Author
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Administrasi Publik
1.1.1 Konsep Administrasi Publik
Undang-Undang Dasar 1945 atau yang lebih dikenal dengan konstitusi
negara Republik Indonesia “administrasi publik” tidak digunakan. Di
Amerika Serikat, negara yang telah maju dan diklaim sebagai negara asal
disiplin administrasi publik, istilah tersebut juga tidak ditemukan di dalam
konstitusinya. Hal tersebut bukan berarti bahwa administrasi tidak penting.
Akan tetapi, karena administrasi publik merupakan suatu perwujudan dari
keseluruhan kegiatan pelaksanaan dari apa yang telah ditentukan dalam
konstitusi tersebut.
Suatu konstitusi, sebagaimana dikenal selama ini, berkenaan dengan
keputusan setrategis tentang apa yang harus diselenggarakan atau yang
diberikan kepada masyarakat. Sedangkan administrasi publik merupakan
implementasi dari apa yang telah diputuskan. Konstitusi memuat pernyataan
tentang tujuan. Sementara administrasi publik tentang cara untuk
merealisasiakan tujuan tersebut. Harus diakui, banyak cendekiawan kurang
mengenal terminologi, makna dan kegunaan administrasi publik. Istilah
2
administrasi publik malah sering dipahami sebagai kegiatan ketik-mengetik,
katatausahaan, dan urusan perkantoran pemerintah.
Menurut Indradi (2006:2), kata “administrasi” yang dikenal saat ini di
Indonesia berasal dari kata (Latin : ad = pada, ministrate= melayani).
Dengan demikian, apabila ditinjau dari asal kata administrasi berarti
memberikan pelayanan kepada. Kata “administrasi” juga berasal dari kata
“administration” (to administer). Kata to administer dapat berarti to
manage (mengelola), dan to direct (menggerakkan). Ini berarti administrasi
merupakan kegiatan mengelola atau menggerakkan.
A. Dunsire yang dikutip oleh Donovan dan Jackson (1991:9)
menyatakan bahwa administrasi merupakan :
“arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, kegiatan
pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan,
kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan
mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan
kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam
menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang
kerja akademik dan teoritik.”
Istilah administrasi publik juga seringkali diganti oleh para ahli ilmu
politik dengan “birokrasi”. Dikatakan demikian karena istilah tersebut lebih
mudah untuk dipahami dan diamati secara nyata oleh masyarakat
kebanyakan dibandingkan dengan istilah administrasi itu sendiri. Istilah
administrasi publik menunjukkan bagaimana pemerintah berperan sebagai
agen tunggal yang berkuasa atau sebagai regulator yang aktif dan selalu
berinisiatif dalam mengatur atau mengambil langkah dan prakarsa yang
3
menurut mereka dianggap penting atau baik untuk masyarakat karena
masyarakat dianggap sebagai pihak yang pasif, kurang mampu, dan harus
tunduk dan menerima apa saja yang diatur oleh pemerintah.
Pendapat lain terkait administrasi publik ialah menurut Nicholas Henry
dalam Yeremias T. Keban (2008) yang menyatakan bahwa :
“administrasi publik merupakan suatu kombinasi yang kompleks
antara teori dan praktek dengan tujuan mempromosikan
pemahaman tentang peran pemerintah dalam hubungannya dengan
masyarakat yang diperintah, juga mendorong kebijakan publik agar
lebih responsif terhadap kebutuhan sosial.”
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat dikatakan bahwa terdapat
beberapa makna penting berkaitan dengan hakekat dari ilmu administrasi
publik bahwa bidang tersebut lebih berkaitan dengan eksekutif daripada
yudikatif dan legislatif, berkenaan dengan formulasi dan implementasi
kebijakan publik, berkaitan dengan permasalahan hidup masyarakat dan
usaha kerjasama untuk mengemban tugas-tugas pemerintah dan diarahkan
untuk menghasilkan publik goods dan services sertamemiliki dimensi
teoritis dan praktis.
1.1.2 Paradigma Administrasi Publik
Paradigma merupakan cara corak berpikir seseorang atau sekelompok
orang. Ilmu pengetahuan itu memang sangat terbatas kawasan
kompetensinya. Keterbatasan pertama adalah bahwa yang disebut kebenaran
ilmiah itu malahan bersifat abstrak. Tetapi mutlak sangat perlu dalam
4
kehidupan ini. Itulah sebabnya dalam revolusi ilmu pengetahuan tersebut,
muncul peran paradigma ilmu pengetahuan. (Syafiie, 2006 : 26)
Thomas S. Kuhn dalam Syafiie (2006 : 26) mengatakan bahwa
paradigma merupakan cara suatu pandang, nilai-nilai metode-metode,
prinsip dasar atau cara meemcahkan suatu masalah, yang dianut suatu
masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu. Nicholas Henry dalam
Yeremias T. Keban (2008 : 31) mengungkapkan bahwa telah terjadi lima
paradigma dalam administrasi negara seperti di uraikan berikut ini.
“Paradigma 1 ( 1900-1926) dikenal sebagai paradigma Dikotomi
Politik dan Administrasi dengan tokoh yang terkenal dari
paradigma tersebut ialah Frank J. Goodnow dan Leonard D. White.
Goodnow dalam tulisannya yang berjudul “Politics and
Administration” pada tahun 1900 mengungkapkan bahwa politik
harus memusatkan perhatiannya kepada kebijakan atau ekspresi
dari kehendak rakyat. Sedangkan administrasi memberi
perhatiannya pada pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan
atau kehendak tersebut.
Paradigma 2 (1927-1937) disebut sebagai paradigma Prinsip-
prinsip Administrasi dengan tokoh-tokoh yang terkenal dari
paradigma ini ialah Willoughby, Gullick & Urwick yang sangat
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh manajemen klasik seperti Fayol dan
Taylor. Mereka memperkenalkan prinsip-prinsip administrasi
sebagai fokus dari administrasi publik. Prinsip-prinsip tersbut
dituangkan dalam apa yang disebut sebagai POSDCORB
(Planning, Organizaing, Staffing, Directing, Coordinating,
Reporting dan Budgeting) yang menurut mereka dapat diterapkna
dimana saja, atau bersifat universal. Sedang lokus dari administrasi
publik tidak pernah diungkapkan secara jelas karena mereka
beranggapan bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat berlaku dimana
saja termasuk di organisasi pemerintah. Dengan demikian, dalam
paradigma ini, fokus lebih ditekankan daripada lokusnya.
Paradigma 3 (1950-1970) adalah paradigma Administrasi Negara
sebagai Ilmu Politik. Morstein-Marx seorang editor buku
“Elements of public Administration” di tahun 1946
mempertanyakan pemisahan politik dan administrasi sebagai suatu
yang tidak mungkin atau tidak realitas, sementara Herbert Simon
5
mengarahkan kritikannya terhadap ketidakkonsistenan prinsip
administrasi, dan menilai bahwa prinsip-prinsip tersebut tidak
berlaku universal. Dalam konteks ini, administrasi negara
bukannya value free atau dapat berlaku dimana saja, tapi justru
selalu dipengaruhi nilai-nilai tertentu. Disini terjadi pertentangan
antar anggapan mengenai value-free administration disatu pihak
dengan anggapan akan value-laden politics dilain pihak.
