23
1 Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi Demam Tifoid Novi Anggriyani Hermawan NIM : 102012514 Tahun ajaran : 2013/2014 Email : [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk,Jakarta Barat. Telp. 021- 56942061 I. Pendahuluan Nyeri peradangan peritoneum bersifat menetap dan tumpul serta terletak tepat diatas daerah yang meradang, dengan lokasi yang tepat dapat ditentukan karena nyeri ni disalurkan saraf somatik yang mempersarafi peritoneum. Intensitas nyeri bergantung pada jenis dan jumlah materi yang memajan permukaan peritoneum dalam suatu periode waktu. Sebagai contoh, pelepasan mendadak sejumlah kecil getah lambung yang asam dan steril ke dalam rongga peritoneum menimbulkan nyeri yang lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh feses yang ber-pH netral dan jelas terkontaminasi dalam jum,lah yang sama. Getah pankreas yang banyak mengandung enzim aktif memicu peradangan yanglebih hebat daripada empedu steril yang tidak mengandung enzim poten, dalam jumlah yang sama. Darah dan urin seringkali begitu ringan sehingga tidak terdeteksi jika kontak dengan peritoneum tidak mendadak dan masif. Pada kasus kontaminasi bakteri, seperti pada penakit radang panggul (pelvic inflammatory disease), nyeri sering berintensitas rendah di awal pemyakit sehingga perkembangbiakan bakteri menyebabkan perluasan materi iritan. Kecepatan materi iritan mengenai peritoneum juga penting. Perforasi tukak peptik dengan mungkin menimbulkan gambaran klinis yang secara keseluruhan berbeda yang bergantung hanya pada kecepatan getah lambung masuk ke rongga peritoneum.

Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

blok 16

Citation preview

Page 1: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

1

Peritonitis Sekunder Akibat PerforasiDemam Tifoid

Novi Anggriyani HermawanNIM : 102012514

Tahun ajaran : 2013/2014Email : [email protected]

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk,Jakarta Barat. Telp. 021-56942061

I. PendahuluanNyeri peradangan peritoneum bersifat menetap dan tumpul serta terletak tepat diatas daerah yang meradang, dengan lokasi yang tepat dapat ditentukan karena nyeri ni disalurkan saraf somatik yang mempersarafi peritoneum. Intensitas nyeri bergantung pada jenis dan jumlah materi yang memajan permukaan peritoneum dalam suatu periode waktu. Sebagai contoh, pelepasan mendadak sejumlah kecil getah lambung yang asam dan steril ke dalam rongga peritoneum menimbulkan nyeri yang lebih besar daripada yang ditimbulkan oleh feses yang ber-pH netral dan jelas terkontaminasi dalam jum,lah yang sama. Getah pankreas yang banyak mengandung enzim aktif memicu peradangan yanglebih hebat daripada empedu steril yang tidak mengandung enzim poten, dalam jumlah yang sama. Darah dan urin seringkali begitu ringan sehingga tidak terdeteksi jika kontak dengan peritoneum tidak mendadak dan masif. Pada kasus kontaminasi bakteri, seperti pada penakit radang panggul (pelvic inflammatory disease), nyeri sering berintensitas rendah di awal pemyakit sehingga perkembangbiakan bakteri menyebabkan perluasan materi iritan.Kecepatan materi iritan mengenai peritoneum juga penting. Perforasi tukak peptik dengan mungkin menimbulkan gambaran klinis yang secara keseluruhan berbeda yang bergantung hanya pada kecepatan getah lambung masuk ke rongga peritoneum.Nyeri pada peradangan peritoneum hampir selalu bertambah kuat dngan tekanan atau perubahan tegangan peritoneum, baik yang ditimbulkan oleh palpasi amupun gerakan, sebagai contoh batuk atau bersin. Pasien dengan peritonitis berbaring dengan tenang ditempat tidur, cenderung menghundari gerakan, berbeda dari pasien dengan kolik, yang bisa terus-menerus menggeliat.Gambaran khas lain iritasi peritoneum adalah spasme reflek tonik otot abdomen, yang terbatas pada segmen tubuh yang terlibat. Intensitas spame otot tonik yang menyertai peradangan peritoneum bergantung pada lokasi proses peradangan, kecepatan peradangan dan integrasi sistem saraf. Spasme diatas perforasi apendiks retrosekum atau perforasi ulkus ke dalam kantung peritoneum minor mungkin minimal atau tidak ada karena efek protektif visera diatasnya. Proses yang berlagsung perlahan sering kali sangat mengurangi derajat spasme otot. Pada pasien usia lanjut yang lemah, sensibilitasnya tumpul, sakit berat, atau pada pasien psikotik, kedaruratan abdomen yang mengancam nyawa seperti perforasi ulkus mungkin menimbulkan nyeri atau spasme otot yang minimal atau yang tidak terdeteksi.1

