Download docx - Tuberkulosis Paru Pada Dm

Transcript
Page 1: Tuberkulosis Paru Pada Dm

TUBERKULOSIS PARU PADA dm

A. Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi

manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan

angka kematian yang tinggi. Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis yang berbentuk batang, tidak membentuk spora, bersifat aerob dan tahan

asam. TB umumnya terjadi pada paru, tetapi dapat pula menyerang organ lain pada

sepertiga kasus. Walaupun telah mendapat pengobatan TB yang efektif, penyakit ini

tetap menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia, dan setiap tahunnya menimbulkan

penyakit pada sekitar 8,8 juta orang, serta membunuh 1,6 juta pasiennya. Indonesia

masih menempati posisi ke 5 di dunia untuk jumlah kasus TB.1-3 Di Indonesia

penyakit ini adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan

penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut

pada seluruh kalangan usia.

Meskipun keberhasilan strategi dalam mengontrol kasus TB cukup tinggi,

keberadaan TB di berbagai belahan dunia menunjukkan kebutuhan untuk

mengidentifikasi berbagai faktor yang meningkatkan risiko terjadinya TB, antara lain

usia dan imunitas.1-3 Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko

paling penting dalam terjadinya perburukan TB. Sejak permulaan abad ke 20, para

klinisi telah mengamati adanya hubungan antara DM dengan TB, meskipun masih

sulit untuk ditentukan apakah DM yang mendahului TB atau TB yang menimbulkan

manifestasi klinis DM.

Istilah DM menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai

etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja

insulin, atau keduanya.5 DM dapat meningkatkan frekuensi maupun tingkat

keparahan suatu infeksi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya abnormalitas dalam

imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit berkaitan dengan hiperglikemia,

termasuk berkurangnya vaskularisasi. Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan

prevalensi DM, terutama DM tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup,

meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada

negara-negara yang mulai mengalami industrialisasi.

Peningkatan prevalensi DM, sebagai faktor risiko TB juga disertai dengan

peningkatan prevalensi TB. Para ahli mulai memberi perhatian pada epidemi DM dan

Page 2: Tuberkulosis Paru Pada Dm

TB, terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah, seperti Cina dan

India yang mengalami peningkatan prevalensi DM tercepat dan memiliki beban TB

tertinggi di dunia. Peningkatan kasus TB pada pasien DM juga terjadi di Indonesia.

Cukup banyak pasien DM yang mengalami TB dan hal tersebut meningkatkan

morbiditas maupun mortalitas TB maupun DM. Dengan demikian penting untuk

diketahui lebih lanjut epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis maupun

pengobatan kasus TB yang terjadi pada pasien DM.

B. Epidemiologi

Prevalensi TB meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.

Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15% dan prevalensi penyakit

infeksi ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan kontrol

yang non-diabetes.4,6 Dalam studi terbaru di Taiwan disebutkan bahwa diabetes

merupakan komorbid dasar tersering pada pasien TB yang telah dikonfirmasi dengan

kultur, terjadi pada sekitar 21,5% pasien.7 Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Alisjahbana et al8 di Indonesia pada tahun 2001-2005, DM lebih banyak ditemukan

pada pasien baru TB paru dibandingkan dengan non TB.

C. Patogenesis Tuberkulosis

Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet, yang dikeluarkan dengan cara

batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet ini dapat bertahan

di udara dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet yang sangat kecil (<5-10 μm)

menyebabkan droplet tersebut dapat mencapai jalan napas terminal jika terhirup dan

membentuk sarang pneumonia, yang dikenal sebagai sarang primer atau afek primer.

Dari sarang primer dapat terjadi peradangan saluran getah bening (limfangitis

lokal) yang diikuti pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional).

Afek primer bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional membentuk

kompleks primer. Kompleks primer ini dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat,

sembuh dengan meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi, ataupun menyebar secara

perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, maupun hematogen. Kejadian tersebut

merupakan perjalanan tuberkulosis primer.

Tuberkulosis pasca primer terjadi bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer.

