of 16 /16
1 TANGGUNGJAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 514 K/PDT.SUS- PAILIT/2013) Adi Purnomo Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Albertus Sentot Sudarwanto Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Yudho Taruno Muryanto Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta Email: [email protected] Abstract This article to find out and analyze the Directors' Responsibility for the Bankruptcy of a Limited Liability Company according to Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and the Supreme Court Judge Council in deciding the bankruptcy case Number 514 K / PDT.SUS-Bankrupt / 2013. This legal research is a normative research or called library research or document study. The type of data used is primary legal material and secondary legal material. Use a legal approach and a case approach. The technique of collecting legal materials uses the study of literature and techniques of analysis of legal materials by deduction analysis. Responsibility of the Board of Directors for the Bankruptcy of the Limited Liability Company should be borne personally, because the Board of Directors does not carry out fiduciary duties to the Company and intentionally or neglected in carrying out fiduciary duty obligations, irresponsible and not in good faith in carrying out the management of the Company, the Board of Directors is personally responsible in accordance with Article 1 number 5 and Article 97 paragraph (3) of Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. In the Decision of the bankruptcy case, the Supreme Court Judge Panel in its decision had been wrong in understanding and applying the law (in particular the conditions of bankruptcy) that applied on the basis of H. Muhammad Toyib Saman SH. in implementing the agreement between the Bankruptcy Cassation Applicant namely PT. FORWARD (formerly the Respondent Bankrupt) with the Bankruptcy Cassation Respondent namely PT. GSG (formerly bankrupt applicant) who in this case did not carry out his capacity as Director of Bankrupt Cassation Appeals (PT. MAJU) but acted on behalf of himself. Keywords: Responsibilities of Directors and Bankruptcy.

TANGGUNGJAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN …

  • Author
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of TANGGUNGJAWAB DIREKSI TERHADAP KEPAILITAN …

(STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 514 K/PDT.SUS-
PAILIT/2013)
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstract
This article to find out and analyze the Directors' Responsibility for the Bankruptcy of a
Limited Liability Company according to Law Number 40 of 2007 concerning Limited
Liability Companies and the Supreme Court Judge Council in deciding the bankruptcy case
Number 514 K / PDT.SUS-Bankrupt / 2013. This legal research is a normative research or
called library research or document study. The type of data used is primary legal material
and secondary legal material. Use a legal approach and a case approach. The technique of
collecting legal materials uses the study of literature and techniques of analysis of legal
materials by deduction analysis. Responsibility of the Board of Directors for the
Bankruptcy of the Limited Liability Company should be borne personally, because the
Board of Directors does not carry out fiduciary duties to the Company and intentionally or
neglected in carrying out fiduciary duty obligations, irresponsible and not in good faith in
carrying out the management of the Company, the Board of Directors is personally
responsible in accordance with Article 1 number 5 and Article 97 paragraph (3) of Law
Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. In the Decision of the
bankruptcy case, the Supreme Court Judge Panel in its decision had been wrong in
understanding and applying the law (in particular the conditions of bankruptcy) that
applied on the basis of H. Muhammad Toyib Saman SH. in implementing the agreement
between the Bankruptcy Cassation Applicant namely PT. FORWARD (formerly the
Respondent Bankrupt) with the Bankruptcy Cassation Respondent namely PT. GSG
(formerly bankrupt applicant) who in this case did not carry out his capacity as Director of
Bankrupt Cassation Appeals (PT. MAJU) but acted on behalf of himself.
Keywords: Responsibilities of Directors and Bankruptcy.
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis mengenai Tanggung Jawab
Direksi Terhadap Pailitnya Perseroan Terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas dan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus
kasus kepailitan Nomor 514 K/PDT.SUS-Pailit/2013. Penelitian hukum ini merupakan
penelitian normatif atau disebut penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Jenis data
yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menggunakan
pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Teknik pengumpulan bahan hukum
menggunakan studi kepustakaan dan teknik analisis bahan hukum secara analisis deduksi.
Tanggug Jawab Direksi Terhadap Pailitnya Perseroan Terbatas tersebut seharusnya
ditanggung secara pribadi, karena Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada
Perseroan dan dengan sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty, tidak
bertanggung jawab dan tidak beriktikad baik dalam menjalankan pengurusan Perseroan
maka Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dan
Pasal 97 ayat (3) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dalam Putusan kasus kepailitan tersebut Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus
telah keliru dalam memahami dan menerapkan hukum (khususnya syarat-syarat kepailitan)
yang berlaku dengan dasar dikarenakan H. Muhammad Toyib Saman SH. dalam
melaksanakan perjanjian antara Pemohon Kasasi pailit yakni PT. MAJU (dahulu Termohon
Pailit) dengan Termohon Kasasi pailit yakni PT. GSG (dahulu pemohon pailit) yang dalam
hal ini tidak menjalankan kapasitasnya sebagai Direktur Pemohon Kasasi Pailit
(PT. MAJU) melainkan bertindak dan untuk atas nama pribadi.
