20
STATUS PASIEN BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN RSU ANUTAPURA PALU I. IDENTITAS PASIEN 1. Nama pasien : An. A 2. Umur : 10 tahun 3. Jenis kelamin : Laki-laki 4. Agama : Islam 5. Pekerjaan : Pelajar 6. Tanggal pemeriksaan : 12 September 2015 II. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Gatal pada kepala 2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang ke Poli Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Anutapura dengan keluhan gatal pada kepala yang dirasakan sejak dua bulan yang lalu. Gatal yang dirasakan hanya pada bagian tengah kepala (terutama pada pinggiran benjolan yang ada di kepalanya). Awalnya benjolan tersebut sangat kecil, tidak berisi cairan, berwarna kemerahan, dan sangat gatal. Lama kelamaan, benjolan tersebut semakin melebar dan mengelupas. Pasien

refka 3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ded

Citation preview

Page 1: refka 3

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

RSU ANUTAPURA PALU

I. IDENTITAS PASIEN

1. Nama pasien : An. A

2. Umur : 10 tahun

3. Jenis kelamin : Laki-laki

4. Agama : Islam

5. Pekerjaan : Pelajar

6. Tanggal pemeriksaan : 12 September 2015

II. ANAMNESIS

1. Keluhan utama :

Gatal pada kepala

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang ke Poli Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU

Anutapura dengan keluhan gatal pada kepala yang dirasakan sejak

dua bulan yang lalu. Gatal yang dirasakan hanya pada bagian

tengah kepala (terutama pada pinggiran benjolan yang ada di

kepalanya). Awalnya benjolan tersebut sangat kecil, tidak berisi

cairan, berwarna kemerahan, dan sangat gatal. Lama kelamaan,

benjolan tersebut semakin melebar dan mengelupas. Pasien

kemudian mengoleskan salep mikonazol dan dalam beberapa

minggu kemudian benjolan terbut semakin membengkak dan

terdapat bisul-bisul kecil yang berkelompok serta sangat nyeri

terutama saat pasien menunduk.

Sebelum pasien mengalami hal tersebut, pasien sempat

berkunjung ke pantai barat, dan disana banyak keluarganya yang

menderita seperti ini. Ibunya berkata bahwa mereka menggunakan

peralatan mandi serta sisir bersama.

Page 2: refka 3

3. Riwayat penyakit terdahulu :

Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat dan makanan

Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

4. Riwayat penyakit keluarga :

Saudara sepupu pasien mengalami gejala seperti ini

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status generalis :

Kondisi umum : Sakit sedang

Status gizi : Baik

Kesadaran : Komposmentis

2. Tanda vital :

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36°C

3. Hygiene : kurang baik

4. Status dermatologis/venerologis :

Kepala : pada area parietal tampak kerion yaitu plak

eritem dengan pustul-pustul yang

berkelompok, patahan-patahan rambut

dengan serta alopesia. Selain itu juga terdapat

krusta yang tebal.

Wajah : tidak ada ujud kelainan kulit

Leher : tidak ada ujud kelainan kulit

Dada : tidak ada ujud kelainan kulit

Perut : tidak ada ujud kelainan kulit

Page 3: refka 3

Punggung : tidak ada ujud kelainan kulit

Bokong : tidak ada ujud kelainan kulit

Ekstremitas atas : tidak ada ujud kelainan kuli

Ekstremitas bawah : tidak ada ujud kelainan kulit

Kel. limfe : tidak ada pembesaran kelenjar limfe

IV. GAMBAR

Gambar 1. Tampak plak eritem dan

mengalami inflamasi (Kerion)

Gambar 2. Terdapat pustul-pustul

yang berkelompok, patahan rambut,

alopesia serta krusta yang tebal.

V. RESUME

Pasien anak laki-laki usia 10 tahun datang ke Poli Kesehatan Kulit

dan Kelamin RSU Anutapura bersama bapaknya. Pasien mengeluh gatal

pada kepala yang dirasakan sejak dua bulan yang lalu. Gatal terutama pada

lesi. Awalnya terdapat papul eritema, dan sangat gatal. Lama kelamaan,

papul tersebut semakin melebar dan mengelupas. Pasien kemudian

mengoleskan salep mikonazol dan dalam beberapa minggu kemudian

papul tersebut semakin membengkak dan terdapat pustul-pustul yang

Page 4: refka 3

berkelompok serta sangat nyeri terutama saat pasien menunduk. Dalam

krluarganya banyak yang menderita seperti ini. Status dermatologis : pada

area parietal tampak plak eritem dengan pustul-pustul yang berkelompok,

terdapat patahan rambut serta alopesia. Selain itu juga terdapat krusta

yang tebal.

