35
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulisan ini berangkat dari pandangan kritis terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia terutama kurikulum perguruan tinggi. Penulis mencoba untuk melihat bagaimana keberadaan kuasa negara dalam kurikulum di perguruan tinggi yang ada di Indonesia yang dituangkan dalam kuasa pengetahuan. Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan agar negara mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi menjadikan pemerintah Indonesiamerefleksikannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undang- Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi sebagai perwujudan jaminan terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Keberadaan perguruan tinggi adalah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki peran yang strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukanilmu pengetahuan dan teknologi denganmemperhatikan dan menerapkan nilai humanioraserta pembudayaan dan pemberdayaan 1 . Untuk mewujudkan peran yang dimiliki perguruan tinggi sebagai kesatuan kegiatan pendidikan, perguruan tinggi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu yang diterapkan dalam kelembagaannya 2 . Dalam perkembangannya, pendidikan Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik secara penerapan serta tujuannya. Sejarah mencatat bahwa perubahan sosial politik yang terjadi juga memberikan dampak tersendiri 1 Konsideran menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi 2 Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

  • Upload
    dinhthu

  • View
    232

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tulisan ini berangkat dari pandangan kritis terhadap kurikulum pendidikan

di Indonesia terutama kurikulum perguruan tinggi. Penulis mencoba untuk melihat

bagaimana keberadaan kuasa negara dalam kurikulum di perguruan tinggi yang

ada di Indonesia yang dituangkan dalam kuasa pengetahuan. Pasal 31 ayat (3)

UUD 1945 mengamanatkan agar negara mengusahakan dan menyelenggarakan

satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan

serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Amanat konstitusi menjadikan pemerintah Indonesiamerefleksikannya

dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undang-

Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi sebagai perwujudan

jaminan terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Keberadaan

perguruan tinggi adalah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang

memiliki peran yang strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan

memajukanilmu pengetahuan dan teknologi denganmemperhatikan dan

menerapkan nilai humanioraserta pembudayaan dan pemberdayaan1. Untuk

mewujudkan peran yang dimiliki perguruan tinggi sebagai kesatuan kegiatan

pendidikan, perguruan tinggi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran

tertentu yang diterapkan dalam kelembagaannya2.

Dalam perkembangannya, pendidikan Indonesia mengalami perubahan

yang cukup signifikan, baik secara penerapan serta tujuannya. Sejarah mencatat

bahwa perubahan sosial politik yang terjadi juga memberikan dampak tersendiri

1 Konsideran menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan

Tinggi 2 Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai

tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

2

terhadap perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan pada Era

Orde Lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali

kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan.

Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana

pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan

bangsa Indonesiadi masa mendatang. Pada prinsipnya, konsep sosialisme dalam

pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok

tanpa memandang kelas sosial3.

Pergantian rezim pemerintahan kepada Orde Baru juga berdampak

signifikan terhadap pendidikan di Indonesia, pada masa ini pendidikan dimasuki

oleh politik praktis dan dijadikan kendaraan politik. Sehingga pada masa itu

dimulainya pendidikan indoktrinisasi, yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat

untuk mempertahankan kekuasaan. Orde Baru memandang pendidikan hanya

digunakan untuk menegakkan ideologi dominan penguasa. Proses indoktrinisasi

terjadi dalam penataran P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila)

yang dilakukan di setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga

perguruan tinggi, dengan tujuan utama menanamkan orientasi politik agar semua

rakyat selalu patuh pada setiap kebijakan negara.

Peralihan ke masa Reformasi memberikan angin segar terhadap

pendidikan Indonesia. Era Reformasi memberikan ruang yang cukup besar bagi

perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat lebih demokratis.

Pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik menjadi desentralistik pada

penerapan kurikulumnya, hal ini juga yang dirasakan pada tataran pendidikan

tinggi.Undang-UndangNomor 12 Tahun 2012 tentangperguruantinggi menjamin

setiap perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya4.

Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum

sepenuhnya terwujud. Arah kurikulum perguruan tinggi secara tidak langsung

3 Yamin, Martinis dan Maisah, (2009). Manajemen Pembelajaran Kelas(Strategi Meningkatkan

Mutu Pembelajaran), Jakarta, Gunung Persada (GP Press). 4 Otonomi diberikan kepada perguruan tinggi bertujuan untuk mengembangkan budaya

akademik bagi civitas akademika yang dilakukan melalui pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi melalui kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

3

juga ikut terpengaruh oleh perkembangan sosial politik yang terjadi di Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya keberadaan ideologi rezim negara juga turut

mempengaruhi perkembangan kurikulum pendidikannya, hal ini terlihat dari masa

Orde Lama yang mengimplikasikan ciri sosialisnya dalam pendidikan pada masa

tersebut, begitu pula pada rezim Orde Baru yang begitu kental dengan

indoktrinisasi dalam dunia pendidikannya. Pengaruh perkembangan sosial politik

pada saat ini juga berimplikasi terhadap perubahan kurikulum yang ada di

perguruan tinggi, fokus rezim kekuasaan pada masa Reformasi hingga saat ini

adalah pertumbuhan ekonomi yang kemudian juga dapat dirasakan dalam

pelaksanaan pendidikandi perguruan tinggi, hal ini dapat dilihat dalam penerapan

wacana pendidikan kewirausahaan yang diterapkan diperguruan tinggi Indonesia.

Wacana pendidikan kewirausahaan ini lahir, tidak terlepas dari permasalahan

pengangguran yang ada di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia pada Agustus 2016 tercatat

pengangguran di Indonesia sebesar 7,03 juta jiwa, di mana tingkat pengangguran

terbuka menurut pendidikan didominasi oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

11,11 persen, disusul Sekolah Menengah Atas sebesar 8,73 persen, Diploma 6,04

persen, Sarjana 4,87 persen, Sekolah Menengah Pertama 5,75 persen, dan Sekolah

Dasar ke bawah 2,88 persen5. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa perguruan

tinggi menghasilkan 766 ribu pengangguran yang ada di Indonesia.Keberadaan

pengangguran dari perguruan tinggi ini menjadikan dasar negara melakukan

perubahan terhadap kebijakan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi.

Dengan kuasa yang dimilikinya negara mencoba menanamkan kuasa pengetahuan

“kewirausahaan” melalui konstruksi wacana pendidikan kewirausahaan di

perguruan tinggi Indonesia. Pertama,negara menjadikan wacana pendidikan

kewirausahaan sebagai sebuah kebijakan generale yang diterapkan diseluruh

perguruan tinggi di Indonesia melalui program-program kewirausahaan, seperti

program wirausaha mahasiswa, kompetisi bisnis mahasiswa Indonesia, program

belajar bekerja terpadu, expo kewirausahaan mahasiswa Indonesia, dan program-

5 Badan Pusat Statistik, 2016. “Berita Resmi Statistik November 2016”. Jakarta

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

4

program lain yang mendukung terwujudnya wirausahawan dari perguruan tinggi

Indonesia.

Kedua, negara melalui “kuasa” regulasinya, mendesain regulasi atau

aturan-aturan yang mendukung wacana pendidikan kewirausahaan ini, di mana

negara melalui regulasi tersebut mengatur agar wacana ini terlaksana di perguruan

tinggi Indonesia.Pengaturan yang dilakukan negara dilakukan dengan mengatur

seperti misalnya capaian pembelajaran mahasiswa,6 yang harus terkait dengan

kewirausahaan, kemudian bentuk pengaturan yang dilakukan negara adalah

dengan menambahkan kewirausahaan sebagai general education atau MKDU

yang diajarkan diperguruan tinggi. Keberadaan matakuliah kewirausahaan

menarik untuk ditelisik, karena keberadaannya sebagai matakuliah yang dapat

meningkatkan kemampuan kompetensi mahasiswabaik hardskill ataupun softskill

untuk membentuk karakter wirausaha, dengan harapan dapat membuka peluang

usaha secara mandiri, menjadi contoh bagaimana negara coba menanamkan cita-

cita pertumbuhan ekonomi yang menjadi ciri rezim penguasa pada saat ini.

Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) atau general education7yang wajib

diajarkan di setiap perguruan tinggi di Indonesia.Sebagian dari MKDU telah

dinyatakan dalam pasal 35 ayat (3) sebagai mata kuliah wajib, yaitu Agama,

Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Dalam rangka

menyempurnakan capaian pembelajaran, maka MKDU ditambah dengan bahasa

6 Dalam Lampiran Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik

Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Indonesia. Pada rumusan sikap, setiap lulusan program pendidikan akademik, vokasi, dan profesi harus memiliki sikap sebagai berikut : point (j) menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan. Pada rumusan keterampilan umum, lulusan program profesi, spesialis wajib memilikiketerampilan umum sebagai berikut : program profesi point (c) mampu mengomunikasi-kan pemikiran/argumen atau karya inovasi yang bermanfaat bagi pengembangan profesi dan kewirausahaan, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika profesi, kepada masyarakat terutama masyarakat profesinya; program spesialis point (c) mampu mengomunikasikan hasil kajian, kritik, apresiasi, argumen, atau karya inovasi yang bermanfaat bagi pengembangan profesi, kewirausahaan, dan kemaslahatan manusia, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika profesi, kepada masyarakat umum melalui berbagai bentuk media;

7 General education adalah merupakan pengembangan daya kemampuan manusia, pendidikan

komprehensif untuk meningkatkan kemampuan intelektual-rasional (kognitif), emosional yang penuh kesadaran (afektif) dan keterampilan dalam arti yang seluas-luasnya (kognitif-afektif dan psikomotor) dan berlaku untuk semua orang secara umum (Klafki dalam Abu Ahmadi (1997))

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

5

Inggris, Kewirausahaan, dan mata kuliah yang mendorong pada pengembangan

karakter lainnya, baik yang terintegrasi maupun individu. Sebagai general

education, mata kuliah kewirausahaan yang diajarkandiseluruhjurusan yang ada di

perguruantinggibaikitudengan basis keilmuaneksaktamaupunsocial, bertujuan

untuk membentuk karakter wirausaha atau minimal mahasiswa menambah

pengetahuan mahasiswa mengenai seluk-beluk bisnis baik dari sisi softskill

maupun hardskill sehingga mahasiswa mampu memanfaatkan peluang-peluang

yang ada di sekitarnya dalam menciptakan usaha sendiri setelah lulus maupun saat

masih kuliah8. Bentuk keseriusan negara dalam penerapan MKDU Kewirausahaan

ini terlihat dari adanyakebijakan-kebijakan yang menunjang spirit kewirausahaan

hadir dalam lingkungan kampus.

Keberadaan wacana pendidikan kewirausahaan memberikan gambaran

bahwa kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai kebutuhan dan

kepentingan masing-masing perguruan tinggi belum sepenuhnya

terjadi/terwujud.Hal yang positif memang bila melihat perubahan ataupun

pengembangan kebijakan pendidikan pada perguruan tinggi dengan melihat

perkembangan zaman. Namun akan berbeda hasilnya jika perubahan maupun

pengembangan kurikulum tersebut disertai dengan kepentingan-kepentingan dari

beberapa pihak tertentu. Ada beberapa pandangan kuat yang disampaikan para

pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar mengajar

pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial

ekonomi dalam kekuasaan yang ada.

Pada dasarnya kondisi negara dan kekuatan sosial politik yang tengah

berkuasa dapat tercermin dari pendidikannya. Pendidikan menjadi refleksi dari

orde penguasa yang ada. Menurut Micheal W. Apple, kurikulum pendidikan yang

berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan.

Dengan keberadaan kurikulum, negaramenjadikan pendidikan sebagai sarana

rekayasa dalam rangka mengkekalkan struktur kekuasaannya. Di mana masalah

pendidikan sesungguhnya adalah masalah politik namun bukan dalam artian yang

8 Dirjen Dikti, 2013. “Modul Pembelajaran Kewirausahaan”, Jakarta.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

6

praktis9.Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah memang merupakan alat yang

efisien bagi upaya menjaga satus quo10

. Jhon C. Bock mengidentifikasi salah satu

peran pendidikan bila dilihat dari fungsi politik pendidikannya adalah untuk

memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa11

.Olehkarenanya

dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam

suatu masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Secara tidak langsung suatu

sistem pendidikan secara sadar atau tidaknya, mau tidak mau melaksanakan cita-

cita suatu negara “rezim goals”.

Bila melihat kekuasaan dalam tulisan ini dimaknai sebagai sebuah bentuk

refleksi kuasa terhadap pengetahuan, salah satu pandangan yang cukup relevan

dalam membahas kuasa disini sebagaimana pandangan Michel Foucault terhadap

kekuasaan-pengetahuan, menurutnya pengetahuan telah terinstitusionalisasai

sebagai kuasa. Pengetahuan memiliki kuasa untuk memaksa seseorang

mengatakan hal-hal tertentu, dalam studinya tentang kegilaan, misalnya, Foucault

berusaha menangkap disposisi pengetahuan atas pemaknaannya terhadap

normalitas sebagai lawan dari abnormalitas atau kegilaan12

.

Pemantapan pengetahuan sehingga ia menjadi khas, melibatkan

berlangsungnya operasi kekuasaan yang tidak lepas dari bagaimana pengetahuan

yang ilmiah berelasi dengan pengetahuan awam. Pemantapan itu berlangsung

pada level wacana (discourse). Sebagai sebuah episteme, dalam hubungannya

dengan pengetahuan ilmiah ia tidak lagi berdiri sebagai suatu cara pandang dalam

melihat pembedaan dan pemisahan antara yang benar dari yang salah, melainkan

pemisahan dalam ranah praktis antara yang mungkin dari yang tidak mungkin

dilakukan atau dipikirkan dengan pendasaran pengetahuan yang ilmiah. Melalui

episteme, strategi beroperasinya kekuasaan dalam pengetahuan dapat diketahui13

.

9 Michael W. Apple. 2004. Ideology and Curriculum,3rd Edition. New York &London: Routledge

Farmer. 10

Freire, P. 2005. Pedagogy of the Opressed. 30th Anniversary Edition. New York & London: Continium

11 Jhon C. Bock, 1992. Education and Development: A Conflict Meaning

12 Foucault. The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I, Penguin,Harmondsworth (first

published 1972). 13

dalam Abdil Mughis, 2013. Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jakarta. Masyarakat: Jurnal Sosiologi

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

7

Dalam pandangan diatas kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan

represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja

secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif.

Pandangan Foucault ini menunjukkan bahwa kuasa berada dalam posisi yang

tidak tampak. Artinya, karena wujud kekuasaan itu tidak nampak, maka

beroperasinya kekuasaan menjadi tidak disadari dan memang tidak dirasakan oleh

individu sebagai praktek kekuasaan yang sebenarnya mengendalikan tubuh

individu akan tetapi pada dasarnya kekuasaan dapat diketahui dan dirasakan

melalui efek-efeknya. Pandangan ini yang kemudian dilihat cukup relevan bila

melihat bagaimana konstruksi kuasa dalam wacana Pendidikan Kewirausahaan di

Perguruan Tinggi Indonesia.

Ketika mencermati fenomena pendidikan kewirausahaan di perguruan

tinggi Indonesia, ada hal yang menarik di manadalam proses interpretasinya

terdapat perbedaan di beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada

yang gencar dengan Socio Entrepeneur agak berbeda ketika menginterpretasikan

kebijakan Pendidikan Kewirausahaan ini terlihat dari Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politiknya yang tidak menerapkan mata kuliah ini dalam proses

pembelanjarannya. Di lain sisi FISIPOL UGM pada dasarnya tidak sepenuhnya

menolak keberadaan kebijakan pendidikan kewirausahaan, hal ini dibuktikan

dengan ingin diwujudkannyaFISIPOL sebagai Center of Excellent for Global

Social Enterpreneur melalui keberadaan Youth Study Center. Hal ini

menunjukkan bahwa keberadaan kewirausahaan pada dasarnya tidak ditolak

sepenuhnya, hanya saja tidak dimasukkan kedalam struktur pembelajaran

sebagaimana yang diharapkan negara melalui MKDU Kewirausahaan

tersebut.Fenomena-fenomena ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan

menggelitik mengenai apa yang sebenarnya diharapan negara ketika memilih dan

menerapkan kewirausahaan sebagai kuasa pengetahuannya?, apakah setiap

mahasiswa harus menjadi seorang pengusaha? dan apakah negara tidak percaya

terhadap perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan-lulusannya?. Hal ini

sebenarnya yang mengantarkan penulis untuk melihat lebih jauh bagaimana

konteks kuasa yang ada dalam kebijakan Pendidikan Kewirausahaan, yang

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

8

kemudian penulis tuangkan dalam tulisan yang berjudul : “Kuasa Negara dan

Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan (Analisis WacanaPendidikan

Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka peneliti

merumuskan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini yang ditunjukkan

dalam pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana kuasa negara direpresentasikan dalam Wacana Pendidikan

Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia?

2. Bagaimana Universitas Gadjah Mada menginterpretasikan wacana

Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengidentifikasi praktik-praktik kuasa negara dalam produksi dan

konsumsi wacana Wacana Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan

Tinggi Indonesia.

2. Untuk mengetahui bagaimana negara merepresentasikan kuasanya dalam

Wacana Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia.

3. Untuk mengetahui penyebab perbedaan interpretasi perguruan tinggi

dalam Wacana Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia.

D. Kajian Literatur

Ada beberapa kajian yang cukup relevan dengan penelitian ini, di mana

kajian-kajian ini cukup menunjukkan adanya power atau kuasa dalam pendidikan.

