PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITANAbtract :
menimbulkan permasalahan tentang siapa yang berwenang untuk
menyelesaikan apakah Pengadilan Niaga atau badan arbitrase. Pasal
303
UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang menyatakan bahwa “pengadilan tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari
para
pihak yang terkait perjanjian yang memuat klausula arbitrase,
sepanjang
utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah
memenuhi
unsur Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini”. Unsur dimaksud adalah
:
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
dan
dapat ditagih
lebih krediturnya
I. Pendahuluan
perkembangan perekonomian dan perdagangan sekarang ini. Dunia usaha
baik skala
besar maupun kecil berkembang dengan pesat. Untuk dapat
mendukung
berkembangnya usaha tersebut, maka tidaklah terlepas dari modal
yang dimiliki.
Namun tidak semua pengusaha memiliki modal yang besar dalam
menjalankan
bisnisnya, sehingga untuk dapat mempertahankan usahanya tersebut
perusahaan dapat
melakukan pinjaman modal dari berbagai sumber dan dari beberapa
orang kreditur
secara bersamaan.
Pinjaman yang dilakukan antara debitur dan kreditur pada dasarnya
dilakukan
berdasarkan pada asas kepercayaan bahwa debitur dapat
mengembalikan
utang/pinjaman tepat pada waktunya. Pelunasan utang oleh debitur
kepada kreditur
tidak selalu dapat berjalan lancar, adakalanya debitur tidak dapat
membayar utang
walaupun telah jatuh tempo karena suatu alasan tertentu, seperti
terjadinya krisis
moneter/finansial, terjadinya bencana alam yang mengakibatkan tidak
lancarnya
usaha tersebut dilakukan. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh
pada kemampuan
debitur untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.
Debitur yang tidak mampu melunasi utangnya, maka menurut Pasal
1131
KUHPerdata pada dasarnya dapat dibebankan pada harta kekayaan
debitur baik yang
bergerak atau tidak bergerak, yang telah ada maupun yang akan ada
di kemudian hari
sebagai jaminan utangnya. Pasal tersebut selain menyatakan bahwa
harta kekayaan
seseorang (debitur) demi hukum menjadi agunan bagi kewajiban berupa
membayar
utang, tetapi juga menjadi agunan bagi semua kewajiban lain yang
timbul dari
perikatan-perikatan lain, baik perikatan itu timbul karena
undang-undang maupun
karena perjanjian selain pinjam meminjam uang. Selanjutnya dalam
Pasal 1132
KUHPerdata menjelaskan pula bahwa setiap kreditur memiliki
kedudukan yang sama
terhadap kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh
undang-undang karena
memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur
lainnya. Kedua
pasal tersebut sebenarnya merupakan jaminan bagi kreditur untuk
dapat mendapatkan
pelunasan bagi semua piutangnya. Namun walaupun sudah secara tegas
dinyatakan
dalam KUHPerdata tentang jaminan pelunasan utang ternyata
permasalahan berkaitan
dengan utang piutang terutama pada saat debitur tidak melaksanakan
kewajiban
membayar utang masih sering terjadi.
Sehingga dalam pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam uang antara
debitur
dan kreditur biasanya perihal tentang kemungkinan terjadinya
kondisi dimana debitur
tidak dapat membayar utang dimasukan dalam salah satu pasal atau
ketentuan yang
diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Kesepakatan berkaitan dengan
penyelesaian
sengketa karena kemungkinan terjadinya sengketa atau perselisihan
tersebut dapat
dilakukan para pihak dengan cara membuat perjanjian tersendiri atau
menjadi bagian
dari perjanjian pinjam meminjam uang.
Ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa antara debitur dan
kreditur
dalam perjanjian pinjam meminjam uang, yaitu melalui jalur litigasi
(jalur
pengadilan) maupun jalur non litigasi (jalur diluar pengadilan).
Jalur diluar pengadilan
yang saat ini banyak diminati oleh kalangan dunia usaha adalah
melalui arbitrase
Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
bisnis merupakan
kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur
litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang formatnya lebih
tidak terstruktur secara
formal (Eman Suparman : 2004 : 15).
Jika para pihak memilih jalur pengadilan, maka pengadilan yang
berwenang
untuk menyelesaikan sengketa tersebut adalah Pengadilan Niaga.
Menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang dalam kondisi dimana debitur berhenti membayar
atau tidak dapat
membayar utangnya padahal telah jatuh tempo dan dapat ditagih maka
kreditur dapat
mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga. Syarat-syarat
yang harus
dipenuhi dalam permohonan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) adalah ;
1. Debitur mempunyai 2 atau lebih kreditur
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat
ditagih
3. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih
krediturnya
tersebut adalah bersifat absolut/mutlak.
Sedangkan jika para pihak memilih jalur penyelesaian sengketa ini
melalui
jalur arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dituangkan dalam
bentuk tertulis
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (1) arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Selanjutnya yang
dimaksud dengan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausul
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase yang dibuat para
pihak
menyebabkan sengketa tersebut berada dalam kewenangan mutlak
arbiter. Sehingga
7
klausula arbitrase yang dibuat para pihak baik sebelum atau setelah
timbulnya
sengketa tersebut menjadikan pengadilan tidak berwenang untuk
mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase serta
pengadilan wajib
menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian
sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase.
Permasalahan yang muncul adalah ketika suatu sengketa yang
berkaitan
dengan kepailitan sementara didalam perjanjiannya juga memuat
adanya klausul
arbitrase yang menyatakan bahwa bila ada timbul sengketa kelak
dikemudian hari
para phak memilih penyelesaiaannya melalui arbitrase. Kondisi yang
demikian
menimbulkan permasalahan tentang siapa yang berwenang. Apakah
kreditur dapat
mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga ataukan
diselesaikan melalui
arbitrase sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dalam penulisan
ini
penulis akan membahas permasalahan tentang bagaimana penyelesaian
sengketa
kepailitan yang dalam perjanjiannya memuat klausula arbitrase.
Fokus pembahasan
adalah pada siapa yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut,
apakah menjadi
kewenangan mutlak Pengadilan Niaga ataukah menjadi kewenangan
mutlak dari
arbitrase ?.
II. Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Kepailitan
Secara etimologi istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”
Secara tata bahasa,
kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit (Ahmad
Yani dan
Gunawan Widjaja : 1999 : 11). Kata pailit berasal dari bahasa
Perancis “failite”
berarti kemacetan pembayaran (Rahayu Hartini : 2003 : 4).
Dalam peraturan kepailitan yang lama, yaitu Faillisement
Verordening (Fv) S.
1905 No 217 jo. 1906 No 348 yang dimaksud dengan pailit adalah
setiap berutng
(debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas
laporan sendiri
maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur)
dengan putusan
hakim dinyatakan dalam keadaan pailit. Selanjutnya menurut UU No 4
Tahun 1998
Tentang Kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan kepailitan
adalah “Debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan yang
berwenang.
Menurut undang-undang kepailitan yang baru yakni UU No 37 Tahun
2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam
Pasal 2
disebutkan kepailitan adalah “sita umum atas semua harta kekayaan
debitur pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah
pengawasan
Hakim Pengawas”.
