Click here to load reader
Upload
priscila-ratna-suprapto
View
154
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah pbl neuro
Vertigo Sentral dan Perifer
Priscila Ratna Suprapto*
NIM : 102010262
12 November 2012
Mahasiswa Fakultas kedokteran UKRIDA
Pendahuluan
Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-olah benda
di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual dan
kehilangan keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa berlanjut
sampai beberapa jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih baik jika berbaring diam,
tetapi biasanya vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama sekali.1
Vertigo merupakan keluhan yang sangat mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
Sampai saat ini sangat banyak hal yang dapat menimbulkan keluhan vertigo. Dengan adanya
makalah ini, pembaca diharapkan mengerti mengenai gejala, kondisi fisik, komplikasi dan
proses teerjadinya vertigo sentral maupun perifer.
*Alamat Korespodensi
Priscila Ratna Suprapto
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510.
No. Telp (021-8476756) email: [email protected]
Anamnesis
Hal paling utama yang harus dilakukan oleh seorang dokter adalah anamnesis. Yaitu
menyanyakan keadaan pasien sebelum datang ke rumah sakit (RS). Apa saja keluhan yang
dirasakannya dan dapat menempatkan rasa empati dengan benar, serta mendapatkan
kepercayaan pasien sehingga pasien dapat menceritakan semua yang dirasakannya tanpa
menutup-nutupi apa yang dia alami.
Apabila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diajak berbicara mengenai penyakitnya,
maka anamnesis ini dapat dilakukan oleh orang terdekat atau orang yang mengantarkan
pasien ke tempat praktek atau unit gawat darurat (UGD) yang disebut dengan allo anamnesis.
Sangat penting untuk mendapatkan anamnesis yang akurat, karena dari anamnesis, dokter
dapat mengetahui gejala-gejala yang dialami pasien sehingga dapat mengenali lebih lagi
penyakit apa yang dialami oleh pasien.
Jika kita mencurigai adanya gejala dan keluhan vertigo, maka hendaklah kita lakukan
anamnesis dengan baik. Diantaranya kita dapat melakukan anamnesis sebagai berikut.1,2
a. Identitas pasien (Nama, Usia, Pekerjaan, dll).
b. Keluhan Utama
Pusing berputar : kapan mulai serangan pertama? Sudah berapa kali
serangan sampai sekarang?
Intensitas beratnya serangan : tetap? makin berat? atau malah menurun?
Mual muntah : sejak kapan? Intensitas? Ada faktor pemicu lain atau tidak?
Adakah riwayat trauma ?
c. Riwayat penyakit sekarang
Pada setiap serangan : apakah ada fluktuasi pendengaran (pendengaran
menjadi berkurang) akan tetapi bila tidak ada serangan, pendengaran baik
kembali?
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pernah seperti ini sebelumnya?
Apakah ada riwayat darah tinggi sebelumnya? Sejak kapan?
e. Riwayat penyakit Keluarga
Apakah ada keluarga yang mengalami masalah yang sama?
Apakah anggota keluarga ada yang menderita Hipertensi ?
f. Riwayat penyakit sosial
Bagaimana pola hidup ?
Apakah rajin berolah raga atau tidak?
Ada beberapa patokan yang perlu diingat pada anamnesis penderita pusing: Kejelasan
keluhan pasien.2
Umumnya pasien datang dengan keluhan pusing atau mengeluh pusing, rasa ma-bok,
kepala terasa enteng, sempoyongan dan sebagainya. Mintalah kepada pasien untuk
menjelaskan apa yang dirasakannya atau apa yang dimaksudkannya tersebut. Apabila selama
mewawancarai pasien tidak juga jelas apa yang dikeluhkannya, sebaiknya pada pemeriksaan
dengan menggunakan tes simulasi pusing ditanyakan apakah keluhannya sama dengan
perasaan yang timbul pada saat pemeriksaan tersebut.2
Berat ringannya serangan
Serangan ringan dapat berupa gangguan keseimbangan saja, sedangkan serangan yang
berat dapat berupa perasaan berputar-putar. Serangan berat dapat disertai keluhan enek,
muntah-muntah, muka pucat, keringat dingin dan jantung berdebar-debar. Serangan yang
sangat hebat menyebabkan pasien berbaring diam, takut bergerak karena setiap gerakan dapat
memperhebat penderitannya, ia tidak dapat berdiri tanpa bantuan. Gambaran tersebut di atas
menjadi erat gangguan perifer. Perlu pula diingat berat ringannya vertigo yang menyertai
gangguan vestibular perifer sebanding dengan kehebatan nistagmusnya. Pada keluhan sebagai
akibat gangguan sentral, pusing terjadi terus menerus dan lebih bersifat keluhan subyektif.
Dapat disertai keluhan sakit kepala, gangguan kesadaran, diplopia, disartri, disfagi dan
gangguan neurologik lain.
Pengaruh gerakan kepala terhadap keluhan
Apakah keluhan timbul atau bertambah berat pada waktu menggelengkan kepala,
menundukkan kepala atau menengadah. Apakah keluhan timbul pada waktu bangun pagi.
Pengaruh posisi tubuh terhadap keluhan.
Kadang-kadang pada posisi tubuh tertentu, yaitu berbaring terlentang miring ke kiri
atau ke kanan dapat menimbulkan keluhan. Keluhan dapat juga timbul bila pasien
berbaring terlentang sedangkan kepala melihat ke kiri atau ke kanan. Pengaruh gerakan
kepala dan posisi tubuh lebih sering dijumpai pada keluhan sebagai akibat lesi perifer,
pada lesi sentral pengaruh tersebut kurang.