Bentuk tuberkulosis ini menjadi masalah kesehatan karena dapat menjadi sumber

penularan. Tuberkulosis pasca primer diawali dengan pembentukkan sarang dini

Page 3: Tuberkulosis Paru Pada Dm

(sarang pneumonia), umumnya di segmen apikal lobus superior maupun inferior.

Sarang pneumonia tersebut dapat diresorbsi dan sembuh tanpa cacat, meluas dan

menyembuh dengan fibrotik dan perkapuran, atau meluas dan mengalami nekrosis

kaseosa membentuk kavitas. Kavitas tersebut dapat meluas dan membentuk sarang

pneumonia baru, membentuk tuberkuloma, atau menyembuh membentuk kavitas

terbuka yang sembuh.

Baik imunitas alamiah maupun imunitas adaptif berperan dalam mekanisme

defensi terhadap M. tuberculosis. Imunitas alamiah yang diawali oleh ikatan antara M.

Tuberculosis dengan reseptor fagosit dan masuknya M. tuberculosis ke dalam

makrofag alveolar, sel dendrit, maupun monosit, merupakan kunci untuk terbentuknya

imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis. Imunitas adaptif berupa imunitas yang

diperantarai oleh sel, akan menimbulkan resistensi terhadap M. tuberculosis dan

menyebabkan terbentuknya hipersensitivitas terhadap antigen TB. Imunitas alamiah

dan imunitas adaptif tersebut akan menentukan hasil akhir dari paparan terhadap M.

Tuberculosis.

Terdapat tiga kemungkinan hasil akhir paparan M. tuberkulosis. Pada

beberapa orang, kuman TB ini langsung segera dieliminasi oleh pejamu setelah

inhalasi. Frekuensi dan penyebab dari penyembuhan spontan tidak diketahui dengan

pasti. Kemungkinan kedua dan kelompok terbesar ialah bertahannya infeksi melalui

keberhasilan pembentukan granuloma, sebuah fungsi respon imun alamiah dan adaptif

yang kuat oleh pejamu dan menghasilkan infeksi laten. Pada kelompok ini, reaktivasi

dari infeksi laten dapat terjadi akibat beberapa faktor, seperti penuaan atau status

imunokompromais dari pejamu. Pada sejumlah kecil pejamu yang terinfeksi, imunitas

adaptif gagal dan terbentuklah infeksi primer.9 Rangkaian interaksi antara makrofag

dengan kuman TB dan peran makrofag sebagai respons pejamu diawali dengan ikatan

M. tuberculosis pada permukaan makrofag, kemudian dilanjutkan dengan fusi

fagosom-lisosom, hambatan

pertumbuhan kuman TB, perekrutan sel imun tambahan untuk respons

inflamasi lokal, dan presentasi antigen kepada sel Tuntuk perkembangan imunitas

adaptif. Fagositosis M. tuberculosis oleh makrofag alveolar yang belum teraktivasi

merupakan peristiwa pertama yang terjadi dalam hubungan pejamu dengan patogen,

yang akan menentukan hasil akhir terjadinya infeksi. M. Tuberculosis masuk ke

dalam makrofag alveolar dengan cara endositosis. Terjadinya endositosis tersebut

diperantarai oleh sejumlah reseptor yang terdapat di permukaan makrofag. Reseptor

Page 4: Tuberkulosis Paru Pada Dm

komplemen (CR1, CR2, CR3, dan CR4), reseptor mannosa (MR), dan molekul

reseptor yang lain (CD14, scavenger receptor) memainkan peranan penting dalam

terjadinya ikatan antara kuman dengan fagosit. Sejumlah sitokin mempengaruhi

ekspresi dari reseptor permukaan sel tersebut. Prostaglandin E2 (PGE2) dan

interleukin (IL)-4 meningkatkan ekspresi reseptor komplemen dan reseptor mannosa,

sedangkan interferon- g (IFN-g) menurunkan ekspresi reseptor dan menyebabkan

berkurangnya kemampuan mikobakteria untuk melekat pada makrofag.

Stadium awal TB primer ditandai oleh proliferasi M. Tuberculosis di dalam

makrofag alveolar. Proliferasi ini pada akhirnya dapat menyebabkan lisis makrofag.

Lisisnya makrofag melepaskan berbagai kemoatraktan, seperti komplemen, molekul

bakteri, dan sitokin yang merekrut dan mengaktivasi lebih banyak makrofag imatur,

termasuk sel dendrit. Makrofag-makrofag tersebut kemudian bermigrasi ke dalam

aliran limfatik dan mempresentasikan antigen M. tuberculosis pada limfosit T, dengan

perantara MHC kelas II. Pada saat ini, pembentukan imunitas yang diperantarai sel

dimulai. Reseptor menyerupai Toll (TLR) juga diperkirakan memiliki peranan dalam

pembentukan imunitas adaptif terhadap M. tuberculosis. Akibat utama dari interaksi

antara TLR pada makrofag dan sel dendrit dengan M. Tuberculosis adalah terjadinya

sekresi sitokin dan kemokin. Sitokin dan kemokin ini selanjutnya bertanggung jawab

dalam pembentukan respon imun adaptif terhadap M. tuberculosis. 1,9-11 Limfosit T

CD4 merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif

terhadap M. tuberculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel T CD4

juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan

berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Pada saat ini,

dikenal tiga jenis sitokin yang menginduksi perubahan sel T menjadi Th1. Ketiga

jenis sitokin tersebut adalah IL-12, yang merupakan sitokin yang dominan dalam

induksi dan pemeliharaan Th1; IL-23, yang memiliki aktivitas pada sel T memori; dan

IL-27, yang terlibat dalam inisiasi Th1. Th1 memproduksi IFN-g dan IL-2, sedangkan

Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas

humoral. Namun, hingga saat ini peran sel Th2 pada TB masih kontroversial.

Limfosit T CD8 juga memiliki peranan dalam proteksi terhadap TB. Sel CD8 juga

memiliki kemampuan untuk mensekresi sitokin, seperti IFN-g dan IL-4, dan berperan

dalam meregulasi keseimbangan sel Th1 dan Th2 pada paru pasien dengan TB paru.

Sel Th1 matur, baik di paru maupun di nodus limfatik, menghasilkan IFN-g.

IFN-g merupakan molekul efektor penting yang menyebabkan makrofag mampu

Page 5: Tuberkulosis Paru Pada Dm

menahan infeksi M. tuberculosis. Sitokin ini dapat meningkatkan presentasi antigen,

sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD4 dan atau limfosit T sitotoksik yang

akan berpartisipasi pada pembunuhan M. tuberculosis. IFN-g juga menstimulasi

pembentukan fagolisosom pada makrofag yang terinfeksi dan memaparkan kuman

pada suatu lingkungan yang sangat asam. Selain itu, IFN-g menstimulasi ekspresi dari

inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO

menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya

yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif pada bagianbagian kuman, mulai dari

dinding sel hingga DNA. 1,9-11 Selain menstimulasi makrofag untuk membunuh M.

tuberculosis, respons Th juga merancang pembentukan granuloma dan nekrosis

kaseosa. Makrofag teraktivasi, yang distimulasi oleh IFN-g, memproduksi tumor

necrosis factor b (TNFa), yang merekrut monosit. Monosit-monosit ini berdiferensiasi

menjadi histiosit epiteloid, yang merupakan gambaran respon granulomatosa. Pada

sebagian orang, respon ini tidak menimbulkan destruksi jaringan yang signifikan

maupun penyakit. Akan tetapi pada sebagian orang yang lain, infeksi bersifat

progresif menyebabkan destruksi jaringan melalui nekrosis kaseosa dan kavitasi.b

Progresivitas infeksi ini berkaitan dengan umur dan imunosupresi. Di samping itu,

TNFa juga berperanan dalam menginduksi terbentuknya reactive nitrogen

intermediates dan terjadinya apoptosis makrofag yang terinfeksi, sehingga

mengurangi jumlah kuman. Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden

tuberkulosis paru pada pengidap diabetes dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun

dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal

tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat

sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam

mekanisme pertahanan manusia terhadap TB. Selain itu, ditemukan juga aktivitas

bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien DM, terutama pada mereka yang

memiliki kontrol gula darah yang buruk. Meningkatnya risiko TB pada pasien DM

diperkirakan disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau limfosit T. Wang et

al. mengemukakan adanya peningkatan jumlah makrofag alveolar matur (makrofag

alveolar hipodens) pada pasien TB paru aktif. Namun, tidak ditemukan perbedaan

jumlah limfosit T yang signifikan antara pasien TB dengan DM dan pasien TB saja.

Proporsi makrofag alveolar matur yang lebih rendah pada pasien TB yang disertai

DM, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, dianggap bertanggungjawab

Page 6: Tuberkulosis Paru Pada Dm

terhadap lebih hebatnya perluasan TB dan jumlah bakteri dalam sputum pasien TB

dengan DM.

Pada percobaan eksperimental yang dilakukan Stalenhoef et al. pada plasma

darah manusia didapatkan bahwa tidak ada perbedaan produksi sitokin antara pasien

TB dengan atau tanpa DM. Jika pasien dengan DM tipe 2 dibandingkan dengan

kontrol yang sehat, produksi IFN-g spesifik M. tuberculosis sama saja, tetapi produksi

IFN-g yang non-spesifik berkurang secara signifikan pada kelompok DM. Diduga

bahwa berkurangnya IFN-g yang non-spesifik tersebut menunjukkan adanya defek

pada respon imun alamiah yang berperan pada meningkatnya risiko pasien DM untuk

mengalami TB aktif. Meskipun demikian, mekanisme yang mendasari terjadinya hal

tersebut masih perlu ditelusuri lebih lanjut.

D. Patogenesis TB paru pada penderita DM

Patogenesis diabetes mellitus sampai saat ini belum diketahui pasti namun faktor

genetik dan lingkugan memegang peranan dalam proses terjadinya diabetes mellitus.

Disamping itu defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin di perifer

merupakan dua keadaan yang ditemukan bersamaan dengan diabetes mellitus. Proses mana

yang terjadi terlebih dalu belum diketahui dengan pasti. Meningkatnya kepekaan primer

diabetes mellitus terhadap infeksi tuberkulosis paru disebabkan oleh berbagai faktor, pada

umumnya efek hiperglikemia sangat berperan dalam hal mudahnya pasien diabetes mellitus

terkena tuberkulosis paru. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia menganggu fungsi

netrofil, monosit, makrofag dan fagositosis.( Nasution, E.J.S., 2007).

E. Hubungan TB paru dengan DM tipe 2

Umur penderita, lama dan keparahan menderita dan gizi dibawah normal merupakan

faktor-faktor yang menyebabkan mudah timbul TB paru pada perderita DM. Menurut

gangguan pertahanan tubuh terhadap infeksi pada penderita DM terjadi akibat respon

biologik dan berkaitan dengan kurangnya penyediaan energi selular dengan manifestasi

terhambatnya kemotaksis, fagositosis dan mycobactriocidal dari lekosit PMN( Nasution,

E.J.S., 2007).

Menurut suatu penelitian oleh Lakshimi Kiran dan K.J.R Murthy umur yang

mempunyai resiko tinggi untuk menderita TB paru pada penderita DM adalah lebih daripada

40 tahun. Kejadian TB paru pada penderita DM tipe 2 yang pembentukan kavitas dan smear

sputum positif banyak terjadi di Asia. TB paru yang lebih parah terjadi pada penderita DM

Page 7: Tuberkulosis Paru Pada Dm

tipe 2 berbanding penderita non-diabetes (Kiran,L. and Murty,K.J.R.,1999). Amrit Guptan

dan Asok Shah menyatakan bahwa insidensi terjadi TB paru pada perderita DM karena

gangguan pada sistem pertahanan dan fungsi sel imun. Fungsi makrofag di paru akan

terganggu apabila terjadi hiperglikemia atau hanya peningkatan kadar gula darah yang

sedikit. Berbagai gangguan fisiologis paru pada penderita diabetes mellitus tipe 2

melambatkan pertahanan dan mempercepatkan infeksi pada paru. Infeksi dengan basili

tuberkel `menganggu fungsi sitokinin, monosit-makrofag dan CD4 atau CD8. Keseimbangan

antara limfosit T iaitu CD4 dan CD8 memainkan peranan yang sangat penting dalam

pertahanan tubuh terhadap infeksi mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TB paru

aktif (Guptan,A. and Shah,S., 2000).

Menurut suatu penelitian, Harsinen Sanusi(2006) menyatakan bahwa TB sering

ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin pada penderita DM. Perjalanan

penyakit TB paru pada pasien DM lebih berat dan kronis dibanding non diabetes.Hal ini

disebabkan oleh pada DM, resistensi terhadap kuman tuberkulosis meningkat, reaktifitas

fokus infeksi lama, mempunyai kecenderungan lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta

kultur sputum lebih banyak positif .Pada pemeriksaan radiologis biasanya lebih cenderung

infeksi terjadi pada lobus bawah paru-paru dan kadang-kadang lebih dari satu lobus serta

tidak segmental.

Gambaran radiologis pada kasus TB paru pada penderita DM dikemukan oleh Sosman

dan Steidl. Mereka mengatakan bahwa diabetik tuberkulosis mempunyai beberapa ciri khas

seperti bentuk kavitas, penyebaran luas lesi pada hilum mengarah peripher di lobus bawah.

Observasi yang dilakukan oleh Marias menyatakan bahwa 29% pasien dengan DM menderita

TB pada paru lobus bawah berbanding pasien non-diabetes. Suatu penelitian yang dilakukan

di Jepang pula memberi informasi bahwa gambaran radiologis pada pasien diabetes dan

immunocompromised mempunyai distribusi non segmental dan beberapa kavitas yang kecil

(Guptan,A. and Shah,S., 2000).

Menurut Jabbar, Hussain dan Khan(2006) pada suatu Eastern Mediterranean Health

Journal menyatakan bahwa penyebab kejadian TB paru pada DM mempunyai banyak faktor.

Makrofag di alveolus mempunyai fungsi penting dalam eliminasi mycobacterium

tuberculosis yang terinfeksi dengan bantuan limfosit. Pada penderita DM yang menginfeksi

tuberkulosis, makrofag pada alveolus kurang aktif sehingga tidak boleh fagositosis

mycobacterium tuberculosis merupakan faktor yang menyebabkan peningkatan infeksi TB

paru pada penderita DM. Dalam suatu penelitian pada 64 penderita TB paru dengan DM

mempunyai sistem imun yang rendah. Ini karena limfosit T akan menurun dan tidak mampu

untuk membentuk blast-cell. Perubahan pada produksi sitokinin juga dapat diamati pada

Page 8: Tuberkulosis Paru Pada Dm

penelitian ini. Produksi interferon(INF) gama oleh sel CD+4 akan menurun pada penderita

TB paru tetapi secara umun kadar gula darah yang tidak dikontrol menyebabkan produksi

IFN-gama ini menurun dengan lebih banyak berbanding dengan penderita DM yang kontrol

dengan baik. Produksi IFN-gama akan kembali normal dalam 6 bulan pada penderita TB paru

saja atau TB paru dengan DM yang terkontrol tetapi pada penderita TB paru dengan DM

yang tidak terkontrol akan tetap rendah.

Selain itu, perubahan pada vaskularasi pulmonal dan tekanan oksigen pada alveolus juga

salah satu penyebab terjadi TB paru pada penderita DM. Gejala klinis pada TB paru tetap

sama walaupun pasien menderita DM. Demam dengan batuk dan terbentuk sputum

merupakan gejala klinis yang penting dan tetap ada pada pasien TB paru dengan DM.Pada

suatu penelitian case control yang dilakukan di New york terjadi resiko relatif untuk

resistensi multi-drug tuberkulsosis pada kelompok dengan DM sebanyak 8,6 (confidence

interval, 3.1 hingga 23.6) berbanding pada kelompok kontrol (Jabbar,A., Hussain,S.F., dan

Khan,A.A. , 2006).

Umunnya DM menyebabkan disfungsi dan supresi sistem imun. Secara lebih spesifik,

DM mensupresi sel mediated imunitas dan mengurangkan kadar leukosit serta polymorph

nuclear leukosit (PMLN) yang memproduksi sitokinin yang berfungsi dalam fagositosis. Ini

juga menyebabkan penurunan kadar respons sitokinin T-helper pada penderita DM. Faktor-

faktor ini yang menyebabkan peningkatan kejadian TB paru pada penderita DM. Sitokinesis

T-helper 1 akan mengkontrol dan mengahambat infeksi mycobacterium tuberculosis.

Misalnya, interferon gama (IFN-gama) sangat penting semasa bergabung dengan

mycobacterium tuberculosis dan kedua-dua IFN-gama dan faktor nekrosis tumor alpha (TNF-

alpha) akan mengaktivasi makrofag. Makrofag ini akan akan melepaskan reactive oxygen

species (ROS) dan radikal bebas seperti nitrat oxide yang sangat essential dalam kontrol

infeksi termasuk TB. Fungsi makrofag akan dihambat pada penderita DM karena produksi

ROS dan gangguan fungsi fagositosis dan kemotaksis. Proses imun ini sangat penting dalam

kontrol infeksi TB. Gangguan pada semua proses ini memberi jalan yang baik untuk

peningkatan infeksi TB paru pada penderita DM (Young, F., Critchley, J. dan Unwin, N., Juli

2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Spomenka Ljubic dan Ayyasamy Balachandran

menyatakan faktor resiko terjadi TB paru pada penderita DM lebih tinggi berbanding

penderita non diabetes. Faktor-faktor penyebab TB paru pada penderita DM adalah

hiperglikemia pada penderita DM merupakan suatu keadaan yang sangat baik untuk

pertumbuhan Mycobacterium Tuberculosis dan gangguan elektrolit dan asidosis pada

jaringan tubuh menyebabkan terjadi infeksi dengan cepat. Selain itu, hiperglikemia juga

Page 9: Tuberkulosis Paru Pada Dm

menganggu fungsi neutrofil dan makrofag termasuk kemotaksis, perlekatan, fagositosis dan

mikroorganisma yang terbunuh dalam intersellular serta kurang resistensi pada jaringan paru

yang disebabkan oleh kerusakan vaskular (Ljubic, S. et al, 2005).

Suatu teori yang belum dibukti adalah produksi interleukin-1ß dan faktor nekrosis tumor

menurun penderita DM dan ini menyebabkan resiko terjadi tuberkulosis paru lebih tinggi.

Diabetik autonomic neuropati menyebakan gangguan pada saluran nafas yang disebabkan

oleh perubahan pada jalur vagal.Ini menyebakan penurunan pada reaktivitas bronkus dan

dilatasi bronkus (Kant,L., 2003).

F. Manifestasi Klinis

Bacakoðlu et al. melakukan penelitian untuk melihat apakah diabetes mellitus

mempengaruhi manifestasi klinis dan radiologis tuberkulosis pada pejamu non-

imunokompromais dan untuk melihat keterlibatan lapangan paru bawah. Dari penelitian

tersebut didapatkan bahwa DM tidak memengaruhi gejala, hasil bakteriologi, reaktivitas

tuberkulin, dan lokalisasi infiltrat pada gambaran radiografi. Pada pasien DM yang lebih

tua dari 40 tahun dan berjenis kelamin wanita didapatkan adanya keterlibatan lapangan

paru bawah yang secara statistik berbeda secara bermakna dibandingkan dengan yang

tidak DM. Pada penelitian Wang et al didapatkan bahwa pasien DM dengan TB paru

menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi terhadap demam, hemoptisis, pewarnaan

sputum BTA yang positif, lesi konsolidasi, kavitasi, dan lapangan paru bawah, serta

angka kematian yang lebih tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Alisjahbana et

al.13 menemukan adanya beberapa perbedaan manifestasi klinik pada pasien TB yang

juga menderita DM dan pasien TB tanpa DM. Pada pasien TB yang juga DM ditemukan

gejala klinis yang lebih banyak dan keadaan umum yang lebih buruk (menggunakan

indeks Karnofsky). Tetapi hasil penelitian tersebut juga tidak menunjukkan hasil yang

signifikan. Pada penelitian itu juga didapatkan pengaruh negatif dari DM terhadap hasil

akhir pengobatan antituberkulosis. DM secara signifikan berkaitan dengan kultur sputum

yang masih positif setelah enam bulan pengobatan.13 Berdasarkan ketiga penelitian di

atas tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan manifestasi klinis antara pasien

TB yang menderita DM maupun pasien TB tanpa DM. Dengan demikian pada pasien TB

yang juga menderita DM dapat ditemukan gejala, seperti batuk, batuk berdarah, sesak

nafas, demam, keringat malam, dan penurunan berat badan, namun gejala cenderung

lebih banyak dan keadaan umum lebih buruk. Sedangkan gambaran hasil pemeriksaan

darah, radiologi, dan bakteriologi tidak menunjukkan perbedaan.

Page 10: Tuberkulosis Paru Pada Dm

G. Diagnosis

Secara klinis, berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM, baik

keluhan klasik maupun keluhan tambahan. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan

apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan tambahan

lainnya berupa lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui

tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa darah

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, bila

keluhan klasikditemukan dan pemeriksaan glukosa darah puasa >126 mg/ dL, maka

pasien dapat didiagnosis DM. Ketiga, dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).

Berdasarkan standar WHO, tes tersebut dilakukan setelah pasien puasa

minimal delapan jam lalu diberikan beban glukosa 75 g yang dilarutkan dalam 250 ml

air dan diminum dalam lima menit. Bila pemeriksaan glukosa darah setelah dua jam

pemberian glukosa ini >200 mg/dL, maka diagnosa DM dapat ditegakkan.

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang

lainnya. Gejala klinis yang dapat timbul, antara lain demam dan keringat malam,

penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri

dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara

napas yang melemah, dan rhonki basah. Diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah

dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum atau jaringan

paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan pencitraan

radiologi, pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction), ELISA (Enzym

Linked Immunosorbent Assay), ICT (Immunochromatographic Tuberculosis),

Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase), dan IgG TB.3,15

H. Tatalaksana

Pada masa belum diterapkannya terapi insulin, sebagian besar pasien DM akan

meninggal karena TB paru bila mereka berhasil bertahan dari koma diabetes. Setelah

diperkenalkan terapi insulin pada tahun 1922, TB masih tetap menjadi ancaman yang

serius dan mematikan pada pasien DM. Namun, dengan pengobatan anti-TB yang

efektif, prognosisnya akan jauh lebih baik. Prinsip pengobatan TB paru pada pasien

DM serupa dengan yang bukan pasien DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol.

Page 11: Tuberkulosis Paru Pada Dm

Prinsip pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase,

yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2-3 bulan dan dilanjutkan dengan fase

lanjutan selama 4-6 bulan. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

memberikan pengobatan TB paru pada pasien DM, salah satunya adalah kontrol kadar

gula darah dan efek samping OAT.

Obat lini pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin,

pirazinamid, etambutol ,dan streptomicin. Dosis harian isoniazid ialah 4-6 mg/kg

berat badan (BB)/ hari dengan dosis maksimal 300 mg. Efek samping ringan dapat

berupa gejala-gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot.

Keadaan ini terkait dengan terjadinya defisiensi piridoxin (Vit B6) sehingga dapat

dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/ hari atau dengan vitamin

B kompleks. Kelainan akibat defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra.

Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis imbas obat yang timbul pada

kurang lebih 0,5% pasien. Bilaterjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang

bersifat hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan

pengobatan TB dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan TB pada keadaan khusus.

Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis hariannya 8-12

mg/kg BB/hari dan dosis maksimal 600 mg. Efek samping ringan yang didapat berupa

sindrom flu (misalnya demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (sakit perut,

mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan sindrom kulit (gatal-gatal). Efek

samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak nafas, dan bila

terjadi salah satu gejala sepeti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka

pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi

walaupun gejala telah menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada

urin, keringat, air mata, air liur. Hal itu terjadi karena metabolit obat dan hal ini tidak

berbahaya. Keadaan yang perlu diperhatikan ialah pemberian rifampisin pada pasien

DM yang menggunakan obat oral antidiabetes, khususnya sulfonilurea karena dapat

mengurangi efektivitas obat tersebut dengan cara meningkatkan metabolisme

sulfonilurea. Sehingga pada pasien DM, pemberian sulfonilurea harus dengan dosis

yang ditingkatkan.

Sementara itu, pirazinamid sebagai antituberkulosis dapat diberikan dengan

dosis harian: 20-30 mg/kg BB/hari. Efek samping utama obat ini ialah hepatitis imbas

obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan arthritis gout yang disebabkan oleh

penimbunan asam urat. Bila hal ini terjadi maka perlu dimonitor karena bila kadar

Page 12: Tuberkulosis Paru Pada Dm

asam urat terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual,

kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

Etambutol diberikan pada pasien TB dengan dosis harian 15-20 mg/kg

BB/hari. Antituberkulosis ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman, serta buta warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan

akan kembali normal beberapa minggu setelah obat dihentikan. Penggunaan

etambutol pada pasien DM harus hati-hati karena efek sampingnya terhadap mata,

padahal pasien DM sering mengalami komplikasi penyakit berupa kelainan pada

mata.

Streptomisin sebagai antituberkulosis diberikan pada dosis harian 15-18 mg/kg

BB/hari dan dengan dosis maksimal: 1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan

nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejalanya adalah

telinga mendenging, vertigo, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat

dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 25 mg dari dosis total

yang diberikan. Jika pengobatan streptomisin diteruskan maka kerusakan alat

keseimbangan makin parah dan akan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi demam, sakit kepala, muntah, eritema

pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut. Streptomisin dapat menembus sawar

plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf

pendengaran janin.3,13 Obat-obat ini dapat diberikan dalam bentuk terpisah ataupun

dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination/FDC), kecuali

streptomisin. Jenis kombinasi dan lama pengobatan TB paru tergantung dari kasus TB

paru yang diderita pasien dan disesuaikan dengan kategori pengobatan TB.3 Berbagai

bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa efikasi rifampisin tergantung pada

paparan terhadap obat dan konsentrasi maksimum obat yang dapat dicapai. Menurut

Nijland,13 kadar plasma rifampisin pada pasien TB dengan DM hanya 50% dari

kadar rifampisin pasien TB tanpa DM. Begitu pula pasien TB dengan DM,

konsentrasi plasma maksimal rifampisin di atas target (8 mg/L) hanya ditemukan pada

6% pasien, sedangkan pada yang bukan DM ditemukan pada 47% pasien. Hal ini

mungkin dapat menjelaskan respon pengobatan yang lebih rendah pada pasien TB

dengan DM. Namun, studi tambahan lain yang menjelaskan respon pengetahun lebih

rendah pada TB dengan DM ini tetap diperlukan. Untuk mengontrol kadar gula darah

dilakukan pengobatan sesuai standar pengobatan DM yang dimulai dengan terapi gizi

medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu. Bila kadar glukosa darah belum

Page 13: Tuberkulosis Paru Pada Dm

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat oral anti diabetes

dan atau dengan suntikan insulin. Namun dalam pemberian obat oral anti diabetes

pada kasus ini harus diperhatikan adanya interaksi dengan obat anti tuberkulosis.