Upload
hendriawan-putra
View
37
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
overview
Citation preview
TUBERKULOSIS PARU
Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. 12 Organisme ini termasuk ordo Actinomycetales, familia
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies
diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil
tuberculosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, panjang 1 -
4 µ, lebar 0,3 - 0,6 µ. Untuk membelah dari satu sampai dua (generation time) kuman
membutuhkan waktu 14-20 jam dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam
waktu 6-8 minggu.3,15,16
Suhu optimal untuk tumbuh pada 370C dan PH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60oC
akan matidalam waktu 15-20 menit. Dinding selnya 60% terdiri dari kompleks lemak seperti
mycolic acid yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam, cord factor merupakan mikosida
yang berhubungan dengan virulensi. Kuman yang virulen mempunyai bentuk khas yang disebut
serpentine cord, Wax D yang berperan dalam immunogenitas dan phospatides yang berperan
dalam proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit untuk diwarnai tapi sekali diwarnai ia
akan mengikat zat warna dengan kaya yang tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol
seperti: pewarnaan Ziehl Nielsen, sehingga organisme ini di sebut tahan asam.3,17,18
DIABETES MELLITUS
Pengetahuan tentang DM berawal sejak sebelum Masehi. Pada Egyptian Papyrus
(1500M) digambarkan penyakit DM berkaitan dengan banyaknya urine keluar. Pada abad ke 3
sampai ke 6 M, sarjana Cina, Jepang dan India menerangkan mengenai poliuria pada penderita
DM dimana urine terasa manis dan lengket. Walaupun telah diketahui selama berabad-abad
bahwa urine penderita diabetes terasa manis, Thomas Willis (174) menyatakan rasa manis
tersebut akibat madu. Kemudian ditetapkanlah nama diabetes mellitus (mellitus=madu).
Beberapa abad yang lalu telah diketahui penyakit ini ada hubungannya dengan gangguan
sel beta, dimana kelompok sel membentuk pulau-pulau jaringan kecil pada pankreas eksokrin.
Pulau-pulau ini pertama kali dikenali pada ikan oleh Brockman, dan diberi nama
Langerhans.12,19 Diabetes Mellitus merupakan sindroma yang ditandai dengan hiperglikemia
kronik dan gangguan karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan defisiensi insulin
absolut/relatif .20
PATOGENESIS TB PARU PADA PENDERITA DM
Patogenesis DM sampai saat ini belum diketahui dengan pasti namun factor genetik dan
lingkungan memegang peranan dalam proses terjadinya DM. Disamping itu defisiensi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin di perifer merupakan dua keadaan yang
ditemukan bersamaan pada DM. Proses mana yang terjadi terlebih dulu belum diketahui dengan
pasti. Meningkatnya kepekaan primer DM terhadap infeksi TB paru disebabkan oleh berbagai
faktor, pada umumnya efek hiperglikemi sangat berperan dalam hal mudahnya pasien DM
terkena TB paru. Hal ini disebabkan karena hiperglikemi mengganggu fungsi netrofil, monosit,
makrofag dan fagositosis.37
Infeksi adalah penyebab utama klinis hiperglikemi pada DM. Tercatat 30% kasus
ketoasidosis diabetik dicetuskan oleh infeksi. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh
kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya
sekresi counter regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon, katekolamin) maupun
penekanan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh saraf simpatis
sedangkan adrenalin dihasilkan oleh medulla adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya
glukoneogenesis dan penekanan terhadap sekresi insulin.13,37
2.6. GANGGUAN MEKANISME PERTAHANAN TUBUH TB PARU DENGAN DM
Pada penelitian yang dilakukan penderita TB paru jumlah CD4 nya akan menurun
sedangkan pada penderita DM gangguan fungsi polimorpho nuclear leukosit (PMNL) lebih
menonjol terutama pada DM yang tidak terkontrol.13
Ada tiga aspek fungsi PMNL yang terganggu :
a. Kemotaksis
Penelitian oleh Mowatt dan Baumm mendapatkan penurunan daya kemotaksis lekosit pada
penderita DM dibandingkan dengan kontrol dan akan semakin memburuk bila pasien jatuh
dalam koma ketoasidosis. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan menambah insulin kedalam
larutan penguji. Penyebab dan gejala klinis gangguan kemotaksis pada DM belum diketahui
dengan pasti. Basement Membran yang menebal dan berkombinasi dengan gangguan kemotaksis
akan menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan tubuh.
b. Fagositosis
Mekanisme pertahanan ini meliputi masuknya dan dihancurkannya bakteri oleh lekosit. Balch
dan Watters melaporkan adanya gangguan fagositosis pada penderita DM terhadap bakteri tetapi
tidak pada semua bakteri yang dipakai pada pemeriksaan. Bybee, Rogers, Crosby dan Allison
mendapat perbedaan efisiensi fagositosis apabila penderita DM jatuh kedalam keadaan asidosis.
Penelitian lain juga mendapati adanya penurunan fagositosis meskipun pasien belum jatuh
kedalam keadaan asidosis, ini terutama terjadi pada penderita DM dengan kontrol yang jelek.
Gambar disfungsi sel fagosit
Fagositosis terganggu pada DM akibat defek intrinstik dari pada PMN Aktifitas
membunuh enzim lisosom juga menurun. Pada keadaan hiperglikemi cenderung terbentuk
sorbitol oleh enzim aldose reduktase dengan bantuan Nicotinamide Adenine Dinucleotide
Phosphate (NADPH) menjadi NADP. Karena NADPH banyak digunakan untuk membentuk
sorbitol maka aktifitas membunuh mikroorganisme intraselular yang memerlukan NADPH
menjadi menurun (respiratory burst). Normalisasi KGD akan meningkatkan aktivasi membunuh
dalam 48 jam.7
c. Aktifitas Bakterisidal
Gallacer dkk mendapati hubungan negatif yang signifikan antara keadaan HbA1c dengan
aktifitas bakterisidal netrofil. Patogenesis kelainan ini belum jelas tetapi terlihat adanya
hubungan antara derajat dan lamanya hiperglikemi.
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU
Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti
pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium.
a. Pemeriksaan Klinis
TB disebut juga the great immitator oleh karena gejalanya banyak mirip dengan penyakit
lain. Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan jasmani.23
1. Gejala klinis. Dibagi menjadi 2 (dua) golongan :
a) Gejala respiratorik :
- Batuk : gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk yang pertama terjadi karena
iritasi bronkus. Batuk-batuk yang berlangsung ≥ 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis
paru.
- Batuk darah : darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis, bercak-bercak atau bahkan
dalam jumlah banyak.
- Sesak napas: jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.
- Nyeri dada : apabila parenkim paru subpleura sudah terlibat.
b) Gejala sistemik:
- Demam
- Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia berat
badan menurun.23,24
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung pada luas lesi dan
kelainan struktur paru yang terinfeksi. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak
(sulit sekali) menemukan kelainan. Pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penanarikan paru, diafragma
dan mediastinum.18,25
c. Pemeriksaan Radiologis.
Pada pemeriksaan foto toraks memberikan gambaran bermacam-macam yaitu : 25,26
1. Bayangan lesi dilapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah.
2. Adanya kavitas tunggal atau ganda.
3. Bayangan berawan atau berbercak.
4. Bayangan bercak milier.
5. Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral.
6. Destroyed lobe sampai destroyed lung.
7. Kalsifikasi.
8. Schwartze.
Pemeriksaan radiologi pasien TB dengan DM
Pada beberapa penelitian gambaran radiologi penderita TB paru dengan DM telah
dideskripsikan sebagai gambaran yang atipikal, kebanyakannya melibatkan lobus bawah paru
dengan gambaran kavitas. Keterlibatan beberapa lobus paru juga 21 dilaporkan lebih banyak.
Patel dkk. pada penelitiannya di India melaporkan bahwa didapatkan 84% pasien TB dengan DM
yang menunjukkan gambaran TB pada lobus bawah dan hanya 16% pada bagian atas paru. 32%
menunjukkan keterlibatan kedua bagian paru, dan 68% hanya di satu sisi paru. Pada 10 dari 50
foto dengan gambaran kavitas yang lebih dari 2 cm dan kavitas ini paling banyak ditemukan jika
terdapat keterlibatan bagian bawah paru (80%). Lesi nodular ditemukan sebesar 36% dan lesi
eksudat pada 22% dan lesi campuran terdapat pada 22%. Dari penelitian tersebut, dikatakan
bahwa penderita tuberkulosis dengan DM lebih menunjukkan gambaran 21 atipikal pada
pemeriksaan radiologi. Perbedaan gambaran radiologis tersebut disebabkan oleh karena
penderita DM memiliki gangguan pada imunitas selular dan disfungsi sel PMN. 22 (dari jurnal)
Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association luasnya
proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut : 21, 25, 27
1. Lesi minimal (minimal lesion)
Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.
2. Lesi sedang (moderately advanced lesion)
Proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi
luas proses tidak boleh luas dari satu paru, atau jumlah dari proses yang paling banyak seluas
satu paru atau bila proses tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut
tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat/ tidak disertai kavitas. Bila
disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.
3. Lesi luas (far advanced)
Kelainan lebih luas dari lesi sedang.
d. Pemeriksaan Laboratorium:
1. Pemeriksaan darah rutin
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju endapan darah
sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.27
2. Pemeriksaan bakteriologis.
Untuk pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman tuberculosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi dapat
diambil spesimen dari sputum, bilasan lambung, cairan pleura, cucian lambung, jaringan baik
kelenjar getah bening atau jaringan reseksi operasi, cairan serebrospinalis, pus/aspirasi abses,
apusan laring.14
a) Pemeriksaan mikroskopis biasa
Pemeriksaan mikroskopis ini dapat melihat adanya basil tahan asam, dimana dibutuhkan paling
sedikit 5000 batang kuman per ml sputum untuk mendapatkan kepositivan. Pewarnaan yang
umum dipakai adalah pewarnaan Zielh Nielsen dan pewarnaan Kinyoun Gabbett.28 Interpretasi
pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease)2 :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang : negative
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : +
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : ++
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopis yaitu :
Bila 2x positif → mikroskopis (+)
Bila 1x positip, 2x negatif → ulang BTA 3x
Bila 1x positif → mikroskopis positif
Bila 3x negatif → mikroskopis negatif
b) Pemeriksaan mikroskopis fluoresens
Dengan mikroskopis ini gambaran basil tahan asam akan terlihat lebih besar dan lebih jelas
karena daya pandang diperluas dan adanya fluoresens dari zat warna auramin-rhodamin.14
c) Kultur/biakan kuman
Pemeriksaan kultur dibutuhkan paling sedikit 10 kuman tuberculosis yang hidup. Jenis
pemeriksaan kultur :
• Metode konvensional : Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middle brook.
• Tehnik pemeriksaan dengan metode radiometrik seperti BACTEC.29
d) Imunologi / Serologi
o Uji Tuberkulin
o ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
o Uji PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)
o Mycodot
e) RFLP (Restrictive Fragment Length Polymorphism)
f) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Dalam klasifikasi TB paru terdapat beberapa pegangan yang prinsipnya hampir
bersamaan. PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil
pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk
menetapkan strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB , yaitu :
1. TB paru BTA positif adalah :
• Dengan atau tanpa gejala klinis
• BTA positif :
mikroskopis ++
mikroskopis + biakan +
mikroskopis + radiologis +
• Gambaran radiologis sesuai dengan TB paru
2. TB paru BTA negatif yaitu:
• Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB paru aktif
• Bakteriologis (sputum BTA) negatif, jika belum ada hasil tulis belum diperiksa
• Mikroskopis (-), biakan, klinis dan radiologis (+)
Mikroskopis (-), biakan, klinis dan radiologis (+)
Pada tahun 1997 WHO membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi
atas empat kategori yaitu:34,35
a. Kategori I adalah kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan keadaan yang berat
seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral
spondilitis dengan gangguan neurologik, penderita dengan dahak negatif tapi paru luas,
tuberculosis usus, saluran kemih dan sebagainya.
b. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.
c. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dengan kelainan paru yang tidak luas,
dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori I.
d. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik.
Konsekuensi terapi (dari jurnal)
Sampai dengan saat ini belum ada rekomendasi kuat berdasarkan suatu evidence based
mengenai penatalaksanaan TB dengan DM. Panduan yang ada masih pada tahap rancangan
dengan rencana-rencana penelitian besar, sehingga sampai saat ini rekomendasi yang diberikan
belum disertai kekuatan level of evidence. World Health Organization merekomendasikan terapi
pada penderita TB dengan DM harus 25 ditangani secara serius. Terapi TB pada pasien dengan
DM juga tidak mudah, terdapat interaksi farmakologis antara terapi TB dengan DM. Selain itu
terjadi peningkatan risiko hepatotoksik karena terapi 11,25 OAT pada pasien TB dengan DM.
Kejadian hepatotoksik pada penderita TB dengan DM yang 25 mendapatkan OAT meningkat
sampai dengan 50%.
Terapi diabetes dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan
tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi.
Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang
disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia
dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat, dan kontraindikasi dan 4,5,28
atau alergi terhadap OHO.
Terapi diabetes pada penderita TB dengan DM(dari jurnal)
Dari jenis obat anti TB dan insulin, golongan obat sulfonilurea dan thiazolodinediones
(TZD) dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450, dan enzim ini diinduksi oleh rifampisin.
Kadar obat antidiabetik tersebut kadarnya akan mengalami penurunan jika diberikan bersama
rifampisin. Sedangkan isoniazid adalah penghambat enzim P450, sehingga dapat mengurangi
efek rifampisin, namun demikian pemberian isoniazid dan rifampisin secara bersamaan tetap
menunjukkan peningkatan enzim hati 18 oleh rifampisin.
Belum diketahui efek rifampisin dan INH terhadap metabolisme insulin, namun diduga
tidak berpengaruh oleh karena insulin di degradasi di hati melalui hidrolisis disulfida antara
rantai A dan B oleh insulin degrading enzyme (IDE). Obat lini pertama yang lain seperti
pirazinamid dan etambutol juga tidak mempengaruhi kadar obat antiglikemik di dalam darah.
Monitor interaksi obat antihiperglikemik dengan rifampisin perlu diperhatikan pada satu minggu
pertama 18 pengobatan.
Metformin tidak dipengaruhi oleh rifampisin, sehingga bisa menjadi obat alternatif yang
baik, selain itu metformin juga murah dan menjadi pilihan utama pasien dengan DM tipe 2.
Namun jika dikombinasi dengan OAT maka efek samping gastrointestinal meningkat sampai
dengan 30%, sehingga dapat menurunkan kepatuhan penderita untuk melanjutkan 18 pengobatan
TB atau DM.
Belum ada rekomendasi khusus untuk pengobatan DM pada penderita TB, apakah harus
menggunakan insulin atau cukup dengan OHO. Tujuan pengobatan DM adalah kendali glukosa
darah. American Diabetes Association (ADA) sejak tahun 2004 menekankan pada pencapaian
target kendali glukosa darah pada level tertentu. Pada tahun 2011 ADA memberikan
rekomendasi target Hb A1C kurang dari 7 atau yang setara dengan gula darah sebesar 154 5,29
mg/dl.
Terapi TB pada penderita TB dengan DM(dari jurnal)
Penderita TB dengan DM mendapatkan terapi standar sesuai dengan pasien TB yang lain.
Rifampisin merupakan pengobatan yang utama untuk pasien TB, dan efektivitasnya dipengarui
oleh dosis yang diberikan. Dosis yang direkomendasikan adalah 10 mg/kg berat badan, yang
merupakan dosis terapi minimal. Dosis yang lebih tinggi mungkin lebih efektif dan dapat
mengurangi lama pengobatan TB. Dalam praktek, pasien TB dengan DM memiliki berat badan
yang lebih tinggi, sehingga sebenarnya perlu diperhitungkan kembali dosis OAT selama terapi
terutama pada fase lanjut dimana kondisi pasien mulai membaik dan berat badan mulai naik.
Obat anti TB tidak dipengaruhi oleh obat anti glikemik, sehingga tidak memerlukan dosis 18
penyesuaian. World Health Organization dan The International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUATLD) memberikan rekomendasi pemberian terapi TB pada penderita dengan
DM dengan menggunakan regimen yang sama sesuai standar. Pada fasilitas pelayanan DM juga
harus memiliki program penanganan TB, jika tidak mampu harus segera dirujuk ke pusat
penanganan TB untuk 26 pasien yang dicurigai atau menderita TB.
Panduan dari perhimpunan dokter paru Indonesia (PDPI) menyarankan paduan OAT dan
lama pengobatan yang pada prinsipnya sama dengan TB tanpa DM, dengan syarat gula darah
terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan
sampai 9 bulan. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas
obat oral antidiabetes (sulfonilurea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Hati-hati dengan
penggunaan etambutol pada mata, sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan
pada mata. Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek
neuropati 30 perifer.
Prognosis(dari jurnal)
Pasien dengan diabetes dan TB memiliki risiko kematian yang lebih tinggi selama terapi juga
peningkatan risiko kekambuhan setelah pengobatan, juga dapat memberikan risiko penularan
yang lebih 27 besar. 23 Baker dkk. memberikan kesimpulan bahwa diabetes meningkatkan risiko
kegagalan terapi dan kematian sekaligus, kematian saja, dan angka kekambuhan pada penderita
TB. Hal ini menekankan akan kebutuhan perhatian yang lebih lanjut mengenai uji saring
terhadap DM dan TB di kedua populasi, perbaikan kadar gula darah, panduan terapi peningkatan
monitoring klinik dan terapi23