20
Pemfigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada epidermis. 1,2 Kata pemfigus diambil dari bahasa Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit desmosomal cadherin Dsg3 atau Dsg3/Dsg1. 3,4,5 Frekuensi pemfigus vulgaris pada kedua jenis kelamin adalah sebanding. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan dekade ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak. Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar merata pada seluruh dunia dan dapat menyerang semua bangsa dan ras. Kejadian pemfigus vulgaris juga dapat disebabkan oleh hubungan antara faktor genetik dengan faktor luar seperti obat-obatan, makanan/diet, UV, virus, dan lain sebagainya. 1,3 Penting untuk terlebih dahulu memahami fungsi desmosom untuk dapat selanjutnya memahami patofisiologi pemfigus vulgaris. Desmosom (atau maculae adherens) merupakan organel yang bertanggung jawab terhadap perlekatan antarsel pada keratinosit. Bagian ekstraselulernya, yaitu desmoglea, tersusun dari glikoprotein

Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PV

Citation preview

Page 1: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Pemfigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang

bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya

bula pada epidermis.1,2 Kata pemfigus diambil dari bahasa Yunani pemphix

yang artinya gelembung atau lepuh. Istilah pemfigus berarti kelompok

penyakit bula autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan

karakteristik secara histologis berupa adanya bula intraepidermal

disebabkan oleh akantolisis (terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan

secara imunopatologis adanya IgG in vivo maupun sirkulasi yang secara

langsung melawan permukaan sel-sel keratinosit desmosomal cadherin Dsg3

atau Dsg3/Dsg1.3,4,5

Frekuensi pemfigus vulgaris pada kedua jenis kelamin adalah

sebanding. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan

dekade ke-5), tetapi dapat juga mengenai semua umur, termasuk anak.

Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua

kasus). Penyakit ini tersebar merata pada seluruh dunia dan dapat

menyerang semua bangsa dan ras. Kejadian pemfigus vulgaris juga dapat

disebabkan oleh hubungan antara faktor genetik dengan faktor luar seperti

obat-obatan, makanan/diet, UV, virus, dan lain sebagainya.1,3

Penting untuk terlebih dahulu memahami fungsi desmosom untuk

dapat selanjutnya memahami patofisiologi pemfigus vulgaris. Desmosom

(atau maculae adherens) merupakan organel yang bertanggung jawab

terhadap perlekatan antarsel pada keratinosit. Bagian ekstraselulernya, yaitu

desmoglea, tersusun dari glikoprotein perlekatan transmembran yang

merupakan bagian dari cadherin, meliputi desmoglein dan desmocollin.

Bagian intraseluler, plak desmosomal, memiliki dua kelompok protein.

Kelompok pertama adalah kelompok plakin (desmoplakin, envoplakin,

periplakin, plectin), yang berikatan pada filamen sitokeratin. Kelompok

kedua adalah plakoglobin dan plakofilin, yang berikatan pada area

intraseluler cadherin. Antibodi pemfigus berikatan dengan antigen pada

desmosom dan menyebabkan akantolisis. 6,7

Page 2: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Gambar berikut ini menunjukkan ilustrasi komponen molekuler pada

keratinosit yang terdiri dari desmosom, desmoplakin, Dsg1, Dsg3, N. amino

terminal, plakoglobin, plakophilin.

