26
LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS OLEH: PUTU YOVI H. ARIESTYA NIM. 1102115017 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

LP Apendisitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LP Apendisitis

LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS

OLEH:

PUTU YOVI H. ARIESTYA

NIM. 1102115017

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2013

Page 2: LP Apendisitis

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN APENDISITIS

1. Definisi/Pengertian

a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana

patogenis utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh

fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Patofisiologi Edisi 4 hal

448.

b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan

penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2002.

c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu

saluran kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci.

Lokasi appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya

pada dinding abdomen dibawah titik Mc burney.

Gambar 1. Apendisitis

2. Epidemiologi

Insiden apendisitis lebih tinggi pada negara maju daripada negara

berkembang, namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara

bermakna, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi.

Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang

berubah menjadi makanan kurang serat. Menurut data epidemiologi, apendisitis

jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada

saat remaja dan awal 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa.

Page 3: LP Apendisitis

Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber,

sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka

yang tinggi ini menurun pada pria.

3. Penyebab/ Factor Predisposisi

Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang

bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia

jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.

Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada

beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :

a. Faktor sumbatan

Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)

yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia

jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda

asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.

Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-

macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus

apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa

tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.

b. Faktor Bakteri

Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis

akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi

memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi

feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan

adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus,

lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang

menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%

c. Kecenderungan familiar

Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari

organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan

letaknya yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan

kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat

memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.

d. Faktor ras dan diet

Page 4: LP Apendisitis

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari.

Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko

lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat

sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan

mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya

memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko

apendisitis yang lebih tinggi.

e. Faktor infeksi saluran pernapasan

Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi

influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.

4. Manifestasi Klinis/tanda dan gejala

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :

a. Nyeri perut.

Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau

periumbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang

dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan

bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas

letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa

keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di

daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat

berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar. Namun

terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat

konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini

dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

b. Anoreksia (penurunan nafsu makan).

c. Mual dan muntah

Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama,

kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.

d. Keinginan BAB atau kentut.

e. Demam

juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak

lebih dari 1oC (37,8oC – 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi

Page 5: LP Apendisitis

38,8oC. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di

daerah perut (peritonitis).

Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.

Berikut gejala yang timbul tersebut :

a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum),

Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda

rangsangan peritoneal.

Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat

melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan

mengedan.

Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang

menegang dari dorsal.

b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan

timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik

meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,

dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya

dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit

dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada

waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut

beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

5. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh

hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan

sebelumnya atau tumor.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa

mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas

dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe

Page 6: LP Apendisitis

yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah

terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.

Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan

mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding.

Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya

iskemi yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini

dapat meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di

daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding

appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa.

Bila dinding yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat

appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

Page 7: LP Apendisitis

6. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :

1. Apendisitis akut, dibagi atas:

1. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan

timbul striktur lokal.

2. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.

2. Apendisitis kronis, dibagi atas:

1. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur

lokal.

2. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan

pada usia tua.

7. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga

pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah

akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing

(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan

terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg

Sign).

f. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,

untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat

dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang

meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci

diagnosis pada apendisitis pelvika.

g. Pemeriksaan uji psoas

Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas

dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul

kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan.

Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri.

Page 8: LP Apendisitis

h. Pemeriksaan uji obturator

Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi

panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan

m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan

ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis

pelvika.

8. Pemeriksaan Diagnostik

a. Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-

20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan

yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi

(pecah).

Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.

b. Radiologi

Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat

yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan

diagnosis apendisitis (71 – 97 %)

CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta

perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran

sekum. Tingkat keakuratannya 93 – 98 %.

9. Penatalaksanaan

a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat

adalah segera dilakukan apendiktomi.

Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :

1. Cara terbuka

2. Cara laparoskopi.

b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka

tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik

kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif

terhadap kuman aerob dan anaerob.

Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi

dapat dilakukan.

Page 9: LP Apendisitis

Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka

dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian

dilakukan apendisektomi.

Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan

pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan

tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat

dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan

Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan

Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan

Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

(Brunner & Suddart, 1997)

10. Komplikasi yang dapat terjadi

Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi

peritonitis atau abses apendiks

a. Tromboflebitis supuratif

b. Abses subfrenikus

c. Obstruksi intestinal

11. Prognosis

Diagnosis apendisitis akut harus dilakukan secara cermat dan teliti. Kesalahan

diagnosis lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hal ini disebabkan

karena pada wanita sering timbul nyeri yang menyerupai apendisitis akut, mulai dari

alat genital ( karena proses ovulasi, menstruasi ), radang di panggul atau penyakit

kandungan lainnya. Hal ini sering menjadi penyebab terlambatnya diagnosis sehingga

lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.

Untuk mengurangi kesalahan diagnosis, saat berada di rumah sakit dilakukan

observasi pada penderita tiap 1-2 jam dan diagnosa baru bisa ditegakkan 8 - 12 jam

setelah muncul keluhan.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a) Identitas klien, Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis

kelamin, agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan,

penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia

lebih dari 50 tahun.

Page 10: LP Apendisitis

b) Keluhan utama

Keluhan utama nyeri bekas luka operasi.

c) Riwayat penyakit sekarang

Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri dirasakan

pada luka bekas operasi dengan skala (0-10) dan nyeri timbul memberat ketika

bergerak.

d) Riwayat penyakit dahulu

Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi

sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya sumbatan

fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon sehingga

menjadi appendisitis akut.

e) Pola – pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di rumah sakit.

2) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minum sebelum

flatus

3) Pola eliminasi

Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan dower

chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan pasien akan dilatih untuk

berkemih.

4) Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah. Namun,

setelah 6 jam pasien diharapkan pasien sudah mampu untuk bergerak miring

kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk kemudian berjalan.

5) Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena hospitalisasi

dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

6) Pola kognitif perseptual

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak

mengalami gangguan.

7) Pola persepsi dan konsep diri

Page 11: LP Apendisitis

Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan

post operasi appendiks.

8) Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat

mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat

kerja dan masyarakat.

9) Pola reproduksi seksual

Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada

hubungannya dengan alat reproduksi.

10) Pola penanggulangan stress

Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan

post operasi. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien

terhadap stres tersebut.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya dower chateter dan nyeri post operasi memerlukan adaptasi klien

dalam menjalankan ibadahnya .

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa pre-tindakan

1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder

akibat infeksi gastrointestinal.

2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.

3) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

4) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.

Diagnosa post-tindakan

1) Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder

akibat operasi

2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme

sekunder akibat pembedahan

3) Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan

kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi.

Page 12: LP Apendisitis

3. Rencana Tindakan

Diagnosa pre-tindakan

1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos

sekunder akibat infeksi gastrointestinal.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan

pasien dapat melakukan manajemen nyeri dengan kriteria hasil :

Pasien tampak lebih tenang.

Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan

orang tua.

Pasien tidak meringis kesakitan lagi.

Intervensi :

1. Observasi skala nyeri pasien.

R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan

sesudah dilakukan intervensi.

2. Beri lingkungan yang nyaman.

R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.

3. Lakukan tehnik distraksi.

R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak

terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.

4. Pantau perkembangan nyeri pasien.

R/ : Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami

pasien sudah tidak dapat ditoleransi lagi.

2. Dx 2 : Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan

suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C /

aksila).

Intervensi :

1. Observasi TTV.

R/ : Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.

2. Beri lingkungan yang nyaman.

R/ : Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keadaan pasien.

3. Lakukan kompres air hangat.

R/ : Untuk mengembalikan fungsi termostat dalam keadaan normal.

Page 13: LP Apendisitis

4. Ukur TTV.

R/ : Untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pasien.

3. Dx 3 : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan

muntah.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan

kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil :

Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit

normal, mukosa bibir tidak kering)

Pasien tidak merasa haus.

Pasien tampak segar.

Intervensi :

1. Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.

R/ : Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat

mengetahui tindakan yang harus dilakukan.

2. Awasi cairan masuk dan cairan keluar.

R/ : Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.

3. Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui

intravena.

R/ : Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral

karena pasien yang akan dilakukan tindakan apendiktomi harus dipuasakan.

4. Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan

cemas pasien berkurang, dengan kriteria hasil :

Pasien tampak tenang.

Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis

yang akan dilakukan..

Intervensi :

1. Kaji keadaan emosi pasien.

R/ : Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat menentukan

tindakan dan waktu yang tepat untuk melakukan tindakan keperawatan.

2. Lakukan BHSP apabila keadaan emosi pasien saat itu memungkinkan.

Page 14: LP Apendisitis

R/ : Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus melaksanakan

pendekatan agar tindakan keperawatan yang dilakukan lebih mudah.

3. Eksplorasi perasaan pasien.

R/ : Untuk menggali lebih jauh apa yang dirasakan pasien.

4. Biarkan pasien mengungkap perasaannya.

R/ : Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.

5. Berikan feed back positif dan berikan support kepada pasien.

R/ : Agar pasien merasa nyaman dan merasa ada yang mendukungnya.

Diagnosa post-tindakan

1. Dx 1 : Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot

sekunder akibat operasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan

nyeri yang dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :

Pasien tidak meringis.

Pasien tampak tenang.

Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan

orang tua.

Intervensi :

1. Observasi skala nyeri pasien.

R/ : Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan

sesudah dilakukan intervensi.

2. Beri lingkungan yang nyaman.

R/ : Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.

3. Lakukan tehnik distraksi.

R/ : Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak

terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.

4. Beri analgetik

R/ : Untuk mengurangi nyeri pasien.

2. Dx 2 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya

organisme sekunder akibat pembedahan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan

luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor,

tumor, perubahan fungsi)

Page 15: LP Apendisitis

Intervensi :

1. Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.

R/ : Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor,

dan perubahan fungsi), pus, jaringan nekrotik.

2. Lakukan perawatan luka.

R/ : Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.

3. Jaga luka agar tetap steril.

R/ : Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.

4. Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka,

menjaga luka agar tetap kering.

R/ : Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat

berkembang.

5. Berikan salep betadine di atas luka pasien.

R/ : Untuk mencegah infeksi pada luka.

3. Dx 3 : defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan

dengan kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post

operasi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan

tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat

meningkat.

Intervensi :

1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua pasien.

R/ menentukan cara penyampaian informasi kepada keluarga pasien.

2. Lakukan BHSP.

R/ mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan.

3. Berikan penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua pasien.

R/ memberikan penjelasan kepada orang tua pasien.

4. Berikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan

perasaannya.

R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkap

kesulitan yang dihadapi.

5. Evaluasi tingkat pengetahuan pasien.

R/ untuk mengetahui keberhasilan intervensi.\

Page 16: LP Apendisitis

4. Implementasi

Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.

5. Evaluasi

Diagnosa pre-tindakan

1. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri

2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).

3. Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi

4. Cemas pasien berkurang

Diagnosa post-tindakan

1. Nyeri yang dialami pasien berkurang

2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor,

perubahan fungsi)

3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.

Page 17: LP Apendisitis

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall- Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10.

Jakarta : EGC

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Guyton & Hall. 2003. Fisiologi Tubuh Manusia. Jakarta : EGC

Mansjoer A,. dkk. 1996. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Price, A. Sylvia. 1995. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC

Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2009-2011 Definisi dan Klasifikasi

Robbins Cotrans K,. 1996. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit Edisi 5. Jakarta : EGC