Upload
dinhthu
View
232
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tulisan ini berangkat dari pandangan kritis terhadap kurikulum pendidikan
di Indonesia terutama kurikulum perguruan tinggi. Penulis mencoba untuk melihat
bagaimana keberadaan kuasa negara dalam kurikulum di perguruan tinggi yang
ada di Indonesia yang dituangkan dalam kuasa pengetahuan. Pasal 31 ayat (3)
UUD 1945 mengamanatkan agar negara mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Amanat konstitusi menjadikan pemerintah Indonesiamerefleksikannya
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi sebagai perwujudan
jaminan terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Keberadaan
perguruan tinggi adalah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang
memiliki peran yang strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan
memajukanilmu pengetahuan dan teknologi denganmemperhatikan dan
menerapkan nilai humanioraserta pembudayaan dan pemberdayaan1. Untuk
mewujudkan peran yang dimiliki perguruan tinggi sebagai kesatuan kegiatan
pendidikan, perguruan tinggi memiliki kurikulum dan metode pembelajaran
tertentu yang diterapkan dalam kelembagaannya2.
Dalam perkembangannya, pendidikan Indonesia mengalami perubahan
yang cukup signifikan, baik secara penerapan serta tujuannya. Sejarah mencatat
bahwa perubahan sosial politik yang terjadi juga memberikan dampak tersendiri
1 Konsideran menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan
Tinggi 2 Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi.
2
terhadap perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia. Pendidikan pada Era
Orde Lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali
kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan.
Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana
pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan
bangsa Indonesiadi masa mendatang. Pada prinsipnya, konsep sosialisme dalam
pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok
tanpa memandang kelas sosial3.
Pergantian rezim pemerintahan kepada Orde Baru juga berdampak
signifikan terhadap pendidikan di Indonesia, pada masa ini pendidikan dimasuki
oleh politik praktis dan dijadikan kendaraan politik. Sehingga pada masa itu
dimulainya pendidikan indoktrinisasi, yaitu menjadikan pendidikan sebagai alat
untuk mempertahankan kekuasaan. Orde Baru memandang pendidikan hanya
digunakan untuk menegakkan ideologi dominan penguasa. Proses indoktrinisasi
terjadi dalam penataran P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila)
yang dilakukan di setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga
perguruan tinggi, dengan tujuan utama menanamkan orientasi politik agar semua
rakyat selalu patuh pada setiap kebijakan negara.
Peralihan ke masa Reformasi memberikan angin segar terhadap
pendidikan Indonesia. Era Reformasi memberikan ruang yang cukup besar bagi
perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat lebih demokratis.
Pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik menjadi desentralistik pada
penerapan kurikulumnya, hal ini juga yang dirasakan pada tataran pendidikan
tinggi.Undang-UndangNomor 12 Tahun 2012 tentangperguruantinggi menjamin
setiap perguruan tinggi memiliki otonomi dalam mengelola lembaganya4.
Namun pada prinsipnya keberadaan perguruan tinggi yang otonom belum
sepenuhnya terwujud. Arah kurikulum perguruan tinggi secara tidak langsung
3 Yamin, Martinis dan Maisah, (2009). Manajemen Pembelajaran Kelas(Strategi Meningkatkan
Mutu Pembelajaran), Jakarta, Gunung Persada (GP Press). 4 Otonomi diberikan kepada perguruan tinggi bertujuan untuk mengembangkan budaya
akademik bagi civitas akademika yang dilakukan melalui pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Perguruan Tinggi melalui kebebasan akademik dan mimbar akademik, serta otonomi keilmuan.
3
juga ikut terpengaruh oleh perkembangan sosial politik yang terjadi di Indonesia.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya keberadaan ideologi rezim negara juga turut
mempengaruhi perkembangan kurikulum pendidikannya, hal ini terlihat dari masa
Orde Lama yang mengimplikasikan ciri sosialisnya dalam pendidikan pada masa
tersebut, begitu pula pada rezim Orde Baru yang begitu kental dengan
indoktrinisasi dalam dunia pendidikannya. Pengaruh perkembangan sosial politik
pada saat ini juga berimplikasi terhadap perubahan kurikulum yang ada di
perguruan tinggi, fokus rezim kekuasaan pada masa Reformasi hingga saat ini
adalah pertumbuhan ekonomi yang kemudian juga dapat dirasakan dalam
pelaksanaan pendidikandi perguruan tinggi, hal ini dapat dilihat dalam penerapan
wacana pendidikan kewirausahaan yang diterapkan diperguruan tinggi Indonesia.
Wacana pendidikan kewirausahaan ini lahir, tidak terlepas dari permasalahan
pengangguran yang ada di Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia pada Agustus 2016 tercatat
pengangguran di Indonesia sebesar 7,03 juta jiwa, di mana tingkat pengangguran
terbuka menurut pendidikan didominasi oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
11,11 persen, disusul Sekolah Menengah Atas sebesar 8,73 persen, Diploma 6,04
persen, Sarjana 4,87 persen, Sekolah Menengah Pertama 5,75 persen, dan Sekolah
Dasar ke bawah 2,88 persen5. Dari data tersebut dapat terlihat bahwa perguruan
tinggi menghasilkan 766 ribu pengangguran yang ada di Indonesia.Keberadaan
pengangguran dari perguruan tinggi ini menjadikan dasar negara melakukan
perubahan terhadap kebijakan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi.
Dengan kuasa yang dimilikinya negara mencoba menanamkan kuasa pengetahuan
“kewirausahaan” melalui konstruksi wacana pendidikan kewirausahaan di
perguruan tinggi Indonesia. Pertama,negara menjadikan wacana pendidikan
kewirausahaan sebagai sebuah kebijakan generale yang diterapkan diseluruh
perguruan tinggi di Indonesia melalui program-program kewirausahaan, seperti
program wirausaha mahasiswa, kompetisi bisnis mahasiswa Indonesia, program
belajar bekerja terpadu, expo kewirausahaan mahasiswa Indonesia, dan program-
5 Badan Pusat Statistik, 2016. “Berita Resmi Statistik November 2016”. Jakarta
4
program lain yang mendukung terwujudnya wirausahawan dari perguruan tinggi
Indonesia.
Kedua, negara melalui “kuasa” regulasinya, mendesain regulasi atau
aturan-aturan yang mendukung wacana pendidikan kewirausahaan ini, di mana
negara melalui regulasi tersebut mengatur agar wacana ini terlaksana di perguruan
tinggi Indonesia.Pengaturan yang dilakukan negara dilakukan dengan mengatur
seperti misalnya capaian pembelajaran mahasiswa,6 yang harus terkait dengan
kewirausahaan, kemudian bentuk pengaturan yang dilakukan negara adalah
dengan menambahkan kewirausahaan sebagai general education atau MKDU
yang diajarkan diperguruan tinggi. Keberadaan matakuliah kewirausahaan
menarik untuk ditelisik, karena keberadaannya sebagai matakuliah yang dapat
meningkatkan kemampuan kompetensi mahasiswabaik hardskill ataupun softskill
untuk membentuk karakter wirausaha, dengan harapan dapat membuka peluang
usaha secara mandiri, menjadi contoh bagaimana negara coba menanamkan cita-
cita pertumbuhan ekonomi yang menjadi ciri rezim penguasa pada saat ini.
Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) atau general education7yang wajib
diajarkan di setiap perguruan tinggi di Indonesia.Sebagian dari MKDU telah
dinyatakan dalam pasal 35 ayat (3) sebagai mata kuliah wajib, yaitu Agama,
Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Dalam rangka
menyempurnakan capaian pembelajaran, maka MKDU ditambah dengan bahasa
6 Dalam Lampiran Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Indonesia. Pada rumusan sikap, setiap lulusan program pendidikan akademik, vokasi, dan profesi harus memiliki sikap sebagai berikut : point (j) menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan. Pada rumusan keterampilan umum, lulusan program profesi, spesialis wajib memilikiketerampilan umum sebagai berikut : program profesi point (c) mampu mengomunikasi-kan pemikiran/argumen atau karya inovasi yang bermanfaat bagi pengembangan profesi dan kewirausahaan, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika profesi, kepada masyarakat terutama masyarakat profesinya; program spesialis point (c) mampu mengomunikasikan hasil kajian, kritik, apresiasi, argumen, atau karya inovasi yang bermanfaat bagi pengembangan profesi, kewirausahaan, dan kemaslahatan manusia, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etika profesi, kepada masyarakat umum melalui berbagai bentuk media;
7 General education adalah merupakan pengembangan daya kemampuan manusia, pendidikan
komprehensif untuk meningkatkan kemampuan intelektual-rasional (kognitif), emosional yang penuh kesadaran (afektif) dan keterampilan dalam arti yang seluas-luasnya (kognitif-afektif dan psikomotor) dan berlaku untuk semua orang secara umum (Klafki dalam Abu Ahmadi (1997))
5
Inggris, Kewirausahaan, dan mata kuliah yang mendorong pada pengembangan
karakter lainnya, baik yang terintegrasi maupun individu. Sebagai general
education, mata kuliah kewirausahaan yang diajarkandiseluruhjurusan yang ada di
perguruantinggibaikitudengan basis keilmuaneksaktamaupunsocial, bertujuan
untuk membentuk karakter wirausaha atau minimal mahasiswa menambah
pengetahuan mahasiswa mengenai seluk-beluk bisnis baik dari sisi softskill
maupun hardskill sehingga mahasiswa mampu memanfaatkan peluang-peluang
yang ada di sekitarnya dalam menciptakan usaha sendiri setelah lulus maupun saat
masih kuliah8. Bentuk keseriusan negara dalam penerapan MKDU Kewirausahaan
ini terlihat dari adanyakebijakan-kebijakan yang menunjang spirit kewirausahaan
hadir dalam lingkungan kampus.