Dalam praktek ternyata anggapan kedua yang berlaku, karena itu
John Gaus secara tegas mengatakan bahwa teori administrasi
publik sebenarnya juga teori politik. Akibatnya muncul paradigma
baru yang menganggap administrasi publik sebagai ilmu politik
dimana lokusnya adalah birokrasi pemerintahan, sedang fokusnya
menjadi kabur karena prinsip-prinsip administrasi publik
mengandung banyak kelemahan. Sayangnya, mereka yang
mengajukan kritikan terhadap prinsip-prinsip administrasi tidak
memberi jalan keluar tentang fokus yang dapat digunakan dalam
administrasi publik. Perlu diketahui bahwa pada masa tersebut
administrasi publik mengalami krisis identitas karena ilmu politik
dianggap disiplin yang sangat dominan dalam dunia administrasi
publik.
Paradigma 4 (1956-1970) adalah Administrasi Publik sebagai Ilmu
Administrasi. Dalam paradigma ini prinsip-prinsip manajemen
yang pernah populer sebelumnya, dikembangkan secara ilmiah dan
mendalam. Perilaku organisasi, analisis manajemen, penerapan
teknologi modern seperti metode kuantitatif, analisis sistem, riset
operasi dan lain sebagainya merupakan fokus dari paradigma ini.
Dua arah perkembangan terjadi dalam paradigma ini, yaitu yang
berorientasi kepada perkembangan ilmu administrasi murni yang
didukung oleh psikologi sosial dan yang berorientasi pada
kebijakan. Semua fokus yang dikembangkan di sini diasumsikan
dapat diterapkan tidak hanya dalam dunia bisnis tetapi juga dalam
dunia administrasi publik. Karena itu, lokusnya menjadi tidak jelas.
Paradigma 5 (1970 – sekarang) merupakan paradigma terakhir
yang disebut sebagai Administrasi Publik sebagai Administrasi
Publik. Paradigma tersebut telah memiliki fokus dan lokus yang
jelas. Fokus dalam paradigma ini adalah teori organisasi, teori
manajemen, dan kebijakan publik. Sedangkan lokusnya adalah
masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan publik.”
6
2.2 Kebijakan Publik
2.2.1 Konsep Kebijakan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsep kebijakan publik yang
akan dipakai dalam penelitian ini, perlu dibedakan istilah kebijakan dan
kebijaksanaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebijakan diartikan
sebagai:
“rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan
cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya);
pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip dan garis pedoman untuk
manajemen dalam usaha mencapai sasaran. Sedangkan
kebijaksanaan berkenaan dengan suatu keputusan yang
memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, atau
sebaliknya berdasarkan alasan-alasan tertentu seperti pertimbangan
kemanusiaan, keadaan gawat dan sebagainnya.”
Carl J Federick sebagaimana dikutip Agustino (2008: 7) mendefinisikan
kebijakan sebagai:
“serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di
mana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan
perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang
penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan
harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa
yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.”
Menurut Winarno (2007:15), istilah kebijakan (policy term) mungkin
digunakan secara luas seperti pada kebijakan luar negeri Indonesia,
kebijakan ekonomi Jepang, dan atau mungkin juga dipakai untuk menjadi
sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika kita mengatakan kebijakan
7
pemerintah tentang debirokartisasi dan deregulasi. Istilah kebijakan ini
penggunaanya sering dipertukarkan dengan istilah lain seperti tujuan (goals)
program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, standar, proposal
dan grand design (Suharno ,2009 : 11).
James E Anderson sebagaimana dikutip Islamy (2009: 17)
mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “a purposivecourse of action
followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of
concern” (Serangkaian tindakan yang mempunyaitujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atausekelompok pelaku guna
memecahkan suatu masalah tertentu).kebijakan harus dibedakan dengan
kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya
dengan wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan
memerlukan pertimbangan pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan
kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di dalamnya.
Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut Budi
Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan perhatian pada
apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara
kebijakan (policy) dengan keputusan (decision) yang mengandung arti
pemilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli terkait pengertian kebijakan
tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan merupakan
tindakan-tindakan atau kegiatan yang telah direncanakan untuk dilakukan
8
atau tidak dilakukan oleh seseorang, suatu kelompok, atau pemerintah suatu
negara yang di dalamnya terdapat unsur keputusan berupa upaya pemilihan
di antara berbagai alternatif keputusan yang ada untuk mencapai tujuan
tertentu.
2.2.2 Pengertian Kebijakan Publik
Berbicara mengenai kebijakan publik, lingkup dari kebijakan publik
sangatlah luas karena kebijakan publik itu sendiri mencakup berbagai
bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan lain
sebagainya. Di samping itu, dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat
bersifat nasional, regional maupun lokal seperti Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah
Daerah/Provinsi, Keputusan Gubernur, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota,
dan Keputusan Bupati/Walikota.
Pengertian terkait kebijakan publik sangat banyak, bergantung dari
sudut mana kita mengartikannya. Pressman dan Widavsky sebagaimana
dikutip dalamWinarno (2002: 17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang
bias diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-
bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini dipengaruhi
oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah.
Pendapat lain terkait kebijakan publik ialah menurut James E. Anderson
dikutip dalam Widodo (2011:11), yakni :
“serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu
yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok
9
aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal
yang diperhatikan. Berdasarkan pengertian kebijakan tersebut,
dapat dipahami bahwa tujuan utama suatu kebijakan adalah guna
memecahkan permasalahan di masyarakat yang perlu untuk
diperhatikan.”
Dari beberapa pendapat ahli tersebut di atas terkait kebijakan publik,
dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan
yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada
tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi
kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang
dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat
pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa.
2.2.3 Tahapan Kebijakan Publik
Proses pembuatan suatu kebijakan publik merupakan proses yang
kompleks karena melibatkan banyak proses yang harus dikaji. Sehingga,
banyak ahli politik yang membagi proses-proses penyusunan kebijakan
publik itu sendiri ke dalam beberapa tahapan dengan tujuan untuk
memudahkan kita dalam mengkaji sebuah kebijakan publik meskipun
pembagian tahapan tersebut urutannya berbeda. Sebelum sampai pada
tahapan mengevaluasi implementasi kebijakan, terlebih dahulu seorang
analis kebijakan publik harus mengetahui proses kebijakan publik atau
sering disebut juga sebagai siklus kebijakan publik. Seperti tahapan
kebijakan publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip Winarno
(2007 : 32) adalah sebagai berikut :
10
a) Tahapan Penyusunan Agenda Dalam hal ini, pejabat publik menempatkan permasalahan yang
dianggap menjadi prioritas di antara permasalahan publik yang ada
dalam agenda kebijakan publik. Permasalahan yang dianggap menjadi
prioritas tersebut kemudian masuk ke dalam agenda kebijakan perumus
kebijakan.
b) Tahap Formulasi Kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas
oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy
alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-
masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik.
c) Tahap Adopsi Kebijakan Tahapan ini merupakan tahap di mana memilih dari sekian banyak
alternatif kebijakan yang ditawarkan. Dari sekian banyak alternatif
kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada
akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan
dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga
atau putusan peradilan.
d) Tahap Implementasai Kebijakan Merupakan sebuah proses untuk mentransformasikan keputusan ke
dalam tindakan. Suatu program kebijakan tidak akan berguna apabila
program tersebut tidak diimplementasikan. Artinya bahwa kebijakan
yang telah dirumuskan tersebut harus dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi maupun pemerintah ditingkat bawah. Dalam hal ini,
kebijakan yang telah diambil tersebut harus dilaksanakan oleh
lembaga administrasi publik melalui sumberdaya finansial dan
manusia yang ada. Oleh karena itu, dalam implementasi kebijakan
banyak persaingan dari kelompok-kelompok tertentu agar
kepentingannya dapat terakomodasi dari kebijakan yang akan
diimplementasikan.
