of 100 /100
RINGKASAN DISERTASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH TAHUN 2008-2018 PENDEKATAN PANEL DATA (STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA) OLEH : AGUS TRI BASUKI NIM : T401408015 PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI MINAT EKONOMI PEMBANGUNAN PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2020

ekonometrikblog.files.wordpress.com...ii Disertasi ini dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada Ujian Terbuka Promosi Doktor Universitas Sebelas Maret guna memenuhi sebagian persyaratan

  • Author
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of ekonometrikblog.files.wordpress.com...ii Disertasi ini dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada...

  • 1

    RINGKASAN DISERTASI

    FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI

    DAERAH TAHUN 2008-2018 PENDEKATAN PANEL DATA

    (STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA)

    OLEH :

    AGUS TRI BASUKI

    NIM : T401408015

    PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI

    MINAT EKONOMI PEMBANGUNAN

    PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI

    FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2020

  • ii

    Disertasi ini dipertahankan di hadapan Dewan Penguji pada Ujian Terbuka Promosi

    Doktor Universitas Sebelas Maret guna memenuhi sebagian persyaratan dalam

    memperoleh gelar Doktor Ilmu Ekonomi dan Bisnis di Bidang Ilmu Ekonomi

    Dewan Penguji

    1 Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M. S. Ketua

    2 Prof. Drs. Sutarno, M.Sc., Ph.D Sekretaris

    3 Prof. Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons). PhD.,Ak. Anggota

    4 Prof. Dr. Rahmawati, M.Si., Ak. Anggota

    5 Prof. Dr. Yunastiti Purwaningsih, MP Anggota

    6 Dr. A.M. Soesilo, M.Sc. Anggota

    7 Dr. Mulyanro, ME. Anggota

    8 Dr. Suryanto, SE., M.Si. Anggota

    9 Tri Mulyaningsih, SE., M.Si., P.hD. Anggota

    10 Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Anggota

  • iii

    KATA PENGANTAR

    Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala

    karunia dan ridho-NYA, sehingga disertasi dengan judul “FAKTOR PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH TAHUN 2008-2018 DENGAN

    PENDEKATAN PANEL (STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA) ” ini dapat

    diselesaikan. Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

    Doktor (Dr) dalam bidang keahlian Ekonomi Pembangunan pada Program Doktor Ilmu

    Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

    1. Ibu Prof. Dr. Yunastiti Purwaningsih, MP. atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi promotor.

    2. Bapak Dr. AM. Soesilo, M.Sc atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi ko-promotor.

    3. Bapak Dr. Mulyanto, M.E atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi ko-promotor.

    4. Bapak Prof. Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com(Hons), Ph.D.Ak. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu

    memberikan motivasi kepada mahasiswa S3 untuk segera menyelesaikan disertasinya.

    5. Ibu Prof. Dr. Rahmawati, Ak. selaku ketua Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB UNS dan juga sebagai dosen penguji, atas masukan yang telah diberkannya sehingga disertasi menjadi lebih sempurna.

    6. Bapak Prof. Dr. Edy Suandi Hamid selaku penguji eksternal dan telah banyak memberi masukan dalam menyelesaikan disertasi ini.

    7. Ibu Tri Mulyaningsih. SE., M.Si., Ph.D selaku dosen penguji dan telah banyak membantu proses perbaikan disertasi ini.

    8. Bapak Dr. Suryanto. SE., M.Si. selaku dosen penguji dan telah banyak membantu proses perbaikan disertasi ini.

    9. Seluruh Dosen Program Doktor Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta.

    10. Bapak Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberi kesempatan dan memfasilitasi

    penyelesaian disertasi ini.

    11. Bapak Dr. Nano Prawoto, SE, M.Si. selaku Wakil Rektor Bidang Sumberdaya Manusia Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah banyak meluangkan waktu dan motivasi untuk membantu disertasi ini.

    12. Bapak Rizal Yaya, SE., M.Sc. Ph.d., AK selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang selalu memberikan dorongan dan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

    13. Bapak Dr. Imamudin Yuliadi, SE, M.Si. selaku Kepala Program Studi Ilmu Ekonomi FEB UMY yang telah banyak meluangkan waktu untuk membantu

    disertasi ini. 14. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan FEB UMY yang telah banyak memberikan

    motivasi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk membantu disertasi

    ini. 15. Almarhum Ayahanda Sujatmin dan Almarhumah Ibunda Surtilah, serta Bapak

    mertua Bapak H. Ngadi dan Ibu Hj. Basyariah atas segala dukungan dan doanya.

    16. Istri saya tercinta Sri Pujiati, SE., atas segala motivasi, perhatian dan doa nya serta kesabaran menunggu di rumah selama beberapa waktu. Dan Ananda

  • iv

    tercinta Apt. Riandita Gusnanda, S.Fam., dan Refai Putra, Pandu Perdana Putra dan Gusdinda Ramadhanti Putri yang selalu memberi semangat untuk dapat

    menyelesaikan S3.

    17. Kakak-kakak dan adik-adikku yang saya cintai dan saya banggakan. 18. Rekan rekan mahasiswa PDIE angkatan 8 yang selalu memotivasi untuk segera

    menyelesaikan S3.

    Dengan keterbatasan pengalaman, ilmu maupun pustaka yang ditinjau, penulis

    menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan pengembangan lanjut agar benar benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran

    agar disertasi ini lebih sempurna serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan

    penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap disertasi ini memberikan manfaat bagi kita semua

    terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang ekonomi regional dan ekonomi

    pembangunan.

    Surakarta, 15 September 2020

    Agus Tri Basuki

  • v

    DAFTAR ISI

    Halaman Sampul

    Lembar Pengesahan Pernyataan Orisinalitas Disertasi

    Abstrak

    Ringkasan Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Daftar Tabel

    Daftar Gambar BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah …………………………………………..……… 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………..…………… 12 C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….……… 13 D. Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 14 BAB II TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA

    KONSEPTUAL PENELITIAN

    A. Kajian Pustaka ……………………………………………………….. 15 1. Otonomi Daerah ………………………………………………….. 15 2. Desentralisasi Fiskal ……………………………………………… 16 3. Pengeluran Negara ………………………………………………... 18 4. Teori Pertumbuhan Pendekatan Klasik …………………………... 20 5. Teori Pertumbuhan Pendekatan Keynes …………………………. 21 6. Teori Pertumbuhan Pendekatan Neo Keynes …………..………… 21 7. Teori Pertumbuhan Pendekatan Neo Klasik ……………………… 22 8. Teori Pertumbuhan Pendekatan Sosial Budaya …………………… 23 9. Teori Pertumbuhan Pendekatan Strukturalisme …………………… 24 10. Teori Tahapan Linear WW Rostow …………………………….. 25 B. Teori Mengenai Tata Hubungan Variabel Yang Diteliti …………… 1. Pengaruh Belanja Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi …… 26 a. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Pendidikan terhadap

    Pertumbuhan Ekonomi…………………….………………..

    26

    b. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………

    27

    c. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………………………………………

    28

    d. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah untuk Perikanan dan Kelautan terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……………………

    29

    2. Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Pertumbuhan Ekonomi ... 30 3. Pengaruh Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi …………… 31

    4. Pengaruh Penduduk Miskin terhadap Pertumbuhan Ekonomi …… 33 5. Pengaruh Investasi Asing terhadap Pertumbuhan Ekonomi 34 6. Pengaruh Opini BPK terhadap Pertumbuhan Ekonomi ………….. 35 7. Pengaruh Status Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi ……… 36 C. Penurunan Hipotesis ……………………………………..……… 37 BAB III METODE PENELITIAN

    A. Tempat dan Waktu ……………………………………………..…… 42 B. Tipe Penelitian ……………………………………………………..… 42 C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……………………… 42 D. Teknis Analisis Data ………………………………………………… 45 1. Model Regresi Data Panel ……………………………………… 45

  • vi

    2. Metode Estimasi Model Regresi Panel ………………………… 46 a. Model Regresi Panel Statis …………………………………… 47 b. Metode Estimasi Model Regresi Panel Dinamis (Panel VECM) 50 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Data Panel Statis …………………………………………………….… 57 B. Regresi Panel Dinamis …….. ………………………….……………… 67 1. Impul Response Function (IRF) ……………..…………………… 76 2. Variance Decomposition. ……………….…………………………. 79 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN, KETERBATASAN DAN

    REKOMENDASI

    A. Kesimpulan ……………………………………………………….…. 80 B. Implikasi Kebijakan ………………………………………………….. 81 C. Keterbatasan dan Saran ……………………………………………… 82 Daftar Pustaka

    Lampiran

  • vii

    FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

    TAHUN 2008-2018 PENDEKATAN PANEL DATA

    (STUDI KASUS 20 PROVINSI DI INDONESIA)

    Abstrak

    Masalah perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah yang dihadapi Indonesia sangat berbeda

    dalam suatu daerah dengan daerah lainnya. Wilayah Indonesia bagian timur lebih tertinggal dibandingkan dengan wilayah Indonesia tengah maupun dengan wilayah Indonesia barat. Terjadinya fenomena

    ketimpangan hasil pembangunan tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti perbedaan belanja

    pembangunan, besarnya dana perimbangan, jumlah penduduk, besarnya investasi yang ada di daerah dan sumber daya alam yang dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dampak belanja pemerintah

    daerah, variabel makro ekonomi, opini Badan Pemeriksa Keuangan dan status daerah kaya minyak terhadap

    pertumbuhan ekonomi daerah. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah pendekatan panel statis

    dan panel dinamis (panel VECM). Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data dari tahun 2008 hingga 2018 di 20 provinsi yang memiliki data lengkap dari 34 provinsi di Indonesia.

    Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang (panel VECM) belanja pendidikan,

    belanja pertanian, Dana Alokasi Umum, jumlah penduduk, dan investasi asing terbukti memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangkan belanja kesehatan, belanja perikanan dan

    kelauatan, dan jumlah penduduk miskin memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil

    penelitian dengan panel statis belanja pendidikan, pertanian, perikanan dan kelautan dan investasi asing

    langsung memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, sedangan Dana Alolasi Umum memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel dummy untuk opini Badan Pemeriksa

    Keuangan, dan status daerah terbukti memiliki pengaruh positip terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    Temuan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan belanja daerah (belanja pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan) yang selama ini dilakukan pemerintah daerah walaupun memiliki pengaruh dalam mendorong

    pertumbuhan ekonomi (panel statis) tetapi belum efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

    Kenaikan belanja daerah yang telah terjadi pada setiap tahun belum cukup mampu mendongkrak pertumbuhan perekonomian daerah. Besaran belanja daerah merupakan salah satu pekerjaan rumah yang

    harus diprioritaskan oleh pemerintah daerah sebab banyak harapan yang terdapat di dalam belanja daerah

    tersebut untuk menyelesaikan beragam permasalahan. Penggunaan alokasi belanja daerah untuk pendidikan

    dan kesehatan dan dana perimbangan (DAU) oleh pemerintah daerah seharusnya sesuai dengan harapan masyarakat. Setiap daerah harus menggunakan anggaran sesuai dengan Mandatory spending, yaitu alokasi

    belanja atau pengeluaran daerah harus sesuai dan memenuhi persyaratan undang-undang yang ditentukan.

    Pemerintah memastikan bahwa anggaran negara dialokasikan lebih maksimum untuk mengatasi ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pada sektor pendidikan dan kesehatan melalui peningkatan

    pelayanan infrastruktur publik.

    Kata Kunci : desentralisasi, panel statis, panel dinamik, pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiscal

  • viii

    FACTORS AFFECTING REGIONAL ECONOMIC GROWTH

    THE PANEL DATA APPROACH, 2008-2018

    (CASE STUDY 20 PROVINCES IN INDONESIA)

    Abstract

    The problem of differences in economic growth between regions facing Indonesia is very different from one region to another. Eastern Indonesia is lagging behind the central and western regions of Indonesia.

    The phenomenon of inequality in development results can be caused by many factors such as differences in

    development spending, the size of the balance fund, the population, the amount of investment in the region

    and the natural resources it owns. This study aims to examine the effect of local government spending, macroeconomic variables, BPK opinions, and the status of oil-rich regions on regional economic growth.

    The method used in this analysis is the static panel and dynamic panel (VECM panel) approach. The data

    used in this study uses data from 2008 to 2018 in 20 provinces which have complete data from 34 provinces in Indonesia.

    The results of this study indicate that in the long term (VECM panel) education spending,

    agricultural spending, General Allocation Funds, total population, and foreign investment are proven to have a positive effect on regional economic growth, while health spending, fisheries and fishing spending, and the

    number of poor people has a negative influence on economic growth. The results of research with a static

    panel spending on education, agriculture, fisheries and marine and foreign direct investment have a positive

    effect on regional economic growth, while the General Allocation Fund has a negative effect on economic growth. Dummy variables for the Supreme Audit Agency's opinion and regional status are proven to have a

    positive effect on regional economic growth. These findings indicate that regional spending policies

    (spending on education, health, agriculture and maritime affairs) that have been carried out by regional governments although they have had an influence in driving economic growth (static panel) have not been

    effective in promoting economic growth.

    The increase in regional spending that occurs every year is not sufficient to stimulate regional

    economic growth. The amount of regional expenditure is one of the homeworks that must be prioritized by the regional government because there are many hopes contained in regional spending to solve various

    problems. The use of regional expenditure allocations for education and health as well as balancing funds

    (DAU) by local governments must be in accordance with community expectations. Each region is obliged to use the budget in accordance with its mandatory expenditure, namely the allocation of expenditure or

    regional expenditure must be in accordance with and in accordance with the provisions of laws and

    regulations. The government ensures that the APBN is allocated more optimally to overcome inequalities in obtaining opportunities in the education and health sectors by improving public infrastructure services.

    Keywords: decentralization, static panel, dynamic panel, economic growth, fiscal policy

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebelum tahun 1970-an hanya diukur dari tingkat pertumbuhan

    Produk Domestik Bruto (PDB), baik secara keseluruhan maupun secara perkapita (Meier & Rauch,

    1995). Pengalaman negara-negara ketiga tahun 1960-an, banyak negara dunia ketiga berhasil

    mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Indikator ekonomi tidak hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi harus dilihat dari faktor-

    faktor lain dalam mengukur pembangunan ekonomi melalui langkah-langkah seperti Indeks

    Pembangunan Manusia (IPM) yang terlihat pada PDB perkapita, indeks kebahagiaan, tetapi juga statistik seperti standar keaksaraan dan perawatan kesehatan. Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi

    para ekonom menggunakan data Produk Domestik Bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total

    setiap orang dalam perekonomian. PDB mengukur output barang dan jasa total suatu negara dan

    pendapatan totalnya (Mankiw, 2003). Untuk menghargai pentingnya PDB, negara hanya perlu melihat sekilas data internasional, dan dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih miskin. Negara

    dengan tingkat PDB perkapita yang tinggi memiliki kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan

    dengan negara yang yang memiliki PDB perkapita yang lebih rendah. PDB yang besar tidak menjamin kebahagiaan seluruh penduduk suatu negara, tetapi mungkin merupakan resep kebahagiaan

    terbaik yang ditawarkan oleh para ahli makroekonomi. Tabel 1.1 menunjukkan Produk Domestik

    Bruto dan pertumbuhan ekonomi tahun 2010 hingga tahun 2018. PDB Indonesia tahun 2018 adalah satu setengah kali lebih besar dari tahun 2010 atau PDB tahun 2018 meningkat 150 persen dari PDB

    tahun 2010. PDB perkapita tahun 2018 mengalami peningkatan kesejahteraan 1,36 kali dibandingkan

    PDB perkapita tahun 2010.

    Tabel 1.1. Produk Domestik Bruto dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

    Tahun 2010 – 2018

    Tahun PDB

    (Milyar Rupiah)

    Pertumbuhan

    ekonomi Penduduk PDB/kapita

    2010 6.864.133,1 237.641.326 28.884.425

    2011 7.287.635,3 6,17 240.873.248 30.255.063

    2012 7.727.083,4 6,03 244.149.124 31.649.032

    2013 8.156.497,8 5,56 247.469.552 32.959.601

    2014 8.564.866,6 5,01 250.835.138 34.145.402

    2015 8.982.517,1 4,88 254.246.496 35.329.954

    2016 9.434.613,4 5,03 257.704.248 36.610.236

    2017 9.912.928,1 5,07 261.209.026 37.950.174

    2018 10.425.397,3 5,17 264.761.469 39.376.565

    Sumber : Biro Pusat Statistik (berbagai terbitan)

    Pengamatan Adolf Wagner terhadap negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada

    abad 19 menunjukkan aktivitas pemerintah dalam perekonomian cenderung semakin meningkat. Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap PDB dengan mengemukakan suatu

    teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap

    PDB. Peningkatan pengeluaran pemerintah bersifat relatif atau absolut oleh Musgrave (1959) dinyatakan sebagai “Adolf Wagner Failed to Specify”. Relatif yang berarti dinyatakan dengan

    persentase dari PDB dan atau dibandingkan dengan sektor swasta (Soetrisno, 1981). Di Indonesia,

    APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal memainkan peranan penting mendorong pencapaian

    target-target pembangunan yang telah ditetapkan. Peranan tersebut sejalan dengan salah satu fungsi APBN sebagai alat menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi. Untuk itu, kebijakan fiskal

    1

  • 2

    senantiasa diarahkan untuk tercapainya pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja,

    pengurangan kemiskinan, namun dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

    Tabel 1.2.

    Pengaruh antara Pengeluaran Pemerintah dengan PDB ADHK 2010

    (Milyar Rupiah)

    Tahun

    Belanja

    Pemerintah

    (BP)

    Perubahan

    (%) PDB

    Perubahan

    (%)

    Rasio Belanja

    Pemerintah

    terhadap

    PDB (%)

    Elatisitas1

    1 2 3 4 5 6 7

    2011 1.294.999 - 7.287.635 17,77 -

    2012 1.491.410 15,17 7.741.655 6,23 19,26 0,41

    2013 1.650.564 10,67 8.189.122 5,78 20,16 0,54

    2014 1.777.183 7,67 8.600.216 5,02 20,66 0,65

    2015 1.984.100 11,64 9.012.167 4,79 22,02 0,41

    2016 2.095.700 5,62 9.433.034 4,67 22,22 0,83

    2017 2.276.479 8,63 9.911.289 5,07 22,97 0,59

    2018 2.497.297 9,70 10.423.703 5,17 23,96 0,53

    Sumber : BPS 2012, 2014, 2017 (data diolah) 1 Elastisitas dihitung dengan formula perbandingan persentase perubahan PDB dibagi dengan persentase perubahan belanja pemerintah.

    Pengaruh antara belanja pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan dengan

    angka elastisitas (Tabel 1.2.). Angka elastisitas menunjukkan seberapa besar pengaruh perubahan pengeluaran pemerintah akan berpengaruh terhadap perubahan Pendapatan Domestik Bruto (Mangkoesoebroto, 2001). Menurut Wagner meningkatnya pengeluaran pemerintah disebabkan

    karena meningkatnya fungsi pembangunan, artinya semakin besar pengeluaran pemerintah dapat mendorong laju pembangunan ekonomi suatu negara. Berdasarkan perhitungan angka elastisitas tahun

    2012 hingga 2018 dapat diduga peningkatan belanja pemerintah dapat meningkatkan Produk

    Domestik Bruto tetapi setelah tahun 2016 tambahan peningkatan semakin menurun, dan apabila pemerintah tidak memperbaiki program-program pembangunan berdampak pada peningkatan

    tambahan pengeluaran pemerintah menyebabkan rendahnya pertumbuhan Produk Domestik Bruto

    (Hemming, et al. 2002).

    Desentralisasi dan otonomi daerah pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Teori tentang desentralisasi yang

    utama adalah bahwa desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintah dalam mengalokasikan

    sumber daya yang dimilikinya. Menurut Hayek (1945) dan Musgrave (1959) kebijakan dalam mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk pelayanan publik akan lebih efisien bila diambil oleh

    pemerintah daerah yang dekat dengan masyarakat dan memiliki kontrol geografis paling minimal

    karena disebabkan oleh beberapa faktor (Azwar, dkk. 1999), yaitu: Pertama, pemerintah lokal lebih

    mengetahui kebutuhan masyarakatnya. Kedua, keputusan pemerintah lokal lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam

    penggunaan dana yang berasal dari masyarakat. Ketiga, persaingan antar daerah dalam memberikan

    pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal dalam meningkatkan inovasinya dalam rangka meningkatkan pelayanan publik.

