Upload
others
View
21
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAPTINDAK PIDANA PEROMPAKAN
(Studi pada Direktorat Perairan Polda Lampung)
(Skripsi)
Oleh
RIKI ANKY WIJAYANPM. 1512011084
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAPTINDAK PIDANA PEROMPAKAN
(Studi pada Direktorat Perairan Polda Lampung)
OlehRIKI ANKY WIJAYA
Direktorat Kepolisian Perairan merupakan salah satu institusi kepolisian yangbertugas di wilayah perairan yang fungsinya mencakup patroli termasukpenanganan pertama terhadap tidak pidana, pencarian dan penyelamatan kecelakaanlaut dan pembinaan masyarakat pantai/perairan serta pembinaan berbagai fungsiKepolisian di dalam lingkungan instansi Kepolisian Daerah. Permasalahan dalampenelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh DirektoratPerairan Polda Lampung terhadap tindak pidana perompakan? (2) Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana oleh Direktorat Perairan PoldaLampung terhadap tindak pidana perompakan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.Narasumber penelitian terdiri atas Penyidik Direktorat Kepolisian Perairan PoldaLampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Datadianalisis secara kualitatif guna memperoleh simpulan.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Penegakan hukum pidana olehDirektorat Perairan Polda Lampung terhadap tindak pidana perompakandilaksanakan dengan proses penyidikan yang didasarkan pada kententuanperundang-undangan. Penyidikan dilaksanakan dengan serangkaian tindakan yangditempuh oleh penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang.Tindakannya meliputi mencari dan mengumpulkan alat bukti terkait tindak pidanaperompakan di wilayah perairan dan menemukan tersangkanya. Setelah penyidikanselesai dilaksanakan maka perkara dilimpahkan ke Kejaksaan dan Pengadilan untukproses hukum selanjutnya sesuai dengan sistem peradilan pidana. (2) Faktor-faktoryang menghambat penegakan hukum pidana oleh Direktorat Perairan PoldaLampung terhadap tindak pidana perompakan terdiri dari faktor aparat penegakhukum, yaitu adanya penyidik yang berpotensi menyalahgunakan kewenangandiskresi, kurangnya kuantitas penyidik Direktorat Kepolisian Perairan dan faktorsarana dan prasarana dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidanaperompakan, yaitu keterbatasan sarana dan prasarana patroli yang ada di DirektoratKepolisian Perairan Polda Lampung, sehingga penyidikan terhadap tindak pidanaperompakan mengalami hambatan.
Riki Anky WijayaSaran dalam penelitian ini adalah: (1) Penyidik Direktorat Kepolisian PerairanPolda Lampung disarankan untuk menambah jumlah sarana prasarana berupa kapalpatroli dengan kategori kapal besar Tipe C1 dalam rangka meningkatkan upayapenegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perompakan. (2) PenyidikDirektorat Kepolisian Perairan Polda Lampung disarankan untuk mengembangkanjaringan kerja sama dengan berbagai pihak dalam penegakan hukum tindak pidanaperompakan.
Kata Kunci: Penegakan Hukum, Perompakan, Direktorat Kepolisian Perairan
i
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAPTINDAK PIDANA PEROMPAKAN
(Studi pada Direktorat Perairan Polda Lampung)
Oleh
RIKI ANKY WIJAYA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai GelarSarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum PidanaFakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 11
September 1997, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putra
dari pasangan Bapak Rahmat dan Ibu Ika Ayu Prihartika.
Riwayat pendidikan formal yang penulis tempuh dan selesaikan
adalah di Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Palapa Tanjung Karang
Pusat Bandar Lampung lulus pada Tahun 2009, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Negeri 25 Bandar Lampung lulus pada Tahun 2012, Sekolah Menegah Atas (SMA)
Utama II Bandar Lampung lulus pada Tahun 2015. Selanjutnya pada Tahun 2015
penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada
bulan Januari-Februari 2018, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKN)
di Desa Indra Loka Mukti Kecamatan Way Kenanga Kabupaten Tulang Bawang
Barat.
vi
MOTO
“Janganlah kamu melihat kepada kecilnya kesalahan,tetapi lihatlah kepada
Maha Besarnya Dzat yang kamu tentang.”
(Bilal bin Sa’ad)
vii
PERSEMBAHAN
Dengan segenap kerendahan hatipenulis persembahkan Skripsi ini kepada :
Kedua Orang Tua PenulisBapak Rahmat dan Ibu Ika Ayu Prihartika
serta Bapak Benu Hasan, atas kasih sayang, pengorbanandan doa-doa yang senantiasa menyertai penulis
dalam menjalani kehidupan
Kakak penulis: Randika Anky Wijayaatas doa dan dukungan yang telah diberikan selama ini
Almamaterku TercintaUniversitas Lampung
viii
SAN WACANA
Alhamdulillahirobbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, sebab hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul: “Penegakan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Perompakan”
(Studi pada Direktorat Perairan Polda Lampung). Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini banyak mendapatkan
bimbingan dan arahan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung
2. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung
3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
4. Ibu Firganefi, S.H., M.H, sebagai Pembimbing I, atas bimbingan dan saran yang
diberikan dalam proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
5. Bapak Damanhuri W.N., S.H., M.H, sebagai Pembimbing II, atas bimbingan
dan saran yang diberikan dalam proses penyusunan hingga selesainya skripsi ini.
ix
6. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku Penguji Utama, atas masukan dan
saran yang diberikan dalam perbaikan skripsi ini.
