Upload
selviana-sudarman
View
144
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
PEMFIGUS VULGARIS
BAB I
PENDAHULUAN
Pemfigus Vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat
kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada
epidermis. Pemvigus vulgaris lebih sering terjadi pada orang orang Yahudi dan
orang orang orang dari keturunan Mediterania. Di Yerussalem kejadian
diperkirakan mencapai 16 juta, sedangkan di Perancis dan Jerman itu sekitar 1.3
per juta. Onsetnya adalah umur 40 sampai 60 tahun, juga terdapat pada anak anak
dan dewasa muda. Antara laki laki dan perempuan kejadiannya sama.(1)
Pemfigus vulgaris ditandai oleh adanya bulla berdinding tipis, relatif flaksid,
dan mudah pecah yang timbul pada kulit atau membran mukosa normal maupun
di atas dasar eritematous. Pemfigus Vulgaris biasanya timbul pertama kali di
mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada
awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam
beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama
beberapa bulan. (2)
Lesi kulit pada pemfigus vulgaris bisa pruritus atau nyeri. Paparan radiasi
ultraviolet dapat memperburuk aktivitas penyakit. Lesi primer dari pemfigus
vulgaris adalah blister lembek, yang dapat terjadi dimana saja pada permukaan
kulit, tetapi biasanya tidak pada telapak tangan dan kaki. Lesi mudah pecah dan
1
berair yang timbul pada kulit normal, secara acak tersebar, diskrit. Erosi yang luas
mudah berdarah terutama pada kulit kepala. (1,2,3)
Pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk mendiagnosis Pemfigus
Vulgaris adalah Tzanck test, biopsi kulit dan patologi anatomi, imunofluoresensi.
Studi laboratorium adalah sebagai berikut: Histopatologi: Menunjukkan sebuah
blister intradermal; perubahan awal terdiri dari edema interseluler dengan
kehilangan lampiran antar dalam lapisan basal Imunofluoresensi langsung (DIF):
Pada kulit normal-muncul perilesional menunjukkan deposito vivo antibodi dan
imunoreaktan lainnya, seperti pelengkap Imunofluoresensi tidak langsung (IDIF):
Jika hasil DIF positif; antibodi antar adalah dideteksi dengan menggunakan IDIF
pada 80-90% pasien dengan pemfigus vulgaris. Penatalaksanaan Pemfigus
Vulgaris ada dua macam yaitu medikamentosa dan non medikamentosa.(1,3)
2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Penegakan diagnosis pada kasus ini adalah dengan pemeriksaan
subjektif
PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan klinis Pemfigus Vulgaris dapat dilakukan
pemeriksaan bula untuk melihat adanya Nikolsky. Pemeriksaan klinis
dilakukan dengan teliti dan cermat untuk membedakan dengan
penyakit vesikobulosa lain seperti MMP.5,7,11. Pada MMP
90%,kasus memiliki manifestasi oral berupa deskuamasi gingiva. Hal
ini berbeda dengan Pemfigus Vulgaris yang manifestasi oralnya
terutama bula dan riwayat penyakit yang kronis sehingga
membutuhkan perawatan yang lebih intensif.(1,2)
PEMERIKSAAN PENUNJANG(1,3,6)
- Tzanck test
Bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa, tampak
sel akantolitik atau sel tzanck
- Biopsi Kulit dan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang
berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Pasien yang akan
dibiopsi sebaiknya pada pinggir lesi yang masih baru dan dekat
3
dari kulit yang normal. Gambaran histopatologi utama adalah
adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang
lain.
- Imunofluoresensi
Imunofluoresensi langsung
Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan
fluoresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct
immunofluorescence (DIF). DIF menunjukan deposit antibodi
dan imunoreaktan lainnya secara in vivo, misalnya
komplemen. DIF biasanya menunjukkan IgG yang menempel
pada permukaan keratinosit yang di dalam maupun sekitar
lesi.
Imunofluoresensi tidak langsung
Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum
pasien. Pemeriksaan ini ditegakkan jika pemeriksaan
imunofluoresensi langsung dinyatakan positif. Serum
penderita mengandung autoantibodi IgG yang menempel
pada epidermis dapat dideteksi dengan pemeriksaaan ini.
