of 92 /92
27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang merupakan produk perundang-undangan Belanda seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama 23 . Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia di tahun 1998 24 , pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini hanya mengubah, menambah dan memperjelas Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal, 23 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1 24 Pada masa itu, John T. Dori menyebutkan bahwa IMF beranggapan kesuksesan pemulihan ekonomi dan reformasi di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu, IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan Khusus Niaga. Lihat John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political Crisis: A challenge for U.S Leadership in Asia. Lihat: Sunarmi, Op.cit., hal. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya

  • Author
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1....27 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kepailitan 1. Sejarah dan...

  • 27

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kepailitan

    1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia

    Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur

    dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara

    berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam

    Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement

    Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang

    merupakan produk perundang-undangan Belanda

    seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama23.

    Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia

    di tahun 199824, pemerintah mengeluarkan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998

    (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang

    selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4

    Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998).

    Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini

    hanya mengubah, menambah dan memperjelas

    Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal,

    23 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1 24 Pada masa itu, John T. Dori menyebutkan bahwa IMF beranggapan kesuksesan pemulihan ekonomi dan reformasi di Indonesia tergantung sepenuhnya pada reformasi sistem hukum. Karena itu, IMF mensyaratkan adanya reformasi hukum sebagai syarat pemberian pinjamannya yang tertuang dalam Memorandum Tambahan (Appendix VII) dalam Letter of Intent tertanggal 15 Januari 1998 yang dengan jelas mencantumkan keinginan IMF untuk memberlakukan hukum kepailitan yang baru dalam bentuk Peraturan Pemerintah (Perpu) serta membentuk Pengadilan Khusus Niaga. Lihat John T. Dori, Indonesia’s Economic and Political

    Crisis: A challenge for U.S Leadership in Asia. Lihat: Sunarmi, Op.cit., hal. 3

  • 28

    peraturan kepailitan yang lama masih berlaku25. UU No. 4

    Tahun 1998 tersebut disempurnakan dengan Undang-

    Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

    Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

    disebut UU No. 37 Tahun 2004) yang berlaku hingga saat

    ini.

    Bagan 1.

    Sejarah Hukum Kepailitan dalam 4 (empat)

    peraturan perundang-undangan

    Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 305 UU No. 37 Tahun

    2004 dinyatakan bahwa

    “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan

    pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) yang diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang

    berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, pada saat ini (UU No. 37

    Tahun 2004 – catatan penulis) diundangkan, masih tetap

    berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum

    diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-

    undang ini (No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis).

    Dari pasal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

    pengaturan kepailitan dalam peraturan perundang-

    undangan sebelum UU No. 37 Tahun 2004 diundangkan,

    25 Ibid., hal. 14

  • 29

    masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau

    belum diganti oleh UU No. 37 Tahun 2004.

    Pengaturan tentang kepailitan diatur dalam 5 (lima)

    peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang

    tentang Kepailitan (Faillisement Verordening), Perpu No. 1

    Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang

    berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, UU No. 37 Tahun 2004

    dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

    UU No. 37 Tahun 2004 terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 308

    Pasal. Berikut isi dari setiap Bab dalam UU No. 37 Tahun

    2004:

    BAB I : Ketentuan Umum

    BAB II : Kepailitan

    BAB III : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

    BAB IV : Permohonan Peninjauan Kembali

    BAB V : Ketentuan lain-lain

    BAB VI : Ketentuan Peralihan

    BAB VII : Ketentuan Penutup

    Selain diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004, Kepailitan

    juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang

    Perseroan Terbatas khususnya tentang Tanggung Jawab

    Pribadi Pemegang Saham, Anggota Direksi dan Anggota

    Dewan Komisaris jika terjadi kepailitan terkait

    kesalahan/kelalaian Anggota Organ tersebut (Pasal 104

    ayat (2), Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007) serta

  • 30

    mengenai tanggung jawab terbatas Pemegang Saham

    (Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007).

    Bagan 2. Pengaturan Hukum Kepailitan dalam

    5 (lima) peraturan perundang-undangan

    2. Perkembangan Konsep Kepailitan

    Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa

    Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa

    Perancis, istilah ‘failite’ artinya pemogokan atau kemacetan

    dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa

    Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa

    Latin dipergunakan istilah failure26.

    26 Sunarmi, Op. cit., hal. 23

  • 31

    Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk

    pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah

    “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitor Perseroan

    yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar

    hutang-hutangnya disebut “insolvency”27.

    Dalam Black Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt”

    adalah:

    “the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, multicipality who is unable to pay its debt as they are, or became due’. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

    Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s

    Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian ‘pailit’

    dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar

    (insolvency) dari debitor atas utang-utangnya yang telah

    jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar

    (insolvency) tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak

    dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan telah jatuh

    tempo.

    Konsep kepailitan tersebut senada dengan Pasal 1

    Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan Lama) yang

    menyatakan bahwa:

    “Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam

    keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan

    Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya

    (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit.”

    27 Loc.cit

  • 32

    Parafrase “yang berada dalam keadaan berhenti membayar

    utang-utangnya” menunjukkan bahwa konsep yang dianut

    oleh Failisement Verordening mengandung persyaratan

    insolvency untuk dapat memailitkan debitor.

    Definisi untuk mengukur bahwa seorang debitor secara

    teknis telah berada dalam keadaan insolvent pada

    dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 KUH Dagang yang

    menyatakan sebagai berikut:

    “Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan

    menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari

    modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di

    kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara.

    Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka

    Perseroan tersebut demi hukum bubar.”

    Maksud dari Pasal 47 KUH Dagang adalah apabila

    Perseroan mengalami kerugian lebih dari 50% dari

    modalnya, maka Direksi harus mengumumkan hal

    tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika

    maksud Pasal tersebut dihubungan dengan maksud dari

    Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening maka akan terlihat

    korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian

    secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency

    test bahwa debitor berada dalam keadaan insolvency.

    Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang

    mengalami kerugian 50% tersebut tidak mengumumkan

    kondisi keuangannya tersebut maka apabila Perseroan

    tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit (dalam hal ini

    Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditor sebagai

    pihak ketiga – involuntary petition) harus membuktikan

  • 33

    bahwa Perseroan tersebut berada dalam keadaan

    insolvency dengan cara melakukan insolvency test.

    Menurut Ricardo Simanjuntak, seorang praktisi hukum

    kepailitan, insolvency test hampir mustahil dilakukan,

    mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitor

    Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya28,

    maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan

    tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit

    memastikan kreditor dapat menggunakan laporan

    keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia (confidential).

    Kalaupun kreditor mendapatkannya dari pihak lain secara

    diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan

    menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi

    kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan

    yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan

    sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah

    satu alasan yang menurut beliau, menjadikan Failisement

    Verordening tidak efektif.

    Ketidakefektifan Failisement Verordening juga, menurut

    beliau, terletak pada penggunaan waktu yang diukur

    dengan parafrase “selekas-lekasnya” yang menyebabkan

    pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan

    jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus

    perdata.

    28 Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, tata cara pembuktian salah satunya melalui surat (dokumen), dan bukti surat tersebut harus asli, berdasarkan Pasal 1888 KUH Perdata. Lihat: Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum

    Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 292

  • 34

    Kedua alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan

    pentingnya reformasi UU Kepailitan agar UU tersebut

    dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang

    cepat, sederhana, efisien, transparan, adil dan

    berkepastian hukum. Perubahan substansial pun

    dilakukan terutama pada persyaratan untuk dapat

    dipailitkannya seorang debitur dengan tidak adanya

    keharusan untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa

    debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu,

    ketentuan Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening yang

    mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah

    berhenti membayar utang-utangnya”, diubah menjadi

    ”debitor yang terbukti memiliki minimum dua kreditur

    dimana tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

    telah jatuh tempo dan dapat ditagih” dalam Pasal 1 ayat (1)

    UU No. 4 Tahun 199829.

    Selain mengenai definisi kepailitan, hal penting yang diatur

    secara tegas dalam UU No 4 Tahun 1998 adalah mengenai

    jangka waktu pembacaan putusan kepailitan diukur dari

    waktu pengajuan permohonan pailit. Sebelumnya, dalam

    Failisement Verordening, hanya diukur dengan kata

    “selekas-lekasnya”.

    29 Perubahan Failisement Verordening tersebut merupakan suatu konsekuensi dari reformasi hukum dalam mengembalikan kepercayaan pelaku usaha domestik maupun asing terhadap hukum bisnis dan kredibilitas peradilan di Indonesia. Perubahan tersebut merupakan perubahan yang bersifat mendesak (vide penjelasan dalam Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia – poin A.1.) sehingga perubahan tersebut tidak langsung dengan UU No. 4 Tahun 1998,

    tetapi didahului dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1998. Lihat Ricardo Simanjuntak, Op.cit., hal.292

  • 35

    Beberapa pokok perubahan yang dilakukan dalam UU No.