    Implementasi desentralisasi dan otonomi daerah terkait erat dengan bagaimana masing-masing

    daerah dapat mengelola perekonomian daerah menjadi lebih makmur dan mandiri. Pengertian mandiri disini adalah daerah tidak tergantung pada pusat, sehingga daerah dapat melaksanakan kebijakan-

    kebijakan yang didasarkan pada keunggulan komparatif masing-masing daerah. Prinsip ini

    mengandung arti bahwa perekonomian daerah dilaksanakan atas prinsip efisiensi dan economics of

  • 3

    scale. Hubungan interdependensi antar daerah menjadi semakin erat, karena akan terjadi saling

    ketergantungan antar daerah. Masing-masing daerah akan memproduksi barang dan jasa sesuai

    potensi ekonomi dan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing daerah. Kemandirian ekonomi daerah juga harus dilihat dari aspek kemampuan dan keleluasaan daerah dalam melakukan

    proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan implementasi desentralisasi yang berkaitan dengan

    UU No 23 Tahun 2014.

    Tabel 1.3. menunjukkan hubungan antara anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pengeluaran

    anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan dengan

    pertumbuhan ekonomi dinyatakan dengan elastisitas. Elastisitas adalah perbandingan perubahan proporsional dari anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan

    dengan perubahan PDRB. Dengan kata lain, elastisitas mengukur seberapa besar besar kepekaan atau

    reaksi anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan terhadap

    perubahan PDRB. Nilai elastisitas anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan

    kelautan dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh Daerah Khusus Ibukota Jakarta (3,6),

    Nusa Tenggara Timur (1,21), Bali (0,43), Kalimantan Utara (0,28) dan Jambi (0,21). Nilai elastisitas anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan, pertanian dan kelautan dengan

    pertumbuhan ekonomi terendah dicapai oleh Kalimantas Selatan (-0,18), Papua Barat (-0,16), Nusa

    Tenggara Barat (-0,03), Jawa Barat (0,02) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,03). Nilai elastisitas tahun 2016-2018 rata-rata nasional 0,16, menurun dibandingkan dengan tahun 2013-2016 (0,18).

    Hasil ini menunjukan bahwa anggaran pemerintah daerah untuk pendidikan, kesehatan,

    pertanian dan kelautan memiliki peran mendorong pertumbuhan ekonomi di sebagian besar provinsi

    yang ada di Indonesia, sedangkan 3 provinsi memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu: Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Papua

    Barat.

  • 4

    Tabel 1.3.

    Anggaran Pemerintah Daerah dan PDRB di 34 Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2018 (2010=100)

    No Provinsi

    Anggaran Pendidikan, Kesehatan,

    Pertanian dan Kelautan

    (Milyar Rupiah)

    PDRB

    (Milyar Rupiah) Elastisitas

    2010 2013 2016 2018 2010 2013 2016 2018 2010 -

    2013

    2013 -

    2016

    2016 -

    2018 Keterangan

    1 Aceh 2.068 2.578 4.412 6.724 101.545 111.756 116.374 126.824 0,41 0,06 0,17 Menurun

    2 Sumatera Utara 617 820 2.273 6.200 331.085 398.727 463.775 512.766 0,62 0,09 0,06 Menurun

    3 Sumatera Barat 498 699 1.950 3.092 105.018 125.941 148.134 164.034 0,49 0,10 0,18 Menurun

    4 Riau 1.010 1.367 2.885 4.069 388.578 436.188 458.769 482.158 0,35 0,05 0,12 Menurun

    5 Jambi 440 620 1.577 2.285 90.618 111.766 130.501 142.968 0,57 0,11 0,21 Menurun

    6 Sumatera Selatan 1.092 667 1.462 2.416 194.013 232.175 266.857 298.570 -0,51 0,13 0,18 Meningkat

    7 Bengkulu 286 479 613 1.247 28.353 34.326 40.077 44.171 0,31 0,60 0,10 Menurun

    8 Lampung 485 832 1.500 3.429 150.561 180.620 209.794 232.208 0,28 0,20 0,08 Menurun

    9 Kep. Bangka Bel. 169 231 384 1.103 35.562 42.191 47.848 52.215 0,51 0,20 0,05 Menurun

    10 Kepulauan Riau 362 667 994 1.494 111.224 137.264 162.853 173.684 0,28 0,38 0,13 Menurun

    11 DKI Jakarta 8.368 16.590 24.812 25.691 1.075.183 1.296.695 1.539.917 1.736.291 0,21 0,38 3,60 Meningkat

    12 Jawa Barat 1.376 1.565 2.213 14.845 906.686 1.093.544 1.275.619 1.419.689 1,49 0,40 0,02 Menurun

    13 Jawa Tengah 1.258 1.936 3.446 8.828 623.225 726.655 849.099 941.164 0,31 0,22 0,07 Menurun

    14 DI Yogyakarta 250 457 390 1.945 64.679 75.627 87.686 98.024 0,20 -1,09 0,03 Menurun

    15 Jawa Timur 1.812 3.322 6.303 15.105 990.649 1.192.790 1.405.564 1.563.769 0,24 0,20 0,08 Menurun

    16 Banten 415 734 2.837 4.099 271.465 331.099 387.835 434.015 0,29 0,06 0,27 Menurun

    17 Bali 340 1.029 1.897 2.436 93.749 114.104 137.296 154.110 0,11 0,24 0,43 Meningkat

    18 Nusa Tengr Barat 253 402 1.116 2.549 70.123 69.767 94.524 90.391 -0,01 0,20 -0,03 Menurun

    19 Nusa Tengr Timur 298 392 2.525 2.744 43.847 51.505 59.678 65.945 0,55 0,03 1,21 Meningkat

    20 Kalimantan Barat 382 625 1.465 2.480 86.066 101.980 118.183 130.589 0,29 0,12 0,15 Menurun

    21 Kalimantan Tengah 422 473 1.062 1.794 56.531 69.411 83.900 94.601 1,90 0,17 0,18 Menurun

    22 Kalimantan Selatan 680 1.276 1.983 833 85.305 101.851 115.744 128.093 0,22 0,25 -0,18 Menurun

  • 5

    No Provinsi

    Anggaran Pendidikan, Kesehatan,

    Pertanian dan Kelautan

    (Milyar Rupiah)

    PDRB

    (Milyar Rupiah) Elastisitas

    2010 2013 2016 2018 2010 2013 2016 2018 2010 -

    2013

    2013 -

    2016

    2016 -

    2018 Keterangan

    23 Kalimantan Timur 1.185 2.060 2.264 2.986 418.212 438.533 439.004 464.823 0,07 0,01 0,18 Meningkat

    24 Kalimantan Utara - - 595 882 - - 51.065 57.837 - - 0,28 -

    25 Sulawesi Utara 202 345 1.013 1.724 51.721 62.423 74.765 84.259 0,29 0,10 0,18 Menurun

    26 Sulawesi Tengah 246 541 837 1.976 51.752 68.219 91.015 103.593 0,26 0,61 0,10 Menurun

    27 Sulawesi Selatan 387 710 2.787 5.236 171.741 217.589 269.401 309.202 0,32 0,08 0,17 Menurun

    28 Sulawesi Tenggara 290 320 874 1.913 48.401 64.269 77.746 88.329 3,15 0,12 0,11 Menurun

    29 Gorontalo 114 270 424 871 15.476 19.368 23.507 26.721 0,18 0,38 0,13 Menurun

    30 Sulawesi Barat 113 201 221 685 17.184 22.227 27.525 31.111 0,38 2,43 0,06 Menurun

    31 Maluku 278 354 867 1.808 18.429 22.101 26.284 29.467 0,74 0,13 0,11 Menurun

    32 Maluku Utara 123 189 262 1.029 14.984 18.209 21.557 25.050 0,41 0,47 0,06 Menurun

    33 Papua Barat 231 257 3.590 1.167 41.362 47.694 54.711 60.464 1,36 0,01 -0,16 Menurun

    34 Papua 796 1.052 2.249 4.433 110.808 117.119 142.225 159.790 0,18 0,19 0,13 Menurun

    Jumlah 26.842 44.057 84.081 140.115 6.864.133 8.133.731 9.498.833 10.526.928 0,29* 0,18* 0,16* Menurun

    Sumber : Subdit Data Keuangan Daerah, Direktorat EPIKD tahun 2010-2018, BPS (data diolah).

    Keterangan : * nilai elastisitas

    Lanjutan Tabel 1.5.

  • 6

    Teori klasik yang membahas pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh peran

    pemerintah adalah Teori Klasik Keynes. Teori ini beranggapan bahwa campur tangan pemerintah

    dalam ekonomi menentukan pembangunan ekonomi dapat berjalan maksimal. Implikasi pandangan Keynes adalah bahwa untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang stabil diperlukan

    peranan pemerintah dalam pengelolaan perekonomian. Ekonom lain, Adolf Wagner, menyatakan

    bahwa pengeluaran pemerintah dan kegiatan pemerintah semakin lama semakin meningkat.

    Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Jepang pada abad ke-19 (Mangkoesoebroto, 2002). Hasilnya terbukti

    menunjukkan bahwa aktivitas pemerintah dalam perekonomian mengalami kecenderungan yang

    semakin meningkat. Kecenderungan ini oleh Wagner disebut dengan hukum selalu meningkatnya peranan pemerintah (law of ever increasing state activity).

    Tabel 1.4. menunjukkan perbandingan elastisitas, indek pembangunan manusia dan

    kontribusi penanaman modal asing di provinsi yang melimpah SDA dan provinsi kurang SDA

    tahun 2010-2018. Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 4618 K/80/MEM/2016 dan penghasil SDA Minyak Bumi di atas 5 juta perbarel, daerah yang memiliki SDA minyak bumi

    diatas 5 juta perbarel adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,

    Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Barat. Rata-rata nilai elastisitas di provinsi yang memiliki

    SDA minyak bumi di atas 5 juta perbarel sebesar 0,315, rata-rata nilai IPM sebesar 70,29, dan

    kontribusi penanaman modal asing rata-rata sebesar 3,15 persen. Rata-rata nilai elastisitas di provinsi yang memiliki SDA minyak bumi kurang dari 5 juta perbarel sebesar 0,41, rata-rata nilai

    IPM sebesar 70,46, dan kontribusi penanaman modal asing rata-rata sebesar 2,78 persen.

    Hasil ini menunjukan provinsi kaya SDA akan menarik investor asing untuk menanamkan

    modalnya, hal ini ditunjukkan dengan kontribusi rata-rata penanaman modal asing lebih besar di provinsi kaya SDA dibandingkan dengan provinsi kurang kaya SDA. Peningkatan penaman

    modal asing akan meningkatkan output dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Perbandingan

    nilai IPM di provinsi kaya SDA lebih rendah dibandingan provinsi kurang kaya SDA yaitu rerata IPM 70,29 lebih kecil dibandingkan IPM 70,46. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi yang

    memiliki SDA berlimpah cenderung memiliki kemampuan sumberdaya manusia yang lebih

    rendah dibandingkan dengan daerah yang kurang SDA atau sering disebut paradox kelimpahan. Paradoks kelimpahan atau kutukan sumber daya (Brunnschweiler & Bulte, 2008) mengacu pada

    kegagalan banyak negara atau daerah kaya sumber daya untuk mendapatkan manfaat penuh dari

    kekayaan sumber daya alam, dan bagi pemerintah di negara atau daerah tersebut untuk merespon

    secara efektif kebutuhan kesejahteraan publik melalui belanja publik. Negara atau daerah kaya sumber daya cenderung memiliki tingkat konflik dan otoritarianisme yang lebih tinggi, dan

    tingkat stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, dibandingkan dengan

    negara tetangga yang tidak kaya sumber daya. Fenomena ini mirip dengan yang disebut dengan Dutch disease (Corden, 1984). Dutch

    disease adalah fenomena di bidang perekonomian yang merujuk pada akibat yang biasanya

    ditimbulkan oleh berlimpahnya sumber daya alam di suatu negara. Istilah ini dikemukakan pertama

    kali pada tahun 1977, yang merujuk pada menurunnya pertumbuhan di sektor perindustrian secara drastis akibat ditemukannya sumber gas alam yang berlimpah di Belanda. Model ekonomi yang

    menjelaskan mengenai fenomena ini kemudian dikembangkan oleh W. Max Corden and J. Peter

    Neary pada tahun 1982. Sumber daya alam dan tingkat perekonomian suatu negara memiliki kaitan yang erat, di mana kekayaan sumber daya alam secara teoretis akan menunjang pertumbuhan

    ekonomi yang pesat. Akan tetapi, pada kenyataannya hal tersebut justru sangat bertentangan

    karena negara-negara di dunia yang kaya akan sumber daya alamnya sering kali merupakan negara dengan tingkat ekonomi yang rendah. Hal ini disebabkan negara yang cenderung memiliki sumber

    pendapatan besar dari hasil bumi memiliki kestabilan ekonomi sosial yang lebih rendah daripada

    negara-negara yang bergerak di sektor industri dan jasa. Di samping itu, negara yang kaya akan

    sumber daya alam juga cenderung belum memiliki teknologi yang memadai dalam mengolahnya.

    https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomihttps://id.wikipedia.org/wiki/Sumber_daya_alamhttps://id.wikipedia.org/wiki/Negarahttps://id.wikipedia.org/wiki/1977https://id.wikipedia.org/wiki/Industrihttps://id.wikipedia.org/wiki/Gas_alamhttps://id.wikipedia.org/wiki/Belandahttps://id.wikipedia.org/wiki/1982https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomihttps://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Bumihttps://id.wikipedia.org/wiki/Sosialhttps://id.wikipedia.org/wiki/Jasahttps://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi

  • 7

    Tabel 1.4.

    Elastisitas, IPM dan Kontribusi FDI di Provinsi Kaya SDA dan Provinsi Kurang SDA Tahun 2010-2018

    No Provinsi

    Elastisitas

    IPM Kontribusi

    FDI Provinsi

    Elastisitas

    IPM Kontribusi

    FDI 2010-

    2013

    2013-

    2016

    2016-

    2018

    2010-

    2013

    2013-

    2016

    2016-

    2018

    1 Aceh 0,41 0,06 0,17 71,2 0,24 Sumatera Barat 0,49 0,10 0,18 71,7 0,62

    2 Sumatera Utara 0,62 0,09 0,06 71,2 4,19 Bengkulu 0,31 0,60 0,10 70,6 3,68

    3 Riau 0,35 0,05 0,12 72,4 3,52 Kep. Bangka Bel. 0,51 0,20 0,05 70,7 0,47

    4 Jambi 0,57 0,11 0,21 70,7 2,84 DKI Jakarta 0,21 0,74 0,54 80,5 16,57

    5 Sumatera Selatan -0,51 0,13 0,18 69,4 0,35 DI Yogyakarta 0,20 -1,09 0,03 79,5 8,10

    6 Lampung 0,28 0,2 0,08 69 0,16 Banten 0,29 0,06 0,27 72 4,55

    7 Kepulauan Riau 0,28 0,38 0,13 74,8 0,45 Bali 0,11 0,24 0,43 74,8 3,42

    8 Jawa Barat 1,49 0,4 0,02 71,3 19,02

    Nusa Tenggara

    Barat -0,01 0,20 -0,03 67,3 0,86

    9 Jawa Tengah 0,31 0,22 0,07 71,1 9,65 Nusa Teng Timur 0,55 0,03 1,21 64,4 0,34

    10 Jawa Timur 0,24 0,2 0,08 70,8 0,28 Kalimantan Barat 0,29 0,12 0,15 67 1,68

    11 Kalimantan Tengah 1,9 0,17 0,18 70,4 2,32 Kalimantan Selatan 0,22 0,25 -0,18 70,2 0,44

    12 Kalimantan Utara 0,28 70,6 0,23 Kalimantan Timur 0,07 0,01 0,18 75,8 2,00

    13 Sulawesi Tengah 0,26 0,61 0,1 68,9 0,14 Sulawesi Utara 0,29 0,10 0,18 72,2 1,01

    14 Maluku 0,74 0,13 0,11 68,9 0,03 Sulawesi Selatan 0,32 0,08 0,17 70,9 2,29

    15 Papua Barat 1,36 0,01 -0,16 63,7 3,86 Sulawesi Tenggara 3,15 0,12 0,11 70,6 2,11

    16 Gorontalo 0,18 0,38 0,13 67,7 0,08

    17 Sulawesi Barat 0,38 2,43 0,06 65,1 2,30

    18 Maluku Utara 0,41 0,47 0,06 67,8 1,24

    19 Papua 0,18 0,19 0,13 60,1 0,98

    Rerata 0,29 0,18 0,16 70,29 3,15 Rerata 0,47 0,12 0,23 70,46 2,78

    Sumber : Subdit Data Keuangan Daerah, Direktorat EPIKD tahun 2010-2018, BPS (data diolah).

  • 8

    Berdasarkan fenomena di atas maka perlu diidentifikasi faktor-faktor pendorong pertumbuhan

    ekonomi di suatu daerah, yaitu salah satunya melalui peran kebijakan fiskal melalui belanja pemerintah.

    Kebijakan fiskal yang lazim dilakukan pemerintahan daerah adalah penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan

    kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD ini

    berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan

    kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi (Bastian, 2006).

    Pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian suatu

    wilayah (sarana prasarana pendidikan, kesehatan, transportasi dan lain-lainnya) akan mengakibatkan peningkatan aktivitas ekonomi dan mendorong (+) pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000). Penelitian

    tentang pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan oleh Amusa &

    Oyinlola (2019) dengan judul “The effectiveness of government expenditure on economic growth in Botswana”. Penelitianya menguji hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di

    Botswana selama periode 1985-2016. Temuan empiris menunjukkan bahwa pengeluaran agregat

    memiliki efek negatif dalam jangka pendek dan memiliki efek positif dalam jangka panjang terhadap

    pertumbuhan ekonomi. Sedangkan penelitian Dudzevičiūtė, et al. (2018) dengan judul “Government expenditure and economic growth in the European Union countries”. Hasil penelitiannya memberikan

    bukti baru tentang dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara Uni

    Eropa untuk periode 1994-2012. Ada hubungan positif (+) untuk beberapa negara UE (Portugal dan Inggris), sedangkan terjadi hubungan negatif (-) untuk negara-negara lain (Austria, Finlandia, Italia dan

    Swedia) atau bahkan tidak signifikan (?) (Belgia, Prancis, Yunani, Irlandia, Irlandia, Luksemburg,

    Belanda dan Spanyol). Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk pendidikan terhadap

    pertumbuhan ekonomi dilakukan Besarria, et al. (2018) dengan judul “Effects of income inequality on the

    economic growth of Brazilian states”. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam

    pendapatan dan tingkat pendidikan adalah penentu utama tingkat pertumbuhan yang berbeda di antara negara-negara Brasil. Peningkatan lama sekolah secara positif (+) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

    Sebaliknya, ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap indikator ini. Penelitian lainnya yang

    dilakukan Perović & Golem (2019) dengan judul “Government Expenditures Composition and Growth In Eu15: A Dynamic Heterogeneous Approach. Regional Science Inquiry”. Hasil penelitiaanya

    menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran agregat yang tinggi merupakan penghambat (-) pertumbuhan

    ekonomi di negara maju, sementara item pengeluaran pemerintah yang paling penting adalah pengeluaran

    sektor pendidikan. Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk kesehatan terhadap

    pertumbuhan ekonomi dilakukan Naidu & Chand (2013) dengan judul “Does central government health

    expenditure and medical technology advancement determine economic growth rates in the Pacific island countries?”. Penelitian ini menemukan bahwa pengeluaran kesehatan memiliki dampak signifikan pada

    tingkat pertumbuhan ekonomi PICs. Studi ini juga menemukan bahwa tingkat kontemporer penggunaan

    teknologi medis canggih di PICs relatif rendah dibandingkan dengan total populasi negara. Jika PIC perlu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah PIC perlu meningkatkan pengeluarannya

    di sektor kesehatan. Dokter yang baik dan berkualitas perlu dipekerjakan dan pendidikan kedokteran

    harus dibuat lebih kompetitif. Peningkatan layanan kesehatan di PIC akan mengurangi angka kematian,

    meningkatkan kesehatan per kapita dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi nasional wilayah Oseania. Penelitian Mohapatra (2017) dengan judul “Economic growth, public expenditure on health and IMR in

    India”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PDB untuk Granger menyebabkan pengeluaran publik

    untuk kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, tetapi pengeluaran publik untuk kesehatan hanya menyebabkan PDB dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek pengeluaran

    publik untuk kesehatan (?) tidak mempengaruhi PDB.

  • 9

    Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk pertanian terhadap

    pertumbuhan ekonomi dilakukan Xu, et al. (2011) dengan judul “Impacts of agricultural public spending

    on Chinese food economy: A general equilibrium approach”. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model keseimbangan umum (DCGE) yang dapat dihitung secara dinamis untuk menganalisis dampak

    ekonomi dari berbagai jenis pengeluaran publik di Tiongkok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

    pengeluaran publik memiliki dampak signifikan pada produksi pangan, harga, dan perdagangan.

    Meningkatnya pengeluaran publik untuk penelitian dan pengembangan pertanian, irigasi, dan subsidi pertanian juga berdampak kecil (+) pada sektor-sektor lain seperti industri, layanan, dan pertumbuhan

    PDB. Penelitian Armas, dkk (2012) menyelidiki dampak belanja publik di sektor pertanian terhadap

    pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia. Hasil penelitiannya menyimpulkan belanja publik untuk pertanian dan irigasi selama periode 1976-2006 memiliki dampak positif (+) pada pertumbuhan

    pertanian. Sementara belanja publik untuk subsidi pupuk memiliki efek negatif (-) terhadap pertumbuhan

    ekonomi. Penelitian lain tentang pengaruh pengeluaran pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Oyinbo, et al. (2013) dengan judul “Agricultural budgetary allocation and economic growth in

    Nigeria: implications for agricultural transformation in Nigeria”. Penelitiannya menganalisis pengaruh

    antara alokasi anggaran pertanian dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Hasil penelitiannya

    menyimpulkan belanja pertanian tidak memiliki pengaruh (?) terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria dalam jangka panjang.

    Penelitian mengenai pengaruh antara pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan

    terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Huda, dkk (2015). Penelitian yang dilakukannya menganalisis peran subsektor perikanan dalam perekonomian daerah di Provinsi Jawa Timur. Hasil penelitiannya

    menyimpulkan pembangunan perikanan secara on-farm berhubungan nyata dengan jumlah tenaga kerja

    dan besarnya anggaran pembangunan bidang kelautan dan perikanan mempengaruhi (+) output perikanan dan kelautan sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Penilitian lain yang dilakukan Novianti,

    dkk. (2014) menganalisis dampak pengeluaran Infrasruktur (pelabuhan) dalam meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitiannya menyimpulkan peningkatan pengeluaran pemerintah bidang

    kelautan (Infrastruktur kemaritiman) dapat meningkatkan (+) pertumbuhan ekonomi. Dalam literatur standar tentang desentralisasi dan federalisme fiskal, alokasi dana menjadi sangat

    penting, dan secara implisit diasumsikan bahwa dana yang dialokasikan secara otomatis mencapai

    penerima manfaat yang dituju (Bardhan, 2002). Asumsi ini perlu secara drastis memenuhi syarat di negara-negara berkembang, di mana perhatian harus diberikan pada insentif dan perangkat khusus untuk

    memeriksa korupsi birokrasi, dan dengan demikian efektivitas yang berbeda dari mekanisme tersebut di

    bawah sentralisasi dan desentralisasi menjadi penting. Kebijakan fiskal melalui dana perimbangan juga

    menjadi penentu pertumbuhan ekonomi daerah. Dana perimbangan juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN, yang

    dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

    Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014, dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (Bagian Daerah), Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana

    yang harus dialokasikan oleh pemerintah pusat kepada setiap provinsi/kabupaten/kota yang ada di

    Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD yang digunakan untuk dana

    pembangunan, dan tidak boleh diprioritaskan untuk pengeluaran rutin.

    Penelitian mengenai pengaruh antara Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap pertumbuhan ekonomi

    dilakukan Purbadharmaja, er al. (2019) dengan judul “The implications of fiscal decentralization and budget governance on economic capacity and community welfare”. Hasil penelitiannya menyimpulkan

    desentralisasi fiskal tidak selalu mengarah pada manajemen anggaran yang lebih baik. Keberhasilan

    desentralisasi fiskal dapat ditemukan dalam kualitas anggaran daerah dan kualitas manajemen anggaran. Alokasi anggaran daerah untuk peningkatan layanan publik dan pengembangan infrastruktur akan

    meningkatkan kapasitas ekonomi daerah. Peningkatan kapasitas ekonomi regional mendorong

    peningkatan (+) kesejahteraan masyarakat. Penelitian lain yang dilakukan Thimmaiah (2000)

    https://www.jstor.org/stable/26476138https://www.jstor.org/stable/26476138

  • 10

    menganalisis peran desentralisasi dalam mendorong pertumbuhan PDB yang lebih tinggi dalam

    lingkungan ekonomi yang diliberalisasi di India. Hasil penelitian menyimpulkan pengeluaran

    desentralisasi belum memberikan kontribusi yang signifikan (?) untuk meningkatkan tingkat pendapatan di India.

    Menurut Solow (Mankiw, 2003) model pertumbuhan menunjukkan bagaimana, tabungan,

    pertumbuhan populasi, dan kemajuan mempengaruhi tingkat ouput perekonomian serta pertumbuhan

    sepanjang waktu. Perkembangan penduduk menurut solow menjadi faktor yang mempengaruhi output perekonomian. Pertambahan penduduk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi jika pertambahan

    penduduk dari masa ke masa diikuti dengan peningkatan pendidikan sebelum menjadi tenaga kerja yang

    trampil dan terdidik, sehingga penduduk menjadi tenaga kerja yang memiliki daya saing tinggi dan pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2000). Agar harapan tersebut

    dapat terwujud, pemerintah daerah bersama masyarakat harus bersama-sama mengambil inisiatif

    membangun daerah. Pemerintah daerah harus mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada di daerah untuk kemakmuran seluruh masyarakat dan mendorong perekonomian untuk maju dan

    berkembang.

    Penelitian yang dilakukan Joseph, et al. (2015) bertujuan menyelidiki potensi peningkatan

    penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi di negara Nigeria. Hasil penelitian menyimpulkan pertumbuhan penduduk tidak memiliki dampak signifikan (?) terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria.

    Penelitian lainnya mengenai pengaruh antara jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan

    Rahman, et al. (2017) dengan judul The effects of population growth, environmental quality and trade openness on economic growth. Penelitiannya mengeksplorasi efek dari pertumbuhan populasi, kualitas

    lingkungan dan keterbukaan perdagangan pada pertumbuhan ekonomi negara maju dan berkembang.

    Hasil penelitiannya menyimpulkan pertumbuhan populasi memiliki efek positif (+) pada pertumbuhan ekonomi di tiga negara berkembang dan hubungan searah dari Pertumbuhan Populasi ke pertumbuhan

    ekonomi.

    Di lain pihak, penelitian Doran (2012) dengan judul “Analysis of the interdependence of

    demographic factors, labour effort and economic growth in Ireland”. Penelitian ini menganalisis hubungan sebab akibat antara perubahan demografis di Irlandia dan upaya tenaga kerja dan pembangunan

    ekonomi. Hasil penelitian menyimpulkan peningkatan rasio ketergantungan usia tua dapat mengurangi (-)

    output ekonomi. Hasil ini memberikan wawasan tentang bagaimana perubahan demografi masyarakat Irlandia dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi masa depan. Penelitian lain yang dilakukan Banik

    & Bhaumik (2006) menyoroti efek ganda dari perubahan demografis dan emigrasi kaum muda terhadap

    pertumbuhan ekonomi di negara Karibia. Hasil penelitiannya menyimpulkan aspek negatif (-) lebih

    penting daripada aspek positif karena meningkatnya rasio ketergantungan dan juga dapat mewakili migrasi keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan produksi. Sedangkan penelitian dilakukan

    oleh Canning & Fink (2010) yang menyimpulkan populasi yang menua akan cenderung menurunkan

    partisipasi angkatan kerja dan tingkat tabungan, sehingga meningkatkan kekhawatiran tentang perlambatan (-) pertumbuhan ekonomi di masa depan.

    Selain faktor diatas, faktor penduduk miskin juga memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan

    ekonomi. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses terhadap sumber daya, dan tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat (-) pertumbuhan ekonomi perkapita (Todaro, 2000).

    Penelitian Škare & Družeta (2016) dengan judul “Poverty and economic growth: a review”. Pertumbuhan

    itu sendiri mungkin tidak tahan lama dan berkelanjutan, karena itu penting untuk mendasarkan strategi

    pengentasan kemiskinan pada pertumbuhan ekonomi yang cepat namun berkelanjutan. Tantangan terpenting bagi pembuat kebijakan adalah memastikan pra-kondisi kelembagaan dan menggabungkan

    kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-miskin yang akan memungkinkan kaum miskin untuk berpartisipasi

    dalam peluang dan berkontribusi untuk pertumbuhan di masa depan. Penelitian ini mewakili kontribusi sederhana analisis saling ketergantungan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, dan dapat berfungsi

    sebagai dasar untuk penelitian masa depan. Penelitian lainnya, seperti Hassan, et al. (2015) yang meneliti

    kekuatan pendorong utama yang mempengaruhi pola emisi karbon jangka pendek dan jangka panjang

  • 11

    karena perubahan dalam pertumbuhan, ketimpangan dan segitiga kemiskinan di Pakistan selama periode

    1980-2011. Hasil penelitiannya menyimpulkan kemiskinan adalah faktor utama yang berkontribusi

    terhadap degradasi lahan karena memaksa jutaan orang menghancurkan sumber daya yang ada di sekitar mereka hanya untuk bertahan hidup. Dalam jangka pendek ada pengaruh negatif (-) antara kemiskinan

    dengan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dalam jangka panjang tidak ada hubungan (?) antara

    kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi.

    Penanaman modal asing dianggap merupakan sesuatu yang dapat mengisi celah yang ada antara tabungan yang dihimpun dari dalam negeri, cadangan devisa, penerimaan pemerintah dan keahlian di satu

    pihak dan jumlah yang dibutuhkan untuk mencapai sasaran pembangunan di pihak lain (Todaro, 2000).

    Penelitian mengenai pengaruh antara investasi asing terhadap pertumbuhan ekonomi dilakukan Anetor (2020) dengan judul “Financial development threshold, private capital inflows and economic growth”.

    Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara arus masuk modal swasta, pengembangan

    keuangan dan pertumbuhan ekonomi di 28 negara Afrika sub-Sahara (SSA) antara periode 1995 dan 2017. Hasil penelitiannya menyimpulkan investasi asing langsung memiliki dampak negatif (-) dan

    signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara SSA. Penelitian Hossain & Hossain (2012) dengan

    judul “Empirical Relationship between Foreign Direct Investment and Economic Output in South Asian

    Countries: A study on Bangladesh, Pakistan and India”. Hasil penelitiannya menyimpulkan tidak ada ko-integrasi (?) antara FDI dan PDB dalam jangka panjang dan pendek di Bangladesh dan India. Namun, ada

    ko-integrasi (+) di antara keduanya dalam jangka pendek dan panjang di Pakistan. Sebaliknya, hasil

    Granger Causality menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas (?) antara GDP dan FDI untuk Bangladesh dan hubungan searah ditemukan untuk Pakistan dan India, yang berarti FDI menyebabkan (+)

    output ekonomi di Pakistan.