Sekitar 80-90% hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai
penderita Pemfigus Vulgaris
4
II. 2. DIAGNOSIS BANDING(1,3,4)
1. Pemfigus Bulosa
Gejala klinis pada Pemfigus Bulosa adalah terbentuknya bula
yang besar dengan tekanan meningkat pada kulit normal atau dengan
basal eritematous. Bula-bula ini sering timbul pada daerah abdomen
bagian bawah, bagian paha depan atau paha atas, dan fleksor lengan
atas, walaupun ia bisa timbul dimana-mana bagian tubuh. Bula yang
terbentuk biasanya terisi dengan cairan bening dan bisa juga terdapat
perdarahan. Kulit yang lepas apabila bula-bula itu pecah biasanya
mempunyai potensi reepitelisasi, tidak seperti Pemfigus Vulgaris,
erosi yang terjadi tidak menyebar ke perifer. Lesi pada Pemfigus
Bulosa tidak mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan jarang
sekali disertai oleh gatal.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk menentukan
Pemfigus Bulosa adalah biopsi yang memberikan gambaran bula
subepidermal tanpa nekrosis pada epidermal dengan infiltrat limfosit,
histiosit dan eosinofil pada permukaan dermal.
5
Gambar 1 : pemfigus bulosa
(dikutip dari kepustakaan nomor 1)
Gambar 2 : Pemfigus Bulosa
(dikutip dari kepustakaan nomor 1)
2. Dermatitis Herpetiformis
Gejala klinis primer pada Dermatitis Herpetiformis adalah
papul eritematous, plak yang menyerupai urtika atau yang paling biasa
ditemukan adalah vesikel. Bula yang besar sangat jarang muncul pada
penyakit ini. Akibat dari hilang timbulnya gejala klinis pada
6
Dermatitis Herpetiformis bisa menyebabkan terjadinya
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Gejala yang timbul pada pasien
bisa hanya krusta dan gejala klinis primer yang lain tidak ditemukan.
Gejala klinis ini biasanya timbul secara simetris pada siku, lutut, bahu
dan daerah sakral. Lokasi seperti kulit kepala, muka dan garis anak
rambut.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosa
Dermatitis Herpetiformis adalah pemeriksaan serum di mana
ditemukan antibodi IgA yang berikatan dengan substansi
intermiofibril pada otot polos. Terdapat juga pemeriksaan
imunogenetik.
Gambar 3 : Dermatitis Herpetiformis
(dikutip dari kepustakaan nomor 1)
3. Pemfigus Foliaseus
Umumnya terdapat pada orang dewasa, antara umur 40-50
tahun. Gejalanya tidak seberat pemfigus vulgaris. Pemfigus foliaseus
7
tidak menyerang pada daerah mukosa, berbeda dengan PV yang
mempunyai lesi di mukosa.Perjalanan penyakit kronik, remisi terjadi
temporer. Penyakit mulai dengan timbulnya vesikel/bula, skuama dan
krusta dan sedikit eksudatif, kemudian memecah dan meninggalkan
erosi. Mula-mula dapat mengenai kepala yang berambut, muka dan
dada bagian atas mirip dermatitis seboroika. Kemudian menjalar
simetrik dan mengenai seluruh tubuh setelah beberapa bulan. Yang
khas ialah terdapatnya eritema yang menyeluruh disertai banyak
skuama yang kasar, sedangkan bula yang berdinding kendur hanya
sedikit, agak berbau. Jarang terdapat lesi di mulut
Gambar 4 : Pemfigus Foliaseus
(dikutip dari kepustakaan nomor 2)
8
II. 3. PENATALAKSANAAN(4,5)
Medikamentosa
- Glukokortikoid
2-3 mg/KgBB prednison sampai penghentian pembentukan
lepuhan baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian pengurangan
dengan cepat untuk sekitar setengah dosis awal sampai pasien hampir
bersih, diikuti dengan tappering dosis dengan sangat lambat untuk
meminimalkan keefektifitasan dari dosis.
- Terapi imunosupresif yang bersamaan.
Agen imunosupresif diberikan bersamaan untuk mengurangi
efek glukokortikoid.
- Azathioprine
2-3 mg/KgBB sampai pembersihan lengkap. Tappering dosis
hingga 1mg/KgBB. Pemberian dengan hanya azathioprine dilanjutkan
bahkan setelah penghentian pengobatan glukokortikoid dan mungkin
harus dilanjutkan selama berbulan-bulan.
- Methotrexate
Baik secara oral (PO) atau IM dengan dosis 25–35 mg/minggu.
Dosis penyesuaian dibuat seperti azathioprine.
- Cyclophosphamide
100-200 mg/sehari, dengan pengurangan dosis 50–100
mg/sehari. Atau terapi cyclophosphamide "bolus" dengan 1000 mg IV
9
seminggu sekali atau setiap 2 minggu di tahap awal, sebagai perbaikan
diikuti oleh 50-100 mg/d PO.
- Plasmapheresis
dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen
imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal
pengobatan untuk mengurangi titer antibodi. Plasmaphresis dengan
iklosporin atau siklosposfamid dan fotoforesis ekstrakorporal
terkadang juga telah diteliti dapat berguna.
- Gold therapy, untuk kasus-kasus ringan.
Setelah pengujian awal dosis 10 mg IM, 25 sampai 50 mg gold
natrium thiomalate diberikan IM , interval per minggu dengan dosis
kumulatif maksimum 1 gr.
Dosis tinggi imunoglobulin intravena (HIVIg) (2 g/KgBB
setiap 3- 4 minggu) telah dilaporkan memiliki efek sparing
glukokortikoid.
- Rituximab
(antibodi monoklonal untuk CD20) mungkin menargetkan sel B,
precursor dari (auto) yang memproduksi antibodi plasma sel.
Diberikan sebagai terapi intravena sekali minggu selama 4 minggu,
menunjukkan efek dramatis di beberapa dan remisi setidaknya parsial
pasien lain. Infeksi serius mungkin dilihat
10
Non Medikamentosa
Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih
merasakan gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka
yang baik adalah sangat penting karena ia dapat memicu penyembuhan
bula dan erosi. Pasien disarankan mengurangi aktivitas agar resiko cedera
pada kulit dan lapisan mukosa pada fase aktif penyakit ini dapat
berkurang. Aktivitas-aktivitas yang patut dikurangi adalah olahraga dan
makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas,
asam, keras, dan renyah)
11
BAB III
PENUTUP
III.1. KOMPLIKASI
1. Infeksi sekunder, baik sistemik atau lokal pada kulit, dapat terjadi
karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan
luka pada infeksi kutaneous tertunda dan meningkatkan risiko
timbulnya jaringan parut.
2. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi
dan malignansi yang sekunder (misalnya, Sarkoma Kaposi), karena
sistem imunitas yang terganggu.
3. Retardasi pada pertumbuhan telah dilaporkan pada anak yang
memakai kortikosteroid sistemik dan imunosupresan.
4. Penekanan pada sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang
menerima imunosupresan. Peningkatan insiden leukemia dan limfoma
dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresi yang
berkepanjangan.
5. Gangguan respon kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid dan
obat imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi
yang cepat. Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis infeksi dan
memungkinkan penyakit seperti septikemia atau TB untuk mencapai
stadium lanjut sebelum diagnosis.
6. Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan kortikosteroid
sistemik.
12
7. Insufisiensi adrenal telah dilaporkan setelah penggunaan jangka
panjang glukokortikoid.
III. 2. PROGNOSIS
Sebelum adanya terapi glukokortikoid, Pemfigus Vulgaris hampir
selalu berakibat fatal, dan Pemfigus Foliaseus berakibat fatal pada 60%
pasien. Pemfigus Foliaseus hampir selalu berakibat fatal pada pasien usia
lanjut dengan sejumlah permasalahan dalam pengobatan.
Penambahan glukokortikoid sistemik dan penggunaan terapi
imunosupresif telah meningkatkan prognosis pasien dengan Pemfigus
Vulgaris. Namun demikian, Pemfigus Vulgaris tetap merupakan penyakit
yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi
sering menjadi penyebab kematian, dan dengan meningkatnya kebutuhan
akan imunosupresan pada penyakit yang aktif, terapi seringkali menjadi
faktor yang berperan dalam menyebabkan kematian. Dengan terapi
glukokortikoid dan imunosupresan, mortalitas (baik dari penyakit maupun
terapi) pasien dengan Pemfigus Vulgaris yang diikuti dalam 4 sampai 10
tahun adalah 10% atau kurang, dimana pada Pemfigus Foliaseus angka ini
cenderung lebih kecil. Aktivitas penyakit umumnya berkurang dengan
waktu dan relaps paling banyak terjadi di 2 pertama setelah diagnosis.
Keadaan ini lebih buruk pada pasien yang lebih tua.(2)
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Klaus Wolff RAJ. Fitzpatrick's Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6 ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
2. Loweel Goldsmith SK, Barbara Gilchrest, Amy Paller, David Leffell, Klaus Wolff. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 8 ed. New York: McGraw-Hill; 2012.
3. Adhi Djuanda MH, Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 6 ed. Wiryadi B, editor. Jakarta: FK UI; 2011. 204-11 p.
4. Steven Billings JC. Inflammatory Dermatopathology: A Pathologist's Survival Guide: Springer; 2011. 159-61 p.
5. Zeina B. Pemphigus Vulgaris. Medscape. 2014:1-6.
6. Loweel A. Goldsmith SIK, Barbara A. Gilchrest, Amy S. Paller, David J. Leffell, Klaus Wolff. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8 ed. New York: McGraw-Hill; 2012. 594-9 p.
14