Seperti tesis Amir Mahmud (2014) yang mengangkat tema tentang Dinamika

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Rifaiyah, dalam tesis ini Amir

Mahmud coba melihat bagaimana pengembangan kurikulum pendidikan pesantren

yang merupakan salah satu soko guru pendidikan nasional di Indonesia.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

9

Tesis ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh kepemimpinan pesantren

dalam pengembangan kurikulum pendidikan pesantren, pergantian pemimpin

membawa dampak yang signifikan terhadap kebijakan dan orientasi perubahan

kurikulum pendidikan pesantren, pergantian kepemimpinan pesantren membawa

sebuah dinamika perubahan dan perkembangan. Perubahan dan dinamika

perkembangan kurikulum pesantren Rifaiyah lebih banyak dipengaruhi faktor

kepemimpinan pesantren yang membawa orientasi pendidikan pesantren, bahkan

perubahan kurikulum nasional tidak memberikan signifikansi perubahan yang

berarti terhadap kurikulum pesantren14

.

Selanjutnya disertasi oleh Ridhah Taqwa yang berjudul Relasi Kekuasaan

dalam Institusi Pendidikan, Studi Kasus di Sekolah „Aizifah Yogyakarta‟, di mana

temuannya adalah wacana kebenaran bersumber dari nilai-nilai agama dan

kemajuan menjadi arena bersemayamnya kepentingan kekuasaan dan ekonomi

oleh pihak dominan. Praktek dominasi dikondisikan oleh struktur organisasi

sekolah yang hierearkis dan perbedaan kepemilikan modal sosial yang memberi

ruang terbuka bagi pihak pemilik modal untuk melakukan praktik dominasi

melalui wacana representasi dan kebenaran. Modal tersebut berupa otoritas,

pengetahuan, konstruksi, dan wacana ideologi yang dalam proses beroperasinya

saling bersinergi, tidak hanya berlaku pada era kekuasaan pengurus, tetapi juga

pada era kekuasaan sekolah. Disertasi ini menjelaskan adanya kekuasaan itu

dalam pendidikan islam di bawah kekuasaan Kementrian Agama Republik

Indonesia15

.

Kemudian relasi kuasa dan pendidikan juga tidak hanya terjadi di

Indonesia, disertasi yang ditulis oleh Ye Wengbei (2011) dengan judul Power and

School-based Curriculum Development in Moral Education in China. Penelitian

ini dilakukan untuk melihat bagaimana School-based Curriculum Development in

Moral Education (SBCDME) atau pengembangan kurikulum berbasis sekolah

dalam pendidikan moral di China. Dalam penelitian yang dilakukan di daerah

14

Amir Mahmud, 2014. “Dinamika Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Rifaiyah”, Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta

15 Ridhah Taqwa, 2010. Relasi Kekuasaan dalam Institusi Pendidikan, Studi Kasus di Sekolah

‘Aizifah Yogyakarta’. Unversitas Gadjah Mada.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

10

yang sedang berkembang dan di daerah yang sudah maju ini, ditemukan bahwa

pengembangan kurikulum berbasis sekolah dalam pendidikan moral masih belum

sepenuhnya terwujud, hal ini yang diistilahkan Ye Wengbei dengan semi-

emansipatoris dalam hubungan redistribusi kuasa dalam SBCDME, istilah ini

muncul karena melihat studi yang dilakukan di bebarapa daerah tersebut

menyoroti pengaruh dari pemerintah daerah, masyarakat, kuasa orang tua dalam

sekolah yang turut membentuk hubungan kekuasaan di SBCDME, penelitian ini

telah memperdalam pemahaman tentang isu-isu kompleks yang berkaitan dengan

hubungan sekolah dan kekuasaan dalam pengembangan kurikulum dan

pendidikan moral Cina16

.

Dari ketiga penelitian diatas dapat dilihat persamaan mendasar pada fokus

penelitian ketiganya yaitu unsur kuasa yang terdapat dalam kurikulum pendidikan

secara umum, Amir Mahmud yang menunjukkan kurikulum pesantren

dipengaruhi oleh kepemimpinan pesantren tersebut, penelitian kedua Ridhah

Taqwa yang juga meneliti kuasa dalam sekolah agama pada khususnya tidak

terlepas dari kuasa dan dominasi ekonomi yang disebabkan oleh adanya ruang

terbuka wacana representasi dan kebenaran dalam dominasi terhadap struktur

organisasi sekolah yang hierearkis dan perbedaan kepemilikan modal sosial.

Selanjutnya penelitian oleh Ye Wengbei yang menunjukkan ketidak mampuan

sekolah secara utuh melaksanakan kurikulum berbasis sekolah dalam pendidikan

moral di China, karena masih adanya pengaruh dari pemerintah daerah,

masyarakat, kuasa orang tua dalam sekolah yang turut membentuk hubungan

kekuasaan di sistem kurikulum ini.

Kemudian ada beberapa tulisan ataupun penelitian yang lebih

menunjukkan unsur kuasa secara spesifik dalam kurikulum pendidikan, di mana

mata pelajaran yang akan diajarkanpun tidak luput dari unsur kuasa didalamnya,

seperti tulisan Samsuri tentang Kurikulum Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan: Dari Politik Rezim ke Politik Negara untuk Membangun

16

Ye Wengbei, 2011, University of Hong Kong, Power and School-based Curriculum Development in Moral Education in China.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

11

Warga Negara Ideal17

, tulisan ini mencoba untuk memperlihatkan Kurikulum

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang ada selama ini pada dasarnya

memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai cara untuk membangun karakter warga

negara yang ideal, meskipun secara nomenkelatur sering berubah setiap adanya

pergantian kurikulum akibat pergantian rezim penguasa ataupun karena penataan

kurikulum nasional. Namun, secara sadar tulisan ini juga menunjukkan adanya

perbedaan penafsiran dari setiap perubahan kurikulum Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan yang disebabkan oleh bagaimana pemerintah pada masa itu

menafsirkan kurikulum tersebut, seperti pada masa Orde Baru yang menampilkan

Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang cenderung

menampilkan nilai-nilai Pancasila secara―indoktrinatif dalam sajian

pembelajarannya, begitu pula pada masa Reformasi yang “bebas” juga berdampak

pada kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang terlihat dari

perubahan nomenkelatur PKn menjadi PPKn, dengan maksud menjadikan PPKn

bukan sekedar membubuhkan pilar-pilar kebangsaan namun juga sebagai haluan

politik negara untuk membangun karakter warga negara yang sejalan dengan cita-

cita nasional, sekaligus berwawasan mendunia. Perubahan ideologi rezim

pemerintahan pada masa Reformasi juga ditunjukkan penulis dari

kekhawatirannya terhadap pengadaan buku teks yang mengalami “liberalisasi”

sehingga meruntuhkan visi misi serta substansi pendidikan pancasila di sekolahan.

Kemudian penulis menyimpulkan bahwa perkembangan kurikulum pendidikan

pancasila dan kewarganegaraan ini tentu tidak akan punya arti apa-apa dalam

kerangka pembentukan modal sosial warga negara, jika ia merasa cukup puas

dengan perubahan yang ada tanpa diiringi perubahan secara sistemik (seperti

profesionalisme guru dan model pembelajaran dan penilaian, iklim politik dan

sosial).

17

Makalah disajikan di Seminar Nasional ―Menyongsong Kurikulum Nasional,‖ Pengurus Pusat IKAPI, Aula Perpustakaan Nasional Jakarta, 29 Oktober 2012. Bahan diskusi ini beberapa bagian telah disajikan dalam laporan penelitian Hibah Program Doktor di SPs UPI (2009) dan disertasi penulis (Samsuri, 2010), serta ―Focus Group Discussion Materi Ajar dan Metodologi Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan‖ IAIN Surakarta (18 September 2012).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

12

Selanjutnya Kuasa Negara Dalam Pendidikan (Studi Analisis Wacana

Kritis Pada KBK, KTSP dan Kurikulum 2013 Untuk Mata Pelajaran Sosiologi

SMA) yang ditulis oleh Sri Wahyuni, di mana thesis ini menggambarkan bahwa

adanya kuasa negara dalam perkembangan kurikulum sekolah menengah di

Indonesia terutama dalam mata pelajaran sosiologi. Perkembangan kurikulum

pendidikan di Indonesia yang sering berganti yang difokuskan pada KBK, KTSP,

dan Kurikulum 2013 menunjukkan adanya kuasa negara. Hal ini diperkuat penulis

dari hasil temuannya yang menunjukkan bahwa tema-tema ideologi negara

cenderung muncul dalam pembelajaran sosilogi adalah perubahan sosial budaya

(KBK), masyarakat multikultural dan lembaga social (KTSP), serta masyarakat

multikultural (Kurikulum 2013). Kuasa negara yang direpresentasikan melalui

tema-tema ideologi tersebut tidak lepas dari praktik produksi, distribusi dan

konsumsi teks. Negara melakukan dominasi produksi teks kurikulum melalui

BSNP, kontrol atas teks melalui Purkurbuk, kontrol atas distribusi melalui

BPSDMP dan PMP, dan kontrol komunikasi melalui Puspendik di bawah

Kementrian Pendidikan Nasional18

.

