga diabetes tipe 2 pada seorang saudara tingkat pertama (misalnya,
orang tua atau saudara)
Sejarah toleransi glukosa terganggu sebelumnya (IGT) atau glukosa puasa terganggu
(IFG)
Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (high-density lipoprotein [HDL]
tingkat kolesterol <40 mg / dL atau tingkat trigliserid> 150 mg / dL)
Sejarah diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir ≥ 4000
gram
Sindrom ovarium polikistik (yang mengakibatkan resistensi insulin)
Epidemiologi
Prevalensi DM di dunia meningkat secara dramatis dalam dua dekade terakhir,
diperkirakan dari 30 juta kejadian pada tahun 1985 menjadi 285 juta kasus pada tahun 2010.
Berdasarkan pada trendnya, International Diabetes Federation memperkirakan bahwa pada
tahun 2030 akan ada 438 juta individu yang terkena diabetes. DM tipe 2 prevalensinya
meningkat lebih cepat daripada tipe 1. Mungkin disebabkan oleh peningkatan obesitas,
pengurangan aktivitas fisik dan usia harapan hidup yang meningkat.4,5
gambar 1. Prevalensi DM di Indonesia
Patofisiologi
Insulin resistensi dan kelainan sekresi insulin berperan utama pada perkembangan
DM tipe 2. Meskipun efek utama masih menjadi kontroversi, kebanyakan studi mendukung
pandangan bahwa resistensi insulin mendahului defek insulin sekresi tetapi diabetes mulai
terjadi hanya ketika sekresi insulin menjadi inadekuat. DM tipe 2 dicirikan dengan kelainan
insulin sekresi, resistensi insulin, produksi glukosa oleh hati yang berlebihan dan kelainan
metabolisme lemak.
Kegemukan, terutama visceral atau sentral sangat sering menderita DM tipe 2. Pada
kelainan tahap awal, toleransi glukosa cukup normal, meskipun terjadi resistensi karena cell
beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan pengeluaran insulin. Ketika insulin
resistensi dan kompensasi hiperinsulinemia terus terjadi, sel beta pankreas pada beberapa
individu tidak dapat menopang keadaan hiperinsulinemia. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya IGT, ditandai dengan meningkatnya glukosa post prandial. Pada keadaan yang
lebih lanjut, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa oleh hati
menyebabkan diabetes yang jelas dengan hiperglukosa pada saat keadaan puasa. Yang paling
terakhir adalah terjadi kerusakan cell beta.
Gambar 2. Patofisiologi DM tipe 2
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis diabetes klasik adalah rasa haus yang berlebihan yang
mengakibatkan banyak minum (polidipsi), sering kencing (poliuria) terutama pada malam
hari (nokturia) yang dapat mengganggu kehidupan, banyak makan (poliphagi) tapi berat
badan menurun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan
pada jari tangan dan kaki (neuropati), cepat lapar, penglihatan jadi kabur, gairan seks
menurun, infeksi dan luka yang sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di
atas 4 kg.4
Differential Diagnosis
Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang
dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis
penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien
bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti:
Diabetes Melitus Tipe-1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent insulin;
namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak
30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya
autoimun dan tidak diketahui sumbernya.4 Penderita diabetes mellitus tipe I (diabetes yang
tergantung kepada insulin) menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan
insulin. Sebagian besar diabetes mellitus tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun. Para ilmuwan
percaya bahwa faktor lingkungan (mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa
kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel
penghasil insulin di pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik.
Pada diabetes tipe I, 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen.
Terjadi kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin
secara teratur. Biasanya orang yang mengalami DM tipe ini di haruskan menggunakan insulin
( Injeksi pastinya) sebagai pengobatannya, penggunaan insulin ini, agar jumlah gula yang
menumpuk tadi, jadi berkurang akibat penambahan insulin ini.4,5
Diabetes Awitan Dewasa Muda (MODY)
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) adalah kelainan genetik dan klinik
yang heterogen dan merupakan salah satu tipe dari DM yang ditandai dengan onset yang
cepat, kelainan genetik autosomal dominan dan defek utama pada sekresi insulin - Genetic
defects of beta cell function. Mutasi pada pada enam gen merupakan penyebab MODY
terbanyak. Kelainan gen tersebut adalah :
1. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4 (MODY 1)
2. Glucokinase (MODY 2)
3. HNF-1 (MODY 3)
4. Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
5. HNF-1 (MODY 5)
6. NeuroD1 (MODY 6)
MODY seperti DM tipe 2 yang disebabkan oleh kelainan gen autosomal dominan dan
terjadi pada usia muda dengan riwayat DM dalam keluarga. MODY merupakan kelainan
genetik diwariskan melalui keturunan. MODY sering dibandingkan dengan DM tipe 2 dan
memiliki beberapa kesamaan gejala. Tetapi bagaimanapun, MODY tidak ada hubungannya
dengan obesitas, penderitanya biasanya muda dan tidak ada kaitannya dengan kelebihan berat
badan. Onset terjadi sebelum usia 25 tahun. Dapat terjadi dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam keluarga. MODY tidak selalu membutuhkan pengobatan insulin.
