Download doc - Tuberkulosis pada anak

Transcript
Page 1: Tuberkulosis pada anak

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberculosis ( TBC ) merupakan penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh

manusia. Pada peninggalan Mesir kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan

gibbus. Sudah lebih dari 100 tahun yang lalu kuman penyebab TBC, Mycobacterium

tuberculosis pertama kali ditemukan oleh Rober Koch, 1882. Walaupun telah dikenal sekian

lama dan telah lama ditemukan obat-obat antituberkulosis yang poten, tuberculosis (TBC)

tetap merupakan masalah kesehatan global. Diperkirakan kurang lebih sepertiga penduduk

dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan 10 % diantaranya menjadi

penderita TBC aktif. Jadi setiap tahun sekitar 8 juta orang di dunia menderita TBC dan 2 juta

meninggal karena TBC. Sepanjang dasawarsa terakhir abad ke-20 ini, jumlah kasus baru TBC

meningkat di seluruh dunia, 95% kasus terjadi di negara berkembang. Di Indonesia, TBC juga

masih merupakan masalah yang menonjol.

TBC sebagai salah satu ikon dari penyakit infeksi paru yang cukup banyak jumlah

penderitanya memiliki tingkat mortalitas dan morbiditas yang serius bagi negara-negara

berkembang. Terlebih lagi dengan adanya ledakan infeksi HIV akhir-akhir ini sebagai salah

satu faktor predisposisi yang menurunkan sistem imunitas tubuh penderita sehingga lebih

mudah untuk terinfeksi oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pasien yang ter-infeksi HIV

mempunyai resiko 30 kali lipat menjadi TBC aktif dibandingkan dengan pasien yang memiliki

HIV negatif. Masalah TBC bertambah berat dengan adanya koinfeksi Mycobacterium

tuberculosis dan HIV.

TBC pada anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang

dewasa. Pada TBC anak, permasalahan yang sering dihadapi adalah masalah diagnosis,

pengobatan, pencegahan, serta komplikasi TBC pada penderita infeksi HIV. Berbeda dengan

TBC dewasa, gejala TBC pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti pada penderita

dewasa dapat ditegakkan dengan menemukan kuman TBC pada pemeriksaan putum.

Sedangkan pada anak sulit didapatkan spesimen diagnostik yang dapat dipercaya. Karena

sulitnya mendiagnosis TBC pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti

overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment. Hal tersebut

terjadi karena sumber penyebaran TBC umumnya adalah orang dewasa dengan sputum BTA

1

Page 2: Tuberkulosis pada anak

positif, sehingga penanggulangan TBC lebih ditekankan pada pengobatan TBC dewasa.

Akibatnya, penanganan TB anak kurang diperhatikan. Peningkatan insidens infeksi HIV dan

AIDS di berbagai negara turut menambah permasalahan TBC anak. Saat ini, telah terjadi

peningkatan interaksi antara tuberkulosis dan infeksi HIV dan AIDS pada anak. Seperti halnya

di negara-negara lain, besarnya kasus TBC pada anak di Indonesia masih relatif sulit

diperkirakan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium

Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian besar kuman TB menyerang paru,

tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak <15

tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang signifikan dengan

orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini test tuberkulin negatif, rontgen

toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuclei Mycobacterium

tuberculosis dan kuman tersebut menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan

limfoid sekitarnya, pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma

atau kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji tuberkulin

yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat gejala klinis yang

mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen toraks, pada tahap inilah

seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.4

2

Page 3: Tuberkulosis pada anak

2.1.2. Epidemiologi

Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga

penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi

di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang

timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap

merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara

berkembang maupun di negara maju.3

Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama 11 tahun (1983-1993) didapatkan

171 kasus TB anak usia <15 tahun. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun adalah 5-6

% dari total kasus TB. Di Negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15%

dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju angkanya lebih rendah yaitu 5-7%.2

Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah

583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Jumlah

seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun

(1998-2002) adalah 1086 penyandang TB. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan

(42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.3

Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun

timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi

dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara

lain anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah

endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti

asuhan, penjara atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3

Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini adalah faktor-

faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB. Faktor

risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari

negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais,

diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2

3

Page 4: Tuberkulosis pada anak

2.1.3. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan

ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap

asam pada pewarnaan 2. MTB memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid,

kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat hidup

dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun-tahun dalam

lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit

kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi 2.

Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag di dalam

jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena banyak

mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa

kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini

tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian

apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis 2.

2.1.4. Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya

penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor resiko infeksi dan faktor

resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit)2.

1. Resiko infeksi TB

Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa

dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak

sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan,

penjara atau panti perawatan lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien

dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,

4

Page 5: Tuberkulosis pada anak

produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan

yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik.

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal

ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak.

Hal tersebut karena:

a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas

anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit.

b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya

terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi

sputum.

c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di

daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.

2. Resiko sakit TB

Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah

faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB.

a. Usia

Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi

sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi,

risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak

berusia < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB

milier dan meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan

timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.

a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi

positif) dalam 1 tahun terakhir.

5

Page 6: Tuberkulosis pada anak

b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang, pengangguran,

pendidikan yang rendah.

c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,

transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).

d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.

2.1.5. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya

yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup setelah melewati barier

mukosa basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan

seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis

spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada

individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan

memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman

TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan

akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat

tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer)2.

Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe regional, yaitu

kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini

menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe

(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe

yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di

apeks paru, yang akan terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer,

limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.2

Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya komplek primer

secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya komplek primer inilah,

6

Page 7: Tuberkulosis pada anak

infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein yaitu timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat mengalami

salah satu hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara sempurna, atau membentuk fibrosis

atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe

regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama

bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang disebabkan oleh fokus di paru

atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis pengkejuan yang berat, bagian tengah lesi

akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru

(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal

infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat

terganggu yaitu obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal yang akan

menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Dapat juga terjadi obstruksi total yang

menyebabkan atelektasis.

Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi penyebaran

secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar

limfe regional membentuk komplek primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman

TB masuk kedalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut penyakit

sistemik. Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread) sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh

tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik terutama

apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan bereplikasi dan

membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi

pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi reaktivasi jika

daya tahan tubuh pejamu turun.2

7

Page 8: Tuberkulosis pada anak

8

Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3

Page 9: Tuberkulosis pada anak

Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).

Kuman TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang

baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis regional.

3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen,

terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi

TB dan dapat menjadi sakit TB primer.

4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui

proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya)

oleh kuman TB dari luar (eksogen).

Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga

dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai

organ.3

Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer3

9

Page 10: Tuberkulosis pada anak

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif

dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,

dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini

berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada

tahap ini.2

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan

pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi

dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun

pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya

terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis

sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian

karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan menemukan M.TB pada pemeriksaan sputum

atau bilasan lambung, cairan cerebrospinal, cairan pleura atau pada biopsi jaringan. Jumlah

kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi

kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian

perifer. Selain itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA

baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml

dahak.

Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun

batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang

diambil melalui NGT. Dahak yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis

adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.

Karena alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan

radiologis yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-kadang TB anak ditemukan karena

adanya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis

10

Page 11: Tuberkulosis pada anak

dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin positif, dan foto paru yang mengarah pada

TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB.

2.1.6.1 Manifestasi klinis

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan

bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman

bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada

usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.2

Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan gejala

pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok dengan

rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.3

Manifestasi sistemik

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat

disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang

dapat dialami anak yaitu:3

1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai

keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB

berkisar antara 40-80% kasus.

2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan

penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan.

3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

dengan adekuat (failure to thrive).

4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.

5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak

bukan merupakan gejala utama.

6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.

7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah).

11

Page 12: Tuberkulosis pada anak

Manifestasi Spesifik Paru.

TB Asimptomatis

Infeksi asimptomatis (atau laten) didefinisikan sebagai infeksi yang diasosiasikan

dengan hipersensitivitas tuberkulis dan tes tuberkulin positif tanpa gejala klinis dan

manifestasi radiologis. Dari CT scan dapat dilihat pembesaran nodus limfe di rongga dada,

walaupun pada rontgen hasil dapat normal. Kadang-kadang, demam subfebris ditemukan pada

onset penyakit. Sekiranya anak berkontak dengan individu dengan TB menular yg tes

tuberkulin positif, diagnosis TB asimptomatis harus segera disingkirkan setelah rontgen foto

thorak dan pemeriksaan fisik yang teliti.4

TB Paru Primer

Kompleks primer mengandung 3 elemen: fokus primer, limfangitis dan limfadenitis

regional. Tanda yang khas pada penyakit ini adalah daerah adenitis yang relatif besar

berbanding lokus pada paru. Karena aliran limfatik thorak berlangsung secara predominan dari

kiri ke kanan, nodus pada bagian kanan atas paratrakeal sering dinilai paling terafeksi.4

Interpretasi ukuran nodus limfe intratoraks pada rontgen sulit, tapi akan terlihat jelas

apabila terdapat adenopati yang disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila nodus limfe membesar,

obstruksi parsial dari bronkus dapat menimbulkan hiperinflasi dan berlanjut kepada

atelektasis. Gambaran radiologis pada penyakit ini mirip penyakit yang disebabkan oleh

aspirasi benda asing. Atelektasis segmental dan lesi hiperinflasi dapat terjadi bersamaan.3

Balita cenderung memperlihatkan tanda dan gejala karena perbahan diameter saluran

nafas berbanding nodus limfe parenkim. Simptom yang paling sering adalah batuk non

produktif dan dispneu. Gangguan respiratorik contohnya obstruksi bronkus dengan tanda

adanya air trapping dan gejala wheezing jarang dikeluhkan.6

TB Paru Progresif

TB paru progresif merupakan komplikasi lanjutan dari TB paru primer. Kompleks

primer yang menjadi fokus awal paru yang tidak mengalami kalsifikasi membesar dengan

stabil membentuk caseous centre yang kemudiannya meleleh ke dalam broncus adjacent

membentuk kavitas primer. Likuifikasi ini berhubungan dengan besarnya jumlah basil TB,

merupakan faktor yang menyebabkan seorang anak dapat mentransmisikan M. tuberkulosis

kepada individu lainnya. Dapat terjadi diseminasi lanjut basil tuberkel ke lobus lain dan ke

12

Page 13: Tuberkulosis pada anak

seluruh paru. Gambaran klinis pada penyakit ini adalah bronkopneumonia dengan demam

tinggi, batuk sedang sampai berat, keringat malam, dullness pada perkusi, rales, dan

penurunan bunyi nafas.4

TB Paru Kronis/Reaktivasi

Sebelum penemuan Obat Anti Tuberkulosis (OAT), TB paru kronis sangat jarang

ditemukan pada anak. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak-anak yang mempunyai

strata sosioekonomi yang rendah, anak perempuan dan pada anak dengan diagnosis TB yang

lambat ditegakkan. Penyakit ini sering ditemukan pada remaja berbanding anak dengan

gambaran radiologis mirip pada orang dewasa, dengan gambaran infiltrat pada lobus atas dan

kavitas. Anak dengan penyakit ini cenderung mengalami demam, anoreksia, malaise,

penurunan berat badan, keringat malam, batuk produktif, nyeri dada dan hemoptisis.3

Efusi pleura

Efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis dapat dilokalisir atau digeneralisir,

unilateral atau bilateral. Efusi pleura TB jarang ditemukan pada anak kurang dari 2 tahun dan

hampir tidak ditemukan pada anak usia dibawah 5 tahun. Onset dari pleurisy berlangsung

cepat mirip pneumonia bakteri, dengan gambaran klinis nyeri dada, sesak nafas, perkusi

dullness dan penurunan bunyi nafas. Demam tinggi dan jika tidak dirawat dapat berlangsung

beberapa minggu.7,8

2.1.6.2 Pemeriksaan penunjang

Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang

kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan

terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan

dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan

bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap

indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai

negatif.2,5

13

Page 14: Tuberkulosis pada anak

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan

positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh

infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M.

atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji

tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin

disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena

infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter

5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada

pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2,5

Uji interferon

Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu,

diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi

dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian di

kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara

infeksi TB dan sakit TB.5

Radiologi

Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada

TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.

Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah:

Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

Konsolidasi segmental/lobar

Milier

Kalsifikasi dengan infiltrat

Atelektasis

Kavitas

Efusi pleura

Tuberkuloma

14

Page 15: Tuberkulosis pada anak

Serologi

Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot,

Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada

satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.5

Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik

apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis dan

pemeriksaan PCR.

Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit

mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung. Dari hasil bilas lambung

didapatkan hanya 10 % anak yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan

positif jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR masih digunakan

untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis rutin.2,5

Patologi Anatomik

Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil,

terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut

mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran

khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan

diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis

yang dijumpai.9,10

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB  Tidak jelas  -

 

 Laporan

keluarga (BTA

negatif atau

tidak jelas)

 BTA(+)

Uji Tuberkulin Negatif - - Positif (≥ 10 mm

15

Page 16: Tuberkulosis pada anak

  atau ≥ 5 mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan /

Status Gizi

- BB/TB < 90% 

atau

BB/U < 80%

 

Klinis gizi

buruk

atau BB/TB <

70%

atau BB/U <

60%

-

Demam tanpa

sebab yang jelas

- ≥ 2 minggu - -

Batuk - ≥ 3 minggu - -

Pembesaran

kelenjar koli,

aksila, inguinal

- ≥ 1 cm, jumlah

> 1, tidak nyeri

- -

Pembengkakan

tulang / sendi

panggul, lutut,

falang

- Ada

pembengkakan

- -

Foto Thorak Normal/kelainan

tidak jelas

Gambaran

sugestif TB

- -

 

Catatan:

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter.

Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis.

Berat badan dinilai saat datang.

Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku.

16

Page 17: Tuberkulosis pada anak

Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat;

atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena

diperlakukan secara khusus.

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka

sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan  kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (≤ 7 hari) harus

dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13).

Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau

terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran

serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.

Gambar 4.1 Bagan skrining tuberkulosis

2.1.7. Tatalaksana TB Pada Anak

17

Page 18: Tuberkulosis pada anak

Beberapa hal penting dalam penatalaksanaan TB anak adalah:

Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan dalam monoterapi

Pemberian gizi yang kuat

Mencari penyakit penyerta dan jika ada ditatalaksana secara simultan.

Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis

(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB

diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer atau anak yang terinfeksi TB tanpa

sakit TB (profilaksis sekunder)).

2.1.7.1 Obat TB yang Digunakan

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),

pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan

obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain

(second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,

ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,

ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif

saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif

(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif

pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh

termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi

simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15

mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid

yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100

mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-

18

Page 19: Tuberkulosis pada anak

2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di

hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu

(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat

yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.

Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi

yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan

isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2

bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu

pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala

dan tanda klinis.2

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua

jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.

Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin

diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,

dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.3

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang

menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,

menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil

dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.

Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi

19

Page 20: Tuberkulosis pada anak

oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,

siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin

umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai

digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan

menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan

pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan

tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada

saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan

dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid

diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam.,

yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman

pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping

berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis

hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia,

dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid

tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan

bersamaan makanan.2,3

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini

memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis

tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah

timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari,

maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam.

Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik

oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi

tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.5

20

Page 21: Tuberkulosis pada anak

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak

dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau

sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam

penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,

etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol

dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat

lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada

keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini

streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting

pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara

intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50

µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat

melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan

cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika

terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.

Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu

keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan

pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu

berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf

pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5

Tabel. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan

tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

21

Page 22: Tuberkulosis pada anak

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,

buta warna merah-hijau, penyempitan lapang

pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

2.1.7.2 Panduan Obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan

sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase

intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).

Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.

Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak

setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat

ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan

rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan

pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.2,3

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier,

meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat

macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase

lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu

meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis

TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida

dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu

dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.3,5

22

Page 23: Tuberkulosis pada anak

2 Bulan 6 Bulan 9 Bulan 12 Bulan

Isoniazid

Rifampisin

Pirazinamid

Etambutol

Streptomisin

Prednison

Gambar. Paduan Obat Antituberkulosis2,5

2.1.7.3 Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2

bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak

jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah

evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada

awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk,

perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan

dilanjutkan.3,5

Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,

kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura

atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1

bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto

rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana

evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.5

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi

penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa

tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau

resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka

pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang

23

Page 24: Tuberkulosis pada anak

dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,

kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah

pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto

rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.5,6

Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi

persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan

mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6

bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda

bermakna dengan pengobatan 6 bulan5

2.1.7.4 Evaluasi efek samping pengobatan

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering

terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal,

hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu

diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2,5

Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi

10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi.

Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase

(SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau

≥ 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5

mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai

dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.1,3

Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.

Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.

Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi

(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan

peningkatan ≥ 5 kali tanpa gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala

memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi

mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya

penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup

24

Page 25: Tuberkulosis pada anak

aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan

hepatotoksisitas dengan tepat.1,5

Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali batas

normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim

transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali

apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan

isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan

pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali

pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan

pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.5

Putus obat

Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama ≥ 2 minggu.

Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang

kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien

tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2

Multi Drug Resistance (MDR) TB

Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau

lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDR-

TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB

semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada

beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal,

penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak

dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.9

Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak

rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa

MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap

menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di

Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB

mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan

25

Page 26: Tuberkulosis pada anak

strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya

1,6% saja.2

2.1.7.5. Nonmedikamentosa

Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai

dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini

menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu

upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung

terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours

(DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program

penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan

TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai

berikut : 2,12

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh

pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB.

Sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang

dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber

infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan

sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu

mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2

Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang

kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan

26

Page 27: Tuberkulosis pada anak

tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang

yaitu uji tuberkulin.3,5

Aspek edukasi dan sosial ekonomi

Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB

memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya

yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi

kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik,

pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi

ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak

tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang

disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.3,5

2.1.8. Pencegahan

Imunisasi BCG

Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis

untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah

insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus

tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih

dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang

mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak

pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.3,5

Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi

BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada

anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB,

TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif

telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi

umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif

aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah

ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi

imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi

27

Page 28: Tuberkulosis pada anak

buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan

optimal.5

2.1.9 Kemoprofilaksis

Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis

sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB,

sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB.

Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan

dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,

terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada

akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan

sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH

profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika

didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji

tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2,3

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum

sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak

semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam

kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan

imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita

morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan

kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu

kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.

Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk

menilai respon dan efek samping obat.3,5

2.1.10 Komplikasi

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke

ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang

menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.

28

Page 29: Tuberkulosis pada anak

Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada

pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.10,12

2.1.11. Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini

memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan

pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi

ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan pada

pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang berespon

buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi multiple

terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena para dokter

meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun ketidakpatuhan pasien dalam

menjalanin pengobatan. 12

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka

kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama isoniazid)

terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa terapi OAT pada TB

milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.12

29

Page 30: Tuberkulosis pada anak

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien:Nama lengkap : An. MTempat dan tanggal lahir : Narmada 1 Juli 2001Umur : 11 tahun Jenis kelamin : PerempuanAlamat : Desa Pesongoran - Pakuan, NarmadaIdentitas keluarga : Anak kandung

Ibu Ayah

Nama Ny. Murniati Tn. Ashadi

Umur 34 th 32 th

Pendidikan/Berapa tahun Tidak Sekolah SD/Tamat

Pekerjaan IRT Buruh

Masuk RS tanggal : 31-07-2012Diagnosis Masuk : Hemoptoe ec suspect TBCKeluar RS tanggal : 09-08-2012Lama Perawatan : 10 hariKeadaan saat KRS : Pengobatan lanjut (Rawat Jalan)

I. ANAMNESIS (tanggal 31-07-2012, diberi tahu oleh pasien dan orangtua pasien) Keluhan Utama : Batuk Darah

1. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien rujukan PKM Narmada dengan hemoptoe es suspect TB paru, saat ini dikeluhkan batuk disertai darah sejak 4 hari yang lalu, berupa darah segar, warna merah cerah, tidak disertai busa/gelembung udara, tidak ada bercampur makan, tidak disertai rasa panas di dada. Awalnya batuk darah tersebut didahului oleh batuk berdahak yang dahaknya sulit keluar dan lama-kelamaan (1-2 jam) pasien dikeluhkan batuknya semakin keras dan setelah itu disertai darah segar sekitar ± 3 sendok makan tiap kali batuk. Batuk yang disertai darah sekitar 4-6 kali/harinya, dengan jumlah darah yang dibatukkan ±200 ml (1 gelas mineral) per harinya. Pasien mengaku batuknya

30

Page 31: Tuberkulosis pada anak

terasa lebih ringan bila dia minum air hangat dan setelah menarik napas panjang. Batuk disertai darah biasanya kambuh saat pagi hari dan malam hari, serta sering terbangun di tengah malam karena batuknya tersebut.Pasien memang sudah dikeluhkan menderita batuk lama sejak ± 1 bulan yang lalu, yang disertai dahak namun sulit keluar, dirasakan terutama pagi dan malam hari. Batuk awalnya ringan dan jarang-jarangan, tapi lama kelamaan semakin memberat sejak 2 minggu yang lalu dan berlangsung setiap harinya. Batuk dirasakan menganggu tidur pasien, dirasakan memberat saat beraktivitas berat dan kelelahan, batuk lebih ringan saat os beristirahat, minum air hangat dan menarik napas panjang. Batuk diakui sering disertai sulit bernapas/sesak yang dirasakan saat sudah batuk terlalu lama dan menghilang setelah batuknya berkurang.Pasien juga dikeluhkan demam sejak 2 minggu yang lalu, demam dirasakan naik turun dengan pola tidak jelas, diakui lebih sering pada malam hari, demam dirasakan tidak terlalu tinggi, biasanya turun dengan obat penurun panas, namun beberapa jam atau keesokan harinya demamnya naik lagi, keluhan mengigil dan kejang disangkal.Riwayat sering berkeringat pada malam hari diakui sudah sejak 2 minggu yang lalu, timbul walaupun udara tidak panas, biasanya tidak terlalu banyak (tidak sampai membasahi pakaian os).Pasien juga dikeluhkan mengalami penurunan nafsu makan sejak 1 bulan yang lalu, dari yang biasanya 3-4 kali/hari menjadi 1-2 kali/harinya, dan jumlahnya juga berkurang sebanyak ½ piring tiap kali makan. Pasien mengaku lidahnya terasa pahit, tetapi menyangkal adanya mual muntah. Keluhan nyeri perut juga disangkal.Pasien juga dikeluhkan terlihat semakin kurus sejak mulai sakit, berat os awalnya sekitar 30 kg, sekarang terukur 26,5 kg. BAB (+) normal, frekuensi 1-2 kali perhari, konsistensi lunak, berwarna kuning kecoklatan, darah(-), lendir (-). BAK (+) normal, frekuensi 5-6 kali perhari, volume ±200 cc tiap BAK, berwarna kuning jernih, merah seperti teh (-).

2. Riwayat Penyakit Sebelumnya :Riwayat batuk darah sebelumnya disangkalRiwayat batuk lama (+) sejak 1 bulan yang lalu, riwayat batuk >2minggu sebelum sekarang disangkalRiwayat sesak napas sebelumnya disangkalRiwayat alergi makanan/obat disangkalRiwayat gusi berdarah, mimisan, mudah memar, darah sukar membeku disangkal

31

Page 32: Tuberkulosis pada anak

3. Riwayat penyakit keluarga dan sosial Riwayat batuk lama (>3minggu) pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga

lain, tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal Riwayat batuk disertai darah pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain,

tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal Riwayat pengobatan TBC pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga lain,

tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal Riwayat demam lama (>2minggu) pada keluarga yang tinggal serumah, keluarga

lain, tetangga sekitar dan teman-teman pasien disangkal Ibu pasien saat ini dikeluhkan demam sejak 1 minggu yang lalu, naik turun,

menggigil (-). Riwayat sesak napas, sering bersin pagi hari pada keluarga disangkal Riwayat alergi obat/makanan disangkal Riwayat kelainan darah (talasemia, hemofilia, leukemia) disangkal

1. Riwayat keluarga (ikhtisar)Pasien adalah anak pertama dari dua bersaudara. Os memiliki adik perempuan berusia

5 tahun.

5. Riwayat Pengobatan Batuk awal : dibelikan obat batuk jenis “OBH” di toko PKM Narmada : RL ??? tpm (makro), Paracetamol, Amoxicilin, Ambroxol, Vit. K IGD : RL 14 tpm (makro), Ceftriaxon iv 1x1 gr, Ranitidin iv 1x1 ampul,

Transamin iv 1x1 ampul

Riwayat Pribadi1. Riwayat kehamilan dan persalinan

- Ibu pasien rutin ANC di Puskesmas, frekuensi 2-3 x.- Riwayat sakit berat selama hamil (-). Riwayat minum obat-obatan selama hamil: ibu

lupa - Riwayat konsumsi obat penambah darah dari Puskesmas (+) sejak bulan pertama

kehamilan sampai menjelang persalinan

32

Page 33: Tuberkulosis pada anak

- Selama ANC, tidak ditemukan kelainan pada janin atau ibu (riwayat perdarahan, muntah berlebihan, demam selama kehamilan disangkal; bidan juga mengatakan letak dan perkembangan janin normal)

- Pasien lahir spontan di rumah, ditolong dukun, Lahir cukup bulan dengan berat lahir tidak diketahui. Lahir langsung menangis, riwayat biru setelah lahir (-), kuning setelah lahir (-).

2. Riwayat nutrisi ASI (+) usia 0 - 2 tahun. Pemberian PASI (bubur/pisang/nasi) mulai usia 4 bulan Pemberian susu formula disangkal Nafsu makan menurun selama 1 bulan terakhir. Makan 1-2x/harinya, dengan

jumlah ± ½ piring. Makanan berupa nasi, sayur-sayuran, tempe/tahu, kerupuk. Ikan, daging, telur jarang (sekitar 1-2x dalam sebulan).

Pasien mengaku jarang mengkonsumsi cemilan.

3. Perkembangan dan kepandaianOrang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya baik dan sesuai dengan anak yang seumuran dengan pasien.Pasien diakui prestasi di sekolahnya sedang, pernah tidak naik kelas 1 kali saat kelas 3 SD karena sakit saat ujian akhir (demam) selama seminggu.

4. Vaksinasi :A. Dasar B. UlanganBCG : (+) pada umur: ibu lupaHepatitis : 3x pada umur: ibu lupaPolio : 3x, pada umur: lupa Pada umur :DPT : (+) pada umur: lupa Pada umur :Campak : 1x, pada umur 9 bulan

o Orangtua mengaku pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap

o Riwayat imunisasi ulangan/lainnya disangkal

33

Page 34: Tuberkulosis pada anak

5. Sosial ekonomi dan lingkunganKeluarga pasien termasuk Sosial-ekonomi rendah, bapak pasien bekerja sebagai burh dengan penghasilan perbulan tidak tentu sekitar Rp.500.000-750.000 perbulan. Pasien tinggal berempat bersama orang tua dan adiknya. Ayah pasien adalah perokok aktif (2-3 batang perhari) dan sering merokok di dekat pasien.Pasien tinggal di daerah perkampungan yang jarak antar rumah saling berdekatan (halaman sempit). Rumah pasien berdinding bedek, beratap genteng, lantai semen, jumlah kamar 2 dengan ukuran 3x3 m, ventilasi ruangan sedikit, keadaan rumah cukup lembab, sirkulasi udara kurang, pencahayaan kurang. Dapur dan kamar mandi terpisah dari rumah, memasak menggunakan kompor kayu, asap kompor sampai ke dalam rumah. Sumber air untuk MCK dari air sumur. Air minum dari air PAM, diakui dimasak dulu. Kebiasaan menggunakan sabun untuk cuci tangan jarang dilakukan.Pasien bersekolah di dekat rumahnya, dengan jarak sekitar 50 m, kesana dengan berjalan kaki. Disekolah pasien mengaku berinteraksi aktif dengan teman ataupun gurunya. Keluarga juga mengaku apabila dirumah pasien jarang keluar bermain dan kebanyakan menonton TV dengan adiknya.

Skoring diagnosis TB anak

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB +

Uji tuberkulin +

Berat badan/keadaan gizi +

Demam yang tidak diketahui penyebabnya +

Batuk kronik +

Pembesaran KGB +

Pembengkakan tulang +

Foto thoraks +

Jumlah skor 7

34

Page 35: Tuberkulosis pada anak

II. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 19-03-2010) Status Present

KU : SedangKes : Compos MentisTD : 100/60 mmHgRR : 24 x/menit, tipe : torakoabdominalNadi : 112 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur.T ax : 37,6 oC.CRT : <2 detik.

Status Gizi Berat badan : 27 kg, Panjang badan : 139 cm Berat badan : di bawah persentil 5 (underweight)

Tinggi badan : percentil 25 (normal) IMT : 13,97 Edema: (-)

Kesimpulan status gizi : Kurang

Status General :

o Kepala dan Leher :

Kepala : Bentuk : normosefali

UUB : datar, sudah menutup

UUK : datar, sudah menutup

Rambut : Warna : hitam

Tebal/tipis : tebal

Jarang/tidak (distribusi) : tidak jarang

Alopesia : tidak ada

Mata : Palpebra : tidak edema

Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut

Konjungtiva: anemis

35

Page 36: Tuberkulosis pada anak

Sklera : tidak ikterik

Produksi air mata : cukup

Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm

Simetris : isokor, normal

Reflek cahaya : +/+

Kornea : jernih

Telinga : Bentuk : simetris

Sekret : tidak ada

Serumen : minimal

Nyeri : tidak ada

Hidung : Bentuk : simetris

Pernafasan cuping hidung : Ada

Epistaksis : tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut : Bentuk : normal

Bibir : mukosa bibir kering, sianosis tidak ada

Gusi : - tidak mudah berdarah

- pembengkakan tidak ada

Lidah : Bentuk: normal

Pucat/tidak : tidak pucat

Tremor/tidak : tidak tremor

Kotor/tidak : tidak kotor

Warna : kemerahan

36

Page 37: Tuberkulosis pada anak

Faring : Hiperemi : Ada

Edema : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

Tonsil : Warna : kemerahan

Pembesaran : tidak ada

Abses/tidak : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat

Tekanan : tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : Ada, < 1 cm, tidak nyeri, jumlah 1

Kaku kuduk : tidak ada

Massa : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

o Thorak :

Dinding dada/paru :

Inspeksi : Bentuk : simetris

Retraksi : Tidak Ada

Dispnea : Ada

Pernafasan : Abdomino-thorakal

Palpasi : kesan simetris, massa (-)

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler

37

Page 38: Tuberkulosis pada anak

Suara Napas Tambahan : Rhonki (+/+) basah halus, dibagian

basal paru, Wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Iktus : tidak terlihat

Palpasi : Apeks : tidak teraba

Thrill : tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra

Batas kiri : ICS V LMK sinistra

Batas atas : ICS II LPS dextra

Auskultasi :

Frekuensi : 114 x/menit

Suara dasar : S1 dan S2 tunggal

Bising : tidak ada

o Abdomen

Inspeksi : Bentuk : datar,

tampak depan : proporsi perut lebih besar daripada pinggul dan paha

tampak samping : bantalan bokong tipis

tampak belakang : baggy pants (-)

Palpasi : Hati : tidak teraba

Lien : tidak teraba

Ginjal : tidak teraba

38

Page 39: Tuberkulosis pada anak

Massa : tidak ada

Perkusi : Timpani/pekak : timpani

Asites : tidak ada

Auskultasi : bising usus (+) normal

o Anggota Gerak:

Tungkai Atas Tungkai Bawah

Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral hangat + + + +

Edema - - - -

Pucat + + - -

Kelainan bentuk - - - -

Pembengkakan

Sendi

- - - -

Pembesaran KGB

Leher

Axilla

Inguinal

+

-

-

+

-

-

+

-

-

+

-

-

o Kulit : Ikterus (-), pustula (-), peteki (-), sklofuloderma (-)

o Urogenital : Perempuan dan tidak tampak kelainan

o Vertebrae : tidak tampak kelainan

39

Page 40: Tuberkulosis pada anak

III. RESUME

Pasien wanita usia 11 tahun datang dengan keluhan batuk disertai darah sejak 4 hari yang lalu, darah segar berwarna merah cerah, tidak disertai busa, tidak disertai makanan, volume 3 sendok makan sekali batuk. Riwayat batuk lama (+) sejak 1 bulan, demam lama sejak 2 minggu yang lalu. Riwayat berkeringat malam hari (+) sejak 2 minggu yang lalu. Disertai penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Tidak ada keluarga dan sekitar dengan keluhan serupa, riwayat pengobatan TBC (-).Didapatkan keadaan umum dalam keadaan sedang, kesadaran kompos mentis, TD: 100/60

mmHg, N :112x/menit, RR: 24x/menit, T: 37,6 ºC, CRT <2 detik, status gizi : kurang. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis (+), faring dan tonsil hiperemi (+), rhonki

basah halus pada basal paru kiri dan kanan. Teraba pembesaran KGB pada leher < 1cm, tidak

nyeri.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 31/07/2012 (pukul 00.30)

o Darah Lengkap

WBC : 19,67 x103/ᵤL N = 4x103 – 11x103/ᵤL

RBC : 4,38 x106/ᵤL N = 3,5x106 – 5,0x106/ᵤL

HGB : 9,5 g/dl N = 12 – 16 g/dl

HCT : 28,7% N = 37 – 48%

MCV : 65,5 fL N = 82 – 95 fL

MCH : 21,7 pg N = 27 - 31 pg

MCHC : 33,1 % N = 32-36 %

PLT : 411 x103/ᵤL N = 150x103 – 400x103/ᵤL

o GDS : 118

40

Page 41: Tuberkulosis pada anak

V. DIAGNOSIS KERJA

Observasi hemoptoe ec TB paru

o DD : Pneumonia, Asma

Anemia hipokromik mikrositik ec Anemia def. Fe

o DD : Anemia ec penyakit kronik

Gizi kurang

VII. RENCANA AWAL

Rencana terapi :

o O2 2 lt/mnt kalau perlu (sesak timbul)

o Infus D5 ¼ NS 20 tpm (makro)

o OAT

o Rifampisin 1x300 mg

o INH 1x300 mg

o Pirazinamid 1x750 mg

o Etambutol 1x500 mg

o Paracetamol tab 3/4 bila demam

o Nebulisasi salbutamol+ipratropium bromida / 8 jam

41

Page 42: Tuberkulosis pada anak

FOLLOW UP

Tanggal 01/08/2012

o Darah Lengkap

WBC : 17,0 x103/ᵤL N = 4x103 – 11x103/ᵤL

RBC : 4,01 x106/ᵤL N = 3,5x106 – 5,0x106/ᵤL

HGB : 8,65 g/dl N = 12 – 16 g/dl

HCT : 27,4% N = 37 – 48%

MCV : 68,3 fL N = 82 – 95 fL

MCH : 21,6 pg N = 27 - 31 pg

MCHC : 31,6 % N = 32-36 %

PLT : 290 x103/ᵤL N = 150x103 – 400x103/ᵤL

o Urine Lengkap

Berat Jenis : 1,015

pH : 6,0

Darah : +3

Nitrit : -

Protein : -

Glukosa : -

Keton : -

Urobilinogen : -

Bilirubin : -

o Mantoux test : Indurasi 12 mm (Positif)

o Ro. Thorax AP + Lateral D/S : Cor kesan normal, Pada paru terlihat gambaran

limfadenopati hilus D/S dan konsolidasi luas pada lobus superior sinistra,

cavitas (-), milier (-), efusi pleura (-).

Tanggal 02/08/2012

o Pemeriksaan BTA dari bilas lambung (melalui NGT) : BTA +2

o Pemeriksaan Bakteri

42

Page 43: Tuberkulosis pada anak

Lekosit : 15-20

Epitel : 2-4

Coccus gram positif : +

Bsail gram negatif : +

Jamur : -

o Retikulosit : 2,8

o MDT : Gambaran anemia hipokromik mikrositik disertai proses

infeksi bakterial dan viral

o BT : 8’30”

o CT : 5’00”

o PPT : 11,9

o APTT : 36,6

o Urine Lengkap

Berat jenis : 1,015

pH : 7,0

Lekosit : 2-3/lpb

Eritrosit : -

Epitel : 1-2/lpb

Kristal

Ca oksalat : -

As. Urat : -

Amorf urat : -

Morf. Fosfat : -

Tanggal 02/08/2012

o Bilirubin total : 0,40

o Bilirubin direk : 0,11

o SGOT : 31

o SGPT : 18

o Alkali phospatase : 69

43

Page 44: Tuberkulosis pada anak

o Total protein : 5,9

o Albumin : 3,2

o Ureum : 18

o Kreatinin : 0,7

Tanggal 04/08/2012

o Urine Lengkap

Berat jenis : 1,010

pH : 7,0

Lekosit : 0-2/lpb

Eritrosit : -

Epitel : 0-3/lpb

Kristal : -

PEMBAHASAN

44

Page 45: Tuberkulosis pada anak

Pada kasus ini, pasien didiagnosis TB paru BTA positif dan rontgen positif. Diagnosis

ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjnag

yang telah dilakukan. Diagnose pneumonia berat berdasarkan anamnesis yang didapatkan

bahwa pasien mengeluh sesak nafas sejak 3 hari disertai batuk dan demam sejak 5 hari.

Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan nafas cepat (jumlah respirasi 38x/mnt) disertai

retraksi subcosta dan dari auskultasi didapatkan rhonki basah halus serta wheezing di kedua

lapang paru. Pasien juga diduga (suspect) menderita TB paru, hal ini berdasarkan anamnesis

yang didapatkan bahwa keluarga pasien ada yang sedang menjalani pengobatan TB yang

sering berkunjung dan bermain beersama pasien, dan dari pemeriksaan penunjang (foto

rontgen) didapatkan hasil bronkopneumoni TB.

Penatalaksanaan pada pasien ini, pasien ini diberi terapi antibiotic, infuse D5 ¼ NS dan

oksigen 2 lpm. Untuk mempertegas diagnosis TB, pasien ini dilakukan tes mantoux. Hasil test

mantoux pada pasien ini adalah negative. Hal ini berarti ada 2 kemungkinan yaitu pertama

memang pasien ini tidak terinfeksi TB atau yang kedua pada pasien ini sedang mengalami fase

inkubasi. Oleh karena itu, pasien ini direncanakan dilakukan test mantoux ulang 2 minggu

lagi.

45

Page 46: Tuberkulosis pada anak

DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1.

Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

2. Setyanto Budi,D., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 . Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Jakarta

3. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan

Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia.

Jakarta: Depkes RI.

4. Rahajoe, dkk. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi Ke-2 dengan revisi. UKK

Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta

5. Depkes RI. 2011. Panduan Diagnosis TB Anak Dengan Sistem Skoring. Jakarta :

Kementerian Kesehatan Ikatan Dokter Anak Indonesia.

6. Setiawati, dkk. 2008. Tuberkulosis : dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu

Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo

7. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB,

penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia : WB

Saunders, 2003 : 958-71.

46