II. IsiII.I. Anamnesis

Page 2: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

2

Anamnesis pasien yang dicurigai mengidap penyakit gastrointestinal memiliki beberapa komponen. Waktu timbulnya gejala dapat mengisyaratakan etiologi spesifik. Gejala yang durasinya singkat sering disebabkan oleh infeksi akut, pajanan toksin, atau peradangan atau iskemia akut Gejala yang telah lama dialami menunjukan adanya peradangan kronik atau neoplasma atau suatu gangguan usus fungsional. Gejala akibat obstruksi mekanis, iskemia, IB, dan gangguan usus fungsional semakin parah jika pasien makan. Sebaliknya, gejala tukak mungkin mereda setelah makan atau pemberian antasid. Pola dan lama gejala mungkin menunjukan etiologi yang mendasari. Nyeri tukak terjadi secara intermitten yang berlangsung mingguan atau bulanan, sedangkan kolik empedu memiliki awitan mendadak dan berlangsung beberapa jam. Nyeri akibat peradangan akut, misalnya pada pankreatitits akut, bersifat parah dan menetap beberap hari hingga beberapa minggu. Makan memicu diare pada beberapa kasus IBD dan IBS; defekasi bersifat meredakan rasa tidak nyaman pada keduanya. Gangguan usus fungsional diperparah oleh stres. Terbangun mendadak dari tidur lelap lebih mengisyaratkan penyakit organik daripada suatu gangguan usus fungsional. Diare karena malabsorpsi biasanya membaik dengan puasa, sedangkan diare sekretorik menetap tanpa asupan dari mulut.Hubungan gejala dengan faktor lain mempersempit daftar kemungkinan diagnosa. Geja obstruksif disertai riwayat beda abdomen sebelumnya menimbulkan perhatian akan adanya perlekatan, sedangkan tinja yang encer setelah gastrektomi atau eksisi kandung kemih mengisyaratkan dumping syndrome atau diare pasce-kolesistektomi. Gejala yang muncul setelah berpergian mengisyaratkan kemungkinan infeksi usus. Obat atau suplemen makanan dapat menyebabkan nyeri, perubahan kebiasaan buang air besar atau perdarahan GI. Perdarah GI bawah pada orang usia lanjut lebih mungkin disebabkan oleh neoplasma, divertikulum, atau lesi vaskular sedangkan pada pasien yang lebih muda oleh kelainan anorektum atau IBD. Celiac disease sering terjadi pada orang keturunan Irlandia sedangkan IBD leboh sering pada populasi Yahudi tertentu. Riwayat seksual mungkin dapat menunjukkan kemungkinan penyakit menular seksual atau imunodefisiensi.Dalam dua dekade terakhir, berbagai kelompok kerja telah melakukan pertemuan untuk membuat kriteri gejala untuk menegakan dengan lebih meykinkan diagnosa gangguan usus fungsional dan memperkecil jumlah pemeriksaan diagnostik yang tidak diperlukan. Kriteria berbasis gejala yang paling banyak diterima adaah kriteria roma. Jika diuji terhadap pemeriksaan struktural, kriteria roma memperlihatkan spesifisitas diagnostik >90% untuk banyak penyakit usus fungsional.2

II.II.Pemeriksaan fisikPada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan keadaan umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan (lihat tabel 1).

Tabel 1. Ringkasan langkah pemeriksaan fisik penderita gawat abdomen.Umum Inspeksi umum

Page 3: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

3

Tanda sistemikSuhu badan (rektal dan aksilar)

Abdomen Inspeksi Auskultasi Nyeri batukPerkusi Nyeri tinju: sisi dan

kostovertebralPalpasi Defans muskuler

Palpasi dalamTanda dan uji khusus Pintu hernia

Menarik testisColok dubur/vagina Anus dan rektum

Panggul dalam

Pada pemeriksaan perut, inspeksi merupakan bagian yang penting. Auskultasi dilakukan sebelum dilakukannya perkusi dan palpasi. Lipat paha dan tempat hernia lain diperiksa secara khusus. Umumnya dibutuhkan colok dubur untuk membantu penegakan diagnosis.Pemeriksaan bagian perut yang sukar dicapai, seperti retroperitoneal, regio subfrenik, dan panggul, dapat dicapai secara tidak langsung dengan uji tertentu. Dengan uji iliopsoas dapat diperoleh informasi mengenai regio retroperitoneal; dengan uji obturator dapat diperoleh informasi mengenai kelainan di panggul, dan dengan perkusi tinju dapat dicapai regio subfrenik (lihat gambar 1 dan 2).

Page 4: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

4

Gambar 1 dan 2. Tes obturator dam tes iliopsoas.

Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vagina.Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum douglas kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daerah panggul, seperti appendisitis, abses, atau adneksitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan ada obstruksi usus ampula biasana kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam perempuan.3

Pada peritonitis dapat ditemukan penderita tidak bergerak, bunyi usus hilang(lanjut), nyeri batuk, nyeri gerak, nyeri lepas, defans muskuler, tanda infeksi umum, keadaan umum merosot.