Perumusan dan implementasi kebijakan sering berjalan linier sebab
selama proses implementasi berlangsung tidak menutup kemungkinan
sering terjadi perubahan keadaan yang gagal diantisipasi oleh
pengambil keputusan. Suatu kebijakan akan dikatakan berhasil apabila
proses implementasi kebijakan tersebut dapat mentransformasikan
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya ke dalam hasil
atau kinerja kebijakan.
e) Tahap Evaluasi Kebijakan Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk
mencapai tujuan yang direncanakan yaitu memecahkan masalah yang
11
dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau
kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan
publik yang telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan
yang diinginkan atau belum. Tahap ini juga digunakan sebagai
masukan agar kebijakan yang telah dijalankan kekurangan atau
kelemahan yang ada dapat diperbaiki.
Dalam proses evaluasi ini dapat dilakukan baik secara vertikal
maupun horizontal. Ketika dilakukan secara vertikal maka dilakukan
oleh pimpinan eksekutif. Sedangkan ketika dilakukan secara
horizontal maka dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas publik.
Pengawasan implementasi kebijakan publik juga dapat dilakukan
secara internal dan eksternal. Apabila dilakukan secara internal maka
dilakukan oleh lembaga implementasi kebijakan itu sendiri sedangkan
apabila dilakukan secara eksternal maka dapat dilakukan oleh
parlemen, pers (media massa), para akademisi dan tokoh masyarakat,
serta masyarakat itu sendiri terutama yang menjadi sasaran kebijakan.
(Dunn, 1999:24).
Secara singkat, tahap – tahap kebijakan adalah seperti gambar di bawah
ini :
Gambar 1 : Tahap – tahap kebijakan publik
Sumber: William Dunn sebagaimana dikutip Winarno (2007: 32-34)
Penyusunan Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Formulasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
12
2.3 Implementasi Kebijakan Publik
2.3.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Menurut kamus Webster dalam Wahab (2001:64) merumuskan secara
sederhana bahwa :
“ To implement (mengimplementasikan) berarti to provide in the
means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu). To give practicical effect to (menimbulkan dampak/akibat
terhadap sesuatu). Implementasi kebijakan juga dapat dapat
dipandang sebagai suatu proses melaksanakan kebijakan yang
biasanya kebijakan tersebut dalam bentuk undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan eksekutif dan lain-lain.“
Pendapat lain terkait implementasi kebijakan adalah menurut Daniel
Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public
Policy (Agustino, 2008:139) mendefinisikan implementasi kebijakan
sebagai :
”Pelaksanaan keputusan kebijakan berdasarkan dasar, biasanya
dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk
perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting
atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut
mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan
secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai
cara untuk menstrukturkan atau mangatur proses implementasi .”
Sedangkan Van Meter dan Van Horn (Agustino, 2008 : 139),
mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu
atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan.”
13
Berbicara mengenai implementasi kebijakan publik merupakan hal
yang sangat krusial dan komplek dalam perspektif administrasi publik.
Dikatakan demikian karena hal tersebut berkaitan dengan aspek kebijakan
itu sendiri yang tidak lepas hubungannya dengan berbagai kelembagaan
dalam suatu sistem pemerintahan dan aspek masyarakat sebagai objek
kebijakan, sebagai mana dikemukakan oleh Edward III, (1980 : 1), bahwa :
“The study of policy implementation is the crucial for the study of
publi administration and public policy. Policy implementation, as
we have seen, is the stage of policy making between the
establishment of a policy – such as the passage of a legislative act,
the issuing of an executive order, the handing down of judicial
deesion, or the promulgation of a regulatory rule – and the
consequences of the policy of the people whom it affects.”
Pendapat tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Thoha, (1986
: 68), bahwa :
“ Dalam kaitan studi kebijakan publik dalam posisinya dengan
administrasi negara sebenernya sudah cukup lama berkembang,
seperti yang dikatakan oleh White, Dimock and Dimock yang
dikutip oleh Miftah Thoha menyebutkan bahwa administrasi negara
terdiri dari semua kegiatan untuk mencapai tujuan atau
melaksanakan public policy.”
Implementasi kebijakan juga pada dasarnya untuk mengukur akan
keberhasilan atau kegagalan suatu hasil kebijakan yang secara nyata
dilaksanakan di lapangan oleh para implementator dan bagaimana
dampaknya terhadap masyarakat maupun stakeholdernya, sebagaimana
dikemukakan oleh Saefullah (2007 : 39) :
14
“... pada tingkat pelaksanaan kebijakan menyangkut bagaimana
atau sejauh mana suatu kebijakan bisa dilaksananakan dalam dunia
nyata .... pemahaman tentang pelaksanaan kebijakan bukan hanya
dimiliki aparat lembaga dan aparat pelaksana, tetapi juga oleh
masyarakat atau pihak-pihak yang menjadi sasaran kebijakan”.
Implementasi kebijakan merupakan fungsi dan tugas administrator
publik dalam mengaplikasikan lebih lanjut kebijakan yang telah ditetapkan
oleh para perumus kebijakan (policy makers) tersebut, yang suka tidak suka
bagi para administrator harus menjalankannya. Administrator mempunyai
tugas secara akuntabilitas dan responsibilitas setiap kebijakan yang
diamanatkan untuk diimplementasikan secara nyata kepada masyarakatnya.
(Syafiie, 1999 : 24).
Dari definisi mengenai implementasi kebijakan di atas, dapat diketahui
bahwa implementasi kebijakan menyangkut hal-hal seperti adanya tujuan
atau sasaran kebijakan itu sendiri, adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian
tujuan dan adanya hasil kegiatan.Berdasarkan beberapa penjabaran pendapat
ahli di atas terkait implementasi kebijakan, maka dapat disimpulkan bahwa
proses implementasi kebijakan sesungguhnya bukan hanya terkait apa yang
dilakukan oleh badan-badan adaministrastif yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan terhadap kebijakan
yang telah diimplementasikan melainkan menyangkut kekuasaan-kekuasaan
baik itu politik, ekonomi, maupun sosial yang baik secara langsung maupun
tidak dapat mempengaruhi perilaku semua pihak yang terlibat di mana
15
akhirnya berpengaruh dan berdampak terhadap tujuan yang diharapkan
maupun yang tidak diharapkan.
Dengan kata lain, implementasi kebijakan bukan hanya terkait dengan
persoalan administratif tapi juga pengkajian yang berkaitan dengan
ekonomi, politik, sosial, limgkungan yang berpengaruh terhadap proses
implementasi kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini, implementasi kebijakan
Pemilihan kepala daearah secara langsung dan serentak di Kabupaten
Sidoardjo merupakan suatu kebijakan yang sangat penting untuk di
implementasikan bahkan jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan itu
sendiri.
2.3.2 Model Implementasi Kebijakan
Beberapa model implementasi kebijakan berkembang seara dinamis dan
akan sangat ditentukan dengan faktor kondisi dan situasi dari kebijakan
yang diimplementasikan. Dalam sejarah perkembangan studi implementasi
kebijakan, terdapat dua pendekatan guna memahami implementasi
kebijakan itu sendiri, yakni pendekatan top down dan buttom up. Istilah
tersebut dinamakan dengan the command and control approach (pendekatan
kontrol dan komando, yang mirip dengan top down approach) dan the
market approach (pendekatan pasar, di mana pendekatan ini mirip dengan
bottom up approach) (Agustino, 2008: 140)
Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan yang dilakukan
tersentralisir dan dimulai dari aktror tingkat pusat, dan keputusannya pun
16
diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down ini bertitik tolak dari
perspektif bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah
ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-
administrator atau para birokrat pada level bawahnya. Inti dari pendekatan
top down adalah sejauhmana tindakan para pelaksana (administrator atau
birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah direncanakan
sebelumnya oleh para pembuat kebijakan di tingkat pusat. Berangkat dari
perspektif tersebut, maka dalam pendekatan buttom up ini timbul
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Sampai sejauh mana tindakan-tindakan pejabat pelaksana konsisten
dengan keputusan kebijakan tersebut?