    40 Tahun 2007 adalah terhadapa UU No. 4 Tahun 1998

    adalah mengenai30:

    a. Pengertian “utang” diberikan batasan secara tegas, agar

    tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang-

    undang ini. Demikian juga mengenai pengertian “jatuh

    waktu” (vide Sub Bab Syarat-Syarat Agar Permohonan

    Pernyataan Pailit Dapat Diterima)

    b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan

    pernyataan pailit dan permohonan penundaan

    kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya

    pemberian kerangka waktu secara pasti bagi

    pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau

    penundaan pembayaran utang (vide Sub Bab Prosedur

    dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit Per

    Tingkat Peradilan)

    Matriks 3.

    Perbandingan Konsep Kepailitan

    Indikator Failisement

    Verordening

    UU No. 4 Tahun

    1998

    UU No. 37 Tahun

    2004

    Syarat

    mengajukan

    permohonan

    pailit

    Mensyaratkan

    debitor dalam

    keadaan

    insolvent melalui

    Tidak

    mensyaratan

    debitor dalam

    keadaan

    Tidak

    mensyaratkan

    debitor dalam

    keadaan insolvent

    30 Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian

    Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan Lembaga Arbitrase, Jakarta: Kencana, 2009, hal.70

  • 36

    Indikator Failisement

    Verordening

    UU No. 4 Tahun

    1998

    UU No. 37 Tahun

    2004

    pernyataan

    “Debitor berada

    dalam keadaan

    telah berhenti

    membayar

    utang-utangnya”

    insolvent karena

    hanya

    mensyaratkan

    debitor:

    “terbukti

    memiliki

    minimum dua

    kreditur dan

    tidak membayar

    lunas sedikitnya

    satu utang yang

    telah jatuh

    tempo dan dapat

    ditagih”

    karena hanya

    mensyaratkan

    debitor:

    mempunyai dua

    atau lebih kreditor

    dan tidak

    membayar lunas

    sedikitnya satu

    utang yang telah

    jatuh waktu dan

    dapat ditagih”

    Waktu

    pengajuan

    permohonan

    pailit

    Tidak diatur

    dengan jelas

    karena hanya

    berpedoman

    pada kata

    “selekas-

    lekasnya”

    Diatur dengan

    jelas

    Diatur dengan

    jelas

    3. Definisi Kepailitan

    Definisi kepailitan tertulis dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 37

    Tahun 2004 sebagai berikut:

    “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor

    pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

    kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas

  • 37

    sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 37

    Tahun 2004 – catatan penulis)”

    Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dari definisi

    kepailitan.

    a. Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

    Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

    merupakan pengejawantahan dari Pasal 1131 KUH

    Perdata yaitu:

    “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak

    maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada

    maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

    tanggungan untuk segala perikatan perorangan.”

    Sita umum yang dimaksud meliputi seluruh kekayaan

    debitor (Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004) sehingga

    semua kekayaan debitor menjadi boedel pailit, kecuali

    benda dan jasa yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 37

    Tahun 2004.

    Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor

    saja, maka seluruh harta kekayaannya menjadi

    jaminan bagi pelunasan hutang tersebut, sehingga

    dalam pelaksanaannya tidak diperlukan pranata

    hukum kepailitan. Namun, jika ternyata debitor

    memiliki lebih dari 1 (satu) orang kreditor maka harta

    kekayaan debitor haruslah dibagi menurut prinsip di

    bawah ini31, sehingga untuk itu diperlukan pranata

    hukum kepailitan:

    31 Jono, Op.cit, hal. 3

  • 38

    Pari passu, yaitu kreditor secara bersama-sama

    memperoleh pelunasan, tanpa ada yang

    didahulukan; dan

    Pro rata atau proporsional, yaitu dihitung

    berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing

    kreditor dibandingkan dengan piutang para kreditor

    secara keseluruhan sehingga memperoleh

    prosentase tertentu, prosentase itulah yang menjadi

    bagiannya dari jumlah seluruh harta kekayaan

    debitor tersebut.

    Prinsip pari passu dan pro rata tercantum dalam Pasal

    1132 KUH Perdata, yaitu:

    “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama

    bagi semua orang yang mengutangkan padanya;

    pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya

    piutang masing-masing, kecuali apabila para

    berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk

    didahulukan.”

    Oleh karena harta kekayaan debitor pailit harus dibagi

    secara pari passu dan pro rata kepada masing-masing

    kreditor (dalam hal ini kreditor konkuren) kecuali para

    kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang sah

    untuk didahulukan (dalam hal ini kreditor preferen

    dan kreditor separatis32), maka kekayaan debitor harus

    diletakkan di bawah sita umum.

    32 Penggolongan kreditor dibahas dalam syarat-syarat agar permohonan pailit dapat diterima khususnya mengenai syarat adanya debitor

  • 39

    Golongan kreditor ada 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,

    kreditor preferen dan kreditor separatis33 yaitu sebagai

    berikut:

    1) Kreditor konkuren

    Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132

    KUH Perdata. Kreditor konkuren adalah para

    kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak

    dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah

    terpenuhi. Kreditor konkuren mendapatkan

    pelunasan berdasarkan prinsip pari passu dan pro

    rata, artinya para kreditor secara bersama-sama

    memperoleh pelunasan (tanpa ada yang

    didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada

    besarnya piutang masing-masing dibandingkan

    terhadap piutang mereka secara keseluruhan,

    terhadap seluruh kekayaan debitur tersebut.

    Dengan demikian, para kreditor konkuren

    mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan

    utang dari harta debitur tanpa ada yang

    didahulukan.

    2) Kreditor preferen

    Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu

    kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata

    karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan

    terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan

    kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu

    suatu hak yang oleh undang-undang diberikan

    33 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 42

  • 40

    kepada seorang yang berpiutang sehingga

    tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang

    lainnya, semata-mata berdasarkan sifat

    piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditor

    preferen terdiri atas kreditor preferen umum dan

    kreditor preferen khusus.

    a) Kreditor preferen khusus

    Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang

    piutang-piutangnya diistimewakan menurut

    preferensi khusus (Pasal 1139). Preferensi

    khusus tersebut antara lain:

    (1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan

    oleh suatu penghukuman untuk melelang

    suatu benda bergerak maupun tidak

    bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan

    penjualan benda tersebut terlebih dahulu

    dari semua piutang lainnya yang

    diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula

    daripada gadai dan hipotik;

    (2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak,

    biaya-biaya perbaikan yang menjadi

    kewajiban si penyewa, beserta segala apa

    yang mengenai kewajiban memenuhi

    persetujuan sewa;

    (3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang

    belum dibayar;

    (4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk

    menyelamatkan suatu barang;

  • 41

    (5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu

    barang, yang masih harus dibayar kepada

    tukang;

    (6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang

    pengusaha rumah penginapan sebagai

    demikian sebagai seorang tamu;

    (7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya

    tambahan;

    (8) Apa yang harus dibayar kepada tukang

    batu, tukang kayu dan lain-lain tukang

    untuk pembangunan, penambahan dan

    perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal

    saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga

    tahun dan hak milik atas persil yang

    bersangkutan masih tetap pada si berutang;

    (9) Penggantian serta pembayaran yang harus

    dipikul oleh pegawai yang memangku suatu

    jabatan umum, karena segala kelalaian,

    kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang

    dilakukan dalam jabatannya.

    b) Kreditor preferen umum

    Kreditor preferen umum adalah kreditor yang

    piutang-piutangnya diistimewakan atas semua

    benda bergerak dan tidak bergerak yang disebut

    preferensi umum (Pasal 1149 KUH Perdata).

    Adapun preferensi umum didasarkan pada

    urutan sebagai berikut:

    (1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata

    disebabkan oleh pelelangan dan

  • 42

    penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini

    didahulukan daripada gadai dan hipotek;

    (2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak

    mengurangi kekuasaan hakim untuk

    menguranginya, jika biaya itu terlampau

    tinggi;

    (3) Semua biaya perawatan dan pengobatan

    dari sakit yang penghabisan;

    (4) Upah para buruh selama tahun yang lalu

    dan upah yang sudah dibayar dalam tahun

    yang sedang berjalan, beserta jumlah uang

    kenaikan upah menurut Pasal 1602 q34;

    (5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan

    makanan yang dilakukan kepada si

    berutang beserta keluarganya, selama waktu

    enam bulan yang terakhir;

    (6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah

    berasrama, untuk tahun yang penghabisan;

    (7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan

    orang-orang yang terampu terhadap sekalian

    wali dan pengampu mereka.

    3) Kreditor separatis (secured creditor)

    Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor

    pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai,

    hipotek, hak tanggungan dan fidusia35. Hak

    34 Telah diatur kemudian dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 35 Ibid., hal. 7. Pengaturan tentang hak jaminan kebendaan tersebut adalah

    sebagai berikut: a. Gadai diatur dalam Pasal 1150 s.d. 1160 Bab XX KUH Perdata yang

    diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Dalam sistem jaminan gadai,

  • 43

    penting yang dipunyai kreditor separatis adalah

    hak untuk dengan kewenangan sendiri

    menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa

    putusan pengadilan (parate eksekusi).

    Golongan kreditor tersebut mendapat pembagian hasil

    penjualan boedel pailit menurut urutan haknya.

    Menurut Ricardo Simanjuntak36 hak para kreditor

    untuk mendapatkan pembagian dari hasil penjualan

    boedel pailit, dapat dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat

    mulai dari hak yang paling tinggi hingga hak yang

    paling rendah sebagai berikut:

    1) Hak retensi (retain) merupakan hak yang dimiliki

    oleh kreditor atas kewenangan yang diberikan

    kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun

    penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditur

    pemilik tagihan ini berhak untuk menahan (retain)

    benda (boedel pailit) yang berada di bawah

    kekuasaannya sebelum biaya perbaikan terhadap

    seorang pemberi gadai (debitur) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor).

    b. Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta pesawat terbang.

    c. Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah.

    d. Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek dan hak tanggungan.

    36 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

    Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 301-302

  • 44

    boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi37,

    serta biaya perkara yang dikeluarkan untuk

    pelelangan dan penyelesaian warisan38;

    2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan

    hak yang dimiliki kantor pajak untuk

    mendapatkan pembayaran dari boedel pailit lebih

    dahulu dari kreditur lainnya39;

    3) Hak preferensi separatis bagi kreditor separatis

    (secured creditor) merupakan hak yang dimiliki oleh

    kreditur-kreditur yang memegang jaminan dalam

    bentuk hak tanggungan, hipotek, gadai dan fidusia

    (tersebut di atas);

    4) Hak istimewa buruh40;

    5) Hak preferensi khusus bagi kreditor preferen

    khusus berdasarkan Pasal 1139 KUH Perdata

    (tersebut di atas);

    6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen

    umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata

    (tersebut di atas);

    37 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3)b UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009), 38 Pasal 21 ayat (3)c UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) 39 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 jo Pasal 21 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1134 KUH Perdata jo. Pasal 1137 KUH Perdata. Dalam kacamata pajak, hak istimewa ini bahkan lebih tinggi (mendahului) daripada hak yang dimiliki oleh kreditur separatis. 40 Berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

    Sebelumnya hak buruh untuk mendapatkan pembayaran berada pada kedudukan kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata, akan tetapi kemudian diberikan hak istimewa oleh UU No 13 Tahun 2003.

  • 45

    7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk

    dibayarkan secara pro rata berdasarkan Pasal 1132

    KUH Perdata (tersebut di atas).

    b. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

    kurator

    Pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan berbeda

    dengan pengurusan dan pemberesan dalam likuidasi.

    Mekanisme kepailitan pada intinya sama dengan

    mekanisme likuidasi yaitu adanya verifikasi utang dan

    verifikasi debitor. Namun dalam pelaksanaannya

    likuidasi dilakukan oleh likuidator dimana direksi

    dapat menjadi likuidator apabila disepakati dalam

    RUPS. Sedangkan dalam kepailitan, pengurusan dan

    pemberesan hanya bisa dilakukan oleh kurator.

    c. Di bawah pengawasan hakim pengawas

    Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh

    pengadilan dalam putusan pailit atau putusan

    penundaan kewajiban pembayaran utang41. Fungsinya

    adalah untuk mengawasi jalannya pengurusan dan

    pemberesan oleh kurator.

    4. Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit

    Dapat Diterima

    Ada 4 (empat) syarat agar pengajuan permohonan pailit

    dapat diterima yaitu:

    41 Pasal 1 angka 8 UU No. 37 Tahun 2004

  • 46

    a. Adanya debitor

    Syarat “adanya debitor” merupakan syarat materil

    terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004:

    “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan

    tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

    telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

    dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

    Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena

    perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di

    muka pengadilan42. Debitor bisa berupa perorangan

    (natuurlijk persoon; human being) atau badan hukum

    (rechts persoon; artificial person). Perseroan Terbatas

    termasuk dalam kategori badan hukum.

    b. Adanya dua kreditor atau lebih (concursus

    creditorum)

    Syarat “adanya dua kreditor atau lebih” merupakan

    syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

    2004. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang

    karena perjanjian atau undang-undang yang dapat

    ditagih di muka pengadilan43.

    “Adanya dua kreditor atau lebih” memiliki makna

    bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit

    kepada seorang kreditor, maka kreditor tersebut harus

    mempunyai minimal 2 (dua) kreditor.

    42 Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 43 Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004

  • 47

    c. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

    telah jatuh waktu dan dapat ditagih

    Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

    yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” merupakan

    syarat materiil, sebagai lanjutan dari syarat kedua,

    terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Syarat

    “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

    telah jatuh waktu dan dapat ditagih” memiliki makna

    bahwa agar dapat mengajukan permohonan

    permohonan pailit, maka dari dua kreditor atau lebih,

    minimal ada satu hutang kepada salah satu kreditor

    yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

    Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat

    ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang

    telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,

    karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

    diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda

    oleh instansi yang berwenang, maupun karena

    putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase44.

    Definisi “utang” tercantum dalam Pasal 1 butir 6 UU

    No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut:

    “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang

    Indonesia maupun mata uang asing, baik secara

    langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari

    atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau

    undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur

    dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor

    44Penjelasan Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2004

  • 48

    untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan

    debitur.”

    Dari definisi utang tersebut di atas terutama dari

    parafrase “kewajiban yang dinyatakan atau dapat

    dinyatakan dalam jumlah uang”, maka secara jelas

    definisi utang harus ditafsirkan secara luas, bahwa

    utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari

    perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam”

    tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang

    atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah

    uang”.

    d. Pembuktian sederhana (summarily proving)

    Syarat ini merupakan syarat formil terkait Pasal 8 ayat

    (4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

    “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti

    secara sederhana bahwa persyaratan untuk

    dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

    Parafrase “fakta dan kenyataan terbukti secara

    sederhana” (summarily proving) dalam Pasal 8 ayat 4

    UU No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas berarti bahwa

    keberadaan utang yang dimaksudkan oleh pemohon

    pailit tidak dipersengketakan lagi. Dengan kalimat lain,

    keberadaan utang yang secara pembuktian telah

    sangat kuat dan jelas keberadaannya tersebut

    membuat langkah pembuktian terhadapnya – dalam

    hal debitur mencoba mengingkarinya – cukup

    dilakukan secara sederhana (summarily proving). Jika

    utang tersebut masih dipersengketakan, sehingga

  • 49

    pembuktian terhadap utang tersebut tidak dapat

    dilakukan secara sederhana, maka penyelesaian

    sengketa utang-piutang tersebut bukan kewenangan

    Pengadilan Niaga. Sengketa utang-piutang tersebut

    diselesaikan melalui jalur gugatan perdata pada

    pengadilan negeri.

    Selain itu, menurut penulis perlu ditambahkan, dalam

    hal subjek hukum yang dipailitkan adalah Perseroan,

    syarat mengenai siapa debitor harus dapat dibuktikan

    secara sederhana. Syarat mengenai siapa debitor

    adalah mengenai apakah subjek hukum yang berutang

    adalah Perseroan atau pribadi anggota Organ

    Perseroan.

    Bagan 3.

    Empat Syarat agar Permohonan Pernyataan Pailit dapat Diterima

    Keempat syarat tersebut harus dipenuhi agar permohonan

    pailit dapat diterima.

  • 50

    5. Pemohon Pailit

    Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan

    permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

    Permohonan pernyataan pailit bisa diajukan oleh debitor

    sendiri (voluntary petition) atau oleh pihak ketiga

    (involuntary petition), Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan

    Pengawas Pasar Modal, maupun Menteri Keuangan,

    sebagai berikut:

    a. Atas Permohonan Debitor Sendiri (Voluntary

    Petition)

    UU No. 37 Tahun 2004 memungkinkan seorang

    kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan

    pailit atas dirinya sendiri45. Tujuannya agar masalah

    kesulitan keuangan yang dihadapinya dapat segera

    diselesaikan oleh pengadilan melalui kurator kepada

    para kreditor.

    b. Atas Permohonan Pihak Ketiga (Involuntary

    Petition)

    Permohonan pernyataan pailit dapat juga diajukan oleh

    seorang kreditor atau lebih, termasuk di dalamnya

    kreditor konkuren, kreditor preferen maupun kreditor

    separatis46.

    45 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Dalam hal permohonan pernyataan pailit

    diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Lihat Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 46 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dan penjelasannya.

  • 51

    c. Kejaksaan

    Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur juga

    dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan

    umum47.

    d. Bank Indonesia

    Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank

    Indonesia dalam hal debitornya adalah bank.48

    e. Pengawas Pasar Modal

    Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Badan

    Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitor

    adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring

    dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

    Penyelesaian.49

    f. Menteri Keuangan

    Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri

    Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan

    Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau

    Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

    kepentingan publik.50

    47 Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

    a. Debitor melarikan diri; b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang

    menghimpun dana dari masyarakat; d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari

    masyarakat luas; e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan

    masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

    f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum 48 Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 49 Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 50 Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004

  • 52

    6. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit per

    Tingkat Peradilan

    Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit terdiri

    atas Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit

    pada tingkat pertama, tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali.

    a. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit

    pada Tingkat Pertama

    Permohonan pernyataan pailit pada tingkat pertama

    diajukan melalui Pengadilan Niaga di wilayah hukum

    debitor Termohon Pailit (Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun

    2004. Prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit di

    Pengadilan Niaga dari proses pendaftaran permohonan

    sampai putusan dibacakan memerlukan waktu 60 (enam

    puluh) hari (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004).