II.III. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan laboratorium, radiografik, dan fungsional dapat membantu dalam mendiagnosa pasien yang dicurigai mengidap penyakit GI. Saluran GI juga dapat dievaluasi secara internal dengan endoskopi atas atau bawah dan diperiksa isi

Page 5: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

5

lumennya. Pemeriksaan histologik jaringan gastrointestinal melengkapi berbagai pemeriksaan diatas.a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tertentu dapat membantu dignosa penyakit GI. Anemia defisiensi besi mengisyaratkan pengeluaran darah melalui mukosa, sedangkan defisiensi vitamin B12 terjadi karena penyakit usus halus, lambung, atau pankreas. Keduanya juga dapat disebaban oleh kurang memadainya asupan makanan. Leukositosis dan peningkatan laju endap darah dapat dijumpai pada penyakit peradangan, sedangkan leukopenia terjadi pada viremia. Muntah atau diare hebat memicu gangguan elektrolit, , kelainan asam-basa, dan peningkatan kada nitrogen urea darah. Penyakit pankreatobiliaris atau hati diisyaratkan leh peningkatan hasil pemeriksaan kimia hati atau pankreas. Pemeriksaan kimia tiroid, kortisol, dan kadar kalsium dilakukan untuk menyingkirkan penyebabendokrinologik yang menimbulkan gejala GI. Pemeriksaan kehamilan di pertimbangakan pada wanita muda dengan mual yang tidak jelas sebbnya. Tes serologik dapat dilakukan untuk melakukan pemeriksaan penapis terhadap celiac disease, IBD, dan penyakit rematologiknya misalnya lupus atau skreloderma. Kadar hormon diperiksa pada pasien yang dicurigai mengidap neoplasia endokrin. Keganasan intra-abdomen menghasilkan penanda tumor termasukantigen karsinoembrionik CA 19-9 dan α-fetoprotein. Pemeriksaan serologi paraneoplastik dapat dimintakan untuk pasien dengan dismotilitas usus yang dicurigai merupakan akibat adanya neoplasma ekstraintestinal. Cairan tubuh lain diambil pada keadaan tertentu. Cairan asites dianalisa untuk infeksi, keganasan atau tanda-tanda hipertensi porta. Cairan serebrospinal diambil sampelnya pada pasien dengan muntah yang dicurigai disebabkan oleh kelainan susunan saraf pusat. Sampel urin diperiksa untuk karsinoid, porfiria, dan intoksikasi logam berat.

b. Isi lumen

Isis lumen dapat diperiksa untuk mencari petunjuk diagnosis. Sampel tinja dapat dibiak untuk patogen bakteri, diperiksa untuk leukosit dan parasit, atau dites untuk antigen Giardia, aspirat duodenum dapat diperiksa untuk parasit atau dibiak untuk melihat pertumbuhan berlebihan bakteri. Lemak tinja dikuantifikasi untuk kemungkinan malabsorpsi. Elektrolit tinja dapat diukur pada diare. Pemeriksaan penapis pencahar dilakukan jika dicurigai terjadi penyalahgunaan pencahar. Asam lambung dikuantifikasi untuk menyingkirkan sindrom Zollinger-Ellison. Pemeriksaan pH esofagus dilakukan untuk gejala refluks asam yang refrakter, sedangkan teknik-teknik yang impedansi yang lebih baru menilai refluks non-asam. Getah pankreas dianalisa untuk kandungan enzim atau bikarbonat untuk menyingkirkan insufisiensi eksokrin pankreas.

c. EndoskopiUsus dapat diakses dengan endoskopi, yang dapat memberi diagnosa penyebab perdarahan, nyeri, mual dan muntah, penurunan berat, perubahan

Page 6: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

6

pola buang air besar, dan demam. Endoskopi atas mengevaluasi esofagus, lambung, dan duodenum, sedangkan kolonoskopi memeriksa kolon dan ileum dista. Endoskopi atas dianjurkan sebagai pemeriksaan struktural awal yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita penyakit tukak, esofagitis, neoplasma, malabsopsi, dan metaplasia Baret karena kemampuannya untuk secara langsung melihat serta membiopsi kelainan. Kolonoskopi adalah prosedur pilihan untuk pemeriksaan penapis dan surveilans kanker kolon serta diagnosis kolitis akibat infeksi, iskemi, radiasi, dan IBD. Sigmoidoskopi memeriksa kolon hingga fleksura lienalis dan saat ini digunakan untuk menyingkirkan peradangan atau obstruksi kolon distal pada pasien muda yang tidak beresiko signifikan untuk kanker kolon. Untuk perdarahan GI yang disebabkan oleh malformasi arteriovena atau tukak superfisial, pemeriksaan usus halus dilakukan dengan push enteroscopy, endoskopi kapsul, atau tehnik baru enteroskopi balon-ganda. Endoskopi kapsul juga semakin sering digunakan untuk melihat penyakit Crohn di usus halus pada orang dengan hasil radiografi barium negatif. Endoscopic retrograde cholangio-pancreatography (ERCP) digunakan dalam diagnosa penyakit pankreas dan empedu. Ultrasonografi endoskopik dapat mengevaluasi luas penyakit pada keganasan GI serta menyingkirkan koledokolitiasis, mengevaluasi pankreatitits, melakukan drainase pseudokista pankreas, dan menilai kontinuitas anus.

d. Radiografi/kedokteran nuklirPemeriksaan rdiografi mengevaluasi penyakit usus dan dan struktur ekstraluminal. Bahan kontras peroral atau rektum, misalnya barium, memnerikan gambaran mukosa dari esofagus hinga rektum. Radiokontras juga menilai transit usus dan disfungsi dasar panggul. Barium swallow adalah prosedur awal untuk evaluasi disfagia untuk menyingkirkan cincin atau striktur serta menilai akalasia, sedangkan radiologi kontras usus halus dapat diandalkan untuk mendiagnosa tumor usus serta ileitis Crohn. Enema kontras dilakukan jika kolonoskopi gagal atau dikontraindikasi. Ultrasonografi dan CT mengevaluasi bagian-bagian yang tidak dapat diakses pleh endoskopi atau pemeriksaan kontras, mencakup hati, pankreas, kandung empedu, ginjal dan retroperitoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan ini bermanfaat untuk mendiagnosa lesi massa, kumpulan cairan, pembesaran organ dan pada kasus batu ultrasonografi batu empedu. Kolonografi MR dna CT kini sedang dievaluasi sebagai alternatif untuk kolonoskopi untuk pemeriksaan penapis kanker kolon. MRI menilai saluran pankreatobiliarisuntuk menyingkirkan neoplasma, batu, dan kolangitis skrelotikans, dan hati untuk mengetahui karakter tumor jinak dan ganas. Angiografi menyingkirkan iskemi mesenterium dan menentukan penyebaran keganasan. Teknik angiografik juga mengakses saluran empedu pada ikterus obstruktif. Pemeriksaan CT dan MR dapat digunakan untuk menyaring oklusi mesenterium seg=hingga pajanan ke zat warna angiografik dapat dikurangi. Positron emision tomography memberikan harapan dalam membadakan keganansan dari lesi jinak dibeberapa sistem organ.

Page 7: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

7

Scintigraphy mengevaluasi kelainan struktur dan mengkuantifikasi transit lumen. Radionuclide bleeding scan dapat menentukan letak perdarahan pada pasien dengan perdarahan hebat sehingga terapi dengan endoskopi, angiografi, atau pembedahan dapat terarah. Radiolabeled leukocyte scan dapat mencari abses intra-abdomen yang tidak terlihat dengan Ct. Scintigraphy empedu bersifat komplementer untuk ultrasonogradi dalam memeriksa kolesistitis. Scintigraphy untuk mengukur pengosongan esofagus dan lambung telah lama digunakan, sedangkan teknik untuk mengukur transit usus halus atau kolon lebih jarang digunakan.

e. HistopatologiBiopsi mukosa usus yang diambil saat endoskopi dapat mengevaluasi penyakit peradangan, infeksi, atau neoplastik. Biopsi rektum dalam dapat membantu diagnosis penyakit HIrschsprung atau amiloid. Biopsi hati diindikasikan pada kasus kelainan kimia hati, ikterus yang tidak jelas sebabnya, pasca transplantasi hati untuk menyingkirkan penolakan, dan mengetahui derajat peradangan pada pasien dengan hepatitis virus kronik sebelum memulai terapi antivirus. Biopsi yang diambil sewaktu CT atau ultrasonografi dapat mengevaluasi penyakit intra-abdomen lain yang tidak dapat diakses dengan endoskopi.

f. Pemeriksaan fungsionalPemeriksaan fungsi usus memberi data penting jika pemeriksaan struktural belum dapat menentukan diagnosis (non-diagnostik). Selain pemeriksaan asam lambung dan fungsi pankreas, pemeriksaan fungsional aktivitas motorik dapat dilakukan dengan teknik manometri regional. Manometri esofagus bermanfaat untuk pasien yang dicurigai mengalami akalasia, sedangkan manometri usus halus memeriksa ada tidaknya pseudo-obstruksi. Selain Scintigraphy, tersedia uji napas dan teknik kapsul untuk mengukur pengosongan lambung. Manometri rektum dengan tes ekspulsi balon digunakan untuk pasien dengan inkontinesia yang penyebabnya tidak jelas atau konstipasi akibat disfungsi saluran keluar manometri saluran empedu memeriksa disfungsi sfingter Oddi dengan nyeri biliaris yang tidak jelas sebabanya. Elektrogastrografi mengukur aktivitas listrik lambung pada orang dengan mual dan muntah, sedangakan elektromiografi menilai fungsi anus pada inkontinensia feses. Pengukuran hidrogen napas selagi puasa dan setelah pemberian mono- atau oligosakarida dapat menyaring ada tidaknya intoleransi karbohidrat dan pertumbuhan berlebihan bakteri di usus halus.2

II.IV. Diagnosa bandinga. Peritonitis primer

peritonitis dapat berupa primer (tanpa sumber kontaminasi yang jelas), sekunder, dan tersier. Jenis organisme yang yang ditemukan dan gambaran klinis ketiga proses ini berbeda. Pada orang dewasa peritonitis primerpaling sering terjadi berkaitan denga sirosis hati (sering akibat kecanduan alkohol). Namun, penyakit ini juga pernah

Page 8: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

8

dilaporkan tejadi pada orang dewasa denan penyakit eganasan metastatik, sirosis pascanekrosis, hepatitis aktif kronik, hepatitis virus akut, gagal jantung kongesti, lupus eritematous sistemik, dan limfadema serta pada pasien yang tampakmya tidak mengidap penyakit apapun.meskipu PBP hampir selalu terjadi pada pasien yang mengidap asites, hal ini secara umum merupakan kejadian yang jarang, terjadi pada <10% pasien sirosis. Penyebab PBP belum diketahui pasti tapi diperkirakan meibatkan oenyebaran organisme secara hemtogen pada pasien yang gangguan hati dan sirkulasi portalnya menyebabkan defek pada fungsi filtrasi normal. Organisme berkembang biak di dalam asites, suatu medium yang baik untuk pertumbuhan. Protein-protein dalam jenjang komplemen dapat ditemukan didalam cairan peritoneum, dengan kadar yang lebih rendah pada pasien sirosis daripada pasien dengan asites akibat etiologi lain. Pada pasien dengan penyakit hati stadium lanjut, sifat opsonik dan fagositik PMN berkurang.Gambaran PBP berbeda dari peritonitis sekunder. Manifestasi paling umum adalah demam yang dilaporkan pada 80% pasien. Asites ditemukan tetapi hampir selalu mendahului infeksi. Nyeri abdomen, awitan gejala yang akut, dan iritasi peritoneum ketika pemeriksaan fisik dapat membantu secara diagnostis, tetapi tidak ditemukannya temuan-temuan diatas tidak menyingkirkan diagnosis yang sering samar. Gejala non-lokalisasi (misalnya malaise, lesu, atau ensefalopati) tanpa etiologi lain yang jelas seyogianya juga menyadarkan kita akan kemungkinan PBP pada pasien yang eresiko. Semua pasien sirosis dengan demam dan asites perlu menjalani pemeriksaan sampel cairan peritoneum. Temuan >250 PMN/μL bersifat dianostik untuk PBP, menurut Conn. Kriteria ini tidak berlaku untuk oeritonitis sekunder. Mikrobiologi PBP juga khas. Sementara basil gram-negative enterik misalnya Escherichia coli adalah yang paling sering ditemukan, organisme gram positifmisalnya streptokokus, enterokokus, atau bahkan penumokokus kadang dijumpai. Pada PBP, biasanya ditemukan satu jenis kuman; anaerob lebih jarang dijumpai pada PBP dibandingkan peritonitis sekunder, yang biasanya terdapat flora campuran termasuk anaerob. Pada kenyataanya, jika dicurigai terdapat PBP dan ditemukan berbagai organisme termasuk anaerob dari cairan peritoneum maka diagnosis perlu dipertimbangkan dan dilakukan pencarian sumber peritonitis sekunder.Diagnosis PBP tidak mudah ditegakkan. Hal ini bergantung pada eksklusi sumber infeksi intra-abdomen primer. CT dengan penguatan kontras bermanfaat dalam mengindentifikasi sumber infeksi di intra-abdomen. Organisme mungkin sulit diperoleh dari biakan cairan peritoneum, mungkin karena jumlah organisme rendah. Namun, hasil ini dapat ditingkatkan jika digunakan 10 mL cairan peritoneum untuk dimasukkan langsung ke dalam botol biakan darah. Karena PBP sering disertai oleh bakteremia maka darah juga perlu dibiak secara bersamaan. Tidak ada pemeriksaan radiologi spesifik yang bermanfaat dalam diagnosis PBP. Foto polos abdomen aan memperlihatkan asites.

Page 9: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

9

Radiografi toraks dan abdomen perlu dilakukan pada pasien dengan nyeri abdomen untuk menyingkirkan udara bebas, yang menunjukkan perforasi.

b. Peritonitis tersierBiasa terjadi pada pasien yang menjalani continous ambulatory peritoneal dyalisis (CAPD, dialisis peritoneum kontnu rawat jalan). Tidak seperti PBP dan peritonitis sekunder, yang disebabkan pleh bakteri endogen, peritonitis terkait-CAPD biasanya melibatkan mikroba kulit. Patogenesis infeksi serupa dengan yang terjadi pada ifeksi terkait-alat intravaskuler, ketika organisme kulit bermigrasi di sepanjang kateter, yang berfungsi sebagai pintu masuk dan juga sebagai benda asing. Pertonitis terkait-CAPD mungkin disertai oleh infeksi saluran atau tempat keluar. Seperti PBP, peritonitis terkait CAPD biadanya disebabkan oleh satu jenis organisme. Peritonitis, pada kenyataannya, merupakan penyebab tersering dihentikannya CAPD. Penyempurnaan desain alat, khususnya konektor Y-set, telah menurunkan jumlah kasus peritonitis dai satu kasus per 9 bulan CAPD menjadi satu kasus per 15 bulan.Gambaran klinis peritonitis CAPD mirip dengan peritonitis sekunder yaitu sering dijumpai nyeri difus dan tanda-tanda rangsangan peritoneum. Dialisat biasanya keruh dan mengandung >100 SDP/μL, >50% nya adalah neutrofil. Organisme tersering adalah Staphylococcus spp., yang pada sebuah penelitian bau-baru ini menjadi penyebab sekitar 45% kasus. Secar historis, spesies stafilokokus negatif-koagulase merupakan yang paling sering ditemukan, tetapi akhir-akhir ini frekuensi temuan isolat ini semakin berkurang. Staphylococcus aureus lebih sering terlibat pada pasien yang dihdungnya mengandung kuman ini daripada yang tidak, akan organisme ini adalah patogen tersering jika jelas terdapat infeksi tempat keluar. Basil gram negatif dan jamur misalnya Candida spp. juga ditemukan. Enterokokus resistensi-vankomisin dan S. aureus intermediet-vankomisin pernah dilaporkan menyebabkan peritonitis pada pasien CAPD. Temuan lebih dari satu organisme dalam biakan dialisat dalam botol biakan darah akan meningkatkan hasil. Untuk mempermudah diagnosa, beberapa ratus milimeter cairan dialisis yang dikeluarkan dipekatkan dengan pemusingan sebelum kultur.4

II.V. Diagnosa kerjaPeritonitis adalah suatu kejadian mengancam nyawa yang disertai oleh bakteremia dan sindrom sepsis. Rongga peritoneum berukuran besar tetapi dibagi menjadi kompartemen-kompartemen. Rongga peritoneum atas dan bawah dibagi oleh mesokolon transversal; omentum mayor terbentang dari mesokolon transversal dan dari kutub bawah lambung untuk membatasi rongga peritoneum bawah. Pankreas, duodenum, serta kolon ascendens dan descendens terletak di rongga retroperitoneum anterior; ginjal, ureter, adrenal terletak di rongga

Page 10: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

10

retroperitoneum posterior. Organ-organ lain termasuk hati, lambung, kandung empedu, ileum, jejunum, limpa, kolon siqmoid dan trasnversal, sekum, dan apendiks, terletak di dalam rongga peritoneum. Rongga ini dilapisi oleh membran serosa yang dapat berfungsi sebagai saluran untuk cairan- suatu sifat yang dimanfaatkan dalam dialisis peritoneum. Dalam keadaan normail terdapat sejumlah kecil cairan serosa di rongga peritoneum, dengan kandungan protein (yang terutama berupa albumin) <30 g/dL dan <300 sel darah putih (SDP, umumnya sel mononukleus) per mikroliter. Pada infeksi bakteri, rekrutmen leukosit ke dalam rongga peritoneum yang terinfeksi terutama terdiri dari leukosit polimorfonukleus (PMN) pada awalnya lalu diikuti oleh migrasi sel mononukleus pada fase selanjutnya. Fenotipe leukosit yang dijumpai selama proses peradangan terutama diatur oleh sintesis kemokin oleh sel-sel residen.

Peritonitis sekunderPeritonitis terjadi jika bakteri yang mencemari peritoneum akibat tumoahan/kebocoran dari suatu viskus intra-abdomen. Organisme yang ditemukan hampir selalu berupa flora campuran dengan basil Gram-negatif fakultatif dan anaerob mendominasi, khususnya jika sumber pencemaran adalah kolon. Pada awal infeksi, ketika respon pejamu di tujukan untuk membatasi infeksi, dijumoai eksudat yang mengandung fibrin dan PMN. Kematian dini pada keadaan ini berkaitan dengan sepsis basil gram-negatif dan endotoksin kuat yang beredar dalam darah. Basil gram-negatif, terutama E. coli, merupakan isolat darah yang sering ditemukkan tetapi bakteremia Bacteroide fragilis juga dapat terjadi. Keparahan nyeri abdomen dan pejalanan penyakit bergantung pada proses pemicu. Organisme yang diisolasi dari peritoneum juga bervariasi sesuai sumber proses awal dan flora normal di tempat itu. Peritonitis sekunder dapat terjadi terutama karena iritasi kimiawi dan/ atau pencemaran bakteri. Sebagai contoh, selama pasien tidak mengalami aklorhidria, tukak lambung yang ruptur dapat melepaskan isi lambung yang ber-pH rendah yang akan bersifat sebagai kimiawi iritan. Flora normal lambung terdiri dari organisme yang sama dengan yang ditemukan di orofaring tetapi dengan jumlah yang lebih rendah. Karena itu, jumlah bakteri pada tukak yang ruptur hampir dapat diabaikan dibandingkan dengan ruptur apendiks. Flora normal kolon dibawah ligamentum Treitz mengandung sekitar 1011 organisme anaerob/gram tinja tetapi hanya 108 aerob/g; karena itu, spesies anaerob membentuk 99,9% bakteri. Kebocoran isi kolon (pH 7-8) tidak menyebabkan peritonitis kimiawi yang signifikan tetapi infeksinya berat karena banyaknya jumlah bakteri.Bergantung pada proses peritonitis sekunder, mungkin terdapat gejala lokal - sebagai contoh, nyeri epigastrium dari ruptur tukak lambung. Pada apendisitis, gejala awal ering samar, dengan rasa tidak enak di periumbilikus dan mual diikuti setelah beberapa jam oleh nyeri yang lebih terlokalisasi di kuadran kanan bawah. Lokasi tak lazim apendiks (termasuk posisi retrosekum) dapat semakin memperumit presentasi penyakit. Jika infeksi telah menyebar ke rongga peritoneum maka nyeri meningkat, terutama pada infeksi yang mengenai peritoneum parietalis karena luasnya persarafan bagian ini. Pasien biasanya berbaring tidak bergerak, sering dengan lutut menekuk untuk menghindari