2. Sejauh manakah tujuan kebijakan dicapai?
3. Faktor-faktor apa yang secara prinsipal mempengaruhi output dan
dampak kebijakan?
4. Bagaimana kebijakan tersebut diformulasikan kembali sesuai
pengalaman lapangan?
Inti dari empat pertanyaan tersebut di atas mengarah kepada sejauh
mana tindakan para pelaksana kebijakan sesuai dengan prosedur dan tujuan
kebijakan yang telah direncanakan sebelumnya di level pusat. Fokus
tersebut membawa konsekuensi adanya perhatian terhadap aspek organisasi
atau birokrasi sebagai ukuran efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
kebijakan. Terdapat beberapa model implementasi kebijakan dalam
pendekatan buttom up, di antaranya yaitu : model Donald Van Metter dan
17
Carl Van Horn, Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier, George Edward III,
serta Merilee S. Grindle.
Sedangkan pendekatan buttom up, memandang implementasi kebijakan
dirumuskan tidak oleh lembaga yang tersentralisir dari pusat. Pendekatan ini
lebih terpusat dari keputusan-keputusan yang ditetapkan di level warga atau
masyarakat yang merasakan sendiri persoalan dan permasalahan yang
mereka alami. Jadi inti dari pendekatan buttom up ini yaitu bahwa
formualasi kebijakan berada di tingkat warga, sehingga mereka dapat lebih
memahami dan mampu menganalisis kebijakann-kebijakan apa yang cocok
dengan sumberdaya yang tersedia di daerahnya, sistem sosio-kultur yang
mengada agar kebijakan tersebut tidak kontraproduktif, yang dapat
menunjang keberhasilab kebijakan itu sendiri (Agustino : 2008, 156- 157)
Dari pendekatan model implementasi kebijakan yang telah dijabarkan
di atas, peneliti akan menguraikan model-model implementasi kebijakan
dari pendekatan top down karena dirasa sesuai dengan judul penelitian.
1) Model proses implementasi yang di kembangkan oleh Van Meter dan
Van Horn (1975)
Teori ini berangkat dari suatu argumen yang berpendapat bahwa
perbedaan-perbedaan yang ada dalam proses implementasi kebijakan akan
dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu,
model implementasi kebijakan ini dipandang sebagai sebuah prosedur-
prosedur yang meliputi konsep-konsep seperti : perubahan, kontrol, serta
18
kepatuhan dalam bertindak. Dalam model ini terdapat variabel yang satu
dengan lainnya saling berkaitan, yaitu :
1. Standar/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber-sumber kebijakan
3. Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksanan
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
5. Sikap para pelaksana, dan
6. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Variabel-variabel dalam kebijakan itu menjadi sebuah sistem yang
saling terikat dengan tujuan-tujuan yang telah direncanakan dan sumber-
sumber yang tersedia untuk melaksanakan kebijakan. Pusat perhatiannya
pada badan-badan pelaksana yang meliputi organisasi terkait beserta
kegiatan-kegiatan pelaksanaannya, mencakup antar hubungan di dalam
lingkungan sistem politik dan dengan kelompok-kelompok sasaran.
Akhirnya, pusat perhatian pada sikap para pelaksana mengantarkan kita
pada telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasikan program
di lapangan (Wahab, 2012:165).
19
Gambar 2 : Proses implementasi kebijakan model Van Meter dan Van Horn
Sumber : Wahab (2012: 166)
Model ini memperlihatkan bagaimana keterkaitan antara berbagai
variabel, walaupun secara konseptual menggunakan penjelasan secara
parsial, tetapi hal tersebut bagi perumus kebijakan dipandang dapat
dijadikan sebagai model dan bagi para implementator digunakan untuk
memanipulasi dalam perbaikan pelayanan publik dari kebijakan yang telah
dilaksanakan.
2) Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmanian dan Paul A.
Sabatier
Model implementasi kebijakan yang ditawarkan oleh mereka disebut
dengan A Framework for Policy Implementation Analysisatau Kerangka
KEBIJAKAN
PUBLIK
Standar dan
Tujuan
Standar dan
Tujuan
Aktivitas
Implementasi dan
komunikasi
Antarorganisasi
Karakteristik dari
Agen Pelaksana
Kondisi Ekonomi,
Sosial, dan Politik
Kecenderungan/
Disposisi dari
Pelaksana
KINERJA
KEBIJAKAN
PUBLIK
20
Analisis Implementasi. Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran
penting dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi (Wahab, 81).
Pengklasifikasian variabel-variabel tersebut menjadi tiga kategori dasar,
yaitu:
1. Mudah tidaknya masalah-masalah yang akan dilaksanakan untuk
dikendalikan;
2. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstukturkan secara tepat
proses implementasinya;
3. Variabel-variabel diluar Undang-Undang yang mempengaruhi
implementasi.
Dalam model ini terdapat hubungan-hubungan yang saling berkaitan
dan berpengaruh antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, setiap
tahap harus berjalan dengan baik dan optimal.Secara konseptual, model ini
sangat mudah untuk dipahami dan dimengerti akan tetapi secara
implementatif perlu pemikiran yang lebih luas dan waktu yang ukup untuk
menjabarkan secara detail bagi para implementator di lapangan.
21
Gambar 3 : Model implementasi kebijakan A Framework for Implementation
Analysis (Daniel Mazmanian and Paul Sabatier)
Sumber : (Agustino: 2008, 149).
3) Implementasi kebijakan model George Edward III
George Edward II (1980) mencatat bahwa isu utama kebijakan publik
adalah kurangnya perhatian kepada implementasi kebijakan publik.
Dinyatakan dengan tegas bahwa tanpa implementasi kebijakan yang efektif,
Mudah tidaknya masalah dikendalikan
1. Dukungan teori dan teknologi
2. Keragaman perilaku kelompok sasaran
3. Tingkat perubahan perilaku yang dikehendaki
Kemampuan kebijakan untuk menstuktur proses
implementasi
1. Kejelasan dan konsisten tujuan 2. Dipergunakannya teori kausal 3. Ketetapam alokasi sumberdana 4. Keterpaduan hierarki dalam dan di antara
lembaga pelaksana
5. Aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksana 6. Perekrutan pejabat pelaksana
7. Keterbukaan kepada pihak luar
Variabel di luar kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi
1. Kondisi sosio-ekonomi, dan teknologi
2. Dukungan publik 3. Sikap dan sumberdaya
dari konstituen
4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi
5. Komitmen dan kualitas kepemimpinan dari
pejabat pelaksana.
Tahap-tahap dalam proses implementasi kebijakan
Output kebijakan
dari lembaga
pelaksana
Kepatuhan target untuk mematuhi output kebijakan
Hasil nyata output kebijakan
Diterimanya hasil tersebut
Revisi Undang-
Undang
22
keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilakukan. Oleh karenanya
Edward menyarankan untuk memberikan perhatian kepada empat isu utama
yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi sikap dan struktur birokrasi (
Nugroho, 2014:226).