Manifestasi klinis yang digunakan untuk menegakkan diagnosis MODY :
Hiperglikemik ringan sampai sedang (tpically 130–250 mg/ dl, atau 7–14
mmol/ l) dan ditemukan sebelum usia 30 tahun. Tetapi bagaimanapun,
MODY masih dapat berkembang sampai dibawah usia 50 tahun.
Gejala awal sama seperti gejala DM pada umumnya.
Tidak ada autoantibodi atau kelainan autoimun lainnya.
Kadar insulin yang Persita rendah.
Tidak ada obesitas atau kelainan lainnya yang berhubungan dengan DM tipe
2.
Resistensi insulin jarang terjadi.
Adanya kista pada ginjal pasien juga sering ditemukan.
Non-transient neonatal DM5,6.
Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa (LADA)
Latent Autoimmune Diabetes of Adults (LADA) adalah sebuah konsep yang
diperkenalkan pada tahun 1993 untuk menggambarkan slow-onset autoimun DM tipe 1 pada
dewasa. Biasanya individu dewasa yang menderita LADA sering salah didiagnosa menderita
DM tipe 2 karena mungkin pengaruh dari umur tetapi bukan etiologi. Pasien dengan LADA
memiliki gejala lebih sedikit dibanding DM tipe 2. Ciri khas lainnya adalah pada pasien
LADA ada kesulitan untuk mengontrol kadar glukosa darah menggunakan obat standar
hipoglikemi oral.
Pasien LADA memiliki marker autoimmun dalam darahnya seperti marker pada DM
tipe 1 tetapi bisanya pada awal diagnosis, pasien LADA tidak membutuhkan terapi insulin –
bukan insulin dependen. Tetapi ketika kelainan metaboliknya terus berlanjut, maka pasien
dengan LADA akan membutuh terapi insulin (insulin dependen) seperti pada DM tipe 1.
Gejala ketoasidosis juga mulai timbul pada keadaan lanjut pasien dengan LADA yang tidak
terkontrol.5
Berdasarkan The UK Prospective Diabetes Study menemukan bahwa antibodi
spesifik LADA dapat ditemukan pada 6% - 10% pasien yang didiagnosis menderita DM tipe
2. Diagnosis LADA ditegakkan ketika ditemukan peningkatan kadar marker autoantibodi
dalam darah pasien seperti pada DM tipe 1.
Karakteristik LADA yang mungkin dapat digunakan pada diferensial diagnosis :
Onset biasanya umur 25 tahun atau lebih tua.
Bergejala awal seperti DM tipe 2 pada orang yang bukan obese. (pasien
LADA biasanya memiliki berat badan yang ideal.
Sering tetapi tidak selalu, pasien LADA jarang memiliki riwayat DM tipe 2
dalam keluarganya.
Individu dengan LADA kelihatannya seperti resisten insulin.
HLA gen berhubungan dengan DM tipe 1 bukan DM tipe 2.
Biasanya sekitar 12 tahun setelah salah didiagnosa sebagai DM tipe 2, pasien
LADA akan dependen insulin.5,6
Penatalaksanaan
Pengobatan dibagi atas atas medica mentosa (menggunakan obat–obat yang di
minum) dan juga non-medica mentosa (tidak mengonsumsi obat).
A. Macam-macam Obat Hipoglikemik Oral:
1) Golongan Insulin Sensitizing2
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga
mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
2) Penghambar Alfa Glukosidase2
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam
saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
3) Golongan Sekretagok Insulin2
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Glinid
Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh
yang singkat karena lama menempel pada kompleks sulfonylurea sehingga dapat
menurunkan ekuivalen A1C pada SU. Sedang nateglinid mempunyai masa tinggal
lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya
merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek
hipoglikemik yang minimal.2
B. Insulin7
Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes
tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Obat hipoglikemik oral (misalnya
metformin) terkadang diberikan bersama terapi insulin untuk penderita diabetes tipe 2
untuk memperbaiki sensitivitas terhadap insulin.
