Upload
dian-pratiwi
View
111
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 44 tahun
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Status nikah : Menikah
Suku bangsa : Betawi
Alamat : RT 002/ RW 02, Kel. Jurang Mangu, Kec.Pondok Aren, Tangerang
Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2013
1.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.
Keluhan Utama
Kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik RS Fatmawati dengan keluhan kejang sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku kejang timbul saat pasien sedang tidur pada
malam hari pukul 23.00 pm. Sebelum terjadi kejang pasien mengeluhkan adanya sakit kepala
± 1 hari sebelum serangan kejang. perasaan mendengarkan suara sesuatu, melihat sesuatu
atau mengecap sesuatu sebelum terjadinya kejang disangkal. Menurut cerita istri pasien,
pasien kejang dengan seluruh tangan dan kaki kelojotan, kepala menengok kekanan, mata
mendelik keatas dan mulut terkunci hal tersebut terjadi sekitar ± 10 menit, saat terjadi kejang
pasien hilang kesadaran. Keluar busa dan mengompol saat kejang disangkal. Setelah
serangan kejang pasien sadar kembali dan mengaku merasakan nyeri kepala hebat, nyeri
kepala berkurang setelah pasien mengkonsumsi obat Clobazam.
Sejak 18 tahun yang lalu (tahun 1995) pasien merupakan pasien rawat jalan poli
bagian syaraf RSUP Fatmawati. Saat itu pasien berobat ke poli syaraf fatmawati juga karena
1
keluhan kejang dan saat itu pasien dikatakan menderita epilepsi. Sejak saat itu pasien rutin
berobat dan mengkonsumsi obat secara rutin. Keluhan kejang kadang muncul ± 1-2 kali
dalam setahun ketika pasien sedang kelelahan dan kurang tidur. Menurut pasien, kejang yang
terjadi 1 hari SMRS karena pasien lupa minum obat kejang 2 hari berturut-turut dan mengaku
kelelahan karena sedang banyak kerjaan dikantor dan kurang tidur. Riwayat sakit kepala
berulang (-), mual (-), muntah menyembur (-), demam (-), trauma kepala (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
Dahulu saat pasien berusia 1 tahun pernah mengalami kejang demam. Kemudian saat
pasien usia 26 tahun pasien kejang dan dikatakan menderita epilepsi di RSUP Fatmawati,
mengkonsumsi obat secara rutin. Untuk saat ini obat yang dikonsumsinya Clobazam, Asam
folat dan Carbamazepin. Riwayat trauma kepala disangkal oleh pasien. Hipertensi (-),
diabetes mellitus (-), riwayat sakit jantung (-), riwayat stroke (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang dikeluarga (+) pada Ayah pasien.
1.3. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4M6V5 = 15)
Sikap : Berbaring dan duduk
Kooperasi : Kooperatif
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Suhu : 36,5ºc
Pernapasan : 18x/menit
B. Keadaan lokal
Trauma stigmata : (-)
Pulsasi arteri karotis : reguler, cukup, equal kanan dan kiri
2
Perdarahan perifer : capillary refill time < 2 detik
KGB : tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Columna vertebralis : letak lurus di tengah, skoliosis (-), lordosis (-)
Pemeriksaan Kepala : Normochepal , Jejas (-) nyeri Tekan (-)
Pemeriksaan Leher : Trakea di tengah, tiroid tidak teraba, JVP 5+0 cmH20,pembesaran
KGB (- ).
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V pada 2 jari medial linea midclavicula sinistra
Perkusi :
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri : ICS V 2 jari medial linea midklavikularis sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I dan II reguler; gallop (-), murmur (-)
Pemeriksaan Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : ekspansi dada normal, vokal fremitus kanan kiri sama
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi -/- wheezing -/-
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : supel, hati dan limpa tidak teraba; nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : bising usus (+) normal
3
Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/-
Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, sianosis -/-, clubbing fingers -/-
a. Pemeriksaan Neurologis
Rangsang Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Laseque : kanan > 70o kiri > 70o
Kerniq : kanan > 135o kiri > 135o
Brudzinsky I : kanan(-) kiri(-)
Brudzinsky II : kanan(-) kiri(-)
Saraf kranialis
N.I : normosmia kanan dan kiri
N.II
Acies Visus : baik/ baik
Visus Campus : baik/ baik
Lihat warna : baik/ baik
Funduskopi : tidak dilakukan
N. III,IV dan VI
Kedudukan bola mata : Ortoposisi/ortoposisi
Pergerakan bola mata : bebas ke segala arah
Nasal : +/+
Temporal : +/+
Nasal atas : +/+
Temporal atas : +/+
Nasal bawah : +/+
Temporal bawah : +/+
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Pupil
Bentuk : Bulat, isokor, diameter = 3mm/3mm
4
Refleks cahaya langsung : +/+
Refleks cahaya konsensual : +/+
Refleks akomodasi : +/+
Refleks konvergensi : +/+
N.V
Cabang motorik : baik/ baik
Cabang sensorik oftalmikus : baik/ baik
Cabang sensorik maksilaris : baik/ baik
Cabang sensorik mandibularis : baik/ baik
N.VII
Motorik orbitofrontal : baik/ baik
Motorik orbikularis : baik/ baik
Pengecapan lidah : baik/ baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo : (-)
Nistagmus : (-)
Koklearis
Tes rinne : (+)
Weber : tidak ada lateralisasi
Scwabach : sama dengan pemeriksa
N.IX ; N.X
Motorik : arcus faring simetris, uvula di tengah
Sensorik : baik
N.XI
Mengangkat bahu : baik/ baik
Menoleh : baik/ baik
N.XII
Pergerakan lidah : baik, tidak ada deviasi
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Tremor : (-)
5
Sistem motorik
Ekstremitas atas proksimal distal : 5555/5555
Ekstremitas bawah proksimal distal : 5555/5555
Gerakan involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Mioklonik : -/-
Tics : -/-
Trofik : Eutrofik
Tonus : Normotonus
Sistem sensorik
Propioseptif : Baik
Eksteroseptif : Baik
Fungsi serebelar
Ataxia : -
Tes Romberg : -
Disdiadokokinesia : -
Jari-jari : -/-
Jari-hidung : -/-
Tumit-lutut : -
Rebound phenomenon: -
Hipotoni : -/-
Fungsi luhur
Astereognosia : -
Apraksia : -
Afasia : -
Fungsi otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik
Refleks fisiologis
6
Kornea : +/+
Biseps : +2/+2
Triseps : +2/+2
Radius : +2/+2
Dinding perut : +
Otot perut : +
Patella : +2/+2
Tumit : +2/+2
Refleks patologis
Hoffman tromer : -/-
Babinsky : -/-
Chaddok : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Klonus lutut : -/-
Klonus tumit : -/-
Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Tanda regresi : -
Demensia : -
1.4. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium (-)
Radiologi :
CT-Scan Kepala (2010)
Dalam batas normal
1.5. Resume
Pasien datang ke poliklinik RS Fatmawati dengan keluhan kejang sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit, kejang timbul saat pasien sedang tidur pada malam hari.
Sebelum terjadi kejang pasien mengeluhkan adanya sakit kepala ± 1 hari sebelum
serangan kejang. Pasien kejang dengan seluruh tangan dan kaki kelojotan, kepala
menengok kekanan, mata mendelik keatas dan mulut terkunci hal tersebut terjadi sekitar
± 10 menit, saat terjadi kejang pasien hilang kesadaran. Setelah serangan kejang pasien
7
sadar kembali dan nyeri kepala hebat yang berkurang setelah pasien mengkonsumsi obat
Clobazam. Sejak 18 tahun yang lalu pasien di diagnosis epilepsi dan merupkan pasien
rawat jalan poli bagian syaraf RSUP Fatmawati. Pasien rutin berobat , selama pengobatan
keluhan kejang kadang muncul ± 1-2 kali dalam setahun ketika pasien sedang kelelahan
dan kurang tidur. Pasien lupa minum obat kejang 2 hari berturut-turut, kelelahan dan
kurang tidur.
Riwayat kejang demam saat usia 1 tahun dan riwayat kejang dikeluarga (+) pada
Ayah pasien.
Status generalis :
KU/Kesadaran : TSR/ CM
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x/mnt
Suhu : 36,50C
Pernafasan : 18 x/mnt
Kepala : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Paru-paru : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
Status neurologis
GCS: E4M6V5 =15
Pupil: bulat, isokor diameter 3mm/3mm
TRM: KK (-), L>70/>70, K>135/>135
Peningkatan TIK: -
N.cranial: parese –
Motorik: baik
Sensorik: baik
Otonom: baik
1.6. Diagnosis Kerja
Diagnosis klinis : kejang generalisata tipe klonik
Diagnosis etiologi : idiopatik
8
Diagnosis topik : korteks/subkorteks
1.7. Tata Laksana
Non Medikamentosa
Edukasi mengenai penyakit epilepsi
Medikamentosa
Carbamazepin 3 x 200 mg
Clobazam 2 x 10 mg
Asam Folat tab 2 x 1 mg
1.8 Rencana Pemeriksaan
Laboratorium darah lengkap (hemoglobin, leukosit, hematokrit, trombosit), elektrolit
darah (natrium, kaliun, kalsium, magnesium), kadar gula darah, ureum darah,
creatinin darah, SGOT dan SGPT.
EEG
1.9 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Epilepsi merupakan suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
yang berulang berselang lebihdari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan
epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinis yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron yang terutama terletak pada korteks
serebri. manifestasi klinik ini timbul mendadak dan sementara berupa perubahan perilaku
stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom
ataupun psikis.
Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsi ditandai oleh sekumpulan gejala yang
timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitasi usia saat
awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa).
2.2. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi
terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda
sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi berkisar
antara 0,5%-2%.
Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan,
namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat
diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara
1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi.
2.3. Etiologi
Perlu diketahui bahwa epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu gejala yang dapat
timbul karena penyakit. Secara umum dapat dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat timbul
jika terjadinya pelepasan aktivitas energi yang berlebihan dan mendadak dalam otak,
10
sehingga menyebabkan terganggunya kerja otak. Ditinjau dari penyebab epilepsy, dapat
dibagi atas :
1. Idiopatik : penyebab tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetic.
2. Kriptogenik : Dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik.
Gambara klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
3. Simtomatik : Disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat, misalnya
trauma kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alcohol, obat), metabolic, kelainan neurodegenerative
2.4. Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan bahan
perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan normal, lalu-lintas
impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur
lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu
maka neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam
mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan asetil
kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin, dopamine, serotonin
(5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan epilepsy belum jelas dan masih
perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak
yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi
dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok
neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi
yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang
secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.
Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
11
- Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga
terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang
kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA yang
rendah diotaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi
potensial post sinaptik.
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls
epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi sistem pencetus
impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya
konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat
pada berbagai tempat di otak.
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk
timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :
- Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
- Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
- Perlunya sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal, bermuatan
listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis (fokus pembangkit
serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron
sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke,
kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi
neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan menimbulkan kejang bila
ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus
sensorik dan lain-lain. Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari
fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi
selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara
intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai
perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang makin lama makin lambat dan
12
akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya
exhaustionneuron. (karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata
serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik)
depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang
berkepanjangan disebut status epileptikus.
Fenomena pemicu epilepsi adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal
(pergeseran depolarisasi paroksismal (PDS)). Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca2+.
Ca2+ yang masuk mula-mula akan membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga
menyebabkan depolarisasi yang berlebihan, yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K+ dan
Cl- yang diaktifasi oleh Ca2+. Kejang epilepsi terjadi jika jumlah neuron yang terangsang
terdapat dalam jumlah yang cukup.
Perangsangan neuron atau penyebaran rangsangan ke neuron disekitarnya
ditingkatkan oleh sejumlah mekanisme selular: dendrit sel piramidal mengandung kanal Ca2+
bergerbang voltase yang akan membuka pada saat depolarisasi sehingga meningkatkan
depolarisasi. Pada lesi neuron akan lebih banyak kanal Ca2+ yang diekspresikan. Kanal Ca2+
dihambat oleh Mg2+, sedangkan hipomagnesemia akan meningkatkan aktivitas kanal ini.
Peningkatan konsentrasi K+ ekstrasel akan mengurangi efluks K+ melalui kanal K+. Hal ini
berarti K+ memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu yang bersamaan
meningkatkan pengaktifan kanal Ca2+
Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps eksitatorik.
Glutamat bekerja pada kanal kation yang tidak permeabel terhadap Ca2+ (AMPA) dan pada
kanal yang permeabel terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya dihambat oleh
Mg2+. Akan tetapi depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA menghilangkan
penghambatan Mg2+ (kerja sama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2+ dan depolarisasi
memudahkan pengaktifan kanal NMDA.
Potensial membran neuron normalnya dipertahankan oleh kanal K+. Syarat untuk hal
ini adalah gradien K+ yang melewati membran sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh
Na+/K+-ATPase. Kekurangan senergi (misalnya akibat kekurangan O2 atau hipoglikemia)
akan menghambat Na+/K+-ATPase sehingga memudahkan depolarisasi.
13
Depolarisasi normalnya dikurangi oleh neuron inhibitorik yang mengaktifkan kanal
K+ dan/ atau Cl- yang diantaranya melalui GABA. GABA dihasilkan oleh glutamat
dekarboksilase (GD), yakni enzim yang membutuhkan piridoksin (vitamin B6) sebagai
kofaktor. Defisiensi vitamin B6 atau berkurangnya afinitas enzim terhadap vitamin B6
(kelainan genetik) memudahkan terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi neuron talamus dapat
meningkatkan kesiapan kanal Ca2+ tipe-T untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan
absans.
2.5. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun 1981
dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
2.6 Klasifikasi
Menurut Commision of Classification and Terminology of International League
Against Epilepsi (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:
I. Kejang Parsial (fokal, lokal)
a. Kejang parsial sederhana; kejang parsial dengan kesadaran tetap normal.
1. Dengan gejala motorik
Fokal motorik tidak menjalar: kejang sebatas pada satu bagian tubuh
saja.
Fokal motorik menjalar: kejang dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson
Versif: gejang disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
Postural: kejang disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
Disertai gangguan fonasi: kejang disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu.
2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; kejang disertai
halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitkan
yang disertai vertigo.
Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum
Visual: terlihat cahaya
14
Auditoris: terdengar sesuatu
Gustatoris: terkecap sesuatu
Disertai vertigo
3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium,
pucat, berkeringat, membera, piroleksi, dilatasi pupil)
4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata
atau bagian kalimat
Demensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah
mengalami, mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin
mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa melihatnya
lagi
Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut
Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara musik,
melihat statu fenomena tertentu dan lain-lain.
b. Kejang parsial kompleks; kejang ini disertai gangguan kesadaran.
1. Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-
mula baik kemudian baru menurun.
Dengan gejala parcial sederhana A1-A4; gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti menurunya kesadaran
Timbul automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang
timbul dengan sendirinya, misalnya dengan gerakan mengunyah-nguyah,
menelan-nelan, wajah muka berubah seringkali seperti ketakutan,
menata-nata sesuatu, memegang-megang kancing baju, berjalan,
mengembara tak menentu, berbicara, dll.
2. Serangan parsial sederhana dengan penurunan kesadaran sejak serangan;
kesadaran menurun sejak permulaan serangan.
Hanya dengan penurunan kesadaran
Dengan automatisme.
15
c. Kejang parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik)
1. Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi kejang generalisata
2. Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi kejang generalisata
3. Kejang parsial sederhana yang menjadi kejang parsial kompleks lalu
berkembang menjadi kejang generalisata.
II. Kejang Generalisata (konvulsif atau nonkonvulsif)
a. 1. Kejang lena (Absence)
Pada kejang ini, kegiatan yang sedang dilakukan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tidak ada reaksi bila
diajak bicara. Biasanya serangan ini berlangsung selama ¼-1/2 menit dan
biasanya dijumpai pada anak.
Hanya penurunan kesadaran
Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan biasanya dijumpai
pada kelompok mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
Dengan komponen atonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot leher, lengan,
tangan, tubuh mendadak melemas hingga tampak mengulai.
Dengan komponen tonik. Pada kejang ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher, atau punggung mendadak mengejang, kepala, badan, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang
Dengan automatisme
Dengan komponen autonom
Gejala-gejala diatas dapat berdiri sendiri atau kombinasi.
2. Kejang lena tidak khas, dapat disertai:
Gangguan tonus yang lebih jelas
Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.
b. Kejang mioklonik
16
Pada kejang mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemas sebagian otot atau semua otot-otot, sesekali atau berulang-
ulang. Kejang ini dapat terjadi pada semua umur.
c. Kejang klonik
Pada kejang ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang klojot.
Dijumpai terutama pada anak.
d. Kejang tonik
Pada kejang ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku, juga terdapat pada anak.
e. Kejang tonik-klonik
Kejang ini sering dijumpai pada usia diatas balita yang terkenal dengan
nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang
mendahului suatu kejang. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh
badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼-1/2 menit diikuti kejang
klojot di seluruh badan.
Serangan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,
mulut menjadi berbusa kerena hembusan nafas. Mungkin pula pasien miksi
ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tertidur beberapa
lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau
menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
f. Kejang atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga
pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Kejang ini
terutama tejadi pada anak-anak.
III. Kejang tak tergolongkan
Termasuk golongan ini adalah serangan pada bayi berupa gerakan bola mata
yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau
pernapasan yang mendadak berhenti sementara.
4. Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :
17
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal spike)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
b. Simptomatik
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
3. Berkaitan dengan lokasi dan epilepsi umum (campuran 1 dan 2)
- Serangan neonatal
4. Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
18
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama secara klinis, yaitu berdasarkan deskripsi
kejang, biasanya dari saksi karena pasien tidak sadar akan gejala-gejalanya. Pemeriksaan
dengan curiga epilepsi bertujuan untuk :
Mengkonfrimasi atau mendukung diagnosis klinis
Mengklarifikasi sindrom epilepsi
Menetapkan penyebab.
Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang
dapat memastikan diagnosis epilepsi bila ditemukan pola EEG yang bersifat khas epileptik
baik terekam saat serangan maupun di luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang
paku, runcing lambat, paku lambat.
Pemeriksaan tambahan lain yang juga bermanfaat adalah pemeriksaan foto polos
kepala, yang berguna untuk mendeteksi adanya fraktur tulang tengkorak; CT-Scan kepala.
Yang berguna untuk mendeteksi adanya infark, hematoma, tumor, hidrosefalus, sedangkan
pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi untuk memastikan adanya kelainan
sistemik seperti hipoglikemia, hiponatremia, uremia,dll.
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya serangan tanpa mengganggu
kapasitas fisik dan intelek pasien. Pengobatan epilepsi meliputi pengobatan medikamentosa
dan pengobatan psikososial.
Medikamentosa
Pada epilepsi yang simptomatis dimana kejang yang timbul adalah manifestasi
penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka disamping
pemberian obat anti epilepsi diperlukan juga terapi kausal. Beberapa prinsip dasar yang perlu
dipertimbangkan:
19
1. Pada kejang yang sangat jarang dan dapat dihilangkan factor pencetusnya, pemberian
obat harus dipertimbangkan.
2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; hal ini berarti pasien mengalami
lebih dari dua kali kejang yang sama
3. Obat yang diberikan sesuai dengan jenis kejang
4. Sebaiknya menggunakan monoterapi kerena dengan cara ini toksisitas akan
berkurang, mempermudah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.
5. Dosis obat disesuaikan secara individual
6. Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya.
7. Pengobatan dihilangkan setelah kejang hilang selama 2-3 tahun. Pengobatan
dihentikan secara berangsur-angsur dengan menurunkan dosisnya.
Obat pilihan berdasarkan jenis kejang
Jenis kejang Jenis obat
Fokal / parsial sederhana CBZ, PB, PHT
Kompleks CBZ, PB, PHT, VAL
Tonik-klonik umum CBZ, PB, PHT, VAL
Tonik-klonik CBZ, PB, PHT, VAL
Mioklonik CLON, VAL
Absens/petit mal CLON, VAL
CBZ: karbamazepin; PHT : fenitoin; CLON : klonazepam; PB : fenobarbital;
VAL : asam valproat
Dosis obat antiepilepsi dan konsentrasi dalam plasma
Jenis obat Dosis
(mg/kgBB/hari)
Cara pemberian Konsentrasi dalam
plasma (Ug/mm3)
Fenobarbital 1-5 1x/hari 20-40
Fenitoin 4-20 1-2x/hari 10-20
20
Karbamazepin 4-20 3x/hari 4-10
Asam valproat 10-60 3x/hari 50-100
Klonazepam 0.05-0.2 3x/hari 10-80
Diazepam 0.005-0.015 IV 0.3-0.7
0.4-0.6 Per rektal
Pengobatan psikososial
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar
akan terbebas dari kejang. Pasien harus patuh dalam menjalani pengobatannya sehingga dapat
bebas dari kejang dan dapat belajar, bekerja, dan bermasyarakat secara normal.
2.9. Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun,
dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami
kejang lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% paisen tidak mengalami
remisi meskipun minum obat teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan
ulang paling sering didapat pada kejang tonik-klonik dan kejang parsial kompleks. Demikian
pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). Pedoman tata laksana epilepsy. Jakarta: Penerbit Perdossi; 2011
2. Mansjoer AS, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Ed III. Fakultas
Kedokteran UI: Media Aesculapius.
3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinik Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2000
4. Utama H. Antiepilepsi dan antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. Edisi
5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007
5. Lumbanntobing SM. Epilepsy (ayan). Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2006
22