Gambar 4 : Implementasi kebijakan model Edward III
Sumber : (Agustino :2008, 150)
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam implementasi
kebijakan model Edward III komunikasi, sumberdaya disposisi sikap serta
struktur birokrasi menjadi hal yang saling berkaitan antara satu dengan yang
lainnya dalam keberhasilan implementasi sebuah kebijakan.
KOMUNIKASI
STRUKTUR
BIROKRASI
DISPOSISI
SUMBER DAYA
IMPLEMENTASI
23
Komunikasi
Komunikasi menjadi variabel yang sangat menetukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Komunikasi
diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator kepada
komunikan. Komunikasi kebijakan berarti proses penyampaian informasi
kebijakan dari pembuat kebijakan (policy maker) kepada pelaksana
kebijakan (policy implementation). (Widodo, 2013:97). Perlunya
penyampaian informasi kebijakan publik kepada pelaku kebijakan. Hal
tersebut karena agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui, memahami
apa yang menjadi isi, tujuan, arah, dan kelompok sasaran kebijakan.
Sehingga para pelaksana kebijakan dapat mempersiapkan dengan benar apa
yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk melaksanakan kebijakan
publik. Dengan demikian apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan
publik dapat dicapai sesuai dengan harapan. Menurut Edward dalam
Widodo (2013:97) komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam
dimensi, antara lain:
1. Transmisi (transmission)
Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan
tidak hanya kepada pelaksana kebijakan, namun juga disampaikan
kepada kelompok sasaran kebijakan dan [pihak lain yang
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Dimensi
transmisi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan
24
kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait
dengan kebijakan.
2. Kejelasan (clarity)
Dimensi kebijakan menghendaki agar kebijakan yang
ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain yang
berkepentingan secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga di antara mereka
mengetahui yang menjadi maksud, tujuan dan sasaran serta substansi
dari kebijakan publik tersebut.
3. Konsistensi (consistency)
Perintah-perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu
komunikasi haruslah konsisten dan jelas apabila menginginkan proses
implementasi yang berjalan cepat dan efektif. Apabila perintah yang
diberikan sering berubah-rubah atau tidak konsisten, maka dapat
menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan.
Sumber Daya (Resource)
Faktor sumberdaya mempunyai peranan sangat penting dalam
implementasi kebijakan. Sumberdaya sebagaimana yang telah disebutkan
meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan, dan sumberdaya
peralatan (gedung, peralatan, tanah, dan suku cadang lainnya) yang
diperlukan dalam melaksanakan kebijakan,
25
1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang
mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Edward
III dalam Widodo (2013:98) menegaskan bahwa “Probably the most
essential resources in implementing policy is staff”. Sumberdaya manusia
(staff), harus cukup (jumlah) dan cukup (keahlian). Dengan demikian,
sumberdaya manusia dalam implementasi kebijakan di samping harus cukup
juga harus memilikikeahlian dan kemampuan untuk melaksanakan tugas,
anjuran, perintah dari atasan (pimpinan). Oleh karena itu, harus ada
ketepatan dan kelayakan antara jumlah staff yang dibutuhkan dan keahlian
yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang ditangani.
2. Sumber Daya Anggaran
Selain sumber daya manusia yang telah dijelaskan sebelumnya,
sumber daya yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan
adalah sumberdaya anggaran (dana) dan peralatan yang digunakan untuk
membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya anggaran
yang tersedia dapat menyebabkan kualitas implementasi kebijakan
menjadi terhambat. Kondisi tersebut juga menyebabkann para pelaku
kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal
sehingga dapat menyebabkan gagalnya pelaksanaan program. Terbatasnya
anggaran juga dapat menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan
menjadi rendah bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan
26
oleh pelaku kebijakan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan
yang telah ditetapkan.
3. Sumber Daya Peralatan
Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk
operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung,
tanah, dan sarana yang semuanya akan mempermudah dalam
implementasi kebijakan (Edward III dalam Widodo, 2013:102). Dengan
terbatasnya fasilitas, maka secara otomatis akan sulit mendapatkan
informasi yang akurat, tepat, handal, dan dapat dipercaya serta kurang
menunjang dalam efisiensi dalam implementasi kebijakan.
4. Sumber Daya Informasi dan Kewenangan
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber
daya informasi merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.
Terutama informasi yang relevan dan cukup dalam mengimplementasikan
kebijakan. Selain informasi, kewenangan juga menjadi hal yang sangat
diperlukan. Dikatakan demikian karena kewenangan dapat menjamin dan
meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan telah sesuai dengan
yang mereka kehendaki. Kewenangan juga menjadi penting karena ketika
mereka yaitu para pelaksana kebijakan dihadapkan pada suatu
permasalahan dan hal tersebut mengharuskan untuk segera diselesaikan
dengan suatu keputusan.
27
Disposisi (disposition)
Edward III dalam Widodo (2013:104), menegaskan bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana para
pelaku kebijakan (implementor) mengetahui yang harus dilakukan dan
mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku
kebijakan. Para pelaku kebijakan harus memiliki disposisi yang kuat
terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Disposisi ini
merupakan kemauan, keinginan, dan kecenderungan para pelaku kebijakan
untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh-sungguh sehingga
yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan.
Terdapat tiga macam elemen respon yang dapat mempengaruhi
keinginan dan kemauan untuk melaksanakan suatu kebijakan, antara lain
yaitu pengetahuan, pemahaman, dan pemahaman terhadap terhadap
kebijakan, arah respon mereka menerima atau menolak intensitas terhadap
kebijakan (Van Matter & Van Horn dalam Widodo, 2013:105).
Pemahaman tentang maksud umum dari suatu standar dan tujuan
kebijakan adalah penting karena bagaimana pun juga implementasi
kebijakan yang berhasil bisa jadi gagal ketika para pelaksana tidak
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan.
Struktur Birokrasi ( Bureaucratic Structure)
Edward II dalam Widodo (2013:106) mengatakan bahwa Implementasi
kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena struktur birokrasi yang
28
tidak efisien. Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur
organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antar unit-unit organisasi
yang ada dalam organisasi yang bersangkutan dan hubungan antara
organisasi yang bersangkutan dengan organisasi luar dan sebagainya.
Struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentis dan standar prosedur
operasi yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para
pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugas di bidangnya.
1. Fragmentasi
Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa
fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan
kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi.
Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan maka akan semakin berkurang kemungkinan
keberhasilan program atau kebijakan.
2. SOP (Standard Operational Procedure)
Merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian
waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja
yang kompleks dan luas (Winarno, 2007:150). Dengan menggunakan
SOP, para pelaksana dapat mengoptimalisasikan waktu yang tersedia dan
dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam
organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan
29
fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan
peraturan.
Berdasarkan uraian di atas, semakin jelas bahwa variabel komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi mempengaruhi tingkatan
keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. Pelaksanaan implementasi
kebijakan dapat dikatakan berhasil apabila keempat variabel tersebut
dilakukan dan disediakan secara konsisten dengan penuh tanggungjawab
yang tinggi.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model implementasi
kebijakan ini dengan alasan selain karena terdapat kesesuaian dengan tema
penelitian juga karena model implementasi kebijakan Edward III cocok
diimplementasikan pada level birokrasi yang terstruktur pada suatu lembaga
pemerintahan di mana setiap level hirarki mempunyai peran sesuai dengan
fungsi dalam penjabaran kebijakan yang akan dilaksanakan dan
memudahkan terhadap implementasi suatu kebijakan pada masing-masing
level birokrasi mulai dari tingkat departemen (pemerintah pusat),
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, sampai ke tingkat
pelaksana di lapangan.