Keberadaan wacana pendidikan kewirausahaan memberikan gambaran
bahwa kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai kebutuhan dan
kepentingan masing-masing perguruan tinggi belum sepenuhnya
terjadi/terwujud.Hal yang positif memang bila melihat perubahan ataupun
pengembangan kebijakan pendidikan pada perguruan tinggi dengan melihat
perkembangan zaman. Namun akan berbeda hasilnya jika perubahan maupun
pengembangan kurikulum tersebut disertai dengan kepentingan-kepentingan dari
beberapa pihak tertentu. Ada beberapa pandangan kuat yang disampaikan para
pendidik radikal bahwa pendidikan dan penyelenggaraan proses belajar mengajar
pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik dan sistem sosial
ekonomi dalam kekuasaan yang ada.
Pada dasarnya kondisi negara dan kekuatan sosial politik yang tengah
berkuasa dapat tercermin dari pendidikannya. Pendidikan menjadi refleksi dari
orde penguasa yang ada. Menurut Micheal W. Apple, kurikulum pendidikan yang
berlaku sebenarnya merupakan sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan.
Dengan keberadaan kurikulum, negaramenjadikan pendidikan sebagai sarana
rekayasa dalam rangka mengkekalkan struktur kekuasaannya. Di mana masalah
pendidikan sesungguhnya adalah masalah politik namun bukan dalam artian yang
8 Dirjen Dikti, 2013. “Modul Pembelajaran Kewirausahaan”, Jakarta.
6
praktis9.Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah memang merupakan alat yang
efisien bagi upaya menjaga satus quo10
. Jhon C. Bock mengidentifikasi salah satu
peran pendidikan bila dilihat dari fungsi politik pendidikannya adalah untuk
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa11
.Olehkarenanya
dalam pendidikan tersalur kemauan-kemauan politik atau sistem kekuasaan dalam
suatu masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Secara tidak langsung suatu
sistem pendidikan secara sadar atau tidaknya, mau tidak mau melaksanakan cita-
cita suatu negara “rezim goals”.
Bila melihat kekuasaan dalam tulisan ini dimaknai sebagai sebuah bentuk
refleksi kuasa terhadap pengetahuan, salah satu pandangan yang cukup relevan
dalam membahas kuasa disini sebagaimana pandangan Michel Foucault terhadap
kekuasaan-pengetahuan, menurutnya pengetahuan telah terinstitusionalisasai
sebagai kuasa. Pengetahuan memiliki kuasa untuk memaksa seseorang
mengatakan hal-hal tertentu, dalam studinya tentang kegilaan, misalnya, Foucault
berusaha menangkap disposisi pengetahuan atas pemaknaannya terhadap
normalitas sebagai lawan dari abnormalitas atau kegilaan12
.
Pemantapan pengetahuan sehingga ia menjadi khas, melibatkan
berlangsungnya operasi kekuasaan yang tidak lepas dari bagaimana pengetahuan
yang ilmiah berelasi dengan pengetahuan awam. Pemantapan itu berlangsung
pada level wacana (discourse). Sebagai sebuah episteme, dalam hubungannya
dengan pengetahuan ilmiah ia tidak lagi berdiri sebagai suatu cara pandang dalam
melihat pembedaan dan pemisahan antara yang benar dari yang salah, melainkan
pemisahan dalam ranah praktis antara yang mungkin dari yang tidak mungkin
dilakukan atau dipikirkan dengan pendasaran pengetahuan yang ilmiah. Melalui
episteme, strategi beroperasinya kekuasaan dalam pengetahuan dapat diketahui13
.
9 Michael W. Apple. 2004. Ideology and Curriculum,3rd Edition. New York &London: Routledge
Farmer. 10
Freire, P. 2005. Pedagogy of the Opressed. 30th Anniversary Edition. New York & London: Continium
11 Jhon C. Bock, 1992. Education and Development: A Conflict Meaning
12 Foucault. The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I, Penguin,Harmondsworth (first
published 1972). 13
dalam Abdil Mughis, 2013. Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik. Jakarta. Masyarakat: Jurnal Sosiologi
7
Dalam pandangan diatas kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan
represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja
secara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif.
Pandangan Foucault ini menunjukkan bahwa kuasa berada dalam posisi yang
tidak tampak. Artinya, karena wujud kekuasaan itu tidak nampak, maka
beroperasinya kekuasaan menjadi tidak disadari dan memang tidak dirasakan oleh
individu sebagai praktek kekuasaan yang sebenarnya mengendalikan tubuh
individu akan tetapi pada dasarnya kekuasaan dapat diketahui dan dirasakan
melalui efek-efeknya. Pandangan ini yang kemudian dilihat cukup relevan bila
melihat bagaimana konstruksi kuasa dalam wacana Pendidikan Kewirausahaan di
Perguruan Tinggi Indonesia.
Ketika mencermati fenomena pendidikan kewirausahaan di perguruan
tinggi Indonesia, ada hal yang menarik di manadalam proses interpretasinya
terdapat perbedaan di beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas Gadjah Mada
yang gencar dengan Socio Entrepeneur agak berbeda ketika menginterpretasikan
kebijakan Pendidikan Kewirausahaan ini terlihat dari Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politiknya yang tidak menerapkan mata kuliah ini dalam proses
pembelanjarannya. Di lain sisi FISIPOL UGM pada dasarnya tidak sepenuhnya
menolak keberadaan kebijakan pendidikan kewirausahaan, hal ini dibuktikan
dengan ingin diwujudkannyaFISIPOL sebagai Center of Excellent for Global
Social Enterpreneur melalui keberadaan Youth Study Center. Hal ini
menunjukkan bahwa keberadaan kewirausahaan pada dasarnya tidak ditolak
sepenuhnya, hanya saja tidak dimasukkan kedalam struktur pembelajaran
sebagaimana yang diharapkan negara melalui MKDU Kewirausahaan
tersebut.Fenomena-fenomena ini yang kemudian menimbulkan pertanyaan
menggelitik mengenai apa yang sebenarnya diharapan negara ketika memilih dan
menerapkan kewirausahaan sebagai kuasa pengetahuannya?, apakah setiap
mahasiswa harus menjadi seorang pengusaha? dan apakah negara tidak percaya
terhadap perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan-lulusannya?. Hal ini
sebenarnya yang mengantarkan penulis untuk melihat lebih jauh bagaimana
konteks kuasa yang ada dalam kebijakan Pendidikan Kewirausahaan, yang
8
kemudian penulis tuangkan dalam tulisan yang berjudul : “Kuasa Negara dan
Kebijakan Pendidikan Kewirausahaan (Analisis WacanaPendidikan
Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka peneliti
merumuskan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini yang ditunjukkan
dalam pertanyaan berikut ini:
1. Bagaimana kuasa negara direpresentasikan dalam Wacana Pendidikan
Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia?
2. Bagaimana Universitas Gadjah Mada menginterpretasikan wacana
Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengidentifikasi praktik-praktik kuasa negara dalam produksi dan
konsumsi wacana Wacana Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan
Tinggi Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana negara merepresentasikan kuasanya dalam
Wacana Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia.
3. Untuk mengetahui penyebab perbedaan interpretasi perguruan tinggi
dalam Wacana Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi Indonesia.
D. Kajian Literatur
Ada beberapa kajian yang cukup relevan dengan penelitian ini, di mana
kajian-kajian ini cukup menunjukkan adanya power atau kuasa dalam pendidikan.
Seperti tesis Amir Mahmud (2014) yang mengangkat tema tentang Dinamika
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Rifaiyah, dalam tesis ini Amir
Mahmud coba melihat bagaimana pengembangan kurikulum pendidikan pesantren
yang merupakan salah satu soko guru pendidikan nasional di Indonesia.
9
Tesis ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh kepemimpinan pesantren
dalam pengembangan kurikulum pendidikan pesantren, pergantian pemimpin
membawa dampak yang signifikan terhadap kebijakan dan orientasi perubahan
kurikulum pendidikan pesantren, pergantian kepemimpinan pesantren membawa
sebuah dinamika perubahan dan perkembangan. Perubahan dan dinamika
perkembangan kurikulum pesantren Rifaiyah lebih banyak dipengaruhi faktor
kepemimpinan pesantren yang membawa orientasi pendidikan pesantren, bahkan
perubahan kurikulum nasional tidak memberikan signifikansi perubahan yang
berarti terhadap kurikulum pesantren14
.