Dari kedua tulisan diatas dapat dilihat bahwa kuasa yang ada dalam

pendidikan tidak hanya sebatas ada dalam kurikulum secara general, namun dapat

lebih spesifik lagi kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan, dan Sosiologi. Dari pemaparan kajian literatur diatas terlihat

bahwa kajian mengenai kuasa dalam kurikulum pendidikan kebanyakan dalam

tatanan sekolah baik tingkat dasar maupun tingkat atas, yang menjadi pembeda

dalam penelitian ini adalah melacak representasi kuasa negara dalam kurikulum

pendidikan tinggi dengan fokus utama pada mata kuliah “wajib” kewirausahaan.

E. Landasan Teoritik

a. Kekuasaan

Secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang

pelaku untuk mempengaruhi perilaku sesorang pelaku lain, sehingga

perilakunya menjadi sesuai keinginan pelaku yang mempunyai 18

Sri Wahyuni, Kuasa Negara Dalam Pendidikan (Studi Analisis Wacana Kritis Pada KBK, KTSP dan Kurikulum 2013 Untuk Mata Pelajaran Sosiologi SMA), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

13

kekuasaan19

. Bicara mengenai kekuasan berpangkal tolak dari perumusan

sosiolog Max Wabber dalam bukunya Wirtschaft und Gessellshaft yang

menjelaskan kekuasaan sebagai kemampuan dalam suatu hubungan

sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan,

dan apapun dasar kemampuan ini.20

Sementara itu pemikiran mengenai kekuasaan juga dijelaskan oleh

Harlod D. Leswell dan Abraham Kaplan, yang mendefenisikan kekuasaan

sebagai suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat

menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari

pihak pertama.21

Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power)

melalui isyarat yang jelas, ini sering diisyaratkan sebagai manifest power.

Namun terkadang isyarat itu tidak ada, misalnya adalam keadaan yang

oleh Carl Friedrich dinamakan the rule of anticipated reactions. Perilaku

B ditentukan oleh reaksi yang diantisipasi jika keinginan A tidak

dilakukan oleh B. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasan

implisit (implisit power).22

Bila berbicara mengenai kekuasaan tidak lepas dari mana

kekuasaan tersebut berasal, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa

seseorang memiliki kekuasaan? Apa sumber dari kekuasaan yang dimiliki

tersebut? Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, atau

kepercayaan.23

Kekuasaan tersebut memiliki cakupan kekuasaan (scope of

power) yang menunjuk pada kegiatan, perilaku serta sikap dan keputusan-

keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Selain kekuasaan

memiliki scope, kekuasaan juga memiliki wilayah kekuasaan (domain of

power) yang mencangkup siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang atau

19

Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. P. 59 20

dalam Budiardjo, Ibid P. 59 21

dalam Budiardjo, Ibid P. 59 22

Budiardjo, Ibid P. 60 23

Budiardjo, Ibid P. 61

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

14

kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelaku, kelompok

organisasi atau kolektivitas yang terkena kekuasaan.24

a) Kekuasaan dan Pengetahuan

Sebagaimana dijelaskan diatas kuasa terjadi baik secara

eksplisit maupun inplisit, salah satu bentuk sebagaimana disinggung

pada bagian sebelumnya pandangan Michel Foucault cukup relevan

untuk membahas mengenai kekuasaan-pengetahuan, menurutnya

pengetahuan telah terinstitusionalisasai sebagai kuasa. Pengetahuan

memiliki kuasa untuk memaksa sesorang mengatakan hal-hal

tertentu, dalam studinya tentang kegilaan, misalnya, Foucault

berusaha menangkap disposisi pengetahuan atas pemaknaannya

terhadap normalitas sebagai lawan dari abnormalitas atau kegilaan.25

Pemantapan pengetahuan sehingga ia menjadi khas,

melibatkan berlangsungnya operasi kekuasaan yang tidak lepas dari

bagaimana pengetahuan yang ilmiah berelasi dengan pengetahuan

awam. Pemantapan itu berlangsung pada level wacana (discourse).

Sebagai sebuah episteme, dalam hubungannya dengan pengetahuan

ilmiah ia tidak lagi berdiri sebagai suatu cara pandang dalam melihat

pembedaan dan pemisahan antara yang benar dari yang salah,

melainkan pemisahan dalam ranah praktis antara yang mungkin dari

yang tidak mungkin dilakukan atau dipikirkan dengan pendasaran

pengetahuan yang ilmiah. Melalui episteme, strategi beroperasinya

kekuasaan dalam pengetahuan dapat diketahui.26

Dalam pandangan diatas kuasa tidak selalu bekerja melalui

penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan

regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan

dengan cara positif dan produktif. Pandangan Foucault ini

24

Budiardjo, Ibid P. 61 25

Foucault, 1978. The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I, Penguin,Harmondsworth (first published 1972).

26 Dalam Abdil Mughis, 2013. Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik.

Jakarta. Masyarakat: Jurnal Sosiologi

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

15

menunjukkan bahwa kuasa berada dalam posisi yang tidak tampak.

Artinya, karena wujud kekuasaan itu tidak nampak, maka

beroperasinya kekuasaan menjadi tidak disadari dan memang tidak

dirasakan oleh individu sebagai praktik kekuasaan yang sebenarnya

mengendalikan tubuh individu akan tetapi pada dasarnya kekuasaan

dapat diketahui dan dirasakan melalui efek-efeknya.

b. Kekuasaan dalam Pendidikan

Terdapat kaitan yang erat bila melihat antara pendidikan dan

kekuasaan, adanya kekuasaan menyebabkan terjadinya pendidikan. Yang

kemudian menjadi masalah adalah apakah kekuasaan tersebut sesuai

dengan arah dari proses pendidikan? Proses pendidikan adalah proses

pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran akan

kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasan kepada dirinya

untuk menjadi individu. Sedangkan yang dimaksud dengan proses

melaksanakan kekuasaan berarti proses menguasai. Artinya ada yang

melaksanakan kuasa (penguasa) dan ada yang dikuasai atau menjadi objek

penguasa.

Menelisik pada pendidikan tidak lepas kaitannya dengan

bagaimana pengetahuan dikonstruksikan pada peserta didik.

Pengkonstruksian dilakukan melalui aktifitas atau proses belajar mengajar

yang dilakukan antara guru dan murid, proses ini menjadikan guru

sebagai pengkonstruksi pengetahuan murid karena dianggap guru adalah

orang yang mengetahui segalanya. Kemudian menurut Tilaar Ada empat

masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan (praksis)pendidikan

berdasarkan kekuasaan, yaitu:27

a) Domestifikasi dan stupidifikasi

Proses domestifikasi atau penjinakan akan membunuh

kreativitas danmenjadikan peserta didik sebagai robot-robot yang

sekedar menerima transmisinilai-nilai kebudayaan yang ada. Proses

27

H.A.R. Tilaar, (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta : Rineka Cipta

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

16

pendidikan yang berjalan lancar sesuaidengan petunjuk-petunjuk,

baik yang digariskan oleh penguasa ataupun yang dibuat oleh

lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didik

mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari

bahan pelajaran menurut buku teks yang tersedia, melaksanakan

ujian-ujian dan penilaian akhir dari kelas atau jenjang pendidikan

yang sudah ditentukan. Praksis pendidikan seperti ini yang menjadi

tempat menjinakkan pribadi-pribadi agar patuh pada kemauan

tuannya, sehingga proses pendidikan menjadi proses domestifikasi

anak manusia. Hasilnya, bukan pembebasan melainkan

pembodohan (stupidisasi). Proses domestikasi dalam pendidikan

disebut juga imperialisme pendidikan dan kekuasaan. Peserta didik

menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan

dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat-alat dari

penjajahan mental dari yang mempunyai kekuasaan.

b) Indoktrinasi

Kurikulum yang berlaku merupakan sarana indoktrinasi

dari suatu sistem kekuasaan. Penyusunan kurikulum di Indonesia

yang selalu berganti-ganti menunjukkan kekuasaan yang berlaku

dalam penentuan isi kurikulum sesuai dengan sistem pemerintahan

pada waktu itu. Melalui kurikulum inilah terjadi proses

indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan

yang ada. Apabila kurikulum berisi indoktrinasi maka cara

menyampaikan proses belajar mengajar juga mengikuti pola

indoktrinasi. Pola proses belajar mengajar dalam rangka

domestifikasi dan indoktrinasi jelas merupakan suatu proses

transmitif dari kebudayaan. Manajemen yang cocok dalam proses

indoktrinasi tentunya harus terpusat dan mudah dikontrol.

c) Demokrasi

Inti dari pendidikan demokratis yaitu agar mampu

menghadapi masalah hidup yang problematik dengan alternatif-

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

17

alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk

mencari solusi yang terbaik. Tumbuhnya demokrasi dalam proses

pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme

dalam pendidikan. Multikulturalisme melihat sumber kekuasaan

bukan dari segi yang monolitik melainkan dari segi yang beragam

atau demokratis.

d) Integrasi Sosial

Integrasi sosial tidak dapat diciptakan dalam pemaksaan

melalui sumber kekuasaan dari atas, tetapi tumbuh dari bawah

masyarakat adat. Inilah makna desentralisasi dan otonomi

pendidikan. Suatu sistem pendidikan yang otoriter akan mematikan

kemampuan untuk mengembangkan budaya lokal. Disinilah letak

pekerjaan rumah dari sistem pendidikan nasional di Indonesia,

yaitu untuk mengembangkan budaya lokal dengan menempatkan

sumber kekuasaan di tingkat lokal dan mengembangkan solidaritas

sosial pada tingkat bangsa juga nasional.

c. Pendidikan Kritis

Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik.

Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan

“Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan

proses akan ditandai dengan kurikulum yang student centered, bukan

teacher centered. Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa aliran-aliran

pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kritis. Di mana pada pendidikan

konservatif, pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara

bagi kaum liberal pendidikan ada untuk perubahan moderat, sedangkan

paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental

dalam politik, ekonomi, masyarakat di mana pendidikan berada.

Menurut Thomas Popkewitz, pendidikan kritis adalah sebutan bagi

pendidikan yang menekankan pentingnya daya kritis peserta didik dalam

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

18

kaitannya dengan pendidikan disekolah, budaya, masyarakat, ekonomi

dan pemerintah.28

Pendidikan kritis melihat masalah pendidikan dengan

berfikir kritis untuk mengakses dan mengevaluasi kenyataan-kenyataan

yang dihadapi. Dengan demikian, pendidikan kritis tidaklah melihat

pendidikan hanya dalam skala mikro tetapi juga dalam skala makro.

Selanjutnya M. Agus Nuryanto menjelaskan pendidikan kritis (critical

pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan

politik dalam suatu aktifitas pendidikan.29

Pendidikan kritis menjelaskan bahwa secara pasti tidak ada

pengetahuan yang bersifat neteral yang dapat membentuk kesadaran

manusia. Di dalam proses “mengetahui”, selalu saja terdapat pengaruh

dari adanya relasi antara kuasa dan pengetahuan. Perkembangan

mengenai pendidikan kritis (critical pedagogy) tidak lepas dari pemikiran

tokoh seperti Paulo Freire, Michael W. Apple, Henry A. Giroux, dan

Peter McLaren yang selalu menekankan bahwa masalah pendidikan

merupakan masalah politik. Poulo Reglus Neves Freire atau yang dikenal

dengan Paulo Freire melandasi pemikirannya dari pengalaman hidupnya,

kehidupan sosial dan politik di Brazil, dan pengaruh intelektual yang

diterimanya. Paulo Freire menekankan tiga hal dalam filsafat

pendidikannya,30

pertama masalah penindasan, kedua ketergantungan

kepada sumber-sumber pengetahuan eksternal dalam pengambilan

keputusan politik, ekonomi dan juga pendidikan, serta ketiga orang-orang

yang tersisih atau termarjinalisasi yang membentuk budaya bisu.

Dalam pandangan Paoulo Freire pendidikan, kekuasaan dalam

pendidikan, dan politik pendidikan merupakan suatu bentuk kolaborasi

yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Salah satu hasil karya

Paolu Freire yang terkenal adalah anologinya terhadap bentuk dan metode

28

H.A.R Tilaar, Perubahan sosial Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta : Gramedia.2002 hal. 243

29 M. Agus Nuryanto, 2008. Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan

Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book. 30

H.A.R. Tilaar, 2012. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalamPendidikan Nasional. Jakarta, Kompas. P. 234

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

19

pendidikan yang secara umum diterapkan hampir seluruh negara termasuk

pula negara berkembang yang diistilahkan kedalam Banking Concept of

Education (Pendidikan Gaya Bank). Paulo Freire mengkritisi proses

pendidikan yang dianalogikan seperti menabung di bank, di mana anak

didik dipandang sebagai “akun kosong” yang kemudian diisi oleh guru,

guru sebagai depositor atau investor yang mewakili lembaga-lembaga

kemasyarakatan mapan dan berkuasa mengisi akun kosong tersebut

dengan deposit yang berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada

anak didiknya yang kemudian menjadi tabungan atau penanaman modal

yang akan dipetik hasilnya kelak.31

Dalam pandangan Paulo freire tersebut menempatkan peran guru

sebagai subyek dan anak didik sebagai sebuah objek. Analogi ini

memiliki keterkaitan dengan kepentingan kelas berkuasa untuk

mempertahankan kekuasaan atas kelas yang dikuasai. Menurut Freire,

kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang negatif dan positif; sifatnya

dialektis tetapi made of operation-nya selalu represif.32

Kekuasaan

sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah tetapi

dipraktikkan melalui kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara

bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi

budaya yang berfungsi untuk membuat masyarakat diam. Pengetahuan

justru turut mempertahankan status quo dominasi ini.

Selanjutnya pemikir dalam critical Pedagogy (pendidikan kritis)

adalah Micheal W. Apple, dalam pandangannya Apple menekankan

bahwa studi kritis tentang pendidikan bukan hanya berkaitan dengan isu-

isuteknis tentang bagaimana mengajar secara efektif dan efisien, tapi lebih

dari itupendidikan kritis harus mengkaji bagaimana hubungan pendidikan

dengan ekonomi,politik dan budaya yang di dalamnya mengandung unsur

kuasa. Kajian pendidikan kritisseperti ini meniscayakan perlunya critical

31

Paulo Freire.2005. Pedagogy of the Opressed. 30th Anniversary Edition. New York & London: Continium. P. 11

32 Paulo Freire. 2004. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Terj. Agung

prohantoro Yogyakara: Pustaka Pelajar. P. 11

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

20

theoretical tools dan cultural and politicalanalyses untuk dapat

memahami fungsi-fungsi kurikulum dan pengajaran secara lebihterang.

Alat-alat analisis ini, bagi Apple, bertumpu pada dua konsep utama,

yaituideologi dan hegemoni, yang untuk beberapa lama telah diabaikan

dalam studikependidikan di dunia Barat. Melalui pandangannya ini,

Apple menyatakan bahwa pendidikan bukanlah sebuah kegiatan usaha

yang netral (education is not a neutral enterprise). Pendidik, secara sadar

atau tidak, sebenarnya telah terlibat dalam sebuah tindakan politik (a

political act).33

Sementara itu Henry A. Giroux menekankan bahwa pendidikan

kritis adalah “a project informed by a political vision”, yaitu adanya

hubungan antara pedagogi dan politik yang mengkonsepsikan bahwa

setiap praktik pendidikan mensyaratkan bentuk-bentuk relasi sosial, yang

mana bentuk-bentuk otoritas, nilai-nilai dan berbagai pertimbangan etis

secara konstan diperdebatkan dalam rangka menyediakan kondisi yang

dapat mengembangkan format-format demokrasi bagi agen politik dan

agen sosial.34

Dalam pandangan Giroux mengenai kontradiksi pendidikan

banyak menjelaskan berbagai distorsi terhadap praktik-praktik buruk

pendidikan yang berorientasikan efisiensi ekonomis .35

Pada dasarnya, Apple dan Giroux memiliki cara pandang yang

sama dalam melihat fenomena pendidikan. Apple melihat bahwa pasar

merupakan elemen yang sangat determinan dalam menggerakkan

pendidikan, khususnya menelaah sekolah. Berbeda dengan Giroux, ada

beberapa fokus Apple dalam menelaah tema ini. Pertama, Apple melihat

relasi antara kebijakan pendidikan dengan tingkat praksis serta relasi

antara kelompok dominan dan subordinat dalam masyarakat yang lebih

luas. Kedua, lebih jauh Apple melihat relasi antara dunia ekonomi yang

33

Michael W. Apple, (2004)Ideology dan Curriculum (Edisi III; New York: Routledge Falmer P.7-8 34

Henry A. Giroux, 2004.“Critical Pedagogy and the Postmodern/Modern Divide: Toward a Pedagogy of Democratization”, Teacher Education Quarterly, Vol. 31, No. 1P.36

35 Henry A. Giroux, 1997. Pedagogy and the Poilitics of Hope: Theory, Culture, and Schooling.

Colorado & Oxford: Westview Press. P.10

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

21

direpresentasikan melalui pasar dan dominasi kultural dalam konteks

ekonomi-politik di dunia pendidikan36

. Dalam penjelasannya, Apple

banyak menjelaskan keberadaan sekolah sebagai representasi dominasi

dan pertarungan tersebut. Lebih jauh Apple dalam Giroux dan Purpel

mengatakan bahwa :

“in advanced industrial societes, school becomes particularly

important as distributors this cultural capital…”37

Dominasi kultural dalam pandangan Apple dipahami sebagai

implikasi sosio kultural kelompok berkuasa terhadap kelompok lainnya

yang dianggap lebih lemah. Dengan demikian, ada reproduksi

ketimpangan sosio kultural akibat berbagai distorsi praktek pendidikan

yang terjadi di sekolah. Apple memang menjelaskan lebih mendalam

tentang reproduksi ekonomi, kultural dan ekonomi dalam sekolah

khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.

Senada dengan Friere, pendidikan kritis bagi McLaren secara pasti

merupakan pendidikan yang memiliki komitmen terhadap kaum tertindas

(the oppressed). McLaren memaknai pendidikan kritis sebagai cara

berpikir dan cara bernegosiasi melalui praxis yang menghubungkan

antara pengajaran di ruang kelas, produksi pengetahuan, struktur

institusional sekolah, dan relasi-relasi sosial dan material yang ada di

masyarakat dan negara. Peter McLaren berargumen bahwa sasaran

pendidikan kritis adalah memberdayakan kaum lemah (the powerless)

serta mengalahkan ketidaksamaan dan ketidakadilan. Pendidikan kritis

menolak sekolah-sekolah yang mendukung kuasa dominan dan

memelihara ketidaksamaan, bahkan pendidikan kritis mengharapkan

sekolah sebagai agen, yang mana pemberdayaan individu dan masyarakat

dapat ditingkatkan38

.

36

Michael W. Apple, (2004). Op.Cit P.24 37

Henry A. Giroux dan David Purpel (ed), (1983), The Hidden Curriculum and Moral Education, California: McCutchan Publishing Corporation P.83

38 Dikutip dari Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education

(Edisi V; New Jersey: Prentice-Hall, 1995), hal. 375.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

22

Dari pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan kritis diatas dapat

dilihat bahwa dimaknai para pendukungnya sebagai sebuah bentuk

pemikiran pendidikan yang tidak memisahkan antara teori dan praksis

yang tujuan utamanya adalah memberdayakan kaum tertindas agar

memiliki kesadaran untuk bertindak melalui praksis emansipatoris.

Pendidikan dalam pendidikan kritis mengandung visi politik, yang

melalui analisis ideologi dan hegemoni dapat ditelusuri unsur-unsur

kepentingan di dalam setiap sistem pendidikan. Pendidikan menurut

pendidikan kritis merupakan institusi yang tidak netral, tetapi mempunyai

komitmen untuk memberdayakan kaum tertindas dan kelompok-

kelompok yang disubordinasikan. Pendidikan kritis karenanya

mempertanyakan isi kurikulum, metode yang digunakan, serta lembaga-

lembaga pendidikan yang didirikan, dengan maksud menimbulkan

kesadaran bagi kaum tertindas untuk mengubah keadaan.

d. Analisis Wacana

Pada dasarnya wacana merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan

dengan kekuasaan, menurut Foucault, kuasa tidak bersifat distruktif

melainkan produktif: kuasa menyusun diskursus, pengetahuan, benda-

benda dan subjektivitas, kuasa menjadi strategi dan bukan menjadi

sesuatu yang dimilik.39

“Apa yang membuat kekuasan terlihat baik, apa yang membuatnya

diterima adalah fakta sederhana bahwa ia tidak hanya hadir di

depan kita sebagai kekuatan yang berkata tidak, namun ia juga

melintas dan memproduksi benda-benda, menginduksi kesenangan,

membentuk pengetahuan dan memproduksi wacana. Ia perlu

disadari sebagai jaringan produktif yang bekerja di seluruh

lembaga sosial, lebih daripada sekedar sebuah instasi negatif yang

berfungsi represif.”40

39

Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. Terj. Suyitno, dkk. 2007. Analisis Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 25.

40 Michel. Foucault. 2002. Power/Knowledge: Selected Interviews and Oter Writings, 1972-1977,

Terjemahan Wacana Kuasa/Pengetahuan: Wawancara Pilihan dan Tulisan-Tulisan 1972-1977. Jogjakarta, Bentang Budaya hlm.54

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

23

Sebagaimana telah dijelaskan diatas kekuasan erat kaitannya

dengan pengetahauan secara tidak langsung bersentuhan dengan kodrat

manusia untuk selalu mencari dan mengetahui. Foucault mendefinisikan

strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk

mengetahui. Melalui wacana (diskursus), kehendak untuk mengetahui

terumus dalam pengetahuan. Pengetahuan itu membutuhkan bahasa

sebagai sarana penyampaiannya. Bahasa menjadi alat untuk

mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil

bentuk pengetahuan, karena kuasa mendapatkan “kebenaran” dalam

pernyataan-pernyataan ilmiah.

Kridalaksana dalam Sinar mengatakan bahwa wacana adalah

satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan

gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk

karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya),

paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.41

Wacana adalah praksis sosial dalam bentuk interaksi simbolis yang

bisa terungkap dalam pembicaraan, tulisan, kial, gambar, diagram, film

atau musik. Didalam defenisi Ricoeur, wacana memiliki empat unsur.

Yaitu pertama, ada subjek yang menyatakan; kedua, kepada disampaikan;

ketiga, dunia atau wahana yang mau direpresentasikan; dan keempat,

temporalitas atau konteks waktu.42

Dalam konsep Foucault, diskursus mengandung pengertian akan

adanya kuasa (power) di balik pernyataan-pernyataan tersebut. Paham ini

mempercayai bahwa relasi kekuasaan dalam masyarakat mempengaruhi

dan membentuk cara-cara bagaimana kita saling berkomunikasi dan

bagaimana pengetahuan diciptakan. Diskursus dipercayai sebagai piranti

yang membentuk relasi kuasa dalam masyarakat melalui proses-proses

41

Sinar, Tengku Silvana. (2008). Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.

42 Paul, Ricoeur, (terjemahan), 2006, Hermenetics and the humansciences: Essays on language,

action and Interpretation, diterjemahkan oleh Muhammad Sukri dalam buku ‘Hermeneutika Ilmu Sosial’, Cetakan Pertama, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

24

pendefenisian, pengisolasian, pembenaran. Kuasa dalam diskursus

menentukan mana yang bisa dikatakan, mana yang tidak terhadap suatu

bidang tertentu, pada kurun waktu tertentu pula.

Analisis wacana dengan perspektif Foucaultian yang disarikan oleh

Eriyanto43

dari Sara Mills bukan sekadar mengenai pernyataan, tetapi juga

struktur dan tata aturan dari wacana. Poin-poin tersebut kemudian

dirangkum dalam terma produksi wacana yang di dalamnya juga memuat

struktur diskursif yang dapat membantu tahapan analisis berikutnya, yakni

melihat kecenderungan wacana dominan dan terpinggirkan. Dalam

praktiknya, akan dielaborasikan tahapan analisis dari kedua sumber utama

tersebut. Berikut merupakan bagan teknik analisis data yang akan

diterapkan dalam melakukan analisis wacana Foucaultian:

Gambar 1.1:Desain Analisis Wacana Foucalitian

Sumber : Analisis Wacana Foucault44

43

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hal 65-86. 44

Ibid.,

Kuasa Pengetahuan : “KEWIRAUSAHAAN”

Struktur Diskursif : “Wacana Pendidikan

Kewirausahaan”

Wacana Terpinggirkan

Wacana Dominan

Statement Episteme Archive

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

25

a. Kuasa Pengetahuan dan Struktur Diskursif

Foucault menyatakan bahwa bagaimana kita menginterpretasikan

objek danperistiwa dan menyusunnya dalam sistem makna bergantung

pada struktur diskursif45

. Struktur diskursif membentuk dan membatasi

persepsi dan tafsir atasobjek dan peristiwa sebagai hal yang nyata sehingga

memiliki dampak pada pemikiran dan perilaku. Struktur wacana

digunakan tidak untuk menyingkap kebenaran atau sumber pernyataan

tetapi untuk mengetahui mekanisme pendukung eksistensi wacana

tersebut46

. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide,

opini, konsep,dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu

shingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.

b. Wacana Dominan Dan Terpinggirkan

Bagi Foucault, wacana menyebabkan penyempitan wilayah konsep

seseorang, untuk mengeliminasi jangkauan luas fenomena yang ditentukan

sebagai hal nyata atau bernilai, dan kemudian membangun seperangkat

praktik diskursif47

. Pernyataan tersebut menggarisbawahi kecenderungan

dominasi wacana yang hadir dalam sosiokultural. Terdapat dua macam

konsekuensi dari wacana dominan48

. Pertama, wacana dominan

memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami,

sehingga terbentuk batasan sejauh mana objek tersebut harus didefinisikan

dan akan membentuk pola diskursif. Kedua, struktur diskursif atas suatu

objek tidaklah berarti kebenaran. Kuasa untuk memilih dan mendukung

wacana menjadikan wacana tertentu menjadi dominan, sedangkan wacana

lain akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged)49

.

Proses terpinggirkannya wacana membawa beberapa implikasi.

Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi

yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Kedua, bisa

45

Sara Mills. 2001. Discourse. UK: Taylor & Francis e-Library. Hal. 51. 46

Ibid. Hal. 49. 47

Ibid. Hal. 51. 48

Eriyanto. Op. Cit. Hal. 77. 49

Aditjondro, 1994. Dalam Eriyanto Op. Cit. Hal. 77.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

26

jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sehingga

seringkali seseorang atau suatu kelompok menjadi termarjinal lewat

penciptaan wacana tertentu50

. Dalam pemikiran Foucault tentang wacana,

terdapat konsep wacana yang terpinggirkan atau exclusions within

discourse. Hal itu ditegaskan dalam tulisan Foucault berjudul ―The Order

of Discourse‖ pada tahun 1981. Dalam ―The Order Of Disco urse‖,

Foucault mendeskripsikan proses eksklusi yang beroperasi pada wacana

untuk membatasi apa yang dikatakan dan apa yang dihitung sebagai

pengetahuan. Prosedur pertama dari penolakan disebut prohibiton atau

taboo51

.

Eksklusi tahap kedua ada pada yang disebut pusat di seputaran

wacana terkait mereka yang dianggap sadar maupun tidak rasional. Hal ini

digambarkan dengan kredibilitas dan otoritas produsen pesan yang

menjadi penentu nilai pesan dan perhatian audiens akan pesan52

. Misalnya

saja, pesan yang disampaikan oleh dokter maupun tokoh agama yang

memiliki otoritas dalam bidangnya akan lebih dipercaya oleh

lingkungannya. Eksklusi tahap ketiga memetakan apa yang dianggap

sebagai pernyataan yang menjadi bagian dari kerangka kerja diskursif.

Pada tahap ini, pernyataan akan dibagi antara pengetahuan yang diterima

sebagai kebenaran dan yang salah53

.

Terdapat sejumlah poin dalam wacana baik yang dominan maupun

yang terpinggirkan, yakni episteme, statement, dan archive. Sejumlah poin

tersebut merupakan cara di mana wacana tertentu bersirkulasi dan menjaga

eksistensi dampak yang dihasilkan oleh wacana54

.

i. Episteme

Episteme dipahami sebagai lahan pemikiran, dalam kasus

tertentu sejumlah pernyataan – dan bukan yang lainnya – akan

50

Riggins, 1997:10-11 dalam Eriyanto. Op Cit. Hal. 84. 51

Mills. Op. Cit. Hal. 63-64. 52

Ibid. Hal. 65. 53

Ibid. Hal. 66. 54

Ibid. Hal. 56.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

27

dihitung sebagai pengetahuan55

. Episteme terdiri dari jumlah total

struktur diskursif yang hadir tentang sebagai hasil interaksi

jangkauan wacana yang bersirkulasi dan terotorisasi pada waktu

tertentu. Episteme terkonstruksi dari seperangkat pernyataan

dikelompokkan ke dalam wacana yang berbeda atau kerangka kerja

diskursif.

ii. Statements

Pernyataan merupakan bangunan utama wacana. Dreyfus

dan Rabinow menyatakan bahwa pernyataan bukan merupakan

ujaran atau juga rencana, bukan juga entitas psikologis atau logis,

bukan juga bentuk peristiwa maupun ideal56

. Pernyataan bukan

merupakan ujaran, dalam kesan bahwa satu kalimat dapat berfungsi

sebagai sejumlah pernyataan berbeda, bergantung pada konteks

diskursif mana hal tersebut akan muncul. Dreyfus dan Rabinow

menjelaskan bahwa sejumlah ujaran secara faktual menyusun satu

pernyataan tunggal. Pernyataan baginya ujaran yang memiliki

kekuatan institusional dan divalidasi oleh sejumlah bentuk otoritas

– ujaran tersebut bagi mereka diklasifikasikan sebagai ‗ in the

true‟57

. Ujaran dan teks tersebut yang membuat sejumlah bentuk

pernyataan kebenaran (dan berapa banyak yang tidak) dan yang

diterima sebagai pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai

pernyataan. Analisis archaeological Foucault fokus dengan sistem

pendukung yang mengatur produksi dan urutan pernyataan, serta

sistem eksklusi ujaran lain yang tidak termasukdalam posisi ‗in the

true‟58

.

55

Ibid. Hal. 56. 56

Dreyfus, Hubert L dan Paul Rabinow. 1982. Michel Foucault : Beyond Structuralism and Hermeneutics (2nd Ed.). USA: The University of Chicago Press.

57 Foucault. Op. Cit Hal. 224

58 Mills. Op. Cit. Hal. 61.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

28

iii. Archive

Struktur diskursif lain keunikan Foucault adalah archive.

Foucault mendeskripsikan archive dalam sejumlah istilah, yakni 1)

batasan dan bentuk expressibility ; 2) batasan bentuk conservation;

3) batasan dan bentuk memori; dan 4) batasan dan bentuk

reactivation59

. Archive dapat dilihat sebagai seperangkat

mekanisme diskursif yang membatasi apa yang dikatakan, dalam

bentuk apa dan apa yang dihitung sebagai yang bernilai untuk

diketahui dan diingat. Merupakan kesan batasan yang perlu

ditentukan dalam sejumlah detail, karena krusial pada pemaknaan

konstitusi struktur diskursif 60

. Dalam konteks penelitian ini yang

menjadi objek utama adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan

dalam penerapan wacana MKDU Kewirausahaan ini terutama pada

perguruan tinggi yang kemudian diklasifikasiksan dalam sejumlah

tema dan dianalisis dengan tiga poin tersebut sekaligus.

F. Definisi Konseptual

Guna memberikan arahan pada fokus penelitian, agar dapat mudah

dipahami, maka peneliti membuat pembatasan dan penugasan sebagai berikut:

a) Kuasa pengetahuan merupakan suatu bentuk lain kuasa yang tidak

selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan melalui

klaim kebenaran dalam pengaetahuan tersebut yang bekerja melalui

normalisasi dan regulasi.

b) Wacana adalah sesuatu yang menghasilkan kebenaran dan

pengetahuan tertentu yang kemudian menimbulkan efek kuasa melalui

sirkulasi episteme. Statement, dan arcihive.

c) Episteme merupakan jumlah total struktur diskurtif yang hadir sebagai

hasil interaksi jangkauan wacana yang bersirkulasi dan terotoritasi

pada waktu tertentu.

59

Foucault.1978. Op. Cit. Hal. 14-15. 60

Mills. Op. Cit. Hal. 63.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

29

d) Statement adalah ujaran teks yang memiliki kekuatan institusional dan

divalidasi oleh sejumlah bentuk otoritas yang diklasifikasikan sebagai

sebuah kebenaran

e) Archive adalah seperangkat mekanisme diskurtif yang membatasi apa

yang dikatakan, dalam bentuk apa dan apa yang dihitung sebagai yang

bernilai untuk diketahui dan diingat.

f) Wacana Dominan adalah struktur diskurtif yang diterima dan didukung

oleh banyak objek wacana, yang kemudian turut dilaksanakan oleh

objek tersebut.

g) Wacana Terpinggirkan adalah struktur-struktur diskurtif lain yang

berbeda dengan wacana dominan.

h) Pendidikan kritis merupakan sudut pandang dalam melihat dunia

pendidikan dalam prespektif kritis, di mana dunia pendidikan tidak lagi

berada dalam hakikat pendidikan sesungguhnya, karena pendidikan

kini tidak terlepas dari struktur ekonomi yang menggerakkannya,

melalui hegemoni dan ideologi yang ditanamkan dalam dunia

pendidikan tersebut.

G. Definisi Operasional

Defenisi Operasional ialah hasil elaborasi antara konsep teoritik dengan

fenomena yang terjadi dalam penelitian ini. Tujuannya untuk menghubungkan

antara teori dengan kasus empiris yang terjadi di lapangan, sehingga digunakan

isitilah-istilah sebagai berikut :

a) Kuasa pengetahuan ialah bagaimana negara melalui kemensritekdikti

membangun pengetahuan “kewirausahaan” sebagai sesuatu yang

disusun, dimapankan dan diwujudkan di perguruan tinggi Indonesia.

b) Wacana disini diartikan sebagai pendidikan kewirausahaan yang

kemudian menjadi sebuah kebenaran yang dipahami oleh perguruan

tinggi di Indonesia.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

30

c) Episteme disini diartikan sebagai “kewirausahaan” yang menjadi

pengetahuan umum yang diterima dan dilaksanakan oleh perguruan

tinggi Indonesia.

d) Statement adalah setiap pernyataan yang terkait dengan wacana

pendidikan kewriausahaan di perguruan tinggi Indonesia.

e) Archive merupakan bentuk-bentuk pembatasaan pandangan terhadap

“kewirausahaan” yang dilakukan baik oleh wacana dominan maupun

wacana terpinggirkan dalam bentuk regulasi-regulasi dan aturan-aturan

terkait soal wacana pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi

Indonesia.

f) Wacana Dominan ialah setiap struktur wacana dari perguruan tinggi

yang mendukung pendidikan kewirausahaan.

g) Wacana Terpinggirkan disini diartikan sebagai Uniersitas Gadjah

Mada yang memiliki wacanan yang berbeda dengan wacana dominan

yakni pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi Inodonesia.

h) Pendidikan kritis disini digunakan untuk melihat hakikat dasar

pendidikan yang sesungguhnya.

