Download pdf - Perdarahan Post Partum

Transcript
Page 1: Perdarahan Post Partum

SKENARIO 1 PENDARAHAN PERSALINAN

KELOMPOK A8

DESITA LU’LUAN LOVIANA (1102007076)

DEVY ARIYANTI K. (1102007079)

ANTHONY MARTHIN (1102008038)

CUT RADHIAH SWADIA (1102008062)

DIKI APRIWAN (1102008076)

DWI SURYANING AYU A. (1102008086)

FAHRIA ALDIANA (1102008099)

FERAWATI (1102008105)

JULIA WIDHIA LESTARI (1102008126)

LEONYTA GARNIS (1102008137)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2011

Page 2: Perdarahan Post Partum

1

SKENARIO 1

PENDARAHAN PERSALINAN

Seorang wanita, usia 29 tahun (G4P3A0) aterm, melahirkan bayi laki-laki, di

tolong oleh bidan. Bayi langsung menangis, BB 2900 gram, PB 48 cm. Pasca

persalinan ibu mengalami perdarahan sehingga bidan merujuk ibu dan bayi ke rumah

sakit terdekat. Pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter laki-laki yang sedang

bertugas di UGD terhadap ibu didapatkan : TD : 90/60 mmHg ; N : 120 x/mnt ; RR

24x/mnt ; suhu : 36,5 C. Ibu didiagnosis mengalami HPP (Haemorrhagic Post

Partum) ec Atonia uteri. Pemeriksaan terhadap bayi didapatkan suhu 36 C. Pada usia

40 jam bayi terlihat kuning, kadar bilirubin total 15 gr/dL, bilirubin inderek 14,2

gr/dL, sehingga dilakukan fototerapi.

Page 3: Perdarahan Post Partum

2

SASARAN BELAJAR

1. Memahami definisi pendarahan pasca melahirkan

2. Memahami klasifikasi pendarahan pasca persalinan

3. Mengetahui penyebab dan faktor resiko terjadinya pendarahan pasca melahirkan

4. Memahami cara penegakan diagnosis pendarahan pasca persalinan

5. Memahami cara penanganan umum dan khusus pendarahan pasca persalinan

akibat Antonia uteri

6. Memahami cara pencegahan pendarahan pasca persalinan

7. Memahami definisi Hipotermia

8. Memahami faktor resiko hipotermia

9. Memahami patofisiologi hipotermia

10. Memahami diagnosis dan penatalaksanaan Hipotermia

11. Memahami definisi hiperbilirunemia pada bayi

12. Memahami klasifikasi hiperbilirubinemia pada bayi

13. Memahami cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan Hiperbilirubinemia

Page 4: Perdarahan Post Partum

3

1. Memahami definisi pendarahan pasca melahirkan Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500

ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor

satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan

dapat disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri,

laserasi jalan lahir dan gangguan pembekuan darah.

Epidemiologi

Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan plasenta yang

kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan perdarahan pada akhir masa

nifas.Kadang-kadang plasenta tidak segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-

batas durasi kala tiga secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan retensio

plasenta shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan plasenta dapat

dikurangi. Combs dan Laros meneliti 12.275 persalinan pervaginam tunggal dan

melaporkan median durasi kala III adalah 6 menit dan 3,3% berlangsung lebih dari 30

menit. Beberapa tindakan untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau

transfusi, menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau lebih. Efek

perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum hamil dan derajat

anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post partum yang dapat mengecohkan

adalah nadi dan tekanan darah yang masih dalam batas normal sampai terjadi

kehilangan darah yang sangat banyak.

2. Memahami klasifikasi pendarahan pasca persalinan 1) Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau

Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera).

Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab

utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio

plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak

dalam 2 jam pertama.

2) Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau

Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan

pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca

persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang

tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

3. Mengetahui penyebab dan faktor resiko terjadinya pendarahan

pasca melahirkan

Etiologi

Etiologi dari perdarahan post partum berdasarkan klasifikasi di atas, adalah :

a. Etiologi perdarahan postpartum dini :

1. Atonia uteri

Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari

rahim dan sebagian lagi belum; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena

Page 5: Perdarahan Post Partum

4

atonia uteri. Atoni uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.

Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama; pembesaran rahim

yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar;

persalinan yang sering (multiparitas) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga

dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan

mendorong rahim ke bawah sementara plasenta belum lepas dari rahim.

Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila

perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan

banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan karena

atonia uteri, rahim membesar dan lembek.Terapi terbaik adalah pencegahan.

Anemia pada kehamilan harus diobati karena perdarahan yang normal pun dapat

membahayakan seorang ibu yang telah mengalami anemia. Bila sebelumnya

pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan berikutnya harus di rumah

sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan sampai terlalu lelah.

Rahim jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta lepas dari dinding

rahim. Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan upaya

penghentian perdarahan secepat mungkin dan mengangatasi akibat perdarahan.

Pada perdarahan yang disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan

suntikan ergometrin ke dalam pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang

diharapkan dalam waktu singkat, dilakukan kompresi bimanual pada rahim, bila

perlu dilakukan tamponade utero vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa kedalam

rahim sampai rongga rahim terisi penuh. Pada perdarahan postpartum ada

kemungkinann dilakukan pengikatan pembuluh nadi yang mensuplai darah ke

rahim atau pengangkatan rahim.

Faktor predisposisi terjadinya atoni uteri adalah :

• Umur yang terlalu muda / tua

• Prioritas sering di jumpai pada multipara dan grande mutipara

• Partus lama dan partus terlantar

• Uterus terlalu regang dan besar misal pada gemelli, hidromnion / janin besar

• Kelainan pada uterus seperti mioma uteri, uterus couveloair pada solusio

plasenta

• Faktor sosial ekonomi yaitu malnutrisi

2. Laserasi Jalan lahir

Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan

postpartum. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan

postpartum dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh

robelan servik atau vagina.

- Robekan Serviks

Persalinan Selalu mengakibatkan robekan serviks sehingga servik seorang

multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan

servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah

uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah

lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik, perlu dipikirkan

perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri.

Page 6: Perdarahan Post Partum

5

- Robekan Vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering

dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi

sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar.

Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan

speculum.

- Robekan Perineum

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang

juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi digaris

tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus

pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah

dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipito bregmatika.

Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan

yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat

3. Hematoma

Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus genitalia,

dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum yang ekimotik.

Hematoma yang kecil diatasi dengan es, analgesic dan pemantauan yang terus

menerus. Biasanya hematoma ini dapat diserap kembali secara alami. Hematoma

yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi atau pada

daerah jahitan perineum.

4. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 1 jam

setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta :

A. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan tumbuh

lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :

1) Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua endometrium

lebih dalam.

2) Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus

desidua endometrium sampai ke miometrium.

3) Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke

serosa.

4) Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau

peritoneum dinding rahim.

B. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar karena atoni

uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat

kesalahan penanganan kala III) yang akan menghalangi plasenta keluar

(plasenta inkarserata).

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi perdarahan

tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi perdarahan. Ini

merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.Plasenta mungkin pula

tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu

keduanya harus dikosongkan.

Page 7: Perdarahan Post Partum

6

5. Subinvolusi

Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normal involusi,

dan keadaan ini merupakan salah satu dari penyebab terumum perdarahan

pascapartum. Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4

hingga 6 minggu pascapartum. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen/

pelvis dari yang diperkirakan. Keluaran lokia seringkali gagal berubah dari bentuk

rubra ke bntuk serosa, lalu ke bentuk lokia alba. Lokia bisa tetap dalam bentuk rubra,

atau kembali ke bentuk rubra dalam beberapa hari pacapartum. Lokia yang tetap

bertahan dalam bentuk rubra selama lebih dari 2 minggu pascapatum sangatlah perlu

dicurigai terjadi kasus subinvolusi. Jumlah lokia bisa lebih banyak dari pada yang

diperkirakan. Leukore, sakit punggung, dan lokia berbau menyengat, bisa terjadi jika

ada infeksi. Ibu bisa juga memiliki riwayat perdarahan yang tidak teratur, atau

perdarahan yang berlebihan setelah kelahiran.

6. Inversio Uteri

Inversio Uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau

seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan mengalami inverse jika

bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan plasenta. Reposisi sebaiknya segera

dilakukan dengan berjalannya waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang

terinversi akan mengecil dan uterus akan terisi darah.

Pembagian inversio uteri :

• Inversio uteri ringan : Fundus uteri terbalik menonjol ke dalam kavum uteri

namun belum keluar dari ruang rongga rahim.

• Inversio uteri sedang : Terbalik dan sudah masuk ke dalam vagina.

• Inversio uteri berat : Uterus dan vagina semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina.

Penyebab inversio uteri :

• Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat kandungan, tekanan

intra abdominal yang tinggi (mengejan dan batuk).

• Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat, manual plasenta

yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada dinding rahim.

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya inversio uteri :

• Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya.

• Tarikan tali pusat yang berlebihan.

b. Etiologi perdarahan postpartum lambat :

1. Tertinggalnya sebagian plasenta

2. Subinvolusi di daerah insersi plasenta

3. Dari luka bekas seksio sesaria

Page 8: Perdarahan Post Partum

7

FAKTOR RESIKO PERDARAHAN POSTPARTUM

4T Proses Etiologi Faktor Resiko Klinis

Tone

(Kontraksi uterus

yang abnormal)

Distensi uterus yang

berlebihan • Polihidramnion

• Gestasi multipel

• Makrosomia

Kelelahan otot uterus • Persalinan yang terla-

lu cepat

• Persalinan lama

• Paritas yang tinggi

Infeksi intraamnion Demam

Pecah ketuban dini

yang lama

Distorsi fungsi/anatomi

uterus • Fibroid uterus

• Plasenta previa

• Anomali uterus

Tissue

(Sisa konsepsi yang

tertahan/tertinggal)

• Jaringan yang tertinggal

• Abnormal plasenta

• Cotyledon atau lobus

succinturiate yang

tertinggal

• Pengeluaran plasenta

yang tidak komplit

• Riwayat operasi pada

uterus sebelumnya

• Paritas yang tinggi

• Abnormal plasenta

Bekuan darah yang terting-

gal

Atonia uterus

Trauma

(Laserasi saluran

reproduksi)

Laserasi serviks, vagina,

atau perineum • Persalinan precipitous

(persalinan yang

terlalu cepat)

• Persalinan secara

operasi

Ekstensi, laserasi pada

operasi seksio sesaria • Malposisi

• Deep engagement

Ruptur uteri Riwayat operasi pada

uterus sebelumnya

Inversi uteri Paritas tinggi

Plasenta di fundus

Thrombin

(Kelainan

koagulopati)

• Pre-existing states

• Hemofilia A

• Von Willebrand’s

disease

• Hx of hereditary

coagulopathies

• Hx of liver disease

Yang diperoleh saat kehami-

lan

• ITP

• Trombositopenia dengan

• Memar

• Tekanan darah meningkat

• Kematian janin

Page 9: Perdarahan Post Partum

8

pre-eklampsia

• DIC

• Pre-eklampsia

• IUFD

• Infeksi berat

• Abrupsi

• Embolus cairan amnion

• Demam

• Perdarahan

antepartum

• Collapse mendadak

Antikoagulan terapetik Hx of blood clot

4. Memahami cara penegakan diagnosis pendarahan pasca

persalinan

Gejala Klinis

Diagnosis

Untuk membuat diagnosis perdarahan postpartum perlu diperhatikan ada

perdarahan yang menimbulkan hipotensi dan anemia. apabila hal ini dibiarkan

berlangsung terus, pasien akan jatuh dalam keadaan syok. perdarahan postpartum

tidak hanya terjadi pada mereka yang mempunyai predisposisi, tetapi pada setiap

persalinan kemungkinan untuk terjadinya perdarahan postpartum selalu ada.

Perdarahan yang terjadi dapat deras atau merembes. perdarahan yang deras

biasanya akan segera menarik perhatian, sehingga cepat ditangani sedangkan

Page 10: Perdarahan Post Partum

9

perdarahan yang merembes karena kurang nampak sering kali tidak mendapat

perhatian. Perdarahan yang bersifat merembes bila berlangsung lama akan

mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Untuk menentukan jumlah perdarahan,

maka darah yang keluar setelah uri lahir harus ditampung dan dicatat.

Kadang-kadang perdarahan terjadi tidak keluar dari vagina, tetapi menumpuk

di vagina dan di dalam uterus. Keadaan ini biasanya diketahui karena adanya

kenaikan fundus uteri setelah uri keluar. Untuk menentukan etiologi dari perdarahan

postpartum diperlukan pemeriksaan lengkap yang meliputi anamnesis, pemeriksaan

umum, pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan dalam.

Pada atonia uteri terjadi kegagalan kontraksi uterus, sehingga pada palpasi

abdomen uterus didapatkan membesar dan lembek. Sedangkan pada laserasi jalan

lahir uterus berkontraksi dengan baik sehingga pada palpasi teraba uterus yang keras.

Dengan pemeriksaan dalam dilakukan eksplorasi vagina, uterus dan pemeriksaan

inspekulo. Dengan cara ini dapat ditentukan adanya robekan dari serviks, vagina,

hematoma dan adanya sisa-sisa plasenta.

Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan tanda-tanda vital

• Suhu badan : Suhu biasanya meningkat sampai 380 C dianggap normal.

Setelah satu hari suhu akan kembali normal (360 C – 370 C), terjadi

penurunan akibat hipovolemia

• Nadi Denyut : nadi akan meningkat cepat karena nyeri, biasanya terjadi

hipovolemia yang semakin berat.

• Tekanan darah : tekanan darah biasanya stabil, memperingan hipovolemia

• Pernafasan : bila suhu dan nadi tidak normal, pernafasan juga menjadi tidak

normal.

b. Pemeriksaan Khusus

Observasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda-tanda komplikasi

dengan mengevaluasi sistem dalam tubuh. Pengkajian ini meliputi :

5. Nyeri/ketidaknyamanan

Nyeri tekan uterus (fragmen-fragmen plasenta tertahan) Ketidaknyamanan

vagina/pelvis, sakit punggung (hematoma)

A. Sistem vaskuler

1. Perdarahan di observasi tiap 2 jam selama 8 jam 1, kemudian tiap 8 jam

berikutnya

2. Tensi diawasi tiap 8 jam

3. Apakah ada tanda-tanda trombosis, kaki sakit, bengkak dan merah

4. Haemorroid diobservasi tiap 8 jam terhadap besar dan kekenyalan

5. Riwayat anemia kronis, konjungtiva anemis/sub anemis, defek koagulasi

kongenital, idiopatik trombositopeni purpura.

Page 11: Perdarahan Post Partum

10

6. Sistem Reproduksi

1. Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari post partum, kemudian

tiap 8 jam selama 3 hari meliputi tinggi fundus uteri dan posisinya serta

konsistensinya

2. Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap warna, banyak dan

bau

3. Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda-tanda infeksi, luka

jahitan dan apakah ada jahitannya yang lepas

4. Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak

5. Payudara dilihat kondisi areola, konsistensi dan kolostrum

6. Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada ukuran dan fungsi

sebelum kehamilan (sub involusi)

7. Traktus urinarius

Diobservasi tiap 2 jam selama 2 hari pertama. Meliputi miksi lancar atau tidak,

spontan dan lain-lain

8. Traktur gastro intestinal

Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi

9. Integritas Ego : Mungkin cemas, ketakutan dan khawatir

Pemeriksaan Penunjang

1. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan percocokan silang

2. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht dan peningkatan

jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil:

10-14gr/dl. Ht saat tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total SDP

saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil 5.000-15.000)

3. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi pasca partum

4. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih

5. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk fibrin/produk split

fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar fibrinogen : masa tromboplastin partial

diaktivasi, masa tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin

memanjang pada KID

6. Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan

Komplikasi perdarahan pascapersalinan Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat mengakibatkan :

1. Syok hemoragie

Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan menurunnya

kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini menyebabkan gangguan

sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat menyebabkan hipovolemia berat.

Apabila hal ini tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan

kerusakan atau nekrosis tubulus renal dan selanjutnya meruak bagian korteks

renal yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka akan

menyebabkan ibu tidak terselamatkan.

Page 12: Perdarahan Post Partum

11

Volume

Kehilangan

Darah

Tekanan Darah

(sistolik)

Gejala dan

Tanda Derajat Syok

500-1.000 mL

(10-15%) Normal

Palpitasi,

takikardia, pusing Terkompensasi

1000-1500 mL

(15-25%)

Penurunan ringan

(80-100 mm Hg)

Lemah,

takikardia,

berkeringat

Ringan

1500-2000 mL

(25-35%)

Penurunan sedang

(70-80 mm Hg)

Gelisah, pucat,

oliguria Sedang

2000-3000 mL

(35-50%)

Penurunan tajam

(50-70 mm Hg)

Pingsan, hipoksia,

anuria Berat

2. Anemia

Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan

perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah. Anemia

dapat berlanjut menjadi masalah apabila tidak ditangani, yaitu pusing dan tidak

bergairah dan juga akan berdampak juga pada asupan ASI bayi.

3. Sindrom Sheehan

Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan postpartum

sampai syok. Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia yang dapat

menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis. Nekrosis kelenjar hipofisi dapat

mempengaruhi sistem endokrin.

5. Memahami cara penanganan umum dan khusus pendarahan

pasca persalinan akibat Antonia uteri Dengan adanya perdarahan yang keluar pada kala III, bila tidak berkontraksi

dengan kuat, uterus harus diurut :

• Pijat dengan lembut boggi uterus, sambil menyokong segmen uterus bagian

bawah untuk menstimulasi kontraksi dan kekuatan penggumpalan. Waspada

terhadap kekuatan pemijatan. Pemijatan yang kuat dapat meletihkan uterus,

mengakibatkan atonia uteri yang dapat menyebabkan nyeri. Lakukan dengan

lembut. Perdarahan yang signifikan dapat terjadi karena penyebab lain selain

atoni uteri.

• Dorongan pada plasenta diupayakan dengan tekanan manual pada fundus uteri.

Bila perdarahan berlanjut pengeluaran plasenta secara manual harus dilakukan.

• Pantau tipe dan jumlah perdarahan serta konsistensi uterus yang menyertai selama

berlangsungnya hal tersebut. Waspada terhadap darah yang berwarna merah dan

uterus yang relaksasi yang berindikasi atoni uteri atau fragmen plasenta yang

tertahan. Perdarahan vagina berwarna merah terang dan kontra indikasi uterus,

mengindikasikan perdarahan akibat adanya laserasi.

• Berikan kompres es salama jam pertama setelah kelahiran pada ibu yang beresiko

mengalami hematoma vagina. Jika hematoma terbentuk, gunakan rendam duduk

setelah 12 jam.

Page 13: Perdarahan Post Partum

12

• Pertahankan pemberian cairan IV dan mulai cairan IV kedua dengan ukuran jarum 18, untuk pemberian produk darah, jika diperlukan. Kirim contoh darah

untuk penentuan golongan dan pemeriksaan silang, jika pemeriksaan ini belum

dilakukan diruang persalinan.

Pemberian 20 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan RL atau saline normal,

terbukti efektif bila diberikan infus intra vena + 10 ml/mnt bersama dengan

mengurut uterus secara efektif

• Bila cara diatas tidak efektif, ergonovine 0,2 mg yang diberikan secara IV, dapat

merangsang uterus untuk berkontraksi dan berelaksasi dengan baik, untuk

mengatasi perdarahan dari tempat implantasi plasenta.

• Pantau asupan dan pengeluaran cairan setiap jam. Pada awalnya masukan kateter

foley untuk memastikan keakuratan perhitungan haluaran.

• Berikan oksigen malalui masker atau nasal kanula. Dengan laju 7-10 L/menit bila

terdapat tanda kegawatan pernafasan.

Terapi Perdarahan Postpartum karena Atonia

Bila terjadi perdarahan sebelum plasenta lahir (Retensia plasenta), ibu harus

segera minta pertolongan dokter rumah sakit terdekat. Untuk daerah terpencil dimana

terdapat bidan, maka bidan dapat melakukan tindakan dengan urutan sebagai berikut:

• Pasang infus.

• Pemberian uterotonika intravena tiga hingga lima unit oksitosina atau

ergometrin 0,5 cc hingga 1 cc.

• Kosongkan kandung kemih dan lakukan masase ringan di uterus.

• Keluarkan plasenta dengan perasat Crede, bila gagal, lanjutkan dengan;

• Plasenta manual (seyogyanya di rumah sakit).

• Periksa apakah masih ada plasenta yang tertinggal. Bila masih berdarah;

• Dalam keadaan darurat dapat dilakukan penekanan pada fundus uteri atau

kompresi aorta.

Bila perdarahan terjadi setelah plasenta lahir, dapat dilakukan:

• Pemberian uterotonika intravena.

• Kosongkan kandung kemih.

• Menekan uterus-perasat Crede.

• Tahan fundus uteri/(fundus steun) atau kompresi aorta.

Terapi pembedahan

1. Laparatomi

Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah

tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan

mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri

ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi

benarbenar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena

hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase

apabila perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada

Page 14: Perdarahan Post Partum

13

perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian

uterotonica.

2. Ligasi arteri

• Ligasi uteri uterine

Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal dari

uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan

kesuburan.

• Ligasi arteri ovarii

Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan

• Ligasi arteri iliaca interna

Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber dari semua traktus genetalia

dengan mengurangi

tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila tidak berhasil

menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah histerektomi.

3. Histerektomi

Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang berasal

dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun

subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal

histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari

segmen bawah rahim, servix,fornix vagina.Referensi pemberian uterotonica :

1. Pitocin

a. Onset in 3 to 5 minutes

b. Intramuscular : 10-20 units

c. Intravenous : 40 units/liter at 250 cc/hour

2. Ergotamine ( Methergine )

a. Dosing : 0.2 mg IM or PO every 6-8 hour

b. Onset in 2 to 5 minutes

c. Kontraindikasi

•Hypertensi

•Pregnancy Induced hypertntion

•hypersensitivity

3. Prostaglandin ( Hemabate )

a. Dosing : 0.25 mg Intramuscular or intra – myometrium

b. Onset < 5 minutes

c. Administer every 15 minutes to maximum of 2 mg

4. Misoprostol 600 mcg PO or PR

6. Memahami cara pencegahan pendarahan pasca persalinan a. Perawatan masa kehamilan

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang

disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak

saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan

melakukan antenatal care yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan

Page 15: Perdarahan Post Partum

14

adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan

postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.

b. Persiapan persalinan

Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,golongan

darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank

darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan

apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya

langsung dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko

perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat

persalinan.

c. Persalinan

Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular atau

maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik.

Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama

ataupun sesudah lahirnya plasenta bias mengganggu kontraksi normal

myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan menyebabkan

kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan

postpartum.

d. Kala tiga dan Kala empat

e. Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study

memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang

mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan

insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada

pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk

memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume

darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%.

f. Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah

bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru

dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus

mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari

vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak

keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik

tali pusat secra hati-hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah

lengkap atau tidak. Untuk “ manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu

dilakukannya manual plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah

tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan

manual plasenta harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan

perdarahan, banyak yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit

setelah bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap,

uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.

g. Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir

yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka

trauma ataupun episiotomy segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang

mengeras dan berkontraksi dengan baik.

Page 16: Perdarahan Post Partum

15

Prognosis

Angka kematian ibu mencapai 7,9 % (Mochtar. R), dan menurut Wignyosastro

angka kematian ibu mencapai 1,8-4,5% dari kasus yang ada. Tergantung dari

penanganannya pengobatan dari prdarahan post partum tersebut.

7. Memahami definisi Hipotermia Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh di bawah 36

0C (Dep.Kes. RI, 1994).

Klasifikasi

Hipotermi pada BBL adalah penurunan suhu dibawah 36.5 0C, yang terbagi atas :

• Hipotermi ringan : suhu antara 36 - 36.5 0C

• Hipotermi sedang : suhu antara 32 - 36.5 0C

• Hipotermi berat : suhu antara < 32 0 C

Berdasarkan kejadiannya, hipotermia dibagi atas:

1. Hipotermia sepintas, yaitu penurunan suhu tubuh 1--2oC sesudah lahir. Suhu

tubuh akan menjadi normal kembali sesudah bayi berumur 4--8 jam, bila suhu

lingkungan diatur sebaik-baiknya. Hipotermia sepintas ini terdapat pada bayi

dengan BBLR, hipoksia, resusitasi yang lama, ruangan tempat bersalin yang

dingin, bila bayi tidak segera dibungkus setelah lahir, terlalu cepat dimandikan

(kurang dari 4 jam sesudah lahir), dan pemberian morfin pada ibu yang

sedang bersalin.

2. Hipotermia akut terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin selama 6--

12 jam. Terdapat pada bayi dengan BBLR di ruang tempat bersalin yang

dingin, inkubator yang tidak cukup panas, kelalaian dari dokter, bidan, dan

perawat terhadap bayi yang akan lahir, yaitu diduga mati dalam kandungan

tetapi ternyata hidup dan sebagainya. Gejalanya ialah lemah, gelisah,

pernapasan dan bunyi jantung lambat serta kedua kaki dingin. Terapinya ialah

dengan segera memasukkan bayi ke dalam inkubator yang suhunya telah

diatur menurut kebutuhan bayi dan dalam keadaan telanjang supaya dapat

diawasi dengan teliti.

3. Hipoterroia sekunder. Penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan oleh suhu

lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti sepsis, sindrom

gangguan pernapasan dengan hipoksia atau hipoglikemia, perdarahan intra-

kranial tranfusi tukar, penyakit jantung bawaan yang berat, dan bayi dengan

BBLR serta hipoglikemia. Pengobatannya ialah dengan mengobati

penyebabnya, misalnya dengan pemberian antibiotik, larutan glukosa,

oksigen, dan sebagainya. Pemeriksaan suhu tubuh pada bayi yang sedang

mendapat tranfusi tukar harus dilakukan beberapa kali karena hipotermia

harus diketahui secepatnya. Bila suhu sekitar 32oC, tranfusi tukar harus

dihentikan untuk sementara waktu sampai suhu tubuh menjadi normal

kembali.

4. Cold injury, yaitu hipotermia yang timbul karena terlalu lama dalam ruangan

dingin (lebih dari 12 jam). Gejalanya ialah lemah, tidak mau minum, badan

Page 17: Perdarahan Post Partum

16

dingin, oliguria, suhu berkisar antara 29,5—35oC, tak banyak bergerak,

edema, serta kemerahan pada tangan, kaki, dan muka seolah-olah bayi dalam

keadaan sehat; pengerasan jaringan subkutis. Bayi seperti ini sering

mengalami komplikasi infeksi, hipoglikemia, dan perdarahan. Pengobatannya

ialah dengan memanaskan secara perlahan-lahan, antibiotik, pemberian

larutan glukosa 10%, dan kortikosteroid.

8. Memahami faktor resiko hipotermia a. Penyebab utama

Kurang pengetahuan cara kehilangan panas dari tubuh bayi dan pentingnya

mengeringkan bayi secepat mungkin

b. Resiko untuk terjadinya hiptoermia

1) Perawatan yang kurang tepat setelah bayi lahir

2) Bayi dipisahkan dari ibunya segera setelah lahir

3) Berat lahir bayi yang kurang dan kehamilan prematur

4) Tempat melahirkan yang dingin (putus rantai hangat).

5) Bayi asfiksia, hipoksia, resusitasi yang lama, sepsis, sindrom dengan

pernafasan, hipoglikemia perdarahan intra kranial.

(DepKes RI, 1992)

c. Faktor pencetus terjadinya hipotermia :

1) Faktor lingkungan

2) Syok

3) Infeksi

4) Gangguan endokrin metabolik

5) Kurang gizi, energi protein (KKP)

6) Obat – obatan

7) Aneka cuaca

(DepKes RI, 1992)

9. Memahami patofisiologi hipotermia Sewaktu kulit bayi menjadi dingin, saraf afferen menyampaikan pada sentral

pengatur panas di hipothalamus. Saraf yang dari hipothalamus sewaktu mencapai

brown fat memacu pelepasan noradrenalin lokal sehingga trigliserida dioksidasi

menjadi gliserol dan asam lemak. Blood gliserol level meningkat, tetapi asam lemak

secara lokal dikonsumsi untuk menghasilkan panas. Daerah brown fat menjadi panas,

kemudian didistribusikan ke beberapa bagian tubuh melalui aliran darah. Ini

menunjukkan bahwa bayi akan memerlukan oksigen tambahan dan glukosa untuk

metabolisme yang digunakan untuk menjaga tubuh tetap hangat. Methabolic

thermogenesis yang efektif memerlukan integritas dari sistem syaraf sentral,

kecukupan dari brown fat, dan tersedianya glukosa serta oksigen. Perubahan fisiologis akibat hipotermia yang terjadi pada sistem syaraf pusat

antara lain antara lain: depresi linier dari metabolisme otak, amnesia, apatis, disartria,

pertimbangan yang terganggu adaptasi yang salah, EEG yang abnormal, depressi

kesadaran yang progresif, dilatasi pupil, dan halusinasi. Dalam keadaan berat dapat

Page 18: Perdarahan Post Partum

17

terjadi kehilangan autoregulasi otak, aliran darah otak menurun, koma, refleks okuli

yang hilang, dan penurunan yang progressif dari aktivitas EEG. Pada jantung dapat

terjadi takikardi, kemudian bradikardi yang progressif, kontriksi pembuluh darah,

peningkatan cardiac out put, dan tekanan darah. Selanjutnya, peningkatan aritmia

atrium dan ventrikel, perubahan EKG dan sistole yang memanjang; penurunan

tekanan darah yang progressif, denyut jantung, dan cardiac out put disritmia serta

asistole. Pada pernapasan dapat terjadi takipnea, bronkhorea, bronkhospasma,

hipoventilasi konsumsi oksigen yang menurun sampai 50%, kongesti paru dan

edema, konsumsi oksigen yang menurun sampai 75%, dan apnoe. Pada ginjal dan

sistem endokrin, dapat terjadi cold diuresis, peningkatan katekolamin, steroid

adrenal, T3 dan T4 dan menggigil; peningkatan aliran darah ginjal sampai 50%,

autoregulasi ginjal yang intak, dan hilangnya aktivitas insulin. Pada keadaan berat,

dapat terjadi oliguri yang berat, poikilotermia, dan penurunan metabolisma basal

sampai 80%. Pada otot syaraf, dapat terjadi penurunan tonus otot sebelum menggigil,

termogenesis, ataksia, hiporefleksia, dan rigiditi. Pada keadaan berat, dapat terjadi

arefleksia daerah perifer.

BBL dapat mengalami hipotermi melalui beberapa mekanisme :

a. Penurunan produksi panas

Karena kegagalan sistem endokrin dan terjadi penurunan metabolisme tubuh.

b. Peningkatan panas yang hilang

Karena panas tubuh berpindah ke lingkungan sekitar, dan tubuh kehilangan panas.

Mekanisme kehilangan panas dapat terjadi secara :

• Konduksi

Perpindahan panas akibat perbedaan suhu antara objek. Kehilangan panas

terjadi saat kontak lagsung antara kulit BBL dengan permukaan yang lebih

dingin. Contoh : penimbangan BBL pada permukaan / alas yang dingin.

• Konveksi

Transfer panas terjadi secara sederhana dari selisih suhu antara permukaan

kulit dan aliran udara yang dingin di permukaan tubuh bayi. Contoh : BBL

Pada inkubator yang jendelanya terbuka dan pada saat transportasi BBL ke

RS.

• Radiasi

Perpindahan suhu dari objek panas ke objek yang dingin. Contoh : BBL

dengan suhu yang hangat dikelilingi suhu lingkungan yang lebih dingin.

Sumber kehilangan panas dapat berupa suhu lingkungan yang dingin atau

suhu inkubator yang dingin.

• Evaporasi

Panas terbuang akibat penguapan melalui permukaan kulit dan traktur

respiratorius. Contoh : BBL yang basah setelah lahiratau pada waktu

dimandikan.

Page 19: Perdarahan Post Partum

18

c. Kegagalan termerogulasi

Disebabkan kegagalan hipotalamus dalam menjalankan fungsinya karena

berbagai penyebab. Contoh : keadaan hipoksia intrauterin / saat persalinan atau

postpartum, defek neurologik dan paparan obat parenteral dapat menekan respon

neurologik bayi dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Bayi yang sepsis juga

dapat mengalami masalah dalam pengaturan suhu tubuhnya sehingga menjadi

hipotermi / hipertermi.

10. Memahami cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan

Hipotermia

Gejala Klinis

Gejala hipotermia bayi baru lahir

a. Bayi tidak mau minum / menetek

b. Bayi tampak lesu atau mengantuk

c. Tubuh bayi teraba dingin

d. Dalam keadaan berat, denyut jantung bayi, menurun dan kulit tubuh bayi

mengeras (sklerema).

Tanda – tanda hipotermia sedang :

a. Aktifitas berkurang, letargis

b. Tangisan lemah

c. Kulit berwarna tidak rata (cutis malviorata)

d. Kemampuan menghisap lemah

e. Kaki teraba dingin

f. Jika hipotermia berlanjut akan timbul cidera dingin

Tanda – tanda hipotermia berat

a. Aktifitas berkurang, letargis

b. Bibir dan kuku kebiruan

c. Pernafasan lambat

d. Pernafasan tidak teratur

e. Bunyi jantung lambat

f. Selanjutnya mungkin timbul hipoglikemia dan asidosis metabolik

g. Resiko untuk kematian bayi

Tanda – tanda stadium lanjut hipotermia

a. Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang

b. Bagian tubuh lainnya pucat

c. Kulit mengeras merah dan timbul edema terutama pada punggung, kaki dan

tangan (sklerema)

Diagnosis

Diagnosis ditegakan dengan pengukuran suhu tubuh bayi, pengukuran dapat

dilakukan melalui aksila, rektal, atau kulit.

Melalui aksila : dianjurkan karena mudah, sederhana, dan aman.

Page 20: Perdarahan Post Partum

19

Melalui rektal : sangat dianjurkan untuk dilakukan pada semua BBL karena

sekaligus sebagai tes skrining untuk kemungkinan adanya anus imperforatus.

Tindakan Pada Hipotermia

Segera hangatkan bayi, apabila terdapat alat yang canggih seperti inkubaator

gunakan sesuai ketentuan. Apabila tidak tersedia inkubator cara ilmiah adalah

menggunakan metode kanguru cara lainnya adalah dengan penyinaran lampu.

BERAT

BAYI

SUHU INKUBATOR (0C) MENURUT UMUR

350c 34

0c 33

0c 32

0c

< 500 g 1-10 hari 11 hari – 3

minggu

3-5 minggu >5 minggu

1500 – 2000

g

1-10 minggu 11 hari – 4

minggu

>4 minggu

2100 -2500 g 1-2 minggu 3 hari – 3 minggu >3 minggu

> 2500 g >2 hari

a. Hipotermia Sedang

1) Keringkan tubuh bayi dengan handuk yang kering, bersih, dapat hangat

2) Segera hangatkan tubuh bayi dengan metode kanguru bila ibu dan bayi

berada dalam satu selimut atau kain hangaat yang diserterika terlebih

dahulu. Bila selimut atau kain mulai mendingin, segera ganti dengan

selimut / kain yang hangat.

3) Ulangi sampai panas tubuh ibu mendingin, segera ganti dengan selimut /

kain yang hangat.

4) Mencegah bayi kehilangan panas dengan cara :

a) Memberi tutup kepala / topi bayi

b) Mengganti kain / popok bayi yang basah dengan yang kering dan

hangat

b. Hipotermi Berat

1) Keringkan tubuh bayi dengan handuk yang kering, bersih, dan hangat

2) Segera hangatkan tubuh bayi dengan metode kanguru, bila perlu ibu dan

bayi berada dalam satu selimut atau kain hangat

3) Bila selimut atau kain mulai mendingin. Segera ganti dengan selimut atau

lainnya hangat ulangi sampai panas tubuh ibu menghangatkan tubuh bayi

4) Mencegah bayi kehilangan panas dengan cara :

a) Memberi tutup kepala / topi kepala

b) Mengganti kain / pakaian / popok yang basah dengan yang kering atau

hangat

5) Biasanya bayi hipotermi menderita hipoglikemia. Karena itu ASI sedini

mungkin dapat lebih sering selama bayi menginginkan. Bila terlalu lemah

hingga tidak dapat atau tidak kuat menghisap ASI. Beri ASI dengan

menggunakan NGT. Bila tidak tersedia alat NGT. Beri infus dextrose 10%

sebanyak 60 –80 ml/kg/liter

Page 21: Perdarahan Post Partum

20

6) Segera rujuk di RS terdekat

(Dep.Kes. RI, 1994).

Pencegahan Hipotermia

Pencegahan hipotermia merupakan asuhan neonatal dasar agar BBL tidak

mengalami hipotermia. Disebut hipotermia bila suhu tubuh turun dibawah 36,50C.

Suhu normal pada neonatus adalah 36,5 – 37,50C pada pengukuran suhu melalui

ketiak BBL mudah sekali terkena hipotermia, hal ini disebabkan karena :

a. Pusat pengaturan panas pada bayi belum berfungsi dengan sempurna

b. Permukaan tubuh bayi relatif luas

c. Tubuh bayi terlalu kecil untuk memproduksi dan menyimpan panas

d. Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dari pakaiannya agar ia tidak

kedinginan.

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk pencegahan hipotermi adalah

mengeringkan bayi segera mungkin, menutup bayi dengan selimut atau topi dan

menenmpatkan bayi di atas perut ibu (kontak dari kulit ke kulit). Jika kondisi ibu

tidak memungkinkan untuk menaruh bayi di atas dada (karena ibu lemah atau syok)

maka hal-hal yang dapat dilakukan :

1. Mengeringkan dan membungkus bayi dengan kain yang hangar

2. Meletakkan bayi didekat ibu

3. Memastikan ruang bayi yang terbaring cukup hangat

(Dep.Kes. RI, 1994).

11. Memahami definisi hiperbilirunemia pada bayi Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin

serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan

ikterus pada kulit, sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi

meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan

kadar bilirubin pada otak.

(Ni Luh Gede, 1995)

Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50%

neonates cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan) (IKA II, 2002).

Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada jaringan ekstravaskuler

sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning.

(Ngastiyah, 1997)

Hiperbilirubin adalah me ningkatnya ka dar bilirubin dalam darah yang

kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).

Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.

Page 22: Perdarahan Post Partum

21

12. Memahami klasifikasi hiperbilirubinemia pada bayi

1. Hiperbilirubinemia fisiologis

Kriteria

Tidak terjadi pada hari pertama kehidupan (muncul setelah 24 jam).

Peningkatan bilirubin normal total tidak lebih dari 5 mg% perhari. Pada cukup

bulan mencapai puncak pada 72 jam. Serum bilirubin 6 – 8 mg%. pada hari

kelima akan turun sampai 3 mg%. selama 3 hari kadar bilirubin 2 – 3 mg%. turun

perlahan sampai dengan normal pada umur 11 – 12 hari. Pada BBLR/premature

bilirubin mencapai puncak pada 120 jam serum bilirubin 10 mg% (10 – 15%) dan

menurun setelah 2 minggu.

Etiologi

Umur eritrosit lebih pendek (80-90 hari), sedangkan pada dewasa 120 hari.

Jumlah darah pada bayi baru lahir lebih banyak (± 80 ml/kg BB), pada dewasa 60

ml/kg BB. Sumber bilirubin lain lebih banyak daripada orang dewasa. Jumlah

albumin untuk transport bilirubin relative kurang terutama pada premature. Flora

usus belum banyak, adanya peningkatan aktivitas dekonjugasi enzim β

glukoronidase.

2. Hiperbilirubinemia patologis

Kriteria

Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan, serum bilirubin total

meningkat lebih dari 5 mg% perhari. Pada bayi cukup bulan serum bilirubin total

lebih dari 12 mg%, pada bayi premature >15 mg%. bilirubin conjugated >1,5 – 2

mg%. ikterus berlangsung >1 minggu pada bayi cukup bulan dan 2 minggu pada

bayi premature.

Etiologi

1) Pembentukan bilirubin berlebihan karena hemolisis

Disebabkan oleh penyakit hemolitik atau peningkatan destruksi eritrosit

karena:

a. Hb dan eritrosit abnormal (Hb S pada anemia sel sabit)

b. Inkompabilitas ABO

c. Defisiensi G6PD

d. Sepsis

e. Obat-obatan seperti oksitosin

2) Gangguan transport bilirubin, dipengaruhi oleh:

a. Hipoalbunemia

b. Prematuritas

c. Obat-obatan seperti sulfonamide, salisilat, diuretic, dan FFA (free fatty

acid) yang berkompetisi dengan albumin

d. Hipoksia, asidosis, hipotermi

e. Pemotongan tali pusat yang lambat

f. Polisitemia

g. Hemoragi ekstravasasi dalam tubuh seperti cephalhematoma, memar.

Page 23: Perdarahan Post Partum

22

3) Gangguan uptake bilirubin, karena:

a. Berkurangnya ligandin

b. Peningkatan aseptor Y dan Z oleh anion lain (novobiosin)

4) Gangguan konjugasi bilirubin

a. Defisiensi enzim glukoronil transferasi, imaturitas hepar

b. Ikterus persisten pada bayi yang diberi ASI

c. Hipoksia dan hipoglikemia

5) Penurunan ekskresi bilirubin disebabkan karena adanya sumbatan pada duktus

biliaris.

6) Gangguan eleminasi bilirubin

a. Pemberian ASI yang lambat

b. Pengeluaran mekonium yang lambat

c. Obstruksi mekanik

13. Memahami cara penegakan diagnosis dan penatalaksanaan

Hiperbilirubinemia

Gejala Klinis Menurut Wong (2005)

waktu timbulnya ikterus berkaitan erat dengan penyebaran ikterus.

• Timbul pada hari pertama: inkompabilitas ABO/Rh, infeksi intra

uteri, toksoplasmosis.

• Hari ke-2 dan ke-3: ikterus fisiologis

• Hari ke-4 dan ke-5: Ikterus karena ASI

• Setelah minggu pertama: Atresia ductus pasca choleductus, infeksi

pasca natal, hepatitis neonatal

Jaundice (kulit menjadi kuning)

• Pertama kali muncul pada kepala dan berangsur2 menyebar pada

abdomen dan bagian tubuh yang lain

• Kuning terang orange: unconjugated bilirubin

• Kuning kehijauan: Conjugated bilirubin.

Diagnosis Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa

faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.

1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)

2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)

3. Usia kehamilan < 38 minggu

4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO �)

5. Ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya

Page 24: Perdarahan Post Partum

23

6. Hematoma sefal, ‘bruising’

7. ASI eksklusif (bila berat badan turun > 12 % BB lahir)

8. Ras Asia Timur, jenis kelamin laki-laki, usia ibu < 25 tahun

9. Ikterus sebelum bayi dipulangkan

10. ‘Infant Diabetic Mother’, makrosomia

11. Polisitemia

Anamnesis 1. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,

malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)

2. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi

3. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya

4. Riwayat inkompatibilitas darah

5. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa

Pemeriksaan Fisik Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau

beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang

cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat

dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.

Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi

sinar.

Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit

dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam

diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai

kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.

Tabel 1. Perkiraan

klinis derajat ikterus Usia

Ikterus terlihat pada Klasifikasi

Hari 1

Hari 2

Hari 3 dst.

Setiap ikterus yang terlihat

Lengan dan tungkai

Tangan dan kaki

Ikterus berat

Derajat ikterus menurut Kramer

Page 25: Perdarahan Post Partum

24

Zona Bagian tubuh yang

kuning

Rata-rata serum bilirubin

indirek (umol/L)

1 Kepala dan leher 100 atau 7,4 mg/dL

2 Pusat-leher 150 atau 10,6 mg/dL

3 Pusat-paha 200 atau 14,1 mg/dL

4 Lengan + tungkai 250 atau 17,2 mg/dL

5 Tangan + kaki > 250 atau >20 tahun

Pemeriksaan Lab

1. Bilirubin Serum

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus

neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal

yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah

tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat

meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total.

Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter

menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau

usia bayi > 2 minggu.

2. Bilirubinometer Transkutan

Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip

memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm.

Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang

diperiksa.

Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat

dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength

spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan

dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.

Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk

mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan

pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di

Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada

penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL

(249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum

Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun

interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur

TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk

menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB. Umumnya pemeriksaan TcB

dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang

Page 26: Perdarahan Post Partum

25

dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum

ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan

tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

3. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan

mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang

rendah.

Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah

satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan

reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak

berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan

lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin

dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran

konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks

produksi bilirubin.

Penanganan medis

Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse

pangganti, infuse albumin dan therapi obat.

a. Fototherapi

Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse

pengganti untuk me nurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya de

ngan intensitas yang tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the

bluelight spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi me nurunkan

kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin ta k terkonjugasi. Hal

ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi

menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan

ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan

dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu

dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersa ma feses tanpa

proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi

bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indire k 4-5

mg/dl. Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus

difotote rapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan

untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pe rtama pada bayi

resiko tinggi dan berat badan lahir rendah.

b. Transfusi Pengganti

Transfusi pengganti digunkan untuk:

a) Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan)

terhadap sel

b) darah merah terhadap antibody maternal

c) Menghilangkan sel darah mera h untuk yang tersensitisasi (kepekaan)

Page 27: Perdarahan Post Partum

26

d) Menghilangkan serum bilirubin

e) Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan

dangan

f) bilirubin

c. Therapi Obat

• Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang

meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif

baik diberikan pada ibu hamil untuk bebera pa hari sampai bebe rapa

minggu sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada postnatal masih

menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat

mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga

menurunkan siklus enterohepatika.

• Antibiotic diberikan bila terkait dengan adanya infeksi.

Page 28: Perdarahan Post Partum

27

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri William Edisi 18. Jakarta: EGC,

1995.

Supono. Ilmu Kebidanan Bab Fisiologi. Palembang: Bagian Departemen Obstetri dan

Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004.

Khoman JS. Pendarahan Hamil Tua dan Pendarahan Post Partum. Cermin Dunia

Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 : 60-63.

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga, Eds: Hanifa Wiknjosastro

dkk. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005

Program Appropiate Technology in Health (PATH). Mencegah Perdarahan Pasca

Persalinan: Menangani Persalinan Kala Tiga. Available from

URL:HYPERLINK http://www.path.org/files/Indonesian_19-3.pdf

Depkes RI, 1994, Pedoman Penanganan Kegawatdaruratan Obstektrik dan

Neonatal, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

________________, Asuhan Kesehatan Anak Dalam Konteks Keluarga, Departemen

Kesehatan RI, Jakarta

Saifuddin, Abdul Bari, 2002, Pelayanan Kesehatan Maternal & Neonatal, INPKKR-

POGI & YBS – SP, Jakarta.

Wiknjosastro Gulardi H., dkk, 2007, Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, Jakarta.

Handoko, I.S. 2003. Hiperbilirubinemia. Klinikku.

Markum, H. 1991. Ilmu Kesehata n Anak. Buku I. FKUI, Jakarta.

Surasmi, A., Handayani, S. & Kusuma, H.N. 2003. Pera watan Bayi Resiko

Tinggi. Cetakan I. Jakarta : EGC.