Gambar 1. Ilustrasi komponen molekuler pada keratinosit 7

Bukti imunologis dan cloning molekuler menunjukkan bahwa antigen

pemfigus adalah desmoglein, yang merupakan glikoprotein transmembran

pada desmosom (berperan dalam struktur perlekatan antarsel). Mikroskop

imonoelektron menunjukkan adanya antiden di permukaan keratinosit pada

desmosomal junction. Pasien pemfigus yang secara predominan terserang

pada membran mukosa cenderung hanya memiliki autoantibodi Desmoglein

3, sedangkan pasien dengan lesi mukokutaneus memiliki antibodi anti-Dsg3

dan anti-Dsg1.1,7 Antibodi terbanyak pada penyakit pemfigus vulgaris bersifat

melawan Dsg3. Antibodi pemfigus berikatan dengan domain ekstraseluler

pada region amino terminal Desmoglein 3 (Dsg3) yang secara langsung

mempengaruhi cadherin desmosomal. Desmoglein 3 ditemukan pada

desmosom dan semua membran sel keratinosit, terutama bagian bawah

epidermis dan paling kuat diekspresikan pada mukosa bukal serta kulit

Page 3: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

kepala. Sebaliknya, pola ekspresi antigen desmoglein 1 (Dsg1) yang banyak

dijumpai pada pemfigus foliaseus banyak ditemukan di epidermis, terutama

lapisan atas dan terekspresi dengan sangat lemah pada mukosa.7

Adanya antibodi terhadap Dsg1 dan Dsg3 berhubungan dengan

manifestasi klinis berupa lesi mukokutaneus, jika autoantibodi hanya

melawan Dsg3, lesi dominan terdapat pada mukosa. Autoimunitas humoral

maupun seluler penting dalam patogenesis lesi kulit. Antibodi dapat

mengakibatkan akantolisis, walaupun tanpa keterlibatan komplemen dan

sel-sel radang. IgG1 dan IgG4 autoantibodi terhadap Dsg3 ditemukan pada

pasien PV, tetapi beberapa data penelitian menunjukkan bahwa IgG4 lah

yang bersifat paling patogenik. Plasminogen activator berhubungan dengan

terjadinya akantolisis yang dimediasi antibodi. Sel T yang terlbat adalah sel

CD4 α./β yang mensekresikan Th2-like-cytokine profiles. Sel Th1 juga terlibat

dalam produksi antibodi pada penyakit kronis. IgG ditemukan baik pada kulit

normal maupun sakit. 3,7

Gambar 2. Skema Pathogenesis Akantholisis3

Page 4: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Representasi sistematik dari sinyal intraseluler (panah hitam), dan

hasil fenomena patobiologik (panah merah) yang dipicu oleh IgG dalam

keratinosit. Sinyal dari luar (seperti PVIgG dan non-IgG factor)

menyebabkan : Dsg3 endositosis dan berdegradasi, proteolisis ekstasellular,

dan phosphorilasi protein oleh kinase. Yang pada berikutnya sebabkan

perubahan ekspresi gen (seperti reduksi di dalam adhesi molekul sel),

aktivasi dan jalur pro-apoptotis yang diperantarai oleh caspases (termasuk

pembelahan dari adhesi sel molekul), perubahan metabolic, dan kolapsnya

sitoskeleton. Hasil akhirnya adalah megakibatkan hilangnya perlekatan

antarsel.3

Autoantibodi pemfigus merupakan faktor patogenis pada pemfigus

vulgaris. Adanya kejadian pemfigus vulgaris neonatal menunjukkan bahwa

IgG maternal dapat melewati plasenta dan menyebabkan timbulnya penyakit

ini, walaupun sangat jarang terjadi. Secara esensial, neonatal PV diakibatkan

oleh transfer pasif IgG pada fetus. Pada eksperimen, terlihat bahwa IgG

mengakibatkan akantolisis pada lapisan suprabasilar dan granular epidermis.

Akantolisis yang diinduksi antibodi dalam sistem ini tidak dipengaruhi oleh

komplemen. Autoantibodi patologis pada pemfigus adalah antibodi yang

secara langsung melawan desmoglein 1 dan 3. IgG yang terdapat pada

ekstraseluler menyebabkan akantolisis suprabasilar, yang merupakan

penemuan histologis tipikal pada lesi pemfigus vulgaris. Hal ini didukung

oleh bukti dari hasil penelitian lebih lanjut yang menunjukkan bahwa

autoantibodi dapat secara langsung menyebabkan hilangnya ikatan

keratinosit.3,7

Antibodi antidesmoglein 3 menyebabkan interferensi langsung pada

fungsi desmoglein dalam desmosom, berakibat pada terpecahnya

desmosom, tanpa retraksi keratinosit pada area akantolisis. Inaktivasi

desmoglein akibat antibodi antidesmoglein mengakibatkan timbulnya bula.7

Terbentuknya bula pada pemfigus vulgaris disebabkan oleh ikatan

autoantibodi IgG di permukaan molekul keratinosit. Antibodi pemfigus

Page 5: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

vulgaris ini akan berikatan dengan desmosom keratinosit dan area bebas

desmosom pada membran keratinosit.3,7

Klasifikasi penyakit imonobulosa intraepidermal secara imunopatologis

dan imunogenetik dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. Klasifikasi Pemfigus2

Tabel 2. Klasifikasi Pemfigus Berdasarkan Target Antigen9

Page 6: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Gambar 3. Perbedaan Pathogenesis Pemfigus Vulgaris dengan Pemfigus Follaceous3

Letak perbedaan patogenenesis antara tiap tipe pemfigus ataupun

diagnosis banding dari pemfigus vulgaris adalah pada letak antigen yang

ditargetkan oleh antibody di kulit ataupun di mukosa. Hal tersebut akan

memberikan gambaran gejala klinis yang berbeda.

