of 48 /48
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Administrasi Publik 1.1.1 Konsep Administrasi Publik Undang-Undang Dasar 1945 atau yang lebih dikenal dengan konstitusi negara Republik Indonesia “administrasi publik” tidak digunakan. Di Amerika Serikat, negara yang telah maju dan diklaim sebagai negara asal disiplin administrasi publik, istilah tersebut juga tidak ditemukan di dalam konstitusinya. Hal tersebut bukan berarti bahwa administrasi tidak penting. Akan tetapi, karena administrasi publik merupakan suatu perwujudan dari keseluruhan kegiatan pelaksanaan dari apa yang telah ditentukan dalam konstitusi tersebut. Suatu konstitusi, sebagaimana dikenal selama ini, berkenaan dengan keputusan setrategis tentang apa yang harus diselenggarakan atau yang diberikan kepada masyarakat. Sedangkan administrasi publik merupakan implementasi dari apa yang telah diputuskan. Konstitusi memuat pernyataan tentang tujuan. Sementara administrasi publik tentang cara untuk merealisasiakan tujuan tersebut. Harus diakui, banyak cendekiawan kurang mengenal terminologi, makna dan kegunaan administrasi publik. Istilah

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Administrasi Publik 1.1.1 Konsep ...repository.ub.ac.id/3690/3/BAB II.pdf · 1.1.1 Konsep Administrasi Publik Undang-Undang Dasar 1945 atau yang lebih dikenal

  • Author
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Administrasi Publik 1.1.1 Konsep ...repository.ub.ac.id/3690/3/BAB II.pdf ·...

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Administrasi Publik

    1.1.1 Konsep Administrasi Publik

    Undang-Undang Dasar 1945 atau yang lebih dikenal dengan konstitusi

    negara Republik Indonesia “administrasi publik” tidak digunakan. Di

    Amerika Serikat, negara yang telah maju dan diklaim sebagai negara asal

    disiplin administrasi publik, istilah tersebut juga tidak ditemukan di dalam

    konstitusinya. Hal tersebut bukan berarti bahwa administrasi tidak penting.

    Akan tetapi, karena administrasi publik merupakan suatu perwujudan dari

    keseluruhan kegiatan pelaksanaan dari apa yang telah ditentukan dalam

    konstitusi tersebut.

    Suatu konstitusi, sebagaimana dikenal selama ini, berkenaan dengan

    keputusan setrategis tentang apa yang harus diselenggarakan atau yang

    diberikan kepada masyarakat. Sedangkan administrasi publik merupakan

    implementasi dari apa yang telah diputuskan. Konstitusi memuat pernyataan

    tentang tujuan. Sementara administrasi publik tentang cara untuk

    merealisasiakan tujuan tersebut. Harus diakui, banyak cendekiawan kurang

    mengenal terminologi, makna dan kegunaan administrasi publik. Istilah

  • 2

    administrasi publik malah sering dipahami sebagai kegiatan ketik-mengetik,

    katatausahaan, dan urusan perkantoran pemerintah.

    Menurut Indradi (2006:2), kata “administrasi” yang dikenal saat ini di

    Indonesia berasal dari kata (Latin : ad = pada, ministrate= melayani).

    Dengan demikian, apabila ditinjau dari asal kata administrasi berarti

    memberikan pelayanan kepada. Kata “administrasi” juga berasal dari kata

    “administration” (to administer). Kata to administer dapat berarti to

    manage (mengelola), dan to direct (menggerakkan). Ini berarti administrasi

    merupakan kegiatan mengelola atau menggerakkan.

    A. Dunsire yang dikutip oleh Donovan dan Jackson (1991:9)

    menyatakan bahwa administrasi merupakan :

    “arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, kegiatan

    pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan,

    kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan

    mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan

    kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam

    menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang

    kerja akademik dan teoritik.”

    Istilah administrasi publik juga seringkali diganti oleh para ahli ilmu

    politik dengan “birokrasi”. Dikatakan demikian karena istilah tersebut lebih

    mudah untuk dipahami dan diamati secara nyata oleh masyarakat

    kebanyakan dibandingkan dengan istilah administrasi itu sendiri. Istilah

    administrasi publik menunjukkan bagaimana pemerintah berperan sebagai

    agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator yang aktif dan selalu

    berinisiatif dalam mengatur atau mengambil langkah dan prakarsa yang

  • 3

    menurut mereka dianggap penting atau baik untuk masyarakat karena

    masyarakat dianggap sebagai pihak yang pasif, kurang mampu, dan harus

    tunduk dan menerima apa saja yang diatur oleh pemerintah.

    Pendapat lain terkait administrasi publik ialah menurut Nicholas Henry

    dalam Yeremias T. Keban (2008) yang menyatakan bahwa :

    “administrasi publik merupakan suatu kombinasi yang kompleks

    antara teori dan praktek dengan tujuan mempromosikan

    pemahaman tentang peran pemerintah dalam hubungannya dengan

    masyarakat yang diperintah, juga mendorong kebijakan publik agar

    lebih responsif terhadap kebutuhan sosial.”

    Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat

    beberapa makna penting berkaitan dengan hakekat dari ilmu administrasi

    publik bahwa bidang tersebut lebih berkaitan dengan eksekutif daripada

    yudikatif dan legislatif, berkenaan dengan formulasi dan implementasi

    kebijakan publik, berkaitan dengan permasalahan hidup masyarakat dan

    usaha kerjasama untuk mengemban tugas-tugas pemerintah dan diarahkan

    untuk menghasilkan publik goods dan services sertamemiliki dimensi

    teoritis dan praktis.

    1.1.2 Paradigma Administrasi Publik

    Paradigma merupakan cara corak berpikir seseorang atau sekelompok

    orang. Ilmu pengetahuan itu memang sangat terbatas kawasan

    kompetensinya. Keterbatasan pertama adalah bahwa yang disebut kebenaran

    ilmiah itu malahan bersifat abstrak. Tetapi mutlak sangat perlu dalam

  • 4

    kehidupan ini. Itulah sebabnya dalam revolusi ilmu pengetahuan tersebut,

    muncul peran paradigma ilmu pengetahuan. (Syafiie, 2006 : 26)

    Thomas S. Kuhn dalam Syafiie (2006 : 26) mengatakan bahwa

    paradigma merupakan cara suatu pandang, nilai-nilai metode-metode,

    prinsip dasar atau cara meemcahkan suatu masalah, yang dianut suatu

    masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu. Nicholas Henry dalam

    Yeremias T. Keban (2008 : 31) mengungkapkan bahwa telah terjadi lima

    paradigma dalam administrasi negara seperti di uraikan berikut ini.

    “Paradigma 1 ( 1900-1926) dikenal sebagai paradigma Dikotomi

    Politik dan Administrasi dengan tokoh yang terkenal dari

    paradigma tersebut ialah Frank J. Goodnow dan Leonard D. White.

    Goodnow dalam tulisannya yang berjudul “Politics and

    Administration” pada tahun 1900 mengungkapkan bahwa politik

    harus memusatkan perhatiannya kepada kebijakan atau ekspresi

    dari kehendak rakyat. Sedangkan administrasi memberi

    perhatiannya pada pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan

    atau kehendak tersebut.

    Paradigma 2 (1927-1937) disebut sebagai paradigma Prinsip-

    prinsip Administrasi dengan tokoh-tokoh yang terkenal dari

    paradigma ini ialah Willoughby, Gullick & Urwick yang sangat

    dipengaruhi oleh tokoh-tokoh manajemen klasik seperti Fayol dan

    Taylor. Mereka memperkenalkan prinsip-prinsip administrasi

    sebagai fokus dari administrasi publik. Prinsip-prinsip tersbut

    dituangkan dalam apa yang disebut sebagai POSDCORB

    (Planning, Organizaing, Staffing, Directing, Coordinating,

    Reporting dan Budgeting) yang menurut mereka dapat diterapkna

    dimana saja, atau bersifat universal. Sedang lokus dari administrasi

    publik tidak pernah diungkapkan secara jelas karena mereka

    beranggapan bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat berlaku dimana

    saja termasuk di organisasi pemerintah. Dengan demikian, dalam

    paradigma ini, fokus lebih ditekankan daripada lokusnya.

    Paradigma 3 (1950-1970) adalah paradigma Administrasi Negara

    sebagai Ilmu Politik. Morstein-Marx seorang editor buku

    “Elements of public Administration” di tahun 1946

    mempertanyakan pemisahan politik dan administrasi sebagai suatu

    yang tidak mungkin atau tidak realitas, sementara Herbert Simon

  • 5

    mengarahkan kritikannya terhadap ketidakkonsistenan prinsip

    administrasi, dan menilai bahwa prinsip-prinsip tersebut tidak

    berlaku universal. Dalam konteks ini, administrasi negara

    bukannya value free atau dapat berlaku dimana saja, tapi justru

    selalu dipengaruhi nilai-nilai tertentu. Disini terjadi pertentangan

    antar anggapan mengenai value-free administration disatu pihak

    dengan anggapan akan value-laden politics dilain pihak.

    Dalam praktek ternyata anggapan kedua yang berlaku, karena itu

    John Gaus secara tegas mengatakan bahwa teori administrasi

    publik sebenarnya juga teori politik. Akibatnya muncul paradigma

    baru yang menganggap administrasi publik sebagai ilmu politik

    dimana lokusnya adalah birokrasi pemerintahan, sedang fokusnya

    menjadi kabur karena prinsip-prinsip administrasi publik

    mengandung banyak kelemahan. Sayangnya, mereka yang

    mengajukan kritikan terhadap prinsip-prinsip administrasi tidak

    memberi jalan keluar tentang fokus yang dapat digunakan dalam

    administrasi publik. Perlu diketahui bahwa pada masa tersebut

    administrasi publik mengalami krisis identitas karena ilmu politik

    dianggap disiplin yang sangat dominan dalam dunia administrasi

    publik.

    Paradigma 4 (1956-1970) adalah Administrasi Publik sebagai Ilmu

    Administrasi. Dalam paradigma ini prinsip-prinsip manajemen

    yang pernah populer sebelumnya, dikembangkan secara ilmiah dan

    mendalam. Perilaku organisasi, analisis manajemen, penerapan

    teknologi modern seperti metode kuantitatif, analisis sistem, riset

    operasi dan lain sebagainya merupakan fokus dari paradigma ini.

    Dua arah perkembangan terjadi dalam paradigma ini, yaitu yang

    berorientasi kepada perkembangan ilmu administrasi murni yang

    didukung oleh psikologi sosial dan yang berorientasi pada

    kebijakan. Semua fokus yang dikembangkan di sini diasumsikan

    dapat diterapkan tidak hanya dalam dunia bisnis tetapi juga dalam

    dunia administrasi publik. Karena itu, lokusnya menjadi tidak jelas.

    Paradigma 5 (1970 – sekarang) merupakan paradigma terakhir

    yang disebut sebagai Administrasi Publik sebagai Administrasi

    Publik. Paradigma tersebut telah memiliki fokus dan lokus yang

    jelas. Fokus dalam paradigma ini adalah teori organisasi, teori

    manajemen, dan kebijakan publik. Sedangkan lokusnya adalah

    masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan publik.”

  • 6

    2.2 Kebijakan Publik

    2.2.1 Konsep Kebijakan

    Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik yang

    akan dipakai dalam penelitian ini, perlu dibedakan istilah kebijakan dan

    kebijaksanaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan

    sebagai:

    “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar

    rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan

    cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya);

    pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk

    manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Sedangkan

    kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang

    memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau

    sebaliknya berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan

    kemanusiaan, keadaan gawat dan sebagainnya.”

    Carl J Federick sebagaimana dikutip Agustino (2008: 7) mendefinisikan

    kebijakan sebagai:

    “serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang,

    kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di

    mana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan

    kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan

    kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

    Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan

    perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang

    penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan

    harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa

    yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.”

    Menurut Winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy term) mungkin

    digunakan secara luas seperti pada kebijakan luar negeri Indonesia,

    kebijakan ekonomi Jepang, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi

    sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan

  • 7

    pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Istilah kebijakan ini

    penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals)

    program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal

    dan grand design (Suharno ,2009 : 11).

    James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17)

    mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “a purposivecourse of action

    followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of

    concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyaitujuan tertentu yang

    diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atausekelompok pelaku guna

    memecahkan suatu masalah tertentu).kebijakan harus dibedakan dengan

    kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya

    dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan

    memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan

    kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya.

    Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi

    Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada

    apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau

    dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara

    kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti

    pemilihan di antara berbagai alternatif yang ada.

    Berdasarkan pendapat berbagai ahli terkait pengertian kebijakan

    tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan

    tindakan-tindakan atau kegiatan yang telah direncanakan untuk dilakukan

  • 8

    atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok, atau pemerintah suatu

    negara yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan

    di antara berbagai alternatif keputusan yang ada untuk mencapai tujuan

    tertentu.

    2.2.2 Pengertian Kebijakan Publik

    Berbicara mengenai kebijakan publik, lingkup dari kebijakan publik

    sangatlah luas karena kebijakan publik itu sendiri mencakup berbagai

    bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan lain

    sebagainya. Di samping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat

    bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang, Peraturan

    Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah

    Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,

    dan Keputusan Bupati/Walikota.

    Pengertian terkait kebijakan publik sangat banyak, bergantung dari

    sudut mana kita mengartikannya. Pressman dan Widavsky sebagaimana

    dikutip dalamWinarno (2002: 17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai

    hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang

    bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-

    bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi

    oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah.

    Pendapat lain terkait kebijakan publik ialah menurut James E. Anderson

    dikutip dalam Widodo (2011:11), yakni :

    “serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu

    yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok

  • 9

    aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal

    yang diperhatikan. Berdasarkan pengertian kebijakan tersebut,

    dapat dipahami bahwa tujuan utama suatu kebijakan adalah guna

    memecahkan permasalahan di masyarakat yang perlu untuk

    diperhatikan.”

    Dari beberapa pendapat ahli tersebut di atas terkait kebijakan publik,

    dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan

    yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada

    tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi

    kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang

    dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat

    pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.

    2.2.3 Tahapan Kebijakan Publik

    Proses pembuatan suatu kebijakan publik merupakan proses yang

    kompleks karena melibatkan banyak proses yang harus dikaji. Sehingga,

    banyak ahli politik yang membagi proses-proses penyusunan kebijakan

    publik itu sendiri ke dalam beberapa tahapan dengan tujuan untuk

    memudahkan kita dalam mengkaji sebuah kebijakan publik meskipun

    pembagian tahapan tersebut urutannya berbeda. Sebelum sampai pada

    tahapan mengevaluasi implementasi kebijakan, terlebih dahulu seorang

    analis kebijakan publik harus mengetahui proses kebijakan publik atau

    sering disebut juga sebagai siklus kebijakan publik. Seperti tahapan

    kebijakan publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip Winarno

    (2007 : 32) adalah sebagai berikut :

  • 10

    a) Tahapan Penyusunan Agenda Dalam hal ini, pejabat publik menempatkan permasalahan yang

    dianggap menjadi prioritas di antara permasalahan publik yang ada

    dalam agenda kebijakan publik. Permasalahan yang dianggap menjadi

    prioritas tersebut kemudian masuk ke dalam agenda kebijakan perumus

    kebijakan.

    b) Tahap Formulasi Kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas

    oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

    kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah

    tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy

    alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan

    masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan

    yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-

    masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan

    pemecahan masalah terbaik.

    c) Tahap Adopsi Kebijakan Tahapan ini merupakan tahap di mana memilih dari sekian banyak

    alternatif kebijakan yang ditawarkan. Dari sekian banyak alternatif

    kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada

    akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan

    dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga

    atau putusan peradilan.

    d) Tahap Implementasai Kebijakan Merupakan sebuah proses untuk mentransformasikan keputusan ke

    dalam tindakan. Suatu program kebijakan tidak akan berguna apabila

    program tersebut tidak diimplementasikan. Artinya bahwa kebijakan

    yang telah dirumuskan tersebut harus dilaksanakan oleh badan-badan

    administrasi maupun pemerintah ditingkat bawah. Dalam hal ini,

    kebijakan yang telah diambil tersebut harus dilaksanakan oleh

    lembaga administrasi publik melalui sumberdaya finansial dan

    manusia yang ada. Oleh karena itu, dalam implementasi kebijakan

    banyak persaingan dari kelompok-kelompok tertentu agar

    kepentingannya dapat terakomodasi dari kebijakan yang akan

    diimplementasikan.

    Perumusan dan implementasi kebijakan sering berjalan linier sebab

    selama proses implementasi berlangsung tidak menutup kemungkinan

    sering terjadi perubahan keadaan yang gagal diantisipasi oleh

    pengambil keputusan. Suatu kebijakan akan dikatakan berhasil apabila

    proses implementasi kebijakan tersebut dapat mentransformasikan

    tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya ke dalam hasil

    atau kinerja kebijakan.

    e) Tahap Evaluasi Kebijakan Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau

    dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk

    mencapai tujuan yang direncanakan yaitu memecahkan masalah yang

  • 11

    dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau

    kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan

    publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan

    yang diinginkan atau belum. Tahap ini juga digunakan sebagai

    masukan agar kebijakan yang telah dijalankan kekurangan atau

    kelemahan yang ada dapat diperbaiki.

    Dalam proses evaluasi ini dapat dilakukan baik secara vertikal

    maupun horizontal. Ketika dilakukan secara vertikal maka dilakukan

    oleh pimpinan eksekutif. Sedangkan ketika dilakukan secara

    horizontal maka dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas publik.

    Pengawasan implementasi kebijakan publik juga dapat dilakukan

    secara internal dan eksternal. Apabila dilakukan secara internal maka

    dilakukan oleh lembaga implementasi kebijakan itu sendiri sedangkan

    apabila dilakukan secara eksternal maka dapat dilakukan oleh

    parlemen, pers (media massa), para akademisi dan tokoh masyarakat,

    serta masyarakat itu sendiri terutama yang menjadi sasaran kebijakan.

    (Dunn, 1999:24).

    Secara singkat, tahap – tahap kebijakan adalah seperti gambar di bawah

    ini :

    Gambar 1 : Tahap – tahap kebijakan publik

    Sumber: William Dunn sebagaimana dikutip Winarno (2007: 32-34)

    Penyusunan Kebijakan

    Implementasi Kebijakan

    Adopsi Kebijakan

    Formulasi Kebijakan

    Evaluasi Kebijakan

  • 12

    2.3 Implementasi Kebijakan Publik

    2.3.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

    Menurut kamus Webster dalam Wahab (2001:64) merumuskan secara

    sederhana bahwa :

    “ To implement (mengimplementasikan) berarti to provide in the

    means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

    sesuatu). To give practicical effect to (menimbulkan dampak/akibat

    terhadap sesuatu). Implementasi kebijakan juga dapat dapat

    dipandang sebagai suatu proses melaksanakan kebijakan yang

    biasanya kebijakan tersebut dalam bentuk undang-undang,

    peraturan pemerintah, peraturan eksekutif dan lain-lain.“

    Pendapat lain terkait implementasi kebijakan adalah menurut Daniel

    Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public

    Policy (Agustino, 2008:139) mendefinisikan implementasi kebijakan

    sebagai :

    ”Pelaksanaan keputusan kebijakan berdasarkan dasar, biasanya

    dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk

    perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting

    atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut

    mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan

    secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai

    cara untuk menstrukturkan atau mangatur proses implementasi .”

    Sedangkan Van Meter dan Van Horn (Agustino, 2008 : 139),

    mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :

    “Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu

    atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau

    swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

    digariskan dalam keputusan kebijakan.”

  • 13

    Berbicara mengenai implementasi kebijakan publik merupakan hal

    yang sangat krusial dan komplek dalam perspektif administrasi publik.

    Dikatakan demikian karena hal tersebut berkaitan dengan aspek kebijakan

    itu sendiri yang tidak lepas hubungannya dengan berbagai kelembagaan

    dalam suatu sistem pemerintahan dan aspek masyarakat sebagai objek

    kebijakan, sebagai mana dikemukakan oleh Edward III, (1980 : 1), bahwa :

    “The study of policy implementation is the crucial for the study of

    publi administration and public policy. Policy implementation, as

    we have seen, is the stage of policy making between the

    establishment of a policy – such as the passage of a legislative act,

    the issuing of an executive order, the handing down of judicial

    deesion, or the promulgation of a regulatory rule – and the

    consequences of the policy of the people whom it affects.”

    Pendapat tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Thoha, (1986

    : 68), bahwa :

    “ Dalam kaitan studi kebijakan publik dalam posisinya dengan

    administrasi negara sebenernya sudah cukup lama berkembang,

    seperti yang dikatakan oleh White, Dimock and Dimock yang

    dikutip oleh Miftah Thoha menyebutkan bahwa administrasi negara

    terdiri dari semua kegiatan untuk mencapai tujuan atau

    melaksanakan public policy.”

    Implementasi kebijakan juga pada dasarnya untuk mengukur akan

    keberhasilan atau kegagalan suatu hasil kebijakan yang secara nyata

    dilaksanakan di lapangan oleh para implementator dan bagaimana

    dampaknya terhadap masyarakat maupun stakeholdernya, sebagaimana

    dikemukakan oleh Saefullah (2007 : 39) :

  • 14

    “... pada tingkat pelaksanaan kebijakan menyangkut bagaimana

    atau sejauh mana suatu kebijakan bisa dilaksananakan dalam dunia

    nyata .... pemahaman tentang pelaksanaan kebijakan bukan hanya

    dimiliki aparat lembaga dan aparat pelaksana, tetapi juga oleh

    masyarakat atau pihak-pihak yang menjadi sasaran kebijakan”.

    Implementasi kebijakan merupakan fungsi dan tugas administrator

    publik dalam mengaplikasikan lebih lanjut kebijakan yang telah ditetapkan

    oleh para perumus kebijakan (policy makers) tersebut, yang suka tidak suka

    bagi para administrator harus menjalankannya. Administrator mempunyai

    tugas secara akuntabilitas dan responsibilitas setiap kebijakan yang

    diamanatkan untuk diimplementasikan secara nyata kepada masyarakatnya.

    (Syafiie, 1999 : 24).

    Dari definisi mengenai implementasi kebijakan di atas, dapat diketahui

    bahwa implementasi kebijakan menyangkut hal-hal seperti adanya tujuan

    atau sasaran kebijakan itu sendiri, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian

    tujuan dan adanya hasil kegiatan.Berdasarkan beberapa penjabaran pendapat

    ahli di atas terkait implementasi kebijakan, maka dapat disimpulkan bahwa

    proses implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya terkait apa yang

    dilakukan oleh badan-badan adaministrastif yang bertanggungjawab untuk

    melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan terhadap kebijakan

    yang telah diimplementasikan melainkan menyangkut kekuasaan-kekuasaan

    baik itu politik, ekonomi, maupun sosial yang baik secara langsung maupun

    tidak dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat di mana

  • 15

    akhirnya berpengaruh dan berdampak terhadap tujuan yang diharapkan

    maupun yang tidak diharapkan.

    Dengan kata lain, implementasi kebijakan bukan hanya terkait dengan

    persoalan administratif tapi juga pengkajian yang berkaitan dengan

    ekonomi, politik, sosial, limgkungan yang berpengaruh terhadap proses

    implementasi kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini, implementasi kebijakan

    Pemilihan kepala daearah secara langsung dan serentak di Kabupaten

    Sidoardjo merupakan suatu kebijakan yang sangat penting untuk di

    implementasikan bahkan jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan itu

    sendiri.

    2.3.2 Model Implementasi Kebijakan

    Beberapa model implementasi kebijakan berkembang seara dinamis dan

    akan sangat ditentukan dengan faktor kondisi dan situasi dari kebijakan

    yang diimplementasikan. Dalam sejarah perkembangan studi implementasi

    kebijakan, terdapat dua pendekatan guna memahami implementasi

    kebijakan itu sendiri, yakni pendekatan top down dan buttom up. Istilah

    tersebut dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan

    kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the

    market approach (pendekatan pasar, di mana pendekatan ini mirip dengan

    bottom up approach) (Agustino, 2008: 140)

    Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan

    tersentralisir dan dimulai dari aktror tingkat pusat, dan keputusannya pun

  • 16

    diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down ini bertitik tolak dari

    perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah

    ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-

    administrator atau para birokrat pada level bawahnya. Inti dari pendekatan

    top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administrator atau

    birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah direncanakan

    sebelumnya oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat. Berangkat dari

    perspektif tersebut, maka dalam pendekatan buttom up ini timbul

    pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

    1. Sampai sejauh mana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten

    dengan keputusan kebijakan tersebut?

    2. Sejauh manakah tujuan kebijakan dicapai?

    3. Faktor-faktor apa yang secara prinsipal mempengaruhi output dan

    dampak kebijakan?

    4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai

    pengalaman lapangan?

    Inti dari empat pertanyaan tersebut di atas mengarah kepada sejauh

    mana tindakan para pelaksana kebijakan sesuai dengan prosedur dan tujuan

    kebijakan yang telah direncanakan sebelumnya di level pusat. Fokus

    tersebut membawa konsekuensi adanya perhatian terhadap aspek organisasi

    atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektivitas pelaksanaan

    kebijakan. Terdapat beberapa model implementasi kebijakan dalam

    pendekatan buttom up, di antaranya yaitu : model Donald Van Metter dan

  • 17

    Carl Van Horn, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier, George Edward III,

    serta Merilee S. Grindle.

    Sedangkan pendekatan buttom up, memandang implementasi kebijakan

    dirumuskan tidak oleh lembaga yang tersentralisir dari pusat. Pendekatan ini

    lebih terpusat dari keputusan-keputusan yang ditetapkan di level warga atau

    masyarakat yang merasakan sendiri persoalan dan permasalahan yang

    mereka alami. Jadi inti dari pendekatan buttom up ini yaitu bahwa

    formualasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga mereka dapat lebih

    memahami dan mampu menganalisis kebijakann-kebijakan apa yang cocok

    dengan sumberdaya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio-kultur yang

    mengada agar kebijakan tersebut tidak kontraproduktif, yang dapat

    menunjang keberhasilab kebijakan itu sendiri (Agustino : 2008, 156- 157)

    Dari pendekatan model implementasi kebijakan yang telah dijabarkan

    di atas, peneliti akan menguraikan model-model implementasi kebijakan

    dari pendekatan top down karena dirasa sesuai dengan judul penelitian.

    1) Model proses implementasi yang di kembangkan oleh Van Meter dan

    Van Horn (1975)

    Teori ini berangkat dari suatu argumen yang berpendapat bahwa

    perbedaan-perbedaan yang ada dalam proses implementasi kebijakan akan

    dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu,

    model implementasi kebijakan ini dipandang sebagai sebuah prosedur-

    prosedur yang meliputi konsep-konsep seperti : perubahan, kontrol, serta

  • 18

    kepatuhan dalam bertindak. Dalam model ini terdapat variabel yang satu

    dengan lainnya saling berkaitan, yaitu :

    1. Standar/ukuran dan tujuan kebijakan

    2. Sumber-sumber kebijakan

    3. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksanan

    4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

    5. Sikap para pelaksana, dan

    6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.

    Variabel-variabel dalam kebijakan itu menjadi sebuah sistem yang

    saling terikat dengan tujuan-tujuan yang telah direncanakan dan sumber-

    sumber yang tersedia untuk melaksanakan kebijakan. Pusat perhatiannya

    pada badan-badan pelaksana yang meliputi organisasi terkait beserta

    kegiatan-kegiatan pelaksanaannya, mencakup antar hubungan di dalam

    lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok sasaran.

    Akhirnya, pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantarkan kita

    pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasikan program

    di lapangan (Wahab, 2012:165).

  • 19

    Gambar 2 : Proses implementasi kebijakan model Van Meter dan Van Horn

    Sumber : Wahab (2012: 166)

    Model ini memperlihatkan bagaimana keterkaitan antara berbagai

    variabel, walaupun secara konseptual menggunakan penjelasan secara

    parsial, tetapi hal tersebut bagi perumus kebijakan dipandang dapat

    dijadikan sebagai model dan bagi para implementator digunakan untuk

    memanipulasi dalam perbaikan pelayanan publik dari kebijakan yang telah

    dilaksanakan.

    2) Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A.

    Sabatier

    Model implementasi kebijakan yang ditawarkan oleh mereka disebut

    dengan A Framework for Policy Implementation Analysisatau Kerangka

    KEBIJAKAN

    PUBLIK

    Standar dan

    Tujuan

    Standar dan

    Tujuan

    Aktivitas

    Implementasi dan

    komunikasi

    Antarorganisasi

    Karakteristik dari

    Agen Pelaksana

    Kondisi Ekonomi,

    Sosial, dan Politik

    Kecenderungan/

    Disposisi dari

    Pelaksana

    KINERJA

    KEBIJAKAN

    PUBLIK

  • 20

    Analisis Implementasi. Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran

    penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam

    mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya

    tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi (Wahab, 81).

    Pengklasifikasian variabel-variabel tersebut menjadi tiga kategori dasar,

    yaitu:

    1. Mudah tidaknya masalah-masalah yang akan dilaksanakan untuk

    dikendalikan;

    2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstukturkan secara tepat

    proses implementasinya;

    3. Variabel-variabel diluar Undang-Undang yang mempengaruhi

    implementasi.

    Dalam model ini terdapat hubungan-hubungan yang saling berkaitan

    dan berpengaruh antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, setiap

    tahap harus berjalan dengan baik dan optimal.Secara konseptual, model ini

    sangat mudah untuk dipahami dan dimengerti akan tetapi secara

    implementatif perlu pemikiran yang lebih luas dan waktu yang ukup untuk

    menjabarkan secara detail bagi para implementator di lapangan.

  • 21

    Gambar 3 : Model implementasi kebijakan A Framework for Implementation

    Analysis (Daniel Mazmanian and Paul Sabatier)

    Sumber : (Agustino: 2008, 149).

    3) Implementasi kebijakan model George Edward III

    George Edward II (1980) mencatat bahwa isu utama kebijakan publik

    adalah kurangnya perhatian kepada implementasi kebijakan publik.

    Dinyatakan dengan tegas bahwa tanpa implementasi kebijakan yang efektif,

    Mudah tidaknya masalah dikendalikan

    1. Dukungan teori dan teknologi

    2. Keragaman perilaku kelompok sasaran

    3. Tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki

    Kemampuan kebijakan untuk menstuktur proses

    implementasi

    1. Kejelasan dan konsisten tujuan 2. Dipergunakannya teori kausal 3. Ketetapam alokasi sumberdana 4. Keterpaduan hierarki dalam dan di antara

    lembaga pelaksana

    5. Aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksana 6. Perekrutan pejabat pelaksana

    7. Keterbukaan kepada pihak luar

    Variabel di luar kebijakan yang

    mempengaruhi proses implementasi

    1. Kondisi sosio-ekonomi, dan teknologi

    2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumberdaya

    dari konstituen

    4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi

    5. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari

    pejabat pelaksana.

    Tahap-tahap dalam proses implementasi kebijakan

    Output kebijakan

    dari lembaga

    pelaksana

    Kepatuhan target untuk mematuhi output kebijakan

    Hasil nyata output kebijakan

    Diterimanya hasil tersebut

    Revisi Undang-

    Undang

  • 22

    keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilakukan. Oleh karenanya

    Edward menyarankan untuk memberikan perhatian kepada empat isu utama

    yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi sikap dan struktur birokrasi (

    Nugroho, 2014:226).

    Gambar 4 : Implementasi kebijakan model Edward III

    Sumber : (Agustino :2008, 150)

    Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam implementasi

    kebijakan model Edward III komunikasi, sumberdaya disposisi sikap serta

    struktur birokrasi menjadi hal yang saling berkaitan antara satu dengan yang

    lainnya dalam keberhasilan implementasi sebuah kebijakan.

    KOMUNIKASI

    STRUKTUR

    BIROKRASI

    DISPOSISI

    SUMBER DAYA

    IMPLEMENTASI

  • 23

    Komunikasi

    Komunikasi menjadi variabel yang sangat menetukan keberhasilan

    pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi

    diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada

    komunikan. Komunikasi kebijakan berarti proses penyampaian informasi

    kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana

    kebijakan (policy implementation). (Widodo, 2013:97). Perlunya

    penyampaian informasi kebijakan publik kepada pelaku kebijakan. Hal

    tersebut karena agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami

    apa yang menjadi isi, tujuan, arah, dan kelompok sasaran kebijakan.

    Sehingga para pelaksana kebijakan dapat mempersiapkan dengan benar apa

    yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk melaksanakan kebijakan

    publik. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan

    publik dapat dicapai sesuai dengan harapan. Menurut Edward dalam

    Widodo (2013:97) komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam

    dimensi, antara lain:

    1. Transmisi (transmission)

    Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan

    tidak hanya kepada pelaksana kebijakan, namun juga disampaikan

    kepada kelompok sasaran kebijakan dan [pihak lain yang

    berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Dimensi

    transmisi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan

  • 24

    kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait

    dengan kebijakan.

    2. Kejelasan (clarity)

    Dimensi kebijakan menghendaki agar kebijakan yang

    ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain yang

    berkepentingan secara langsung maupun tidak langsung terhadap

    kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga di antara mereka

    mengetahui yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran serta substansi

    dari kebijakan publik tersebut.

    3. Konsistensi (consistency)

    Perintah-perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu

    komunikasi haruslah konsisten dan jelas apabila menginginkan proses

    implementasi yang berjalan cepat dan efektif. Apabila perintah yang

    diberikan sering berubah-rubah atau tidak konsisten, maka dapat

    menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan.

    Sumber Daya (Resource)

    Faktor sumberdaya mempunyai peranan sangat penting dalam

    implementasi kebijakan. Sumberdaya sebagaimana yang telah disebutkan

    meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, dan sumberdaya

    peralatan (gedung, peralatan, tanah, dan suku cadang lainnya) yang

    diperlukan dalam melaksanakan kebijakan,

  • 25

    1. Sumber Daya Manusia

    Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang

    mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Edward

    III dalam Widodo (2013:98) menegaskan bahwa “Probably the most

    essential resources in implementing policy is staff”. Sumberdaya manusia

    (staff), harus cukup (jumlah) dan cukup (keahlian). Dengan demikian,

    sumberdaya manusia dalam implementasi kebijakan di samping harus cukup

    juga harus memilikikeahlian dan kemampuan untuk melaksanakan tugas,

    anjuran, perintah dari atasan (pimpinan). Oleh karena itu, harus ada

    ketepatan dan kelayakan antara jumlah staff yang dibutuhkan dan keahlian

    yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang ditangani.

    2. Sumber Daya Anggaran

    Selain sumber daya manusia yang telah dijelaskan sebelumnya,

    sumber daya yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan

    adalah sumberdaya anggaran (dana) dan peralatan yang digunakan untuk

    membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya anggaran

    yang tersedia dapat menyebabkan kualitas implementasi kebijakan

    menjadi terhambat. Kondisi tersebut juga menyebabkann para pelaku

    kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal

    sehingga dapat menyebabkan gagalnya pelaksanaan program. Terbatasnya

    anggaran juga dapat menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan

    menjadi rendah bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan

  • 26

    oleh pelaku kebijakan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan

    yang telah ditetapkan.

    3. Sumber Daya Peralatan

    Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk

    operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,

    tanah, dan sarana yang semuanya akan mempermudah dalam

    implementasi kebijakan (Edward III dalam Widodo, 2013:102). Dengan

    terbatasnya fasilitas, maka secara otomatis akan sulit mendapatkan

    informasi yang akurat, tepat, handal, dan dapat dipercaya serta kurang

    menunjang dalam efisiensi dalam implementasi kebijakan.

    4. Sumber Daya Informasi dan Kewenangan

    Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber

    daya informasi merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.

    Terutama informasi yang relevan dan cukup dalam mengimplementasikan

    kebijakan. Selain informasi, kewenangan juga menjadi hal yang sangat

    diperlukan. Dikatakan demikian karena kewenangan dapat menjamin dan

    meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan telah sesuai dengan

    yang mereka kehendaki. Kewenangan juga menjadi penting karena ketika

    mereka yaitu para pelaksana kebijakan dihadapkan pada suatu

    permasalahan dan hal tersebut mengharuskan untuk segera diselesaikan

    dengan suatu keputusan.

  • 27

    Disposisi (disposition)

    Edward III dalam Widodo (2013:104), menegaskan bahwa keberhasilan

    implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana para

    pelaku kebijakan (implementor) mengetahui yang harus dilakukan dan

    mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku

    kebijakan. Para pelaku kebijakan harus memiliki disposisi yang kuat

    terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Disposisi ini

    merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan

    untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga

    yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.

    Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi

    keinginan dan kemauan untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain

    yaitu pengetahuan, pemahaman, dan pemahaman terhadap terhadap

    kebijakan, arah respon mereka menerima atau menolak intensitas terhadap

    kebijakan (Van Matter & Van Horn dalam Widodo, 2013:105).

    Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan

    kebijakan adalah penting karena bagaimana pun juga implementasi

    kebijakan yang berhasil bisa jadi gagal ketika para pelaksana tidak

    sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan.

    Struktur Birokrasi ( Bureaucratic Structure)

    Edward II dalam Widodo (2013:106) mengatakan bahwa Implementasi

    kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena struktur birokrasi yang

  • 28

    tidak efisien. Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur

    organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antar unit-unit organisasi

    yang ada dalam organisasi yang bersangkutan dan hubungan antara

    organisasi yang bersangkutan dengan organisasi luar dan sebagainya.

    Struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentis dan standar prosedur

    operasi yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para

    pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugas di bidangnya.

    1. Fragmentasi

    Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa

    fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan

    kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi.

    Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk

    melaksanakan kebijakan maka akan semakin berkurang kemungkinan

    keberhasilan program atau kebijakan.

    2. SOP (Standard Operational Procedure)

    Merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian

    waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja

    yang kompleks dan luas (Winarno, 2007:150). Dengan menggunakan

    SOP, para pelaksana dapat mengoptimalisasikan waktu yang tersedia dan

    dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam

    organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan

  • 29

    fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan

    peraturan.

    Berdasarkan uraian di atas, semakin jelas bahwa variabel komunikasi,

    sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi mempengaruhi tingkatan

    keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. Pelaksanaan implementasi

    kebijakan dapat dikatakan berhasil apabila keempat variabel tersebut

    dilakukan dan disediakan secara konsisten dengan penuh tanggungjawab

    yang tinggi.

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi

    kebijakan ini dengan alasan selain karena terdapat kesesuaian dengan tema

    penelitian juga karena model implementasi kebijakan Edward III cocok

    diimplementasikan pada level birokrasi yang terstruktur pada suatu lembaga

    pemerintahan di mana setiap level hirarki mempunyai peran sesuai dengan

    fungsi dalam penjabaran kebijakan yang akan dilaksanakan dan

    memudahkan terhadap implementasi suatu kebijakan pada masing-masing

    level birokrasi mulai dari tingkat departemen (pemerintah pusat),

    pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, sampai ke tingkat

    pelaksana di lapangan.

    Model ini melihat bagaimana administrator menghadapi permasalahan

    implementasi kebijakan yang disebabkan oleh hambatan dari dalam

    birokrasi itu sendiri dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang

    telah dirumuskan oleh para pengambil kebijakan dan keempat faktor

  • 30

    tersebut merupakan faktor keberhasilan atau kegagalan bagi administrator

    publik dalam mengimplementasikan setiap kebijakan atau program,

    sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh Edward III tersebut.

    4) Implementasi kebijakan model Mirilee S. Grindle

    Model ini dikenal dengan Implementation as A Political and

    AdministrativeProcess. Model implementasi kebijakan ini memandang

    tingkat kebutuhan dan kecocokan teori dengan jenis kebijakan publik yang

    akan diimplementasikan. Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat

    diukur dari proses tercapainnya hasil akhir (outcomes), yakni tercapai atau

    tidaknya tujuan yang ingin diraih. Grindle dalam Agustino (2008:154)

    mengukur keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dilihat dari dua hal,

    yaitu:

    1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan

    kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk

    pada aksi kebijakan.

    2. Apakah tujuan kebijakan tercapai, dapat diukur dengan melihat dua

    faktor, yaitu:

    a. Impak atau efeknya kepada masyarakat secara individu dan

    kelompok

    b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran

    dan perubahan yang terjadi.

  • 31

    Dalam hal ini, Grindle juga mengemukakan bahwa berhasil atau

    tidaknya suatu implemetasi kebijakan publik juga ditentukan oleh tingkat

    implementabilitynya, di mana hal tersebut terdiri dari 2 hal yakni :

    1. Conten of Policy menurut Grindle terdiri atas :

    a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)

    Hal ini berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi

    suatu implementasi kebijakan. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa

    suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti akan melibatkan banyak

    kepentingan dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa

    pengaruh terhadap implementasinya. Adanya kendala pada saat

    implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali, hal tersebut

    terjadi karena hambatan yang ada memang di luar jangkauan dari

    kewenangan kebijakan dan badan pelaksana kebijakan itu sendiri di mana

    bentuk dari kendala kebijakan bisa bersifat fisik maupun politis.

    b. Type of Benefits (tipe manfaat)

    Dalam hal ini, suatu kebijakan yang akan diimplementasikan harus

    memiliki beberapa jenis manfaat positif. Di mana manfat tersebut harus

    mampu untuk diinterpretasikan dan dikomunikasikan kepada para

    pelaksana (implementor) sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan di

    lapangan serta kendala yang ada di dalam masyarakat sebagai target

    sasaran kebijakan dari sebuah kebijakan yang diimplementasikan.

    Tujuannya ialah agar antara pelaksana kebijakan dan sasaran target

  • 32

    kebijakan sama-sama mengetahui dan memahami manfaat dari sebuah

    kebijakan yang dirumuskan di tingkat pusat. Hal demikian akan

    mempengaruhi tingkat penerimaan suatu kebijakan di tengah masyarakat.

    c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)

    Sebuah kebijakan tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai di mana

    tujuan tersebut tentunya telah direncanakan sebelumnya. Begitu juga dalam

    hal perubahan yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan yang dirumuskan.

    Seberapa besar perubahan yang diinginkan dalam suatu implementasi

    kebijakan itu haruslah mempunyai skala yang jelas. Oleh karenanya

    diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap target dan sasaran yang

    akan dicapai tersebut. Tujuan tersebut harus dirumuskana secara jelas,

    spesifik, dan akan lebih baik apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami serta

    disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

    d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)

    Salah satu yang berperan penting dalam implementasi kebijakan ialah

    pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan. Oleh karena itu, pada bagian

    ini harus dijelaskan di mana letak pengambilan keputusan dari suatu

    kebijkan yang akan diimplentasikan.

    e. Program implementer (pelaksana program)

    Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung oleh

    pelaksana kebijakan yang kompeten juga kapabel agar implementasi

    kebijakan dapat berhasil. Pelaksana kebijakan sangat tergantung pada jenis

  • 33

    kebijakan apa yang akan diimplementasikan. Penetapan pelaksana kebijakan

    bukan hanya sekedar menetapkan lembaga mana yang akan melaksanakan

    dan siapa saja yang akan melaksanakan, tetapi juga harus menetapkan tugas,

    pokok, fungsi, kewenangan dan tanggunggungjawab dari masing-masing

    pelaksana kebijakan tersebut.

    f. Resources Committed (sumberdaya-sumberdaya yang digunakan)

    Agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik, maka

    pelaksanaan suatu kebijakan harus didukung oleh sumberdaya –sumberdaya

    yang ada baik itu sumberdaya finansial maupun sumberdaya peralatan.

    Besarnya anggaran dalam implementasi kebijakan tergantung dari jenis

    kebijakan yang akan diimplementasikan. Sumberdaya anggaran ini dapat

    diperoleh dari Pemerintah Pusat melalui APBN, Pemerintah Daerah melalui

    APBD, sektor swasta, swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Peralatan

    yang memaadai juga sangat diperlukan dalam implementasi sebuah

    kebijakan. Tanpa peralatan yang memadai maka efektivitas dan efisiensi

    dalam implementasi kebijakan kurang maksimal.

    2. Context of Policy menurut Grindle ialah :

    a. Power, Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,

    kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat)

    Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan juga kekuatan atau

    kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang

    terlibat demi kelancaran implementasi kebijakan itu sendiri. Bila hal

  • 34

    tersebut tidak dipertimbangkan dengan maksimal, maka besar kemungkinan

    program yang akan diimplementasikan jauh dari yang diharapkan.

    b. Institutional and Regime Characteristic (karakter lembaga dan

    rezimyang berkuasa)

    Lingkungan di mana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga

    berpengaruh terhadap keberhasilan, oleh karena itu pada bagian ini

    dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu

    kebijakan. Walaupun sumberdaya untuk melaksanakan sebuah kebijakan

    telah tersedia dan para pelaksana kebijakan telah mengetahui apa yang

    seharusnya mereka lakukan serta mempunyai keinginan yang kuat untuk

    melaksanakan kebijakan tersebut, akan tetapi besar kemungkinan kebijakan

    tersebut sulit terealisasikan dan dilaksanakan karena adanya kelemahan

    pada struktur birokrasi.

    Kebijakan yang begitu komplek menuntut adanya kerjasama dan

    sinergitas antar elemen, karena ketika suatu kebijakan berada dalam struktur

    birokrasi yang tidak kondusif, maka hal tersebut akan menjadi penghambat

    baik itu terhadap sumberdaya yang tersedia maupun terhadap jalannya

    kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus mendukung

    kebijakan yang telah diputuskan secara politik melalui koordinasi dan

    komunikasi yang baik antar aktor.

    George Edward III dalam Widodo (2008:106), menjelaskan bahwa

    implementasi kebijakan bisa jadi belum efektif disebabkan karena struktur

    birokrasi yang tidak efisien (deficiences in bureaucraticstucture). Struktur

  • 35

    organisasi ini mencakup aspek-aspek struktur organisasi, pembagian

    wewenang, hubungan antar unit-unit organisasi di dalam organisasi

    tersebut, hubungan organisasi dengan organisasi luar, dan prosedur operasi

    yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan para pelaksana

    kebijakan dalam menjalankan tugasnya.

    c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya

    respon dari pelaksana)

    Kepatuhan dan respon dari para pelaksana kebijakan juga hal yang

    penting dalam proses implementasi kebijakan. Oleh karena itu, pada bagian

    ini akan dijelaskan sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana

    kebijakan dalam menanggapi suatu kebijakan. Sejalan dengan hal tersebut,

    Edward III dalam Agustino (2006:152), menjelaskan bahwa jika

    pelaksanaan kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak

    hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki

    memampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya tidak

    menjadi bias.

    2.4 Demokrasi dan Pemilu

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi adalah bentuk atau

    sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan

    perantara wakilnya atau disebut juga pemerintahan rakyat. Demokrasi juga

    dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan

  • 36

    persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga

    negara. Demokrasi dan pemilu sering disederhanakan sebagai dua hal yang

    sama. Ada klaim bahwa sebuah negara dikatakan demokratis manakala

    negara tersebut telah melaksanakan pemilu. Padahal demokrasi tidak identik

    dengan pemilu meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

    lainnya. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu, namun diselenggarakannya

    pemilu bukan indikasi dari demokrasi.

    Menurut Held (1996 : 1), kata demokrasi yang dalam bahasa Inggris

    ialah democracy berasal dari bahasa Perancis democratie yang baru dikenal

    abad ke 16, yang dirujuk dari bahasa Yunani (Greek) demokratia yang

    berasal dari kata demos berarti rakyat (people) dan kratos berarti tanaman

    (rule). Saat ini, demokrasi identik dengan legitimasi kehidupan politik

    modern, walaupun makna demokrasi menunjukan modern yang sangat

    beragam dan luas mulai dari pemerintah berisi teknokrat sampai pada

    konsepsi kehidupan sosial yang ditandai oleh ekstensifnya partisipasi politik.

    Demokrasi merupakan sebuah konsep yang berarti pemerintahan di

    mana kekuasaan tertinggi (atau kedaulatan) ada di tangan rakyat atau sering

    juga dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat atau

    pemerintahan mayoritas. Salah satu definisi yang paling umum terkait

    demokrasi yaitu demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana

    kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh

    mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan

    yang bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting ciri demokrasi

  • 37

    di antaranya ialah adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara

    langsung atau melalui perwakilan, kedaulatan di tangan rakyat, dan sistem

    pemilihan yang bebas. Prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat

    penting dalam konsepsi tersebut.

    Dalam prakteknya, demokrasi dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu

    langsung dan tidak langsung atau yang sering disebut sebagai demokrasi

    perwakilan. Demokrasi langsung merupakan sistem domokrasi yang semua

    warganya biasanya aktif terlibat dalam membuat keputusan-keputusan atau

    kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara, mereka tidak mewakilkan

    pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada orang lain yang

    mengatasnamakan mereka. Demokrasi langsung lebih tua dan lebih dikenal

    sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi Athena.

    Sedangkan demokrasi tidak langsung bersifat lebih umum dan

    diberlakukan oleh banyak negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang

    besar dan wilayah negara yang luas menyebabkan lebih dipilihnya model

    demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Dalam model ini,

    warga akan memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan membuat

    keputusan atau kebijakan politik, merumuskan undang-undang dan

    menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama mmereka. Warga

    mewakilkan kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka kepada

    para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih melalui

    pemilu.

  • 38

    Pemilu merupakan mekanisme memilih wakil-wakil atau pejabat-

    pejabat yang akan mengatasnamakan rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas

    mereka. Dengan kata lain, ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-

    pejabat untuk mewakili mereka di dalam pemilu, maka warga sekaligus

    memberikan mandat pada para wakil dan pejabat tersebut untuk dan atas

    nama rakyat, membuat dan mengambil keputusan atau kebijakan dan

    melaksanakan program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh wakil

    atau pejabat yang mengatasnamakan tersebut, maka pemilihan haruslah

    demokratis.

    Tidak ada definisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa

    definisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika berbicara mengenai

    Pilkada sebagai sebuah proses yang sangat penting di negara kita dewasa ini.

    Prosedur utama demokrasi ialah pemilihan para pemimpin seara kompetitif

    oleh rakyat yang mereka pimpin.

    Sebagaimana dikemukakan oleh Huntington (1995:4), bahwa

    demokrasi mengandung dua dimensi, yakni kompetisi dan partisipasi.

    Demokrasi juga mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu

    kebebasan untuk bebrbicara, menerbitkan, berkumpul, dan berorganisasi di

    mana hal tersebut dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan

    kampanye-kampanye pemilihan.

    Lebih lanjut Huntington menjelaskan definisi demokrasi dari sudut

    prosedur ini memberikan sejumlah patokan yang memungkinkan kita untuk

    menilai sejauh mana suatu sistem politik bersifat demokratis,

  • 39

    membandingkan sistem-sistem dan menganalisis apakah sistem bertambah

    atau berkurang demokratis.

    2.5 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

    Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan perintah antibut

    dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

    “Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah

    daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secasra demokratis”. Adapun

    dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota selalu

    mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini yang

    kemudian menjadi dasar bahwa terdapat perubahan metode pemilihan

    Gubernur, Bupati dan Walikota yang dalam pelaksanaannya baik itu secara

    langsung mapun tidak langsung. Peraturan terkait pemilihan ini pun diatur

    dalam sejumlah Undang-Undang mulai dari pengaturan dalam Undang-Undang

    Pemerintahan Daerah yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, hingga

    pengaturan tersendiri dalam Undang-Undang, mulai dari Undang-Undang

    Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum hingga

    yang terakhir yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dengan

    perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan

    Gubernur, Bupati dan Walikota.

    Perubahan peraturan terkait pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

    yang terjadi selama kurang lebih 15 tahun menimbulkan 2 istilah berbeda

  • 40

    dalam hal menggambarkan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yaiti

    penggunaan istilah Pilkada dan Pemilukada. Pada dasarnya, penggunaan istilah

    tersebut mengandung makna yang berbeda di mana Pilkada merupakan

    akronim dari Pemilihan Kepala Daerah sedangkan Pemilukada merupakan

    akronim dari Pemilihan Umum Kepala Daerah. Istilah Pemilukada adalah

    istilah ketika Pemilihan Kepala Daerah masuk ke dalam rezim Pemilu di mana

    istilah ini muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/ PUU-

    II/ 2004 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22

    Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pengertian

    Pemilukada tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU 22/2007 yang

    menyatakan bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah

    Pemilu untuk memilih kepala daaerah dan wakil kepala daerah secara langsung

    dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarka Pancasila dan Undang-

    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

    Selanjutnya, di dalam Undang-Undang perubahannya yakni Undang-

    Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,

    Pemilukada kembali ditegaskan sebagai bagian dari rezim Pemilu dalam Pasal

    1 angka 4 UU 15/2011 yang menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur, Bupati

    dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota

    secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

    Pancasila dan Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945”. Penggunaan istilah “Kepala Daerah” dalam UU 15/2011 telah diubah

  • 41

    menjadi “Gubernur, Bupati dan Walikota” yang selaras dengan bunyi Pasal 18

    ayat 4 UUD 1945.

    Adapun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PPU-XI/2013

    secara tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemilihan Kepala

    Daerah bukanlah rezim pemilu. Dalam putusan tersebut, pemilihan umum

    hanya diartikan sebagai limitatif yang sesuai dengan Pasal 22E UUD NRI

    Tahun 1945 yaitu Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk memilih

    anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan

    Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan

    setiap 5 tahun sekali. Oleh karena itu, perluasan makna tentang Pemilu yang

    mencakup Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pemilihan Kepala

    Daerah dan Wakil Kepala Daerah) merupakan inkonstitusional menurut

    Mahkamah Konstitusi. Dikatakan demikian karena pemilihan kepala daerah

    bukan termasuk ke dalam rezim pemilu melaikan rezim Pemerintahan Daerah

    (Pemda). Oleh karena itu, istilah yang paling mungkin digunakan adalah

    “Pemilihan” atau setidak-tidaknya menggunakan istilah Pilkada (Pemilihan

    Kepala Daerah) bukan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah.

    Istilah tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 1 Angka 1 Tentang perubahan

    Pasal 1 Angka 1 UU 8/2015 yang menyatakan bahwa “ Pemilihan Gubernur

    dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil

    Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan

    rakyat di wilayah provinsi dan Kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan

  • 42

    Wakil Gubernur. Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota

    secara langsung dan demokratis.”

    2.6 Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Serentak

    Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Pemilihan Kepala Daerah dan

    Wakil Kepala Daerah merupakan salah satu proses demokratisasi di mana hal

    tersebut merupakan pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan

    wakilnya oleh penduduk daerah setempat yang telah memenuhi syarat. Dalam

    hal terkait kajian dari pengertian pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

    daerah tersebut, banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya. Joko J.

    Prihantoro menyatakan bahwa : “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

    Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-

    tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil

    Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota”.

    Dalam kehidupan politik di daerah, pilkada dapat dikatakan sebagai salah satu

    kegiatan yang sejajar dengan pemilihan anggota DPRD. Dikatakan demikian

    karena kedudukan kepala daerah dan DPRD ialah sejajar.

    Selama kurun waktu 10 tahun ke belakang di Indonesia telah terjadi

    banyak perubahan dalam sistem pemilihan yang tujuannya ialah untuk

    melahirkan tata cara dan pelaksanaan pemilu yang lebih efisien. Sebelum tahun

    2005 Kepala Daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah (DPRD). Akan tetapi hal tersebut berubah sejak berlakunya Undang-

  • 43

    Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang

    menyatakan bahwa“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung

    oleh rakyat.”

    Gagasan Pilkada langsung itu pada dasarnya merupakan proses lanjutan

    dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat daerah.

    Sebagaimana diungkapkan oleh Robetr A.Dahl, bahwa di samping untuk

    menghindari tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan

    lain di antaranya ialah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat

    kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan adanya kesejahteraan.

    Selain itu, Pilkada secara langsung juga memberikan kesempatan yang lebih

    luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik.

    Ketika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 dilaksanakan, upaya

    untuk menggeser sejarah pemerintahan yang menganut sistem sentralisasi

    menuju desentralisasi pun belum sepenuhnya terwujud. Dengan lahirnya

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, berdampak pada pola hubungan yang

    berbeda antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di mana dalam

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat 1 menyebutkan bahwa

    “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon

    yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas pemilu yaitu langsung,

    umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

    memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Hal

  • 44

    tersebut merupakan proses penentuan pilihan masyarakat terhadap pemimpin

    daerah mereka. Proses tersebut dikemas dalam sebuah mekanisme yang

    dinamai pemilihan umum. Dalam Pilkada langsung, masyarakat sebagai kunci

    utama dalam pemilu. Mereka yang akan secara langsung menentukan pilihan

    untuk memilih pemimpin daerahnya masing-masing yang dalam hal ini

    meliputi pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota.

    Pilkada langsung sebagai alat yang dapat digunakan untuk memilih

    Kepala Daerah yang berkualitas. Barometer keberhasilan sebuah Pilkada

    langsung tidak hanya dilihat dari proses penyelenggaraan pemilihan yang

    lancar dan damai tetapi juga lebih kepada manfaat atau hasil yang diperoleh.

    Apakah Pilkada langsung dapat menghasilkan pemimpin daerah yang

    kompeten dan berkualitas atau belum. Karena pilkada langsung bukan

    merupakan sarana untuk perebutan kekuasaan pemimpin daerah semata dalam

    Pemerintahan Daerah yang merupakan pelaksanaan fungsi-fungsi

    Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Pemerintahan

    Daerah yakni Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

    (DPRD).

    Pemilihan Kepala Daerah dan Wakilnya, dalam prosesnya dipilih secara

    langsung oleh rakyat di mana pelaksanaan dan tata cara pemilihannya

    ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tahapan pelakasanaan

    Pilkada adalah sebagai berikut :

    1. Pendaftaran pemilih calon Kepala Daerah;

  • 45

    2. Penentuan calon Kepala Daerah;

    3. Proses administrasi pengadaan dan pendistribusian logistik;

    4. Pengadaan kampanye;

    5. Pemungutan dan perhitungan suara;

    6. Tahapan penyelesaian (tahap evaluasi hasil pelaksanaan Pemilihan

    Kepala Daerah).

    Tahapan dalam pelaksanaan Pilkada telah diatur secara jelas dalam

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang

    kemudian lebih diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005

    serta selalu mengalami penyempurnaan dan perubahan dalam usahanya

    menciptakan Pemilihan Kepala Daerah yang aman, tertib dan lancar.

    Tahun 2015, Pemerintah Pusat menyepakati diadakannya Pilkada

    serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan pemerintahannya akan

    berakhir ditahun 2015. Tujuan dilaksanakannya Pilkada serentak ini adalah

    untuk efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya dengan harapan dapat

    dilakukannya penghematan waktu, energi dan anggaran pilkada yang tentunya

    tidaklah sedikit.Pilkada serentak adalah Pemilih Kepala Daerah yang dilakukan

    secara bersamaan dalam waktu yang sama dibeberapa wilayah (baik itu tingkat

    provinsi, maupun tingkat kabupaten atau kota). Sejak DPR menyetujui bahwa

    pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak dilakukan

    pada Desember 2015, bangsa ini secara tidak langsung dapat keluar dari

    kemelut politik, debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan Pilkada

    serentak. Keputusan DPR tersebut menegaskan bahwa Pilkada tetap

  • 46

    dilaksanakan secara langsung dan serentak. Pada 17 Februari 2015, DPR

    mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan yang saat ini telah

    diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015

    Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,

    Wali Kota dan Wakil Walikota disahkan.

    Pilkada secara langsung dan serentak ini menjadi tolak ukur untuk

    melihat sejauh mana pemerintahan di setiap daerah itu berjalan. Pilkada

    lansung dan serentak juga merupakan mekanisme untuk melahirkan

    Pemerintahan Daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas di masing-

    masing daerahnya, kesetaraan hak warga dalam berpolitik serta penguatan

    demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional.Pemilihan Kepala Daerah

    secara langsung dan serentak ini di lakukan oleh setiap warga yang akan

    memilih kepala daerahnya masing-msing secara bersamaan. Hal tersebut

    tentunya akan membutuhkan fokus dan ketekunan yang lebih dari biasanya dari

    pihak penyelenggara pemilu. Dalam pilkada yang diselenggarakan secara

    langsung dan serentak ini, pelaksanaannya dilakukan dalam tiga tahap yaitu

    tahap pertama pada Desember 2015, tahap kedua pada Februari 2017 dan tahap

    ke 3 pada Juni 2018.

    Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015

    Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota Pasal 5, menyebetkan

    bahwa :

  • 47

    (1) Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan

    persiapan dan tahapan penyelenggaraan.

    (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a) Perencanaan program dan anggaran;

    b) Penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan;

    c) Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara

    dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan;

    d) Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;

    e) Pembentukan Panwas kabupaten/kota, Panwas kecamatan, PPL,

    dan Pengawas TPS;

    f) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan;

    g) Penyerahan daftar penduduk potensial pemilih; dan

    h) Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

    (3) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi:

    a) Pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon

    Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,

    serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

    b) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,

    pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan

    Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

    c) Penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,

    Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan

  • 48

    Calon Wakil Walikota; Penetapan pasangan Calon Gubernur dan

    Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil

    Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

    d) Pelaksanaan kampanye;

    e) Pelaksanaan pemungutan suara;

    f) Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;

    g) Penetapan calon terpilih;

    h) Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan; dan

    i) Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincians tahapan persiapan dan

    penyelenggaraan pemilihan diatur dengan Peraturan KPU.