    International Monetary Fund dalam pertemuan Interim Committee (1996), mengidentifikasi perbaikan tata kelola yang baik dalam semua aspeknya, termasuk memastikan supremasi hukum,

    meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas sektor publik, dan memberantas korupsi sebagai kunci efisiensi

    dan pertumbuhan ekonomi (Basu, 2002). Menurut IMF salah satu poin dari pertemuan adalah

    akuntabilitas sektor publik sebagai kunci efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan

    dan mengungkapkan segala aktivitas kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi

    amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2002). Pengawasan merupakan hal penting dalam upaya untuk menjamin suatu kegiatan terlaksana sesuai

    dengan rencana yang ingin dicapai. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Pengawasan

    adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang

    sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk

    mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya

    telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan (Kadarman, 2001). Pengawasan merupakan rangkaian kegiatan pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan

    kebijakan. Pengawasan dilakukan untuk menjamin semua kebijakan program dan kegiatan yang

    dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pengawasan dilakukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah disusun dapat berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis.

    Teori stewardship berasumsi bahwa manusia pada hakikatnya bertindak dengan penuh

    tanggungjawab, dapat dipercaya, berintegritas tinggi dan memiliki kejujuran. Manajemen melaksanakan

    tindakan sebaik-baiknya untuk kebutuhan stakeholder yaitu: rakyat, pemegang saham, penanam modal, dan kreditur (Donaldson & Davis, 1991). Manajemen dalam suatu organisasi dicerminkan sebagai good

    steward yang melaksanakan tugas dari atasannya secara penuh tanggungjawab. Hubungan teori

    stewardship dengan penelitian ini yaitu prinsip bahwa pemerintah sebagai manajer merasa mempunyai tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan dan pengalokaisan sumber daya yang ada dengan cara lebih

    bijaksana dan berhati-hati untuk kepentingan masyarakat luas. Pemerintah wajib memberikan laporan

    pertanggungwajaban dalam APBD kepada rakyat dalam bentuk LKPD yang telah diaudit oleh BPK.

  • 12

    Penelitian yang dilakukan Aikins (2011) yang berjudul “An examination of government internal

    audits' role in improving financial performance” menyimpukan bahwa secara umum auditor pemerintah

    daerah lebih banyak melakukan audit di wilayah operasional yang berhubungan dengan penerimaan dan pengeluaran fiskal. Selain itu, pekerjaan auditor secara signifikan mempengaruhi kinerja keuangan

    pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan pengendalian

    internal dan efisiensi operasi. Peningkatan kinerja keuangan daerah akan berdampak (+) pada

    pembangunan ekonomi. Penelitian lain yang dilakan oleh Din, et al. (2017) dengan judul “The follow up of auditing results, accountability of financial reporting and mediating effect of financial loss rate: an

    empirical study in Indonesian local governments”. Hasil penelitiaanya menyimpulkan bahwa tindak lanjut

    investigasi keuangan mengurangi tingkat kerugian keuangan sehingga meningkatkan akuntabilitas pelaporan keuangan pemerintah daerah dan meningkatkan (+) kinerja keuangan pemerintah daerah.

    Sedangkan penelitian Muda, et al (2018) dengan judul “Factors of quality of financial report of

    local government in Indonesia” menyimpulkan hasil penelitian menunjukkan pengaruh sistem informasi akuntansi terhadap kualitas laporan keuangan pemerintah daerah dan pengendalian intern tidak

    berpengaruh (?) terhadap kualitas laporan keuangan. Penelitian lainnya Sutopo, dkk (2017) dengan judul

    “E-government, audit opinion, and performance of local government administration in Indonesia”

    menyimpulkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa e-government memiliki hubungan positif dengan kinerja penyelenggara pemerintahan daerah. Ini didukung oleh asosiasi positif antara dimensi e-

    government dengan kinerja. Opini audit juga berhubungan positif dengan kinerja seperti yang diharapkan.

    Hasil ini menunjukkan bahwa e-government dan opini audit dapat digunakan sebagai indikator kinerja penyelenggara pemerintahan daerah.

    Model hubungan antar variabel (pertumbuhan ekonomi, belanja daerah, dana perimbangan dan

    variable mkkro) baik persamaan tunggal maupun persamaan berganda, pada umumnya disusun berdasarkan suatu teori ekonomi yang melandasi adanya hubungan antar variabel yang digunakan dalam

    sistem persamaan tersebut. Kenyataannya seringkali teori ekonomi tidak mampu memberikan penjelasan

    mengenai kondisi dinamis yang terjadi antara variabel ekonomi yang ada dan munculnya fenomena

    ekonomi baru. VECM yang dikenalkan Sims merupakan metode estimasi yang menjawab kondisi ketidakmampuan teori ekonomi dalam menjelaskan hubungan antar variabel ekonomi dengan sebuah

    model nonstruktural atau model tidak teoritis (model ateoritis). Dengan sifatnya yang tidak bergantung

    pada suatu teori ekonomi tertentu, maka dalam model VECM perlu ditentukan (Nachrowi, 2006): variabel yang saling berinteraksi (menyebabkan) yang perlu dimasukkan dalam sistem persamaan. Banyaknya

    variabel jeda (lag) yang perlu diikutsertakan dalam model yang diharapkan dapat menangkap keterkaitan

    antar variabel dalam sistem persamaan.

    Berdasarkan fenomena dan beberapa penelitian terdahulu yang telah diuraikan diatas, maka menarik untuk menganalisis faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi di beberapa provinsi di

    wilayah Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan peranan kebijakan fiskal: (1) belanja

    pendidikan; (2) belanja kesehatan; (3) belanja pertanian; (4) belanja perikanan dan kelautan; (5) dana alokasi umum; variabel makro seperti: (6) jumlah penduduk; (7) penduduk miskin; (9) Investasi Asing

    Langsung; dan (9) opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD); serta (10) status

    daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia, sehingga dapat menciptakan efektivitas dan keselarasan dalam pembangunan ekonomi daerah, serta terciptanya good governance.

    B. Rumusan Masalah Sejalan dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dan beberapa penelitian

    terdahulu, maka perumusan masalah tentang pengaruh pengeluaran publik, ekonomi makro dan opini

    BPK (Kualitas Kelembagaan) terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2008-2018 di 20 provinsi di Indonesia adalah :

    1. Apakah pengeluaran pemerintah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Pengeluaran pemerintah yang dimaksud adalah :

  • 13

    a. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian yang dilakukan Besarria, et al. (2018) dan Perović & Golem (2019) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran pemerintah untuk pendidikan

    berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. b. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Naidu & Chand (2013) dan Mohapatra

    (2017) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran pemerintah untuk kesehatan berpengaruh terhadap

    pertumbuhan ekonomi daerah.

    c. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Xu, et al. (2011) dan Armas, et al. (2012) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran untuk pertanian berpengaruh terhadap pertumbuhan

    ekonomi daerah.

    d. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Huda, dkk (2015) dan Novianti, dkk. (2014) dapat dirumuskan: apakah pengeluaran pemerintah untuk perikanan dan kelautan

    berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    2. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Purbadharmaja, dkk. (2019) dan Thimmaiah, (2000) dapat dirumuskan: apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap

    pertumbuhan ekonomi wilayah.

    3. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Rahman, at al. (2017) dan Doran, (2012) dapat dirumuskan: apakah jumlah penduduk berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    4. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian Škare & Družeta (2016) dan Hassan, at al. (2015) dapat dirumuskan: apakah jumlah orang miskin berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi

    daerah. 5. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelitian yang dilakukan Anetor (2020) dan Hossain &

    Hossain (2012) dapat dirumuskan: apakah penanaman modal asing berpengaruh terhadap

    pertumbuhan ekonomi daerah. 6. Berdasarkan uraian latar belakang dan hasil penelian yang dilakukan Din, et al. (2017) dan Aikins

    (2011), serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 pada Penjelasan Pasal 16 ayat (1) dapat

    dirumuskan: apakah opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah berpengaruh

    terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 7. Berdasarkan uraian latar belakang dan Keputusan Menteri ESDM No 4618 K/80/MEM/2016 tentang

    provinsi penghasil SDA Minyak Bumi di atas 5 juta perbarel dapat dirumuskan: apakah status daerah

    berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian tentang pengaruh komposisi belanja pemerintah, ekonomi makro dan opini

    BPK terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tahun 2008-2018 di 20 provinsi di Indonesia sebagai berikut:

    1. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Belanja pemerintah yang dimaksud : a. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi

    daerah.

    b. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk kesehatan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    c. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    d. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah untuk perikanan dan kelautan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    2. Menganalisis pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 3. Menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 4. Menganalisis pengaruh jumlah penduduk miskin terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. 5. Menganalisis pengaruh penanaman modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

  • 14

    6. Menganalisis pengaruh Opini Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    7. Menganalisis pengaruh status daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

    D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan beberapa kegunaan atau manfaat sebagai berikut :

    1. Secara umum memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang peran kebijakan fiskal (belanja pemerintah daerah), dana bagi hasil, jumlah penduduk dan penduduk miskin, serta investasi

    asing dalam pembangunan ekonomi daerah. Melalui koefisien hasil regresi menunjukkan nilai

    apakah kebijakan fiskal (belanja pemerintah) yang diberlakukan sudah efektif atau belum, sehingga dapat menjadi bahan diskusi untuk pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah.

    2. Secara teoritis menjadi bahan referensi untuk pengembangan keilmuan khususnya dalam bidang ekonomi makro dan perencanaan pembangunan ekonomi daerah, dan dapat menjadi acuan/referensi bagi penelitian-penelitian sejenis dimasa yang akan datang.

    3. Secara praktis menjadi masukan bagi pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pemerintah di bidang kebijakan fiskal dan perencanaan pembangunan ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan

    masalah pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan fiskal, jumlah penduduk, penduduk miskin, investasi dan opini BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dan status daerah dalam

    mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah.