Tipe serangan
Apakah intensitasnya konstan atau timbul dalam kelompok serangan. Pada penya-
kit Meniere serangan terjadi berkali-kali dan berkelompok (cluster). Pada penyakit
vaskular dan vestibular neuronitis biasanya intensitas serangan konstan. Perlu pula
diketahui apakah serangan disertai dengan puisi lateral. Adanya puisi lateral menjadi
tanda adanya lesi labirin atau gangguan arteri basilaris.
Apakah ada gangguan pendengaran ?
Adanya gangguan pendengaran dapat menjadi pegangan dalam menentukan letak
lesi yaitu di saraf otak ke delapan atau di labirin. Gangguan pendengaran tersebut
dapat berupa tinitus atau berkurangnya ketajaman pendengaran.
Apakah ada gangguan kesadaran ?
Adanya gangguan kesadaran dapat merupakan petunjuk adanya gangguan
vaskular atau epilepsi. Perlu pula ditanyakan apakah rasa pusing menghilang bila
penderita menutup matanya dan apakah ia sedang mendapat pengobatan; serta
penyakit-penyakit yang pernah atau sedang diderita pasien.
Pemeriksaan
1. Fisik
Pemeriksaan fisik yang berupa pemeriksaan umum dan khusus dilakukan untuk
memperkuat penegakkan diagnosa. Lakukan pengamatan berupa : keadaan umum;
pemeriksaan kesadaran (sadar, apatis, somnolen); tanda kegawat daruratan berupa sesak
napas, muntah, udem kaki, anemis, serta tidak lupa juga untuk memeriksa tanda – tanda vital
terlebih dahulu seperti suhu tubuhnya, tekanan darah, frekuensi napas, serta berat badannya
lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Lakukanlah pemeriksaan umum seteliti mungkin
agar kelainan-kelainan yang ada hubungannya dengan penyakit pasien tidak terlewatkan.
Pemeriksaan neurologik perlu dilakukan karena keluhan pusing yang disebabkan oleh lesi
sentral sering disertai oleh kelainan neurologik lain. Sebelum melakukan pemeriksaan fisik,
tanyakan bersedia atau tidak.1,2
Pemeriksaan khusus penderita pusing.2
Pemeriksaan Romberg
Pasien berdiri tegak, kedua kaki sejajar saling bersentuhan dan mata dipejamkan.
Apabila ada gangguan vestibuler pasien tidak dapat mempertahankan posisinya, ia
akan bergoyang, menjauhi garis tengah dan akan kembali ke posisi semula karena
pengaruh refleks pembetulan sikap (righdng reflex). Gerakan tersebut terjadi berulang-
ulang. Untuk lebih mempermudah pemeriksaan, pada pasien muda^dasar tempat
berdirinya dapat lebih dipersempit dengan cara berdiri satu kaki
Jalan tandem ("Tandem Gait")
Pasien berjalan lurus, tumit kaki yang satu berada pada ujung jari kaki lainnya dan
seterusnya. Adanya gangguan vestibular akan menyebabkan arah perjalanan
menyimpang.
Pemeriksaan Quiz dan Test salah tunjuk (Past Pointing Test)
Pemeriksaan Quiz:
Penderita berdiri di depan pemeriksa. Kedua lengan direntangkan ke depan setinggi
bahu dan kedua jari telunjuknya menunjuk pada jari-jari telunjuk pemeriksa.
Selanjutnya pasien disuruh menutup mata. Perhatikanlah timbulnya penyimpangan arah
pada kedua tangan pasien.
Tes salah tunjuk:
Dengan mata terbuka pasien diminta untuk mengangkat lengannya lurus ke atas
dengan telunjuk dalam ekstensi. Kemudian lengan tersebut diturunkan sampai
menyentuh telunjuk pemeriksa. Selanjutnya dengan mata tertutup pasien diminta untuk
mengulangi gerakan tersebut Adanya gangguan vestibuler menyebabkan
penyimpangan lengan pasien sehingga telunjuknya tidak dapat menyentuh telunjuk
pemeriksa.
Test simulasi pusing
Kelompok pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan rangsangan yang dapat
menimbulkan rasa pusing pada pasien. Pada tiap-tiap akhir pemeriksaan tanyakanlah
apakah ia merasa pusing dan apakah rasa tersebut sesuai dengan rasa yang menjadi
keluhannya.
1. Memalingkan kepala ke kiri atau ke kanan.
2. Duduk dan berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
3. Pasien diminta untuk berjalan dan mendadak berbalik dengan cepat.
Nylen-Barany test (Dix-Hallpike)
Untuk pemeriksaan vertigo posisional dan nistagmus posisional. Pada pemeriksaan
ini pasien mula-mula duduk, kepala menghadap ke depan, kemudian dibaringkan
dengan cepat, kepala menggantung 45%, melihat 45% ke samping kiri atau kanan.
Perhatikanlah timbulnya nistagmus dan vertigo.
Ada dua macam reaksi yang dapat ditimbulkan:
1. Tipe perifer atau tipe paroksismal benigna.
Pada saat kepala diletakkan pada salah satu posisi tersebut (posisi kritis) akan
timbul perasaan pusing disertai nistagmus. Nistagmus yang timbul biasanya
memutar dengan arah ke telinga yang terletak di bawah. Reaksi tersebut timbul
setelah periode laten selama 2-10 detik, dan akan menghilang tidak lebih dari 60
detik. Bila percobaan tersebut diulang, reaksi yang timbul lebih ringan dan lebih
singkat; keadaan ini disebut kelelahan.
2. Tipe sentral
Pada saat kepala diletakkan pada posisi kritis, nistagmus segera timbul (tidak
ada periode laten) dan berlangsung lebih dari 60 detik. Nistagmus tersebut tidak
disertai keluhan vertigo dan bila diulang reaksi tetap seperti semula (tidak
menjadi lelah).
Pemeriksaan mata pada penderita pusing.
Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah:
Apakah ada Diplopia ?
Apakah pandangannya menjadi kabur (adanya gangguan lapang pandang) ?
Apakah benda-benda di sekitarnya tampak berputar-putar ?
Apakah baru memakai kacamata atau baru ganti kacamata ?
Apakah keluhannya hilang bila menutup satu mata atau kedua mata ?
Pemeriksaan.
Perhatikan adanya nistagmus, kalau perlu pasien disuruh melirik 45% ke sisi kiri atau
45% ke sisi kanan, melirik ke atas dan melirik ke bawah. Nistagmus horizontal
biasanya ditemukan pada lesi perifer sedangkan nistagmus vertikal atau nistagmus
dengan arah banyak biasanya ditemukan pada lesi sentral (batang otak/otak).
Lakukan tes konfrontasi untuk menetapkan adanya gangguan lapang pandang.
Sebelum melakukan tes ini jangan lupa memeriksa katarak. Periksalah ketajaman
pandangan secara kasar.
Pemeriksaan Penunjang
Pengelompokan pemeriksaan penunjang yang biasanya digunakan pada pasien dengan
vertigo dan “dizziness” serta indikasi tertentu. 3
1. Test audiologic tidak harus diperiksakan untuk setiap pasienyang mengeluh pusing,
tetapi dapat diperiksakan jika terdapat gangguan pendengaran. Jika diagnosis masih
ragu-ragu, audiometric direkomendasikan walaupun tanpa gangguan pendengaran.
a. Audiogram. Audiogram berfungsi untuk mengukur pendengaran. Jika terdapat
ketidaknormalan dapat diduga otologic vertigo. Audiogram dapat dilakukan untuk
memisahkan penyebab vertigo karena otologic atau dari penyebab vertigo yang
lainnya.
b. Otoacoustic emissions (OAE). OAE sangat berguna dalam mendeteksi
malingering, gangguan pendengaran sentral, dan pasien dengan gangguan
pendengaran akibat neuropati. OAEs biasanya tidak bermanfaat pada pasien yang
berumur lebih dari 60 tahun, karena OAEs berkurang seiring bertambahnya umur.
c. Electrocochleography (ECOG). ECOG yang tidak normal dapat ditemukan pada
pasien yang menderita penyakit Meniere.
2. Test vestibular juga tidak harus diperiksakan pada semua pasien dengan keluhan
pusing. Test yang terutama adalah mengenai test ENG (electronystagmography) yang
sangat bermanfaat saat diagnosis masih tidak dapat ditentukan setelah anamnesis dan
pemeriksan fisik. ENG lama-kelamaan mulai digantikan dengan test VEMP.
a. ENG merupakan prosedur yang dapat mengidentifikasi vestibular asimetri (seperti
yang ditimbulkan oleh vestibular neuritis) dan membuktikan nistagmus spontan
atau nistagmus posisional (seperti yang ditimbulkan oleh BPPV). ENG merupakan
test yang sangat panjang dan sulit, dengan sedikit standarisasi, dan hasil abnormal
yang tidak sesuai dengan gambaran klinis harus dikonfirmasi dengan rotator chair
testing, idealnya dikombinasikan dengan test VEMP.
b. VEMP (Vestibular Evoked Myogenic Potential) sangat cepat digunakan sebagai
dasar dari tes vestibular karena VEMP menyediakan keseimbangan yang baik
sebagai alat diagnostic dan tolerabilitas pasien. VEMP sensitive terhadap superior
canal dehiscence syndrome, bilateral vestibular loss, dan acoustic aneurisma.
VEMP umumnya normal pada vestibular neuritis dan Meniere’s diseases.
c. Rotatory chair testing mengukur fungsi vestibular kedua telinga bagian dalam
secara bersamaan. Rotator testing sangat sensitive dan spesifik untuk kehilangan
fungsi vestibular bilateral. Dalam kehilangan fungsi unilateral, rotator testing
sensitive tapi tidak spesifik. Rotatory testing juga tidak bisa mengidentifikasi pada
sisi mana lesi tersebut. Rotator testing sudah mulai digantikan dengan test VEMP.
d. Posturography sangat efektif dalam membuktikan malingering dan juga
mempunyai beberapa kegunaan dalam melihat progress terapi yang sedang
dijalankan.
3. Radiologic investigasi.
a. MRI otak mengevaluasi integritas structural dari batang otak, serebelum,
periventrikular white matter, dan kedelapan kompleks saraf. MRI tidak rutin
dilakukan untuk mengevaluasi vertigo tanpa gangguan neurologic yang
menyertai.
b. CT scan tulang temporal memberikan gambaran dari structural telinga yang lebih
tinggi dari MRI dan juga dapat mengevaluasi lebih baik lesi yang berhubungan
dengan tulang.
4. Test Lainnya
a. Electroencephalography (EEG) dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
epilepsy. Hasil sangat rendah pada pasien dengan keluhan pusing
Ambulatory event monitoring atau Holter monitoring digunakan untuk mendeteksi aritmia.
Hasil tinggi pada pasien dengan gejala ortostatik.
ELEKTRONISTAGMOGRAFI (ENG)1
ENG gunanya untuk memonitor gerakan bola mata. Prinsipnya sederhana saja, yaitu
bahwa kornea mata itu bermuatan positif. Muatan positif ini sifatnya sama dengan muatan
positif listrik atau magnit yang selalu mengimbas daerah sekitarnya. Begitu pula muatan
positif kornea ini mengimbas kulit sekitar bola mata. Dengan meletakkan elektroda pada
kulit kantus lateral mata kanan dan kiri, maka kekuatan muatan kornea kanan dan kiri bisa
direkam. Rekaman muatan ini disalurkan pada sebuah galvanometer.
Bila muatan kornea mata kanan dan kiri sama, maka galvanometer akan menunjukkan
angka nol (di tengah). Bila mata bergerak ke kanan, maka elektroda kanan akan bertambah
muatannya, sedangkan elektroda kiri akan berkurang, jarum galvanometer akan bergerak
ke satu arah. Jadi kesimpulannya, jarum galvanometer akan bergerak sesuai dengan gerak
bola mata. Dengan demikian nistagmus yang terjadi bisa dipantau dengan baik. Bila gerak
jarum galvanometer diperkuat, maka akan mampu menggerakkan sebuah tuas, dan
gerakan tuas ini akan membentuk grafik pada kertas, yang disebut elektronistagmografi
(ENG).
Dalam grafik ENG dapat mudah dikenal gerakan nistagmus fase lambat dan fase
cepat, arah nistagmus serta frekuensi dan bentuk grafiknya. Yang menjadi pegangan utama
adalah kecepatan fase lambat dari nistagmus yang dapat dihitung di dalam derajat
perdetik.
Rumus perhitungan yang dipakai sama dengan rumus yang dianjurkan Dick &
Hallpike, hanya parameter yang dipakai adalah kecepatan fase lambat yang dihitung
dengan derajat perdetik.
Rumus I.
(a + c) - (b + d)
Sensitivitas L-R :- -X 100 % = < 20 %
(a + c + b + d )
Bila hasil rumus di atas kurang dari 20 % maka kedua fungsi vestibuler dalam
keadaan seimbang, dan bila hasilnya melebihi 15 derajat perdetik, maka kedua fungsi
vestibuler dalam keadaan normal. Bila hasilnya lebih besar dari 20%, maka vestibuler
yang hasilnya kecil berarti mengalami paresis kanal.
Rumus II.
(a + d) - (b + c)
Kuat Nist. R-L :----X 100% = < 20 %
(a + d + b + c)
Bila hasil rumus lebih besar dari 20 %, maka nistagmus berat ke kanan (directional
preponderance to the right), berarti kemungkinan terdapat lesi sentral di sebelah kanan,
atau ada fokus iritatif sentral di sebelah kiri.
Working Diagnosis
BPPV (Benign Paroxymal Positional Vertigo)
BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang
dikeluhkan adalah vertigo yg datang tiba2 pada perubahan posisi kepala. Beberapa pasien
dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigo. Biasanya
vertigo dirasakan sangat berat, berlangsung singkat hanya hanya beberapa detik saja
walaupun penderita merasakannya lebih lama. Keluhan dapat disertai mual bahkan sampai
muntah,sehingga penderita meras kawatir akan timbul serangan lagi. Hal ini yang
menyebabkan penderita sangat berhati-hati dalam posisi tidurnya. Vertigo jenis ini sering
berulang kadang –kadang dapat sembuh dengan sendirinya. Vertigo pada BPPV termasuk
vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem
vestibularis.4
Differential Diagnosis
Vertigo sentral
Vertigo diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan saluran vestibular yang
mengalami kerusakan, yaitu vertigo periferal dan vertigo sentral. Saluran vestibular adalah
salah satu organ bagian dalam telinga yang senantiasa mengirimkan informasi tentang posisi
tubuh ke otak untuk menjaga keseimbangan.
Vertigo sentral terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di dalam otak, khususnya di
bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah percabangan otak dan serebelum(otak kecil).1,5
Etiologi
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan
yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan
area tertentu di otak.
Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telingan, di dalam saraf yang
menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo juga bisa
berhubungan dengan kelainan penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara
tiba-tiba.
Penyebab umum vertigo sentral adalah3,6 :
1. Stroke dan transient ischemic attack (TIA) yang melibatkan batang otak atau
cerebellum menyebabkan sepertiga dari semua kasus dizziness. Kadang-kadang
vertigo munri dapat menjadi gejala satu-satunya sebelum fossa stroke posterior.
2. Basilar migran biasanya hadir dengan gejala vertigo dan sakit kepala, tapi juga
bisa tampak sebagai vertigo yang terisolasi. Migren menyebabkan hampir 15%
dari kasus sentral vertigo.
3. Kejang dapat hadir dengan vertigo serta gejala motorik atau kebingungan. Sekitar
5% dari kasus vertigo sentral disebabkan oleh kejang. Dizziness merupakan gejala
yang biasa terjadi pada pasien dengan epilepsi.
4. Multiple sklerosis (MS) menggaabungkan keluhan vertigo dengan gejala sentral
lainnya, seperti disfungsi cerebellar. MS merupakan penyebab yang tidak biasa
dari vertigo. Sekitar 2% sari vertigo sentral disebabkan oleh MS.
5. Tumor fossa posterior dapat menyebabkan vertigo atau dizziness; periksa gejala-
gejala gangguan fungsi batang otak lainnya(dipploppis,disartri,rasabaal,gangguan
menelan), atau gejala lain(gangguan fungsi saraf kranialis,gangguan fungsi
motorik dan sensorik)
6. Trauma kepala
Migrain Vestibular
Migrain vestibular merupakan kelainan dimana terdapat migrain yang menyebabkan
vertigo. Kelainan ini merupakan salah satu kelainan terbanyak yang menyebabkan vertigo
spontan yang bersifat episodik. Migrain episodik lebih banyak terdapat pada wanita yaitu usia
20-40 tahun. Biasanya, migrain mencul lebih dulu sebelum adnya vertigo. Pada beberapa
penelitian dikatakan bahwa individu yang memiliki migrain lebih beresiko terkena vertigo.5
Patofisiologi dari migrain vestibular masih belum diketahui. Terdapat hipotesis bahwa
migrain tersebut terjadi akibat adanya gangguan pada sistem vaskular dan perubahan pada
aktivitas saraf.adanya perubahan tersebut mempengaruhi urtikulus, saraf vestibular
superior,atau arteri vestibular posterior. Hal tersebut menyebabkan timbulnya
VEMP(vestibular-evoked myogenic potentials) dan menyebabkan vertigo, yaitu BPPV.5
Selain itu, terdapat hipotesis lain yang menyatakan bahwa migrain disebabkan oleh
adanya penyebaran impuls saraf sepanjang korteks serebrin dan aktivasi reseptor nyeri pada
batang otak. Reseptor nyeri tersebut terletak dekat aparatus vestibular. Adanya aktivitas nyeri
tersebut disebabkan oleh pelepasa neurotransmiter tertentu. Neurotransmiter tersebut
kemudian menyebabkan dilatasi pembuluh darah dekat scalp.
Migrain ditunjukkan dengan adanya nyeri kepala unilateral yang progresif. Pada 35%
pasien migrain biasanya disertai vertigo. Vertigo tersebut bersifat posisional dan spontan.
Vertigo tersebut memiliki durasi yang bervariasi, mulai dari beberapa detik hingga beberapa
hari. Serangan tersebut dapat berlangsung hingga beberapa bulan atau tahun. Setelah
serangan selesai pasien membutuhkan beberapa minggu untuk benar-benar pulih dari
serangan tersebut. Dap[at juga terjadi vertigo visual, yaitu vertigo yang terjadi karena dipicu
oleh pergerakan lingkungan seperti keramain. Dapata terjadi migrain yang berlangsung
hingga 60 menit sebelum serangan vertigo. Migrain ini tidak pernah berlangsung bersamaan
dengan vertigo. Selain itu pada serangan migrain, dapat ditemukan adanya aura yang
biasanya berlangsung sebelum serangan sakit kepala. Aura tersebut dapat berupa
fotofobia,fonofobia(intoleransi terhadap suara), dan osmofobia.
Beberapa gejala lain yang dapat muncul yaitu intoleransi pergerakan kepala,
mual,muntah,pusing, penurunan tajam penglihatan bila dipengaruhi oleh fotofobia, nyeri
leher,disorientasi spasial, dan ansietas. Gangguanpendengaran dan tinutis jarang ditemukan.
Gangguan pendengaran yang terjadi biasanya ringan dan tidak mengalami progresivitas.1,5
BPPV (Benign Paroxymal Positional Vertigo)
Etiologi. Penyebab BPPV sebagian besar tidak diketahui(idiopatik). Mengingat
tingginya prevalensi BPPV kalangan perembuan paruh baya, faktor hormonal mingkin
memainkan peran dalam perkembangan BPPV. Dalam penelitian terbaru, nilai densitas
mineral tulang menurun baik pada perempuan maupun laki-laki dengan BPV idiopatik
dibandingkan dengan kontrol normal tanpa ada riwayat pusing. Prevalensi ostopenia (-2,5<T-
score <1,0) dan osteoporosis (T-score<-2,5) juga ditemukan lebih tinggi baik pada
perempuan dan laki-laki dengan BPPV dibadinkan dengan kontrol normal. Selain itu
perempuan dengan usia >45tahun, T-score terendah juga menurun pada kelompok rekuren,
dibandingkan dengan kelompok de novo. Temuan ini menunjukan keterlibatan metabolisme
kalsium yang terganggu pada BPPV idiopatik dan hubungan yang signifikan antara
osteopeni/osteoporosis dan BPPV idiopatik. Otokonia merupakan deposit kalsium karbonat
dalam bentuk gabungan kristal kalsit dan tulang yang mengandung 99% kalsium yang
ditemukan didalam tubuh. Penurunan kadar estrogrn dapat mengganggu struktur internal
otokonia atau interkoneksinya dan keterikatan matrix gelatin. Selain itu peningkatan
konsentrasi kalsium bebas dalam endolymph karena peningkatan resorbsi kalsium dapat
mengurangi kapasitas untuk melarutkan otokonia yang lepas.
BPPV dapat terjadi secara sekunder untuk berbagi gangguan yang merusak telinga
bagian dalam dan melepas otolit dari makula utrikular. Trauma kepala menyebabkan
kerusakan mekanik pada telinga yang merupakan penyebab umum dari BPPV. Pasien jarang
mengalami BPPV setelah operasi mastoid atau jika terlibat dalam posisi miring kepala yang
persisten, seperti tukang cukur atau dokter gigi.
Dibandingkan dengan bentuk idiopatik, BPPV traumatik memiliki beberapa ciri khas,
yaitu tingginya kejadian bilateral, keterlibatan multiple kanal pada sisi yang sama, setara
antara perempuan dan laki-laki, distribusi pada usia lebih muda, lebih sulit untuk diobati dan
frekuensi rekuren/sering kambuh. Selain itu, BPPV dapat berkembang secara sekunder ke
salah satu dari penyakit telinga bagian dalam (misalnya neuritis vestibular,labyrinthitis, dan
penyakit meniere) yang menyebabkan degenerasi dan melonggarnya otokonia, tetapi tidak
sepenuhnya menghambat fungsi kanal semisircular. Insiden BPPV juga diketahui leebih
tinggi pada pasien dengan migrain, walaupun mekanisme yang tepat masih belum jelas.
BPPV telah dilaporkan terjadi dalam hubungannya dengan giant cellarteritis, diabetes, and
hyperuricemia.
Patofisiologi
Patomekanisme BPPV dapat dibagi menjadi dua, antara lain :
• Teori Cupulolithiasis
Pada tahun 1962 Horald Schuknecht mengemukakan teori ini untuk menerangkan
BPPV. Dia menemukan partikel-partikel basofilik yang berisi kalsiurn karbonat dari fragmen
otokonia (otolith) yang terlepas dari macula utriculus yang sudah berdegenerasi, menernpel
pada permukaan kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semisirkularis posterior menjadi
sensitif akan gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Hal ini analog dengan
keadaan benda berat diletakkan di puncak tiang, bobot ekstra ini menyebabkan tiang sulit
untuk tetap stabil, malah cenderung miring. Pada saat miring partikel tadi mencegah tiang ke
posisi netral. Ini digambarkan oleh nistagmus dan rasa pusing ketika kepala penderita
dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada tes Dix-Hallpike). KSS posterior
berubah posisi dari inferior ke superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan
demikian timbul nistagmus dan keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel otolith
tersebut membutuhkan waktu, hal ini yang menyebabkan adanya masa laten sebelum
timbulnya pusing dan nistagmus.4,6
• Teori Canalithiasis
Tahun1980 Epley mengemukakan teori canalithiasis, partikel otolith bergerak bebas di
dalam KSS. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel ini berada pada posisi yang
sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah. Ketika kepala direbahkan ke belakang
partikel ini berotasi ke atas sarnpai ± 900 di sepanjang lengkung KSS. Hal ini menyebabkan
cairan endolimfe mengalir menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected),
hal ini menimbulkan nistagmus dan pusing. Pembalikan rotasi waktu kepala ditegakkan
kernbali, terjadi pembalikan pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang
bergerak ke arah berlawanan. Model gerakan partikel begini seolah-olah seperti kerikil yang
berada dalam ban, ketika ban bergulir, kerikil terangkat sebentar lalu jatuh kembali karena
gaya gravitasi. Jatuhnya kerikil tersebut memicu organ saraf dan menimbulkan pusing.
Dibanding dengan teori cupulolithiasis teori ini lebih dapat menerangkan keterlambatan
"delay" (latency) nistagmus transient, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak.
Ketika mengulangi manuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang efektif
dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal inilah yag dapat menerangkan konsep
kelelahan "fatigability" dari gejala pusing.
Epidemiologi
Terdapat kekurangan dari studi epidemiologi pada BPPV. Prevalensi BPPV telah
dilaporkan 10.7-64 per 100.000 populasi. Menurut sebuah penelitian terbaru di Jerman yang
menggunakan telepon berbasis wawancara, prevalensi BPPV adalah 2,4% dengan kejadian 1
tahun 0,6%.
BPPV idiopatik biasanya terjadi pada orangtua dan perempuan, dengan rasio
perempuan-laki-laki adalah 2-3:1 dan usia puncaknya terjadi dalam dekade keenam
kehidupan. BPPV lebih sering melibatkan telinga kanan, faktor yang mungkin terkait adalah
kebiasaan tidur ke sisi kanan pada populasi umum.
Sebagian besar BPPV berkembang dalam kanal semisirkular horizontal dan posterior.
PC-BPPV mewakili 60-90% dari semua kasus BPPV dan HC-BPPV 5-30% kasus. Namun,
HC-BPPV sekarang tampaknya lebih banyak daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Proporsi HC-BPPV- dihubungkan penurunan kasus dengan peningkatan interval waktu rata-
rata dari onset gejala ke diagnosis, mungkin karena tingkat resolusi spontan yang lebih tinggi
pada HC-BPPV. Dengan demikian, proporsi relatif dari setiap jenis BPPV mungkin
tergantung pada nilai setiap klinik. BPPV jarang melibatkan kanalis semisirkularis anterior.
BPPV timbul dari beberapa kanal yang juga telah dijelaskan.
Gejala Klinis
BPPV adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan
adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan posisi kepala. Beberapa pasien dapat
mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang menimbulkan keluhan vertigo. Biasanya
vertigo dirasakan sangat berat, berlangsung singkat hanya beberapa detik saja walaupun
penderita merasakannya lebih lama. Keluhan dapat disertai mual bahkan sampai muntah,
sehingga penderita merasa khawatir akan timbul serangan lagi. Hal ini yang menyebabkan
penderita sangat berhati-hati dalam posisi tidurnya. Vertigo jenis ini sering berulang kadang-
kadang dapat sembuh dengan sendirinya.
Komplikasi
Kadang-kadang CRT dapat menimbulkan komplikasi. Terkadang kanalith dapat pindah
ke kanal yang lain. Komplikasi yang lain adalah kekakuan pada leher, spasme otot akibat
kepala di letakkan dalam posisi tegak selama beberapa waktu setelah terapi. Pasien
dianjurkan untuk melepas penopang leher dan melakukan gerakan horisontal kepalanya
secara periodik.4,6
Penatalaksanaan
Ada beberapa penatalaksanaan yang dapt dilakukan pada BPPV antara lain; Canalith
Repositioning Treatment (CRT) atau maneuver Epley, perasat liberatory, latihan Brandt-
Daroff dan pengobatan simptomatik. CRT sebaiknya segera dilakukan setelah hasil perasat
Dix-Hallpike menimbulkan respon abnormal. Pemeriksa dapat mengidentifikasi
adanyakanalitiasis pada kanal anterior atau kanal posterior dari telinga yang terbawah.
Pasien tidak kembali ke posisi duduk, namun kepala pasien dirotasikan dengan tujuan untuk
mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis menuju ke utrikulus, tempat di mana
kanalith tidak lagi menimbulkan gejala. Bila kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus
dilakukan tindakan CRT kanan.
Perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon abnormal
dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut selama 1-2 menit, kemudian kepala
direndahkan dan diputar secara perlahan ke kiri dan dipertahankan selama beberapa saat.
Setelah itu badan pasien dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi meng-
hadap ke kiri dengan sudut 450 sehingga kepala menghadap kebawah melihat ke lantai.
Akhirnya pasien kembali ke posisi duduk, dengan kepala menghadap ke depan. Setelah terapi
ini pasien di lengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak menunduk,
berbaring, dan membungkukkan badan selama satu hari. Pasien harus tidur pada posisi
duduk dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari.
Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalitiasis pada kanal
anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri dan kanal posterior, CRT
kiri merupakan metode yang dapat di gunakan, yaitu dimulai dengan kepala menggantung
kiri dan membalikan tubuh ke kanan sebelum duduk. Gejala-gejala remisi yang terjadi setelah
CRT kemungkinan disebabkan oleh perasat itu sendiri, bukan oleh perasat pada saat pasien
duduk tegak. Bila dirasakan adanya gangguan leher, ekstensi kepala diperlukan pada saat
terapi dilakukan. Digunakan meja pemeriksaan yang bertujuan untuk menghindari keharusan
posisi ekstensi dari leher. Pada akhirnya beberapa pasien mengalami vertigo berat dan merasa
mual sampai muntah pada saat tes provokasi dan penatalaksanaan. Pasien harus diminta
untuk duduk tenang selama beberapa saat sebelum meninggalkan klinis.4,6
Perasat liberatory juga dibuat untuk memindahkan otolit (debris/kotoran) dari kanal
semisirkularis. Tipe perasat yang dilakukan tergantung dari jenis kanal mana yang terlibat,
apakah kanal anterior atau posterior. Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, perasat
liberatory kanan perlu dilakukan. Perasat dimulai dengan penderita diminta untuk duduk
pada meja pemeriksaan dengan kepala diputar menghadap ke kiri 45°. Pasien yang duduk
dengan kepala menghadap ke kiri secara cepat dibaringkan ke sisi kanan dengan kepala
menggantung ke bahu kanan. Setelah 1 menit, pasien digerakan secara cepat ke posisi duduk
awal dan untuk ke posisi side lying kiri dengan kepala menoleh 45° ke kiri. Pertahankan
penderita dalam posisi ini selama 1 menit dan perlahan-lahan kembali ke posisi duduk.
Penopang leher kemudian dikenakan dan diberi instruksi yang sama dengan pasien yang
diterapi dengan CRT. Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama,
namun kepala diputar menghadap ke kanan. Bila kanal posterior kiri yang terlibat, perasat
liberatory kiri harus dilakukan, (pertama pasien bergerak ke posisi sidelying kiri kemudian
posisi side lying kanan dengan kepala menghadap ke kanan). Bila kanal anterior kiri yang
terlibat, perasat liberatory kiri dilakukan dengan kepala diputar menghadap ke kiri. Angka
kesembuhan 70-84% setelah terapi tunggal perasat liberatory.1,6
Latihan Brandt dan Daroff dapat di lakukan oleh pasien di rumah tanpa bantuan terapis.
Pasien melakukan gerakan-gerakan dari duduk ke samping yang dapat mencetuskan vertigo
(dengan kepala menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik, lalu kembali
ke posisi duduk dan tahan selama 30 detik, lalu dengan cepat berbaring ke sisi yang
berlawanan (dengan kepala menoleh ke arah yang berlawanan) dan tahan selama 30 detik,
lalu secara cepat duduk kembali. Pasien melakukan latihan secara rutin 10-20 kali, 3 kali
sehari sampai vertigo hilang paling sedikit 2 hari.1,6
Angka remisi 98% remisi timbul akibat latihan-latihan akan melepaskan otokonia dari
kupula dan keluar dari kanalis semirkularis, di mana mereka tidak akan menimbulkan gejala.
Remisi juga timbul akibat adaptasi sistem vestibuler sentral. Lebih baik, kanalitiasis pada
anterior dan posterior kanal diterapi dengan CRT. Bila terdapat kupulolitiasis, kita dapat
menggunakan perasat liberatory. Latihan Brandt Daroff dilakukan bila masih terdapat gejala
sisa ringan. Obat-obatan dilakukan untuk menghilangkan gejala-gejala seperti mual, muntah.
Terapi pembedahan, seperti pemotongan N. vestibularis, N. Singularis, dan penutupan kanal
yang terlibat jarang dilakukan.
Modifikasi CRT digunakan untuk pasien dengan kanalitiasis pada BPPV kanalis
horizontal, permulaan pasien dibaringkan dengan posisi supinasi, telinga yang terlibat berada
di sebelah bawah. Bila kanalith pada kanalis horizontal kanan secara perlahan kepala pasien
digulirkan ke kiri sampai ke posisi hidung di atas dan posisi ini dipertahankan selama 15
detik sampai vertigo berhenti. Kemudian kepala digulirkan kembali ke kiri sampai telinga
yang sakit berada di sebelah atas. Pertahankan posisi ini selama 15 detik sampai vertigo
berhenti. Lalu kepala dan badan diputar bersamaan ke kiri, hidung pasien menghadap ke
bawah, tahan selama 15 detik. Akhirnya, kepala dan badan diputar ke kiri ke posisi awal
dimana telinga yang sakit berada di sebelah bawah. Setelah 15 detik, pasien perlahan-lahan
duduk, dengan kepala agak menunduk 30°. Penyangga leher dipasang dan diberi instruksi
serupa dengan pasca CRT untuk kanalis posterior dan kanalis anterior.
Latihan Brandt-Daroff dapat dimodifikasi untuk menangani pasien dengan BPPV pada
kanalis horizontal karena kupulolitiasis. Pasien-pasien tersebut diminta melakukan gerakan
ke depan-belakang secara cepat pada bidang kanalis horizontal pada posisi supinasi. Perasat
ini bertujuan untuk melepaskan otokonia dari kupula. Namun bukti menunjukan efektifitas
perasat-perasat terapi untuk kanalis horizontal masih dipertanyakan. Perasat CRT, liberatory,
dan Brandt Daroff merupakan latihan yang baik untuk pasien BPPV. CRT merupakan terapi
standar di berbagai negara. CRT digunakan untuk terapi kanal posterior and anterior akibat
kanalithiasis. Perasat Liberatory digunakan untuk kupolitiasis agar menggerakkan otokonia.
Latihan Brandt Daroff digunakan untuk pasien dengan gejala yang menetap.1,6 Selain itu,
pada BPPV dapat juga kita berikan obat simptomatik seperti tabel 2 berikut:
Tabel 2. Obat-obat antivertigo7
Obat Lama kerja Dosis dewasa Efek Sediaan
(jam) sedatif
Dimenhidrinat 4 – 6 25 - 50 mg setiap 6 jam ++ IM, IV, oral
Difenhidramin 4 – 6 25 - 50 mg setiap 6 jam ++ IM, IV, oral
Prometazin 4 – 6 25 mg setiap 6 jam ++ IM, IV, oral
Skopolamin 12 0,5 mg setiap 12 jam + oral
Efedrin 4 – 6 25 jam setiap 6 jam - oral
Pencegahan
Pencegahan BPPV dapat dilakukan dengan latihan vestibular. Tujuan latihan ini adalah
untuk melatih kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium untuk meningkatkan
kemampuan mengatasinya secara lambat laun, melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi
pandangan mata, melatih menigkatkan kemampuan keseimbangan. Contoh latihan yang biasa
dilakukan ialah; berdiri tegak dengan mata dibuka kemudian dengan mata mata ditutup,
olahraga yang menggerakkan kepala (gerak rotasi, fleksi, ekstensi, gerak miring), dari sikap
duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup, jalan di kamar
atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan mata tertutup, berjalan lurus dengan
tumit menempel di depan jari-jari kaki, jalan menaiki dan menuruni tangga, melirikkan mata
kea rah horizontal dan vertikal berulang-ulang, melatih gerakan bola mata dengan mengikuti
obyek yang bergerak dan juga memfiksasi obyek yang diam.7
Prognosis
Vertigo sering berulang pada BPPV, dengan tingkat kekambuhan dilaporkan 15-37%
setelah efektifitas awal CRMs. Pada studi terbaru, tingkat kekambuhan 50% untuk rata-rata
10 tahun periode follow-up. Kekambuhan terbanyak (80%) terjadi pada masa tahun pertama
setelah pengobatan.
Faktor yang berhubungan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi yaitu wanita, adanya
penyakit sebelumnya seperti trauma, labyrinthitis dan hidrops endolimfatik, adanya
osteopeni/osteoporosis, HC-BPPV dan riwayat tiga atau lebih serangan BPPV sebelum
pengobatan.
Kesimpulan
Wanita 51 tahun dengan gejala pusing berputar saat berubah posisi waktu tidur, bangun tidur,
membungkuk dan bangkit kembali sejak 2 minggu terakhir disertai mual tersebut menderita
BPPV atau Benign Paroxymal Positional Vertigo.
Daftar Pustaka
1. Bashiruddin J, Hadjar E, Alviandi W. Gangguan keseimbangan. Dalam: Buku ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;2007.h.94-101
2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009.h.134-6.
3. Biller J. Practical neurology. 3rd edition. Philadhepia: Lippincott Williams &
Wilkins;2009:184-99
4. Bashiruddin J. Vertigo posisi paroksismal jinak. Dalam: Buku ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2007.h.104-9
5. Hadjar E, Bashiruddin J. Penyakit meniere. Dalam: Buku ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.h.102-3
6. Solomon D. Benign paroxysmal positional vertigo. Philadelphia: Departement of
Neurology, University of Pennsylvania; 2000.
7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Vertigo posisional benigna.
Dalam: kapita selekta kedokteran. Jilid II edisi ke-3. Jakarta: Media aesculapius;
2009.h.51-53.