Penyakit Pemfigus

vulgaris

Pemfigu

s

follaseus

Pemphig

oid

Bullosa

Dermatitis

herpetiformi

s

Lesi kulit Bula lembek pada kulit yang normal, dapat terjadi erosi

Erosi berkulit/ berkrusta, terkadang vesikel lembek

Bula tegang pada kulit normal dan eritema, plak urtikaria dan

Papul berkelompok, vesikel, plak urtikaria, berkulit/ berkrusta

Page 7: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

berpapul-papul

Membrane mukosa

Hampir selalu ada, menimbulkan erosi

Jarang terkena

Pada mulut (10-35%)

Tidak pernah

Distribusi Bisa dimana saja, terlokalisir atau general

Ekspose area, regio seborrheic, atau general

Dimana saja, terlokalisir, atau general

Daerah predileksi : siku, lutut, pantat, sacral, area scapula

Histopatologi Suprabasal akantolisis

Akantolisis dalam lapisan granular

Gelembung subepidermal

Papilar mikroabses, vesikel subepidermal

Immunopatologi/Kulit

IgG interseluler IgG intraseluler

IgG dan C2 pada BMZ

IgA granular pada ujung papil

Serum IgG AB di intraselular epidermisElisa : Ab untuk Desmoglein 3 >> Desmoglein 1

IgG AB di intraselular epidermisElisa : Ab untuk Desmoglein 1

IgG AB di BMZ; langsung BPAG1e dan BPAG2

Antiendomisial antibody

Tabel 3. Tabel Perbandingan Diferensial Diagnosis 2,8

Pemfigus vulgaris ditandai dengan timbulnya bula lembek, berdinding

tipis, mudah pecah, timbul pada kulit tidak nyeri, panas, maupun gatal dan

mukosa kadang terasa nyeri yang tampaknya normal atau eritematosa. Isi

bula mula-mula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau seropurulen.

Bula yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah berdarah, dan

sukar menyembuh. Bila sembuh meninggalkan bekas hiperpigmentasi.

Dalam beberapa minggu atau bulan lesi dapat meluas, dimana didapatkan

Page 8: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

erosi lebih banyka daripada bula. Pada 60% penderita, lesi mulai muncul

pada mukosa mulut kemudian tempat-tempat lain seperti kepala, muka,

leher, ketiak, lipat paha atau daerah kemaluan. Bila lesi luas sering disertai

infeksi sekunder yang menyebabkan bau tidak enak.1,2

Gambar 4. Bula mudah pecah pada kulit yang tampak normal2

Gambar 5. Erosi pada Membran mukosa (bibir dan dinding esophagus)2

Page 9: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Gambar 6. Erosi Mudah Berdarah dan Sukar Menyembuh2

Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :

1. Tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan : Tanda nikolsky positif

disebabkan oleh adanya akantolisis. 1) Dengan cara melakukan

penekanan dan menggeser kulit diantara dua bula dan kulit tersebut akan

terkelupas. 2) Menekan bula, maka bula akan meluas karena cairan

didalamnya mengalami tekanan.1

2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa, tampak

sel akantolitik atau sel tzanck3

3. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh.

Dicari adanya bula intraepidemal.6

4. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik1 :

Leukositosis

Eosinofilia

Serum protein rendah

Gangguan elektrolit

Anemia

Peningkatan laju endap darah

Page 10: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

5. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Penemuan imunofloresensi

utama pada pemfigus adalah adanya autoantibodi IgG yang melawan permukaan keratinosit.

Autoantibodi ini pertama ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan

kemudian dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien, Diagnosis pemfigus belum dapat

ditegakkan jika hasil imonofloresensi direk negatif. Berdasarkan imunofloresensi indirek,

80% pasien pemfigus IgG permukaan antiepitelial di sirkulasi. Pasien dengan lokaslisasi dini

dan pasien remisi kemungkinan besar akan menunjukkan hasil negtif pada tes imonoflorsensi

indirek Autoantibodi ditemukan pada serum pasien dengan imonofloresensi

indirek dan kemudian dengan imunofloresensi direk pada kulit pasien. 5,8

Gambar 7. Imunofloresensi9

Gambar 8. Pemfigus Foliaseus2

Page 11: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Gambar 9. Pemfigoid bulosa2

Gambar 10. Dermatitis Herpetiformis2

Tambahan obat-obatan imunosupresif seperti Azathioprine atau

Cyclophosphamid digunakan apabila pasien tidak dapat menoleransi

kortikosteroid dosis minimum untuk menjaga kondisi remisi. Efek

imunosupresif muncul perlahan-lahan dan biasanya tidak terdeteksi sampai

4-6 minggu setelah dosis awal. Kortikosteroid harus sudah dihentikan

sebelum penghentian terapi imunosupresif.6,9

1. Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan

perawatan yang tepat.