7. Ibu Maya Safira, S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas, atas masukan dan saran
yang diberikan dalam perbaikan skripsi ini.
8. Para narasumber atas bantuan dan informasi serta kebaikan yang diberikan demi
keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.
9. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama menempuh studi.
10. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
11. Para narasumber atas bantuan dan informasi serta kebaikan yang diberikan demi
keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu
Penulis berdoa semoga kebaikan yang telah diberikan kepada Penulis akan pahala di
sisi Allah SWT dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Bandar Lampung, Juli 2019
Penulis
Riki Anky Wijaya
DAFTAR ISI
Halaman
II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 14
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana ........................................ 14
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perompakan ................................... 19
C. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Pidana .................................... 24
D. Tinjauan tentang Direktorat Perairan Kepolisian Daerah ................. 32
E. Teori Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana........... 34
III METODE PENELITIAN ..................................................................... 35
A. Pendekatan Masalah.......................................................................... 35
B. Sumber dan Jenis Data ...................................................................... 35
C. Penentuan Narasumber...................................................................... 37
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................. 37
E. Analisis Data ..................................................................................... 38
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 39
A. Penegakan Hukum Pidana oleh Direktorat Perairan Polda Lampungterhadap Tindak Pidana Perompakan................................................ 39
I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 6
D. Kerangka Teori dan Konseptual........................................................ 7
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 12
B. Faktor-Faktor Penghambat Penegakan Hukum Pidana olehDirektorat Perairan Polda Lampung terhadap Tindak PidanaPerompakan....................................................................................... 65
V PENUTUP ............................................................................................... 75
A. Simpulan ........................................................................................... 75
B. Saran.................................................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu institusi penegak
hukum yang melaksanakan tugas dan fungsi berdasarkan legitimasi hukum yang
berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Fungsi utama dari Kepolsiian adalah menegakkan
hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum, sehingga dapat dikatakan
bahwa tugas Kepolisian adalah melakukan pencegahan terhadap tindak pidana dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat.1
Institusi dan anggota Kepolisian merupakan yang hidup dalam mencapai
pelaksanaan tugas-tugas kepolisian di bidang penagakan hukum, memberikan
perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan tugas
pokok kepolisian menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Fungsi kepolisian menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah
melaksanakn fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Wewenang kepolisian menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2
1 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009, hlm.40
2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa kepolisian
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan pada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Perincian tugas pokok, fungsi dan wewenang Kepolisian tersebut merupakan
komitmen yang harus dicapai di bidang penegakan hukum. Persoalan mulai
timbul pada saat dipertanyakan dengan cara bagaimanakah tujuan tersebut hendak
dicapai. Ternyata pekerjaan Kepolisian tersebut hanya boleh dijalankan dengan
mengikuti dan mematuhi berbagai pembatasan tertentu. Salah satu dari
pembatasan-pembatasan tersebut adalah hukum. Polisi ditugasi untuk
menciptakan dan memelihara ketertiban dalam kerangka hukum yang berlaku2.
Pada dasarnya anggota Polisi merupakan pekerja sosial berseragam, tidak dapat
disangkal bahwa mereka menyediakan sesuatu yang dalam arti luas dapat disebut
sebagai pelayanan sosial bagi masyarakat yang menjadi tanggung jawab mereka.
Jelas, hanya sebagian kecil dari kerja rutin aparat kepolisian harus mengarah
kepada mencegah, menjawab, dan menangani tindak pidana.3
Tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku tidak hanya terjadi di daerah
perkotaan dan pedesaan, tetapi juga terjadi kepada para nelayan yang bekerja
mencari nafkah di tengah lautan. Nelayan sebagai bagian dari masyarakat juga
yang patut dilindungi dalam hukum nasional sebab pada umumnya nelayan
termasuk warga negara Indonesia yang berekonomi lemah.
2Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,2009, hlm. 1133Robert R. Friedmann, Kegiatan Polisi dalam pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakatperbandingan perspektif dan prospeknya, PT. Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, hlm. 83-84
3
Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mata pencahariannya sebagian
besar bersumber dari aktivitas menangkap dan mengumpulkan hasil laut dan
sebagai mata pencaharian utama bagi para nelayan, aktivitas yang dilakukan
tersebut sebagai sumber utama kesejahteraan nelayan. Hal ini sesuai dengan Pasal
2 huruf (i) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam bahwa dalam
mewujudkan perlindungan dan pemberdayaan nelayan, harus berdasarkan pada
asas kesejahteraan. Asas kesejahteraan yang dimaksud adalah penyelenggaraan
perlindungan dan pemberdayaan nelayan harus dilakukan guna mencapai
kesejahteraan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam, namun
nampaknya asas tersebut belum terimplementasikan dengan baik dan belum
dirasakan manfaatnya oleh para nelayan mengingat masih terjadinya tindak pidana
perampasan terhadap hasil tangkapan nelayan di wilayah perairan.