Munir Fuady menyebutkan kepailitan adalah suatu sita umum atas
dan
terhadap seluruh harta debitur agar dicapainya suatu perdamaian
antara debitur
dangan para krediturnya atau agar harta tersebut dapat
dibagi-bagikan secara adil dan
proporsional diantara dan sesama para kreditur sesuai dengan
besarnya piutang dari
masing-masing para kreditur terhadap debiturnya tersebut (Daniel
Suryana : 2007 :
33-34).
Dalam Black Law Dictionary pailit atau bankrupt adalah “the state
our
condition of a person (individual, patnership, corporation,
municipality) who is
unable to pay its debt as they are, or became due, the term
inclueds a person againts
8
whom aninvoluntary petition ha been filed, or who has filed a
voluntary petition, or
who has been adjudged a bankrupt” terjemahan dari Black Law
Dictionary bahwa
pengertian pailit dihubungkandengan ketidakmampuan membayar dari
seorang
debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan
tersebut harus
disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan baik yang
dilakukan secara
sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas pemintaan pihak ketiga
diluar debitur,
suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan ( Ahmad Yani dan
Gunawan :
2000 : 11).
penting. Menurut Sri Rezeki Hartono lembaga kepailitan pada
dasarnya mempunyai
dua fungsi sekaligus, yaitu :
a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya
bahwa debitur
tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab atas semua
utang-
utangnya kepada semua kreditur-krediturnya.
b. Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan
eksekusi oleh
kreditur-krediturnya (Sri Rezeki Hartono dalam Rahayu Hartini :
2003 : 10-11).
Dalam peraturan perundangan yang lama yakni Fv kemudian dalam
PERPU
No 1 Tahun 1998 maupun Undang-Undang Kepailitan No 4 tahun 1998
tidak diatur
secara eksplisit tentang asas-asas yang berlaku dalam kepailitan,
namun pada UU No
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU menjelaskan asas-asas
kepailitan
adalah :
dari asas keseimbangan yaitu terdapat pengaturan yang dapat
mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang
tidak jujur,
dilain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad
baik
2. Asas Kelangsungan Usaha
debitur yang prospektif tetap berlangsung
3. Asas Keadilan
mengenai kepialitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak
yang
berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan pihak
penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing
terhadap
debitur dengan tidak memperhatikan kreditur lainnya
4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa
sistem
hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang
utuh dari
sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
C. Syarat Pengajuan Pailit dan Pihak yang Mengajukan Pailit
Untuk dapat dinyatakan pailit, seorang debitur harus memenuhi
syarat-syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1):
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat
ditagih
9
c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih
krediturnya
a. Debitur sendiri
d. Bank Indonesia
f. Menteri Keuangan
D. Klausula Arbitrase
Dalam UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian
Sengketa tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan
klausula
arbitrase. Namun secara tersirat terdapat dalam Pasal 1 ayat (3)
yaitu perjanjian
arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
Klausula arbitrase pada hakekatnya merupakan suatu ketentuan
(pasal) di
dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap
perselisihan yang
mungkin timbul dari atau berhubungan dengan perjanjian atau kontrak
tersebut
diajukan kepada arbiter untuk diputus.
Arbitation Clause adalah alas hak, dasar hukum diatas mana para
arbiter
duduk dan punya kewenangan. Dengan adanya arbitation clause para
arbiter memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang sebenarnya
menjadi
kewenangan pengadilan, tapi karena adanya arbitation clause
tersebut menjadi
kewenangan arbitrase ( Setiawan : 2003 : 77)
Dalam praktek cara pencantuman klausula arbitrase pada umumnya
langsung
bersamaan atau menjadi satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya.
Cara demikian
merupakan bentuk klausula arbitrase yang dibuat sebelum timbulnya
sengketa
(pactum decompromittendo). Dalam bentuk ini rumusan klausula tidak
dibuat secara
rinci, karena belum diketahui sengketa apa yang kelak akan terjadi
dan belum
diketahui pula bagaimana para pihak menyelesaikan sengketa tersebut
(M. Yahya
Harahap : 1990 : 116).
Namun dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa setelah
sengketa
terjadi (acta compromis), maka menurut ketentuan UU No 30 Tahun
1999 persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis
yang ditandatangani
para pihak, namun dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
perjanjian
tersebut maka perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam
bentuk akta notaris.
Substansi perjanjian tertulis harus disusun secara pasti dan rinci
sesuai keadaan
sengketanya. Dalam Pasal 9 ayat (1) memuat tentang al-hal yang
harus dimuat dalam
perjanjian tersebut yaitu :
3. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis
arbitrase
4. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan
5. nama lengkap sekretaris
10
biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
9. Perjanjian tertulis yang tidak mencantumkan syarat ketentuan
tersebut diatas
adalah batal demi hukum (Pasal 9 ayat (4))
Menyusun serta mermuskan isi klausula arbitrase dalam perjanjian
antara para
pihak tidaklah mudah oleh karena isi pasal yang terlalu singkat
akan menyulitkan
penafsiran manakala sengketa terjadi, sebab tidak ada petunjuk
dimana arbitrase
dilakukan, hukum apa yang akan dipakai, pengaturan tentang
bagaimana tata cara
pemilihan arbiter dan lain-lain.
ada lima hal yang harus diperhatikan, yaitu :
1. The place or the vennue of arbitation, karena tiap-tiap negara
memiliki undang-
undang abitrasenya sendiri-sendiri.Jika arbitrase diseleggarakan di
Jakarta, maka
hukum yang digunakan adalah undang-undang Indonesia
2. The rule of arbitation, aturan atau cara main para arbiter dalam
memeriksa perkara
3. The way to choose the arbitation, tata cara untuk memilih atau
menunjuk para
arbiter apakah tunggal atau majelis
4. Language of arbitation, bahasa yang digunakan dalam
pemeriksaan
5. The proper law of the contract or choise of law, hukum yang
berlaku atau pilihan
hukum (Setiawan : 2003 : 79)
Klausula arbitrase yang dibuat baik dengan cara pactum
decompromittendo
atau acta compromis, keduanya melahirkan suatu kewenangan mutlak
dalam
penyelelesaian sengketa. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3
UU No 30 Tahun
1999 yaitu “pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase”. Selanjutnya
ditegaskan lagi dalam Pasal
11 yaitu “dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak
untuk mengajukan sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjian ke
pengadilan negeri, dan pengadilan negeri wajib menolak dan tidak
akan campur
tangan dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang
ini”.
Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausula arbitrase
apakah dapat
dikesampingkanoleh para pihak, ada dua aliran/teori yang
berkembang, yaitu :
1. Klausula Arbitrase Bukan Publik Orde
Aliran ini menetukan bahwa klausula arbitrase adalah “niet van
ovenbar orde”
(bukan ketertiban umum). Sebagai akibatnya sengketa yang timbul
dari perjanjian
yang memuat klausula arbitrase tetap dapat diajuka ke pengadilan.
Pengadlan
tetap berwenang sepanjang pihak lawan tidak mengajukan eksepsi
terhadap
klausula arbitrase. Dengan tidak mengajukan eksepsi maka pihak
lawan dianggap
telah melepaskan klausula arbitrase tersebut.