Kata Kunci: Tanggung Jawab Direksi dan Kepailitan.
A. Pendahuluan
Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan Perseroan
adalah direksi. Dikatakan cukup penting, karena direksilah yang mengendalikan serta
mengoperasikan perusahaan di kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan
jika masyarakat awam berpandangan bahwa posisi direksi dalam suatu perusahaan
seringkali diidentikan dengan pemilik perusahaan.
Keberadaan Perseroan Terbatas dalam dunia usaha dan perdagangan baik
secara nasional mapun secara internasional adalah sangat penting serta strategis untuk
menggerakkan dan mengarahkan kegiatan pembangunan ekonomi, terutama dalam
rangka menghadapi globalisasi dan liberalisme perekonomian dunia yang semakin
kompleks, sehingga para pelaku bisnis lebih cenderung memilih badan usaha yang
berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas, alasannya sebagaimana dikemukakan
oleh Sri Rejeki Hartono bahwa:1
“Perseroan Terbatas mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri,
mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensial untuk
memperoleh keuntungan baik bagi instansinya sendiri maupun bagi para pendukungnya
1 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Cet. I, Ghalia
Indonesia,Jakarta, 2002, hlm. 13.
3
(pemegang saham). Oleh karena itu, bentuk badan usaha ini (Perseroan Terbatas) sangat
diminati oleh masyarakat”.
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.2 Perseroan dalam menjalankan hak dan kewajibannya harus mendapat
bantuan dari organ-organnya yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham
(selanjutnya disebut RUPS), Direksi dan Komisaris. Masing-masing organ mempunyai
tugas dan wewenang masing-masing sesuai dengan Anggaran Dasar Rumah Tangga
Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut ADRT PT) dan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT).
Dalam Perseroan Terbatas sendiri terdapat organ terpenting (Primary Organ)
yakni direksi yang merupakan persona standi in judicio atau subjek hukum mandiri
yang bertindak atas nama perusahaan baik di dalam maupun di luar pengadilan.3
Keberadaan direksi yang merupakan suatu keharusan di dalam perseroan dikarenakan
sebagai artificial person, perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum tanpa
adanya direksi didalam perseroan tersebut.4
Prinsip yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepada
direksi oleh perseroan ini dikenal sebagai fiduciary duties5 atau iktikad baik. Paul L.
Davies menyatakan bahwa pada hakikatnya direksi perseroan dalam menjalankan tugas
kepengurusannya harus senantiasa:6
b) Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan kepentingan dari
pemegang saham semata-mata;
c) Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai dengan tugas dan
kewenangan yang diberikan kepadanya dengan tingkat kecermatan yang wajar,
dengan ketentuan bahwa direksi tidak diperkenankan untuk memperluas maupun
mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri;7
d) Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan benturan
kepentingan antara kepentingan perseroan dengan kepentingan direksi;
2 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2004, hlm. 70. 3 Lihat Fred B.G Tumbuan, Makalah:“Tugas dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas Menurut
Undang-Undang Perseroan Terbatas” Jakarta, 22 Agustus 2007, hlm. 11. 4 Rudyanti Dorotea Tobing, Aspek-Aspek Hukum Bisnis : Pengertian, Asas, Teori dan Praktik, LaksBang
Justitia, Surabaya, 2015, hlm.270-271. 5 Fiduciary duty ini diartikan oleh Yahya Harahap sebagai “wajib dipercaya”. Menurut Yahya “wajib
dipercaya” berarti setiap anggota Direksi maupun Dewan Komisaris selamanya “dapat dipercaya” (must
always bonafide) serta selamanya harus “jujur” (must always be honest) dalam menjalankan tugasnya
(Direksi melakukan pengurusan dan Dewan Komisaris melakukan pengawasan). Lihat pada Yahya
Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.374 dan 457. 6 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, Ed.
Pertama, ctk. Kedua, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 23. 7 Fred BG Tumbuan, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Serta Kedudukan RUPS Perseroan
Terbatas menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995”, makalah kuliah S2 Fakultas Hukum
Universitas Indonesia tahun ajaran 2001-2002, hlm. 7.
4
Keempat hal tersebut menjadi penting, artinya mencerminkan bahwa antara direksi dan
perseroan terdapat suatu bentuk hubungan saling ketergantungan, dimana :8
a) Perseroan bergantung kepada direksi sebagai organ yang dipercayakan untuk
melakukan pengurusan perseroan;
b) Perseroan merupakan sebab keberadaan direksi, tanpa perseroan, tidak pernah ada
direksi.
Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2) UU PT menyebutkan tugas seorang Direksi
adalah menjalankan pengurusan perseroan hanya untuk kepentingan Perseroan sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan yang diatur dalam UU PT dan/ atau ADRT PT
yang bersangkutan, bukan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, kepentingan
pribadi Direksi maupun kepentingan pribadi Komisaris. Pengurusan yang dilakukan
oleh Direksi harus dijalankan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam
batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/ atau ADRT PT dengan iktikad baik
dan penuh tanggung jawab.9
terbatas tersebut salah satunya adalah direksi. Jabatan anggota direksi dalam
pengurusan perseroan merupakan jabatan penting, karena seluruh kegiatan operasional
dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.11
Apabila Direksi bertindak di luar wewenangnya, tidak sesuai yang diatur dalam
ADRT PT dan Undang-undang Perseroan Terbatas, maka segala kerugian yang timbul
menjadi tanggung jawab Direksi. Kelalaian, tidak beriktikat baik dan tidak menjalankan
tugasnya dengan penuh tanggung jawab dapat menyebabkan Direksi dimintai sampai
kepada harta pribadinya. Oleh karena itu, seorang direksi dituntut harus memiliki
standar integritas dan loyalitas yang tinggi, tampil serta bertindak untuk kepentingan
perseroan secara bonafides.9 Seperti pada perkara pailit yang dialami oleh salah satu
perusahaan yang bergerak dibidang penggalian batu besi yakni PT. Mandiri Agung Jaya
Utama (Selanjutnya disebut PT. MAJU) dimana direksi dari perusahaan ini meminjam
uang kepada PT. Galena Surya Gemilang (selanjutnya disebut PT. GSG) tanpa
sepengetahuan komisaris dari PT. MAJU. Uang tersebut tidak diberikan dan tidak
dipergunakan untuk kepentingan perusahan (PT. MAJU), melainkan masuk ke rekening
pribadi direksi sehingga PT. MAJU dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat karena mempunyai tagihan utang senilai Rp 17,8 miliar terhadap PT. GSG dan
PT. Indomineral Makmur dengan tagihan sebesar Rp 2,5 miliar.12 Pada penggalan berita
tersebut, direksi PT. MAJU dinyatakan tidak bertindak atas nama perseroan sehingga
8 Ibid., hlm. 6. 9 Pasal 92 ayat (2) jo Pasal 97 Ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. 10 “Pailit” pada dasarnya merupaka suatu hal, dimana keadaan debitur (pihak yang berhutang) yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih. Lihat Ronald Saija, Perlindungan Kreditur Atas Pailit Yang Diajukan Debitur Dalam Proses Peninjauan Kembali Di Pengadilan Niaga, SASI Volume 24 Nomor 2, Juli - Desember 2018,
hlm. 115, Fakultas Hukum Universitas Pattimura. 11 M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, Jakarta : IBLAM, 2008, hlm. 40. 12http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520dde3733227/perusahaan-penggalibatu-besi-bangkrut
diakses pada 17 Oktober 2019 pukul 19.40 WIB.
dibebankan kepada direksi yang dalam pengurusannya lalai dan bersalah sehingga
mengakibatkan perseroan pailit.13
Berkaitan dengan uraian kasus posisi tersebut penulis mengambil suatu kajian
penulisan hukum mengenai, yakni:
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas?
2. Apakah Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus kasus kepailitan Nomor
514 K/PDT.SUS-Pailit/2013 sudah menerapkan hukum (syarat kepailitan) yang
berlaku?
Metode penelitian tidak dapat dipisahkan dalam pembuatan suatu karya ilmiah.
Penelitian hukum dilakukan untuk dapat menghasilkan argumentasi, teori atau konsep
baru sebagai deskripsi dalam menyesuaikan masalah yang dihadapi.14 Metode
pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau disebut
penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Dikatakan penelitian perpustakaan atau
studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang
bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.15 Penelitian ini menggunakan data sekunder
berupa:
c. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang;
e. Putusan Mahkamah Agung Nomor 514 K/PDT.SUS-Pailit/2013.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang memberikan penjelasan terhadap
bahan hukum primer yang meliputi, publikasi tentang hukum yang terdiri dari buku-
buku teks, jurnal ilmiah, maupun makalah. Bahan hukum ini dapat digunakan untuk
melakukan pengkajian dan pemecahan atas isu hukum yang dihadapi. Dalam
penelitian ini bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, jurnal ilmiah, maupun
makalah yang berkaiatan dengan Tanggung Jawab Direksi terhadap pailitnya
Perseroan Terbatas dan Akibat Hukum dari Pailitnya suatu Perseroan Terbatas.
Berdasarkan bahan-bahan tersebut diatas, penulis menggunakan metode analisis data
secara kualitatif. Dengan memperhatikan penafsiran gramatikal yakni mendasarkan
pada bunyi ketentuan undang-undang dan kemudian akan dihubungkan dengan teori
yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalah
13 Lihat Pasal 97 Ayat 3 “Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Ayat (2).” 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Persada Group, 2010, hlm. 35. 15 Suratman & H.Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2013, hlm. 51.
6
yang dikaji dan dianalisa dengan metode berfikir deduktif yaitu pola berfikir yang
mendasar pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang
bersifat khusus.
1. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Pailitnya Perseroan Terbatas menurut
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan dan tujuan Perseroan, serta mewakili Perseroan, baik di dalam
maupun di luar Pengadilan. Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan. Tanggung jawab
direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua) prinsip yang penting, yaitu prinsip
yang lahir karena tugas dan kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh
Perseroan (fiduciary duty) dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta
kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care), kedua prinsip ini menuntut
direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai dengan itikad baik, semata-mata
untuk kepentingan dan tujuan Perseroan. Tanggung jawab berarti kewajiban
seorang individu untuk melaksanakan aktifitas-aktifitas yang ditugaskan kepadanya
sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.16 Tanggung jawab
direksi dibedakan dalam :17
1. Tanggung jawab internal, yaitu meliputi tugas dan tanggung jawab direksi
Perseroan dan pemegang saham Perseroan;
2. Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung
jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun
tidak langsung dengan Perseroan.
Direksi dapat digugat secara pribadi ke Pengadilan Negeri jika Perseroan
mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya.18 Begitu
juga dalam hal kepailitan yang terjadi kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan
Perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka
setiap anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
tersebut.19 Dalam hal terjadinya kepailitan Perseroan, maka tidak secara apriori
direksi bertanggung jawab secara pribadi atas Perseroan tersebut, namun sebaliknya
bahwa direksi mesti bebas dari tanggung jawab terhadap kepailitan Perseroan
Terbatas. Tanggung jawab direksi yang perusahaaannya mengalami pailit, pada
prinsipnya adalah sama dengan tanggung jawab direksi yang perusahaan tidak
mengalami pailit.
16 Winardi, Asas-Asas Manajemen, Bandung : Alumni, 1983, hlm. 144. 17 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko Hukum Pemilik,
Direksi, & Komisaris, Jakarta : PT Forum Sahabat, 2008, hlm. 112.
18 Siti Hapsah Isfardiyana, Tanggung Jawab Direksi Atas Pelanggaran Fiduciary Duty Dan
Menyebabkan Perseroan Pailit, Progran Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2012, hlm. 116. 19 Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan
Terbatas (PT), Jakarta : Visimedia, 2009, hlm. 119.
7
menimbulkan akibat hukum bagi pengurusnya terutama bagi direksi Perseroan. Ada
banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai
kepailitan Perseroan salah satunya adalah mengenai sejauh mana
pertanggungjawaban terhadap adanya kepailitan Perseroan, apakah badan hukum
itu sendiri yang akan memikul tanggung jawab ataukah organ Perseroan dalam hal
ini direksi yang akan bertanggung jawab secara pribadi. Pada prinsipnya direksi
tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan atas
nama Perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan
direksi dipandang sebagai perbuatan Perseroan yang merupakan subjek hukum.
Namun, ada beberapa hal direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara
pribadi dalam kepailitan Perseroan. Pasal 97 ayat (3) dan ayat (4) UUPT mengatur
tentang tanggung jawab direksi atas kerugian Perseroan yang timbul dari kelalaian
menjalankan tugas pengurusan Perseroan, yang dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
1. Anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan.
apabila direksi melakukan hal-hal sebagai berikut :20
1) Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada Perseroan. Direksi yang
dengan sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty, tidak
bertanggung jawab dan tidak beriktikad baik dalam menjalankan pengurusan
Perseroan maka Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi sesuai
dengan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 97 ayat (3) UUPT.
2) Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.
a. Terdapat unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari Direksi
(dengan pembuktian biasa)
memenuhi barulah diambil dari aset Direksi pribadi
c. Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi
anggota Direksi yang dapat membutikan bahwa kepailitan Perseroan
bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian.21
Apabila Direksi terbukti salah atau lalai dalam menjalankan
kepengurusannya (beriktikad tidak baik) mengakibatkan Perseroan rugi,
pemegang saham yang mewakili minimal 1/10 bagian dari jumlah seluruh
saham dengan hak suara yang sah, sesuai dengan ketentuan yang ada maka
berhak menggugat Direksi yang bersangkutan untuk dimintai
pertanggungjawaban secara penuh dengan mengajukan permohonan ke
pengadilan negeri.22
20 Siti Hapsah Isfardiyana, Business Judgement Rule oleh Direksi Perseroan, Jurnal Panorama Hukum, V
Juni 2017 Ol. 2 No. 1, hlm. 14. 21 Ibid., hlm. 24. 22 Pasal 97 ayat (6) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
8
2. Anggota direksi bersama komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng
atas kerugian Perseroan.
laporan tahunan tersebut tidak benar maka Direksi bersama dengan Komisaris
bertanggung jawab secara renteng.23 sesuai denga ketentuan Pasal 69 ayat (3)
UUPT. Dalam Pasal 69 ayat (4) UUPT memberikan pembuktian terbalik oleh
Direksi dan Komisaris.
3. Anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
Perseroan.