Contoh kasus tindak pidana yang terjadi di wilayah perairan adalah tindak pidana
perompakan yang dilakukan oleh para perompak terhadap para nelayan. Contoh
kasusnya terjadi pada 18 September 2018, di mana Direktorat Kepolisian Perairan
Polda Lampung menangkap tiga orang pelaku perompakan yaitu MY, warga
Rawajitu, Tulangbawang; SD, warga Lampung Tengah; dan DD, warga
Tulangbawang. Sementara empat rekan mereka masih dalam pengejaran, yakni
WW, GY, AN, dan PR. Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam penegakan hukum di wilayah
perairan. 4
4 http://lampung.tribunnews.com/2018/09/13/breaking-news-ditpolairud-polda-lampung-tangkap-3-perompak. Diakses Rabu 26 Desember 2018
4
Tindak pidana perompakan atau pembajakan di laut diatur dalam Pasal 444
KUHP yang menyatakan bahwa jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam
Pasal 438 sampai dengan Pasal 441 mengakibatkan seseorang di kapal yang
diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka nahkoda, komandan atau
pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan,
diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Adapun ketentuan Pasal 438 KUHP sebagaimana dimaksud adalah:
(1) Diancam karena melakukan pembajakan di laut:1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa
masuk bekerja menjadi nahkoda atau menjalankan pekerjaan itu disebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkanatau digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan dilautan bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang diatasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yangberperang atau tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui;
2. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapamengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk bekerjamenjadi kelasi kapal tersebut atau dengan suka rela terus menjalankanpekerjaan tersebut setelab hal itu diketahui olehnya, ataupun termasukanak buah kapal tersebut.
(2) Disamakan dengan tidak punya surat kuasa, jika melampaui apa yangdikuasakan, demikian juga jika memegang surat kuasa dari negara-negarayang berperang satu dengan yang lainnya
Tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 438 KUHP merupakan persiapan
untuk melakukan kekerasan di tengah laut. Sebabnya karena dalam praktik, baru
menjadi persoalan dan dilakukan penyidikan dan penuntutan apabila telah terjadi
suatu perompakan yang sebenarnya di tengah laut. Tindak pidana perompakan ini
biasanya disertai dengan ancaman atau kekerasan oleh para pelaku terhadap
korbannya.
5
Salah satu institusi Kepolisian yang bertugas di wilayah perairan adalah
Direktorat Kepolisian Perairan. Menurut Keputusan Kapolri Nomor Pol: Kep /53
/X /2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-
Satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik
Indonesia, ruang lingkup kegiatan Direktorat Kepolisian Perairan dengan tugas
pokoknya yaitu sebagai penyelenggara fungsi Kepolisian perairan yang mencakup
patroli termasuk penanganan pertama terhadap tidak pidana, pencarian dan
penyelamatan kecelakaan laut dan pembinaan masyarakat pantai/perairan serta
pembinaan berbagai fungsi Kepolisian di dalam lingkungan instansi Kepolisian
Daerah.
Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung dalam melaksanakan penegakan
hukum tersebut pada dasarnya melaksanakan tugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia yaitu memelihara keamanan dalam negeri dengan menyelenggaraan
berbagai fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dilakukan oleh Kepolisian selaku alat negara yang dibantu oleh
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mengingat bahwa
tindak pidana perompakan merupakan suatu perbuatan melanggar hukum maka
menjadi kewajiban Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui jajaran di
bawahnya untuk menangani masalah ini, yaitu dengan semaksimal mungkin
menekan angka kriminalitas, khususnya tindak pidana perompakan sebagai kajian
penelitian.
6
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka penulis akan melaksanakan
penelitian dalam Skripsi yang berjudul ”Penegakan Hukum Pidana terhadap
Tindak Pidana Perompakan (Studi pada Direktorat Perairan Polda
Lampung)”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh Direktorat Perairan Polda
Lampung terhadap tindak pidana perompakan?
b. Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana oleh Direktorat
Perairan Polda Lampung terhadap tindak pidana perompakan?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini ialah hukum pidana, dengan kajian
mengenai penegakan hukum pidana oleh Direktorat Perairan Polda Lampung
terhadap tindak pidana perompakan. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada
Direktorat Perairan Polda Lampung dan Badan Keamanan Laut. Penelitian
dilaksanakan pada Tahun 2019.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana oleh Direktorat Perairan Polda
Lampung terhadap tindak pidana perompakan
7
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana oleh
Direktorat Perairan Polda Lampung terhadap tindak pidana perompakan
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan berguna dalam menambah pengetahuan dalam
pengkajian ilmu hukum hukum pidana mengenai penegakan hukum pidana
oleh Direktorat Perairan Polda Lampung terhadap pelaku tindak pidana
perompakan.
b. Secara praktis
Kegunaan penulisan skripsi ini diharapkan berguna untuk memberikan
sumbang saran dan pemikiran kepada masyarakat luas serta aparat penegak
hukum dan instansi terkait dalam melaksanakan penegakan hukum pidana pada
masa-masa yang akan datang.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan,
asas, keterangan sebagai satu kesatuan logis yang menjadi landasan, acuan dan
pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.5
5Abdulkadir muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm73
8
a. Teori Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana menurut Badra Nawawi Arief sebagaimana dikutip
Heni Siswanto adalah: (a) keseluruhan rangkaian kegiatan penyelenggara/
pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga masyarakat sesuai harkat
dan martabat manusia serta pertanggungjawaban masing-masing sesuai dengan
fungsinya secara adil dan merata, dengan aturan hukum dan peraturan hukum dan
perundang-undangan yang merupakan perwujudan Pancasilan dan Undang-
Undang Dasar 1945; (b) keseluruhan kegiatan dari para pelaksana penegak hukum
ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian hukum sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 19456
Menurut Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Heni Siswanto, pada
hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in
abstractio dan in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan system
(penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijakan pembangunan nasional (national development). Ini berarti bahwa
penegakan hukum pidana in abstraction (pembuatan/perubahan UU; law
making/law reform) dalam penegakan hukum pidana in concreto (law
enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi
pembangunan nasional (bangnas) dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan)
hukum nasional.7
6 Heni Siswanto, Rekonstruksi Sistem Penegakan Hukum Pidana Menghadapi KejahatanPerdagangan Orang. Penerbit Pusataka Magister, Semarang, 2013, hlm.17 Ibid, hlm.86
9
Penegakan hukum in concreto (law enforcement) tidak dapat dilakukan secara
penuh, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Joseph Goldstein dalam Mardjono Reksodiputro, diartikan dalam kerangka
tiga konsep, yaitu:
1) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebutditegakkan tanpa terkecuali
2) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dansebagainya demi perlindungan kepentingan individual
3) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang munculsetelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas SDM,kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.8
Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada
KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda
dengan penegakan hukum pidana seperti zaman Belanda. Hal ini wajar karena
kondisi lingkungan atau kerangka hukum nasional (national legal framework)
sebagai tempat dioperasionalisasikannya KUHP buatan Belanda sudah berubah.
Menjalankan KUHP buatan Belanda di Belanda atau di jaman Penjajahan Belanda
tentunya berbeda dengan di zaman Republik Indonesia. Ini berarti penegakan
hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya harus
memperhatikan juga rambu-rambu umum proses peradilan (penegakan hukum dan
keadilan) dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus
berada dalam konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum
nasional/national legal framework) dan bahkan dalam konteks bangnas dan
bangkumnas sebagai penegakan hukum pidana di Indonesia. 9
8 Mardjono Reksodiputro. Op.Cit, hlm.77.9 Ibid, hlm.87
10
b. Teori Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan
perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang
mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan
kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas
atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan
hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus
dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan
hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin
menjalankan peran semestinya.
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan
hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk
11
mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat
maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-
nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin
banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan
kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah dalam menegakannya.10
2. Konseptual
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau
menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang
berkaitan dengan istilah.11 Kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Penegakan hukum pidana adalah keseluruhan rangkaian kegiatan
penyelenggara/ pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban warga
masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban
masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata, dengan aturan
hukum dan peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan
perwujudan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 194512
b. Direktorat Kepolisian Perairan menurut Keputusan Kapolri Nomor Pol: Kep
/53 /X /2002 tanggal 17 Oktober 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit UI.Jakarta, 1986. hlm 8-1111 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian hukum, Jakarta, 1983. hlm 3212 Heni Siswanto, Op.cit., hlm.1
12
Satuan-Satuan Organisasi pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara
Republik Indonesia, ruang lingkup kegiatan Direktorat Kepolisian Air sesuai
dengan tugas pokoknya yaitu sebagai penyelenggara fungsi Kepolisian
perairan yang mencakup patroli termasuk penanganan pertama terhadap tidak
pidana, pencarian dan penyelamatan laka laut dan pembinaan masyarakat
perairan serta bina fungsi Kepolisian dalam lingkungan Kepolisian Daerah.
c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar larangan itu. Tindak pidana merupakan pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku13
d. Perompakan adalah setiap perbuatan kekerasan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh suatu kapal tertentu terhadap kapal lainnya di laut bebas
dengan maksud untuk mengambil alih barang berharga secara tidak sah14
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, permasalahan, ruang lingkup, tujuan dan
kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual yang akan
dipergunakan serta sistematika penulisan.
13 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 2314 Abdul Ghafur Hamid, Kerjasama ASEAN dalam Meningkatkan Keamanan di Laut denganMemerangi Pembajakan dan Perompakan.2011.hlm. 82.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini merupakan pengantar dalam memahami pengertian-pengertian umum
tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat teoritis
mengenai penegakan hukum pidana oleh Direktorat Perairan Polda Lampung
terhadap pelaku tindak pidana perompakan.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat pendekatan masalah, langkah-langkah dalam penelitian, sumber
dan jenis data yang digunakan, penentuan narasumber, pengumpulan dan
pengolahan data, serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat deskripsi hasil penelitian dan pembahasan mengenai penegakan
hukum pidana oleh Direktorat Perairan Polda Lampung terhadap tindak pidana
perompakan dan faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana oleh
Direktorat Perairan Polda Lampung terhadap tindak pidana perompakan.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan hasil akhir yang memuat kesimpulan dan saran penulis.
Kesimpulan diambil berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah
dilakukan oleh penulis. Saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang
merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikan di masa-masa yang
akan datang.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Jenis-Jenis Tindak Pidana
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang
yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan15
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.16
Tingkah laku yang jahat immoral dan anti sosial akan menimbulkan reaksi berupa
kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas akan merugikan
masyarakat umum. Mengingat kondisi tersebut maka setiap warga masyarakat
keseluruhan secara keseluruhan, bersama-sama dengan lembaga-lembaga resmi
yang berwenang seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga
15 Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.2001. hlm. 1916 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti.Bandung.1996. hlm. 16.
15
pemasyarakatan dan lain-lain wajib menanggulangi setiap tindak kejahatan atau
kriminal. Setiap kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu
akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah.
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana
merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah
laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka
akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu
yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-
undang maupun peraturan17
Moeljatno menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut. Terkait dengan masalah pengertian tindak pidana, lebih lanjut
Moeljatno mengemukakan bahwa terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan:
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dandiancam pidana
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yangditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepadaorang yang menimbulkan kejadian itu.
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karenaantara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan eratpula. ”Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, danorang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkanolehnya”. 18
17 Ibid, hlm. 17.18 Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm. 34
16
Pengertian tindak pidana oleh A. Ridwan Halim menggunakan istilah delik untuk
menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya sebagai suatu perbuatan atau
tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 19
Hazewinkel-Suringga memberikan suatu rumusan yang bersifat umum mengenai
strafbaarfeit yaitu suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah
ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku
yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. 20
Tindak pidana pada dasarnya merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum
pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk
memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal
yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak
pidana. Pembahasan hukum pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian
pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-
dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.
Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis
yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf”
yang dapat diartikan sebagai ”hukuman”. 21
Sudarto menyatakan untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak
19 Ridwan A. Halim, Hukum Pidana dan Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 31.20 P.A.F Lamintang, Op.Cit, hlm. 172.21 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 37.
17
pidana. Jadi seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan
memenuhi unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit).22
Unsur-unsur (strafbaarfeit) atau unsur-unsur tindak pidana menurut Simons ialah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat ataumembiarkan);
b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld );c. Melawan hukum (onrechtmatig);d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon). 23
Sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana tersebut di atas, Simons kemudian
membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit. Bahwa
yang dimaksud unsur obyektif adalah perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari
perbuatan itu dan keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu. Sedangkan yang
dimaksud unsur subyektif adalah orang yang mampu bertanggung jawab dan
adanya kesalahan (dolus atau culpa). Menurut Van Hamel bahwa unsur-unsur
tindak pidana meliputi:
a. Adanya perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;
b. Bersifat melawan hukum;
c. Dilakukan dengan kesalahan, dan
d. Patut di pidana. 24
Andi Hamzah mengemukakan bahwa jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas
dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lainkejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam
22 Ibid, hlm. 175.23 Ibid, hlm. 176.24 Ibid, hlm. 177.
18
Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itubukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke IIdan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukumpidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindakpidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yangdirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalahpada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkanakibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidanasengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antaralain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengajamenyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengansengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapatdipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkanmatinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 danPasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktifjuga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannyadiisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnyaPencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidanapasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidanamurni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidanayang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnyadiatur dalam Pasal 224, Pasal 304 dan Pasal 552 KUHP. Tindak pidana tidakmurni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandungunsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalamPasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebutmeninggal25
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri
dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil
dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja
serta tindak pidana aktif dan pasif.
25 Ibid, hlm. 77
19
B. Tindak Pidana Perompakan
Pengaturan mengenai tindak pidana perompakan atau pembajakan dalam hukum
pidana nasional terdapat dalam Pasal 444 KUHP: Jika perbuatan kekerasan yang
diterangkan dalam Pasal 438 sampai dengan Pasal 441 mengakibatkan seseorang
di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka nakoda.
komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan
kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Adapun ketentuan Pasal 438 KUHP sebagaimana dimaksud adalah:
(1) Diancam karena melakukan pembajakan di laut:1. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, barang siapa masuk
bekerja menjadi nahkoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal,padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untukmelakukan perbuatan-perbuatan kekerasan di lautan bebas terhadap kapallain atau terhadap orang dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasauntuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk angkatanlaut suatu negara yang diakui;
2. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, barang siapamengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk bekerjamenjadi kelasi kapal tersebut atau dengan suka rela terus menjalankanpekerjaan tersebut setelab hal itu diketahui olehnya, ataupun termasukanak buah kapal tersebut.
(2) Disamakan dengan tidak punya surat kuasa, jika melampaui apa yangdikuasakan, demikian juga jika memegang surat kuasa dari negara-negarayang berperang satu dengan yang lainnya
Tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 438 KUHP merupakan persiapan
untuk melakukan kekerasan di tengah laut. Sebabnya karena dalam praktik, baru
menjadi persoalan dan dilakukan penyidikan dan penuntutan apabila telah terjadi
suatu perompakan yang sebenarnya di tengah laut.
20
Pasal 439 KUHP mengatur bahwa barangsiapa yang dengan memakai kapal lain
atau terhadap orang atau barang di atasnnya di dalam wilayah laut Indonesia (laut
teritorial Indonesia). Jadi, sebetulnya pembajakan di laut dekat pantai. Ancaman
hukumannya pidana penjara paling lama 15 tahun, sama dengan Pasal 440 dan
Pasal 441 KUHP.
Ketentuan Pasal 440 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa yang di darat
maupun di air sekitar pantai atau muara sungai melakukan perbuatan kekerasan
terhadap orang atau barang di situ, setelah lebih dahulu menyeberangi lautan atau
sebagainya untuk tujuan tersebut. Pasal 441 KUHP menyatakan bahwa diancam
karena melakukan pembajakan di sungai dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun, barang siapa dengan memakai kapal melakukan perbuatan kekerasan
di sungai terhadap kapal lain atau terhadap orang atau barang di atasnya, setelah
datang ke tempat dan untuk tujuan tersebut dengan kapal dari tempat lain
Berdasarkan ketentuan Pasal 444 KUHP di atas maka diketahui bahwa hukuman-
hukuman dari Pasal 438 sampai dengan Pasal 441 dinaikkan menjadi hukuman
mati atau hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun apabila perbuatan-
perbuatan kekerasan tersebut mengakibatkan matinya orang yang diserang atau
yang ada pada kapal yang diserang.
Tindak pidana perompakan dalam hukum pidana internasional terdapat dalam
Pasal 101 Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation
Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982, yang mendefinisikan
pembajakan sebagai:
21
a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan illegal, atau setiap tindakanpenyusutan, berkomitmen untuk kepentingan pribadi oleh awak ataupenumpang kapal pribadi atau pesawat pribadi, yang ditujukan:1) Pada laut lepas, terhadap kapal lain atau pesawat udara, atau terhadap
orang atau barang di kapal atau pesawat udara;2) Terhadap pesawat, kapal, orang atau barang di suatu tempat di luar
yurisdiksi Negara manapunb. Setiap tindakan partisipasi sukarela dalam pengoprasian kapal atau pesawat
udara dengan pengetahuan tentang fakta membuatnya menjadi kapal bajak lautatau pesawat udara;
c. Setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan yang diuraikandalam sub bab (a) atau (b).26
Pembajakan merupakan kejahatan yang dilakukan dengan cara kekerasan, maka
yang dilakukan seharusnya bukan lagi negosiasi ataupun dialog atau bahkan
dengan menggunakan uang tebusan. Upaya-upaya ini pada dasarnya tidak akan
menyelesaikan persoalan secara menyeluruh karena tidak memberikan efek jera
sedikitpun terhadap para perompak itu. Bahkan yang terjadi sebaliknya, dengan
adanya uang tebusan justru akan semakin membuat para perompak itu berjaya dan
akan mengulangi perbuatan mereka lagi. Hingga diperlukan usaha yang lebih
komprehensif untuk menyelesaikan masalah pembajakan ini, salah satunya yaitu
dengan menggunakan otoritas Mahkamah Pidana Internasional.
Pada saat ini terdapat dua perjanjian internasional, yang mengatur tindakan
pembajakan dalam negeri. Perjanjian tersebut pertama adalah Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) sebuah perjanjian dengan 160 negara yang secara khusus
mendefinisikan pembajakan, yang kedua adalah konvensi untuk Pemberantasan
Tindakan Melawan Hukum Terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Convention
for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation/
26 Abdul Ghafur Hamid, Kerjasama ASEAN dalam Meningkatkan Keamanan di Laut denganMemerangi Pembajakan dan Perompakan.2011.hlm. 82.
22
Konvensi SUA) – yang telah disepakati oleh 156 negara dan dirancang guna
menanggapi insiden Achille Lauro ketika teroris Palestina membajak sebuah
kapal pesiar Italia, Konvensi SUA meliputi pembajakan kapal yang bermotif
politik.27
Sementara itu Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang dibentuk pada 2002
sebagai sebuah pengadilan permanen untuk menuntut individual untuk genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, sebagaimana didefinisikan
oleh beberapa persetujuan internasional terutama Rome of Statute of the
International Criminal Court. Mahkamah Pidana Internasional dirancang untuk
membantu sistem yudisial nasional yang telah ada, namun pengadilan ini dapat
melaksanakan yurisdiksinya bila pengadilan negara tidak mau atau tidak mampu
untuk menginvestigasi atau menuntut kejahatan seperti di atas dan menjadi
“pengadilan dan upaya terakhir”, meninggalkan kewajiban utama untuk
menjalankan yurisdiksi terhadap kriminal tertuduh kepada negara individual.28
Berdasarkan uraian di atas maka upaya untuk menanggulangi tindak pidana
pembajakan dalam konteks hukum pidana internasional dilakukan menggunakan
dua pendekatan yaitu sara domestik dan menggunakan hukum internasional di
tingkat nasional dan Penggunaan hukum internasional menggunakan pengadilan
supranasional atau tribunal khusus, seperti Mahkamah Pidana Internasional.29
27 Ibid, hlm.83.28 Boer Mauna, Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni2000. hlm.21.29 Ibid. hlm.23.
23
Pada dasarnya forum terbaik untuk penuntutan peradilan tindak pidana adalah
pengadilan nasional, bukan pengadilan supranasional, dengan alasan:
1. Pengadilan nasional merupakan pengadilan terdekat dengan lokasi di mana
tindak pidana tersebut dilakukan. Oleh karena itu, lokasi pengadilan juga
harus dekat dengan bukti yang diperlukan untuk mengadili pelanggaran: yaitu,
terdakwa, korban, saksi, dan bukti fisik. Selain itu, kedekatan dengan lokasi
pelanggaran berarti proses sidang akan dilangsungkan dalam bahasa terdakwa
dan penasihat hukumnyapun wajib memahami dan memungkinkan terdakwa
jika terbukti bersalah untuk menjalani hukuman di negaranya sendiri, agar
tetap dapat berdekatan dengan keluarga. Pengadilan nasional juga harus dekat
dengan masyarakat yang nilai-nilai dan aturan yang dilanggar sebagai akibat
dari kejahatan yang dilakukan. Sebuah pengadilan lokal mungkin lebih
mampu menyelesaikan dan memberikan keadilan kepada masyarakat yang
telah menderita dan mengalami kerugian dari kejahatan yang dilakukan
2. Melanjutkan melalui pengadilan nasional sering dianggap lebih murah
daripada mengadili tindak pidana melalui proses di pengadilan supranasional/
internasional, yaitu jikalau berhubungan dengan jenis pelanggaran, saksi dan
bukti. 30
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa asas pertanggungjawaban
pidana individu dari sudut hukum pidana internasional berbeda dengan sudut
pandang hukum pidana yang telah berlaku universal. Masalah
pertanggungjawaban individu tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban
Negara. Lahirnya asas pertanggungjawaban pidana individu dalam hukum pidana
30 Ibid. hlm.24.
24
internasional merupakan kekhususan dan kekecualian dari prinsip hukum
internasional publik, yang tidak mengakui individu sebagai subjek hukumnya.
C. Tinjauan tentang Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana merupakan upaya aparat penegak hukum untuk dapat
menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum pada era
modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi
kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian
antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai aktual di dalam masyarakat
beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk
masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah keharusan untuk melihat
penegakan hukum pidana sebagai sistem peradilan pidana31
Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelengaraan penegakan hukum
pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-
sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sistematik ini tindakan badan
yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut
masing-masing menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.
Penegakan hukum menurut Joseph Goldstein dalam Mardjono Reksodiputro,
diartikan dalam kerangka tiga konsep wilayah penegakan hukum, yaitu sebagai
berikut:
31 Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan dan PenegakanHukum dalam Batas-Batas Toleransi, Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta,1994,hlm.76.
25
4) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut
ditegakkan tanpa terkecuali
5) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan
sebagainya demi perlindungan kepentingan individual
6) Konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul
setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan-
keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas SDM,
kualitas perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.32
Penegakan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief adalah: (a) keseluruhan
rangkaian kegiatan penyelenggara/pemeliharaan keseimbangan hak dan kewajiban
warga masyarakat sesuai harkat dan martabat manusia serta pertanggungjawaban
masing-masing sesuai dengan fungsinya secara adil dan merata, dengan aturan
hukum dan peraturan hukum dan perundang-undangan yang merupakan
perwujudan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar 1945; (b) keseluruhan
kegiatan dari para pelaksana penegak hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan
dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman
dan kepastian hukum sesuai dengan UUD 1945 33
Kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam penegakan in abstracto dan
in concreto, merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem (penegakan)
hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang kebijkaan
32 Ibid, hlm.77.33 Barda Nawawi Arif. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2004. hlm.12
26
pembangunan nasional (national development. Ini berarti bahwa penegakan
hukum pidana in abstraction (pembuatan/perubahan UU; law making/law reform)
dalam penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya
bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional dan
menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional. 34
Hukum dalam hal ini merupakan sarana bagi penegakan hukum. Penegakan
hukum mengandung makna bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
dilarang oleh aturan hukum dan disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu sebagai pertanggungjawabannya Sistem peradilan pidana adalah
sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan
mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan
yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan
tidak mengulangi lagi kejahatannya.35
Pandangan penyelenggaran tata hukum pidana demikian itu disebut sebagai model
kemudi (stuur model). Jadi kalau polisi misalnya hanya memarahi orang yang
melanggar peraturan lalu lintas dan tidak membuat proses verbal dan meneruskan
perkaranya ke Kejaksaan, itu sebenarnya merupakan suatu keputusan penetapan
hukum. Demikian pula keputusan Kejaksaan untuk menuntut atau tidak menuntut
seseorang di muka pengadilan. Ini semua adalah bagian dari kegiatan dalam
rangka penegakan hukum, atau dalam suasana kriminologi disebut crime control
34 Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.7.35 Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 2.
27
suatu prinsip dalam penanggulangan kejahatan ini ialah bahwa tindakan-tindakan
itu harus sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Penegakan hukum adalah merupakan suatu persoalan yang dihadapi oleh setiap
masyarakat. Walaupun kemudian setiap masyarakat dengan karakteristiknya
masing-masing, mungkin memberikan corak permasalahannya tersendiri di dalam
kerangka penegakan hukumnya. Namun setiap masyarakat mempunyai tujuan
yang sama, agar di dalam masyarakat tercapai kedamaian sebagai akibat dari
penegakan hukum yang formil. Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu
pihak terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat ekstern dan di lain pihak
terdapat ketenteraman pribadi intern. Demi tercapainya suatu ketertiban dan
kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang
agar kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu
terganggu, maka hukum harus melindunginya, serta setiap ada pelanggaran
hukum. Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa
membeda-bedakan atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Karakteristik hukum sebagai kaedah selalu dinyatakan berlaku umum untuk siapa
saja dan di mana saja dalam wilayah negara, tanpa membeda-bedakan. Meskipun
ada pengecualian dinyatakan secara eksplisit dan berdasarkan alasan tertentu yang
dapat diterima dan dibenarkan. Pada dasarnya hukum itu tidak berlaku secara
diskriminatif, kecuali oknum aparat atau organisasi penegak hukum dalam
kenyataan sosial telah memberlakukan hukum itu secara diskriminatif. Akhirnya
penegakan hukum tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat. Penegakan hukum, tekanannya selalu diletakkan pada
28
aspek ketertiban. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karena hukum
diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah
sangat keliru sekali, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang
menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum. 36
Hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah sebagai aturan dan proses sosial
yang mencoba mendorong perilaku, baik yang berguna atau mencegah perilaku
yang buruk. Di sisi lain kontrol sosial adalah jaringan atau aturan dan proses yang
menyeluruh yang membawa akibat hukum terhadap perilaku tertentu, misalnya
aturan umum perbuatan melawan hukum. Tidak ada cara lain untuk memahami
sistem hukum selain melihat perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan
keputusan pemerintah atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Jika seseorang berperilaku secara khusus adalah karena diperintahkan
hukum atau karena tindakan pemerintah atau pejabat lainnya atau dalam sistem
hukum. Namun demikian dibutuhkan kontrol sosial terhadap pemerintah, karena
tidak dapat dipungkiri, bahwa tiada kuda tanpa kekang. Begitu juga tiada
penguasa dan aparaturnya yang bebas dari kontrol sosial.
Hukum akan menjadi berarti apabila perilaku manusia dipengaruhi oleh hukum
dan apabila masyarakat menggunakan hukum menuruti perilakunya, sedangkan di
lain pihak efektivitas hukum berkaitan erat dengan masalah kepatuhan hukum
sebagai norma. Hal ini berbeda dengan kebijakan dasar yang relatif netral dan
bergantung pada nilai universal dari tujuan dan alasan pembentukan undang-
undang. Dalam praktek dapat dilihat bahwa ada undang-undang sebagian besar
36 Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Melihat Kejahatan dan PenegakanHukum dalam Batas-Batas Toleransi. Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum. Jakarta. 1994.hlm.56
29
dipatuhi dan ada undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan
runtuh jika setiap orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu
akan kehilangan maknanya.37
Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan
kuantitas ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum,
termasuk perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan
hukum yang menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian
hukum dapat dilihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan
kepastian karena hukum. Kepastian dalam hokum dimaksudkan bahwa setiap
norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di dalamnya
tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa
perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma
hukum yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga
timbul penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada
ketidakpastian hukum. Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan,
bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian, misalnya hukum
menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan lewat waktu seseorang akan
mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum dapat menjamin adanya
kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan mendapatkan sesuatu hak
tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
37 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya”, CetakanPertama, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002. hlm.12-13
30
Hukum tidak identik dengan undang-undang, jika hukum diidentikkan dengan
perundang-undangan, maka salah satu akibatnya dapat dirasakan, adalah kalau ada
bidang kehidupan yang belum diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan
hukum tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Demikian juga kepastian
hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang. Apabila kepastian
hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, dalam proses penegakan
hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang, akan cenderung mencederai rasa keadilan
masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik tolak pada
hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus
memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistim hukum yang berlaku. 38
Berbicara tentang nilai kepastian hukum, maka sebagai nilai tuntutannya adalah
semata-mata peraturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan. Pada
umumnya bagi praktisi hanya melihat pada peraturan perundang-undangan saja
atau melihat dari sumber hukum yang formil. Sebagaimana diketahui undang-
undang itu, tidak selamanya sempurna dan tidak mungkin undang-undang itu
dapat mengatur segala kebutuhan hukum dalam masyarakat secara tuntas.
Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu
tidak ada ataupun tidak sempurna. Keadaan ini tentunya menyulitkan bagi hakim
untuk mengadili perkara yang dihadapinya. Namun, dalam menjalankan fungsinya
38 Ibid. hlm.17
31
untuk menegakkan keadilan, maka hakim tentunya tidak dapat membiarkan
perkara tersebut terbengkalai atau tidak diselesaikan sama sekali.
Keadilan dalam pelaksanaan penegakan hukum harus diperhatikan, namun
hukum itu tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat
setiap orang, bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum
tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat
subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.39 Adil bagi seseorang belum
tentu dirasakan adil bagi orang lain.Keabsahan berlakunya hukum dari segi
peraturannya barulah merupakan satu segi, bukan merupakan satu-satunya
penilaian, tetapi lebih dari itu sesuai dengan potensi ketiga nilai-nilai dasar yang
saling bertentangan. Apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang harus
dipenuhi oleh suatu peraturannya, bisa saja dinilai tidak sah dari kegunaan atau
manfaat bagi masyarakat.
Hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri,
melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin
yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara
pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup
menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim
diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-
nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian,
hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan
kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil.
39 Sudikno Mertokusumo, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, (Yoyakarta: Citra Aditya Bakti,1993), hlm. 2.
32
D. Tinjauan tentang Direktorat Perairan Kepolisian Daerah
Kepolisian menurut Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia), adalah segala hal-ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Menurut Pasal 2, fungsi Kepolisian adalah di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyatakan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan Pasal 202 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat
Kepolisian Daerah, Ditpolair merupakan unsur pelaksana tugas pokok Polda yang
berada di bawah Kapolda. Ditpolair bertugas menyelenggarakan fungsi
kepolisian perairan yang mencakup patroli di perairan, Search And Rescue di
wilayah perairan, dan Binmas pantai atau perairan serta pembinaan fungsi
kepolisian perairan dalam lingkungan Polda.
Ditpolair dalam melaksanakan tugas tersebut, menyelenggarakan fungsi:
a. Pemeliharaan dan perbaikan fasilitas serta sarana kapal di lingkungan Polda
33
Fungsi ini dilaksanakan dengan pemeliharaan dan perbaikan fasilitas berupa
kantor Ditpolair, kapal patroli, sarana komunikasi dan perangkat komputer
b. Pelaksanaan patroli, pengawalan penegakan hukum di wilayah perairan, dan
Binmas pantai di daerah hukum Polda;
Fungsi ini dilaksanakan dengan mengadakan patroli rutin di wilayah perairan
dalam rangka pencegahan tindak pidana perikanan, tindak pidana perompakan
di laut maupun penyelundupan.
c. