42
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) A. Definisi Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala petaka (UU No.4, 1984). Menteri menetapkan jenis-jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Menteri menetapkan dan mencabut penetapan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit wabah sebagai daerah wabah. Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. B. Kriteria Kejadian Luar Biasa Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa berdasarkan pada Keputusan Dirjen No. 451/91 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan tersebut, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur: 1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal,

makalah kasus 2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: makalah kasus 2

KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)

A. Definisi

Wabah penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit

menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata

melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat

menimbulkan mala petaka (UU No.4, 1984). Menteri menetapkan jenis-jenis

penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Menteri menetapkan dan

mencabut penetapan daerah tertentu dalam wilayah Indonesia yang terjangkit

wabah sebagai daerah wabah.

Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya

kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan

daerah tertentu. Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri

Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004.

B. Kriteria Kejadian Luar Biasa

Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa berdasarkan pada Keputusan Dirjen

No. 451/91 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar

Biasa. Menurut aturan tersebut, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada

unsur:

1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak

dikenal,

2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun

waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu),

3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2x lipat atau lebih dibandingkan

dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun),

4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2x lipat

atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun

sebelumnya,

5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan 2x

lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata per bulan dari tahun

sebelumnya.

Page 2: makalah kasus 2

6. Case Fatality rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu

menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibanding dengan CFR dari

periode sebelumnya.

7. Proportional Rate (PR) penderita dari suatu periode tertentu menunjukkan

kenaikan dua atau lebih diabnding periode, kurun waktu atau tahun

sebelumnya.

8. Beberapa penyakit seperti keracunan, menetapkan satu kasus atau lebih

sebagai kasus KLB; keracunan makanan atau keracunan pestisida.

Kriteria-kriteria diatas dalam penggunaan sehari-hari harus didasarkan

pada akal sehat (common sense). Sebab belum tentu suatu kenaikan dua kali atau

lebih merupakan KLB. Sebaliknya suatu kenaikan yang kecil dapat saja

merupakan KLB yang perlu ditangani seperti penyakit: poliomyelitis dan tetanus

neonatorum, kasus tersebut dianggap KLB dan perlu penanganan khusus.

C. Level Kewaspadaan

Level 1 : Tidak ada virus yang beredar di antara binatang menyebabkan

infeksi pada manusia

Level 2 : Virus influenza berasal dari hewan menyebabkan infeksi pada

manusia, dan dianggap ancaman potensi pandemi.

Level 3 : Influenza menyebabkan kasus sporadis atau kelompok kecil

penyakit pada manusia, namun tidak ada penularan dari manusia ke

manusia yang signifikan.

Level 4 : Penularan dari manusia ke manusia yang dapat menyebabkan

wabah penyakit berkelanjutan “di tingkat masyarakat”. Sehingga

meNandai pergeseran yang signifikan atau risiko kenaikan

pandemi.

Level 5 : Ditandai oleh penularan virus dari manusia ke manusia setidaknya

dalam dua negara di satu wilayah WHO. Level 5 merupakan sinyal

kuat bahwa pandemi sudah dekat dan waktunya untuk

menyelesaikan organisasi, komunikasi, dan pelaksanaan tindakan

yang telah direncanakan secara singkat.

Page 3: makalah kasus 2

Level 6 : Fase pandemi, ditandai dengan menyebarnya wabah di tingkat

komunitas setidaknya satu negara lain di wilayah WHO yang

berbeda. Level ini akan menunjukkan bahwa pandemi global

berlangsung.

D. Penggolongan Epidemi atau KLB

Epidemi digolongkan secara berbeda-beda bergantung pada cara

penyebarannya di masyarakat atau populasi. Ada 3 klasifikasi yang paling

umum, yaitu :

1. Common source epidemic,

Terjadi jika sekelompok orang terpajan pada infeksi atau sumber

kuman (agens patogen) yang biasa/umum, misalnya anak sekolah

terpajan anak lain yang sedang sakit campak. Common source

epidemic biasanya dibagi menjadi tiga subkategori, yaitu :

a. Point source epidemic

Jika agens atau patogennya berasal dari sumber tunggal seperti

makanan. Contoh, sekelompok orang yang menghadiri piknik

gereja mengambil salad kentang dari satu mengkuk besar yang

sama. Mayoritas dari mereka yang memakan salad kentang jatuh

sakit karena salad terkontaminasi bakteri stafilokokus. Pada

golongan ini, orang terpajan di suatu tempat pada satu waktu,

menjadi sakit selama masa inkunasi agens (patogen) yang

didapat dari satu sumber.

Page 4: makalah kasus 2

b. Intermittent epidemic

Orang yang rentan terkadang terpajan penyakit dan terkadang

tidak selama satu periode waktu – hari, minggu, atau lebih lama.

Contoh, tuberkulosis sering kali menular dengan cara seperti ini,

melalui penularan bawaan udara yang berasal dari batuk

penderita lain. Karena tuberkulosis disebarkan dengan cara

kontak langsung dari orang ke orang dan karena rang berpindah

dan berinteraksi dengan orang lain, penyebaran penyakit ini

tidak teratur dan sulit ditebak, dan polanya juga tidak teratur –

mengakibatkan epedemi yang berulang.

c. Continous epidemic

Jika tingkat penyebaran epidemi cukup tinggi di masyarakat

atau populasi, dan mnyerang sejumlah besar orang di dalam

populasi tanpa pengecualian, hal ini termasuk dlam epidemi

yang berkelanjutan. Jika pajanan bertambah dan meluas, dan

orang yang menjadi sakit tetap seperti biasa, atau bahkan

mengikat selama beberapa waktu, KLB ini disebut epidemi yang

berkelanjutan.

2. Propagated epidemic

Jika common source epidemic tunggal sulit diidentifikasi, tetapi

epidemi atau KLB penyakit tetap menyebar dari orang ke orang,

memperbanyak jumlah yang sakit dan biasanya membentuk pola

pertumbuhan eksponensial/sangat mencolok. Pada epidemi tipe ini,

kasus terjadi terus-menerus, melampaui satu satu masa inkubasi.

Kurva epidemi tipe ini biasanya memiliki serangkaian puncak yang

berurutan, yang mencerminkan peningkatan jumlah kasus di setiap

generasi jika epidemi tidak dapat dikendalikan atau dihentikan.

Epidemi dapat mereda setelah beberapa generasi.

3. Mixed epidemic

Page 5: makalah kasus 2

Terjadi jika common source epidemic berlanjut melalui kontak

orang ke orang dan penyakit menyebar seperti KLB propagated.

Pada beberapa kasus sangat sulit untuk menentukan epedemi mana

yang muncul pertama kali.

E. Tahapan penyelidikan Kejadian Luar Biasa

1. Persiapan penelitian lapangan

2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB

3. Memastikan diagnosis etiologis

4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan

5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu dan tempat

6. Membuat hipotesa awal

a. pengendalian seharusnya dilaksanakan secepat mungkin

b. upaya penanggulangan  biasanya hanya dapat diterapkan setelah

sumber wabah diketahui

c. Pada umumnya, upaya pengendalian diarahkan pada mata rantai

yang terlemah dalam penularan penyakit.

7. Upaya pengendalian mungkin diarahkan pada agen penyakit,

sumbernya, atau Membuat cara penangulangan sementara dengan

segera

8. Mengidentifikasi sumber dan cara penularan

9. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB

10. Merencanakan penelitian lain / tambahan dengan sistematis

11. Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan reservoirnya.

12. Menetapkan sistem penemuan kasus baru atau dengan komplikasi

13. Mengembangkan hipotesis

A. Mempertimbangkan apa yang diketahui tentang penyakit itu:

a. Apa reservoir utama agen penyakitnya?

b. Bagaimana cara penularannya?

c. Bahan apa yang biasanya menjadi alat penularan?

d. Apa saja faktor yang meningkatkan risiko tertular?

B. Wawancara dengan beberapa penderita

Page 6: makalah kasus 2

C. mengumpulkan beberapa penderita untuk mencari kesamaan

pemaparan.

D. Kunjungan rumah penderita

E. Wawancara dengan petugas kesehatan  setempat

F. Epidemiologi diskriptif

14. Melaporkan hasil penyelidikan kepada instansi kesehatan stempat dan

kepada system pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

F. Persiapan Penelitian Lapangan

Dikerjakan secepat mungkin, dalam 24 jam pertama sesudah adanya

informasi.

Persiapan penelitian lapangan meliputi :

1. Investigasi : pengetahuan ilmiah yang sesuai, perlengkapan dan alat

2. Administrasi : prosedur administrasi, misalnya dokumen perjalanan,

uang tunai, dan keperluan pribadi lainnya.

3. Konsultasi : peran masing-masing petugas yang turun kelapangan,

tentukan langkah-langkah yang harus dilakukan.

4. Pemantapan (Konfirmasi) Informasi

Meliputi :

a. Asal informasi adanya KLB. Dapat berasal dari :

- laporan Wabah (W1).

- Analisis sistim kewaspadaan dini didaerah tersebut (laporan W2).

- Hasil laboratorium, laporan Rumah Sakit (RL2a, RL2b) atau

masyarakat.

b. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi:

- Gejala klinis..

- Pemeriksaan yang telah dilakukan untuk menegakkan diagnosis

dan hasil pemeriksaannya.

- komplikasi yang terjadi (misalnya kematian, kecacatan,

kelumpuhan dan lainnya).

Page 7: makalah kasus 2

c. Keadaan geografi dan tranportasi yang dapat digunakan didaerah

KLB.

5. Memastikan Diagnosis

a. Memastikan bahwa masalah telah benar diadiagnosis dengan bebar,

dan sesuai dengan yang dilaporkan.

b. Menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium yang

menyebabkan peningkatan kasus yang dilaporkan.

6. Tentukan dan Identifikasi Kasus (membuat definisi kasus dan

menemukan dan menghitung kasus)

a. Informasi klinis tentang penyakit

b. Karakteristik tentang orang yang rentan

c. Informasi mengenai lokasi atau tempat

d. Spesifikasi waktu selama wabah yang terjadi

Penyelidikan kasus didefinisikan dalam tiga kelas sebagai berikut:

a. Kasus pasti (confirmed), harus di sertakan dengan pemeriksaan

laboratorium dengan hasil +

b. Kasus mungkin (Probable), harus memenuhi semua cirri klinis

penyakit tanpa pemeriksaan laboratorium

c. Kasus meragukan (Possible), biasanya hanya memenuhi sebagian

gejala klinis saja.

7. Pembuatan Rencana Kerja (rencana penyidikan /proposal), yang

minimal berisi :

a. Tujuan Penyidikan KLB

- Memastikan diagnosis penyakit.

- Menetapkan KLB.

- Menentukan sumber dan cara penularan.

- Mengetahui keadaan penyebab KLB.

b. Definisi kasus awal,

Arahan pada pencarian kasus

c. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan

sumber penularan,

d. Macam dan sumber data yang diperlukan,

Page 8: makalah kasus 2

e. Strategi penemuan kasus,

f. Sarana dan tenaga yang diperlukan

8. Pertemuan Dengan Pejabat Setempat

a. Membicarakan rencana dan pelaksanaan penyidikan KLB.

b. Kelengkapan sarana dan tenaga di daerah.

c. Memperoleh ijin dan pengamanan.

.

G. Langkah-langkah Penanggulangan KLB

Langkah 1 (Persiapan Investigasi dilapangan)

1. Investigasi : Pengetahuan ilmiahyang sesuai, perlengkapan dan alat

2. Administrasi : Prosedur administrasi misalnya dokumen

perjalanan, uang tunai

3. Konsultasi : Peran masing- masing petugas yang turun ke lapangan,

tentukan langkah- langkah yang harus dilakukan

Langkah 2 (Menentukan dan memastikan adanya wabah)

1. Menentukan apakah kasus yang ada sudah melampaui julmlah yang

diharapkan

2. Pembuktian adanya wabah

Langkah 3 (Memastikan diagnosis)

1. Memastikan bahwa masalah telah benar didiagnosis dengan benar dan

sesuai dengan yang dilaporkan

2. Menyingkirkan kemungkinan kesalahan laboratorium yang

menyebabkan peningkatan kasus yang dilaporkan.

Langkah 4 (Tentukan dan identifikasi kasus)

1. Informasi klinis tentang penyakit.

2. Karakteristik tentang orang yang rentan.

3. Informasi mengenai lokasi dan tempat.

4. Spesifikasi waktu selama wabah terjadi.

Penyelidikan kasus didefinisikan dalam 3 kelas , yaitu:

Page 9: makalah kasus 2

1. Kasus pasti

2. Kasus mungkin

3. Kasus meragukan

Langkah 5 (Melakukan epidemiologi deskriptif)

1. Gambaran perjalanan wabah berdasarkan waku.

2. Gambaran kejadian wabah berdasarkan orang.

3. Gambaran kejadian wabah berdasarkan tempat.

Langkah 6 (Hipotesa)

1. Mempertimbangkan apa yang diketahui tentang penyakit itu

a. Bagaimana cara penularannya?

b. Apa saja faktor yang meningkatkan resiko tertular?

2. Wawancara dengan beberapa penderita

3. Mengumpulkan beberapa penderita untuk mecari kesamaan pemaparan

4. Kunjungi rumah penderita

5. Wwancara dengan petugas kesehatan setempat

Langkah 7 (Kembangkan hipotesa)

Dugaan sementara

Langkah 8 (Menilai Hipotesa)

Dengan membandingkan hipotesa dengan fakta yang ada

Langkah 9 (Memperbaiki hipotesa dengan mengadakan penelitian

tambahan)

a. Penelitian epidemiologi (epidemiologi analitik)

b. Penelitian laboratorium dan lingkungan (pemeriksaan serum,

pemeriksaan tempat pembuangan tinja)

Langkah 10 (Data tambahan)

Didapat dari hasil laboratorium

Langkah 11 (Penelitian tambahan)

Langkah 12 (Melaksanakan pengendalian dan pencegahan)

a. Pengendalian seharusnya dilaksanakan secepat mungkin

b. Upaya penanggulangan biasanya hanya diterapkan setelah sumber

wabah diketahui

Page 10: makalah kasus 2

c. Pada umumnya, upaya penangendalian diarahkan pada mata rantai

yang terlemah dalam penularan penyakit

d. Upaya pengendalian mungkin diarahkan pada agen penyakit,

sumbernya, atau reservoirnya.

Langkah 13 (Menyampaikan hasil penyelidikan)

Langkah 14 (Menindaklanjuti rekomendasi)

Langkah 15 (Sebarluaskan)

H. TATALAKSANA PADA DEWASA DAN ANAK

a. Kasus ringan. Sebagian besar kasus akan sembuh dalam waktu satu

minggu. Penanganan pada kasus ringan tidak pemerlukan perawatan RS,

tidak memerlukan pemberian antivirus kecuali kasus dengan klaster serta

diberikan pengobatan simptomatik dan Komunikasi Informasi Edukasi

(KIE) pada pasien dan keluarga. Pasien diamati selama 7 hari. Pengobatan

simptomatik diberikan sesuai gejala. Salisilat tidak boleh diberikan pada

anak di bawah 18 tahun dapat menyebabkan Reye Syndrome.

b. Kasus sedang. Perawatan di ruang isolasi dan diberikan antivirus.

Dilakukan pemeriksaan RT-PCR hanya satu kali pada awal. Jika keadaan

umum dan klinis baik dapat dipulangkan dengan KIE. Jika terjadi

perburukan rawat ICU penatalaksanaan sesuai kasus berat (pengawasan

ketat tanda kegawatdaruratan misal pemeriksaan laktat dehidrogenase > 4,

analisis gas darah menunjukkan PaCO2 <30 mmHg, C-reactive protein

atau procalcitonine).

c. Kasus berat. Perawatan di ruang isolasi ICU/PICU/NICU dan diberikan

antivirus serta diperiksa RT-PCR satu kali pada awal. Pada influenza A

baru H1N1 yang berat dengan pneumonia gambarannya sama dengan

pneumonia pada flu burung.

d. Kasus berat pada anak Apabila terdapat pneumonia dan/atau ditemukan

gejala berbahaya / berat seperti tidak bisa minum, muntah terus menerus,

kebiruan di sekeliling bibir, kejang, tidak sadar , anak dibawah 2 tahun

dengan demam atau hipotermia, pneumonia luas (bilateral, multilobar),

Page 11: makalah kasus 2

gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, ARDS (sindroma sesak

nafas akut), gagal multi organ.

e. Kriteria rawat ICU Yaitu gagal napas (kriteria gagal napas: analisis gas

darah PaCo2 < 30 mmHg, frekuensi pernapasan > 30 x/m, pada anak

sesuai usia, rasio PaO2/FiO2 < 200 ARDS, < 300 ALI), syok (kriteria

syok: tekanan darah diastolic < 80 mmHg, pada anak takikardia, laktat

dehirogenase > 4, bila tersedia fasilitas).

Antiviral

Direkomendasikan pemberian Oseltamivir atau Zanamivir. Zanamivir

dapat diberikan pada kasus yang diduga resisten Oseltamivir atau tidak

dapat menggunakan Oseltamivir.

Pemberian antiviral tersebut diutamakan pada pasien rawat inap dan

kelompok risiko tinggi komplikasi.

Pengobatan dengan Zanamivir atau Oseltamivir harus dimulai sesegera

mungkin dalam waktu 48 jam setelah awitan penyakit.

Dosis pemberian Oseltamivir untuk dewasa adalah 2 x 75 mg selama 5

(lima) hari, dapat diperpanjang sampai 10 hari tergantung respons klinis.

Dosis pemberian Zanamivir untuk usia = 7 tahun dan dewasa adalah 2 x 10

mg inhalasi.

Dosis Oseltamivir pada anak, 2 mg/kg BB dibagi dalam 2 (dua) dosis atau

berdasarkan kisaran berat badan.

Berat Badan Dosis Oseltamivir

<15 Kg 30 mg (2x/hari)

15-23 Kg 45 mg (2x/hari)

24-40 Kg 60 mg (2x/hari)

>40 Kg 75 mg (2x/hari)

Page 12: makalah kasus 2

Rekomendasi Dosis Oseltamivir untuk anak <1 tahun

Usia Dosis Oseltamivir

<3 bulan 12 mg (2x/hari)

3-5 bulan 20 mg (2x/hari)

6-11 bulan 25 mg (2x/hari)

Perempuan hamil direkomendasikan untuk diberi Oseltamivir dan

Zanamivir.

Antiviral tidak direkomendasikan untuk profilaksis pada influenza A

(H1N1).

Antibiotik

Bila terjadi pneumonia maka antibiotik direkomendasikan untuk diberikan

berdasarkan evidence based dan pedoman pneumonia didapat masyarakat.

Antibiotik diberikan sesuai pedoman lokal.

Tidak direkomendasikan pemberian antibiotik profilaksis.

Rekomendasi antibiotik pada dewasa yang dianjurkan adalah golongan

beta-laktam atau sefalosporin generasi III, aminoglikosida atau

fluorokuinolon respirasi (levofloksasin atau moksifloksasin) kecuali untuk

anak.

Pada anak dengan pneumonia ringan dapat diberikan Ampicillin (100

mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis) dan bila klinis berat Ampicillin dapat

dikombinasikan dengan golongan Aminoglikosida yaitu Gentamisin

(7.5mg/kgBB/hr) atau Amikasin (15-25 mg/kgBB/ hr).

Kortikosteroid

Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada pasien

influenza A baru H1N1.

Page 13: makalah kasus 2

Dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga

mengalami adrenal insufisiensi. dapat diberikan dosis rendah hidrokortison

300 mg /hari dosis terbagi.

TATALAKSANA ICU PADA DEWASA

Kriteria perawatan di ruang rawat intensif (ICU) adalah semua pasien yang

memenuhi kriteria sepsis berat, syok septic, acute lung injury (ALI) dan

acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Gangguan fungsi napas yang memerlukan perawatan intensif atau kriteria

intubasi dan penggunaan ventilator sesuai dengan kriteria Pontoppida yang

dimodifikasi.

Bila memasuki untuk tindakan observasi ketat, fisioterapi dada dan terapi

oksigen sebaiknya pasien dirujuk ke ICU atau paling tidak di high care

unit.

Bila terjadi kecenderungan perburukan dalam waktu kurang dari 6 jam,

yang menunjukkan kebutuhan oksigen yang semakin meningkat untuk

mendapatkan SaO2 > 95%, maka pasien dirujuk ke ICU.

Pengelolaan umum di ICU

Pengobatan ARDS akibat infeksi virus influenza A (H1N1) baru harus

berdasarkan pada evidence based guideline seperti yang terdapat pada

rekomendasi Surviving Sepsis Campaingn 2008 yang sudah dipublikasikan:

- Resusitasi awal (dalam 6 jam pertama) pada pasien hipotensi atau

peningkatan serum laktat > 4 mmol/L dengan target atau tujuan resusitasi

yang telah ditentukan.

- Membuat diagnosis dengan melakukan pemeriksaan kultur sebelum

memulai pemberian antibiotika (tidak menunda pemberian antibiotika

secara bermakna). Melakukan pemeriksaan pencitraan (imaging) segera

untuk memastikan dan mencari sumber infeksi.

- Terapi antibiotik diberikan sesegera mungkin dan diberian dalam jam

pertama setelah diagnosis sepsis berat atau syok sepsis ditegakkan.

Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik spektrum luas. Mengevaluasi

Page 14: makalah kasus 2

ulang antibiotik setiap hari untuk menilai efikasi, mencegah resistensi dan

lainnya.

- Identifikasi sumber infeksi sesegera mungkin dalam 6 jam pertama dan

melakukan tindakan untuk mengatasinya. Memilih tindakan source control

yang menghasilkan efikasi maksimal dan gangguan fisiologi minimal.

- Terapi cairan. Resusitasi cairan dengan menggunakan kristaloid atau

koloid. Targer CVP = 8 mmHg (dengan ventilasi mekanik = 12 mmHg).

Menggunakan fluid challenge tehnique and memonitor bila terjadi

perbaikan. Laju pemberian cairan harus diturunkan jika terdapat

peningkatan tekanan pengisian jantung tanpa perubahan hemodinamik

secara bersamaan.

- Pemberian vasopresor untuk mempertahankan MAP = 65 mmHg. Pilihan

pemberian awal norepineprin dan dopamin adalah melalui vena sentral.

Tidak menggunakan dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal.

Menggunakan kateter arterial pada pasien yang menggunakan vasopresor.

- Terapi inotropik. Menggunakan dobutamin pada pasien dengan gangguan

miokard yang ditandai dengan peningkatan tekana pengisian jantung dan

curah jantung yang rendah. Jangan meningkatakan cardiac index untuk

mendapatkan level supranormal.

- Penggunaan steroid tidak direkomendasikan rutin pada infeksi H1N1 tapi

dosis rendah kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada syok septik yang

memerlukan vasopresor dan diduga mengalami adrenal insufisiensi.

Hidrokortison lebih dipilih daripada deksametason. Dosis hidrokortiosn

sebaiknya < 300 mg/hari. Jangan menggunakan kortikosteroid untuk

menangani sepsis apabila tidak ada syok kecuali endokrin dan riwayat

pemberian kortikosteroid memang terbukti diperlukan.

- Penggunaan rhAPC (Recombinant Human Activated Protein C). Saat ini

belum tersedia di Indonesia. Pertimbangkan rhAPC pada pasien dengan

gangguan fungsi organ yang diinduksi oleh sepsis dengan penilaian klinis

mempunyai risiko kematian tinggi (APACHE II = 25 atau kegagalan organ

multiple) jika tidak terdapa kontraindikasi. Pasien dewasa dengan sepsis

berat dan risiko kematian yang rendah (APACHE II < 20 atau kegagalan

Page 15: makalah kasus 2

organ tunggal) sebaiknya jangan diberikan rhAPC.

- Pemberian komponen darah apabila penurunan Hb sampai > 7.0 g/dL (<70

g/L) hingga mencapai 7.0-9.0 g/dL pada dewasa. Nilai Hb yang lebih tinggi

dibutuhkan pada keadaan tertentu (iskemia miokardial, hipoksemia berat,

perdarahan akut, penyakit jantung sianoss, asidosis laktat. Jangan

menggunakan terapi antitrombin.

- Ventilasi mekanik pada sepsis yang dipicu ALI/ARDS. Menggunakan

mode ventilator apa saja. Set ventilator setting untuk mencapai inisial Vt =

8 ml/kg prediksi BB. Set inisial laju napas mendekati volume baseline

(tidak lebih dari 35x/menit). Target volume tidal 6 ml/kg prediksi berat

badan pasien dengan ALI/ARDS. Target pH 7.30 – 7.45. Manajemen

asidosis (pH < 7.30). PaCO2 dapat ditingkatkan diatas normal. Jika

dibutuhkan untuk meminimalisir tekanan plateau dan volume tidal.Target

oksigenisasi PaO2 55-80 atau SpO2 88-95%. Pengaturan PEEP untuk

mencegah kolpas paru ekstensif pada ekspirasi akhir. Pasien dengan

ventilasi mekanik pertahankan posisi semirecumbent (bagian atas tempat

tidur dinaikkna sampai 45° ). Menggunakan protokol weaning dan SBT

secara teratur untuk mengevaluasi potensi penghentian ventilasi mekanik.

Jangan menggunakan kateter arteri plmonalis untuk monitor rutin pasien

ALI/ARDS. Mengunakan strategi cairan konservatif pada pasien ALI yang

tidak terbukti mengalami hipoperfusi jaringan.

- Sedasi, analgesia dan blok neuromuskular pada sepsis. Menggunakan

protokol sedasi dengan target sedasi untuk pasien ventilasi mekanik dalam

keadaan kritis. Dapat menggunakan sedasi bolus intermitten atau sedasi

infuse kontinu untuk mencapai titik akhir (skala sedasi) dengan

lightening/interupsi harian untuk mengembalikan kesadaran. Titrasi jika

dibutuhkan. Mencegah blok neuromuskuler jika memungkinkan. Monitor

kedalaman blok dengan train of four ketika menggunakan infuse kontinu.

- Mengontrol glukosa dengan menggunakan insulin IV untuk mengontrol

hiperglikemia pada pasien dengan sepsis berat setelah stabilisasi di ICU.

target gula darah < 150 mg/dL (8.3 mmol/L) menggunakan protokol

tervalidasi untuk pengaturan dosis insulin. Memberikan sumber kalori

Page 16: makalah kasus 2

glukosa dan monitor nilai gula darah setiap 1-2 jam (setiap 4 jam saat

stabil) pada pasien yang mendapatkan insulin IV. Intrepretasi glukosa darah

yang rendah secara hati-hati pada hasil pemeriksaan point of care testing,

karena tehnik ini mungkin memberikan nilai yang lebih tinggi

(overestimate) dari nilai glukosa pada darah arteri atau plasma.

- Penggantian ginjal. Hemodialisis intermiten dan CVVH dianggap sama.

CVVH menawarkan manajemen yang lebih mudah pada pasien dengan

hemodinamik tidak stabil.

- Terapi bikarbonat. Jangan menggunakan terapi bikarbonat untuk tujuan

memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor

sewaktu menangani asidosis laktat yang dipicu oleh hipoperfusi dengan pH

= 7.15.

- Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT). Menggunakan unfractionated

heparin (UFH) dosis rendah atau low molecular weight heparin (LMWH),

kecuali ada kontraindikasi. Menggunakan peralatan profilaksis mekanik,

seperti compression stockings atau intermittent compression device, bila

heparin merupakan kontraindikasi.

- Profilaksis Stress Ulcer. Melakukan pencegahan stress ulcer dengan

menggunakan H2 bloker atau Proton pump inhibitor. Keuntungan

pencegahan perdarahan saluran cerna atas harus mempertimbangkan

potensi munculnya ventilator acquired pneumonia.

- Mempertimbangkan keterbatasan dukungan. Mendiskusikan rencana

perawatan lebih lanjut dengan pasien dan keluarga. Berikan

gambarangambaran seperti perkiraan hasil perawatan dan harapan yang

realistik.

Kriteria keluar ICU

Setiap pasien yang dirawat di ICU dapat dikeluarkan setelah memenuhi

kriteria yaitu penyakit atau keadaan pasien dan cukup stabil sehingga tidak

memerlukan terapi atau pemantauan intensif lebih lanjut, terapi atau pemantauan

intensif tidak diharapkan bermanfaat atau tidak memberikan hasil (pasien

dengan mati batang otak, penyakit dengan stadium akhir). Dalam hal tersebut

pengeluaran pasien dari ICU dilakukan setelah memberitahu dan disetujui oleh

Page 17: makalah kasus 2

keluarga terdekat pasien, pasien atau keluarga menolak untuk dirawat lebih lanjut

di ICU (keluar paksa).

TATALAKSANA ICU PADA ANAK

1. Indikasi untuk masuk ICU anak yaitu peningkatan Work of Breathing

(WOB), kebutuhan terapi oksigen dengan FiO2 > 0.5, PaO2 menurun,

PCO meningkat, PaO2/FiO22 < 300, gangguan sirkulasi yang mengancam

nyawa, kesadaran menurun atau kelainan neurologik lain, gangguan

metabolik berat dan gagal multiorgan.

2. Perawatan Jalan Nafas dan Respirasi

- Terapi oksigen dengan dengan alat non invasif seperti nasal kanul,

masker atau nasal CPAP, pertahankan saturasi = 90%.

- Jika memakai ventilasi mekanik, dianjurkan dengan pengaturan awal

sebagai berikut:

1. Mode : Pressure Control Ventilation (PCV).

2. Volume tidal : 6-8 ml/kgBB.

3. Titrasi PEEP > 5 cm Hr.

4. Respiratory Rate (RR) sesuai usia.

5. Tekanan Inspirasi : mulai dari 10 cm H22O.

6. FiO : 1.0 (100%)

3. Lakukan pemeriksaan analisis gas darah 30 menit setelah pengaturan

awal.

4. Pertahankan saturasi 88-95%.

5. Mempertahankan Sirkulasi yang Adekuat

- Pemberian cairan resusitasi berupa kristaloid atau koloid 20 ml/kgBB

dalam 5-10 menit dengan pemantauan pada tingkat kesadaran,

frekuensi denyut jantung, kualitas nadi, waktu pengisian kapiler < 3

detik, produksi urin > 1 ml/kgBB/jam, saturasi vena sentral > 70% dan

kadar laktat < 2 mmol/L.

- Vasopresor dan inotropik hanya digunakan setelah resusitasi cairan

yang adekuat.

Page 18: makalah kasus 2

- Dopamin adalah pilihan pertama pada hipotensi yang refrakter terhadap

cairan.

- Pertahankan volume cairan tubuh normal dan pemantauan dengan

CVP.

- Pemberian kortikosteroid seperti hidrokortison atau metilprednisolon 1-

2 mg/kgBB hanya diberikan bila terindikasi adanya insufisiensi adrenal

relatif.

6. Antibiotik

- Antibiotik empirik sesuai pedoman pengobatan di masyarakat dan

pedoman lokal.

- Sefalosporin generasi III: sefotaksim, seftazidim (25-50 mg/kgBB/hr

dibagi 3)

- Aminoglikosida: gentamisin (7,5mg/kgBB/hr), amikasin (15-25

mg/kgBB/ hari)

7. Pemberian Nutrisi

- Basal Metabolik rate sesuai umur

o 1 tahun : 55 kkal/kgBB/hari

o 5 tahun : 45 kkal/kgBB/hari

o 10 tahun : 38 kkal/kgBB/hari

- Kebutuhan energi sesuai berat badan

o < 10 kg : 100 kkal/kgBB/hari

o 10-20 kg : 1000 kkal + 50 kkal/kgBB/hari untuk berat diatas 10

kg

o > 20 kg : 1500 kkal + 20 kkal/kgBB/hari untuk berat diatas 20

kg

- Kontrol glukosa : 4-6 mg/kgBB/menit.

Page 19: makalah kasus 2

Indikasi keluar ICU Anak

- Tidak membutuhkan tunjangan dan pemantauan ketat pernafasan dan

hemodinamik.

- Kondisi pasien stabil minimal 24 jam.

SURVEILANCE

A. Definisi

Surveilance adalah suatu kegiatan pengamatan terus menerus terhadap

kejadian kesakitan dan faktor lain yang memberikan kontribusi yang

menyebabkan seseorang menjadi sakit.

Surveilans merupakan kegiatan pengamatan terhadap penyakit atau

masalah kesehatan serta faktor determinannya. Penyakit dapat dilihat dari

perubahan sifat penyakit atau perubahan jumlah orang yang mendErita sakit.

Sakit dapat berarti kondisi tanpa gejala tetapi telah terpapar oleh kuman atau

agen lain. Sementara masalah kesehatan adalah masalah yang berhubungan

dengan program kesehatan lain, misalnya Kesehatan Ibu dan Anak, status gizi,

dsb. Faktor determinan adalah kondisi yang mempengaruhi resiko terjadinya

penyakit atau masalah kesehatan.

Surveilans demografi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan

terus menerus terhadap penyakit atau masalah kesehatan serta kondisi yang

mempengaruhi resiko terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan

tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan

efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan penyebaran

informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.

B. Tujuan

Tujuan Umum

1. Mencegah meluasnya kejadian luar biasa (penanggulangan)

2. Mencegah terulangnya kejadian luar biasa di masa yang akan datang

(pengendalian)

Page 20: makalah kasus 2

Tujuan Khusus

1. Untuk menentukan kelompok atau golongan populasi yang

mempunyai resiko terbesar untuk terserang penyakit, baik berdasarkan

umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan lain-lain.

2. Untuk menentukan jenis dari agent (penyebab) penyakit dan

karakteristiknya.

3. Untuk menentukan reservoir dari infeksi

4. Untuk memastikan keadaan-keadaan yang menyebabkan bisa

berlangsungnya transmisi penyakit.

5. Untuk mencatat kejadian penyakit secara keseluruhan

6. Memastikan sifat dasar dari wabah tersebut, sumber dan cara

penularannya, distribusinya, dll.

C. Manfaat

Pada awalnya surveilans epidemiologi banyak dimanfaatkan pada upaya

pemberantasan penyakit menular, tetapi pada saat ini surveilans mutlak diperlukan

pada setiap upaya kesehatan masyarakat, baik upaya pencegahan dan

pemberantasan penyakit menular, maupun terhadap upaya kesehatan lainnya.

Pada umumnya, surveilans epidemiologi menghasilkan informasi

epidemiologi yang akan dimanfaatkan dalam:

1. Merumuskan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan dan

evaluasi program pemberantasan penyakit serta program peningkatan

derajat kesehatan masyarakat, baik pada upaya pemberantasan penyakit

menular, penyakit tidak menular, kesehatan lingkungan, perilaku

kesehatan dan program kesehatan lainnya.

2. Melaksanakan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa penyakit dan

keracunan serta bencana.

3. Merencanakan studi epidemiologi, penelitian dan pengembangan program

surveilans epidemiologi di rumah sakit, misalnya surveilans epidemiologi

infeksi nosokomal, perencanaan di rumah sakit, dsb.

Page 21: makalah kasus 2

Manfaat Surveilans Epidemiologi :

1. Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi dan distribusinya

2. Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit

3. Identifikasi kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat

4. Identifikasi factor risiko dan penyebab lainnya

5. Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi

6. Dapat memonitoring kecenderungan penyakit endemis

7. Mempelajari riwayat alamiah penyakit dan epidemiologinya

8. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan

pelayanan kesehatan dimasa datang

9. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran

program pada tahap perencanaan

D. Tahap Persiapan Surveilans

1. Persiapan Internal

Hal-hal yang perlu disiapkan meliputi seluruh sumber daya termasuk

petugas kesehatan, pedoman/petunjuk teknis, sarana dan prasarana

pendukung dan biaya pelaksanaan.

a. Petugas Surveilans

Untuk kelancaran kegiatan surveilans sangat dibutuhkan tenaga

kesehatan yang mengerti dan memahami kegiatan surveilans.

Petugas sebaiknya disiapkan dari tingkat Kabupaten/Kota, tingkat

Puskesmas sampai di tingkat Desa/Kelurahan. Untuk menyamakan

persepsi dan tingkat pemahaman tentang surveilans sangat

diperlukan pelatihan surveilans bagi petugas.

Untuk keperluan respon cepat terhadap kemungkinan ancaman

adanya KLB, di setiap unit pelaksana (Puskesmas, Kabupaten dan

Propinsi) perlu dibentuk Tim Gerak Cepat (TGC) KLB. Tim ini

bertanggung jawab merespon secara cepat dan tepat terhadap

adanya ancaman KLB yang dilaporkan oleh masyarakat.

Page 22: makalah kasus 2

b. Pedoman/Petunjuk Teknis

Sebagai panduan kegiatan maka petugas kesehatan sangat perlu

dibekali buku-buku pedoman atau petunjuk teknis surveilans.

c. Sarana & Prasarana

Dukungan sarana & prasarana sangat diperlukan untuk kegiatan

surveilans seperti : kendaraan bermotor, alat pelindung diri (APD),

surveilans KIT, dll.

d. Biaya

Sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan surveilans. Biaya

diperlukan untuk bantuan transport petugas ke lapangan, pengadaan

alat tulis untuk keperluan pengolahan dan analisa data, serta jika

dianggap perlu untuk insentif bagi kader surveilans.

2. Persiapan Eksternal

Tujuan langkah ini adalah untuk mempersiapkan masyarakat, terutama

tokoh masyarakat, agar mereka tahu, mau dan mampu mendukung

pengembangan kegiatan surveilans berbasis masyarakat. Pendekatan

kepada para tokoh masyarakat diharapkan agar mereka memahami dan

mendukung dalam pembentukan opini publik untuk menciptakan iklim

yang kondusif bagi kegiatan surveilans . Dukungan yang diharapkan dapat

berupa moril, finansial dan material, seperti kesepakatan dan persetujuan

masyarakat untuk kegiatan surveilans.

Langkah ini termasuk kegiatan advokasi kepada para penentu kebijakan,

agar mereka mau memberikan dukungan. Jika di desa tersebut terdapat

kelompok-kelompok sosial seperti karang taruna, pramuka dan LSM dapat

diajak untuk menjadi kader bagi kegiatan surveilans di desa tersebut.

3. Survei Mawas Diri atau Telaah Mawas Diri

Survei mawas diri (SMD) bertujuan agar masyarakat dengan bimbingan

petugas mampu mengidentifikasi penyakit dan masalah kesehatan yang

menjadi problem di desanya. SMD ini harus dilakukan oleh masyarakat

Page 23: makalah kasus 2

setempat dengan bimbingan petugas kesehatan. Melalui SMD ini

diharapkan masyarakat sadar akan adanya masalah kesehatan dan ancaman

penyakit yang dihadapi di desanya, dan dapat membangkitkan niat dan

tekad untuk mencari solusinya berdasarkan kesepakatan dan potensi yang

dimiliki. Informasi tentang situasi penyakit/ancaman penyakit dan

permasalah kesehatan yang diperoleh dari hasil SMD merupakan

informasi untuk memilih jenis surveilans penyakit dan faktor risiko yang

diselenggarakan di desa tersebut.

4. Pembentukan Kelompok Kerja Surveilans Tingkat Desa

Kelompok kerja surveilans desa bertugas melaksanakan pengamatan dan

pemantauan setiap saat secara terus menerus terhadap situasi penyakit di

masyarakat dan kemungkinan adanya ancaman KLB penyakit, untuk

kemudian melaporkannya kepada petugas kesehatan di Poskesdes.

Anggota Tim Surveilans Desa dapat berasal dari kader Posyandu, Juru

pemantau jentik (Jumantik) desa, Karang Taruna, Pramuka, Kelompok

pengajian, Kelompok peminat kesenian, dan lain-lain. Kelompok ini dapat

dibentuk melalui Musyawarah Masyarakat Desa.

5. Membuat Perencanaan Kegiatan Surveilans

Setelah kelompok kerja Surveilans terbentuk, maka tahap selanjutnya

adalah membuat perencanaan kegiatan, meliputi :

a. Rencana Pelatihan Kelompok Kerja Surveilans oleh petugas kesehatan.

b. Penentuan jenis surveilans penyakit dan faktor risiko yang dipantau.

c. Lokasi pengamatan dan pemantauan.

d. Frekuensi Pemantauan.

e. Pembagian tugas/penetapan penanggung jawab lokasi pemamtauan.

f. Waktu pemantauan.

g. Rencana Sosialisasi kepada warga masyarakat.

E. Tahapan Pelaksanaan Surveilans

1. Pengumpulan Data

Page 24: makalah kasus 2

Dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang –

orang yang dicurigai ( Population at Risk ) melalui kunjungan rumah ( active

surveillance ) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan rutin dari sarana

pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas atau laporan dari

petugas surveilans di lapangan dan laporan dari masyarakat serta petugas

kesehatan lain ( pasive surveillance ).

Unsur yang diamati untuk pengumpulan data adalah (10 Elemen

Langmuir), yaitu :

1. Data Mortalitas

2. Data Morbiditas

3. Data Pemeriksaan Laboratorium

4. Laporan Penyakit

5. Penyelidikan Peristiwa Pwnyakit

6. Laporan Wabah

7. Laporan Penyelidikan wabah

8. Survey Penyakit, Vektor dan Reservoir

9. Penggunaan Obat, Vaksin dan Serum

10. Demografi dan Lingkungan

2. Pengolahan Data

Biasanya dilakukan secara manual atau dengan komputerisasi sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki.

3. Analisa Data dan Penyajian Data

Analisis dan penyajian data dilakukan oleh rumah sakit, tim investigasi di

Kabupaten, Propinsi maupun Nasional. Analisis dilakukan terhadap semua

laporan kasus atau informasi yang diterima dari rumah sakit, puskesmas,

masyarakat maupun media massa.

Penyajian data dalam bentuk Table (“dummy table”) seperti format

terlampir, Peta/spot map Kasus. Data dianalisis secara deskriptif menurut

variabel epidemiologi (waktu, tempat dan orang).

Analisa data dilakukan dengan 2 cara, yaitu :

Page 25: makalah kasus 2

a. Analisa Deskriptif

Analisis Deskriptif dilakukan berdasarkan variabel orang, tempat dan

waktu sehingga diperoleh gambaran yang sistematis tentang penyakit yang

sedang diamatai. Visualisasi dalam bentuk Grafik, Tabel, Diagram yang

disertai Uraian/Penjelasan.

b. Analisa Analitik

Dilakukan dengan cara Uji Komparasi, Korelasi dan Regresi. Uji

Komparasi untuk membandingkan kejadian penyakit pada kondisi yang

berbeda. Uji Korelasi untuk membuktikan keterkaitan antara satu variabel

dengan variabel lainnya. Uji Regresi untuk membuktikan pengaruh suatu

variabel (kondisi) terhadap kejadian penyakit.

Kunci keberhasilan : Data lengkap, Cepat, Tahu cara memanfaatkannya.

Tahap – tahapnya meliputi :

Coding : membuat kode – kode dari data yang ada

Editing : melengkapi dan memperjelas tulisan

Entry : memasukkan dalam program pengolahan data

Pengolahan secara Diskriptif, Analitik.

Analisis yang dilakukan minimal dapat menjawab hal-hal sebagai berikut :

Besarnya masalah.

Risiko kemungkinan penularan terhadap tenaga kesehatan, anggota

keluarga lain maupun masyarakat (sekolah, tempat bekerja, dan kelompok

masyarakat lainnya).

4. Penyebaran Informasi

Sasaran : Instansi terkait baik secara vertikal maupun horisontal.

Tujuan : Untuk memperoleh kesepahaman dan feedback dalam perumusan

kebijakan.

Manfaat : Mendapatkan respon dari instansi terkait sebagai feed back,

tindak lanjut dan kesepahaman.

Page 26: makalah kasus 2

Metode : Tertulis dan deseminasi laporan, verbal dalam rapat, media cetak

dan elektronik.

Alur Pelaporan Kasus

MENKES

MasyarakatWILKER

KKP

K K PINDUK

DINKES KAB/KOTA

DINKESPROPINS

I

DITJENPP&PL(Posko KLB)

RS NonRujukan

PUSKESMAS

RS Rujukan

Alur Pelaporan

Garis Koordinasi

Page 27: makalah kasus 2

DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Eko. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta : EGC

Timmreck, Thomas C. 2005. EPIDEMIOLOGI: Suatu Pengantar. Jakarta:

EGC

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman diagnosis dan

penatalaksanaan influenza A baru H1N1 (online). www.google.com. [diakses 2

Juni 2011]

Erosidewi. 2010. Langkah-langkah Pencegahan Wabah Penyakit KLB

(online). http://www.erosadewi.wordpress.com/2010/12/16/. [diakses 2 Juni

2010]

Himapid. 2008. Surveilans Epidemiologi (online).

http://himapid.blogspot.com/2008/10/surveilans-epidemiologi.html. [diakes 31

Mei 2011]

Persakmita. 2009. Konsep Dasar Kejadian Luar Biasa (online).

http://persakmita.blogspot.com/2009/05/konsep-dasar-kejadian-luar-biasa-klb-

by.html . [diakses 1 Juni 2011]

WHO. 2011. Fase Waspada Pandemi Flu Burung H5N1 oleh WHO

(online).http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://

www.who.int/csr/disease/avian_influenza/phase/en/. [diakses 1 Juni 2011]

Wikipedia. 2010. Kejadian Luar Biasa (online).

http://id.wikipedia.org/wiki/Kejadian_Luar_Biasa. [diakses 2 Juni 2011]