2. Klausula Arbitrase Berdasarkan Pacta Sunt Servanda
Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengatakan bahwa
perjanjian
yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak seperti
undang-undang. Oleh
karenanya setiap perjanjian hanya dapat gugur atau ditarik kembali
berdasarkan
kesepakatan bersama para pihak (Sutanto : 2003 : 15)
E. Kewenangan Pengadilan Niaga
Berdasarkan PERPU No 1 Tahun 1998 yang kemudian ditingkatkan
menjadi
Undang-Undang Kepailitan No 4 Tahun 1998 yang berwenang
menyelesaikan
masalah kepailitan adalah Pengadilan Niaga yang merupakan
pengkhususan
11
pengadilan dibdang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan
umum, dengan
menggunakan hukum acara perdata kecuali undang-undang ini
menentukan lain.
Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan differensiasi atas peradilan
umum yang
dimungkinkan pembentukkan berdasarkan UU No 14 tahun 1970 tentang
Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Dalam PERPU pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga akan
khusus
bertugas menangani permintaan pernyataan pailit. Dalam
perjalanannya PERPU ini
kemudian ditingkatkan menjadi UU No 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan
dan
mengenai Pengadilan Niaga diatur secara khusus dalam Bab III mulai
Pasal 280 –
289. Pengadilan ini pertama kali dibentuk di Jakarta Pusat.
Kemudian tahun 2004 lahir UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menggantikan UU No 4 tahun
1998
Tentang Kepailitan. Dalam undang-undang ini pengaturan tentang
Pengadilan Niaga
dimasukkan dalam Bab V mulai Pasal 299 - 302 dan juga tersebar
dalam berbagai
pasal lainnya. Dalam undang-undang ini penyebutannya cukup dengan
kata
“Pengadilan” saja tanpa kata “Niaga”. Hal ini dengan merujuk pada
Pasal 1 poin (7)
bahwa “pengadilan” adalah “Pengadilan Niaga” dalam lingkungan
peradilan umum.
Berkenaan dengan kewenangan Pengadilan Niaga sekarang ini
sebagaimana
diatur dalam Pasal 300 ayat (1) UU No 37 Tahun 2004 bahwa
“kewenangan
Pengadilan Niaga ialah memeriksa dan meutus perkara permohonan
pernyataan pailit
dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di
bidang perniagaan
yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang”. Sengketa
perniagaan
dimaksud adalah berkaitan dengan sengketa Hak Kekayaan Intelektual,
sedangkan
ruang lingkup lebih luas dari kata “sengketa perniagaan” belum
jelas sengketa-
sengketa apa saja.
Penyelesaian Sengketa sebagai dasar hukum dari penyelenggaraan
penyelesaian
sengketa diluar pengadilan di Indonesia, yang dimaksud dengan
arbitrase termuat
dalam Pasal 1 angka 1 yaitu, “Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa
perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihakyang dalam suatu perjanjian tertulis
bersangkutan”.
Perjanjian arbitrase yang dimaksud diatur dalam Pasal 1 angka 3,
“Perjanjian arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum
yang dibuat para
pihak sebelum sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri
yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa”. Berdasarkan pada bunyi pasal
tersebut, maka dapat
disimpulkan pertama, arbitrase harus dilakukan dengan bentuk
perjanjian arbitrase
yang tertulis, kedua, arbitrase harus dibuat dalam bentuk
perjanjian, maka dengan
demikian secara tidak langsung ketentuan dari hukum perjanjian juga
berlaku dalam
arbitrase ini.
tertuang dalam perjanjian arbitrase, membawa konsekuensi tidak
berwenangnya
Pengadilan Negeri untuk memeriksa sengketa tersebut. Sebagaimana
diatur dalam
Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 bahwa “Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase”. Hal ini
juga dipertegas melalui Pasal 11 yang menentukan bahwa “Dengan
adanya suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam
perjanjiannya ke
12
Pengadilan Negeri”. Kompetensi absolut forum arbitrase ini sebagai
akibat adanya
pilihan yurisdiksi melalui perjanjian arbitrase (agreement to
arbitrate) baik melalui
klausula arbitrase secara pactum de compromittendo maupun dengan
akta kompromis.
Dengan demikian maka hakim Pengadilan Negeri harus menyatakan
dirinya tidak
berwenang secara ex officio tanpa adanya eksepsi antara para pihak
manakala ia
menerima kasus yang ada klausula arbitrase.
Namun menurut Konvensi New York dalam Artikel II ayat (3)
pengadilan
tidak secara otomatis akan menolak untuk mengadili suatu sengketa
dimana
sebelumnya telah diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul melalui
arbitrase, yaitu jika pengadilan menemukan bahwa perjanjian
tersebut null and wid,
inoperative or incapable of being performed.
Menurut Frans Liemena (Frans Liemena : 1999 : 89), null and
wid
mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian arbitrase dipengaruhi
oleh hal-hal
yang tidak ada pada saat dibuatnya perjanjian. Misalnya para pihak
sepenuhnya belum
sepakat tentang klausula arbitrase, atau pencantuman klausula
arbitrase dilakukan
karena salah duga atau salah menafsirkan. Inoperative, bahwa pihak
telah
membatalkan atau mencabut klausula arbitrase. Incapable of being
performed,
diartikan bahwa perjanjian arbitrase tidak dapat dilaksanakan
secara efektif, karena
kurang jelas atau hanya dibuat sebagai formalitas saja.
Dengan demikian keadaan tidak berwenangnya hakim Pengadilan
Negeri
untuk memeriksa sengketa yang timbul dari suatu perjanjian yang
mencantumkan
klausula pilihan forum arbitrase tidak mutlak sama sekali. Artinya
pada suatu ketika
hakim Pengadilan Negeri akan kembali berwenang atau berkompeten
untuk
memeriksa sengketa yang terjadi dalam hal-hal sebagai berikut
:
1. apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan
forum
2. apabila sengketa yang timbul nyata-nyata diluar substansi
perjanjian
3. putusan yang djatuhkan diluar kewenangan forum arbitrase atau
bertentangan
dengan undang-undang atau peratutan yang berlaku sehingga hakim
menganggap
kausanya tidak halal (Eman Suparman : 2004 : 107).
Ruang lingkup sengketa yang boleh diajukan melalui arbitrase adalah
terbatas
pada sengketa di bidang perdagangan yang meliputi bidang
perniagaan, perbankan,
keuangan, penanaman modal, industri dan kekayaan intelektual dan
mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa. Sedangkan sengketa yang tidak dapat
diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undagan
tidak dapat
diadakan perdamaian.
Mengacu pada Konvensi New York 1958 dan ketentuan yang terdapat
dalam
Uncitral Arbitration Ruler serta ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun
1999 maka
dapat dikemukakan jenis-jenis arbitrase, yaitu :
1. Arbitrase ad hoc
Merupakan arbitrase yang dibentuk oleh para pihak khusus untuk
menangani
suatu kasus tertentu, arbitrase bentuk ad hoc ini para pihak dapat
mengatur cara-cara
bagaimana pemilihan para arbiter, mengatur kerangka kerja prosedur
arbitrase dan
aparatur administratif dari arbiter. Dalam bentuk ini persetujuan
atau kata sepakat
para pihak mutlak diperlukan terhadap metode yang ditentukan.
2. Arbitrase Institusional
Merupakan bentuk arbitrase yang berbentuk lembaga atau badan
arbitrase yang
sengaja didirikan yang ditunjuk oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan untuk
menyelesaiakan suatu sengketa. Arbitrase bentuk ini para pihak
tidak dapat mengatur
sendiri tentang cara pemilihan atau kerangka kerja prosedur
arbitrase, tetapi harus
13
mengikuti format penyelesian menurut lembaga atau badan arbitrase
yang ditunjuk
tersebut. Sebagai contoh adalah lembaga arbitrase adalah BANI,
ICSID, American
Arbiter, ICC.
Kesepakatan untuk menyerahkan suatu sengketa pada arbitrase baik
yang ad
hoc maupun yang institusional dapat dilakukan sebelum suatu
sengketa terjadi
maupun setelah sengketa terjadi yang dimuat dalam suatu perjanjian
tertulis.
Kesepakatan yang dibuat sebelum terjadinya sengketa sering disebut
dengan istilah
pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang merupakan
suatu ketentuan
yang tercantum didalam perjanjian yang menyebutkan bahwa setiap
perselisihan yang
timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian tersebut akan
diserahkan pada
arbitrase untuk diputuskan. Klausul arbitrase yang harus dalam
bentuk tertulis
sebagaimana dituntut secara tegas dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30
Tahun 1999.
Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memungkinkan
arbitrase
dilakukan secara online, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat
(3) yang
berbunyi “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui
arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
facsimile, e-mail atau
dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu
catatan
penerimaan oleh para pihak”.
muncul setelah sengketa terjadi dilakukan melalui sebuah akta
kompromis. Akta
kompromis diatur dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (4),
yaitu jika para pihak
memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa
terjadi, persetujuan
mengenai hal itu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang
ditandatangani oleh
para pihak. Jika mereka tdak dapat menandatangani perjanjian
tertulis tersebut,
perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
notaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) sampai (4) tersebut, maka
jika para
pihak ingin menyelesaikan sengketa mereka ke arbitrase setelah
sengketa terjadi ada
dua kemungkinan perjanjian yang dibuat yaitu dalam bentuk
perjanjian tertulis biasa
yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam bentuk akta notaris
jika para pihak
tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut.
Berkaitan dengan bentuk tertulis secara konvensional dan dalam
bentuk
dokumen elektronik dalam perjanjian arbitrase maka dapat diuraikan
sebagai berikut,
Konvensi New York mengatur mengenai persyaratan bahwa suatu
perjanjian arbitrase
harus tertulis, yang termuat dalam ketentuan Article IV Konvensi
NewYork. Menurut
Article IV, persyaratan mengenai bentuk perjanjian adalah :
To obtain the recognition and enforcement mentioned in the
preceding Article, the
party appling for recognition on and enforcement shall, at the time
of the
application supply :
(a). ……..
(b). The Original agreement referred to in Article II or a duly
certified copy
thereof
permohonan pengakuan dan pelaksanaan pada waktu pengajuan
permohonan harus
menyerahkan perjanjian yang asli sebagaimana disebut dalam Article
II atau salinan
yang sudah dilegalisir sebagaimana mestinya. Dari
ketentuan-ketentuan dalam
Konvensi New York tersebut terdapat tiga persyaratan perjanjian
arbitrase yaitu
tertulis, ditandatangani dan asli.
Penafsiran mengenai article IV diatas bahwa keaslian hanya dapat
dipenuhi
jika perjanjian dibubuhi tanda tangan, berarti perjanjian yang
dibuat melalui
pertukaran faks, e-mail dan perjanjian online tidak memenuhi
persyaratan mengenai
14
keaslian. Sehingga pertukaran e-mail atau melalui perjanjian online
tidak sah adanya.
Jika hendak diakui keasliannya maka diperlukan tindakan dengan
membubuhkan
tanda tangan pada print out dari faks, email dan perjanjian
online.
Berkaitan dengan sifat tertulis dari perjanjian arbitrase,
Indonesia melalui
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 juga secara tegas menyatakan bahwa
persyaratan
perjanjian arbitrase harus tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 1
butir 1 dan 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, walaupun dengan menggunakan
istilah yang
berbeda-beda seperti istilah perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis (Pasal 1
butir 1) sedangkan Pasal 1 butir 3 menggunakan istilah perjanjian
tertulis dan
perjanjian arbitrase sendiri. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan
(2) menggunakan
istilah dokumen , dalam Pasal 4 ini dapat dilihat bahwa diperlukan
adanya tanda
tangan, yaitu :
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara
mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan
wewenang,
maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak
dan
kewajiban para pihak jka hal ini tidak diatur dalam perjanjian
mereka
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani
oleh para pihak.
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) tersebut berlaku secara
umum baik
untuk klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri.
Ketentuan tersebut
menyebut istilah dokumen. Dokumen tidak hanya berupa sesuatu yang
tertulis diatas
kertas saja tetapi juga dalam bentuk file yang dibuat secara
elektronik. Tanda tangan
untuk informasi elektronik juga dapat tidak berupa tanda tangan
dalam pengertian
tradisional (Paustinus Siburian : 2004 : 114).
Dalam Pasal 4 dan Pasal 9, dapat di tarik kesimpulan bahwa untuk
perjanjian
arbitrase yang dibuat sebelum sengketa (Pasal 4) maka perjanjian
arbitrase yang
dibuat secara tertulis tersebut tidak mengharuskan dibuat dalam
bentuk diatas kertas
saja, melainkan ia dapat juga berupa informasi elektronik.
Sedangkan untuk perjanjian
arbitrase yang dibuat setelah sengketa tidak demikian, ia harus
dibuat dalam bentuk
konvensional diatas kertas karena harus dalam bentuk akta notaris.
Perjanjian
arbitrase setelah sengketa, dibedakan lagi antara arbitrase
institusional dan arbitrase
ad hoc. Untuk arbitrase institusional perjanjian arbitrase tidak
perlu ditandatangani
sedangkan untuk arbitrase ad hoc perjanjian tertulis yang dibuat
harus ditandatangani.
Kesimpulan diatas diperkuat dengan ketentuan Pasal 62 ayat (2) dan
(3) UU
Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi :
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sebelum
memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah
putusan
arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta tidak
bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (2) maka Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan
pelaksanaan
eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut
tidak terbuka
upaya hukum.
Ketentuan Pasal 62 ayat (2) diatas mensyaratkan dokumen yang harus
diperiksa dalam
hal dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase. Ketentuan Pasal 62
ayat (2) dan (3)
merujuknya pada Pasal 4. Tidak ada persyaratan apakah perjanjian
tertulis tersebut
harus asli atau tidak. Dengan demikian perjanjian tertulis tersebut
dapat diartikan
tidak harus diatas kertas dan tanda tangan tidak harus dibuat
dengan tinta diatas
15
kertas. Hal ini berarti merujuk untuk perjanjian tertulis dalam
arbitrase nasional dapat
berupa informasi elektronik.
Hukum acara arbitrase diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 30
Tahun
1999 menyatakan bahwa, “Para pihak dalam suatu perjanjian yang
tegas dan tertulis,
bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam
pemeriksaan sengketa
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang
ini”. Ketentuan
ini merupakan prinsip party autonomy yang memberi para pihak
kebebasan penuh
untuk memutuskan prosedur beracara arbitrase, penggunaan arbitrase
institusi
nasional atau internasional, dan pilihan hukum. Pasal 31 ayat (3),
menyebutkan bahwa
“Dalam hal para pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam
ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan
tempat
arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang
akan menentukan”.
Selain kebebasan untuk menentukan hukum acara arbitrase, maka para
pihak
juga diberi kebebasan untuk memilih apakah arbitrase akan
dilaksanakan berdasarkan
peraturan hukum atau menurut kepatutan dan kebijaksanaan (ex aequo
et bono).
Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 56 ayat (1) UU
Nomor 30 Tahun
1999 yaitu “Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan
berdasarkan ketentuan
hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan”. Dalam dunia
perdagangan,
pemeriksaan arbitrase berdasarkan prinsip ex aequo et bono tampak
lebih serasi dan
kecenderungan untuk mendasarkan arbitrase atas prinsip tersebut
terlihat pula di
Indonesia (Sudargo Gautama : 1989 : 12).
Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase
dilakukan
secara tertutup (konfidensial). Sifat konfidensial inilah
sebenarnya yang merupakan
nilai tertinggi bagi penyelesaian sengketa terutama bisnis melalui
arbitrase disamping
sifat putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan
mengikat para pihak, serta jangka waktu yang singkat untuk
mendapatkan sebuah
putusan yang final yakni selesai dalam waktu paling lama 180
(seratus delapan puluh)
hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
Dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dirumuskan pengertian
putusan
arbitrase nasional yang justru disebutkan adalah pengertian putusan
arbitrase
internasional. Dalam Pasal 1 angka 9 disebutkan “Putusan arbitrase
internasional
adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau
arbitrase
perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu
putusan lembaga
arbitrase atau arbitrase perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik
Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional”. Dengan
menggunakan
penafsiran argumentum a contrario dapat dirumuskan pengertian
putusan arbitrase
nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di wlayah hukum Republik
Indonesia. Dari
rumusan itu untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan
arbitrase nasional
atau internasional digunakan prinsip kewilayahan ( prinsip
teritorial).
Prinsip teritorial juga dianut oleh Konvensi New York 1958 pada
Pasal 1 ayat
(1) yang menyebutkan “….arbitral awards made in the territority of
a state other
than the state where the recognition and enforcement of such awards
are sought, and
arising out of differences between person wether physical or
legal.” Ketentuan
tersebut lebih menegaskan prinsip kewilayahan, bahkan tidak melihat
lagi perbedaan
mengenai status kewarganegaraan para pihak dan hukum yang
digunakan. Jadi
putusan arbitrase dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing
atau internasional
jika diputuskan diluar wilayah dari negara yang diminta pengakuan
(recognition) dan
aksekusi (enforcement).
alternatif pennyelesaian sengketa yang meliputi negosiasi, mediasi,
konsiliasi dan
16
sengketa dianggap tepat dan efisien terutama melalui arbitrase.
Dimana kedudukan
arbitrase dalam penyelelesaian sengketa bisnis telah dianggap
sebagai “a business
exective court” (Basuki Rekso Wibowo : 2005 :14). Martin Hunter
(Sudargo Gautama
: 1989 : 12) mengemukakan bahwa secara teoritis terdapat beberapa
kelebihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan melalui
peradilan, antara lain
meliputi, (1) flexibility, (2) focusing on the main issues, (3)
speed, (4) cost. Hal senada
juga dikemukakan oleh Chaterine Tay Swee Kian (Sudargo Gautama :
1989 : 12),
beberapa kelebihan cara arbitrase dibandingkan penyelesaian
sengketa melalui
peradilan meliputi, (1) choice of tribunal, (2) privacy and
confidentiality, (3) speed,
(4) technical expertice, (5) enforceability of award, (6) cost, (7)
refresentation, (8)
flexibility of procedure, (9) extent of jurisdiction.
Selanjutnya menurut Priyatna Abdurrasyid (Priyatna Abdurrasyid :
2001 : 10)
arbitrase adalah bentuk yang paling disukai oleh kalangan bisnis
untuk penyelesaian
sengketa komersialnya, hal ini antara lain karena :
1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya
sendiri, dan untuk ini
tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai, memiliki integritas,
kejujuran dan
profesionalisme di bidangnya masing-masing.
2. Pelaksanaan majelis arbitrase yang konfidensial, dan oleh karena
itu dapat
menjamin kerahasiaan dan publisitas yang tidak dikehendaki.
3. Putusan arbitrase sesuai dengan kehendak dan niat para pihak ,
merupakan
putusan yang final dan mengikat para pihak terhadap
sengketanya.
4. Tata cara arbitrse lebih informal dari tata cara pengadilan,
oleh karena itu terbuka
untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian
kekeluargaan dan
damai. Sehingga memberi kesempatan yang luas untuk dapat
meneruskan
hubungan komersial para pihak dikemudian hari setelah berakhirnya
proses
penyelesaian sengketa
konsiliasi. Beberapa kelebihan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase meliputi ,
Pertama, para pihak berdasarkan suatu perjanjian memiliki kebebasan
memilih forum,
hukum, tempat arbitrator serta bahasa yang digunakan dalam proses
arbitrase.
Pemilihan forum (choice of forum) menentukan penggunaan arbitrase
ad hoc atau
arbitrase institusional, arbitrase nasional atau arbitrase
internasional. Pemilihan
tersebut berkaitan dengan pilihan tempat arbitrase . Pilihan tempat
arbitrase
merupakan persoalan penting dalam arbitrase internasioal mengingat
dalam electronic
commerce dapat melibatkan pihak yang berasal dari negara yang
berlainan. Pilihan
hukum ( choice of law) menentukan hukum yang diberlakukan atau
diterapkan
terhadap perjanjian maupun penyelesaian sengketa. Pemilihan hukum
hanya relevan
bagi perjanjian electronic commerce yang terdapat unsur asing. Para
pihak memiliki
kebebasan memilih arbiter ( choice of arbitrator) yang memiliki
pengetahuan,
keahlian serta pengalaman yang sesuai dengan substansi
sengketa.
Kedua, pada proses arbitrase terdapat jaminan kerahasiaan persona,
substansi,
proses pemeriksaan, maupun proses arbitrase sesuai dengan prinsip
private and
confidencial. Prinsip ini sesuai dengan karakteristik sengketa
dagang yang
menjunjung tinggi privasi pihak-pihak yang bersengketa. Prinsip ini
salah satu daya
tarik penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Ketiga, proses
pelaksanaan yang cepat
dalam menghasilkan putusan, dan yang Keempat sifat putusan yang
final dan
mengikat.
17
Arbitrase Terhadap Kewenangan Pengadilan
dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap
perselisihan yang
mungkin timbul atau yang sudah timbul sengketa sebagai akibat dari
atau hubungan
dengan perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase. Dengan
adanya klausula
arbitrase maka telah menempatkan status hukum dan kewenangan
arbitrase memiliki
kapasitas hukum untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari
perjanjian dalam
kedudukan sebagai extra judicial berhadapan dengan kewenangan
pengadilan.
Permasalahan klausula arbitrase yang berkaitan dengan kewenangan
untuk
menyelesaikan sengketa antara pengadilan dengan lembaga arbitrase
dapat
ditunjukkan dengan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang dapat
dijadikan
sebagai indikator, sebagai berikut :
Dalam putusan ini telah dinyatakan bahwa didalam perjanjian dasar
basic
agreement antara pihak yaitu segala perselisihan akan diselesaikan
melalui
arbitrase, maka atas dasar itu Mahkamah Agung berpendapat bahwa
judex facti
tidak lagi berwenang mengadili perkara ini, karena basic agreement
telah diangkat
para pihak sebagai undang-undang sesuai dengan Pasal 1338
KUHPerdata.
2. Putusan MA No 2424K/Sip/1981 tanggal 22 Pebruari 1982
Dalam putusan ini seorang pemohon kasasi telah mengajukan keberatan
antara
lain mengatakan bahwa ketentuan mengenai dewan arbitrase
sebagaimana
disebabkan dalam basic agreement for joint venture telah mengikat
para pihak
sebagai undang-undang (Pasal 1338 KUHPerdata). Oleh karenanya
putusan judex
facti bertentangan dengan Pasal 615 Rv.
3. Putusan MA No 794K/Sip/1982 tanggal 27 Januari 1983
Dalam putusan ini menyatakan bawa secara ex officio tanpa adanya
eksepsi para
pihak, hal tersebut telah mematikan kekuasaan pengadilan atas pokok
perkara (to
oust the jurisdiction of the court).
4. Putusan MA No 455K/Sip/1982 tanggal 27 Mei 1983
Dalam putusan ini dinyatakan bahwa klausula arbitrase telah
mewujudkan
yurisdiksi yng bersifat absolut, akibatnya Pengadilan Negeri
menjadi tidak
berwenang untuk mengadilinya, lebih lanjut ditegaskan sekiranya
pihak tergugat
tidak mengajukan klausula arbitrase dimaksud sebagai eksepsi, hakim
atau
pengadilan secara ex officio harus menyatakan dirinya tidak
berwenang untuk
mengadilinya.
Dalam putusan ini secara tegas telah mempertimbangkan bahwa :
a. sejak para pihak mengadakan perjanjian yang memuat klausul
arbitrase, para
pihak terikat secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul kepada
lembaga arbitrase
mewujudkan kewenangan/kompetensi absolut arbitrase, para pihak
terikat
secara mutlak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul kepada
lembaga
arbitrase
18
kembali perjanjian arbitrase itu
kesimpulan bahwa dengan adanya klausula arbitrase maka apabila
terhadap perkara
tersebut diajukan ke pengadilan maka hakim pemeriksa harus
menyatakan dirinya
tidak berwenang. Pendapat atau putusan tersebut mendasarkan pada
aliran yang
menentukan apabila dasar klausula arbitrase adalah “facta sunt
servanda” (Sutanto :
2003 : 16 ). Bahkan dalam putusan tersebut Mahkamah Agung
menegaskan bahwa
ketidakwenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang
memuat klausula arbitrase didasarkan pada ketentuan Pasal 134 HIR
dimana hakim
karena jabatan (ex officio) harus menyatakan tidak berwenang
sekalipun tidak ada
eksepsi perihal ketidakwenangan tersebut.
kemudian mengalami perubahan secara signifikan, dimana sikap
Mahkamah Agung
yang sebelumnya menyatakan kekuatan klausula arbitrase sebagai
kekuasaan mutlak
terhadap kewenangan pengadilan mengalami perubahan haluan
sebagaimana terlihat
dalam Putusan MA No 1951K/Sip/Pdt/1984 tanggal 24 Desember 1985.
Perkara
tersebut adalah mengenai sengketa jual beli tractor antara PT.
Pulau Intan Cemerlang
dengan PT. United Tractor yang dalam kontrak jual belinya terdapat
klausula
arbitrase. Mahkamah Agung memutuskan bahwa “meskipun dalam suatu
perjanjian
para pihak telah bersepakat satu sama lain yang isi kesepakatannya
kemudian
dituangkan dalam perjanjian untuk menyerahkan penyelesaiannya
melalui badan
arbitrase namun ketentuan perjanjian ini tidak berlaku mutlak”.
Putusan ini
mendasarkan pada ketentuan Pasal 2 AB yang menyebutkan bahwa hakim
yang
menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya tidak jelas
atau tidak
lengkap dapat dituntut karena menolak untuk mengadili. Berdasarkan
putusan ini
maka sikap Mahkamah Agung berubah haluan dari aliran klausula
arbitrase facta sunt
servanda kepada aliran klausula arbitrase Bukan Publik Orde
(Sutanto : 2003 : 17 ).
Sikap Mahkamah Agung kemudian mengalami perubahan lagi pada
tahun
1988, sebagaimana terlihat dalam Putusan MA No 3197K/Pdt/1984
tanggal 4 Mei
1988 kasus antara PT. Arpeni Pratama Ocean Line dengan PT. Shorea
Mas. Isi
putusan MA adalah “apabila dalam perjanjian memuat klausula
arbitrase, pengadilan
negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam
Konvensi
maupun Rekonvensi”. Putusan MA ini menunjukan perubahan kembali
lagi sikap
Mahkamah Agung kepada aliran facta sunt servanda yaitu semua
persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya,
oleh karena itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (good faith)
sebagaimana
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, sehingga setiap perjanjian yang
mencantumkan
klausula arbitrase adalah kewenangan mutlak dari arbiter.
Sikap Mahkamah Agung terlihat kurang konsisten berkaitan
dengan
kedudukan klausula arbitrase terhadap kewenangan pengadilan atau
arbiter, yang
tercermin dalam beberapa putusannya. Putusan demikian pada dasarnya
tidak
mengikat bagi hakim untuk mengikuti atau tidak mengikuti putusan –
putusan yang
sebelumnya yang dijatuhkan oleh hakim yang lebih tinggi dalam
perkara sejenis
karena Indonesia tidak menganut azas the binding force of precedent
( Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari : 2005 : 66).
19
Kompetensi Absolut Pengadilan.
Masalah awal terhadap konsekuensi pilihan forum arbitrase oleh para
pihak
yang tertuang dalam klausula arbitrase adalah masalah yurisdiksi.
Yurisdiksi mengacu
pada kewenangan, sedangkan forum mengacu pada lembaga atau badan
tempat suatu
sengketa diperiksa dan diadili (Setiawan : 2003 : 107).
Sebagaimana dipahami arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa
diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbirase yang
dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Mengenai masalah
kesepakatan diantara
para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase ini
diatur dalam Pasal 4
UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
bahwa persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase
dimuat dalam
suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
Dengan adanya klausula arbitrase yang dibuat para pihak setelah
timbul
sengketa (acta kompromi) atau kesepakatan yang dibuat sebelum
timbul sengketa
(pactum decompromittendo) akan meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan
penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri (Pengadilan Niaga) dan
Pengadilan
Negeri (Pengadilan Niaga) wajib menolak/tidak akan ikut campur
tangan. Hal in
ditentukan secara tegas dalam Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 bahwa
“Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang
telah terikat dalam
perjanjian arbitrase”. Ketentuan demikian semestinya menjadi
pegangan yang
konsisten bagi para pihak yang memilih jalur arbitrase ( Hartini
Mochtar Kasran :
2000 : 8).
tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
dengan jelas melalui
arbitrase akan tetapi pada dasarnya hakim pengadilan tidak dapat
menyatakan secara
langsung penolakan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, tanpa
ada
pemeriksaan lebih dulu, karena prinsipnya hakim tidak boleh menolak
untuk
memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya
dengan alasan
apapun. Hal ini secara implisit diakui dan dinyatakan dalam Artikel
II ayat (3)
Konvensi New York (Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan
Keputusan-
Keputusan Arbitrase Luar Negeri) dimana Indonesia telah
meratifikasi Konvensi
tersebut melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang bunyinya sebagai
berikut ; “The
court of the contracting state, when seized of in action in a
matter in respect of which
the praties have made an agreement within the meaning of this
article, shall at the
requestof one of the parties, rever th parties to arbitration,
unless it finds that the said
agreement is null and void, inoverative or incapable of being
fermormed” (Sudargo
Gautama : 1979 : 188). Dari ketentuan ini maka dapat diketahui maka
pengadilan
tidak secara otomatis akan menolak untuk mengadili suatu sengketa
dimana
sebelumnya telah diperjanjikan untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul melalui
arbitrase, kecuali pengadilan menemukan bahwa perjanjian atau
kontrak tersebut null
and void, inoveratif or incapable of being performed.
Menurut Frans Liemena, null and void mengandung pengertian
bawasuatu
perjanjian arbitrase dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak ada pada
saat dibuatnya
perjanjian mialnya para pihak sepenuhnya belum sepakat dengan
klausula arbitrase,
atau pencantuman klausula arbitrase dilakukan karena salah duga
atau salah
menafsirkan. Inoveratif maksudnya bahwa para pihak telah mencabut
atau
membatalkan klausula arbitrase. Sedangkan incapable of being
performed diartikan
20
bahwa perjanjian arbitrase tidak dapat dilaksanakan secara efektif
karena kurang jelas
atau hanya dibuat sebagai formalitas saja (Frans Liemina : 1988 :
189).
Dengan demikian keadaan tidak berwenangnya hakim pengadilan
untuk
memeriksa sengketa yang timbul dari suatu kontrak atau perjanjian
yang
mencantumkan klausula arbitrase tidak mutlak sama sekali. Artinya
pada suatu ketika
hakim pengadilan akan berwenang atau berkompeten unuk memeriksa
sengketa yang
terjadi dalam hal-hal sebagai berikut (Eman Suparman : 2004 : 107)
:
1. Apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan
forum
2. Apabila sengketa yang timbul secara tegas mencabut klausula
diluar substansi
kontrak
3. Putusan yang dijatuhkan diluar kewenangan forum arbitrase atau
bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan yag berlaku, sehingga
hakim
menganggap kausanya tidak halal.
Klausula Arbitrase
adalah Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam Pasal 280 – 289
Undang-Undang
Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 kemudian diatur lebih lanjut
undang-undang
kepailitan yang baru UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang diatur mulai Pasal 299-302 dan juga
menyebar di
berbagai pasal lainnya serta penyebutan istilah di undang-undang
ini cukup dengan
kata-kata “Pengadilan” saja tanpa ada kata “Niaga” hal ini dengan
merujuk pada
bunyi Pasal 1 poin (7) UUK PKPU bahwa pengadilan adalah pengadilan
niaga dalam
lingkungan peradilan umum.
Permohonan kepailitan yang dapat diajukan ke Pengadilan Niaga
harus
memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor
37 Tahun
2004 yaitu :
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat
ditagih
c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih
krediturnya
Jika syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut
telah terpenuhi maka
kreditur atau beberapa orang kreditur dapat mengajukan permohonan
kepailitan pada
Pengadilan Niaga. Kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan
sengketa
kepailitan bersifat mutlak karena bersandar pada amanah
undang-undang. Satu-
satunya pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa kepailitan
di Indonesia
adalah Pengadilan Niaga.
Ketika seseorang atau badan usaha melakukan suatu hubungan dengan
mitra
usahanya yang diawali dengan sebuah kontrak atau perjanjian yang
mengatur semua
hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk diatur juga mengenai
cara
penyelesaiannya apabila dikemudian hari timbul masalah atau
sengketa berkaitan
dengan isi perjanjian, apakah akan diselesaikan melalui pengadilan
atau diluar
pengadilan dengan mengangkat/menunjuk pihak ketiga sebagai juru
damai atau
wasit/arbiter. Pilihan ini sebaiknya ditetapkan secara tegas dalam
perjanjian. Apabila
sudah mencantumkan pilihan penyelesaian sengketa melalui jalur
arbitrase
sebagaimana tertuang dalam klausula arbitrase. Dengan adanya
klausula arbitrase
maka pengadilan menjadi tidak berwenang untuk menyelesaikan
sengketa tersebut,
21
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan alternatif
Penyelesaian Sengketa. Konflik akan muncul dalam hal sengketa
kepailitan antara
debitur yang punya utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih
berhenti
membayar/tidak dapat membayar utangnya pada kreditur dan kreditur
membuat
permohonan pailit pada pengadilan niaga, dimana dalam perjanjian
antara mereka
terdapat klausula arbitrase yang secara tegas menyatakan tentang
pilihan penyelesaian
sengketa akan diserahkan melalui badan arbitrase. Jika dikaji dari
dasar hukum yang
melandasi maka akan ada dua undang-undang yang terkait dengan
permasalahan ini
yaitu apakah para pihak tunduk pada ketentuan UU Nomor 30 Tahun
1999 karena
dengan klausula arbitrase maka penyelesaian sengketa mutlak harus
diserahkan pada
arbiter (Pasal 3 jo Pasal 11) ataukah tunduk pada ketentuan UU
Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang
mengatur kewenangan mutlak pengadilan niaga untuk menyelesaikan
sengketa
kepailitan.
mengandung klausula arbitrase, disatu sisi pengadilan niaga
berwenang karena
sengketa kepailitannya sedangkan disisi lain arbiter berwenang
karena adanya
klausula arbitrase.
ketentuan atau aturan hukum yang sesuai dengan berlakunya asas
peraturan
perundangan. Ada enam asas yang mengatur berkaitan dengan hal ini (
Rahayu
Hartini : 2009 : 116), yaitu :
b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi
mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula
c. Undang-undang yang berlaku khusus mengenyampingkan
undang-undang
yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis).
d. Undang-undang berlaku belakangan membatalkan undang-undang
yang
berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori).
e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
f. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai
kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun
individu melalui
pembaharuan dan pelestarian ( asas welfarestaat).
Bila merujuk pada berlakunya asas perundang-undangan “lex
specialis
derogat lex generalis” maka mana yang dianggap sebagai peraturan
yang khusus yang
dapat mengesampingkan berlakunya peraturan yang umum diantara UUK
PKPU dan
UU Arbitrase. Penyelesaian melalui Pengadilan Niaga atau diluar
pengadilan
(arbitrase).
Mengenai kekuatan berlakunya perjanjian atau klausul arbitrase,
apakah bisa
dikesampingkan oleh para pihak. Untuk itu ada teori hukum yang
mengatur yaitu
(Sutanto : 2003 : 15) :
a. Aliran yang menyatakan bahwa klausul arbitrase atau perjanjian
arbitrase bukan
public policy. Aliran ini menegaskan walaupun ada klausul
arbitrase, pengadilan
tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan
karena
klausul arbitrase bukan openbare orde.
b. Aliran yang menekankan asas pacta sunt servanda pada kekuatan
klausul atau
perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan klausul atau
perjanjian arbitrase
mengikat para pihak dan dapat dikesampingkan hanya dengan
kesepakatan
bersama para pihak yag tegas untuk itu.
22
Kedua aliran ini pernah diterapkan Mahkamah Agung dalam memutus
perkara yang
mengandung klausula arbitrase seperti terlihat dalam Putusan MA
No
1951K/Sip/Pdt/1984 tanggal 24 Desember 1985 (aliran klausula
arbitrase bukan
public policy) dan Putusan MA No 225K/Sip/1976 tanggal 30 September
1983
(aliran yang menekankan asas pacta sunt servanda).
Kewenangan arbitrase menyelesaikan sengketa sebagai extra judicial
lahir
berdasarkan klausula arbitrase, sedangkan kewenangan Pengadilan
Niaga sebagai
extra ordinary yang secara khusus diberi kewenangan untuk memeriksa
dan
mengadili penyelesaian kepailitan lahir berdasarkan ketentuan
undang-undang (Eman
Suparman : 2004 : 113-114).
Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 tidak mengatur secara
tegas
tentang siapa berwenang menyelesaikan sengketa kepailitan dengan
klausula
arbitrase. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai penafsiran yang
dilakukan oleh
hakim, sebagaimana yang terjadi pada kasus PT. Environmental
Network Indonesia
(PT Enindo). Karena tidak adanya kejelasan maka kasus ini terdapat
beberapa
putusan yang berbeda antara Pengadilan Niaga, Mahkamah Agung
(Kasasi) dan
putusan Peninjauan Kembali. Dimana putusan Pengadilan Niaga
menyatakan tidak
berwenang memeriksa dan memutus sengketa kepailitan yang terdapat
klausula
arbitrase, sedangkan Mahkamah Agung dalam putusan Kasasi kemudian
menyatakan
pengadilan berwenang, dan dilanjutkan oleh putusan Peninjauan
Kembali yang
menegaskan kembali bahwa pengadilan tidak berwenang.
Undang-Undang Kepailitan yang baru yaitu UU Nomor 37 Tahun
2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
memberikan
jawaban secara tegas berkaitan dengan penyelesaian sengketa
kepailitan dengan
klausula arbitrase sebagaimana diatur dalam Pasal 303 yaitu bahwa
“pengadilan tetap
berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit
dari para
pihak yang terkait perjanjian yang memuat klausula arbitrase,
sepanjang utang yang
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi unsur
Pasal 2 ayat (1)
undang-undang ini”. Unsur Pasal 2 ayat (1) dimaksud adalah :
d. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
e. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat
ditagih
f. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih
krediturnya
Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa
pengadilan
niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan
pernyataan pailit
dari pihak, sekalipun terdapat klausul arbitrase dalam perjanjian
utang piutang yang
mereka buat. Ketentuan Pasal 303 UUK PKPU memberikan jawaban
atas
ketidakjelasan permasalahan sengketa kepailitan yang mengandung
klausul arbitrase
yang diatur dalam UU Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998.
Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 303 UUK PKPU maka tidak
ada lagi ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam penerapan hukum
sebagai dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kepailitan yang
mencantumkan
klausul arbitrase dalam perjanjiannya.
Makna sebaliknya dari Pasal 303 UUK PKPU adalah sepanjang unsur
Pasal 2
ayat (1) tidak terpenuhi, maka penyelesaian sengketa kepailitan
yang mengandung
klausul arbitrase menjadi kewenangan mutlak arbiter. Hal ini karena
Pasal 303
menyandarkan kewenangan Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan
memutus segketa
kepailitan yang terdapat klausul arbitrase pada terpenuhinya unsur
Pasal 2 ayat (1)
sebagai pemenuhan unsur syarat permohonan kepailitan di Pengadilan
Niaga.
23
sebagai extra judicial yang lahir berdasarkan klausula arbitrase,
tidak dapat
mengesampingkan kewenangan pengadilan niaga sebagai extra ordinary
yang secara
khusus diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili penyelesaian
kepailitan
lahir berdasarkan ketentuan undang-undang.
Sehingga dapat dikatakan dalam persoalan penyelesaian sengketa
kepailitan
yang mengandung klausula arbitrase dan memenuhi unsur Pasal 2 ayat
(1) UUK
PKPU maka kedudukan UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan
dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang berlaku sebagai hukum khusus
(lex
specialis) sementara UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternati
Penyelesaian Sengketa berlaku sebagai hukum umum (lex
generalis).
IV. Simpulan
menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi unsur
Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.Unsur yang dimaksud adalah :
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat
ditagih
c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih
krediturnya
2. Jika unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 tahun 2004
Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak
terpenuhi
maka penyelesaian sengketa kepailitan yang dalam perjanjiannya
memuat
klausula arbitrase adalah menjadi kewenangan mutlak arbiter sesuai
dengan
perjanjian yang dibuat para pihak.
V. Saran
mengenai tata cara penyelesaian suatu perselisihan baik yang timbul
kemudian
atau yang sudah timbul diatur secara tegas dalam perjanjian tentang
pilihan
penyelesaian apakah melalui jalur pengadilan ataukah melalui
bantuan pihak
ketiga/wasit/arbiter, sehingga tercipta kepastian bagi kedua belah
pihak.
Daftar Pustaka
a. Buku
:BPHN
Bandung : Eresco.
Hartini, Rahayu. 2003. Hukum Kepailitan. Cetakan Pertama. Malang :
Bayu Media
24
Group
Elektronik. Jakarta : Djambatan
Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase Dalam Sengketa
Komersial Untuk
Keadilan. Jakarta : PT. Tata Nusa
Suryana, Daniel.2007. Hukum Kepailitan. Cet. I. Bandung : Pustaka
Sutra
Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. 2005. Aspek-Aspek
Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia . Cet. I. Yogyakarta : UII
Press
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja. 2000. Kepailitan, Seri Hukum
Bisnis. Cetakan
Kedua. Jakarta : RajaGrafindo Persada
b. Artikel dan Makalah
Harahap, M. Yahya. 1990. Penerapan Klausula Arbitrase dan
Pelaksanaan Putusan
Abitrase Dalam dan Luar Negeri di Indonesia. “Varia Peradilan”.
Tahun IV No
37. Jakarta : IKAHI
Kepailitan yang Berklausula Abitrase. “Pusat Lembaga Penelitian”.
Malang
Kasran, Hartini Moctar. 2000. UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan APS.
Makalah Seminar tentang Arbitrase dan E – Commerce. Tanggal 6
Sepetember
2000
Pengadilan. “Varia Peradilan” Tahun III No. 29 Tahun 1999 . Jakarta
:
IKAHI.
Pusat Kajian Hukum Mahkamah Agung RI
Sutanto.2003. Perkembangan Penerapan Klausula Arbitrase Dalam
Hubungannya
Dengan Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri. “Varia
Perlindungan
Konsumen” Edisi Sep-Okt. YLKI
Ilmiah pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Hukum
Fakultas Hukum Universitas Airlangga tanggal 17 Desember 2005
c. Peraturan Perundang-undangan
25
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang