46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemfigus merupakan kelompok penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan terjadinya bula intraepidermal karena proses akantolisis. Berdasarkan letak bula secara umum pemfigus dibagi menjadi dua kategori, yaitu pemfigus vulgaris (dengan varian pemfigus vegetans) dan pemfigus foliaseus (dengan varian pemfigus eritematosus). Pada pemfigus vulgaris (PV) bula yang terbentuk terletak pada lapisan suprabasal, sedangkan pada pemfigus foliaseus (PF) bula berada dilapisan granular. PV merupakan tipe pemfigus yang paling banyak ditemukan, sekitar 70-80% dari semua kasus pemfigus.Penyakit ini bersifat kronik dan mengancam jiwa. Kematian terjadi 6.2 % dari pasien. Mortalitas yang lebih tinggi bila melibatkan mukokutan. Beberapa penelitian retrospektif terhadap penyakit PV menunjukkan bahwa epidemiologi dan gambaran klinis serta tingkat keparahan penyakit ini berbeda, tergantung pada daerah dilakukan penelitian dan populasi etnik. Sebagian besar penelitian yang dilakukan di Eropa, Amerika Utara 1

selesai pemfigus

  • Upload
    -

  • View
    103

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pemfigus

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemfigus merupakan kelompok penyakit bula autoimun yang menyerang kulit,

membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan terjadinya bula

intraepidermal karena proses akantolisis. Berdasarkan letak bula secara umum

pemfigus dibagi menjadi dua kategori, yaitu pemfigus vulgaris (dengan varian

pemfigus vegetans) dan pemfigus foliaseus (dengan varian pemfigus eritematosus).

Pada pemfigus vulgaris (PV) bula yang terbentuk terletak pada lapisan suprabasal,

sedangkan pada pemfigus foliaseus (PF) bula berada dilapisan granular.

PV merupakan tipe pemfigus yang paling banyak ditemukan, sekitar 70-80%

dari semua kasus pemfigus.Penyakit ini bersifat kronik dan mengancam jiwa.

Kematian terjadi 6.2 % dari pasien. Mortalitas yang lebih tinggi bila melibatkan

mukokutan.

Beberapa penelitian retrospektif terhadap penyakit PV menunjukkan bahwa

epidemiologi dan gambaran klinis serta tingkat keparahan penyakit ini berbeda,

tergantung pada daerah dilakukan penelitian dan populasi etnik. Sebagian besar

penelitian yang dilakukan di Eropa, Amerika Utara dan India, dimana insiden PV

berkisar 0,1-0,5 per 100.000 populasi. Penelitian baru-baru ini di Iran menunjukkan

insiden yang relatif tinggi, terutama dengan keterlibatan mukokutan, insidennya

dilaporkan antara 0.42 sampai dengan 1.62 kasus per 100.000.

Onset usia rata-rata antara 40 sampai 60 tahun, terutama terjadi pada usia tua,

namun dapat juga terjadi pada anak-anak. PV terjadi pada puncak usia 50-60 tahun.

Dari penelitian yang lain di India dilaporkan dapat terjadi pada usia pertengahan dan

jarang terjadi pada anak-anak.Di Iran dilaporkan, onset PV terjadi pada usia yang lebih

muda.

1

PV terjadi pada semua ras. Dari hasil penelitian di Eropa, Amerika Utara, dan

India prevalensi PV relatif tinggi pada kaum Mediteranian dan keturunan Yahudi.

Predisposisi genetik diketahui berhubungan dengan Human Leukocyte Antigen (HLA).

Dari penelitian lain dilaporkan PV mempunyai kaitan kuat dengan alel HLA class ll

dan terutama mengenai kelompok etnik seperti keturunan asal Akhenazy,

Mediteranian, dan India. Di Afrika Selatan lebih sering pada orang India dari pada ras

kulit hitam atau putih.

Bebarapa penelitian retrospektif, jumlah prevalensi PV antara laki-laki dan

wanita adalah sama. Hasil penelitian di Iran, rasio pria dan wanita adalah 1:1.5,

prevalensi PV lebih sedikit pada laki laki. Dari beberapa penelitian dilaporkan onset

dan perjalanan pemfigus sering merupakan hasil dari interaksi antara faktor genetik

dan eksogen. Pajanan yang lama dari radiasi UV dan zat kimia pestisida merupakan

faktor eksogen yang sangat penting karena dapat menyebabkan eksaserbasi dan

kadang-kadang penyebab awal dari pemfigus.

Di Indonesia telah dilakukan penelitian tentang karakteristik pasien PV yaitu di

RS M. Djamil Padang, selama periode 5 tahun (2004 – 2008) dari hasil penelitian

tersebut terdapat 22 pasien PV dengan rasio pria dibanding wanita adalah 1,60 : 2,60.

Rata-rata usia penderita adalah 46,5 tahun (18-75 tahun).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat pemfigus ini adalah sebagai berikut.

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami tentang penyakit kulit pemfigus sebagai golongan

dari dermatosis vesikobulosa kronik.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami tentang bentuk-bentuk pemfigus.

2. Mengetahui dan memahami tentang etiologi, patogenesis, histopatologi, dan

gejala klinis pemfigus dari masing-masing bentuk pemfigus.

3. Mengetahui dan memahami tentang penegakan diagnosis, diagnosis

banding, terapi, serta prognosis dari masing-masing bentuk pemfigus.

2

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan referat pemfigus ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Manfaat Bagi Penulis

Menambah pegetahuan mengenai penyakit kulit pemfigus beserta bentuk-

bentuknya sebagai golongan dari dermatosis vesikobulosa kronik.

1.3.2 Manfaat Bagi Pembaca

Sebagai sumber informasi kepustakaan dan menambah pengetahuan mengenai

penyakit kulit pemfigus sebagai golongan dermatosis vesikobulosa kronik.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Anatomi Kulit

Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari

lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m2dengan berat kira-kira 16%

berat badan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitive, bervariasi pada keadaan

iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Kulit

mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar raba, penyerap,

indera perasa, dan lain-lain.

Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan hitam,

warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan

pada genitalia orang dewasa. Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis

dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan

preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa.

Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala.

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu

lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis

tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya

jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.

1.1.1.Lapisan Epidermis

Lapisan epidermis terdiri atas stratum korneum, stratum lusidum, stratum

granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Stratum korneum adalah lapisan

kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapisan sel-sel gepeng yang mati,

tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).

4

Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan

sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang

disebut eleidin. Lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan dan kaki.

Stratum granulosum merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma

berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas

keratohialin. Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk

poligonal yang besarnya berbeda-beda karena adanya proses mitosis.

Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen, dan inti terletak

ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan makin gepeng bentuknya. Di

antara sel-sel stratum spinosun terdapat jembatan-jembatan antar sel yang terdiri atas

protoplasma dan tonofibril atau keratin. Pelekatan antar jembatan-jembatan ini

membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel

spinosum terdapat pula sel Langerhans. Sel-sel stratum spinosum mengandung

banyak glikogen.

Stratum germinativum terdiri atas sel-sel berbentuk kubus yang tersusun

vertical pada perbatasan dermo-epidermal berbasis seperti pagar (palisade). Lapisan

ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini mrngalami

mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis sel yaitu sel-sel

yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti lonjong dan besar,

dihubungkan satu dengan lain oleh jembatang antar sel, dan sel pembentuk melanin

atau clear cell yang merupakan sel-sel berwarna muda, dengan sitoplasma basofilik

dan inti gelap, dan mengandung butir pigmen (melanosomes).

1.1.2.Lapisan Dermis

Lapisan yang terletak dibawah lapisan epidermis adalah lapisan dermis

yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastis dan

fibrosa padat dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar

dibagi menjadi 2 bagian yakni pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke

epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah, dan pars retikulare yaitu

bagian bawahnya yang menonjol kea rah subkutan, bagian ini terdiri atas serabut-

serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan retikulin.

Dasar lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin

sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblast, membentuk ikatan yang mengandung

5

hidrksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah

umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.

Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang

serta lebih elastis.

1.1.3.Lapisan Subkutis

Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat

longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel bulat, besar,

dengan inti terdesak ke pinggir sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini

membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh trabekula yang

fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adipose, berfungsi sebagai cadangan

makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah

bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokasinya. Di

abdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, di daerah kelopak mata dan penis sangat

sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.

Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di

bagian atas dermis (pleksus superficial) dan yang terletak di subkutis (pleksus

profunda). Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil

dermis, pleksus yang di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan

anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan

dengan pembuluh darah teedapat saluran getah bening.

1.1.4.Adnexa Kulit

Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku. Kelenjar

kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas kelenjar keringat dan kelenjar palit. Ada

2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil, terletak dangkal di

dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin yang lebih besar, terletak

lebih dalam dan sekretnya lebih kental.

Kelenjar enkrin telah dibentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan dan

berfungsi 40 minggu setelah kehamilan. Saluran kelenjar ini berbentuk spiral dan

bermuara langsung di permukaan kulit. Terdapat di seluruh permukaan kulit dan

6

terbanyak di telapak tangan dan kaki, dahi, dan aksila. Sekresi bergantung pada

beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf kolinergik, faktor panas, dan emosional.

Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila,

areola mamme, pubis, labia minora, dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin pada

manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, tetapi pada pubertas mulai besar dan

mengeluarkan sekret. Keringat mengandung air, elektrolit, asam laktat, dan glukosa,

biasanya pH sekitar 4-6,8.

Kelenjar palit terletak di selruh permukaan kulit manusia kecuali di telapak

tangan dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen

dan sekret kelenjar ini berasala dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar

palitbiasanya terdapat di samping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen

akar rambut (folikel rambut). Sebum mengandungi trigliserida, asam lemak bebas,

skualen, wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi hormone androgen, pada

anak-anak jumlah kelenjar palit sedikit, pada pubertas menjadi lebih besar dan

banyak serta mulai berfungsi secara aktif.

Kuku, adalah bagian terminal stratum korneum yang menebal. Bagian kuku

yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku, bagian yang terbuka di atas dasar

jaringan lunak kulit pada ujung jari dikenali sebagai badan kuku, dan yang paling

ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dari akar kuku keluar dengan

kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm per minggu. Sisi kuku agak mencekung

membentuk alur kuku. Kulit tipis yang yang menutupi kuku di bagian proksimal

disebut eponikium sedang kulit yang ditutupki bagian kuku bebas disebut

hiponikium.

Rambut, terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit dan bagian yang

berada di luar kulit. Ada 2 macam tipe rambut, yaitu lanugo yang merupakan rambut

halus, tidak mrngandung pigmen dan terdapat pada sbayi, dan rambut terminal yaitu

rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai medula, dan terdapat

pada orang dewasa. Pada orang dewasa selain rambut di kepala, juga terdapat bulu

mata, rambut ketiak, rambut kemaluan, kumis, dan janggut yang pertumbuhannya

dipengaruhi hormone androgen. Rambut halus di dahi dan badan lain disebut rambut

velus. Rambut tumbuh secara siklik, fase anagen berlangsung 2-6 tahun dengan

kecepatan tumbuh kira-kira 0.35 mm per hari. Fase telogen berlangsung beberapa

bulan. Di antara kedua fase tersebut terdapat fase katagen. Komposisi rambut terdiri

7

atas karbon 50,60%, hydrogen 6,36%,, nitrogen 17,14%, sulfur 5% dan oksigen

20,80%.

Gambar 2.1 Anatomi Kulit

1.2. Fisiologi Kulit

Fungsi epidermis adalah sebagai proteksi barrier, organisasi sel, sintesis

vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan

pengenalan alergen (sel Langerhans). Setiap kulit yang mati akan terganti tiap 3-4

minggu. Dalam epidermis terdapat 2 sel, yaitu Sel Merkel yang fungsinya belum

dipahami dengan jelas tapi diyakini berperan dalam pembentukan kalis dan klavus

pada tangan dan kaki ; Sel Langerhans yang berperan dalam respon-respon antigen

kutaneus. Epidermis akan bertambah tebal jika bagian tersebut sering digunakan.

Persambungan antara epidermis dan dermis disebut rete bridge yang berfungsi sebagai

tempat pertukaran nutrisi yang essensial, dan terdapat kerutan yang disebut finger

prints.

Rambut terdapat di seluruh kulit kecuali telapak tangan kaki dan bagian

dorsal dari phalanx distal jari tangan, kaki, penis, labia minor, dan bibir. Terdapat 2

jenis rambut, yaitu rambut terminal (dapat panjang dan pendek) dan rambut velus

(pendek, halus, dan lembut). Fungsi kulit secara umum adalah :

Fungsi Proteksi

8

Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,

gangguan kimiawi, gangguan yang bersifat panas, gangguan infeksi luar,

terutama kuman/bakteri maupun jamur.

Fungsi Absorbsi

Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan, benda padat, tetapi cairan

yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak.

Fungsi Ekskresi

Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa

metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan ammonia.

Fungsi Persepsi

Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis.

Terhadap rangsang panas (badan Ruffini di dermis dan subkutis), dingin

(Krause di dermis), rabaan (taktil Meissner di papilla dermis, dan Merkel

Ranvier di epidermis), dan tekanan (badan Paccini di epidermis).

Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi)

Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringan dan

mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit.

Fungsi Pembentukan Pigmen

Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal

dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10 : 1. Jumlah

melanosit serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna

kulit ras atau individu.

Fungsi Keratinisasi

Lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama, yaitu keratinosit, sel

Langerhans, dan melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan

pembelahan dan menjadi sel sponosum, sel granulosumm makin lama inti

menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf.

Fungsi Pembentukan Vitamin D

Dimungkinkan dengan mungubah 7-dihidroksi kolesterol dengan pertolongan

sinar matahari.

1.3. Pemfigus

1.3.1. Definisi

9

Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit auto-imun berbula kronik,

menyerang kulit dan membrane mukosa yang secara histologik ditandai dengan

bula intra epidermal akibat proses akantolisis dan secara imunologik ditemukan

antibody terhadap komponen desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG,

baik terikat maupun beredar dalam sirkulasi darah.

1.3.2. Epidemiologi

Pada penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap pasien pemfigus

vulgaris, pemfigus foliaseus atau keduanya menunjukkan bahwa epidemiologi dari

pemfigus tergantung pada wilayah di dunia yang diteliti dan juga populasi etnis

pada wilayah tersebut. Prevalensi pemfigus pada pria dan wanita untuk kedua tipe

ini hampir sama di semua wilayah. Pengecualian khusus yaitu seringnya wanita

menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di Tunisia dan seringnya pria menjadi

fokus penyebaran pemfigus vulgaris di Kolombia. Usia rata-rata timbulnya

penyakit ini berkisar antara 40-60 tahun. Namun, batas usia ini dapat melebar

dimana pernah ditemukan beberapa kasus pada anak maupun pada usia lanjut.

Walaupun semua etnik dapat terkena, namun pemfigus lebih sering dijumpai pada

orang Timur Tengah atau keturunan Yahudi. Di sebagian besar negara, pemfigus

vulgaris lebih sering ditemukan daripada pemfigus foliaseus, kecuali di Finlandia,

Tunisia, dan Brazil.

1.3.3.Patogenesis

Etiologi

Lepuh superfisial pada pemfigus ini adalah hasil reaksi yang diinduksi

oleh IgG terutamanya IgG4, suatu autoantibodi yang ditujukan langsung pada

lapisan adhesi desmoglein 1(160kd) yang terutamanya ditemukan pada stratum

granulosum di epidermis. Antibodi ini merupakan autoantibodi karena bereaksi

terhadap sel pasien itu sendiri, sehingga antibodi ini dapat menyebabkan hilangnya

adhesi antar keratinosit dan menimbulkan lepuh-lepuh. Ketika IgG dari pasien

pemfigus vulgaris atau pemfigus foliaseus diinjeksikan ke mencit baru lahir, maka

IgG ini akan berikatan dengan permukaan keratinosit epidermal dan menyebabkan

lepuh yang memiliki gambaran histologi yang sama pada pemfigus vulgaris atau

pemfigus foliaseus. Mekanisme yang terjadi melibatkan proses fosforilisasi protein

intra selular yang berhubungan dengan desmosome dan bukan disebabkan oleh

mekanisme komplemen. Hasil reaksi ini akan menyebabkan terjadinya proses

akantolisis.

10

Desmoglein

Gangguan adhesi keratinosit terjadi pada pasien pemfigus foliaseus dan

juga pada pemfigus vulgaris, maka dimungkinkan autoantibodi pada pasien-

pasien ini berikatan dengan molekul-molekul dan mengganggu adhesi nya di

desmosom. Desmosom adalah struktur adhesi sel yang terutama dominan pada

epidermis dan membran mukosa. Molekul-molekul transmembran yang terdapat

pada desmosom ada dua golongan kelompok protein yaitu desmoglein dan

desmokolin. Kedua golongan protein ini berhubungan dengan Kaderin, yaitu

suatu molekul yang bertugas dalam pengaturan adhesi sel-sel. Oleh karena itu,

desmoglein dan desmokolin disebut kaderin desmosom yaitu yang bertugas

mengatur adhesi sel-sel di desmosom. Pada pasien pemfigus foliaceus terdapat

autoantibodi yang merusak desmoglein 1, sedangkan pada pasien pemfigus

vulgaris terdapat autoantibodi yang merusak desmoglein 3.

Antidesmoglein

Adanya antibodi antidesmoglein menyebabkan terbentuknya lepuh.

Tikus-tikus yang diinjeksikan autoantibodi terhadap desmoglein 1 atau

desmoglein 3 mengalami timbulnya lepuh-lepuh. Selain itu, gambaran histologis

dari pemfigus foliaseus dan pemfigus vulgaris juga muncul pada lesi tersebut.

Desmoglein 1 atau desmoglein 3 dapat menyerap antibodi patogen dari serum

penderita pemfigus. Titer dari IgG autoantibodi anti-desmoglein 1 dan anti-

desmoglein 3 berhubungan dengan aktivitas penyakit. Serum pemfigus bisa juga

berikatan dengan antigen selain desmoglein 1 dan desmoglein 3, namun

gambaran klinis dari antibodi lain ini belum dapat dijelaskan seluruhnya.

Misalnya, autoantibodi IgG antidesmoglein 1 bereaksi silang dengan desmoglein

4, namun antibodi ini tidak memiliki efek patogen. Antibodi pada serum

penderita pemfigus dapat berikatan dengan antigen lain, seperti reseptor

asetilkolin, tapi antigen-antigen ini tidak tidak menyebabkan terbentuknya

lepuh.

11

Kompensasi Desmoglein

Pasien pemfigus yang memiliki perbedaan secara klinis mempunyai

sifat antibodi antidesmoglein. Pola autoantibodi ini, dan distribusi dari isoform

desmoglein pada epidermis dan membran mukosa, menunjukkan kompensasi

desmoglein dapat menjelaskan lokalisasi lepuh pada pasien pemfigus vulgaris

dan pemfigus foliaseus. Teori kompensasi desmoglein berdasarkan dua

pengamatan: yaitu autoantibodi anti–desmoglein 1 atau anti–desmoglein 3

menginaktivasi hanya desmoglein yang cocok, dan desmoglein 1 atau

desmoglein 3 fungsional sendiri biasanya cukup untuk adhesi sel-sel.

Kompensasi desmoglein telah divalidasi secara penelitian pada model

pemfigus tikus baru lahir. Penyuntikan autoantibodi anti-desmoglein 1 ke dalam

tikus yang gen desmoglein 3 nya telah dihapus menyebabkan lepuh pada daerah

yang dilindungi oleh desmoglein 3 pada tikus normal. Sebalikanya, tikus

transgenik yang direkayasa gen desmoglein 3 pada lokasi jaringan yang secara

normal hanya mengekspresikan gen desmoglein 1, maka jaringannya terlindungi

dari terbentuknya lepuh akibat antibodi anti-desmoglein 1. Ekspresi transgenik

dari desmoglein 1 pada daerah yang secara normal hanya mengekspresikan

desmoglein 3 dapat mengkoreksi adhesi sel-sel oleh karena hilangnya gen pada

tikus yang telah mati. Oleh karena distribusi desmoglein pada kulit bayi baru

lahir mirip dengan distribusi desmoglein pada membran mukosa, kompensasi

desmoglein menjelaskan mengapa lepuh biasanya tidak terbentuk pada bayi baru

lahir yang ibunya menderita pemfigus foliaseus, walaupun autoantibodi dapat

melintasi sawar plasenta dan berikatan dengan epidermis janin.

12

Gambar 2.4 Kompensasi desmoglein (Dsg). Gambar segitiga menunjukkan distribusi dari Dsg 1 dan

3 pada kulit dan membran mukosa. Antibodi anti-Dsg 1 pada pemfigus foliaseus menyebabkan

akantolisis hanya di permukaan epidermis dari kulit. Pada epidermis dan membran mukosa bagian

dalam, Dsg 3 mengadakan kompensasi terhadap adanya antibodi yang mengurangi fungsi Dsg 1.

Pada pemfigus vulgaris dini, terdapat antibodi yang hanya menyerang Dsg 3, yang menyebabkan

timbulnya lepuh hanya pada bagian dalam membran mukosa dimana Dsg 3 berlokasi tanpa adanya

kompensasi dari Dsg 1. Namun, pada pemfigus mukokutan terdapat antibodi yang menyerang Dsg 1

dan Dsg 3, dan lepuh terbentuk baik pada kulit maupun membran mukosa. Lepuh terletak di dalam

karena antibodi berdifusi dari dermis dan mengganggu fungsi desmosom pada bagian basal

epidermis.

Autoantibodi pemfigus dan hilangnya adhesi keratinosit

o Inaktivasi Desmoglein

Beberapa peneliti mengatakan bahwa antibodi pemfigus bekerja dengan

memulai cascade proteolitik yang memotong molekul sel permukaan

secara nonspesifik. Pada penelitian selanjutnya hipotesis ini tidak

disetujui. Terbukti bahwa antibodi anti-desmoglein 3 dan anti-desmoglein

1 menginaktivasi desmoglein secara spesifik. Lesi yang disebabkan oleh

antibodi ini sangatlah mirip dengan lesi yang disebabkan oleh inaktivasi

desmoglein 3 atau desmoglein 1. Sebagai contoh, gambaran patologis dari

kulit tikus yang telah mati dengan inaktivasi gen Dsg3 mirip dengan

pasien yang menderita pemfigus vulgaris dan dengan tikus-tikus yang

telah diinjeksikan dengan antibodi anti-desmoglein 3. Begitu juga pada

tikus-tikus dan manusia, Toksin eksfoliatif yang memecah desmoglein 1

13

secara spesifik menyebabkan lepuh yang identik dengan lepuh yang

disebabkan oleh antibodi anti-desmoglein 1 pada kasus pemfigus

foliaseus. Berdasarkan temuan ini bersama dengan teori kompensasi

desmoglein mengarah kepada bahwa antibodi pemfigus hanya

menginaktivasi desmoglein targetnya secara spesifik dan tidak

menyebabkan hilangnya fungsi generalisata dari adhesi molekul

permukaan sel.

o Efek langsung dan tidak langsung dari antibodi pemfigus

Masih belum jelas apakah autoantibodi bekerja secara langsung atau tidak

langsung. Terdapat bukti bahwa autoantibodi pemfigus memblok adhesi

sel dengan mengganggu transinteraksi desmoglein secara langsung

(misalnya, interaksi desmoglein dari satu sel dengan sel itu sendiri atau

dengan desmocollin pada sel sebelahnya). Penelitian telah menunjukkan

bahwa fragmen autoantibodi pemfigus yang berisi domain antigen-binding

saja dan kekurangan regio efektor dari antibodi dapat menstimulasi

timbulnya lepuh pada tikus percobaan. Selain itu juga, oleh karena

kekurangan kemampuan dari molekul permukaan sel untuk bereaksi silang

mungkin yang menyebabkan gangguan adhesi sel. Selanjutnya, sebuah

antibodi IgG anti-desmoglein 3 monoklonal tikus percobaan yang

berikatan dengan permukaan N-terminal adhesif menginduksi lesi

pemfigus vulgaris pada tikus percobaan, dimana antibodi monoklonal

yang lain bereaksi dengan bagian yang kurang penting dari desmoglein 3

secara fungsional tidak menyebabkan lesi pada tikus percobaan.

Sebaliknya, hasil dari penelitian terbaru yang menggunakan pengukuran

daya atom satu molekul, sebuah metode biomekanik yang mengukur

derajat dari ikatan protein, menunjukkan bahwa antibodi anti-desmoglein

1 IgG pada serum penderita pemfigus foliaseus tidak mengganggu secara

langsung dengan transinteraksi desmoglein 1 adhesif. Pada sistem

ekstraselular ini, ikatan dari desmoglein 1 kepada sel itu sendiri tidak

dihambat oleh antibodi anti-desmoglein 1 yang patogen. Penelitian lain

menunjukkan bahwa inaktifasi fungsional langsung dari desmoglein tidak

cukup untuk menyebabkan timbulnya lepuh dan bahwa autoantibodi

14

pemfigus dapat bekerja melalui mekanisme sinyal yang lebih rumit.

Penambahan IgG dari serum penderita pemfigus vulgaris ke keratinosit

yang dibiakkan menginduksi beberapa sinyal, temasuk peningkatan

kalsium dan inositol 1,4,5-trifosfat intraselular, aktivasi dari protein kinase

C, dan fosforilasi dari desmoglein 3, yang kemudian menyebabkan

terjadinya internalisasi dari desmoglein 3 di permukaan sel, dengan

deplesi resultante desmoglein 3 pada desmosom. IgG pemfigus vulgaris

juga dilaporkan dapat menginduksi aktivasi jalur sinyal yang

menyebabkan terjadinya reorganisasi dari sitoskeleton, apoptosis

keratinosit, atau keduanya. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk

mengklarifikasi apakah mekanisme sinyal seperti disebutkan di atas

terlibat dalam pembentukkan lepuh in vivo, karena kebanyakan dari

penelitian pada transduksi sinyal dilakukan secara in vitro dengan

memakai keratinosit biakan.

1.3.4. Klasifikasi

Terdapat 4 bentuk pemfigus, yaitu pemfigus vulgaris, pemfigus

eritematosus, pemfigus foliaseus, dan pemfigus vegetans. Selain itu, masih ada

beberapa bentuk yang tidak dibicarakan karena langka, ialah pemfigus

herpetiformis, pemfigus IgA, dan pemfigus paraneoplastik. Susunan tersebut sesuai

dengan insidensinya. Dari bentuk-bentuk pemfigus, bentuk yang paling berbahaya

adalah pemfigus paraneoplastik karena sering ditemukan pada pasien yang telah

didiagnosis mengalami keganasan (kanker). Namun, pemfigus paraneoplastik

merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.

Menurut Fitzpatrick’s pemfigus secara umum dibagi menjadi 4 tipe utama,

dua tipe yang tersering yaitu pemfigus vulgaris (PV), dengan akantolisis suprabasal

yang menyebabkan pemisahan sel-sel basal dari keratinosit stratum spinosum, dan

jenis yang kedua adalah pemfigus foliaseus (PF), dengan akantolisis pada lapisan

epidermis yang lebih dangkal yaitu padastratum granulosum.Selain itu bentuk

pemfigus yang lebih jarang ialah pemfigus paraneoplastik dan pemfigus IgA.

15

Gambar 2.3 Klasifikasi Pemfigus

Sumber : Fitzpatrick’s Dermatology

Menurut letak celah, pemfigus dibagi menjadi dua, yaitu di suprabasal

ialah pemfigus vulgaris dan variannya pemfigus vegetans, dan di stratum

granulosum adalah pemfigus foliasesus dan variannya pemfigus eritematosus.

Semua penyakit tersebut memberi gejala yang khas, yaitu pembentukan

bula yang kendur pada kulit yang umunya terlihat normal dan mudah pecah, pada

saat penekanan bula tersebut meluas (Nikolski +), akantolisis selalu +, dan adanya

antibodi tipe IgG terhadap antigen intraseluler di epidermis yang dapat ditemukan

di dalam serum maupun terikat di epidermis.

1.3.5. Pemfigus Vulgaris

Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang bersifat

kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula pada

epidermis (Murtiastutik et al, 2011).

2.3.5.1. Epidemiologi

Insidensi

Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2 kasus

per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari seluruh kasus

pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering di negara-negara

timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah (Wojnarowska dan

Venning, 2010). Insidensi PV meningkat pada populasi keturunan Yahudi

Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini merupakan faktor

predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris (Zeina, 2011). Predominansi

etnis ini tidak ada dalam kasus pemfigus foliaseus (PF). Karena itu, di area dimana

16

terdapat dominasi kelompok keturunan Yahudi, Timur Tengah, dan Mediterania,

rasio PV : PF cenderung lebih tinggi. Sebagai contoh, di New York, Los Angeles,

dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di Iran 12:1, sedangkan di Finlandia hanya

0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1. Insidensi pemfigus vulgaris bervariasi berdasarkan

lokasi. Di Jerussalem, insidensi PV diperkirakan 1,6 kasus per 100.000 populasi

per tahun dan di Iran 10 kasus per 100.000 populasi, Finlandia jauh lebih rendah

0,76 kasus per per juta populasi. Di Prancis dan Jerman, 1 kasus per juta populasi

per tahun (Stanley, 2012).

Mortalitas dan Morbidias

Pemfigus vulgaris adalah penyakit mukokutaneus autoimun yang

berpotensi mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas pasien

pemfigus vulgaris tiga kali lebih tinggi daripada populasi pada umumnya,

Komplikasi sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid dosis tinggi.

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum steroid

sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit penyerta.

Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris ekstensif dan

pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan mukosa pada 50-

70% pasien. Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi karena disfagia. Bula

dan erosi akibat bula yang pecah bersifat nyeri sehingga membatasi aktivitas

penderita (Zeina, 2011).

2.3.5.2. Gejala Klinis

Pemfigus vulgaris ditandai dengan timbulnya bula lembek, berdinding

tipis, mudah pecah, timbul pada kulit dan mukosa yang tampaknya normal atau

eritematosa. Isi bula mula-mula cairan jernih, dapat menjadi hemoragik atau

seropurulen. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang eksudatif, mudah berdarah,

dan sukar menyembuh. Bila sembuh meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Dalam

beberapa minggu atau bulan lesi dapat meluas, dimana didapatkan erosi lebih

banyaknya daripada bula. Pada 60% penderita, lesi mulai muncul pada mukosa

mulut kemudian tempat-tempat lain seperti kepala, muka, leher, ketiak, lipat paha

atau daerah kemaluan. Bila lesi luas sering disertai infeksi sekunder yang

menyebabkan bau tidak enak (Murtiastutik et al, 2011).

17

Gambar 2.4 Bula mudah pecah pada kulit yang tampak normal

Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th

Edition

Gambar 2.5 Erosi pada Membran mukosa (bibir dan dinding esophagus)

Sumber : American Association of Family Physician, 2013

2.3.5.3. Diagnosis dan Differential Diagnosis

Cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis pemfigus vulgaris :

1. Ada atau tidak adanya adhesi pada epidermis, dengan :

a. Nikolsky Sign : penekanan atau penggosokan pada lesi menyebabkan

terbentuknya lesi, epidermis terlepas, dan tampak seperti kertas basah.

b. Bullae spread phenomenon : bula ditekan isinya tampak menjauhi

tekanana

2. Tzanck test: bahan diambil dari dasar bula, dicat dengan giemsa tampak sel

akantolitik atau sel tzanck

18

3. Biopsi bahan diambil dari dasar bula yang baru timbul, kecil, dan utuh. Dicari

adanya bula intraepidemal.

4. Pemeriksaan laboratorium yang tidak spesifik :

Leukositosis

Eosinofilia

Serum protein rendah

Gangguan elektrolit

Anemia

Peningkatan laju endap darah. (Murtiastutik, 2011)

5. Pemeriksaan imunofloresensi direk dan indirek. Autoantibodi ditemukan pada

serum pasien dengan imonofloresensi indirek dan kemudian dengan

imunofloresensi direk pada kulit pasien. Pemeriksaan dengan ELISA

memberikan hasil yang lebih sensitive dan spesifik daripada imunofloresensi

(dapat membedakan pemfigus vulgaris dan pemfigus foliaseus. DIbandingkan

dengan imunofolresensi, pemeriksaan ELISA juga memiliki korelasi lebih baik

dengan aktivitas penyakit (Stanley, 2012).

Diagnosis banding untuk pemfigus vulgaris dapat meliputi semua penyakit

bulosa didapat (acgquired). Dpat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2.2 Diagnosis Banding Pamfigus Vulgaris

19

Gambar 2.7 Pemfigus Foliaseus

Sumber : Mayo Clinic, 2012

Sumber : Mayo Clinic, 2012

Gambar 2.8 Pemfigus Vegetans

20

Gambar 2.9 Pemfigoid bulosa

Sumber : Mayo Clinic, 2012

Gambar 2.10 Epidermolysis Bullosa Acquisita (EBA)

Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th

Edition

Gambar 2.11 Dermatitis Herpetiformis

Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th

Edition

21

Gambar 2.12 Linear IgA Dermatosis

Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th

Edition

Gambar 2.13 Pemfigoid Gestasionis

Sumber : Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology, 6th

Edition

2.3.5.4. Terapi Pemfigus Vulgaris

Penatalaksanaan pemfigus vulgaris terutama pada fase akut, harus di

bawah pengawasan yang ketat untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.

Terapi antimikroba sistemik diperlukan untuk pasien dengan infeksi sekunder.

Untuk terapi topikal, dilakukan kompres dengan Aluminium Diasetat 5%, perak

nitrat 0.005%, atau solusio kalium permanganate 0,01% pada area yang terkena

setiap 4 jam. Hal ini diperlukan untuk melepaskan debris kulit dari area bula dan

mengurangi risiko infeksi sekunder. Kortikosteroid dosis tinggi diperlukan untuk

22

mengontrol kondisi pasien. Dosis harus diturunkan perlahan-lahan ketika sudah

terjadi stabilisasi hingga mencapai dosis terendah untuk memelihara remisi.

Prednisolon atau prednisone oral dapat digunakan sebagai pilihan terapi. Tambahan

obat-obatan imunosupresif seperti Azathioprine atau Cyclophosphamid digunakan

apabila pasien tidak dapat menoleransi kortikosteroid dosis minimum untuk

menjaga kondisi remisi. Efek imunosupresif muncul perlahan-lahan dan biasanya

tidak terdeteksi sampai 4-6 minggu setelah dosis awal. Kortikosteroid harus sudah

dihentikan sebelum penghentian terapi imunosupresif (World Health Organization,

2013).

Penatalaksanaan penderita Pemfigus Vulgaris berdasarkan Pedoman

Diagnosis dan Terapi RSUD dr.Soetomo adalah sebagai berikut :

1. Penanganan lesi luas diperlukan rawat inap untuk pengobatan dan perawatan

yang tepat.

2. Topikal :

a. Lesi Basah : kompres garam faali (NaCl0.9%)

b. Lesi Kering : talcum Acidum Salicylicum 2%.

3. Sistemik :

a. Antibiotik: bila timbul infeksi sekunder, dengan sebelumnya dilakukan:

pemeriksaan gram

kultur dan tes sensitivitas

Antibiotik spectrum luas 7-10 hari

b. Kortikosteroid : merupakan obat pilihan untuk pemfigus vulgaris, diberikan

Dexamethasone atau sejenisnya. Dosis : bila keras dapat diberikan 3-4 mg

Dexamethasone/hari. Bila setelah beberapa hari tidak timbul bula baru, dosis dapat

diturunkan pelan-pelan dan diberi tambahan Azathioprine untuk mencegah relaps,

sampai dengan dosis terandah yang tidak menimbulkan bula baru.

c. Imunosupresan : Untuk mengurangi dosis kortikosteroid dapat diberikan

Azathioprine (Imuran) 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-3 kali 1 tablet.

2.3.5.5. Prognosis

Derajat keparahan perjalanan penyakit pemfigus vulgaris bervariasi, tetapi

mayoritas pasien meninggal sebelum penghentian terapi steroid. Terapi

kortikosteroid sendiri telah dapat mengurangi angka mortalitas sebesar 5-15%.

Pemfigus vulgaris yang yang tidak mendapatkan terapi adekuat akan berakibat fatal

karena penderita rentan terhadap infeksi serta gangguan yang muncul akibat

23

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar kasus kematian terjadi

pada tahun-tahun awal munculnya gejala, dan jika pasien dapat bertahan lebih dari

5 tahun, prognosisny akan lebih baik. Pemfigus vulgaris pada stadium awal akan

lebih mudah dikontrol daripada yang sudah bermanifestasi luas, tingkat mortalitas

akan meningkat apabila terjadi keterlamabatan terapi (Zeina, 2011).

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luasnya lesi, dosis kortikosteroid

maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan adanya penyakit

penyerta. Prognosis akan cenderung lebih buruk pada pasien berusia lanjut dan

yang disertai penyakit lain. Prognosis akan lebih baik jika terjadi pada anak-anak.

Pada sebagian kecil kasus pemfigus vulgaris,dilaporkan terjadi transisi menjadi

pemfigus foliaseus (Zeina, 2011).

2.3.5.6. Komplikasi

Infeksi sekunder, baik yang bersifat sistemik maupun terlokalisasi pada

kulit dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi multipel.

Infeksi kutaneus dapat memperlambat penyembuhan luka dan meningkatkan risiko

timbulnya jaringan parut. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat berakibat

pada infeksi dan keganasan sekunder ( seperti Kaposi Sarkoma), karena adanya

gangguan imunitas. Retardasi pertumbuhan dilaporkan terjadi pad aanak-anak yang

mendapatkan terapi kortikosteroid dan imunosupresan sistemik. Supresi sumsum

tulang dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan.

Peningkatan insidensi leukemia dan limfoma juga dilaporkan terjadi pada

imunosupresan jangka panjang. Gangguan respon imun yang disebabkan oleh

kortikosterod dan agen imunosupresif lainnya dapat mengakibatkan penyebaran

infeksi secara luas. Kortikosteroid menekan tanda-tanda infeksi sehingga berakibat

terjadinya septicemia. Osteoporosis dan insufisiensi adrenal dilaporkan terjadi

setelah penggunaan kortikosteroid jangka panjang (Zeina, 2011)

2.3.5.7. Edukasi

Pasien dan keluarganya harus diberikan edukasi mengenai :

Meminimalisasi kemungkinan terjadinya trauma pad akulit karena kulit pasien

sangat rapuh akibat penyakitnya sendiri maupun efek samping dari steroid

sistemik dan topikal.

Pemahaman bahwa penyakit yang diderita adalah penyakit yang bersifat kronis.

Terapi yang diberikan dosis obat, efek samping, dan gejala toksisitas obat

sehingga jika terjadi dapat segera menghubungi dokter.

24

Perawatan luka yang adekuat.

2.3.6. Pemfigus Vegetans

Pemfigus vegetans ialah varian jinak pemfigus vulgaris dan sangat jarang

ditemukan.

2.3.6.1.Klasifikasi

1) Tipe Neumann

a. Gejala Klinis

Biasanya menyerupai pemfigus vulgaris, kecuali timbulnya pada usia lebih

muda. Tempat predileksi di wajah, aksila, genitalia eksterna, dan daerah

intertrigo yang lain. Yang khas pada penyakit ini ialah terdapatnya bula-

bula yang kendur, menjadi erosi dan kemudian menjadi vegetatif dan

proliferatif papilomatosa terutama didaerah intertrigo. Lesi oral hampir

selalu ditemukan. Perjalanan penyakit lebih lama dibanding dengan

pemfigus vulgaris, dapat terjadi lebih akut, dengan gambaran pemfigus

vulgaris yang terlihat lebih dominan dan dapat fatal.

b. Histopatologi

Lesi dini sama seperti pada pemfigus vulgaris, tetapi kemudian timbul

proliferasi papil-papil ke atas, pertumbuhan ke bawah epidermis, dan

terdapat abses-abses intraepidermal yang hampir seluruhnya berisi

eosinofil.

2) Tipe Hallopeau

a. Gejala Klinis

Perjalanan penyakit kronik, tetapi dapat seperti pemfigus vulgaris dan fatal.

Lesi primer ialah pustul-pusttul yang bersatu, meluas ke perifer, menjadi

vegetatif dan menutupi daerah yang laus di aksila dan perineum. Di dalam

mulut, terlihat gambaran yang khas ialah granulomatosis seperti beludru.

b. Histopatologi

Lesi permulaan sama dengan tipe Neumann, terdapat akantolisis suprabasal,

mengandung banyak eosinofil, terdapat hiperplasi epidermis dengan abses

eosinofilik pada lesi yang vegetatif. Pada keadaan lebih lanjut akan tampak

papilomatosis dan hiperkeratosis tanpa abses.

2.3.6.2.Pengobatan

Sama pada pemfigus vulgaris.

25

2.3.6.3.Prognosis

Tipe Hallopeau, prognosisnya lebih baik karena cenderung sembuh.

2.3.7. Pemfigus Foliaseus

2.3.7.1. Defenisi

Pemfigus foliaseus merupakan gangguan kulit autoimun yang ditandai dengan

hilangnya adhesi antar keratinosit di bagian atas dari epidermis (acantholysis), sehingga

terjadi pembentukan lepuh yang dangkal

2.3.7.2. Epidemiologi

Pemfigus foliaseus umumnya terdapat pada orang dewasa antara umur 40-50 tahun

2.3.7.3. Etiologidan Faktor Resiko

- Para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab terjadinya pemfigus,

namun diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun

- Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada non-Hodgkin

limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan/ penyakit autoimun

lain yajug ameningkatkan resiko terjadinya pemfigus

- Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat

mengkonsumsi obat-obatan

2.3.7.4. GejalaKlinis

Umumnya terdapat pada orang dewasa,antara umur 40-50 tahun. Gejalanya

tidak seberat pemphigus vulgaris .Perjalanan penyakit kronik, remisi terjadi

temporer. Penyakit mulai dengan timbulnya vesikel/ bula, skuama dan krusta serta

sedikit eksudatif, kemudian memecah dan meninggalkan erosi. Pada awalnya dapat

mengenai kepala berambut, wajah, dan dada bagian atas sehingga mirip dermatitis

seboroik. Kemudian menjalar simetrik dan mengenai tubuh setelah beberapa bulan.

Yang khasialah terdapat eritema yang menyeluruh disertai banyak skuama yang

kasar, sedangkan bula yang berdinding kendur hanya sedikit, dan agak berbau.

Lesi di mulut jarang terdapat.

2.3.7.5. Histopatologi

26

Terdapat akantolisis di epidermis bagian atas di stratum granulosum.

Kemudian terbentuk celah yang dapat menjadi bula, sering subkorneal dengan

akantolisis sebagai dasar dan atap bula tersebut.

2.3.7.6. Diagnosa Banding

Karena terdapat eritema yang menyeluruh, penyakit ini mirip eritroderma.

Perbedaan dengan eritroderma oleh sebab lain, pada pemfigus foliaseus terdapar

bula dan tanda Nikolsky positif. Selain itu pemeriksaan histopatologik juga berbeda

2.3.7.7. Pengobatan

Pengobatan sama dengan pemfigus eritematosus

2.3.7.4. Prognosis

Hasil pengobatan dengan kortikosteroid tidak sebaik seperti pada tipe pemfigus

yang lain. Penyakit akan berlangsung kronik

2.3.8. Pemfigus Eritromatosus (Senear-Usher syndrome)

Pemfigus eritematosus adalah bentuk lokal dari pemfigus foliaceus. Ini

merupakan bentuk pemfigus foliaseus yang lebih ringan

2.3.8.1. Penyebab dan Epidemiologi

Penyebabnya diduga berkaitan dengan proses autoimun. Penderita ini sering

menyerang orang dewasa dibandingkan anak-anak. Penyakit ini sering diderita oleh

wanita. Penyebaran penyakit ini bisa terjadi pada semua bangsa, di daerah yang

kosmopolit. Untuk iklim dan musim tidak mempengaruhi angka kejadian penyakit

ini.

2.3.8.2. Gejala Klinis

Keadaan umum penderita baik. Lesi mula-mula sedikit dan dapat

berlangsung berbulan-bulan, sering disertai remisi. Lesi kadang-kadang terdapat di

mukosa. Tanda yang khas adalah lesi yang kering, eritematous, bersisik,

hiperkeratotik dan sering ditemukan pada bagian tengah hidung dan pipi sehingga

berbentuk kupu-kupu (buterfly area) sehingga menyerupai LE (lupus eritematosus).

Kelainan kulit berupa bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama

dan krusta di muka menyerupai kupu-kupu sehingga mirip lupus eritematosus dan

dermatitis seboroika. Hubungannya dengan lupus eritematosus juga terlihat pada

pemeriksaan imunofluoresensi langsung. Pada tes tersebut didapati antibodi di

interselular dan juga di membrana basalis. Selain di muka, lesi juga terdapat di

27

tempat-tempat tersebut selain kelainan yang telah disebutkan juga terdapat bula

yang kendur. Penyakit ini dapat toerubah menjadi pemfigus vulgaris atau foliaseus.

Gambar.1 Pemfigus eritematous

Gambar.2 Pemfigus eritematous mirip SLE

2.3.8.3. Histopatologi

Gambaran histopatologiknya identik dengan pemfigus foliaseus. Pada lesi

yang lama, hiperkeratosis folikular, akantosis, dan diskeratosis stratum granulare

tampak prominen. Pada epidermis dapat dilihat : akantolisis, hyperkeratosis

28

folikular, dan bula subkornea. Sedangkan pada dermis dapat ditemukan

papilomatosis dan pelebaran pembuluh darah di stratum papilare.

2.3.8.4. Pemeriksaan Pembantu /Laboratorik

- imunologi : terdapat IgG

- Tes Nikolsky

- Pemeriksaan sel Tzanck

2.3.8.5. Diagnosa Banding

Pemfigus eritematous mirip dengan beberapa penyakit seperti :

- Lupus eritematosus. Biasanya tidak ada bula, hanya eritema dengan skuama dan

atrofi kulit. Pada bagian tepi, ditemukan telangiekstasia, dan terdapat sumbatan

keratin

- Dermatitis herpetiformis. Banyak vesikel berkelompok dengan keluhan gatal.

Pemeriksaan histopatologi memperlihatkan bula subepidermal

- Pemfigoid bulosa. Bula yang besar-besar di seluruh tubuh, tes Nikolsky dan

pemeriksaan sel Tzanck positif

2.3.8.6. Pengobatan

Pengobatannya dengan kortikosteroid seperti pada pemfigus vulgaris, hanya

dosisnya tidak setinggi seperti pada pengobatan pemfigus vulgaris.. Kortikosteroid

yang paling banyak digunakan ialah prednison dan deksametason. Dosis prednison

bervariasi bergantung pada berat ringannya penyakit, Dosis patokan permulaan

prednison 40-60 mg perhari sampai lesi-lesi berkurang. Setelah penyembuhan

klinis, dosis diturunkan. Kortikosteroid topical dapat digunakan juga misalnya

fluosinolon asetonida 0,25 %, klobetason 0,01 % berkhasiat baik.

2.3.8.7. Prognosis

Penyakit ini dianggap sebagai bentuk jinak pemfigus, karena itu

prognosisnya lebih baik daripada pemfigus vulgaris.

29

BAB III

KESIMPULAN

Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berbula kronik, menyerang kulit

da membrane mukosa yag secara histologik ditandai dengan bula intraepidermal akibat

proses akantolisis dan secara imunopatologik ditemukan antibody terhadap komponen

desmosom pada permukaan keratinosit jenis IgG, yang terkait maupun beredar dalam

sirkulasi darah. Berdasarkan letak bula secara umum pemfigus dibagi menjadi dua

kategori, yaitu pemfigus vulgaris (dengan varian pemfigus vegetans) dan pemfigus

foliaseus (dengan varian pemfigus eritematosus). Semua jenis pemfigus memberi gejala

yang khas, yakni pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal

dan mudah pecah, pada penekanan bula tersebut akan meluas (tanda Nikolski positif),

akatolisis selalu positif, adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interseluler di

epidermis yang dapat ditemukan dalam serum maupun yang terkait di epidermis.

30