Selanjutnya disertasi oleh Ridhah Taqwa yang berjudul Relasi Kekuasaan
dalam Institusi Pendidikan, Studi Kasus di Sekolah „Aizifah Yogyakarta‟, di mana
temuannya adalah wacana kebenaran bersumber dari nilai-nilai agama dan
kemajuan menjadi arena bersemayamnya kepentingan kekuasaan dan ekonomi
oleh pihak dominan. Praktek dominasi dikondisikan oleh struktur organisasi
sekolah yang hierearkis dan perbedaan kepemilikan modal sosial yang memberi
ruang terbuka bagi pihak pemilik modal untuk melakukan praktik dominasi
melalui wacana representasi dan kebenaran. Modal tersebut berupa otoritas,
pengetahuan, konstruksi, dan wacana ideologi yang dalam proses beroperasinya
saling bersinergi, tidak hanya berlaku pada era kekuasaan pengurus, tetapi juga
pada era kekuasaan sekolah. Disertasi ini menjelaskan adanya kekuasaan itu
dalam pendidikan islam di bawah kekuasaan Kementrian Agama Republik
Indonesia15
.
Kemudian relasi kuasa dan pendidikan juga tidak hanya terjadi di
Indonesia, disertasi yang ditulis oleh Ye Wengbei (2011) dengan judul Power and
School-based Curriculum Development in Moral Education in China. Penelitian
ini dilakukan untuk melihat bagaimana School-based Curriculum Development in
Moral Education (SBCDME) atau pengembangan kurikulum berbasis sekolah
dalam pendidikan moral di China. Dalam penelitian yang dilakukan di daerah
14
Amir Mahmud, 2014. “Dinamika Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren Rifaiyah”, Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta
15 Ridhah Taqwa, 2010. Relasi Kekuasaan dalam Institusi Pendidikan, Studi Kasus di Sekolah
‘Aizifah Yogyakarta’. Unversitas Gadjah Mada.
10
yang sedang berkembang dan di daerah yang sudah maju ini, ditemukan bahwa
pengembangan kurikulum berbasis sekolah dalam pendidikan moral masih belum
sepenuhnya terwujud, hal ini yang diistilahkan Ye Wengbei dengan semi-
emansipatoris dalam hubungan redistribusi kuasa dalam SBCDME, istilah ini
muncul karena melihat studi yang dilakukan di bebarapa daerah tersebut
menyoroti pengaruh dari pemerintah daerah, masyarakat, kuasa orang tua dalam
sekolah yang turut membentuk hubungan kekuasaan di SBCDME, penelitian ini
telah memperdalam pemahaman tentang isu-isu kompleks yang berkaitan dengan
hubungan sekolah dan kekuasaan dalam pengembangan kurikulum dan
pendidikan moral Cina16
.
Dari ketiga penelitian diatas dapat dilihat persamaan mendasar pada fokus
penelitian ketiganya yaitu unsur kuasa yang terdapat dalam kurikulum pendidikan
secara umum, Amir Mahmud yang menunjukkan kurikulum pesantren
dipengaruhi oleh kepemimpinan pesantren tersebut, penelitian kedua Ridhah
Taqwa yang juga meneliti kuasa dalam sekolah agama pada khususnya tidak
terlepas dari kuasa dan dominasi ekonomi yang disebabkan oleh adanya ruang
terbuka wacana representasi dan kebenaran dalam dominasi terhadap struktur
organisasi sekolah yang hierearkis dan perbedaan kepemilikan modal sosial.
Selanjutnya penelitian oleh Ye Wengbei yang menunjukkan ketidak mampuan
sekolah secara utuh melaksanakan kurikulum berbasis sekolah dalam pendidikan
moral di China, karena masih adanya pengaruh dari pemerintah daerah,
masyarakat, kuasa orang tua dalam sekolah yang turut membentuk hubungan
kekuasaan di sistem kurikulum ini.
Kemudian ada beberapa tulisan ataupun penelitian yang lebih
menunjukkan unsur kuasa secara spesifik dalam kurikulum pendidikan, di mana
mata pelajaran yang akan diajarkanpun tidak luput dari unsur kuasa didalamnya,
seperti tulisan Samsuri tentang Kurikulum Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan: Dari Politik Rezim ke Politik Negara untuk Membangun
16
Ye Wengbei, 2011, University of Hong Kong, Power and School-based Curriculum Development in Moral Education in China.
11
Warga Negara Ideal17
, tulisan ini mencoba untuk memperlihatkan Kurikulum
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang ada selama ini pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai cara untuk membangun karakter warga
negara yang ideal, meskipun secara nomenkelatur sering berubah setiap adanya
pergantian kurikulum akibat pergantian rezim penguasa ataupun karena penataan
kurikulum nasional. Namun, secara sadar tulisan ini juga menunjukkan adanya
perbedaan penafsiran dari setiap perubahan kurikulum Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang disebabkan oleh bagaimana pemerintah pada masa itu
menafsirkan kurikulum tersebut, seperti pada masa Orde Baru yang menampilkan
Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang cenderung
menampilkan nilai-nilai Pancasila secara―indoktrinatif dalam sajian
pembelajarannya, begitu pula pada masa Reformasi yang “bebas” juga berdampak
pada kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang terlihat dari
perubahan nomenkelatur PKn menjadi PPKn, dengan maksud menjadikan PPKn
bukan sekedar membubuhkan pilar-pilar kebangsaan namun juga sebagai haluan
politik negara untuk membangun karakter warga negara yang sejalan dengan cita-
cita nasional, sekaligus berwawasan mendunia. Perubahan ideologi rezim
pemerintahan pada masa Reformasi juga ditunjukkan penulis dari
kekhawatirannya terhadap pengadaan buku teks yang mengalami “liberalisasi”
sehingga meruntuhkan visi misi serta substansi pendidikan pancasila di sekolahan.
Kemudian penulis menyimpulkan bahwa perkembangan kurikulum pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan ini tentu tidak akan punya arti apa-apa dalam
kerangka pembentukan modal sosial warga negara, jika ia merasa cukup puas
dengan perubahan yang ada tanpa diiringi perubahan secara sistemik (seperti
profesionalisme guru dan model pembelajaran dan penilaian, iklim politik dan
sosial).
17
Makalah disajikan di Seminar Nasional ―Menyongsong Kurikulum Nasional,‖ Pengurus Pusat IKAPI, Aula Perpustakaan Nasional Jakarta, 29 Oktober 2012. Bahan diskusi ini beberapa bagian telah disajikan dalam laporan penelitian Hibah Program Doktor di SPs UPI (2009) dan disertasi penulis (Samsuri, 2010), serta ―Focus Group Discussion Materi Ajar dan Metodologi Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan‖ IAIN Surakarta (18 September 2012).
12
Selanjutnya Kuasa Negara Dalam Pendidikan (Studi Analisis Wacana
Kritis Pada KBK, KTSP dan Kurikulum 2013 Untuk Mata Pelajaran Sosiologi
SMA) yang ditulis oleh Sri Wahyuni, di mana thesis ini menggambarkan bahwa
adanya kuasa negara dalam perkembangan kurikulum sekolah menengah di
Indonesia terutama dalam mata pelajaran sosiologi. Perkembangan kurikulum
pendidikan di Indonesia yang sering berganti yang difokuskan pada KBK, KTSP,
dan Kurikulum 2013 menunjukkan adanya kuasa negara. Hal ini diperkuat penulis
dari hasil temuannya yang menunjukkan bahwa tema-tema ideologi negara
cenderung muncul dalam pembelajaran sosilogi adalah perubahan sosial budaya
(KBK), masyarakat multikultural dan lembaga social (KTSP), serta masyarakat
multikultural (Kurikulum 2013). Kuasa negara yang direpresentasikan melalui
tema-tema ideologi tersebut tidak lepas dari praktik produksi, distribusi dan
konsumsi teks. Negara melakukan dominasi produksi teks kurikulum melalui
BSNP, kontrol atas teks melalui Purkurbuk, kontrol atas distribusi melalui
BPSDMP dan PMP, dan kontrol komunikasi melalui Puspendik di bawah
Kementrian Pendidikan Nasional18
.
Dari kedua tulisan diatas dapat dilihat bahwa kuasa yang ada dalam
pendidikan tidak hanya sebatas ada dalam kurikulum secara general, namun dapat
lebih spesifik lagi kepada mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, dan Sosiologi. Dari pemaparan kajian literatur diatas terlihat
bahwa kajian mengenai kuasa dalam kurikulum pendidikan kebanyakan dalam
tatanan sekolah baik tingkat dasar maupun tingkat atas, yang menjadi pembeda
dalam penelitian ini adalah melacak representasi kuasa negara dalam kurikulum
pendidikan tinggi dengan fokus utama pada mata kuliah “wajib” kewirausahaan.
E. Landasan Teoritik
a. Kekuasaan
Secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang
pelaku untuk mempengaruhi perilaku sesorang pelaku lain, sehingga
perilakunya menjadi sesuai keinginan pelaku yang mempunyai 18
Sri Wahyuni, Kuasa Negara Dalam Pendidikan (Studi Analisis Wacana Kritis Pada KBK, KTSP dan Kurikulum 2013 Untuk Mata Pelajaran Sosiologi SMA), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
kekuasaan19
. Bicara mengenai kekuasan berpangkal tolak dari perumusan
sosiolog Max Wabber dalam bukunya Wirtschaft und Gessellshaft yang
menjelaskan kekuasaan sebagai kemampuan dalam suatu hubungan
sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan,
dan apapun dasar kemampuan ini.20
Sementara itu pemikiran mengenai kekuasaan juga dijelaskan oleh
Harlod D. Leswell dan Abraham Kaplan, yang mendefenisikan kekuasaan
sebagai suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat
menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari
pihak pertama.21
Biasanya kekuasaan diselenggarakan (exercise of power)
melalui isyarat yang jelas, ini sering diisyaratkan sebagai manifest power.
Namun terkadang isyarat itu tidak ada, misalnya adalam keadaan yang
oleh Carl Friedrich dinamakan the rule of anticipated reactions. Perilaku
B ditentukan oleh reaksi yang diantisipasi jika keinginan A tidak
dilakukan oleh B. Bentuk kekuasaan ini sering dinamakan kekuasan
implisit (implisit power).22
Bila berbicara mengenai kekuasaan tidak lepas dari mana
kekuasaan tersebut berasal, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa
seseorang memiliki kekuasaan? Apa sumber dari kekuasaan yang dimiliki
tersebut? Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan, atau
kepercayaan.23
Kekuasaan tersebut memiliki cakupan kekuasaan (scope of
power) yang menunjuk pada kegiatan, perilaku serta sikap dan keputusan-
keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Selain kekuasaan
memiliki scope, kekuasaan juga memiliki wilayah kekuasaan (domain of
power) yang mencangkup siapa-siapa saja yang dikuasai oleh orang atau
19
Budiardjo, Miriam, 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. P. 59 20
dalam Budiardjo, Ibid P. 59 21
dalam Budiardjo, Ibid P. 59 22
Budiardjo, Ibid P. 60 23
Budiardjo, Ibid P. 61
14
kelompok yang berkuasa, jadi menunjuk pada pelaku, kelompok
organisasi atau kolektivitas yang terkena kekuasaan.24
a) Kekuasaan dan Pengetahuan
Sebagaimana dijelaskan diatas kuasa terjadi baik secara
eksplisit maupun inplisit, salah satu bentuk sebagaimana disinggung
pada bagian sebelumnya pandangan Michel Foucault cukup relevan
untuk membahas mengenai kekuasaan-pengetahuan, menurutnya
pengetahuan telah terinstitusionalisasai sebagai kuasa. Pengetahuan
memiliki kuasa untuk memaksa sesorang mengatakan hal-hal
tertentu, dalam studinya tentang kegilaan, misalnya, Foucault
berusaha menangkap disposisi pengetahuan atas pemaknaannya
terhadap normalitas sebagai lawan dari abnormalitas atau kegilaan.25
Pemantapan pengetahuan sehingga ia menjadi khas,
melibatkan berlangsungnya operasi kekuasaan yang tidak lepas dari
bagaimana pengetahuan yang ilmiah berelasi dengan pengetahuan
awam. Pemantapan itu berlangsung pada level wacana (discourse).
Sebagai sebuah episteme, dalam hubungannya dengan pengetahuan
ilmiah ia tidak lagi berdiri sebagai suatu cara pandang dalam melihat
pembedaan dan pemisahan antara yang benar dari yang salah,
melainkan pemisahan dalam ranah praktis antara yang mungkin dari
yang tidak mungkin dilakukan atau dipikirkan dengan pendasaran
pengetahuan yang ilmiah. Melalui episteme, strategi beroperasinya
kekuasaan dalam pengetahuan dapat diketahui.26
Dalam pandangan diatas kuasa tidak selalu bekerja melalui
penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan
regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, melainkan
dengan cara positif dan produktif. Pandangan Foucault ini
24
Budiardjo, Ibid P. 61 25
Foucault, 1978. The History of Sexuality: An Introduction, Vol. I, Penguin,Harmondsworth (first published 1972).
26 Dalam Abdil Mughis, 2013. Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik.
Jakarta. Masyarakat: Jurnal Sosiologi
15
menunjukkan bahwa kuasa berada dalam posisi yang tidak tampak.
Artinya, karena wujud kekuasaan itu tidak nampak, maka
beroperasinya kekuasaan menjadi tidak disadari dan memang tidak
dirasakan oleh individu sebagai praktik kekuasaan yang sebenarnya
mengendalikan tubuh individu akan tetapi pada dasarnya kekuasaan
dapat diketahui dan dirasakan melalui efek-efeknya.
b. Kekuasaan dalam Pendidikan
Terdapat kaitan yang erat bila melihat antara pendidikan dan
kekuasaan, adanya kekuasaan menyebabkan terjadinya pendidikan. Yang
kemudian menjadi masalah adalah apakah kekuasaan tersebut sesuai
dengan arah dari proses pendidikan? Proses pendidikan adalah proses
pembebasan dengan jalan memberikan peserta didik suatu kesadaran akan
kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasan kepada dirinya
untuk menjadi individu. Sedangkan yang dimaksud dengan proses
melaksanakan kekuasaan berarti proses menguasai. Artinya ada yang
melaksanakan kuasa (penguasa) dan ada yang dikuasai atau menjadi objek
penguasa.
Menelisik pada pendidikan tidak lepas kaitannya dengan
bagaimana pengetahuan dikonstruksikan pada peserta didik.
Pengkonstruksian dilakukan melalui aktifitas atau proses belajar mengajar
yang dilakukan antara guru dan murid, proses ini menjadikan guru
sebagai pengkonstruksi pengetahuan murid karena dianggap guru adalah
orang yang mengetahui segalanya. Kemudian menurut Tilaar Ada empat
masalah yang berkenaan dengan pelaksanaan (praksis)pendidikan
berdasarkan kekuasaan, yaitu:27
a) Domestifikasi dan stupidifikasi
Proses domestifikasi atau penjinakan akan membunuh
kreativitas danmenjadikan peserta didik sebagai robot-robot yang
sekedar menerima transmisinilai-nilai kebudayaan yang ada. Proses
27
H.A.R. Tilaar, (2009). Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan. Jakarta : Rineka Cipta
16
pendidikan yang berjalan lancar sesuaidengan petunjuk-petunjuk,
baik yang digariskan oleh penguasa ataupun yang dibuat oleh
lembaga pendidikan itu sendiri. Baik guru maupun peserta didik
mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari
bahan pelajaran menurut buku teks yang tersedia, melaksanakan
ujian-ujian dan penilaian akhir dari kelas atau jenjang pendidikan
yang sudah ditentukan. Praksis pendidikan seperti ini yang menjadi
tempat menjinakkan pribadi-pribadi agar patuh pada kemauan
tuannya, sehingga proses pendidikan menjadi proses domestifikasi
anak manusia. Hasilnya, bukan pembebasan melainkan
pembodohan (stupidisasi). Proses domestikasi dalam pendidikan
disebut juga imperialisme pendidikan dan kekuasaan. Peserta didik
menjadi subjek eksploitasi oleh suatu kekuasaan di luar pendidikan
dan menjadikan peserta didik sebagai budak dan alat-alat dari
penjajahan mental dari yang mempunyai kekuasaan.
b) Indoktrinasi
Kurikulum yang berlaku merupakan sarana indoktrinasi
dari suatu sistem kekuasaan. Penyusunan kurikulum di Indonesia
yang selalu berganti-ganti menunjukkan kekuasaan yang berlaku
dalam penentuan isi kurikulum sesuai dengan sistem pemerintahan
pada waktu itu. Melalui kurikulum inilah terjadi proses
indoktrinasi, yaitu proses untuk mengekalkan struktur kekuasaan
yang ada. Apabila kurikulum berisi indoktrinasi maka cara
menyampaikan proses belajar mengajar juga mengikuti pola
indoktrinasi. Pola proses belajar mengajar dalam rangka
domestifikasi dan indoktrinasi jelas merupakan suatu proses
transmitif dari kebudayaan. Manajemen yang cocok dalam proses
indoktrinasi tentunya harus terpusat dan mudah dikontrol.
c) Demokrasi
Inti dari pendidikan demokratis yaitu agar mampu
menghadapi masalah hidup yang problematik dengan alternatif-
17
alternatif yang dikembangkan oleh kemampuan akal budinya untuk
mencari solusi yang terbaik. Tumbuhnya demokrasi dalam proses
pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme
dalam pendidikan. Multikulturalisme melihat sumber kekuasaan
bukan dari segi yang monolitik melainkan dari segi yang beragam
atau demokratis.
d) Integrasi Sosial
Integrasi sosial tidak dapat diciptakan dalam pemaksaan
melalui sumber kekuasaan dari atas, tetapi tumbuh dari bawah
masyarakat adat. Inilah makna desentralisasi dan otonomi
pendidikan. Suatu sistem pendidikan yang otoriter akan mematikan
kemampuan untuk mengembangkan budaya lokal. Disinilah letak
pekerjaan rumah dari sistem pendidikan nasional di Indonesia,
yaitu untuk mengembangkan budaya lokal dengan menempatkan
sumber kekuasaan di tingkat lokal dan mengembangkan solidaritas
sosial pada tingkat bangsa juga nasional.
c. Pendidikan Kritis
Pendidikan merupakan pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik.
Pendidikan menjadikan prosesnya harus berjalan dengan kebijakan
“Learning Process Skill” daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan
proses akan ditandai dengan kurikulum yang student centered, bukan
teacher centered. Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa aliran-aliran
pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kritis. Di mana pada pendidikan
konservatif, pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara
bagi kaum liberal pendidikan ada untuk perubahan moderat, sedangkan
paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental
dalam politik, ekonomi, masyarakat di mana pendidikan berada.
Menurut Thomas Popkewitz, pendidikan kritis adalah sebutan bagi
pendidikan yang menekankan pentingnya daya kritis peserta didik dalam
18
kaitannya dengan pendidikan disekolah, budaya, masyarakat, ekonomi
dan pemerintah.28
Pendidikan kritis melihat masalah pendidikan dengan
berfikir kritis untuk mengakses dan mengevaluasi kenyataan-kenyataan
yang dihadapi. Dengan demikian, pendidikan kritis tidaklah melihat
pendidikan hanya dalam skala mikro tetapi juga dalam skala makro.
Selanjutnya M. Agus Nuryanto menjelaskan pendidikan kritis (critical
pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan
politik dalam suatu aktifitas pendidikan.29
Pendidikan kritis menjelaskan bahwa secara pasti tidak ada
pengetahuan yang bersifat neteral yang dapat membentuk kesadaran
manusia. Di dalam proses “mengetahui”, selalu saja terdapat pengaruh
dari adanya relasi antara kuasa dan pengetahuan. Perkembangan
mengenai pendidikan kritis (critical pedagogy) tidak lepas dari pemikiran
tokoh seperti Paulo Freire, Michael W. Apple, Henry A. Giroux, dan
Peter McLaren yang selalu menekankan bahwa masalah pendidikan
merupakan masalah politik. Poulo Reglus Neves Freire atau yang dikenal
dengan Paulo Freire melandasi pemikirannya dari pengalaman hidupnya,
kehidupan sosial dan politik di Brazil, dan pengaruh intelektual yang
diterimanya. Paulo Freire menekankan tiga hal dalam filsafat
pendidikannya,30
pertama masalah penindasan, kedua ketergantungan
kepada sumber-sumber pengetahuan eksternal dalam pengambilan
keputusan politik, ekonomi dan juga pendidikan, serta ketiga orang-orang
yang tersisih atau termarjinalisasi yang membentuk budaya bisu.
Dalam pandangan Paoulo Freire pendidikan, kekuasaan dalam
pendidikan, dan politik pendidikan merupakan suatu bentuk kolaborasi
yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Salah satu hasil karya
Paolu Freire yang terkenal adalah anologinya terhadap bentuk dan metode
28
H.A.R Tilaar, Perubahan sosial Pendidikan, Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta : Gramedia.2002 hal. 243
29 M. Agus Nuryanto, 2008. Mazhab Pendidikan Kritis Menyikap Relasi Pengetahuan Politik dan
Kekuasaan. Yogyakarta: Resist Book. 30
H.A.R. Tilaar, 2012. Pengembangan Kreativitas dan Entrepreneurship dalamPendidikan Nasional. Jakarta, Kompas. P. 234
19
pendidikan yang secara umum diterapkan hampir seluruh negara termasuk
pula negara berkembang yang diistilahkan kedalam Banking Concept of
Education (Pendidikan Gaya Bank). Paulo Freire mengkritisi proses
pendidikan yang dianalogikan seperti menabung di bank, di mana anak
didik dipandang sebagai “akun kosong” yang kemudian diisi oleh guru,
guru sebagai depositor atau investor yang mewakili lembaga-lembaga
kemasyarakatan mapan dan berkuasa mengisi akun kosong tersebut
dengan deposit yang berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada
anak didiknya yang kemudian menjadi tabungan atau penanaman modal
yang akan dipetik hasilnya kelak.31
Dalam pandangan Paulo freire tersebut menempatkan peran guru
sebagai subyek dan anak didik sebagai sebuah objek. Analogi ini
memiliki keterkaitan dengan kepentingan kelas berkuasa untuk
mempertahankan kekuasaan atas kelas yang dikuasai. Menurut Freire,
kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang negatif dan positif; sifatnya
dialektis tetapi made of operation-nya selalu represif.32
Kekuasaan
sebagai sebuah bentuk dominasi tidak dipaksakan pemerintah tetapi
dipraktikkan melalui kekuasaan, teknologi dan ideologi yang secara
bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi
budaya yang berfungsi untuk membuat masyarakat diam. Pengetahuan
justru turut mempertahankan status quo dominasi ini.
Selanjutnya pemikir dalam critical Pedagogy (pendidikan kritis)
adalah Micheal W. Apple, dalam pandangannya Apple menekankan
bahwa studi kritis tentang pendidikan bukan hanya berkaitan dengan isu-
isuteknis tentang bagaimana mengajar secara efektif dan efisien, tapi lebih
dari itupendidikan kritis harus mengkaji bagaimana hubungan pendidikan
dengan ekonomi,politik dan budaya yang di dalamnya mengandung unsur
kuasa. Kajian pendidikan kritisseperti ini meniscayakan perlunya critical
31
Paulo Freire.2005. Pedagogy of the Opressed. 30th Anniversary Edition. New York & London: Continium. P. 11
32 Paulo Freire. 2004. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Terj. Agung
prohantoro Yogyakara: Pustaka Pelajar. P. 11
20
theoretical tools dan cultural and politicalanalyses untuk dapat
memahami fungsi-fungsi kurikulum dan pengajaran secara lebihterang.
Alat-alat analisis ini, bagi Apple, bertumpu pada dua konsep utama,
yaituideologi dan hegemoni, yang untuk beberapa lama telah diabaikan
dalam studikependidikan di dunia Barat. Melalui pandangannya ini,
Apple menyatakan bahwa pendidikan bukanlah sebuah kegiatan usaha
yang netral (education is not a neutral enterprise). Pendidik, secara sadar
atau tidak, sebenarnya telah terlibat dalam sebuah tindakan politik (a
political act).33
Sementara itu Henry A. Giroux menekankan bahwa pendidikan
kritis adalah “a project informed by a political vision”, yaitu adanya
hubungan antara pedagogi dan politik yang mengkonsepsikan bahwa
setiap praktik pendidikan mensyaratkan bentuk-bentuk relasi sosial, yang
mana bentuk-bentuk otoritas, nilai-nilai dan berbagai pertimbangan etis
secara konstan diperdebatkan dalam rangka menyediakan kondisi yang
dapat mengembangkan format-format demokrasi bagi agen politik dan
agen sosial.34
Dalam pandangan Giroux mengenai kontradiksi pendidikan
banyak menjelaskan berbagai distorsi terhadap praktik-praktik buruk
pendidikan yang berorientasikan efisiensi ekonomis .35
Pada dasarnya, Apple dan Giroux memiliki cara pandang yang
sama dalam melihat fenomena pendidikan. Apple melihat bahwa pasar
merupakan elemen yang sangat determinan dalam menggerakkan
pendidikan, khususnya menelaah sekolah. Berbeda dengan Giroux, ada
beberapa fokus Apple dalam menelaah tema ini. Pertama, Apple melihat
relasi antara kebijakan pendidikan dengan tingkat praksis serta relasi
antara kelompok dominan dan subordinat dalam masyarakat yang lebih
luas. Kedua, lebih jauh Apple melihat relasi antara dunia ekonomi yang
33
Michael W. Apple, (2004)Ideology dan Curriculum (Edisi III; New York: Routledge Falmer P.7-8 34
Henry A. Giroux, 2004.“Critical Pedagogy and the Postmodern/Modern Divide: Toward a Pedagogy of Democratization”, Teacher Education Quarterly, Vol. 31, No. 1P.36
35 Henry A. Giroux, 1997. Pedagogy and the Poilitics of Hope: Theory, Culture, and Schooling.
Colorado & Oxford: Westview Press. P.10
21
direpresentasikan melalui pasar dan dominasi kultural dalam konteks
ekonomi-politik di dunia pendidikan36
. Dalam penjelasannya, Apple
banyak menjelaskan keberadaan sekolah sebagai representasi dominasi
dan pertarungan tersebut. Lebih jauh Apple dalam Giroux dan Purpel
mengatakan bahwa :
“in advanced industrial societes, school becomes particularly
important as distributors this cultural capital…”37
Dominasi kultural dalam pandangan Apple dipahami sebagai
implikasi sosio kultural kelompok berkuasa terhadap kelompok lainnya
yang dianggap lebih lemah. Dengan demikian, ada reproduksi
ketimpangan sosio kultural akibat berbagai distorsi praktek pendidikan
yang terjadi di sekolah. Apple memang menjelaskan lebih mendalam
tentang reproduksi ekonomi, kultural dan ekonomi dalam sekolah
khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.
Senada dengan Friere, pendidikan kritis bagi McLaren secara pasti
merupakan pendidikan yang memiliki komitmen terhadap kaum tertindas
(the oppressed). McLaren memaknai pendidikan kritis sebagai cara
berpikir dan cara bernegosiasi melalui praxis yang menghubungkan
antara pengajaran di ruang kelas, produksi pengetahuan, struktur
institusional sekolah, dan relasi-relasi sosial dan material yang ada di
masyarakat dan negara. Peter McLaren berargumen bahwa sasaran
pendidikan kritis adalah memberdayakan kaum lemah (the powerless)
serta mengalahkan ketidaksamaan dan ketidakadilan. Pendidikan kritis
menolak sekolah-sekolah yang mendukung kuasa dominan dan
memelihara ketidaksamaan, bahkan pendidikan kritis mengharapkan
sekolah sebagai agen, yang mana pemberdayaan individu dan masyarakat
dapat ditingkatkan38
.
36
Michael W. Apple, (2004). Op.Cit P.24 37
Henry A. Giroux dan David Purpel (ed), (1983), The Hidden Curriculum and Moral Education, California: McCutchan Publishing Corporation P.83
38 Dikutip dari Howard A. Ozmon dan Samuel M. Craver, Philosophical Foundations of Education
(Edisi V; New Jersey: Prentice-Hall, 1995), hal. 375.
22
Dari pemikiran-pemikiran mengenai pendidikan kritis diatas dapat
dilihat bahwa dimaknai para pendukungnya sebagai sebuah bentuk
pemikiran pendidikan yang tidak memisahkan antara teori dan praksis
yang tujuan utamanya adalah memberdayakan kaum tertindas agar
memiliki kesadaran untuk bertindak melalui praksis emansipatoris.
Pendidikan dalam pendidikan kritis mengandung visi politik, yang
melalui analisis ideologi dan hegemoni dapat ditelusuri unsur-unsur
kepentingan di dalam setiap sistem pendidikan. Pendidikan menurut
pendidikan kritis merupakan institusi yang tidak netral, tetapi mempunyai
komitmen untuk memberdayakan kaum tertindas dan kelompok-
kelompok yang disubordinasikan. Pendidikan kritis karenanya
mempertanyakan isi kurikulum, metode yang digunakan, serta lembaga-
lembaga pendidikan yang didirikan, dengan maksud menimbulkan
kesadaran bagi kaum tertindas untuk mengubah keadaan.
d. Analisis Wacana
Pada dasarnya wacana merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dengan kekuasaan, menurut Foucault, kuasa tidak bersifat distruktif
melainkan produktif: kuasa menyusun diskursus, pengetahuan, benda-
benda dan subjektivitas, kuasa menjadi strategi dan bukan menjadi
sesuatu yang dimilik.39
“Apa yang membuat kekuasan terlihat baik, apa yang membuatnya
diterima adalah fakta sederhana bahwa ia tidak hanya hadir di
depan kita sebagai kekuatan yang berkata tidak, namun ia juga
melintas dan memproduksi benda-benda, menginduksi kesenangan,
membentuk pengetahuan dan memproduksi wacana. Ia perlu
disadari sebagai jaringan produktif yang bekerja di seluruh
lembaga sosial, lebih daripada sekedar sebuah instasi negatif yang
berfungsi represif.”40
39
Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise J. Terj. Suyitno, dkk. 2007. Analisis Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 25.
40 Michel. Foucault. 2002. Power/Knowledge: Selected Interviews and Oter Writings, 1972-1977,
Terjemahan Wacana Kuasa/Pengetahuan: Wawancara Pilihan dan Tulisan-Tulisan 1972-1977. Jogjakarta, Bentang Budaya hlm.54
23
Sebagaimana telah dijelaskan diatas kekuasan erat kaitannya
dengan pengetahauan secara tidak langsung bersentuhan dengan kodrat
manusia untuk selalu mencari dan mengetahui. Foucault mendefinisikan
strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk
mengetahui. Melalui wacana (diskursus), kehendak untuk mengetahui
terumus dalam pengetahuan. Pengetahuan itu membutuhkan bahasa
sebagai sarana penyampaiannya. Bahasa menjadi alat untuk
mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil
bentuk pengetahuan, karena kuasa mendapatkan “kebenaran” dalam
pernyataan-pernyataan ilmiah.
Kridalaksana dalam Sinar mengatakan bahwa wacana adalah
satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk
karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya),
paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.41
Wacana adalah praksis sosial dalam bentuk interaksi simbolis yang
bisa terungkap dalam pembicaraan, tulisan, kial, gambar, diagram, film
atau musik. Didalam defenisi Ricoeur, wacana memiliki empat unsur.
Yaitu pertama, ada subjek yang menyatakan; kedua, kepada disampaikan;
ketiga, dunia atau wahana yang mau direpresentasikan; dan keempat,
temporalitas atau konteks waktu.42
Dalam konsep Foucault, diskursus mengandung pengertian akan
adanya kuasa (power) di balik pernyataan-pernyataan tersebut. Paham ini
mempercayai bahwa relasi kekuasaan dalam masyarakat mempengaruhi
dan membentuk cara-cara bagaimana kita saling berkomunikasi dan
bagaimana pengetahuan diciptakan. Diskursus dipercayai sebagai piranti
yang membentuk relasi kuasa dalam masyarakat melalui proses-proses
41
Sinar, Tengku Silvana. (2008). Teori dan Analisis Wacana. Pendekatan Sistemik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
42 Paul, Ricoeur, (terjemahan), 2006, Hermenetics and the humansciences: Essays on language,
action and Interpretation, diterjemahkan oleh Muhammad Sukri dalam buku ‘Hermeneutika Ilmu Sosial’, Cetakan Pertama, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
24
pendefenisian, pengisolasian, pembenaran. Kuasa dalam diskursus
menentukan mana yang bisa dikatakan, mana yang tidak terhadap suatu
bidang tertentu, pada kurun waktu tertentu pula.
Analisis wacana dengan perspektif Foucaultian yang disarikan oleh
Eriyanto43
dari Sara Mills bukan sekadar mengenai pernyataan, tetapi juga
struktur dan tata aturan dari wacana. Poin-poin tersebut kemudian
dirangkum dalam terma produksi wacana yang di dalamnya juga memuat
struktur diskursif yang dapat membantu tahapan analisis berikutnya, yakni
melihat kecenderungan wacana dominan dan terpinggirkan. Dalam
praktiknya, akan dielaborasikan tahapan analisis dari kedua sumber utama
tersebut. Berikut merupakan bagan teknik analisis data yang akan
diterapkan dalam melakukan analisis wacana Foucaultian:
Gambar 1.1:Desain Analisis Wacana Foucalitian
Sumber : Analisis Wacana Foucault44
43
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Hal 65-86. 44
Ibid.,
Kuasa Pengetahuan : “KEWIRAUSAHAAN”
Struktur Diskursif : “Wacana Pendidikan
Kewirausahaan”
Wacana Terpinggirkan
Wacana Dominan
Statement Episteme Archive
25
a. Kuasa Pengetahuan dan Struktur Diskursif
Foucault menyatakan bahwa bagaimana kita menginterpretasikan
objek danperistiwa dan menyusunnya dalam sistem makna bergantung
pada struktur diskursif45
. Struktur diskursif membentuk dan membatasi
persepsi dan tafsir atasobjek dan peristiwa sebagai hal yang nyata sehingga
memiliki dampak pada pemikiran dan perilaku. Struktur wacana
digunakan tidak untuk menyingkap kebenaran atau sumber pernyataan
tetapi untuk mengetahui mekanisme pendukung eksistensi wacana
tersebut46
. Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide,
opini, konsep,dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu
shingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
b. Wacana Dominan Dan Terpinggirkan
Bagi Foucault, wacana menyebabkan penyempitan wilayah konsep
seseorang, untuk mengeliminasi jangkauan luas fenomena yang ditentukan
sebagai hal nyata atau bernilai, dan kemudian membangun seperangkat
praktik diskursif47
. Pernyataan tersebut menggarisbawahi kecenderungan
dominasi wacana yang hadir dalam sosiokultural. Terdapat dua macam
konsekuensi dari wacana dominan48
. Pertama, wacana dominan
memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami,
sehingga terbentuk batasan sejauh mana objek tersebut harus didefinisikan
dan akan membentuk pola diskursif. Kedua, struktur diskursif atas suatu
objek tidaklah berarti kebenaran. Kuasa untuk memilih dan mendukung
wacana menjadikan wacana tertentu menjadi dominan, sedangkan wacana
lain akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged)49
.
Proses terpinggirkannya wacana membawa beberapa implikasi.
Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi
yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Kedua, bisa
45
Sara Mills. 2001. Discourse. UK: Taylor & Francis e-Library. Hal. 51. 46
Ibid. Hal. 49. 47
Ibid. Hal. 51. 48
Eriyanto. Op. Cit. Hal. 77. 49
Aditjondro, 1994. Dalam Eriyanto Op. Cit. Hal. 77.
26
jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sehingga
seringkali seseorang atau suatu kelompok menjadi termarjinal lewat
penciptaan wacana tertentu50
. Dalam pemikiran Foucault tentang wacana,
terdapat konsep wacana yang terpinggirkan atau exclusions within
discourse. Hal itu ditegaskan dalam tulisan Foucault berjudul ―The Order
of Discourse‖ pada tahun 1981. Dalam ―The Order Of Disco urse‖,
Foucault mendeskripsikan proses eksklusi yang beroperasi pada wacana
untuk membatasi apa yang dikatakan dan apa yang dihitung sebagai
pengetahuan. Prosedur pertama dari penolakan disebut prohibiton atau
taboo51
.
Eksklusi tahap kedua ada pada yang disebut pusat di seputaran
wacana terkait mereka yang dianggap sadar maupun tidak rasional. Hal ini
digambarkan dengan kredibilitas dan otoritas produsen pesan yang
menjadi penentu nilai pesan dan perhatian audiens akan pesan52
. Misalnya
saja, pesan yang disampaikan oleh dokter maupun tokoh agama yang
memiliki otoritas dalam bidangnya akan lebih dipercaya oleh
lingkungannya. Eksklusi tahap ketiga memetakan apa yang dianggap
sebagai pernyataan yang menjadi bagian dari kerangka kerja diskursif.
Pada tahap ini, pernyataan akan dibagi antara pengetahuan yang diterima
sebagai kebenaran dan yang salah53
.
Terdapat sejumlah poin dalam wacana baik yang dominan maupun
yang terpinggirkan, yakni episteme, statement, dan archive. Sejumlah poin
tersebut merupakan cara di mana wacana tertentu bersirkulasi dan menjaga
eksistensi dampak yang dihasilkan oleh wacana54
.
i. Episteme
Episteme dipahami sebagai lahan pemikiran, dalam kasus
tertentu sejumlah pernyataan – dan bukan yang lainnya – akan
50
Riggins, 1997:10-11 dalam Eriyanto. Op Cit. Hal. 84. 51
Mills. Op. Cit. Hal. 63-64. 52
Ibid. Hal. 65. 53
Ibid. Hal. 66. 54
Ibid. Hal. 56.
27
dihitung sebagai pengetahuan55
. Episteme terdiri dari jumlah total
struktur diskursif yang hadir tentang sebagai hasil interaksi
jangkauan wacana yang bersirkulasi dan terotorisasi pada waktu
tertentu. Episteme terkonstruksi dari seperangkat pernyataan
dikelompokkan ke dalam wacana yang berbeda atau kerangka kerja
diskursif.
ii. Statements
Pernyataan merupakan bangunan utama wacana. Dreyfus
dan Rabinow menyatakan bahwa pernyataan bukan merupakan
ujaran atau juga rencana, bukan juga entitas psikologis atau logis,
bukan juga bentuk peristiwa maupun ideal56
. Pernyataan bukan
merupakan ujaran, dalam kesan bahwa satu kalimat dapat berfungsi
sebagai sejumlah pernyataan berbeda, bergantung pada konteks
diskursif mana hal tersebut akan muncul. Dreyfus dan Rabinow
menjelaskan bahwa sejumlah ujaran secara faktual menyusun satu
pernyataan tunggal. Pernyataan baginya ujaran yang memiliki
kekuatan institusional dan divalidasi oleh sejumlah bentuk otoritas
– ujaran tersebut bagi mereka diklasifikasikan sebagai ‗ in the
true‟57
. Ujaran dan teks tersebut yang membuat sejumlah bentuk
pernyataan kebenaran (dan berapa banyak yang tidak) dan yang
diterima sebagai pengetahuan dapat diklasifikasikan sebagai
pernyataan. Analisis archaeological Foucault fokus dengan sistem
pendukung yang mengatur produksi dan urutan pernyataan, serta
sistem eksklusi ujaran lain yang tidak termasukdalam posisi ‗in the
true‟58
.
55
Ibid. Hal. 56. 56
Dreyfus, Hubert L dan Paul Rabinow. 1982. Michel Foucault : Beyond Structuralism and Hermeneutics (2nd Ed.). USA: The University of Chicago Press.
57 Foucault. Op. Cit Hal. 224
58 Mills. Op. Cit. Hal. 61.
28
iii. Archive
Struktur diskursif lain keunikan Foucault adalah archive.
Foucault mendeskripsikan archive dalam sejumlah istilah, yakni 1)
batasan dan bentuk expressibility ; 2) batasan bentuk conservation;
3) batasan dan bentuk memori; dan 4) batasan dan bentuk
reactivation59
. Archive dapat dilihat sebagai seperangkat
mekanisme diskursif yang membatasi apa yang dikatakan, dalam
bentuk apa dan apa yang dihitung sebagai yang bernilai untuk
diketahui dan diingat. Merupakan kesan batasan yang perlu
ditentukan dalam sejumlah detail, karena krusial pada pemaknaan
konstitusi struktur diskursif 60
. Dalam konteks penelitian ini yang
menjadi objek utama adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
dalam penerapan wacana MKDU Kewirausahaan ini terutama pada
perguruan tinggi yang kemudian diklasifikasiksan dalam sejumlah
tema dan dianalisis dengan tiga poin tersebut sekaligus.
F. Definisi Konseptual
Guna memberikan arahan pada fokus penelitian, agar dapat mudah
dipahami, maka peneliti membuat pembatasan dan penugasan sebagai berikut:
a) Kuasa pengetahuan merupakan suatu bentuk lain kuasa yang tidak
selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan melalui
klaim kebenaran dalam pengaetahuan tersebut yang bekerja melalui
normalisasi dan regulasi.
b) Wacana adalah sesuatu yang menghasilkan kebenaran dan
pengetahuan tertentu yang kemudian menimbulkan efek kuasa melalui
sirkulasi episteme. Statement, dan arcihive.
c) Episteme merupakan jumlah total struktur diskurtif yang hadir sebagai
hasil interaksi jangkauan wacana yang bersirkulasi dan terotoritasi
pada waktu tertentu.
59
Foucault.1978. Op. Cit. Hal. 14-15. 60
Mills. Op. Cit. Hal. 63.
29
d) Statement adalah ujaran teks yang memiliki kekuatan institusional dan
divalidasi oleh sejumlah bentuk otoritas yang diklasifikasikan sebagai
sebuah kebenaran
e) Archive adalah seperangkat mekanisme diskurtif yang membatasi apa
yang dikatakan, dalam bentuk apa dan apa yang dihitung sebagai yang
bernilai untuk diketahui dan diingat.
f) Wacana Dominan adalah struktur diskurtif yang diterima dan didukung
oleh banyak objek wacana, yang kemudian turut dilaksanakan oleh
objek tersebut.
g) Wacana Terpinggirkan adalah struktur-struktur diskurtif lain yang
berbeda dengan wacana dominan.
h) Pendidikan kritis merupakan sudut pandang dalam melihat dunia
pendidikan dalam prespektif kritis, di mana dunia pendidikan tidak lagi
berada dalam hakikat pendidikan sesungguhnya, karena pendidikan
kini tidak terlepas dari struktur ekonomi yang menggerakkannya,
melalui hegemoni dan ideologi yang ditanamkan dalam dunia
pendidikan tersebut.
G. Definisi Operasional
Defenisi Operasional ialah hasil elaborasi antara konsep teoritik dengan
fenomena yang terjadi dalam penelitian ini. Tujuannya untuk menghubungkan
antara teori dengan kasus empiris yang terjadi di lapangan, sehingga digunakan
isitilah-istilah sebagai berikut :
a) Kuasa pengetahuan ialah bagaimana negara melalui kemensritekdikti
membangun pengetahuan “kewirausahaan” sebagai sesuatu yang
disusun, dimapankan dan diwujudkan di perguruan tinggi Indonesia.
b) Wacana disini diartikan sebagai pendidikan kewirausahaan yang
kemudian menjadi sebuah kebenaran yang dipahami oleh perguruan
tinggi di Indonesia.
30
c) Episteme disini diartikan sebagai “kewirausahaan” yang menjadi
pengetahuan umum yang diterima dan dilaksanakan oleh perguruan
tinggi Indonesia.
d) Statement adalah setiap pernyataan yang terkait dengan wacana
pendidikan kewriausahaan di perguruan tinggi Indonesia.
e) Archive merupakan bentuk-bentuk pembatasaan pandangan terhadap
“kewirausahaan” yang dilakukan baik oleh wacana dominan maupun
wacana terpinggirkan dalam bentuk regulasi-regulasi dan aturan-aturan
terkait soal wacana pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi
Indonesia.
f) Wacana Dominan ialah setiap struktur wacana dari perguruan tinggi
yang mendukung pendidikan kewirausahaan.
g) Wacana Terpinggirkan disini diartikan sebagai Uniersitas Gadjah
Mada yang memiliki wacanan yang berbeda dengan wacana dominan
yakni pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi Inodonesia.
h) Pendidikan kritis disini digunakan untuk melihat hakikat dasar
pendidikan yang sesungguhnya.
H. Alur Pikir Penelitian.
Kuasa bagi Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikian”, di mana
seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu, kuasa, menurut Foucault tidak
dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi
yang berkaitan satu sama lain.61
Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan
susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan dari dalam. Bagi Foucault
kekuasaan terakumulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya
obyek kuasa. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena
pengetahuan berguna bagi kuasa, tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan
sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Kebenaran dari pengetahauan akan
menimbulkan efek kuasa. Kebenaran ini, tidak dipahami sebagai sesuatu yang
datang dari langit, tetapi ia diproduksi, di mana setiap kekuasaan menghasilkan
61
Ibid., hlm : 66
31
dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk
mengikuti kebenaran tersebut.
Dengan memahami jalan pikiran Foucault, kita dapa melihat keberadaan
kuasa negara menjadikannya memiliki kesempatan untuk membentuk ritus
kebenannya sendiri. Kuasa pengetahuan “kewirausahaan” merupakan contoh
bagaimana negara mencoba menggunakan kesempatan kuasanya dalam
pengetahuan untuk membentuk pengetahauan sebagaimana negara pahami. Kuasa
pengetahuan ini kemudian dilaksanakan dalam bentuk yang lebih formal melalui
pembangunan struktur-struktur wacana yang dapat menunjang terlaksananya
kuasa pengetahuan “kewirausahaan” melalui kebijakan pendidikan
kewirausahaan. Kebijakan-kebijakan pendidikan kewirausahaan ini yang
kemudian memiliki target implementasi utama yakni perguruan tinggi. Wacana
pendidikan kewirasuahaan di pergurgurruan tinggi di Indonesia memunculkan
beragaram innterpretasi yang tergolong dalam dua wacana utama yakni : wacana
dominan bagi perguruan tinggi yang memiliki pemahaman sama dengan
pengetahuan “kewirausahaan” yang dibangun negara, dan wacana terpinggirkan
bagi perguruan tinggi yang memiliki pandangan berbeda terhadap pemahaman
pengetahuan “kewirausahaan” tersebut. Kedua wacana masing memilik tiga basis
utama dalam menopang wacananya, yakni episteme, statement, dan archive. Inilah
yang kemudian ingin digali dalam penelitian ini, yang kesemuanya digambarkan
dalam kerangka konseptual berikut ini :
32
Gambar 1.2 : Alur Pikir Penelitian
Sumber : Olahan Penelitian, 2017
I. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan alat bedah yang dipergunakan dalam
penelitian sebagai cara untuk memperoleh jawaban dari permasalahan
penelitian. Pemilihan metode yang digunakan haruslah dapat mencerminkan
relevansi paradigma teori hingga kepada metode yang digunakan dalam
penelitian agar berjalan beriringan, yang kesemuanya itu harus sesuai pula
dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
KUASA NEGARA
“KEWIRAUSAHAAN” Sebagai Kuasa Pengetahuan
Struktur Diskurtif yang dibangun melalui :
“WACANA PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN”
Perguruan Tinggi di Indonesia
Wacana Dominan
Wacana Terpinggirkan
target
Basis Diskursus : - Episteme - Statement - Archive
interpretasi
33
a. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana dengan
pendekatan kualitatif. Sebagai bagian dari metode penelitian sosial
dengan pendekatan kualitatif, analisis wacana ini dalam proses
penelitiannya tidak hanya mencari makna yang terdapat pada sebuah
naskah, melainkan seringkali menggali apa yang terdapat di balik naskah
menurut paradigma penelitian yang digunakan.
Dalam penelitian ini digunakan analisis wacana Michel Foucault,
pada analisis wacana ini wacana dipahami tidak hanya sebagai studi
bahasa. Bahasa dianalisis dengan menguhubungkannya dengan konteks,
konteks yang dimaksudkan disini adalah bahasa dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan. Foucault menawarkan
konsepsi wacana dominan dan wacana pinggiran dalam melihat kuasa.
Keberadaan pendidikan kewirausahaan pada perguruan tinggi di
Indonesia dapat dilihat dari keberadaan-keberadaan kebijakan perguruan
tinggi dalam penerapan wacana ini, terdapat universitas-universitas yang
memasukkan Kewirausahan sebagai kurikulum yang wajib diajarkan di
program studinya, dilain sisi UGM mengambil langkah berbeda dengan
tidak “memaksa” program studi untuk memasukkan pendidikan
kewirausahaan sebagai kruikulum yang wajib diajarkan, oleh karena itu
keberadaan analisis wacana foucault dirasakan dapat membantu dalam
melihat praktik “kuasa” apa yang terjadi dalam penerapan pendidikan
Kewirausahaan ini.
b. Teknik Pengumpula Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara memperoleh informasi
atau data yang membantu dalam sebuah penelitian. Sumber dikumpulkan
melalui beberapa metode berikut ini :
- Wawancara
Wawancara dalah metode pengumpulan data dngan cara
komunikasi antara pewawancara dengan informan. Di mana
dalam penelitinan ini yang menjadi key informan adalah
34
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai
creator wacana pendidikan kewirausahaan dan Universitas
Gadjah Mada sebagai pihak yang “resistensi” terhadap wacana
pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi Indonesia.
- Studi literatur
Studi literatur digunakan untuk menghimpun keseluruhan data
berkaitan dengan tema penelitian. Studi literatur merupakan
pencarian data melalui buku, majalah, artikel, jurnal koran,
media online dan sabagainya, yang berisi dokumen-dokumen
teks serta kutipan-kutipan pernyataan yang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan yang menyangkut penerapan pendidikan
kewirausahaan.
- Dokumentasi
Dokumentasi bertujuan sebagai bukti tambahan atas data tertentu
sehingga data dapat disampiakan lebih akurat. Teknik ini
merupakan poin pendukung untuk justifikasi data lapangan yang
telah diperoleh. Dokmuentasi yang dimaksud ialah seperti
dokementasi yang terkait dengan program-program serta
regulasi-regulasi mengenai wacana pendidikan kewiraushaan ini.
c. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnyadi
mana proses analisis data didasarkan pada analaisis wacana Michel
Foucault. Tahapan analisis wacana yang digunakan dalam penelitian ini
adalah elabaorasi analisis wacana Foucaultian yang diadopsi oleh
Eriyanto.62
Di mana dalam pandangan Foucault, wacana dikontrol, dipilih,
dan dikelola. Sehingga dengan menggunakan perspektif Foucault, dapat
membedah konsep kuasa dalam penerapan pendidikan kewirauhsaan di
Perguruan Tinggi Indonesia.
Ada bebera tahapan yang dilalui dalam menganalisa wacana
menggunakan prepektif Foucault. Pertama, untuk mengetahui bagaimana
62
Ibid. Hal. 65.
35
kuasa pengetahuan “kewirausahaan” dibangun, perlu kiranya mengetahui
bagaiamana struktur diskurtif dari kuasa pengetahuan tersebut terbentuk,
hal ini dilakukan dengan memetakan struktur-struktur diskurtif yang ada
dengan cara menganalisanya menggunakan prespektif sejarah. Dengan
memahami sejarah dari pembentukan kuasa pengetahuan tersebut
kemudian akan ditemuakan “diskontiniutas” atau yang lebih dipahami
Foucault sebagai retakan. Dari retakan ini kita dapat memahami
bagaimana kuasa pengetahuan “kewirasuahaan” tersebut dapat terbentuk.
Kedua, setelah meamahami bagaimana kuasa pengetahuan tersebut
terbentuk melalui retakan-retakan yang terjadi, selanjutnya yang
dilakukan adalah memetakan bagaimana interpretasi dari struktur wacana
yang telah terbangun. Dalam penelitian ini struktur wacana yang
terbentuk berupa kebijakan pendidikan kewirasuahaan yang memiliki
target implementasi yakni perguruan tinggi di Indonesia. Interpretasi dari
keberadaan struktur wacana tersebut juga menjadikan perlu kemudian
untuk memetakan wacana dominan dan wacana terpinggirkan yang lahir
dari interpretasi terhadap struktur wacana yang terbentuk tersebut.
Ketiga, pemetaan terhadap wacana dominan dan wacana
terpinggirkan tidak lepas dari mengetahui basis dari setiap wacana
tersebut, dalam hal ini Foucault telah memberikan tools utama berupa
basis yang pasti ada baik dalam wacana dominan maupun wacana
terpinggirkan, basis tersebut berupa episteme, statement, dan archive yang
merupakan penopang utama dari bangunan wacana, baik wacana dominan
maupun wacanan terpinggirkan.