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Tinea kapitis tipe inflamasi

2. Dermatitis seboroik

3. Alopesia areata

4. Carbunkel

VII. ANJURAN PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan lampu Wood

2. Pemeriksaan sediaan KOH

3. Kultur

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Tinea kapitis tipe inflamasi

IX. PENATALAKSANAAN

1. Non medikamentosa

Tidak menggunakan bersama sisir, sikat rambut atau topi, handuk,

sarung bantal, dan yang lain yang dipakai di kepala.

Mencuci berulang kali sisir rambut, sikat rambut, handuk, boneka,

dan pakaian pasien, dan sarung bantal pasien dengan air panas dan

sabun atau lebih baik dibuang

Begitu pengobatan dimulai, pasien dapat pergi ke sekolah, tidak

perlu mencukur gundul rambutnya atau memakai penutup kepala.

Page 5: refka 3

Pasien diberitahu bila rambut tumbuh kembali secara pelan, biasanya

3-6 bulan, bila ada kerion dapat terjadi beberapa sikatrik dan

alopesia permanen.

Kompres NaCl 0,9%

2. Medikamentosa

Topikal :

Sampo ketokonazole 1%

Sistemik :

Cetirizin 1 x 1 hari

Griseofulvin 3 x 125 mg selama 6-12 minggu

X. PROGNOSIS

1. Qua ed vitam : bonam

2. Qua ed fungsionam : bonam

3. Qua ed sanationam : dubia

4. Qua ad cosmeticam : dubia

Page 6: refka 3

PEMBAHASAN

Pasien datang ke Poli Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Anutapura

dengan keluhan gatal pada kepala yang dirasakan sejak dua bulan yang lalu. Gatal

yang dirasakan hanya pada bagian tengah kepala (terutama pada pinggiran

benjolan yang ada di kepalanya). Awalnya benjolan tersebut sangat kecil, tidak

berisi cairan, berwarna kemerahan, dan sangat gatal. Lama kelamaan, benjolan

tersebut semakin melebar dan mengelupas. Pasien kemudian mengoleskan salep

mikonazol dan dalam beberapa minggu kemudian benjolan terbut semakin

membengkak dan terdapat bisul-bisul kecil yang berkelompok serta sangat nyeri

terutama saat pasien menunduk.

Sebelum pasien mengalami hal tersebut, pasien sempat berkunjung ke

pantai barat, dan disana banyak keluarganya yang menderita seperti ini. Ibunya

berkata bahwa mereka menggunakan peralatan mandi serta sisir bersama.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kondisi umum pasien baik. Dari

status dematologis didapatkan pada area parietal tampak plak eritem dengan

pustul-pustul yang berkelompok, terdapat patahan rambut serta alopesia. Selain

itu juga terdapat krusta yang tebal.

Tinea kapitis (Ringworm of the scalp and hair, tinea tonsurans, herpes

tonsurans) merupakan infeksi dermatofit pada kepala dan yang terkait dengan

rambut. Penyakit ini kebanyakan disebabkan oleh spesies Trichophyton dan

Microsporum. Penyakit ini bervariasi dari kolonisasi subklinis non inflamasi

berskuama ringan sampai penyakit yang beradang di tandai dengan massa

inflamasi, lesi kemerahan, berskuama, dengan patahan rambut, folikel yang terisi

dengan pus, mungkin terdapat formasi sinus, alopesia, dan gambaran yang paling

jarang yaitu mycotoma-like grains yang mungkin menjadi meradang berat dengan

pembentukan erupsi kerion ulseratif dalam. Tipe timbulnya penyakit tergantung

pada interaksi pejamu dan jamur penyebabnya.1,2,3,8

Page 7: refka 3

Insiden tinea kapitis masih belum diketahui pasti, tersering dijumpai pada

anak-anak 3-14 tahu, jarang pada dewasa. Transmisi dari tinea kapitis terjadi

dalam satu keluarga besar, berkelompok, dan dengan status sosial ekonomi

rendah. Cara penularannya dapat berupa kontak dengan orang yang terinfeksi,

patahan rambut yang terinfeksi, hewan, baju, tempat tidur, sisir, topi, dan barang-

barang lainnya dari penderita.3,4,5, 11, 12,15

Hal tersebut sesuai dengan yang dialami oleh pasien yaitu, pasien berumur

10 tahun. Dikeluarganya banyak yang mengalami hal seperti ini, dan

dikeluarganya sering menggunakan peralatan mandi dan sisir bersama. Ujud

kelainan kulit yang dimiliki pasien juga sesuai dengan ciri dari tinea kapitis tipe

inflamasi yaitu peradangannya mulai dari folikulitis pustula sampai kerion yaitu

pembengkakan yang dipenuhi dengan rambut-rambut yang patah-patah dan

lubang-lubang folikular yang mengandung pus. Inflamasi seperti ini sering

menimbulkan alopesia yang sikatrik. Lesi peradangan biasanya gatal dan dapat

nyeri, limfadenopati servikal, panas, dan lesi tambahan pada kulit yang halus.