Model ini melihat bagaimana administrator menghadapi permasalahan
implementasi kebijakan yang disebabkan oleh hambatan dari dalam
birokrasi itu sendiri dalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang
telah dirumuskan oleh para pengambil kebijakan dan keempat faktor
30
tersebut merupakan faktor keberhasilan atau kegagalan bagi administrator
publik dalam mengimplementasikan setiap kebijakan atau program,
sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh Edward III tersebut.
4) Implementasi kebijakan model Mirilee S. Grindle
Model ini dikenal dengan Implementation as A Political and
AdministrativeProcess. Model implementasi kebijakan ini memandang
tingkat kebutuhan dan kecocokan teori dengan jenis kebijakan publik yang
akan diimplementasikan. Keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat
diukur dari proses tercapainnya hasil akhir (outcomes), yakni tercapai atau
tidaknya tujuan yang ingin diraih. Grindle dalam Agustino (2008:154)
mengukur keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dilihat dari dua hal,
yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk
pada aksi kebijakan.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai, dapat diukur dengan melihat dua
faktor, yaitu:
a. Impak atau efeknya kepada masyarakat secara individu dan
kelompok
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran
dan perubahan yang terjadi.
31
Dalam hal ini, Grindle juga mengemukakan bahwa berhasil atau
tidaknya suatu implemetasi kebijakan publik juga ditentukan oleh tingkat
implementabilitynya, di mana hal tersebut terdiri dari 2 hal yakni :
1. Conten of Policy menurut Grindle terdiri atas :
a. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)
Hal ini berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi
suatu implementasi kebijakan. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa
suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti akan melibatkan banyak
kepentingan dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut membawa
pengaruh terhadap implementasinya. Adanya kendala pada saat
implementasi kebijakan seringkali berada di luar kendali, hal tersebut
terjadi karena hambatan yang ada memang di luar jangkauan dari
kewenangan kebijakan dan badan pelaksana kebijakan itu sendiri di mana
bentuk dari kendala kebijakan bisa bersifat fisik maupun politis.
b. Type of Benefits (tipe manfaat)
Dalam hal ini, suatu kebijakan yang akan diimplementasikan harus
memiliki beberapa jenis manfaat positif. Di mana manfat tersebut harus
mampu untuk diinterpretasikan dan dikomunikasikan kepada para
pelaksana (implementor) sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan di
lapangan serta kendala yang ada di dalam masyarakat sebagai target
sasaran kebijakan dari sebuah kebijakan yang diimplementasikan.
Tujuannya ialah agar antara pelaksana kebijakan dan sasaran target
32
kebijakan sama-sama mengetahui dan memahami manfaat dari sebuah
kebijakan yang dirumuskan di tingkat pusat. Hal demikian akan
mempengaruhi tingkat penerimaan suatu kebijakan di tengah masyarakat.
c. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)
Sebuah kebijakan tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai di mana
tujuan tersebut tentunya telah direncanakan sebelumnya. Begitu juga dalam
hal perubahan yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan yang dirumuskan.
Seberapa besar perubahan yang diinginkan dalam suatu implementasi
kebijakan itu haruslah mempunyai skala yang jelas. Oleh karenanya
diperlukan pemahaman yang menyeluruh terhadap target dan sasaran yang
akan dicapai tersebut. Tujuan tersebut harus dirumuskana secara jelas,
spesifik, dan akan lebih baik apabila dapat dikuantifikasikan, dipahami serta
disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan.
d. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)
Salah satu yang berperan penting dalam implementasi kebijakan ialah
pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan. Oleh karena itu, pada bagian
ini harus dijelaskan di mana letak pengambilan keputusan dari suatu
kebijkan yang akan diimplentasikan.
e. Program implementer (pelaksana program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus didukung oleh
pelaksana kebijakan yang kompeten juga kapabel agar implementasi
kebijakan dapat berhasil. Pelaksana kebijakan sangat tergantung pada jenis
33
kebijakan apa yang akan diimplementasikan. Penetapan pelaksana kebijakan
bukan hanya sekedar menetapkan lembaga mana yang akan melaksanakan
dan siapa saja yang akan melaksanakan, tetapi juga harus menetapkan tugas,
pokok, fungsi, kewenangan dan tanggunggungjawab dari masing-masing
pelaksana kebijakan tersebut.
f. Resources Committed (sumberdaya-sumberdaya yang digunakan)
Agar implementasi kebijakan dapat berjalan dengan baik, maka
pelaksanaan suatu kebijakan harus didukung oleh sumberdaya –sumberdaya
yang ada baik itu sumberdaya finansial maupun sumberdaya peralatan.
Besarnya anggaran dalam implementasi kebijakan tergantung dari jenis
kebijakan yang akan diimplementasikan. Sumberdaya anggaran ini dapat
diperoleh dari Pemerintah Pusat melalui APBN, Pemerintah Daerah melalui
APBD, sektor swasta, swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Peralatan
yang memaadai juga sangat diperlukan dalam implementasi sebuah
kebijakan. Tanpa peralatan yang memadai maka efektivitas dan efisiensi
dalam implementasi kebijakan kurang maksimal.
2. Context of Policy menurut Grindle ialah :
a. Power, Interest and Strategy of Actor Involved (kekuasaan,
kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang terlibat)
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan juga kekuatan atau
kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang
terlibat demi kelancaran implementasi kebijakan itu sendiri. Bila hal
34
tersebut tidak dipertimbangkan dengan maksimal, maka besar kemungkinan
program yang akan diimplementasikan jauh dari yang diharapkan.
b. Institutional and Regime Characteristic (karakter lembaga dan
rezimyang berkuasa)
Lingkungan di mana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilan, oleh karena itu pada bagian ini
dijelaskan karakteristik dari lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu
kebijakan. Walaupun sumberdaya untuk melaksanakan sebuah kebijakan
telah tersedia dan para pelaksana kebijakan telah mengetahui apa yang
seharusnya mereka lakukan serta mempunyai keinginan yang kuat untuk
melaksanakan kebijakan tersebut, akan tetapi besar kemungkinan kebijakan
tersebut sulit terealisasikan dan dilaksanakan karena adanya kelemahan
pada struktur birokrasi.
Kebijakan yang begitu komplek menuntut adanya kerjasama dan
sinergitas antar elemen, karena ketika suatu kebijakan berada dalam struktur
birokrasi yang tidak kondusif, maka hal tersebut akan menjadi penghambat
baik itu terhadap sumberdaya yang tersedia maupun terhadap jalannya
kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus mendukung
kebijakan yang telah diputuskan secara politik melalui koordinasi dan
komunikasi yang baik antar aktor.
George Edward III dalam Widodo (2008:106), menjelaskan bahwa
implementasi kebijakan bisa jadi belum efektif disebabkan karena struktur
birokrasi yang tidak efisien (deficiences in bureaucraticstucture). Struktur
35
organisasi ini mencakup aspek-aspek struktur organisasi, pembagian
wewenang, hubungan antar unit-unit organisasi di dalam organisasi
tersebut, hubungan organisasi dengan organisasi luar, dan prosedur operasi
yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan para pelaksana
kebijakan dalam menjalankan tugasnya.
c. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan dan adanya
respon dari pelaksana)
Kepatuhan dan respon dari para pelaksana kebijakan juga hal yang
penting dalam proses implementasi kebijakan. Oleh karena itu, pada bagian
ini akan dijelaskan sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana
kebijakan dalam menanggapi suatu kebijakan. Sejalan dengan hal tersebut,
Edward III dalam Agustino (2006:152), menjelaskan bahwa jika
pelaksanaan kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak
hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki
memampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam prakteknya tidak
menjadi bias.
2.4 Demokrasi dan Pemilu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi adalah bentuk atau
sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan
perantara wakilnya atau disebut juga pemerintahan rakyat. Demokrasi juga
dapat diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
36
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga
negara. Demokrasi dan pemilu sering disederhanakan sebagai dua hal yang
sama. Ada klaim bahwa sebuah negara dikatakan demokratis manakala
negara tersebut telah melaksanakan pemilu. Padahal demokrasi tidak identik
dengan pemilu meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu, namun diselenggarakannya
pemilu bukan indikasi dari demokrasi.
Menurut Held (1996 : 1), kata demokrasi yang dalam bahasa Inggris
ialah democracy berasal dari bahasa Perancis democratie yang baru dikenal
abad ke 16, yang dirujuk dari bahasa Yunani (Greek) demokratia yang
berasal dari kata demos berarti rakyat (people) dan kratos berarti tanaman
(rule). Saat ini, demokrasi identik dengan legitimasi kehidupan politik
modern, walaupun makna demokrasi menunjukan modern yang sangat
beragam dan luas mulai dari pemerintah berisi teknokrat sampai pada
konsepsi kehidupan sosial yang ditandai oleh ekstensifnya partisipasi politik.
Demokrasi merupakan sebuah konsep yang berarti pemerintahan di
mana kekuasaan tertinggi (atau kedaulatan) ada di tangan rakyat atau sering
juga dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat atau
pemerintahan mayoritas. Salah satu definisi yang paling umum terkait
demokrasi yaitu demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh
mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan
yang bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting ciri demokrasi
37
di antaranya ialah adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara
langsung atau melalui perwakilan, kedaulatan di tangan rakyat, dan sistem
pemilihan yang bebas. Prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat
penting dalam konsepsi tersebut.
Dalam prakteknya, demokrasi dapat dibedakan atas dua bentuk yaitu
langsung dan tidak langsung atau yang sering disebut sebagai demokrasi
perwakilan. Demokrasi langsung merupakan sistem domokrasi yang semua
warganya biasanya aktif terlibat dalam membuat keputusan-keputusan atau
kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara, mereka tidak mewakilkan
pandangan, pikiran, atau kepentingan mereka pada orang lain yang
mengatasnamakan mereka. Demokrasi langsung lebih tua dan lebih dikenal
sebagai demokrasi masa Yunani kuno atau demokrasi Athena.
Sedangkan demokrasi tidak langsung bersifat lebih umum dan
diberlakukan oleh banyak negara modern saat ini. Jumlah penduduk yang
besar dan wilayah negara yang luas menyebabkan lebih dipilihnya model
demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. Dalam model ini,
warga akan memilih wakil-wakil atau pejabat-pejabat yang akan membuat
keputusan atau kebijakan politik, merumuskan undang-undang dan
menjalankan program untuk kepentingan umum atas nama mmereka. Warga
mewakilkan kepentingan, aspirasi, pikiran, atau pandangan mereka kepada
para anggota dewan, pemimpin atau pejabat yang mereka pilih melalui
pemilu.
38
Pemilu merupakan mekanisme memilih wakil-wakil atau pejabat-
pejabat yang akan mengatasnamakan rakyat dalam melaksanakan tugas-tugas
mereka. Dengan kata lain, ketika warga memilih wakil-wakil atau pejabat-
pejabat untuk mewakili mereka di dalam pemilu, maka warga sekaligus
memberikan mandat pada para wakil dan pejabat tersebut untuk dan atas
nama rakyat, membuat dan mengambil keputusan atau kebijakan dan
melaksanakan program untuk kepentingan mereka. Untuk memperoleh wakil
atau pejabat yang mengatasnamakan tersebut, maka pemilihan haruslah
demokratis.
Tidak ada definisi tunggal tentang apa itu demokrasi. Namun beberapa
definisi demokrasi berikut ini bisa membantu kita ketika berbicara mengenai
Pilkada sebagai sebuah proses yang sangat penting di negara kita dewasa ini.
Prosedur utama demokrasi ialah pemilihan para pemimpin seara kompetitif
oleh rakyat yang mereka pimpin.
Sebagaimana dikemukakan oleh Huntington (1995:4), bahwa
demokrasi mengandung dua dimensi, yakni kompetisi dan partisipasi.
Demokrasi juga mengimplikasikan adanya kebebasan sipil dan politik yaitu
kebebasan untuk bebrbicara, menerbitkan, berkumpul, dan berorganisasi di
mana hal tersebut dibutuhkan bagi perdebatan politik dan pelaksanaan
kampanye-kampanye pemilihan.
Lebih lanjut Huntington menjelaskan definisi demokrasi dari sudut
prosedur ini memberikan sejumlah patokan yang memungkinkan kita untuk
menilai sejauh mana suatu sistem politik bersifat demokratis,
39
membandingkan sistem-sistem dan menganalisis apakah sistem bertambah
atau berkurang demokratis.
2.5 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan perintah antibut
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan
“Gubernur, Bupati dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secasra demokratis”. Adapun
dalam perkembangannya, pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota selalu
mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini yang
kemudian menjadi dasar bahwa terdapat perubahan metode pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota yang dalam pelaksanaannya baik itu secara
langsung mapun tidak langsung. Peraturan terkait pemilihan ini pun diatur
dalam sejumlah Undang-Undang mulai dari pengaturan dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, hingga
pengaturan tersendiri dalam Undang-Undang, mulai dari Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum hingga
yang terakhir yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dengan
perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota.
Perubahan peraturan terkait pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
yang terjadi selama kurang lebih 15 tahun menimbulkan 2 istilah berbeda
40
dalam hal menggambarkan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yaiti
penggunaan istilah Pilkada dan Pemilukada. Pada dasarnya, penggunaan istilah
tersebut mengandung makna yang berbeda di mana Pilkada merupakan
akronim dari Pemilihan Kepala Daerah sedangkan Pemilukada merupakan
akronim dari Pemilihan Umum Kepala Daerah. Istilah Pemilukada adalah
istilah ketika Pemilihan Kepala Daerah masuk ke dalam rezim Pemilu di mana
istilah ini muncul setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 072-073/ PUU-
II/ 2004 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pengertian
Pemilukada tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU 22/2007 yang
menyatakan bahwa “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah
Pemilu untuk memilih kepala daaerah dan wakil kepala daerah secara langsung
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarka Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Selanjutnya, di dalam Undang-Undang perubahannya yakni Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum,
Pemilukada kembali ditegaskan sebagai bagian dari rezim Pemilu dalam Pasal
1 angka 4 UU 15/2011 yang menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota
secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undnag-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Penggunaan istilah “Kepala Daerah” dalam UU 15/2011 telah diubah
41
menjadi “Gubernur, Bupati dan Walikota” yang selaras dengan bunyi Pasal 18
ayat 4 UUD 1945.
Adapun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PPU-XI/2013
secara tegas Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemilihan Kepala
Daerah bukanlah rezim pemilu. Dalam putusan tersebut, pemilihan umum
hanya diartikan sebagai limitatif yang sesuai dengan Pasal 22E UUD NRI
Tahun 1945 yaitu Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan
Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan
setiap 5 tahun sekali. Oleh karena itu, perluasan makna tentang Pemilu yang
mencakup Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah) merupakan inkonstitusional menurut
Mahkamah Konstitusi. Dikatakan demikian karena pemilihan kepala daerah
bukan termasuk ke dalam rezim pemilu melaikan rezim Pemerintahan Daerah
(Pemda). Oleh karena itu, istilah yang paling mungkin digunakan adalah
“Pemilihan” atau setidak-tidaknya menggunakan istilah Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) bukan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah.
Istilah tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 1 Angka 1 Tentang perubahan
Pasal 1 Angka 1 UU 8/2015 yang menyatakan bahwa “ Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan
rakyat di wilayah provinsi dan Kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan
42
Wakil Gubernur. Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota
secara langsung dan demokratis.”
2.6 Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Serentak
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah merupakan salah satu proses demokratisasi di mana hal
tersebut merupakan pemilihan umum untuk memilih kepala daerah dan
wakilnya oleh penduduk daerah setempat yang telah memenuhi syarat. Dalam
hal terkait kajian dari pengertian pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah tersebut, banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya. Joko J.
Prihantoro menyatakan bahwa : “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap tokoh-
tokoh yang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, baik Gubernur/Wakil
Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota”.
Dalam kehidupan politik di daerah, pilkada dapat dikatakan sebagai salah satu
kegiatan yang sejajar dengan pemilihan anggota DPRD. Dikatakan demikian
karena kedudukan kepala daerah dan DPRD ialah sejajar.
Selama kurun waktu 10 tahun ke belakang di Indonesia telah terjadi
banyak perubahan dalam sistem pemilihan yang tujuannya ialah untuk
melahirkan tata cara dan pelaksanaan pemilu yang lebih efisien. Sebelum tahun
2005 Kepala Daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Akan tetapi hal tersebut berubah sejak berlakunya Undang-
43
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang
menyatakan bahwa“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih langsung
oleh rakyat.”
Gagasan Pilkada langsung itu pada dasarnya merupakan proses lanjutan
dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat daerah.
Sebagaimana diungkapkan oleh Robetr A.Dahl, bahwa di samping untuk
menghindari tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan
lain di antaranya ialah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat
kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan adanya kesejahteraan.
Selain itu, Pilkada secara langsung juga memberikan kesempatan yang lebih
luas kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik.
Ketika Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1999 dilaksanakan, upaya
untuk menggeser sejarah pemerintahan yang menganut sistem sentralisasi
menuju desentralisasi pun belum sepenuhnya terwujud. Dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, berdampak pada pola hubungan yang
berbeda antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah di mana dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat 1 menyebutkan bahwa
“Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas pemilu yaitu langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
memuat ketentuan tentang Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung. Hal
44
tersebut merupakan proses penentuan pilihan masyarakat terhadap pemimpin
daerah mereka. Proses tersebut dikemas dalam sebuah mekanisme yang
dinamai pemilihan umum. Dalam Pilkada langsung, masyarakat sebagai kunci
utama dalam pemilu. Mereka yang akan secara langsung menentukan pilihan
untuk memilih pemimpin daerahnya masing-masing yang dalam hal ini
meliputi pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota.
Pilkada langsung sebagai alat yang dapat digunakan untuk memilih
Kepala Daerah yang berkualitas. Barometer keberhasilan sebuah Pilkada
langsung tidak hanya dilihat dari proses penyelenggaraan pemilihan yang
lancar dan damai tetapi juga lebih kepada manfaat atau hasil yang diperoleh.
Apakah Pilkada langsung dapat menghasilkan pemimpin daerah yang
kompeten dan berkualitas atau belum. Karena pilkada langsung bukan
merupakan sarana untuk perebutan kekuasaan pemimpin daerah semata dalam
Pemerintahan Daerah yang merupakan pelaksanaan fungsi-fungsi
Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Pemerintahan
Daerah yakni Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakilnya, dalam prosesnya dipilih secara
langsung oleh rakyat di mana pelaksanaan dan tata cara pemilihannya
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Tahapan pelakasanaan
Pilkada adalah sebagai berikut :
1. Pendaftaran pemilih calon Kepala Daerah;
45
2. Penentuan calon Kepala Daerah;
3. Proses administrasi pengadaan dan pendistribusian logistik;
4. Pengadaan kampanye;
5. Pemungutan dan perhitungan suara;
6. Tahapan penyelesaian (tahap evaluasi hasil pelaksanaan Pemilihan
Kepala Daerah).
Tahapan dalam pelaksanaan Pilkada telah diatur secara jelas dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian lebih diperjelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005
serta selalu mengalami penyempurnaan dan perubahan dalam usahanya
menciptakan Pemilihan Kepala Daerah yang aman, tertib dan lancar.
Tahun 2015, Pemerintah Pusat menyepakati diadakannya Pilkada
serentak untuk daerah-daerah yang masa jabatan pemerintahannya akan
berakhir ditahun 2015. Tujuan dilaksanakannya Pilkada serentak ini adalah
untuk efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaannya dengan harapan dapat
dilakukannya penghematan waktu, energi dan anggaran pilkada yang tentunya
tidaklah sedikit.Pilkada serentak adalah Pemilih Kepala Daerah yang dilakukan
secara bersamaan dalam waktu yang sama dibeberapa wilayah (baik itu tingkat
provinsi, maupun tingkat kabupaten atau kota). Sejak DPR menyetujui bahwa
pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak dilakukan
pada Desember 2015, bangsa ini secara tidak langsung dapat keluar dari
kemelut politik, debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan Pilkada
serentak. Keputusan DPR tersebut menegaskan bahwa Pilkada tetap
46
dilaksanakan secara langsung dan serentak. Pada 17 Februari 2015, DPR
mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan yang saat ini telah
diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2015
Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
Wali Kota dan Wakil Walikota disahkan.
Pilkada secara langsung dan serentak ini menjadi tolak ukur untuk
melihat sejauh mana pemerintahan di setiap daerah itu berjalan. Pilkada
lansung dan serentak juga merupakan mekanisme untuk melahirkan
Pemerintahan Daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas di masing-
masing daerahnya, kesetaraan hak warga dalam berpolitik serta penguatan
demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional.Pemilihan Kepala Daerah
secara langsung dan serentak ini di lakukan oleh setiap warga yang akan
memilih kepala daerahnya masing-msing secara bersamaan. Hal tersebut
tentunya akan membutuhkan fokus dan ketekunan yang lebih dari biasanya dari
pihak penyelenggara pemilu. Dalam pilkada yang diselenggarakan secara
langsung dan serentak ini, pelaksanaannya dilakukan dalam tiga tahap yaitu
tahap pertama pada Desember 2015, tahap kedua pada Februari 2017 dan tahap
ke 3 pada Juni 2018.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2015
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati atau Walikota Pasal 5, menyebetkan
bahwa :
47
(1) Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan
persiapan dan tahapan penyelenggaraan.
(2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a) Perencanaan program dan anggaran;
b) Penyusunan peraturan penyelenggaraan pemilihan;
c) Perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara
dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan;
d) Pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e) Pembentukan Panwas kabupaten/kota, Panwas kecamatan, PPL,
dan Pengawas TPS;
f) Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan;
g) Penyerahan daftar penduduk potensial pemilih; dan
h) Pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.
(3) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a) Pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon
Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati,
serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
b) Pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan
Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
c) Penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan
48
Calon Wakil Walikota; Penetapan pasangan Calon Gubernur dan
Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil
Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;
d) Pelaksanaan kampanye;
e) Pelaksanaan pemungutan suara;
f) Penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
g) Penetapan calon terpilih;
h) Penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan; dan
i) Pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai rincians tahapan persiapan dan
penyelenggaraan pemilihan diatur dengan Peraturan KPU.