Penatalaksanaan pemfigus vulgaris terutama pada fase akut, harus di

bawah pengawasan yang ketat untuk menjaga keseimbangan cairan dan

elektrolit. Terapi antimikroba sistemik diperlukan untuk pasien dengan

infeksi sekunder. Untuk terapi topikal, dilakukan kompres dengan

Page 12: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

Aluminium Diasetat 5%, perak nitrat 0.005%, atau solusio kalium

permanganate 0,01% pada area yang terkena setiap 4 jam. Hal ini

diperlukan untuk melepaskan debris kulit dari area bula dan mengurangi

risiko infeksi sekunder.6, 9

2. Sistemik :

Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder, dengan sebelumnya dilakukan1,2:

pemeriksaan gram

kultur dan tes sensitivitas

Antibiotik spektrum luas 7-10 hari

Pada kasus diberikan antibiotik eritromisin dengan dosis 4 x dalam

sehari, selama 10 hari. Eritromisin termasuk golongan makrolida, bekerja

dengan menghambat sintesis protein bakteri, bersifat bakteriostatik atau

bakterisid, tergantung dari jenis bakteri dan kadarnya dalam darah.

Eritromisin efektif terhadap kuman gram-positif seperti S. aureus (baik yang

menghasilkan penisillinase maupun tidak), Streptococcus group A,

Enterococcus, C. diphtheriae dan Pneumococcus. Juga efektif terhadap

kuman gram-negatif seperti Neisseria, H. influenzae, B. pertusis, Brucella

juga terhadap Riketsia, Treponema dan M. pneumoniae. Resistensi silang

dapat terjadi antar berbagai antibiotika golongan makrolida.1

Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris,

diberikan Dexamethasone atau sejenisnya. Dosis : bila keras dapat diberikan

3-4 mg Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak timbul bula

baru, dosis dapat diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan Azathioprine

untuk mencegah relaps, sampai dengan dosis terandah yang tidak

menimbulkan bula baru. Pada kasus diberikan Metil prednisolon dosis tinggi

dalam sediaan injeksi, untuk meningkatkan onset of action. Kortikosteroid

dosis tinggi diperlukan untuk mengontrol kondisi pasien. Dosis harus

diturunkan perlahan-lahan ketika sudah terjadi stabilisasi hingga mencapai

Page 13: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

dosis terendah untuk memelihara remisi. Prednisolon atau prednisone oral

dapat digunakan sebagai pilihan terapi.

Tapering Off kortikosteroid dilakukan setiap 2 minggu, yakni dengan

pengurangan dosis kortikosteroid (contoh Prednisolone) 5-10 mg per

minggunya.9

Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat diberikan

Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1 tablet.9

Rituximab : merupakan pengobatan terbaru dari pemfigus vulgaris, berupa

monoclonal chimeric anti-CD20 antibodi yang menargetkan pre-B sel dan

mature B sel, hasilnya akan tampak dalam eraksi komplemen dan antibody-

bergantung sitotoksik, antibody-bergantung sell yang meediasi sitotoksity,

dan apoptosis. Obat ini dapat mengurangi sirkulasi B sell dan cegah maturasi

dalam antibody yang memproduksi sell plasma. 3,10

Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi,

tetapi mayoritas pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid.

Terapi kortikosteroid sendiri telah dapat mengurangi angka mortalitas

sebesar 5-15%. Pemfigus vulgaris yang yang tidak mendapatkan terapi

adekuat akan berakibat fatal karena penderita rentan terhadap infeksi serta

gangguan yang muncul akibat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Sebagian besar kasus kematian terjadi pada tahun-tahun awal munculnya

gejala, dan jika pasien dapat bertahan lebih dari 5 tahun, prognosisny akan

lebih baik. Pemfigus vulgaris pada stadium awal akan lebih mudah dikontrol

daripada yang sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas akan meningkat

apabila terjadi keterlamabatan terapi.3

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis

kortikosteroid maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan

adanya penyakit penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada

pasien berusia lanjut dan yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih

Page 14: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

baik jika terjadi pada anak-anak. Pada sebagian kecil kasus pemfigus

vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi pemfigus foliaseus.6

Infeksi sekunder, baik yang bersifat sistemik maupun terlokalisasi

pada kulit dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya

erosi multipel. Infeksi kutaneus dapat memperlambat penyembuhan luka

dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut. Terapi imunosupresan

jangka panjang dapat berakibat pada infeksi dan keganasan sekunder

( seperti Kaposi Sarkoma), karena adanya gangguan imunitas. Retardasi

pertumbuhan dilaporkan terjadi pad anak-anak yang mendapatkan terapi

kortikosteroid dan imunosupresan sistemik. Supresi sumsum tulang

dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan.

Peningkatan insidensi leukemia dan limfoma juga dilaporkan terjadi pada

imunosupresan jangka panjang. Gangguan respon imun yang disebabkan

oleh kortikosterod dan agen imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan

penyebaran infeksi secara luas. Kortikosteroid menekan tanda-tanda infeksi

sehingga berakibat terjadinya septicemia. Osteoporosis dan insufisiensi

adrenal dilaporkan terjadi setelah penggunaan kortikosteroid jangka panjang 6

Page 15: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

DAFTAR PUSTAKA

1. Wiryadi, Benny E. Dermatosis vesikobulosa kronik. In: Djuanda A, Hamzah

M, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2010. p 204-14

2. Tuderman Leena B, dan Stanley John R. Disorder of Epidermal and Dermal-Epidermal

Cohesion and Vesicular and Bullous Disorders. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.

Seventh ed, Section 8. United States of America Mc Grow Hill 2008. p 447-69.

3. Cirillo N, Cozzani E, Carrozzo M, Grando SA. Urban legends: Pemfigus

vulgaris. Oral Desease, 2012. 18, p 442–458. Diunduh dari

http://www.researchgate.net/profile/Marco_Carrozzo/publication/2218336

42_Urban_legends_pemfigus_vulgaris/file/79e4150a231e6a1de9.pdf

4. Chmurova N, Svecova D. Pemfigus vulgaris : 11 years review. Bratisl Lek

Listy 2009. 110 (8) p 500-3. Diunduh dari http://www.bmj.sk/2009/11008-

12.pdf

5. Muller, Nicolas Hunzelmann, Vera Baur, Guido Siebenhaar, Elke Wenzel,

Rudiger Eming, dkk. Targeted Immunotherapy with Rituximab Leads to a

Transient Alteration of the IgG Autoantibody Profile in Pemfigus Vulgaris.

Dermatology Research and Practice Volume 2010. p1-10. Diunduh dari

http://downloads.hindawi.com/journals/drp/2010/321950.pdf

6. Chan, PT. Review on Pathogenesis of Pemfigus. Dermatology of Health

2002. p 62-6. Diunduh dari http://medcomhk.com/hkdvb/pdf/200206-

04.pdf

7. John, R. Stanley dan Masayuki, Amagai. Pemfigus, Bullous Impetigo, and

the Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome. NEJM med 2008. 355, 1800-

10. Diunduh dari

https://www.med.upenn.edu/cstr/documents/NEJMreviewonpemfigus.pdf

Page 16: Referat Penatalaksanaan Pemfigus Vulgaris

8. Suran L. Fernando, Jamma Li, dan Mark Schifte. Pemfigus Vulgaris and

Pemfigus Foliaceus. Chapter 5, NTCH 2013. 105, p1-44. Diunduh dari

http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/45418.pdf

9. Harman KE, Albert S, dan Black MM. Guidelines for the management of

pemfigus vulgaris. British Journal of Dermatology 2003. 149, p926–15

Diunduh dari http://www.huidziekten.nl/richtlijnen/BAD-guideline-

Pemfigus-Vulgaris-2003.pdf

10. Anne Tournadre, Stephanie Amarger, Pascal Joly, Michel d’Incan, Jean-

Michel Ristori, Martin Soubrier. Case report : Polymyositis and pemfigus

vulgaris in a patient: Successful treatment with rituximab. Joint Bone

Spine 2008. 75, p728-2. Diunduh dari

http://211.144.68.84:9998/91keshi/Public/File/14/75-6/pdf/1-s2.0-

S1297319X08000535-main.pdf