Kebanyakan pasien memiliki hasil tes positif dari antigen jamur. 3,6,7,8,9

Infeksi dermatofita melibatkan 3 tahap utama, yaitu: 1

1. Perlekatan pada keratinosit

Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa

melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar ultraviolet, suhu,

kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan sphingosin yang

diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat fungistatik.

2. Penetrasi melewati dan diantara sel

Setelah terjadi perlekatan, spora berkembang dan menembus

stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses

desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekesi proteinase, lipase, dan

enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamu. Trauma

dan maserasi juga membantu memfasilitasi penetrasi jamur kejaringan.

Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam

dari epidermis.

Page 8: refka 3

3. Pembentukan respon pejamu

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan

organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed

Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam

melawan dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi

dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal

dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema

dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.

Antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan

dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan

proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk menyerang

jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier epidermal

menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera

jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, pemeriksaan

penunjang yang disarankan ialah lampu wood dan kultur. Adapun yang dapat

ditemukan pada pemeriksaan lampu wood adalah rambut yang tampak dengan

jamur M. canis, M. audouinii dan M. ferrugineum memberikan fluoresen warna

hijau terang oleh karena adanya bahan pteridin. Jamur lain penyebab tinea kapitis

pada manusia memberikan fluoresen negatif artinya warna tetap ungu yaitu M.

gypsium dan spesies Trichophyton (kecuali T. schoenleinii penyebab tinea favosa

memberi fluoresen hijau gelap). Bahan fluoresen diproduksi oleh jamur yang

tumbuh aktif di rambut yang terinfeksi. 3,9,10,15

Page 9: refka 3

Pemeriksaa sediaan KOH dilakukan dengan cara kepala dikerok dengan

objek glas, atau skalpel no.15. Juga kasa basah digunakan untuk mengusap

kepala, akan ada potongan pendek patahan rambut atau pangkal rambut dicabut

yang ditaruh di objek glas selain skuama, KOH 20% ditambahkan dan ditutup

kaca penutup. Hanya potongan rambut pada kepala harus termasuk akar rambut,

folikel rambut dan skuama kulit. Skuama kulit akan terisi hifa dan artrokonidia.

Yang menunjukkan elemen jamur adalah artrokonidia oleh karena rambut-rambut

yang lebih panjang mungkin tidak terinfeksi jamur. Pada pemeriksaaan mikroskop

akan tampak infeksi rambut ektotrik yaitu pecahan miselium menjadi konidia

sekitar batang rambut atau tepat dibawah kutikula rambut dengan kerusakan

kutikula. Pada infeksi endotrik, bentukan artrokonidia yang terbentuk karena

pecahan miselium didalam batang rambut tanpa kerusakan kutikula rambut.3,9,10,13

Pada kultur dilakukan dengan memakai swab kapas steril yang dibasahi

akua steril dan digosokkan diatas kepala yang berskuama atau dengan sikat gigi

steril dipakai untuk menggosok rambut-rambut dan skuama dari daerah luar di

kepala, atau pangkal rambut yang dicabut langsung ke media kultur. Spesimen

yang didapat dioleskan di media Mycosel atau Mycobiotic (Sabourraud dextrose

agar + khloramfenikol + sikloheksimid) atau Dermatophyte test medium (DTM).

Perlu 7 - 10 hari untuk mulai tumbuh jamurnya. Dengan DTM ada perubahan

warna merah pada hari 2-3 oleh karena ada bahan fenol di medianya, walau belum

tumbuh jamurnya berarti jamur dematofit positif.3,12,14

Page 10: refka 3

Prinsip managemen untuk tinea kapitis yaitu terdiri dari pengobaan

sistemik, pengobatan topikal dan tindakan preventif. Tujuan pengobatan adalah

untuk mencapai klinis dan kesembuhan secepat mungkin serta mencegah

penyebaran.1

Pengobatan topikal antijamur tidak dianjurkan untuk terapi tunggal dalam

pengobatan tinea kapitis. Namun hal ini mungkin dapat mengurangi penularan

kepada orang lain dengan menurunkan pertumbuhan spora jamur. Selenium

sulfida, shampo ketokonazol dan shampo povidone iodine digunakan seminggu 2-

4 kali seminggu, untuk mengurangi spora jamur dan infeksivitas. Pada saat

menggunakan shampo sebaiknya didiamkan selama 5 menit sebelum dibilas.

Penggunaan obat-obat topikal konvensional yang digunakan misalnya asam

salisilat 2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat

2-5% dan zat warna (hijau brilian 1% dalam cat Castellani) dikenal banyak ibat

topikal baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftat 2%, tolsiklat, haloprogin,

derivat-derivat imidazol, siklopiroksolamin dan naftifine masing-masing 1%.1,3,6,7

Griseofulvin merupakan turunan dari spesies penicillium mold.

Griseofulvin sebagai fungistatik dengan efek inhibitor RNA jamu, DNA,

menghambat sintesis asam nukleat, microtubular assembly, dan merusak sintesis

dinding sel. Dosis rekomendasi untuk tinea kapitis adalah 20mg/kg/hari untuk

micronized form dan 15mg/kg/hari untuk ultramicronized form atau 0,5-1 g untuk

orang dewasa dan 0,25-0,5 g untuk anak-anak. Lama pengobatan umumnya 6-12

minggu. Terapi tergantung pada organisme ( misalnya infeksi T. tonsurans

mungkin memerlukan pengobatan jangka panjang ) tetapi bervariasi antara 8 dan

10 minggu . Efek samping termasuk mual dan ruam pada 8 ± 15 % . 16,4

Obat ini kontra indikasi pada kehamilan. Griseofulvin tidak larut dalam air

dan absorbsinya buruk dari saluran pencernaan. Sehingga untuk mempertinggi

absorpsi obat dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersama-sama makanan yang

banyak mengandung lemak seperti susu, kacang, mentega. Efek samping

griseofulvin jarang dijumpai, namun keluhan utama ialah sefalgia pada 15%

Page 11: refka 3

penderita. Efek sampig lainnya dapat berupa gangguan traktus digestinus ialah

nausea, vomitus, dan diare. Griseovulvin juga bersifat fotosensitif dan dapat

mengganggu fungsi hepar.1,16

Page 12: refka 3

Daftar Pustaka

1. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine, 7th Ed. McGraw-Hill: New

York; 2008.

2. William. D, Timothy. G, Dirk. M. Andrew’s, Diseases of The Skin Clinical

Dermatology, 10th Ed. Saunders Elsevier Inc. Canada; 2006.

3. Suyoso, S. Tinea kapitis pada bayi dan anak. SMF Kesehatan Kulit dan

Kelamin FK Unair. Surabaya: 2008

4. Habif,P, Thomas, Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and

Therapy 4th edition. London: 2003

5. Ayanlowo. O, Akinkugbe. R, Oladele. R, Balogun. M. Prevalenve of Tinea

Capitis Infection among Primary School Children in a Rural Setting in South

West Nigeria. Journal of Public Health in Africa. Nigeria: 2014

6. Higgins. E. M, Fuller. L.C, Smith.C. H. Guidelines for the Management of

Tinea Capitis. British Journal of Dermatology. London: 2000

7. Bennazar. A, Grimalt. R. Management of Tinnea Capitis in Childhood.

Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatologi. Spanyol: 2010

8. Rook’s, Textbook of Dermatology 7th Ed. Blackwell Publishing Inc.volume 3,

33. USA: 2004.

9. Jordaan. HF, The Diagnosis and Management of Tinea Capitis. SA

Pharmaceutical Journal. Afrika: 2006

10. Aztori. L, Aste. N, Pau. M. Tinea Capitis in Adult. Journal of Symptom and

Sign. Italy: 2014

11. Sidat. M, Correia. D, Buene. PT. Tinea Capitis Among Children at one

Suburhan Primary School in the City of Maputo Mozambique. Revista da

Sociedade Vrasilieira de Medicina Tropical. Mosambique: 2007

12. Calka. O, Gunes. S. Restrospective Evaluation of 104 Tinea Capitis cases.

Turkish Journal of Medical Sciences. Turki: 2013

13. Cervetti, Ornella. Tinea Capitis in Adults. Advances in Microbiology. Italy:

2014

Page 13: refka 3

14. Michaels. D. B, Rosso. J, Tinea Capitis in Infant. Case Report and Literature

Review. Nevada: 2012

15. Bose. S, Kulkarni. S. The Incidence of Tinea Capitis in a Tertiary Care Rular

Hospital- A Study. Microbiology Section. Italy: 2011

16. Tan Hon Jay, Rahardja. Obat-Obat Penting. IKAPI. Jakarta: 2005

Page 14: refka 3

REFLEKSI KASUS

TINEA KAPITIS

Oleh :

Nama : Syarah Dwi Saraswati

Stambuk : N 111 14 057

Pembimbing : Dr. Nur Rahma, M.Kes., Sp.KK

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2015