Tabel 2. Mekanisme Kerja, Efek Samping Utama dan Pengaruh Terhadap A1C.
Non-medica mentosa
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai
masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus.
kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi
insulin.6,7
Terapi Gizi
Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.5
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:
1. menurunkan berat badan
2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. menurunkan kadar glukosa darah
4. memperbaiki profil lipid
5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. memperbaiki system koaguasi darah
Gambar 3. Rekomendasi nutrisi untuk pasien diabetes dewasa.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :5
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi
- Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted Dialy Intake)
- Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan karbohidrat dalam sehari. Kalau
diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori.Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi.
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10% , selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
- Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
- Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak,ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe
- Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB
perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok
teh) garam dapur.
- Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
- Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi
cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang
tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik
untuk kesehatan
- Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/1000 kkal/hari
Pemanis Alternatif
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan pemanis tak bergizi. Termasuk
pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa.
- Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.
- Dalam penggunaannya, pemanis bergizi perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
- Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
- Pemanis tak bergizi termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame potassium, sukralose,
neotame.
- Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake / ADI )
Kebutuhan Kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes.
Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30
kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.2,5
Komplikasi
Komplikasi akut sebagai penyulit pada diabetes melitus adalah :
1. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi
akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.
Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat
sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa
napas tidak terlalu mudah tercium. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan
penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum
alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering.5
2. Hiperosmolar Hiperglikemik non ketotik
Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya
ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis
HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai
beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,
polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus.
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan.5
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah
normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik
dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul
akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan
dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis
tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling
utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes
adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan.5
Penyulit Menahun :
1. Makroangiopati :
a. Pembuluh darah jantung
b. Pembuluh darah tepi
c. Pembuluh darah otak
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi
dengan gejala tipikal intermittent claudicatio, meskipun sering tanpa gejala.
Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.2
2. Mikroangiopati :
a. Retinopati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati.2
b. Nefropati diabetik
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati.2
- Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kg BB) juga akan mengurangi
risiko terjadinya nefropati.2
3. Neuropati
a. Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinyaulkus kaki dan amputasi.2
b. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.2
c. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram. Dilakukan sedikitnya setiap tahun.2
d. Apabila diketemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi.2
Pencegahan
Pencegahan terdiri dari :2,5
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. 2,5
Pencegahan sekunder upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada pasien
yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan
tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya
pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru. Penyuluhan
dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan
pertemuan berikutnya. Salah satu penyulit DM yang sering terjadi adalah penyakit
kardiovaskular, yang merupakan penyebab utama kematian pada penyandang diabetes. Selain
pengobatan terhadap tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan
darah, profil lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko
timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes. 2,5
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut. Pada pencegahan tersier ini
upayanya adalah dengan melakukan penyuluhan. 2,5
Prognosis
Sepanjang dapat dikontrol dengan baik, prognosis DM dapat memuaskan. Selain itu
juga ketaatan pasien sangat menentukan juga prognosis kelainan ini. Kadar glukosa darah
harus dijaga agar selalu optimal; tidak berlebihan ataupun kekurangan. Pencegahan atau
penanganan komplikasi yang cepat juga dapat menurunkan angka mortalitas dari penyakit ini.
Kesimpulan
Diabetes melitus terutama yang tipe 2 merupakan kelainan metabolik gabungan dari
penurunan sekresi insulin, peningkatan resistensi insulin dan pembentukan glukosa
berlebihan. Manifestasi utamanya adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi. Diagnosis
DM 2 ditegakkan berdasarkan klasifikasi ADA dengan melihat kadar GDS ataupun GDP dan
juga gejala klasik DM. Maka berdasarkan keluhan utama, pemeriksaan fisik dan penunjang
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita DM tipe 2.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gleadle J. At a glance : anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.
99
2. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pankreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC; 2008.h.754-72.
3. Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson ilmu kesehatan anak.
Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012.h.1658-63, 1455-8.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2006.h.1261-70.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam; 2009.h.1880-82, 1900-13.
6. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed.
USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293.
7. Achmad T, Sutisna H, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar patologi
penyakit. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2004.h.557- 8.