H. Alur Pikir Penelitian.

Kuasa bagi Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikian”, di mana

seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu, kuasa, menurut Foucault tidak

dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi

yang berkaitan satu sama lain.61

Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan

susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Bagi Foucault

kekuasaan terakumulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya

obyek kuasa. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena

pengetahuan berguna bagi kuasa, tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan

sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Kebenaran dari pengetahauan akan

menimbulkan efek kuasa. Kebenaran ini, tidak dipahami sebagai sesuatu yang

datang dari langit, tetapi ia diproduksi, di mana setiap kekuasaan menghasilkan

61

Ibid., hlm : 66

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

31

dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk

mengikuti kebenaran tersebut.

Dengan memahami jalan pikiran Foucault, kita dapa melihat keberadaan

kuasa negara menjadikannya memiliki kesempatan untuk membentuk ritus

kebenannya sendiri. Kuasa pengetahuan “kewirausahaan” merupakan contoh

bagaimana negara mencoba menggunakan kesempatan kuasanya dalam

pengetahuan untuk membentuk pengetahauan sebagaimana negara pahami. Kuasa

pengetahuan ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk yang lebih formal melalui

pembangunan struktur-struktur wacana yang dapat menunjang terlaksananya

kuasa pengetahuan “kewirausahaan” melalui kebijakan pendidikan

kewirausahaan. Kebijakan-kebijakan pendidikan kewirausahaan ini yang

kemudian memiliki target implementasi utama yakni perguruan tinggi. Wacana

pendidikan kewirasuahaan di pergurgurruan tinggi di Indonesia memunculkan

beragaram innterpretasi yang tergolong dalam dua wacana utama yakni : wacana

dominan bagi perguruan tinggi yang memiliki pemahaman sama dengan

pengetahuan “kewirausahaan” yang dibangun negara, dan wacana terpinggirkan

bagi perguruan tinggi yang memiliki pandangan berbeda terhadap pemahaman

pengetahuan “kewirausahaan” tersebut. Kedua wacana masing memilik tiga basis

utama dalam menopang wacananya, yakni episteme, statement, dan archive. Inilah

yang kemudian ingin digali dalam penelitian ini, yang kesemuanya digambarkan

dalam kerangka konseptual berikut ini :

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

32

Gambar 1.2 : Alur Pikir Penelitian

Sumber : Olahan Penelitian, 2017

I. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan alat bedah yang dipergunakan dalam

penelitian sebagai cara untuk memperoleh jawaban dari permasalahan

penelitian. Pemilihan metode yang digunakan haruslah dapat mencerminkan

relevansi paradigma teori hingga kepada metode yang digunakan dalam

penelitian agar berjalan beriringan, yang kesemuanya itu harus sesuai pula

dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian.

KUASA NEGARA

“KEWIRAUSAHAAN” Sebagai Kuasa Pengetahuan

Struktur Diskurtif yang dibangun melalui :

“WACANA PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN”

Perguruan Tinggi di Indonesia

Wacana Dominan

Wacana Terpinggirkan

target

Basis Diskursus : - Episteme - Statement - Archive

interpretasi

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

33

a. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana dengan

pendekatan kualitatif. Sebagai bagian dari metode penelitian sosial

dengan pendekatan kualitatif, analisis wacana ini dalam proses

penelitiannya tidak hanya mencari makna yang terdapat pada sebuah

naskah, melainkan seringkali menggali apa yang terdapat di balik naskah

menurut paradigma penelitian yang digunakan.

Dalam penelitian ini digunakan analisis wacana Michel Foucault,

pada analisis wacana ini wacana dipahami tidak hanya sebagai studi

bahasa. Bahasa dianalisis dengan menguhubungkannya dengan konteks,

konteks yang dimaksudkan disini adalah bahasa dipakai untuk tujuan dan

praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan. Foucault menawarkan

konsepsi wacana dominan dan wacana pinggiran dalam melihat kuasa.

Keberadaan pendidikan kewirausahaan pada perguruan tinggi di

Indonesia dapat dilihat dari keberadaan-keberadaan kebijakan perguruan

tinggi dalam penerapan wacana ini, terdapat universitas-universitas yang

memasukkan Kewirausahan sebagai kurikulum yang wajib diajarkan di

program studinya, dilain sisi UGM mengambil langkah berbeda dengan

tidak “memaksa” program studi untuk memasukkan pendidikan

kewirausahaan sebagai kruikulum yang wajib diajarkan, oleh karena itu

keberadaan analisis wacana foucault dirasakan dapat membantu dalam

melihat praktik “kuasa” apa yang terjadi dalam penerapan pendidikan

Kewirausahaan ini.

b. Teknik Pengumpula Data

Teknik pengumpulan data merupakan cara memperoleh informasi

atau data yang membantu dalam sebuah penelitian. Sumber dikumpulkan

melalui beberapa metode berikut ini :

- Wawancara

Wawancara dalah metode pengumpulan data dngan cara

komunikasi antara pewawancara dengan informan. Di mana

dalam penelitinan ini yang menjadi key informan adalah

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

34

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai

creator wacana pendidikan kewirausahaan dan Universitas

Gadjah Mada sebagai pihak yang “resistensi” terhadap wacana

pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi Indonesia.

- Studi literatur

Studi literatur digunakan untuk menghimpun keseluruhan data

berkaitan dengan tema penelitian. Studi literatur merupakan

pencarian data melalui buku, majalah, artikel, jurnal koran,

media online dan sabagainya, yang berisi dokumen-dokumen

teks serta kutipan-kutipan pernyataan yang berkaitan dengan

kebijakan-kebijakan yang menyangkut penerapan pendidikan

kewirausahaan.

- Dokumentasi

Dokumentasi bertujuan sebagai bukti tambahan atas data tertentu

sehingga data dapat disampiakan lebih akurat. Teknik ini

merupakan poin pendukung untuk justifikasi data lapangan yang

telah diperoleh. Dokmuentasi yang dimaksud ialah seperti

dokementasi yang terkait dengan program-program serta

regulasi-regulasi mengenai wacana pendidikan kewiraushaan ini.

c. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnyadi

mana proses analisis data didasarkan pada analaisis wacana Michel

Foucault. Tahapan analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini

adalah elabaorasi analisis wacana Foucaultian yang diadopsi oleh

Eriyanto.62

Di mana dalam pandangan Foucault, wacana dikontrol, dipilih,

dan dikelola. Sehingga dengan menggunakan perspektif Foucault, dapat

membedah konsep kuasa dalam penerapan pendidikan kewirauhsaan di

Perguruan Tinggi Indonesia.

Ada bebera tahapan yang dilalui dalam menganalisa wacana

menggunakan prepektif Foucault. Pertama, untuk mengetahui bagaimana

62

Ibid. Hal. 65.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/154615/potongan/S2-2017... · Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum sepenuhnya

35

kuasa pengetahuan “kewirausahaan” dibangun, perlu kiranya mengetahui

bagaiamana struktur diskurtif dari kuasa pengetahuan tersebut terbentuk,

hal ini dilakukan dengan memetakan struktur-struktur diskurtif yang ada

dengan cara menganalisanya menggunakan prespektif sejarah. Dengan

memahami sejarah dari pembentukan kuasa pengetahuan tersebut

kemudian akan ditemuakan “diskontiniutas” atau yang lebih dipahami

Foucault sebagai retakan. Dari retakan ini kita dapat memahami

bagaimana kuasa pengetahuan “kewirasuahaan” tersebut dapat terbentuk.

Kedua, setelah meamahami bagaimana kuasa pengetahuan tersebut

terbentuk melalui retakan-retakan yang terjadi, selanjutnya yang

dilakukan adalah memetakan bagaimana interpretasi dari struktur wacana

yang telah terbangun. Dalam penelitian ini struktur wacana yang

terbentuk berupa kebijakan pendidikan kewirasuahaan yang memiliki

target implementasi yakni perguruan tinggi di Indonesia. Interpretasi dari

keberadaan struktur wacana tersebut juga menjadikan perlu kemudian

untuk memetakan wacana dominan dan wacana terpinggirkan yang lahir

dari interpretasi terhadap struktur wacana yang terbentuk tersebut.

Ketiga, pemetaan terhadap wacana dominan dan wacana

terpinggirkan tidak lepas dari mengetahui basis dari setiap wacana

tersebut, dalam hal ini Foucault telah memberikan tools utama berupa

basis yang pasti ada baik dalam wacana dominan maupun wacana

terpinggirkan, basis tersebut berupa episteme, statement, dan archive yang

merupakan penopang utama dari bangunan wacana, baik wacana dominan

maupun wacanan terpinggirkan.