Dalam hal anggota direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka
Pasal 97 ayat (4) UUPT menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara
tanggung renteng. Dengan demikian apabila anggota direksi lalai atau
melanggar kewajibannya mengurus Perseroan secara itikad baik dan penuh
tanggung jawab, maka setiap anggota direksi sama-sama ikut memikul
tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami
Perseroan.
Pasal 104 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa dalam hal kepailitan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian
direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban
Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari
harta pailit tersebut.24 Apabila direksi dapat membuktikan bahwa kepailitan
bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara
tanggung renteng atas kerugian itu, Pasal 97 ayat (5) UUPT menyebutkan
bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat
membuktikan :
b. Telah melakukan dan menjalankan pengurusan dengan itikad baik dan
kehatihatian, dan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan;
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian Perseroan;
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya
kerugian tersebut.
K/PDT.SUS-Pailit/2013 yang dialami oleh PT. MAJU dimana direksi dari
23 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum
Indonesia, Cetakan Kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hlm.23. 24 Erna Widjajati , Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Yang Dinyatakan Pailit, SELISIK -
Volume 3, Nomor 5, Juni 2017, hlm. 28.
9
perusahaan ini meminjam uang kepada PT. GSG tanpa sepengetahuan komisaris
dari PT. MAJU. Uang tersebut tidak diberikan dan dipergunakan demi kepentingan
perusahan PT. MAJU melainkan masuk ke rekening pribadi direksi sehingga
PT. MAJU dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat karena
mempunyai tagihan utang senilai Rp 17,8 miliar terhadap PT. GSG dan PT.
Indomineral Makmur dengan tagihan sebesar Rp 2,5 miliar.
Dapat disimpulkan penulis, mengenai duduk perkara dan uraian
sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan yang pertama diatas, bahwa
direksi PT. MAJU dinyatakan tidak bertindak atas nama perseroan dan terbukti
bersalah, sehingga mengakibatkan PT. MAJU dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat. Dan direksi PT. MAJU telah melanggar Pasal 97 Angka 3
UUPT dimana tanggung jawab penuh dibebankan kepada direksi yang dalam
pengurusannya lalai dan bersalah sehingga mengakibatkan perseroan pailit.
Jadi dalam kasus ini Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada
Perseroan. Direksi yang dengan sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban
fiduciary duty, tidak bertanggung jawab dan tidak beriktikad baik dalam
menjalankan pengurusan Perseroan maka Direksi tersebut bertanggung jawab
secara pribadi sesuai dengan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 97 ayat (3) UUPT.
2. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memutus kasus
kepailitan Nomor 514 K/PDT.SUS-Pailit/2013
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami
kemunduran.25 Sedangkan kepailitan merupakan suatu putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan yang
dimiliki maupun kekayaan yang akan dimiliki oleh debitor di kemudian hari.
Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan
hakim pengawas, kedua pejabat tersebut yang ditunjuk langsung pada saat putusan
pailit dibacakan.26
eksekusi terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan
bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai
dengan hak masing-masing karena kepailitan ada demi untuk menjamin para
kreditor untuk memperoleh hak-haknya atas harta debitor pailit.27
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menyebutkan
25 Dedy Tri Hartono, Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang Kepailitan, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion Ed. 1, Vol. 4 Tahun 2016, hlm. 2. 26 Dedy Tri Hartono, Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan, Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi I, Volume 4, Tahun 2016, hlm. 2 27 Imran Nating, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan
Kepailitan, Ed. 1, Cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakrata, 2004, hlm. 9.
10
bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap debitur hanya dapat diajukan apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Debitur terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit
mempunyai 2 kreditor, atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu
kreditor.
b. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu
krediturnya.
c. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih
(due and payable)
Pengadilan Niaga tersebut. Adapun yang dapat mengajukan permohonan kepailitan
adalah:28
d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya merupakan bank;
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dalam hal debitornya perusahaan
efek, bursa efek, atau lembaga kliring dan penjaminan; dan
f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pension, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang berkecimpung di bidang kepentingan publik.
Permohonan kepailitan tersebut wajib diajukan melalui advokat kecuali jika
pemohonnya adalah kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri
Keuangan.29
Berdasarkan hal tersebut maka PT. GSG dapat mengajukan pailit terhadap
PT. MAJU dalam putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 34/PDT.SUS-Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst karena:
1. Bahwa pada tanggal 23 Mei 2011, Pemohon Pailit dengan Termohon Pailit
telah saling sepakat untuk menandatangani Perjanjian Penyelesaian Hutang
Piutang Usaha Batu Besi Musi Rawas, (“Perjanjian”);
2. Berdasarkan Perjanjian tersebut, Termohon Pailit mengakui telah menerima
dana dari Pemohon Pailit sejumlah Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Perjanjian tersebut, Termohon Pailit telah
sepakat untuk mengembalikan dana Pemohon Pailit menjadi sejumlah
Rp17.800.000.000,00 (tujuh belas miliar delapan ratus juta Rupiah) dan dana
tersebut akan dibayarkan oleh Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit dengan
cara mengangsur, dengan ketentuan sebagai berikut:
28 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Ed. Pertama, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 119. 29 Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban pembayaran utang.
1. Angsuran Pertama sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) akan
dibayarkan paling lambat tanggal 30 Mei 2011;
2. Angsuran Kedua sebesar Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah) akan dibayarkan paling lambat tanggal 30 Juni 2011;
3. Cicilan selanjutnya akan dibayarkan sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) perbulan terhitung sejak bulan September 2011 sampai dengan
Desember 2012;
4. Berdasarkan Perjanjian tersebut di atas, terbukti secara sah bahwa Pemohon
Pailit mempunyai piutang kepada Termohon Pailit dan sebaliknya, Termohon
Pailit mempunyai utang kepadai Pemohon Pailit dan oleh karenanya Pemohon
Pailit adalah Kreditor dari Termohon Pailit;
Duduk perkara:
Bahwa Pemohon Kasasi pailit adalah PT. MAJU (dahulu Termohon Pailit)
dan Termohon Kasasi Pailit adalah PT. GSG (dahulu Pemohon Pailit) yang pada
tanggal 23 Mei 2011 telah saling sepakat untuk menandatangani Perjanjian
Penyelesaian Hutang Piutang sejumlah Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah) dan akan dikembalikan oleh pemohon kasasi Pailit (PT. MAJU) sebesar
Rp.17.800.000.000,00 (tujuh belas miliar delapan ratus juta rupiah). Angsuran
pertama sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) telah jatuh tempo pada
tanggal 30 Mei 2011, angsuran kedua sebesar Rp.2.500.000.000,00 (dua miliar lima
ratus juta rupiah) telah jatuh tempo pada tanggal 30 Juni 2011, serta angsuran ketiga
sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) telah jatuh tempo terhitung sejak
bulan September 2011 sampai dengan Desember 2012. Sehingga total utang yang
harus dibayarkan oleh pemohon kasasi pailit adalah sebesar Rp. 23.245.900.000,00
(dua puluh tiga miliar dua ratus empat puluh lima juta Sembilan ratus ribu rupiah).
Bahwa Pemohon Kasasi Pailit (PT. MAJU) juga mempunyai utang kepada
PT. Indomineral Makmur sebesar Rp.2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah).
Pusat Nomor 34/PDT.SUS-Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst telah menyatakan
Termohon pailit (yang sekarang sebagai pemohon kasasi pailit) yakni PT. MAJU
dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Kemudian Termohon pailit
(PT. MAJU) telah mengajukan kontra memori kasasi karena dengan menyatakan
keberatan dan penolakan terhadap putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat karena hakim telah keliru dalam memahami dan menerapkan
hukum (khususnya syarat-syarat kepailitan) yang berlaku, dimana Pemohon Kasasi
Pailit (PT. MAJU) dalam hal ini:
1. Pada kenyataannya, Pemohon Kasasi tidak pernah menerima “pinjaman” dari
Termohon Kasasi;
2. Sejak perusahaan Pemohon Kasasi berdiri hingga saat ini tidak pernah ada
catatan di dalam pembukuan Pemohon Kasasi mengenai adanya “utang”
Pemohon Kasasi kepada Termohon Kasasi;
3. Pemohon Kasasi juga telah meminta agar Laporan Keuangan Pemohon Kasasi
diperiksa/diaudit oleh Auditor professional yang independen, dan berdasarkan
12
utang kepada Termohon Kasasi;
4. Bahkan, Pemohon Kasasi juga telah meminta keterangan dari Bank Pemohon
Kasasi dan mendapat konfirmasi bahwa Pemohon Kasasi tidak pernah
menerima “pinjaman” ataupun kiriman uang sepeser pun dari Termohon Kasasi;
5. Pemohon Kasasi Tidak Pernah Membuat Kesepakatan “Pinjam Meminjam”
dengan Termohon Kasasi
JAYA UTAMA (Selanjutnya disebut PT. MAJU) tersebut;
- Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat
kasasi ini sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah);
Dapat disimpulkan bahwa menurut penulis, hakim dalam hal ini telah keliru
dalam memahami dan menerapkan hukum (khususnya syarat-syarat kepailitan)
yang berlaku, dengan dasar:
1. Bahwa perkara sebagaimana yang dimohonkan pailit oleh Pemohon Pailit (PT.
GSG) tidak dapat diajukan kepada Termohon (PT. MAJU), dikarenakan
H. Muhammad Toyib Saman SH. (Direksi PT. MAJU) dalam melaksanakan
perjanjian di atas tidak menjalankan kapasitasnya sebagai Direktur Termohon
melainkan bertindak dan untuk atas nama pribadi;
2. Bahwa tindakan H. Muhammad Toyib Saman SH. dalam perjanjian
penyelesaian hutang piutang Usaha Batu Besi Musi Rawas tersebut tidak dapat
diklasifikasi sebagai tindakan untuk mewakili Termohon dikarenakan pada saat
penandatanganan perjanjian ini tidak dilengkapi dengan persetujuan dari Dewan
Komisaris sebagaimana disyaratkan Pasal 12 (ayat 1 point a) Persetujuan Akta
Perubahan Anggaran Dasar PT. Maju Nomor Akta AHU-
12413.AH.01.02.Tahun 2010 tanggal 27 Januari 2010 yang dibuat oleh Notaris
Desman, SH. M.Hum berkedudukan di Kotamadya Jakarta Utara;
3. Bahwa hal ini sebagaimana serta diperkuat dalam Yurisprudensi MA Nomor
601 K/Sip/1975 tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi
untuk mempertanggungjawabkan sengketa yang berkaitan dengan yayasan
dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai Tergugat tidak tepat, karena
yang semestinya ditarik sebagai Tergugat adalah Yayasan. Maka berdasarkan
ketentuan tersebut H. Muhammad Toyib Saman SH. harus masuk sebagai pihak
dalam permohonan aquo; Bahwa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka dengan itu permohon pailit
tidak dapat diterima;
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka permohonan kasasi yang
diajukan oleh pemohon kasasi pailit (PT. MAJU) seharusnya diterima oleh hakim
dan menyatakan bahwa PT. MAJU tidak dinyatakan pailit dan tanggungjawab harus
ditanggung secara pribadi oleh H. Muhammad Toyib Saman SH. (Direksi PT.
MAJU) karena pemohon kasasi pailit dalam memori kasasinya bahwa:
13
1. Termohon Kasasi mengakui bahwa Termohon Kasasi pernah mentransfer
sejumlah uang kepada H. Muhammad Toyib secara pribadi, dan bukan ke
perusahaan;
2. Pemohon Kasasi tidak pernah menerima uang tersebut, apalagi mendapatkan
manfaat dari uang tersebut;
3. Seandainyapun (quod non) ada “pinjaman”/”utang” yang pernah diberikan
Termohon Kasasi kepada H. Muhammad Toyib Saman (selaku Pemilik
Perusahaan yang lama) secara pribadi, maka jelas “pinjaman”/”utang” itu tidak
boleh dianggap sebagai tanggung jawab perusahaan. Sesuai dengan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), maka
“pinjaman”/”utang” H. Muhammad Toyib Saman tersebut harus
dipertanggungjawabkan yang bersangkutan secara pribadi;
4. H. Muhammad Toyib Saman saat ini bukan Pemilik atau Direktur Pemohon
Kasasi H. Muhammad Toyib Saman dan keluarganya telah menjual seluruh
saham mereka di Pemohon Kasasi kepada Pemegang Saham yang baru;
5. Mengingat Pemegang Saham yang baru sampai sekarang tidak menemukan
kebenaran adanya “pinjaman”/”utang” yang dituduhkan Termohon Kasasi
tersebut, maka Termohon Kasasi tetap menyatakan menolak semua tuduhan
Termohon Kasasi ini;
6. Termohon Kasasi sedang menyiapkan laporan tindak pidana kepada pihak
Kepolisian maupun gugatan perdata terhadap Termohon Kasasi maupun H.
Muhammad Toyib Saman sehubungan dengan hal ini;
7. Pada waktu dilakukannya pengambil alihan perseroan Pemohon Kasasi oleh
Pemilik baru (Bapak Mayananda dan Ibu Marini Gustiana) dari Pemilik lama
(Bapak H. Muhammad Thoyib Saman, Ibu Hj. Sri Noviawati dan Bapak
Muhammad Suryana Arisandi) yang terhitung efektif sekitar Juli 2012,
“pinjaman”/”utang” yang dimaksud pun tidak tercatat di dalam Laporan
Keuangan dan Laporan Auditor Independen Kantor Akuntan Publik Terdaftar
Abdul Aziz tertanggal 30 Maret 2012, salah satu dokumen rujukan utama dalam
proses pengambil alihan Pemohon Kasasi oleh Pemegang Saham baru;
8. Bahwa sehubungan dengan Laporan Keuangan dan Laporan Auditor
Independen Kantor Akuntan Publik Terdaftar Abdul Aziz tertanggal 30 Maret
2012 tersebut, H. Muhammad Toyib saman (Pemilik serta Direktur Utama lama
Pemohon Kasasi) mengeluarkan surat pernyataan dan jaminan, masing-masing
tertanggal 30 Maret 2012 serta 30 Juli 2012 yang intinya menjamin bahwa tidak
ada informasi yang tidak diungkapkan serta menjamin kebenaran Laporan
Keuangan dan Laporan auditor.
Kesimpulan
1. Berdasarkan penelitian dari penulis, ada 7 (tujuh) indikator yang harus dimiliki dan
dilaksanakan oleh seorang direksi/anggota direksi dalam melaksanakan pengurusan
sebagai bagian dari fiduciary duties (iktikad baik)-nya sesuai dengan aturan yang
berlaku, yakni: a) menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawab dengan
kehati-hatian sesuai dengan Peraturan Perundangundangan; b) Menetapkan
keputusan sesuai dengan hukum yang berlaku; c) Penetapan putusan tersebut
14
dilakukan dengan tujuan yang benar, sesuai maksud dan tujuan perseroan; d) Segala
tindakan dimaksudkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan; e) Bertindak sesuai
dengan arahan dalam RUPS, sebagai organ tertinggi perseroan dan mejadikan
nasihat-nasihat dewan komisaris sebagai bahan pertimbangan; f) Menjalankan tugas
sesuai dengan anggaran dasar serta tidak melakukan perbuatan di luar
kewenangannya; dan g) Jika kemudian tidak ada aturan terkait tindakan tersebut
direksi harus melaksanakan pengurusannya sesuai dengan kepatutan dan
kerasionalan atau corporate culture.30
2. Putusan Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan menolak permohonan kasasi
dari pemohon kasasi PT. Mandiri Agung Jaya Utama (selanjutnya disebut
PT. MAJU) tersebut dan menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), menurut
penulis telah keliru dalam memahami dan menerapkan hukum (khususnya syarat-
syarat kepailitan) yang berlaku dengan dasar dikarenakan H. Muhammad Toyib
Saman SH. dalam melaksanakan perjanjian di atas tidak menjalankan kapasitasnya
sebagai Direktur (PT. MAJU) melainkan bertindak dan untuk atas nama pribadi dan
seharusnya menyatakan untuk tanggungjawab dipikul sendiri oleh Direksi PT.
MAJU (H. Muhammad Toyib Saman SH).
Saran
1. Perlu kiranya kedepan lebih ditegaskan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas
mengenai perbuatan-perbuatan hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
kepada direksi apabila terjadi kepailitan Perseroan. Dengan demikian nantinya
dapat secara jelas ditentukan mana yang menjadi tanggung jawab Perseroan dan
mana yang menjadi tanggung jawab direksi Perseroan.
2. Untuk meminimalisir dampak kerugian yang disebabkan itikad buruk mantan
Direksi tersebut, maka solusi dari penulis adalah segera mengajukan gugatan
perdata atau tuntutan pidana kepada mantan Direksi pada perseroan tersebut.
30 Ade Kurniawan, Iktikad Baik Direksi Di Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, Skripsi, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar, 2018, hlm. 79.
Terbatas, Cet. I, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Fuady, Munir, 2010 Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Harahap, Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Persada Group
Nating, Imran, 2004, Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan
Pemberesan Kepailitan, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Shubhan, M. Hadi, 2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Ed. Pertama, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Silalahi, M. Udin, 2008, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, Jakarta : IBLAM.
Suratman & H.Philips Dillah, 2013, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta.
Tobing, Rudyanti Dorotea, 2015, Aspek-Aspek Hukum Bisnis : Pengertian, Asas, Teori
dan Praktik, Surabaya, LaksBang Justitia.
Wicaksono, Frans Satrio, 2009, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan
Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Jakarta : Visimedia.
Widjaja, Gunawan, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Widjaja, Gunawan, 2004, Seri Hukum Bisnis Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan
Perseroan, Ed. Pertama, ctk. Kedua, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
Winardi, 1983, Asas-Asas Manajemen, Bandung : Alumni.
Yahya Harahap, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta, Sinar Grafika.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, 2008, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas Risiko
Hukum Pemilik, Direksi, & Komisaris, Jakarta : PT Forum Sahabat.
Jurnal & Makalah:
Hartono, Dedy Tri, Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan Undang-undang
Kepailitan, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Ed. 1, Vol. 4 Tahun 2016.
16
Duty Dan Menyebabkan Perseroan Pailit, Progran Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2012.
Kurniawan, Ade, Iktikad Baik Direksi Di Dalam Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Skripsi, Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2018.
Tumbuan, Fred B.G, Makalah : “Tugas dan Wewenang Organ Perseroan Terbatas
Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas” Jakarta, 22 Agustus 2007.
Isfardiyana, Siti Hapsah, Business Judgement Rule oleh Direksi Perseroan, Jurnal
Panorama Hukum, Ol. 2 No. 1, V Juni 2017.
Saija, Ronald, Perlindungan Kreditur Atas Pailit Yang Diajukan Debitur Dalam Proses
Peninjauan Kembali Di Pengadilan Niaga, Fakultas Hukum Universitas
Pattimura, SASI Volume 24 Nomor 2, Juli – Desember 2018.
Tumbuan, Fred BG, “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Serta Kedudukan RUPS
Perseroan Terbatas menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995”, makalah
kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun ajaran 2001-2002.
Widjajati, Erna, Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas Yang Dinyatakan
Pailit, SELISIK,Vol. 3 No. 5, 2017.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
pembayaran utang.
Website:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520dde3733227/perusahaan-penggalibatu-