Page 11: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

11

peregangan serat-serat saraf rongga peritoneum. Batuk dan bersin, yang meningkatkan tekanan didalam rongga peritoneum, memicu timbulnya nyeri tajam. Mungkin ditemukan nyeri yang terlokalisasi di rongga yang terinfeksi atau sakit yang menjadi sumber peritonitis sekunder. Pasien dengan peritonitis sekunder umumnya memperlihatkan temuan -temuan abnormal pada pemeriksaan abdomen, dengan defens volunter dan involunter nyata otot abdomen anterior. Temuan-temuan lain mencakup nyeri tekan , khususnya nyeri lepas. Selain itu mungkin terdapat temuan lokal di daerah yang menjadi pemicu. Secara umum, pasien demam, dengan leukositosis mencolok dan pergeseran SDP ke bentuk neutrofil.Meskipun penemuan organisme dari cairan peritoneum lebih mudah pada peritonitis sekunder daripada peritonitis primer, pungsi abdomen jarang menjadi prosedur pilihan pada peritonitis sekunder. Pengecualiannya adalah pada kasus yang melibatkan trauma, yang kemungkinan hemoperitoneum mungkin perlu disingkirkan secara dini. Pemeriksaan lain (mis. CT abdomen) untuk menentukan sumber kontaminasi peritoneum perlu dilakukan jika pasien secara hemodinamis stabil; pasien yang tidak stabil mungkin memerlukan intervensi bedah sebelumdilakukannya pemeriksaan pencitraan.4

II.VI. Gejala klinisManifestasi umum peritonitis adalah nyeri spontan dan nyeri tekan abdomen akut biasanya dengan demam. Lokasi nyeri bergantung pada kausa yang mendasari dan apalah peradangan bersifat lokal atau generalisata. Peritonitis lokalisata paling sering terjadi pada apendisitis dan divertikulitis non komplikata, dan temuan fisik terbatas di daerah peradangan. Peritonitis generalisata berkaitan dengan peradangan yang meluas serta nyeri tekan dan nyeri lepas abdomen yang difus. Rigiditas dinding abdomen sering dijumpai pada peritonitis lokal dan generalisata. Bising usus biasanya lenyap. Takikardi, hipotensi, dan tanda-tanda dehidrasi sering dijumpai. Leukosistosis dan asidosis mencolok adalah temuan laboratorium yang umum. Foto polos abdomen mungkin memperlihatkan dilatasi usus halus dan usus besar disertai edema dinding usus. Udara bebas dibawah diafragma berkaitan dengan perforasi viskus. CT dan/atau ultrasonografi dapat mengidentifikais keberadaan cairan bebas atau abses. Jika terdapat asites maka perlu dilakukan parasentesis diagnostik dengan hitung sel (>250 neutrofil/μL biasanya dijumpai pada peritonitis), kadar protein dan laktat dehidrogenase, dan biakan. Pada pasien usia lanjut dan pasien dengan gangguan imunitas, tanda-tanda iritasi peritoneum mungkin lebih sulit untuk dideteksi.

II.VII. PatogenesisPeritonitis sekunder paling sering disebabkan komplikasi dari perforasi usus. Salah satu yang menyebabkan perforasi usus adalah demam tifoid (lihat gambar 3). Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggun ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar keseluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus.

Page 12: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

12

Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.Bila pada gambar foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian perforasi adalah murmur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.5

Page 13: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

13

Page 14: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

14

Gambar 3. Patofisiologi demam tifoid.

II.VIII. EtiologiAgen infeksi memperoleh akses ke rongga peritoneum melalui viskus yang mengalami perforasi, luka tembus dari dinding abdomen, atau masuknya benda asing yang kemudian terinfeksi (misalnya kateter dialisis peritoneum kronik). Jika tidak terdapat gangguan imun maka pertahanan pejamu mampu membasmi ontaminasi kecil. Keadaan yang paling sering menyebabkan masuknya bakterikedalam peritoneum adalah ruptur apendiks, ruptur divertikulum, perforasi tukak peptik, hrnia inkarserata, gangren kandung empedu, volvulus, infark usus, kanker, inflammatory bowel disease, atau obstruksi usus. Namun, beragam mekanisme mungkin ikut berperan (lihat tabel 2).

Tabel 2. Penyakit Yang menyebabkan peritonitis bakteri sekunder.Perforasi usus

Trauma, tumpul atau tembus Peradangan apendisitis Divertikulitis Penyakit tukak peptik Inflammatory bowel disease Iatrogenik Perforasi endoskopi Kebocoran anastomosis Perforasi kateter Vaskular Embolus Iskemia Obstruksi Perlekatan Hernia strangulata Volvulus Intususepsi Neoplasma Ingesti benda asing, tusuk gigi, tulang ikan

Perforasi atau kebocoran organ lain Pankreatitis Kolesistitis Kandung kemih trauma, ruptur Kebocoran empedu Salpingitis Perdarahan ke dalam rongga

peritoneum

Terganggu nya integritas rongga peritoneum Trauma Continuous ambulatory peritoneal

dialysis (kateter tetap) Kemoterapi intraperitoneum Abses perinefrik Iatrogenik pasca operasi, benda asing

II.IX. EpidemiologiPerforasi terjadi sekitar 3% dari penderita demam tifoid yang dirawat. Biasanya timbul pada minggun ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.

II.X. KomplikasiKomplikasi dini: Septikemia dan syok septik, syok hipovolemik, sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem, abses residual intraperitoneal, portal Pyemia (misal abses hepar). Komplikasi lanjut: Adhesi,obstruksi intestinal rekuren

Page 15: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

15

II.XI. TerapiTerapi bergantung pada rehidrasi, koreksi kelainan eletrolit, antibiotik, dan koreksi bedah defek yang mendasari.Harus diobati yang menjadi penyebab peritonitis, pada skenario ini yang menyebabkan peritonitis adalah perforasi yang merupakan komplikasi dari demam tifoid. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

II.XII. PrognosisAngka kematian <10% untuk peritonitis non komplikata yang berkaitan dengan perforasi pada orang sehat atau tidak mengalami immunocompromised. Angka kematian >40% pernah dilaporkan untuk pasien lanjut usia, mereka yang mengidap penyakit lain, dan jika peritonitis sudah berlangsung >48 jam.

III. Pencegahana. Preventif dan kontrol penularanTindakan preventif sebagai pencegahan penularan dan ledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai darisegi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu. (host) serta faktor lingkungan.Dengan cara sanitasi air dan kebersihan lingkungan, air yang diminum harus di sesuai dengan standar prosedur (iodisasi, kloronisasi dan direbus >570 C), serta makan makanan yang sudah dimasak hingga matang.b. VaksinasiVaksin diberikan tidak pada semua orang, indikasi vaksin bila:

Hendak memgunjungi daerah endemik Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan

Jenis vaksinVaksin oral: Ty21a (vivotif Berna). Diberikan 1 hari setelah pemberian obat

anti malaria dan tidak diberikan bersama dengan sulfonamid atau antimikroba lainnya. Menimbulkan efek samping sakit kepala.

Vaksin parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux). Lebih efektif dibandingkan dengan Ty21a karena meningkatkan antibodi 4 kali lipat dan cepat. Namun menimbulkan efek samping yang lebih banyak dibandingkan Ty21a, yaitu demam, malaise, sakit kepala, ras dan reaksi nyeri lokal.

IV. PenutupDilihati dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik laki-laki tersebut diduga menderita Peritonitis sekunder yang disebabkan perforasi yang memrupak komplikasi demam tifoid. Namun untuk menagakan diagnosa lebih lanjut pasien

Page 16: Peritonitis Sekunder Akibat Perforasi

16

harus diminta melakukan pemeriksaan fisik. Karena demam yang dialami pasien sudah 10 hari disarankan melakukan uji widal untuk pemeriksaan typhoid. Dan untuk periotnitis perlu dilakukan pemeriksaan CT abdomen dan aspirasi cairan peritonitis untuk menyingkirkan penyebab peritonits lainnya. Sehingga pasien apat segera diberikan terapi yang tepat.

V. Daftar pustaka1. William Silen. Nyeri abdomen. Harrison gastroenterology dan hepatology.

Jakarta: EGC; 2010.hal.2.2. William L. Hasler, Chung Owyang. Pendekatan kepada pasien dengan penyakit

gastrointestinal. Harrison gastroenterologi dan heptologi. Jakarta: EGC; 2010.hal.79-83.

3. R. Sjamsuhidajat, Murnizal Dahlan, Djang Jusi. Gawat abdomen. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2010.hal.242-3.

4. Miriam J. Baron, Dennis L. Kasper. Infeksi dan abses intra-abdomen. Harrison gastroenterologi dan hepatologi. Jakarta: EGC; 2010.hal.222-5.

5. Djoko Widodo. Demam tifoid. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.2797-805.

6. Alan R. Tumbeaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tlifoid. Dalam Pediatrics. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia;2003.h. 37-46