    Bagan 4

    Time-frame Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit di Pengadilan Niaga (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004)

  • 53

    b. Prosedur dan Time-Frame Kasasi Perkara Kepailitan

    Permohonan kasasi perkara kepailitan diajukan melalui

    Pengadilan Niaga. Prosedur pengajuan permohonan kasasi

    proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga

    sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung

    (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004) memerlukan waktu

    sekitar 74 (tujuh puluh empat hari. Berikut ini time-frame

    pengajuan permohonan kasasi Perkara Kepailitan di

    Pengadilan Niaga:

    Bagan 5

    Time-frame Pengajuan Permohonan Kasasi Perkara Kepailitan

    ke Mahkamah Agung (Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004)

  • 54

    c. Prosedur dan Time-Frame Peninjauan Kembali Perkara

    Kepailitan

    Permohonan Peninjauan Kembali (PK) perkara kepailitan

    diajukan melalui Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 195 UU No.

    37 Tahun 2004, terdapat 2 (dua) alasan Permohonan

    peninjauan kembali yaitu:

    1) setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat

    menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di

    Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau

    2) dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat

    kekeliruan yang nyata.

    Tenggang waktu untuk pengajuan PK dengan alasan

    “ditemukannya bukti baru” adalah 180 (seratus delapan puluh

    hari) sejak putusan atas permohonan kasasi memperoleh

    kekuatan hukum tetap. Sedangkan tenggang waktu pengajuan

    PK dengan alasan “terdapat kekeliruan yang nyata” adalah 30

    (tiga puluh hari).

    Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran

    permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan

    dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung memerlukan waktu

    sekitar 30 (tiga puluh) hari (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun

    2004). Berikut ini time-frame pengajuan permohonan PK

    Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga:

  • 55

    Bagan 6.

    Time-frame Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Perkara

    Kepailitan ke Mahkamah Agung

    (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun 2004)

  • 56

    Dari ketiga bagan jangka waktu (time-frame) pengajuan

    permohonan pernyataan pailit, pengajuan kasasi dan

    pengajuan permohonan peninjauan kembali kasus kepailitan

    yang telah dijelaskan di atas, perkiraan jangka waktu (time-

    frame) penyelesaian perkara kepailitan adalah 212 hari

    (diperhitungkan dengan perkiraan jangka waktu pembacaan

    putusan per tingkat peradilan sampai dengan pengajuan

    permohonan per tingkat peradilan). Jangka waktu ini jauh

    lebih singkat dari pada jangka waktu (time-frame) pengajuan

    perkara perdata yang memakan waktu 4-6 tahun dari tingkat

    pertama pada Pengadilan Negeri sampai dengan tingkat

    Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Dengan demikian,

    pilihan untuk menyelesaikan sengketa hutang-piutang dengan

    menggunakan pranata hukum kepailitan melalui Pengadilan

    Niaga lebih mudah dan lebih sederhana dibanding

    menggunakan pranata hukum perdata melalui Pengadilan

    Negeri.

    (60) + (8+74) + (30 + 30) = 212 h

  • 57

    B. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good

    Corporate Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan Dalam

    Mencegah Terjadinya Kepailitan

    Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good

    Corporate Governance) merupakan keniscayaan dalam suatu

    Perseroan. Amartya Sen51, mengibaratkan keberadaan Tata

    Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance)

    tersebut sebagai “oksigen” bagi “kehidupan” Perseroan, dimana

    manfaat kehadirannya lebih dipahami ketika ia tidak hadir:

    A basic code of good business behavior (Good Corporate Governance - penulis) is a bit like oxygen: we take an interest

    in its presence when it is absent!

    Sebuah penelitian terkait Good Corpororate Governance yang

    dilakukan oleh Duff and Phelps menyatakan bahwa para

    responden baik di AS maupun di Eropa, pada umumnya

    sependapat bahwa tuntutan tata kelola Perseroan (Good

    Corpororate Governance) yang baik merupakan dampak dari

    berbagai skandal korporasi: WorldCom, Enron, Adelphia dan

    Parmalat. Survey membuktikan 72% responden berpendapat

    bahwa tuntutan pelaksanaan tata kelola Perseroan yang baik

    (Good Corpororate Governance) tersebut bahkan menjadi salah

    satu faktor pendorong kenaikan permintaan pendapat

    kewajaran (fairness opinion)52 oleh Perseroan.

    51 Amartya Sen, The 1998 Nobel laureate in Economic Science dalam Saiful M. Ruky, Fairness Opinion: Pendapat Kewajaran Transaksi Korporasi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2010, hal. 17 52 Pendapat kewajaran (fairness opinion) adalah pendapat yang diberikan oleh

    seorang penasihat keuangan independen yang berkaitan dengan kewajaran atas transaksi korporasi yang terjadi pada pasar corporate control tersebut yang terdiri

  • 58

    Dari hal tersebut di atas, penulis mengasumsikan Pelaksanaan

    Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate

    Governance) merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan

    Perseroan.

    1. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

    Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan dalam

    Mencegah Terjadinya Kepailitan

    Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

    Governance) yaitu Prinsip Transparansi (Transparency),

    Akuntabilitas (Accountability), Prinsip Responsibilitas

    (Responsibility), Prinsip Independensi (Independency),

    Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) harus

    tercermin dalam pengelolaan Perseroan agar kepailitan

    dapat tercegah.

    Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) berkaitan

    dengan pengambilan keputusan efektif yang bersumber

    pada etika bisnis, budaya Perseroan, etika, nilai, sistem,

    proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang

    bertujuan untuk mendorong dan mendukung:

    perkembangan Perseroan; pengelolaan sumber daya dan

    risiko secara lebih efisien serta efektif;

    dari: 1) uji kewajaran kesepakatan (fair dealing) atau disebut juga dengan

    kewajaran prosedur (procedure fairness) dan 2) uji kewajaran harga (fair price). Lihat: Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 2-5

  • 59

    pertanggungjawaban Perseroan terhadap pemegang

    saham dan stakeholders lainnya53.

    Menurut Price Waterhouse Coopers, Tata Kelola Perseroan

    adalah sebagai berikut:

    Corporate Governance is about effective decision making. It is founded upon organizational culture, ethics, value,

    system, processes, policies and structures which are aimed at fostering and promoting: business prosperity; efficient and effective management of resources and risk; corporate accountability and the stakeholders.54

    Menurut Parijs55, ditinjau dari sisi badan kepengurusan

    Perseroan, dalam hal Tata Kelola Perseroan (Corporate

    Governance) dikenal 2 sistem badan kepengurusan

    (governing body) yaitu: 1) sistem yang menganut

    kepengurusan dengan 1 (satu) lapis dewan pimpinan (one

    tier board system), sistem ini diterapkan di negara-negara

    yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon, 2) sistem

    dengan 2 (dua) lapis dewan pimpinan (two tier board

    system), sistem ini banyak diterapkan di negara-negara

    yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental

    termasuk Indonesia. Perseroan dengan 1 lapis sistem

    badan kepengurusan (one governing body); the board of

    director (BOD) terdiri dari Eksekutif dan Non-Eksekutif

    Direktur atau biasa disebut dengan Inside dan Outside

    Director. Mereka dipilih oleh pemegang saham dan

    53 Kemal Azis Stamboel, Good Corporate Governance: Menyeimbangkan Antara Kinerja Perusahaan dengan ketaatan, Makalah, Jakarta: The Indonesian Instritute for Corporate Governance, 2000 54 Price Waterhouse Coopers, Conceptual Model for Corporate Governance Definition, Makalah, Jakarta: BPPN Workshop for Recapitalized, 2000 dalam Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum

    Universitas Indonesia, 2002, hal.37 55 Sergei Parijs dalam Saiful M. Ruky, Op. Cit, hal. 17

  • 60

    membuat keputusan serta mengendalikan perusahaan.

    Direktur Non-Eksekutif biasanya merupakan Direktur

    paruh waktu dan tugas utamanya melakukan supervise

    kepada Direktur Eksekutif.

    Perseroan dengan 2 sistem badan kepengurusan, terdiri

    atas Dewan Manajemen/Eksekutif (Management Board,

    Indonesia: Direksi) dan Dewan Pengawas (Supervisory

    Board, Indonesia: Dewan Komisaris). Direksi bertugas

    atas pengelolaan Perseroan sehari-hari, sedangkan

    Dewan Komisaris mengawasi dan memonitor Direksi

    dalam melaksanakan tugas pengelolaan sehari-hari,

    termasuk memberikan nasihat dan ratifikasi terhadap

    keputusan Direksi yang bersifat strategis, sebagaimana

    diatur dalam anggaran dasar Perseroan56.

    Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap

    pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat

    strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut,

    Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan

    ratifikasi dari Dewan Komisaris.

    Dalam beberapa kasus yang akan diulas dalam Bab III,

    kepaillitan seringkali disebabkan karena adanya utang

    yang telah jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata

    perjanjian hutang-piutangnya tidak diratifikasi oleh

    Dewan Komisaris. Dalam hal ini terjadi pelampauan

    wewenang dalam proses perjanjian dengan pihak ketiga

    menyangkut keputusan strategis yaitu Direksi tidak

    56 Loc. cit.

  • 61

    meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris.

    Pelampauan wewenang ini merupakan pelanggaran

    terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik, dimana

    Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan Komisaris

    untuk memberikan nasihat dan melakukan ratifikasi

    terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya strategis.

    Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila Direksi

    menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak

    memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan

    fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi

    untuk mengelola Perseroan (termasuk di dalamnya

    keuangan Perseroan) secara hati-hati (duty of care).

    2. Lima Prinsip Good Corporate Governance yang harus

    dilaksanakan dalam Pengelolaan Perseroan untuk

    mencegah terjadinya Kepailitan

    Untuk mencegah terjadinya kepailitan, ada 5 (lima)

    prinsip yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan

    Perseroan. Menurut Organization For Economic

    Cooperation and Development (OECD) prinsip-prinsip Tata

    Kelola Perseroan (Good Corporate Governance) tersebut

    adalah sebagai berikut:

    a. Prinsip Transparansi (Transparency)

    b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

    c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility)

    d. Prinsip Independensi (Independency)

    e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

  • 62

    Berikut uraian dari masing-masing prinsip tersebut:

    a. Prinsip Transparansi (Transparency)

    Prinsip Transparansi (Transparency) mengandung unsur

    keterbukaan yang harus diterapkan dalam setiap aspek

    di perusahaan yang berkaitan dengan kepentingan publik

    atau pemegang saham. Transparansi dalam GCG adalah

    wujud pengelolaan Perseroan secara terbuka dan

    pengungkapan fakta yang aktual secara tepat waktu

    kepada para pemangku kepentingan.

    Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance57,

    Prinsip Dasar Transparansi (Transparency) adalah untuk

    menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis,

    perseroan harus menyediakan informasi yang material

    dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan

    dipahami oleh pemangku kepentingan. Perseroan harus

    mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya

    masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-

    undangan, tetapi juga hal yang penting untuk

    pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur

    dan pemangku kepentingan lainnya.

    Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan berdasarkan

    Prinsip Transparansi (Transparency):

    1) Perseroan harus menyediakan informasi secara tepat

    waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat

    57 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia, 2006, hal. 5

  • 63

    diperbandingkan serta mudah diakses oleh

    pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

    2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi

    tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan

    strategi perseroan, kondisi keuangan, susunan dan

    kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali,

    kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota

    Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam

    perseroan dan perseroan lainnya, sistem manajemen

    risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal,

    sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat

    kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat

    mempengaruhi kondisi perseroan.

    3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perseroan tidak

    mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan

    kerahasiaan perseroan sesuai dengan peraturan

    perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak

    pribadi.

    4) Kebijakan perseroan harus tertulis dan secara

    proporsional dikomunikasikan kepada pemangku

    kepentingan.

    b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

    Prinsip Akuntabilitas (Accountability) merupakan suatu

    perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

    keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan visi dan misi

    perusahaan, untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran

    yang telah diterapkan58.

    58 Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 67

  • 64

    Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)59: Perseroan

    harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

    transparan dan wajar. Untuk itu perseroan harus dikelola

    secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan

    perseroan dengan tetap memperhitungkan kepentingan

    pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.

    Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan

    untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

    Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

    Prinsip Akuntabilitas (Accountability):

    1) Perseroan harus menetapkan rincian tugas dan

    tanggung jawab masing-masing organ perseroan dan

    semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi,

    misi, nilai-nilai perseroan (corporate values), dan

    strategi perseroan.

    2) Perseroan harus meyakini bahwa semua organ

    perseroan dan semua karyawan mempunyai

    kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab,

    dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

    3) Perseroan harus memastikan adanya sistem

    pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan

    perseroan.

    4) Perseroan harus memiliki ukuran kinerja untuk

    semua jajaran perseroan yang konsisten dengan

    sasaran usaha perseroan, serta memiliki sistem

    penghargaan dan sanksi (reward and punishment

    system).

    59 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5

  • 65

    5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,

    setiap organ perseroan dan semua karyawan harus

    berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku

    (code of conduct) yang telah disepakati.

    c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility)

    Prinsip Responsibilitas (Responsibility) mencakup hal-hal

    yang terkait dengan pertanggungjawaban yang sesuai

    dengan peraturan perundang-undangan kepada para

    pemegang saham maupun para pemangku kepentingan

    serta pemenuhan kewajiban sosial perusahaan60.

    Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)61: Perseroan

    harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

    melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan

    lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan

    usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan

    sebagai good corporate citizen.

    Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

    Prinsip Responsibilitas (Responsibility):

    1) Organ perseroan harus berpegang pada prinsip

    kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap

    peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan

    peraturan perseroan (by-laws).

    2) Perseroan harus melaksanakan tanggung jawab sosial

    dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan

    kelestarian lingkungan terutama di sekitar perseroan

    60 Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 70 60 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 5 61 Komite Kebijakan Nasional Governance, Op.cit., hal. 6

  • 66

    dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang

    memadai.

    d. Prinsip Independensi (Independency)

    Prinsip Dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas

    GCG, perseroan harus dikelola secara independen

    sehingga masing-masing organ perseroan tidak saling

    mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak

    lain.

    Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

    Prinsip Independensi (Independency):

    1) Masing-masing organ perseroan harus menghindari

    terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak

    terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari

    benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari

    segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan

    keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

    2) Masing-masing organ perseroan harus melaksanakan

    fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar

    dan peraturan perundang-undangan, tidak saling

    mendominasi dan atau melempar tanggung jawab

    antara satu dengan yang lain.

    e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

    Prinsip Dasar: Dalam melaksanakan kegiatannya,

    perseroan harus senantiasa memperhatikan kepentingan

    pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya

    berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.

  • 67

    Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut

    Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness):

    1) Perseroan harus memberikan kesempatan kepada

    pemangku kepentingan untuk memberikan masukan

    dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan

    perseroan serta membuka akses terhadap informasi

    sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup

    kedudukan masing-masing.

    2) Perseroan harus memberikan perlakuan yang setara

    dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai

    dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan

    kepada perseroan.

    3) Perseroan harus memberikan kesempatan yang sama

    dalam penerimaan karyawan, berkarir dan

    melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa

    membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan

    kondisi fisik.

    Dengan melaksanakan kelima prinsip Tata Kelola Perseroan

    yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut di atas,

    maka diharapkan, kepailitan dapat tercegah.

  • 68

    C. Kepailitan Perseroan Terbatas

    Salah satu subjek hukum yang dapat dipailitkan adalah

    Perseroan Terbatas62. Untuk dapat memahami kepailitan

    Perseroan Terbatas, penulis membuat perbandingan antara

    Kepailitan Perseroan Terbatas dengan kebangkrutan

    Perseroan, pembubaran Perseroan dan likuidasi Perseroan.

    1. Perbandingan Antara Kepailitan Perseroan Terbatas

    dengan Kebangkrutan Perseroan, Pembubaran

    Perseroan Dan Likuidasi Perseroan

    Kepailitan Perseroan Terbatas adalah keadaan hukum

    yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga63 dimana sebuah

    Perseroan yang memiliki minimal dua kreditor dan terbukti

    tidak membayar paling sedikit satu hutang yang telah

    jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebagai konsekuensi

    hukum dari kepailitan tersebut semua aset Perseroan

    sebagai debitor pailit tersebut berada dalam sita umum

    (public attachment) yang dilakukan pengurusan dan

    pemberesannya oleh seorang atau lebih kurator yang

    berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang

    diangkat bersama kurator oleh Pengadilan Niaga.

    62 Subjek hukum yang dapat dipailitkan selain Perseroan Terbatas yaitu subjek hukum perorangan, bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi,

    Perusahaan Re-asuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara. Lihat Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004. 63 Dalam konteks Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal UU No. 37 Tahun 2004

  • 69

    Kata “tidak membayar” yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat

    (1) memberikan pengertian bahwa UU No. 37 Tahun 2004

    tidak mempertimbangkan apakah tidak dibayarnya utang

    yang terbukti secara sederhana telah jatuh tempo dan

    dapat ditagih tersebut disebabkan karena Perseroan

    sebagai debitor pailit tersebut tidak mau membayar

    (unwilling to pay debt) atau tidak mampu membayar utang

    (unable to pay debt/insolvent)tersebut kepada

    kreditornya64. Artinya, tidak dibedakan apakah keuangan

    Perseroan sebagai debitor pailit tersebut masih dalam

    keadaan sehat atau tidak, asalkan syarat dalam Pasal 2

    ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut terpenuhi, maka

    debitor tersebut akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan

    Niaga.

    Oleh karena itu, status pailit belum secara otomatis

    menyatakan bahwa Perseroan sebagai debitor pailit

    tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk

    membayar utang-utangnya (unable to pay debt/insolvent).

    Dapat saja Perseroan sebagai debitor pailit merupakan

    Perseroan besar dan memiliki keuangan yang sehat,

    namun dipailitkan karena tidak membayar utangnya

    (walaupun jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah

    asetnya ketika dipailitkan) yang telah terbukti jatuh tempo

    dan dapat ditagih.

    Ketika Perseroan sebagai debitor pailit tersebut sebenarnya

    masih cukup mampu untuk melunasi utang-utangnya

    64 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

    Perancangan Kontrak Bisnis, 2011, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 294

  • 70

    kepada kreditornya, maka debitor pailit tersebut dapat

    mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144

    UU No. 37 Tahun 2004) dimana bila usulan perdamaian

    yang diajukan oleh debitor pailit disetujui oleh seluruh

    kreditornya, maka apabila perdamaian tersebut

    diwujudkan, akan mengakibatkan berakhirnya status pailit

    dari debitor seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU No. 37

    Tahun 2004 dengan dilakukannya rehabilitasi berdasarkan

    Pasal 205 UUK65.

    Akan tetapi sebaliknya, bila usulan perdamaian tersebut

    ditolak oleh para kreditornya, atau Perseroan sebagai

    debitor pailit tersebut tidak mengajukan usulan

    perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 UU No. 37

    Tahun 2004 barulah debitor tersebut dinyatakan insolvent.

    Sejak Perseroan sebagai debitor pailit dinyatakan insolvent,

    kurator mulai melakukan pemberesan terhadap aset-aset

    debitor agar dapat digunakan untuk membayar seluruh

    kewajiban dari debitor pailit baik dalam bentuk biaya

    kepailitan ataupun kewajiban-kewajiban kepada

    kreditornya66.

    Kebangkrutan Perseroan adalah keadaan dimana

    Perseroan mengalami krisis keuangan sehingga total

    kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset)67. Krisis

    65 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan Makalah Seri Workshop Kepailitan I-IV, 2005, hal. 184 66 Loc.cit. 67 Lihat: Dr. Mamduh M. Hanafi, MBA, Manajemen Keuangan, 2004, Yogyakarta: BPFE UGM, hal. 638

  • 71

    keuangan dapat terlihat melalui insolcency test yang terdiri

    dari cashflow test dan balance sheet test68.

    Pada beberapa pembuktian ketidakmampuan membayar

    utang, “balance sheet test” disamakan dengan “cashflow

    test” karena sama-sama menggambarkan laporan kondisi

    keuangan Perseroan seperti dinyatakan oleh Ian Fletcher69

    berikut ini:

    “Balance sheet” insolvency sometimes referred to as a “cash flow” crisis, where the sum total of debt-present, future and contingent- exceeds the total value of all assets.

    Tetapi sejatinya “balance sheet” dan “cashflow” merupakan

    laporan keuangan yang berbeda.

    Menurut Professor Goode70, cash flow test relatif lebih

    mudah untuk diaplikasikan dalam praktek, agar

    pengadilan dapat melihat kegiatan aktual Perseroan,

    namun sebenarnya cash flow bukanlah fakta pembayaran

    utang yang telah jatuh tempo sebagai prasyarat untuk

    menyatakan Perseroan tersebut dalam keadaan insolvent:

    “The cashflow test is relatively easy to apply in practice, for the court looks at what the company is actually doing; if it is not in fact paying its debts as they fall due it is assumed to be insolvent”

    Berdasarkan pendapat Professor Goode tersebut, penulis

    menyimpulkan bahwa krisis keuangan yang menunjukkan

    keadaan bankrutnya Perseroan bukanlah krisis cashflow

    68 R. M Goode, Principle of Corporate Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal. 26 69 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 5 70 Loc. cit. hal. 27

  • 72

    (pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan)

    melainkan merujuk pada ketidakseimbangan posisi

    balance sheet. dimana total kewajiban (liability) melebihi

    total aktiva (asset).

    Pentingnya membedakan antara krisis cashflow dan

    ketidakseimbangan posisi balance sheet adalah karena

    bisa jadi, cashflow Perseroan berada dalam kondisi tidak

    minus (pemasukan lebih besar daripada pengeluaran)

    tetapi ternyata sumber pemasukan tersebut berasal dari

    utang yang sebenarnya berposisi sebagai kewajiban

    (liability). Untuk mempermudah memahami posisi balance

    sheet, perhatikan contoh balance sheet berikut:

    Gambar 3.

    Neraca (balance sheet)71

    Aset Lancar Kewajiban Lancar

    Kas dan Sekuritas Utang

    Piutang Utang jangka panjang

    Persediaan

    + +

    Aset Tetap Kewajiban Jangka Panjang

    Aset berwujud +

    Aset tidak berwujud Ekuitas Pemegang Saham

    Dalam neraca (Balance Sheet) tersebut, utang Perseroan

    terhadap pihak ketiga tercakup dalam kewajiban (liabilities)

    pada bagian kanan. Dalam pembuktian keadaan insolvent

    dari suatu Perseroan dapat dianalisis dari balance sheet

    tersebut, yaitu dengan melihat perbandingan antara

    71 Brealey Myers Marcus, Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, 2008, Jakarta: Erlangga, hal.58

    =

  • 73

    kewajiban (liabilities) dan modal (equity)72. Jika liabilities >

    equity (jumlah utang lebih besar daripada modal), maka

    Perseroan tersebut dikategorikan memiliki kemampuan

    yang rendah dalam membayar utang. Apalagi jika equity =

    0, atau liabilities = 100%, maka Perseroan tersebut

    dikategorikan memiliki risiko tinggi (high risk), karena jika

    kreditor meminta pelunasan utang, maka jalan keluar

    satu-satunya adalah dengan mencairkan aset yang dimiliki

    oleh Perseroan tersebut. Inilah salah satu73 asal-muasal

    keadaan insolvent debitor dalam membayar hutangnya.

    Kebangkrutan (bankruptcy) memiliki persamaan arti

    dengan keadaan ketidakmampuan membayar hutang-

    hutangnya (insolvency). Kebangkrutan (bankruptcy) dan

    ketidakmampuan membayar utang (insolvency)

    mempunyai persamaan arti, yaitu keadaan

    ketidakmampuan membayar utang karena krisis keuangan

    dalam Perseroan. Perbedaannya dikemukakan oleh Ian

    Fletcher74, bahwa insolvency adalah kondisi faktual,

    sedangkan bankruptcy adalah status hukum:

    Distinction between “insolvency” and “bankruptcy”, “insolvency” as a factual condition and “bankruptcy” as a legal condition status.

    72 Liabilities dan equity sama-sama merupakan sumber modal Perseroan. Bedanya, liabilities merupakan modal yang bersumber kreditor dalam bentuk pinjaman/utang (payable), sedangkan equity merupakan modal yang bersumber dari investor berupa saham (stock). Wawancara dengan Marwata, SE, MSi. Ph.D, Dosen Akuntansi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2 Mei 2012 73 Selain ketidakmampuan untuk membayar utang (unable to pay), kepailitan bisa

    juga terjadi karena ketidakmauan debitor untuk utang (unwilling to pay) 74 Ian F. Fletcher, The Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal 4

  • 74

    Menurut penulis, dalam pranata hukum kepailitan

    Indonesia, fungsi balance sheet test dalam pranata hukum

    kepailitan di Indonesia, bukan sebagai pembuktian untuk

    memperkuat argumen mengenai utang yang telah jatuh

    tempo dan dapat ditagih, melainkan untuk pembuktian

    dalam usulan perdamaian bahwa Perseroan sebagai

    debitor pailit berada dalam keadaan mampu membayar

    utang-utangnya (able to pay/solvent).

    Pembubaran Perseroan (dissolution) merupakan

    penghentian kegiatan usaha perseroan yang tidak

    mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum

    sampai dengan selesainya likuidasi dan

    pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau

    pengadilan75 atau pertanggungjawaban kurator diterima

    oleh hakim pengawas76. Dengan demikian, kepailitan

    merupakan salah satu penyebab bubarnya Perseroan77.

    Likuidasi (liquidation) merupakan pemberesan

    penyelesaian dan pengakhiran urusan Perseroan setelah

    bubarnya Perseroan, apakah bubarnya Perseroan

    disebabkan karena jangka waktu yang diatur dalam

    Anggaran Dasar telah berakhir, atau karena adanya

    keputusan baik keputusan RUPS maupun penetapan

    75 Pasal 143 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007) 76 Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004. Likuidasi dilakukan oleh kurator dalam hal Pembubaran terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah

    dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi. Lihat: Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 37 Tahun 2004 77 Penyebab bubarnya Perseroan ada 6 (enam) hal yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a-f UU No. 37 Tahun 2004

  • 75

    pengadilan.78 Dalam hal pembubaran disebabkan oleh

    karena Perseroan telah dinyatakan pailit maka kuratorlah

    yang melakukan likuidasi. Pemberesan oleh kurator

    disebut likuidasi khusus79.

    2. Tujuan Hukum Kepailitan Perseroan di Indonesia:

    Perbandingan dengan Hukum Kepailitan Amerika

    Serikat

    Menurut David Milman dan Christopher Durrant80, tujuan

    utama (basic aims) Hukum Kepailitan Perseroan di

    Amerika Serikat:

    a. To protect creditors – e.g., by providing facilities and procedures designed to allow them to enforce their claims against the company;

    b. To balance the interests of competing groups on corporate insolvency;

    c. To control or punish directors responsible for the financial collapse of the company.

    Jika dibuat perbandingan dengan tujuan hukum di

    Amerika Serikat, maka tujuan hukum kepailitan Perseroan

    di Indonesia:

    a. Dalam tujuan pertama, tujuan hukum kepailitan

    Indonesia dan AS cenderung sama yaitu bertujuan

    untuk melindungi kepentingan kreditor. Hal ini terlihat

    dari syarat untuk mengajukan permohonan pailit (Pasal

    2 ayat 1) yang sederhana sehingga memudahkan

    78 Bandingkan dengan Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, 2011, Griya Media,

    Salatiga, hal. 236 79 Lihat Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a. 80David Milman dan Christopher Durrant, Corporate Insolvency:Law and Practice, London: Sweet and Maxwell, 1987, hal. 1

  • 76

    kreditor untuk mempailitkan debitor demi

    mendapatkan pelunasan atas piutangnya;

    b. Dalam tujuan kedua, tujuan hukum kepailitan

    Indonesia dan AS cenderung sama yaitu untuk

    menyeimbangkan pembagian hasil boedel pailit

    diantara para kreditor, dalam hal ini kreditor konkuren,

    setelah kreditor separatis dan kreditor preferen

    mendapatkan pemenuhan haknya terlebih dahulu

    (Pasal 1132);

    c. Dalam tujuan ketiga, tujuan hukum kepailitan

    Indonesia dan AS berbeda. Tujuan hukum kepailitan

    AS adalah untuk mengontrol atau menghukum Direksi

    atas jatuhnya kondisi keuangan Perseroan, sedangkan

    di Indonesia, pranata hukum kepailitan tidak sampai

    menghukum Direksi atas kepailitan Perseroan. Hal ini

    terbukti dari isi putusan Pengadilan Niaga yang tidak

    pernah menghukum anggota Direksi Perseroan atas

    kepailitan Perseroan tersebut. Anggota Direksi hanya

    diminta pertanggungjawabannya apabila kepailitan

    terjadi karena perbuatan ultra vires Direksi.

    Perbandingan selanjutnya adalah mengenai tujuan adanya

    pranata hukum kepailitan di AS adalah untuk

    mereorganisasi Perseroan, sebagaimana diatur dalam

    Chapter 11 Bankruptcy Code USA. Berikut ini laporan

    legislatif USA mengenai tujuan Bankruptcy Code (the goal

    of Bankruptcy Code according to legislative report that

    accompanied the Bankruptcy Code)81:

    81 Rees W. Morrison, Business Opportunities from the Corporate Bankruptcies, USA: John Wiley & Sons, Inc, hal. 44

  • 77

    “The purpose of a business reorganization case, unlike a bankruptcy liquidation case, is to restructure a business finance so that it may continue to operate, provide its employees with jobs, pay its creditors and produce a return for its stockholders. The premise of a business reorganization is that assets that are used for production in the industry for which they were designed are more valuable than those same assets sold for scrap.”

    Menurut penulis, tujuan utama hukum kepailitan

    bukanlah untuk reorganisasi Perseroan karena Perseroan

    yang telah dipailitkan pada akhirnya akan dibubarkan

    secara hukum (dissolution), sehingga eksistensinya sebagai

    badan hukum berakhir. Tujuan utama adanya pranata

    hukum kepailitan adalah seperti yang telah diuraikan

    dalam 3 (tiga) tujuan diatas.

    3. Perbedaan Kepailitan Perorangan dan Kepailitan

    Perseroan Terbatas

    Kepailitan perorangan dan kepailitan Perseroan Terbatas

    sama-sama merupakan sita umum atas kekayaan debitor

    pailit, namun hal yang menjadikan kepailitan Perseroan

    lebih menarik untuk ditelaah adalah implikasi dari sifat

    Perseroan sebagai badan hukum (rechts persoon) yaitu

    adanya keterpisahan entitas (separate entity) antara

    Perseroan dan pemegang saham82, serta adanya tanggung

    jawab terbatas; sesuai kewenangan dari Direksi dan

    Dewan Komisaris sesuai kewenangan atau tanggung jawab

    yang didelegasikan oleh RUPS83.

    82 Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 83 Kewenangan diperoleh berdasarkan Residual Theory. Lihat: Tri Budiyono, Op. cit, hal.149

  • 78

    Matriks 4.

    Perbandingan antara Kepailitan Perorangan

    dan Kepailitan Perseroan Terbatas

    Indikator Kepailitan

    Perorangan

    Kepailitan

    Perseroan Terbatas

    Pihak yang

    memohonkan pailit

    (kreditor)

    Badan hukum

    atau perorangan

    Badan Hukum atau

    Perorangan

    Pihak yang

    dipailitkan

    Perseorangan Perseroan

    Sifat Termohon

    Pailit

    Natuurlijk persoon

    (Perorangan)/

    Human being

    (manusia)

    Recht persoon

    (badan hukum)/

    Artificial person

    (manusia buatan)

    Sumber dana

    pembayaran

    piutang kepada

    debitor

    Seluruh kekayaan

    debitor pailit (Pasal

    1131)

    -Perseroan

    -Organ Perseroan

    (dalam konteks

    tertentu yang

    melibatkan

    pertanggungjawaban

    pribadi organ).

    “Konteks tertentu yang melibatkan pertanggungjawaban

    pribadi organ” dalam sumber dana pembayaran piutang

    kepada debitur yang tercantum dalam matriks 4 di atas

    adalah hal yang menjadi fokus penelitian ini.

  • 79

    D. Organ Perseroan Terbatas sebagai Perantara (Agent) bagi

    Perseroan untuk Melakukan Tindakan Hukum Dengan

    Pihak Ketiga.

    Walter Woon84 pernah mengungkapkan:

    “A company has no body to be kicked, and no soul to be damned,

    no hands with which to work and no mind with which to think… It cannot act by itself. It must work through the medium of some human being…”

    Berdasarkan ungkapan Walter Woon di atas, sejatinya

    Perseroan sebagai subjek hukum buatan (artificial person)

    tidak bisa berbuat apa-apa tanpa keberadaan Organ Perseroan

    sebagai Organ Perseron sebagai manusia (human being).

    Perseroan memerlukan Organ Perseroan untuk melakukan

    tindakan mewakili Perseroan tersebut. Oleh karena itu,

    penting untuk mengetahui tanggung jawab organ yang menjadi

    perantara (agent) bagi Perseroan untuk melakukan tindakan

    hukum dengan pihak ketiga.

    Organ Perseroan Terbatas terdiri dari:

    Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

    Dewan Komisaris

    Direksi

    Berikut ini adalah definisi masing-masing Organ Perseroan:

    1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

    RUPS merupakan Organ Perseroan yang mempunyai

    wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau

    84 Walter Woon dalam Yahya Harahap, Op.cit. hal. 59

  • 80

    Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam UU

    ini dan/atau Anggaran Dasar (Pasal 1 angka 4 UU No.40

    Tahun 2007). Anggota dari RUPS adalah Pemegang Saham;

    2. Dewan Komisaris

    Dewan Komisaris adalah organ Perseroan yang bertugas

    untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau

    secara khusus sesuai dengan AD serta memberikan

    nasehat kepada Direksi (Pasal 1 angka 6 UU No. 40 Tahun

    2007). Dewan Komisaris adalah sebuah badan yang

    berisikan Anggota Dewan Komisaris.

    3. Direksi

    Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan

    bertanggung jawab penuh atas Pengurusan Perseroan

    sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta

    mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar

    pengadilan sesuai dengan ketentuan AD (Pasal 1 angka 5

    UU No. 40 Tahun 2007). Direksi adalah sebuah badan

    yang berisikan Anggota Direksi.

    Fokus dari penelitian ini adalah tanggung jawab dari Anggota

    Organ Perseroan: Pemegang saham, Anggota Direksi dan

    Anggota Dewan Komisaris.

    E. Tanggung Jawab Organ Perseroan dalam 5 (lima) Doktrin

    Tertransplantasi

    Ada beberapa doktrin terkait tanggung jawab Organ Perseroan

    dalam kasus-kasus kepailitan yang telah tertranplantasi dalam

  • 81

    UU No. 40 Tahun 2007. Transplantasi doktrin ke dalam

    Undang-undang merupakan salah satu bentuk dari

    transplantasi hukum (legal transplant) yang merupakan suatu

    keniscayaan dalam pergaulan hukum antar bangsa maupun

    antar tradisi hukum. Alan Watson85 mengemukakan definisi

    mengenai transplantasi hukum (legal transplant) sebagai

    berikut:

    “Legal transplant is the moving of a rule or a system of law from one country to another, or from one people to another.”

    Definisi transplantasi hukum (legal transplant) tersebut hanya

    mencakup transplantasi suatu aturan (rule) atau suatu sistem

    (system) hukum. Definisi transplantasi hukum (legal

    transplant) yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Tri

    Budiyono86:

    “Transplantasi hukum adalah pengambilalihan aturan hukum (legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution) dari suatu sistem hukum ke

    sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah

    hukum yang lain.”

    Kajian beliau terutama mengenai pengambilalihan ajaran

    hukum (doctrine) dari common law system ke subsistem

    hukum Indonesia, dalam hal ini UU No. 1 Tahun 1995 tentang

    Perseroan Terbatas menjadi batu pijakan (stepping stone) bagi

    penulis untuk mengkaji doktrin-doktrin tersebut terkait

    85 Alan Watson, Legal Transplants: An Approach to Comparative Law, 1993,

    Georgia: University of Georgia Press, hal. 21 86 Tri Budiyono, Transplantasi Hukum: Harmonisasi dan Potensi Benturan,

    Studi Transplantasi Doktrin yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, 2009, Salatiga: Griya Media, hal. 11

  • 82

    tanggung jawab Organ Perseroan dalam kasus-kasus

    kepailitan.

    Berdasarkan uraian di atas, penulis mendefinisikan “doktrin

    tertransplantasi” sebagai “doktrin yang diambilalih dari

    common law system ke subsistem hukum Indonesia, dalam hal

    ini UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”.

    Ada 5 (lima) doktrin tertransplantasi yang akan menjadi batu

    pijakan (stepping stone) dalam menganalisis 6 (enam) kasus

    kepailitan pada Bab III. Berikut uraian setiap doktrin

    tertransplantasi:

    1. Doktrin Fiduciary Duty

    a. Definisi Fiduciary Duty

    Definisi Fiduciary Duty menurut Black’s Law

    Dictionary87 adalah:

    “Fiduciary duty is a duty to act for someone else’s benefit,

    while subordinating one’s personal interests to that of the other person. It is the highest standard of duty implied by law (e.g., trustee, guardian).”

    Kewajiban fidusia (fiduciary duty) merupakan tugas

    untuk bertindak atas kepentingan orang lain, dengan

    cara men-subordinasi-kan kepentingan seseorang

    terhadap kepentingan orang lain tersebut. Ini

    merupakan tugas dengan standar tertinggi yang

    diterapkan dalam hukum. Standar tertinggi yang

    87 Lihat: Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal. 625

  • 83

    dimaksud adalah “amanah”. Fiduciary duty merupakan

    sebuah amanah di pundak Anggota Organ Perseroan88.

    Titik tolak lahirnya fiduciary duty adalah adanya

    kepercayaan (trust) dari pemberi kuasa (principal)

    kepada penerima kuasa (agent). Teori pemberian kuasa

    dari agent kepada principal ini disebut sebagai Teori

    Keagenan. Trust menimbulkan hubungan fidusia

    (fiduciary relationship) antara principal dan agent.

    Dalam hal ini, Perseroan (pemegang saham) bertindak

    sebagai principal dan Anggota Organ Perseroan sebagai

    agent.

    Fiduciary duty dijabarkan dalam kewajiban untuk

    bertindak dengan itikad baik (duty of good faith),

    kewajiban untuk melakukan negosiasi secara wajar

    (duty of fair dealing), kewajiban untuk memberikan

    keterawangan secara penuh (duty of full disclosure),89

    dan kewajiban untuk bertindak sesuai dengan

    kepentingan Perseroan dan untuk mendahulukan

    kepentingan Perseroan daripada kepentingan pribadi

    (duty of loyalty)90.

    88 Menurut penulis, fiduciary duty bukan hanya amanah bagi Direksi, melainkan juga Organ Perseroan yang lain: RUPS dan Dewan Komisaris. Hal ini didasarkan pada tertransplantasinya doktrin ini, bukan hanya untuk mengatur tanggung jawab Direksi melainkan juga Dewan Komisaris; lihat penjelasan selanjutnya. Bandingkan dengan Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Bandung: Citra Aditya Bakti, hal. 30 89 Tri Budiyono, Op.cit, 2011, Salatiga: Griya Media, hal. 39 90 Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, 2000, Prentice Hall: New

    Jersey, hal. 659

  • 84

    b. Fiduciary Duty sebagai Doktrin Tertransplantasi

    Bagi Organ Perseroan

    1) Fiduciary duty bagi Anggota RUPS

    Fiduciary duty bagi Anggota RUPS tertransplantasi

    dalam Pasal 75 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007:

    “RUPS mempunyai wewenang yang tidak

    diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris,

    dalam batas yang ditentukan dalam Undang-

    Undang ini (UU No. 40 Tahun 2007 – catatan

    penulis) dan/atau Anggaran Dasar.”

    Berdasarkan pasal tersebut, amanah bagi RUPS

    adalah menjalankan “wewenang yang tidak

    diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris”.

    Wewenang tersebut berupa pengambilan

    keputusan dalam forum Rapat Umum Pemegang

    Saham.

    2) Fiduciary duty bagi Anggota Direksi

    Fiduciary duty bagi Anggota Direksi

    tertransplantasi dalam Pasal 92 ayat (1) jo. Pasal

    97 ayat (2) dan Pasal 98 (1) UU No. 40 Tahun 2007:

    “Setiap Anggota Direksi wajib melaksanakan

    pengurusan Perseroan dengan itikad baik dan

    penuh tanggung jawab”

  • 85

    “Direksi mewakili Perseroan baik di dalam

    maupun di luar Pengadilan”

    Berdasarkan pasal-pasal tersebut, amanah bagi

    Direksi ada 2 (dua):

    1) menjalankan fungsi pengurusan (management)

    Perseroan;

    2) menjalankan fungsi perwakilan (representative)

    baik di dalam maupun di luar pengadilan.

    Kedua amanah bagi Direksi tersebut dilaksanakan

    dengan itikad baik (good faith) dan penuh tanggung

    jawab (full of responsibility), sesuai dengan maksud

    dan tujuan Perseroan (Pasal 92 ayat (1) UU No. 40

    Tahun 2007). Melakukan negosiasi secara wajar

    (fair dealing), dan memberikan keterawangan

    secara penuh (full disclosure) merupakan bentuk-

    bentuk dari responsibility Direksi.

    3) Fiduciary duty bagi Anggota Dewan Komisaris

    Fiduciary duty bagi Anggota Dewan Komisaris

    tertransplantasi dalam Pasal 108 ayat (1) jo. Pasal

    114 (2) UU No. 40 Tahun 2007:

    “Setiap anggota Dewan Komisaris bertanggung

    jawab wajib dengan itikad baik, kehati-hatian,

    dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas

    pengawasan dan pemberian nasihat kepada

  • 86

    Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108

    ayat (1) untuk kepentingan Perseroan dan sesuai

    dengan maksud dan tujuan Perseroan.”

    Berdasarkan pasal tersebut, amanah bagi Dewan

    Komisaris ada 2 (dua) yaitu:

    a) Menjalankan tugas pengawasan

    b) Memberikan nasihat kepada Direksi berkaitan

    dengan pengurusan Perseroan.

    Amanah tersebut harus dijalankan dengan itikad

    baik (good faith), kehati-hatian (prudential), dan

    bertanggung jawab (responsible).

    Doktrin fiduciary duty sebagai amanah

    tertransplantasi dengan baik (well transplanted) dalam

    pengaturan mengenai tanggung jawab RUPS, Direksi

    dan Dewan Komisaris.

    Doktrin fiduciary duty merupakan titik tolak dari

    doktrin-doktrin berikutnya terutama pelampauan

    wewenangan (ultra vires) dan penyibakan tabir

    perseroan (piercing the corporate veil).

    2. Doktrin Ultra Vires

    a) Definisi Doktrin Ultra Vires

    Definisi Ultra vires menurut Black’s Law Dictionary 91

    adalah:

    91 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul, 1990, hal.1522

  • 87

    “an act performed without any authority to act on subject.”

    Ultra Vires didefinisikan sebagai “tindakan yang

    dilakukan tanpa otoritas untuk bertindak sebagai

    subjek”. Dalam Bahasa Latin, ultra vires berarti “di

    luar” atau “melebihi” kekuasaan (outside the power)

    yaitu kekuasaan yang diberikan hukum terhadap

    suatu badan hukum (dalam hal ini badan hukum

    Perseroan diwakili oleh Organ Perseroan dalam

    melakukan tindakan hukumnya). Istilah lain yang

    seringkali digunakan