  • 15

    BAB II

    TELAAH PUSTAKA, PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN KERANGKA

    KONSEPTUAL PENELITIAN

    A. Kajian Pustaka Pengkajian pustaka yang digunakan dibagi dalam dua kajian yaitu pendekatan teori dan

    penelitian terdahulu. Pendekatan teori meliputi teori pertumbuhan pendekatan Klasik, pendekatan

    Keynes, pendekatan Neo-Keynes, pendekatan Neo-Klasik, pendekatan Strukturalis, tahapan linear WW Rostow.

    1. Otonomi Daerah Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada

    daerah kabupaten dan kota. Tuntutan seperti itu wajar dan memiliki dua alasan. Pertama, intervensi

    pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya

    kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan

    demokrasi di daerah (Mardiasmo, 1999). Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati sehingga

    pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan bukan sebagai

    alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah tidak sesuai lagi

    dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan. dan tuntutan pernyelenggaraan pemerintahan daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah disempurnakan sebanyak dua

    kali. Penyempurnaan yang pertama dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

    2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun perubahan kedua ialah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

    2014 tentang Pemerintahan Daerah.

    Serangkaian UU Nomor 23 Tahun 2014 beserta perubahan-perubahannya tersebut menyebutkan adanya perubahan susunan dan kewenangan pemerintahan daerah. Seusunan

    pemerintahan daerah menurut UU ini meliputi pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah

    kebupaten, dan DPRD. Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD

    provinsi. Adapun pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota

    dan DPRD kabupaten/kota.

    Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan

    otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2002), yaitu: meningkatkan kualitas dan

    kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat

    untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

    Undang-Undang No 23 tahun 2014 akan berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah.

    Hal ini berkaitan erat dengan konsep otonomi dan desentralisasi yang pada hakekatnya memberikan kekuasan, kewenangan dan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menentukan

    penggunaan dana untuk melaksanakan urusan-urusan daerahnya. Untuk membiayai pelaksanaan asas

    desentralisasi maka pembiayaan kegiatan-kegiatan tersebut bersumber dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Sumber-sumber pokok keuangan daerah terdiri dari Pendapatan Asli

    Daerah dan Dana Perimbangan akan berimplikasi pada struktur dan proporsi pengeluaran pada

    APBN dan penerimaan pada APBD.

    15

  • 16

    2. Desentralisasi Fiskal Konsep desentralisasi yang diberlakukan di Indonesia telah memberikan implikasi yang

    sangat mendasar terutama menyangkut kebijakan fiskal dan kebijakan administrasi negara. Desentralisasi didefinisikan sebagai transfer perencanaan, pengambilan keputusan dan atau

    kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi pusat di daerah, unit administrasi

    lokal, organisasi semi otonomi dan perusahaan, pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah

    (Rondinelli & Cheema, 1983). Perbedaan konsep desentralisasi ditentukan terutama berdasarkan tingkat kewenangan untuk perencanaan, memutuskan dan mengelola kewenangan yang ditransfer

    oleh pemerintah pusat dan besaran otonomi yang diterima untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut.

    Sementara itu filosofi desentralisasi yang bermakna devolusi menurut pengertian Rondinelli, menguraikan substansi kewenangan, khususnya di Indonesia dengan rincian sebagai berikut:

    a. Kewenangan absolut (distinctive); hanya dimiliki pusat yaitu pertahanan keamanan, agama, moneter, peradilan dan politik luar negeri.

    b. Kewenangan bersama (concurrent) dikerjakan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupeten/kota. Kewenangan concurrent ada yang bersifat wajib (obligatory) dan ada yang

    bersifat optional (core competence). Kewenangan wajib harus diikuti oleh Standar Pelayanan

    Minimal. Menurut teori ekonomi publik, fungsi ekonomi pemerintah terdiri dari 3 fungsi yaitu

    (Musgrave, 1984):

    a. Fungsi Alokasi Melalui fungsi alokasi, maka APBN terutama sisi pengeluaran ditujukan untuk sektor-sektor

    pembangunan. Misalnya untuk dekade sekarang, masalah pengangguran menjadi sangat penting

    sehingga menjadi muatan normatif dalam UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Fungsi alokasi tidak hanya ditujukan untuk masalah pengangguran saja tetapi juga untuk meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi, maka porsi anggaran untuk pembangunan infrastruktur harus mendapatkan

    prioritas utama. Hal ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave

    dalam Mangkoesoebroto (2002) yang menyatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi seharusnya belanja pemerintah menyediakan infrastruktur seperti pendidikan, kesehatan,

    infrastruktur transportasi, dan sebagainya. Oleh karena itu, pada tahap ini persentase investasi

    pemerintah sangat besar. Pada tahap intermediate pembangunan ekonomi yang ditandai dengan belanja pemerintah yang difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat lepas

    landas. Dengan demikian investasi pemerintah tetap diperlukan guna mendukung guna

    meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada tahap ini, investasi swasta telah tumbuh sehingga peran

    dan kontribusi swasta dalam pembangunan relatif lebih besar dari pada tahap pertama.

    b. Fungsi Distribusi Melalui fungsi distribusi, komponen pengeluaran dalam anggaran mempunyai dimensi

    pemerataan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, pengeluaran untuk membangun infrastruktur ekonomi seperti jalan, bendungan, dan lain-lain, akan memberikan manfaat kepada

    semua pihak. Atau, pembukaan daerah terisolasi akan cenderung menguatkan terms of trade

    kelompok masyarakat terpencil. Manfaat marjinal tindakan ini yang terbesar biasanya akan dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah dibandingkan mereka

    yang berpenghasilan tinggi, dimana yang terakhir ini sebelumnya telah memiliki akses (meskipun

    terbatas). Peran distribusi APBN berkaitan juga derhadap usaha untuk memperbaiki kegagalan

    mekanisme pasar (market failure) dalam mengangkat kelompok masyarakat yang berpendapatan bawah dan memperbaiki distribusi pendapatan. Fungsi ini berjalan secara paralel dengan aspek

    penerimaan dimana dengan sistem pajak yang progresif akan memberikan beban pajak yang fair

    sesuai dengan pendapatan yang diterima oleh masing-masing kelompok pendapatan dan kemudian disalurkan melalui pengeluaran pemerintah. Distribusi juga dilakukan untuk pembangunan daerah

    tertinggal. Saat ini Indonesia menghadapi pembangunan yang tidak merata sehingga masih banyak

    daerah yang tertinggal. Fungsi distribusi juga akan menunjukkan bahwa APBN merupakan produk

  • 17

    kebijakan pemerintah yang bersifat politis. Adanya pengeluaran untuk subsidi adalah salah satu

    contohnya. Walaupun secara teori subsidi baik BBM maupun non BBM merupakan distorsi di dalam

    perekonomian, namun pemerintah tetap menganggarkannya di dalam APBN. Hal ini diyakini tidak hanya sebagai upaya untuk melindungi kelompok masyarakat miskin dalam mempertahankan tingkat

    konsumsinya namun juga untuk meredam terjadinya konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

    Dalam prakteknya fungsi tersebut menjadi bagian dari penyusunan APBN. Fungsi ini juga menjadi

    bagian dari politik anggaran. Menurut Wang, et al. (2018) dalam penelitian yang berjudul The impacts of transportation

    infrastructure on sustainable development: emerging trends and challenges, menyimpulkan

    Infrastruktur transportasi memiliki dampak yang sangat besar pada pembangunan berkelanjutan. Temuan studi ini memberikan pemahaman mendalam kepada para peneliti dan praktisi tentang

    dampak infrastruktur transportasi terhadap pembangunan berkelanjutan melalui ekspresi visual.

    Peneliti lainnya Ansar, et al (2016) dengan judul penelitiannya Does infrastructure investment lead to economic growth or economic fragility? Evidence from China mengungkap mitos kembar bahwa

    infrastruktur menciptakan nilai ekonomi, dan China memiliki keunggulan tersendiri dalam

    penyampaiannya. Jauh dari menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, investasi infrastruktur pada

    umumnya gagal memberikan pengembalian positif yang disesuaikan dengan risiko. Selain itu, rekam jejak China dalam menyediakan infrastruktur tidak lebih baik dari rekam jejak negara demokrasi

    yang kaya. Berinvestasi dalam proyek-proyek yang tidak produktif pada awalnya menghasilkan

    ledakan, selama konstruksi sedang berlangsung, diikuti oleh kegagalan, ketika manfaat yang diperkirakan gagal terwujud dan itu menjadi penghambat ekonomi. Di mana investasi dibiayai oleh

    utang, investasi berlebihan dalam proyek-proyek yang tidak produktif menghasilkan penumpukan

    utang, ekspansi moneter, ketidakstabilan di pasar keuangan, dan kerapuhan ekonomi. Hasilnya investasi infrastruktur yang tidak dikelola dengan baik adalah penjelasan utama yang memunculkan

    masalah ekonomi dan keuangan di China.

    c. Fungsi Stabilisasi Melalui fungsi stabilisasi, APBN sebagai alat stabilisasi perekonomian agar berjalan dalam

    kapasitasnya. Jika perekonomian dalam keadaan lesu maka peran pemerintah melakukan intervensi

    dengan menambah pengeluaran, atau sebaliknya jika perekonomian terlalu panas atau pada saat permintaan aggregat domestik tumbuh di atas kemampuan sektor penawaran untuk tumbuh, maka

    peran pemerintah melakukan kebijakan fiskal ketat. Dalam stabilisasi tersebut pada dasarnya dilihat

    dari dua hal, yaitu alat pengendali inflasi dan penstabil pertumbuhan ekonomi. Kedua hal ini pada

    dasarnya memiliki hubungan yang sangat erat. APBN juga dapat mengurangi dampak inflasioner dengan melakukan sterilisasi anggaran, yaitu meningkatkan simpanan pemerintah pada Bank

    Indonesia atau mempercepat pembayaran beban utang luar negeri. Dengan demikian dalam

    penetapan APBN, mengacu kepada UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, Bank Indonesia memberikan pendapat dan

    pertimbangan kepada Pemerintah mengenai RAPBN (Pasal 54 Ayat 2). Praktek tujuan APBN

    terhadap stabilisasi ini, misalnya dilakukan oleh Kabinet Ampera yang dibentuk dalam bulan Juli 1966 dengan tujuan pokoknya adalah meningkatkan taraf hidup rakyat banyak terutama dalam

    bidang sandang dan pangan, dimana dalam melaksanakan program stabilisasi ekonomi

    (pengendalian inflasi) dan program rehabilitasi (pemulihan produksi) dipakai skala prioritas, yang

    salah satunya adalah pengendalian inflasi. Penelitian yang dilakukan Mauro & Zilinsky (2015) dengan judul Fiscal Tightening and

    Economic Growth: Exploring Cross-Country Correlations. Policy Brief, menyimpulkan

    penghematan dibentuk oleh plot sebar sederhana yang dimaksudkan untuk menggambarkan dampak negatif yang besar dari penghematan fiskal pada pertumbuhan ekonomi. Hasilnya mengungkapkan

    gambaran yang beragam, memberikan dukungan parsial pada gagasan bahwa pilihan fiskal dan

    pertumbuhan output terkait secara empiris. Peneliti lain Attinasi & Klemm (2016) menganalisis

  • 18

    dampak kebijakan fiskal diskresioner terhadap pertumbuhan ekonomi untuk sampel 18 negara Uni

    Eropa selama periode 1998-2011. Dengan menggunakan teknik data panel statis dan dinamis,

    ditemukan bahwa konsolidasi fiskal dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, meskipun beberapa kategori anggaran tertentu tidak ditemukan signifikan secara statistik.

    Secara umum, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa penyesuaian berbasis pengeluaran cenderung

    tidak terlalu berbahaya dibandingkan penyesuaian berbasis pendapatan. Di antara pemotongan

    pengeluaran, pengurangan investasi dan konsumsi pemerintah terbukti mengurangi pertumbuhan. Penelitian Ali, et al. (2010) yang berjudul The effects of fiscal policy on economic growth:

    empirical evidences based on time series data from Pakistan menyelidiki efektivitas kebijakan fiskal

    dan dampaknya terhadap kegiatan ekonomi makro di Pakistan selama periode 1972–2008. Dengan menggunakan model Auto Regressive Distribute Lag (ARDL), hasil penelitiaanya menemukan

    bahwa defisit fiskal secara keseluruhan memberikan efek negatif pada pertumbuhan ekonomi dalam

    jangka panjang. Dengan demikian, kontraksi fiskal ekspansif terjadi di Pakistan. Untuk memperkirakan dinamika jangka pendek, menggunakan Mekanisme Koreksi Kesalahan (ECM).

    Dalam jangka pendek, defisit fiskal secara keseluruhan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan

    ekonomi. Studi tersebut merekomendasikan bahwa defisit anggaran harus berada di kisaran sempit 3

    hingga 4 persen dari PDB. Di luar batas ini, defisit anggaran yang tidak berkelanjutan dapat menimbulkan biaya makroekonomi yang tidak diinginkan dan tujuan makroekonomi pemerintah

    seperti inflasi rendah dan pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai.

    Konsep desentralisasi fiskal dengan demikian seperti dirumuskan oleh De Mello (2000) adalah dimaksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan faktor-

    faktor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan. Dengan membawa

    pemerintah lebih dekat ke masyarakat, desentralisasi fiskal diharapkan dapat mendorong efisiensi sektor publik, juga akuntabilitas publik dan transparansi dalam dalam penyediaan jasa publik serta

    pembuatan keputusan yang transparan dan demokratis. Berbagai kajian dampak desentralisasi

    terhadap perekonomian dan public services delivery dapat dijelaskan dalam kerangka teori fiscal

    federalism. Teori ini dibagi dalam dua perspektif, yaitu teori tradisional atau teori generasi pertama (First Generation Theories) dan teori perspektif baru atau teori generasi kedua (Second Generation

    Theories).

    3. Pengeluaran Negara Menurut Chandler dan Plano (1988) kebijakan publik adalah pemanfaatan secara strategis

    terhadap segala sumber daya untuk menyelesaikan masalah dimasyarakat dan atau pemerintah dan

    dapat diklasifikasikan sebagai intervensi pemerintah. Sedangkan Carl Frederich (1977) kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang atau kelompok, atau pemerintah

    dalam suatu lingkungan tertentu dengan ancaman dan peluang yang ada. Kebijakan publik dapat kita

    simpulkan sebagai tindakan untuk mencapai tujuan bernegara yang merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu, ruang lingkup kebijakan publik diantaranya adalah bagaimana pemerintah

    mengelola segala aspek yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya keuangannya dan bagaimana

    melakukan pengelolaan pemanfaatan melalui kebijakan belanja negara. Kebijakan belanja negara yang merupakan bagian kebijakan publik, secara umum dapat kita klasifikasikan menjadi 3 jenis.

    Yaitu :

    a. Kebijakan Umum Ekstratif, adalah kebijakan penyerapan sumber daya yang ada dimasyarakat. Seperti; pemungutan pajak dan tarif, iuran dan retribusi dari masyarakat, dan pengolahan sumber alam yang terkadung dalam wilayah negara.

    b. Kebijakan Umum Distributif adalah pelaksanaan kebijakan distribusi dan alokasi berbagai sumber daya kepada masyrakat. Distribusi dalam kebijakan ini berarti membagikan secara relatif merata kepada semua anggota masyarakat, sedangkan alokasi berarti yang mendapat cenderung

    kelompok atau sektor masyarakat tertentu sesuai dengan skala prioritas yang ditetapkan atau

    sesuai dengan situasi yang dihadapi pada suatu kurun waktu

  • 19

    c. Kebijakan Umum Regulatif, merupakan pengaturan perilaku anggota masyarakat. Kebijakan umum yang bersifat regulatif adalah peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh warga

    masyarakat dan para penyelenggara pemerintahan negara. Peningkatan Pengeluaran Pemerintah dari waktu ke waktu akan selalu mengalami peningkatan, hal ini diakibatkan karena terjadi perubahan atau gejolak ekonomi, sosial, dan politik. Berikut ini

    tokoh-tokoh ekonomi yang membahas peran pemerintan yang selalu mengalami peningkatan:

    a. Rostow dan Musgrave Rostow dan Musgrave menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan

    tahap-tahap pembangunan ekonomi dalam Negara. Tahap awal perkembangan pembangunan

    ekonomi peran pemerintah sangat besar terutama dalam penyediaan sarana prasarana, misalnya sarana pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Tahap berikutnya adalah tahap menengah peran

    investasi swasta menjadi lebih besar tetapi masih diperlukan peran pemerintah untuk meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi di samping peran pemerintah menjadi semakin besar. Peran pemerintah yang semakin besar karena terjadi kegagalan pasar (market failure) akibat peran swasta yang besar dan

    juga kewajiban pemerintah menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang besar dengan

    kualitas yang lebih baik karena pertumbuhan dan tuntutan kesejahteraan semakin tinggi

    (Suparmoko, 1987). Hubungan antarsektor bersifat lebih rumit, misalnya kebijakan pembangunan ekonomi yang dilakukan dengan meningkatkan sektor industri, dengan banyaknya industri akan

    menyebabkan akibat negatif berupa pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat banyak,

    keadaan ini menuntut keterlibatan pemerintah untuk mengurangi aspek negatif tersebut juga menjadi mediator atas tuntutan buruh untuk kenaikan upah. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi,

    aktivitas pemerintah mulai beralih dari penyediaan sarana prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas

    sosial, misalnya program pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin, pelayanan kesehatan lansia.

    b. Adolf Wagner Pengamatan Adolf Wagner di beberapa negara Eropa, AS, dan Jepang pada abad XIX tentang

    perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP, hasil pengamatannya disebut hukum semakin meningkatnya kegiatan pemerintah (law of ever increasing

    state activity). Jadi, apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran

    pemerintah juga akan meningkat (Suparmoko, 1987). Dalam pertumbuhan ekonomi, hubungan antarpelaku ekonomi, yaitu antarindustri dengan industri, industri dengan masyarakat akan semakin

    kompleks sehingga perlu peran pemerintah yang lebih besar baik dalam bentuk pengaturan maupun

    sebagai fasilitator di mana hal ini akan menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi semakin

    besar pula.

    c. Peacock dan Wiseman Teorinya Peacock dan Wiseman didasarkan pada asumsi bahwa ada kecenderungan tindakan

    pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya tetapi pada sisi lain akan mengakibatkan beban

    masyarakat dalam bentuk pajak menjadi lebih besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah

    tersebut (Suparmoko, 1987). Sementara menurut Peacock dan Wiseman ada titik toleransi pajak yaitu suatu tingkat di mana masyarakat dapat memahami besarnya pemungutan pajak yang

    dibebankan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Adanya titik toleransi pajak ini merupakan

    penghambat bagi pemerintah untuk terus menaikkan pemungutan pajak. Tercapainya perkembangan

    ekonomi akan menyebabkan pemungutan pajak menjadi semakin besar walaupun pemerintah tidak menaikkan tarif pajak, adanya kenaikan penerimaan pajak ini akan menyebabkan pengeluaran

    pemerintah meningkat pula. Akan tetapi, apabila kondisi tersebut terganggu oleh gejolak sosial,

    misalnya karena perang maka pemerintah akan lebih memperbesar pengeluarannya untuk membiayai kegiatan baru tersebut yaitu dengan menaikkan tarif pajak. Namun, kebijakan pemerintah menaikkan

    penerimaan dari sektor pajak melalui kenaikan tarif akan mengurangi dana swasta yang seharusnya

    digunakan untuk konsumsi dan investasi sehingga tingkat investasi dan konsumsi masyarakat

  • 20

    menjadi turun. Keadaan ini disebut dengan efek pengalihan (displacement effect), yaitu karena

    adanya gejolak sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Di

    samping itu, untuk membiayai penanganan gejolak sosial atau perang pemerintah tidak hanya mengandalkan penerimaannya dari sektor pajak tetapi sering menutupnya melalui pinjaman. Apabila

    gejolak sosial atau perang telah dapat diatasi sehingga tercipta suasana aman maka pemerintah tidak

    lagi memerlukan dana untuk membiayai perang sehingga seharusnya pemerintah akan menurunkan

    tarif pajak pada suatu tingkat sebelum perang tersebut terjadi. Namun, pemerintah tidak melakukan kebijakan penurunan tarif karena pemerintah masih memerlukan dana untuk membayar utang. Jadi,

    adanya peningkatan pengeluaran pemerintah pada saat perang telah selesai selain karena

    peningkatan GNP juga karena ada kewajiban untuk mengembalikan utang beserta bunganya di samping ada kegiatan baru dari pemerintah setelah perang usai, kondisi ini disebut efek inspektasi

    (inspec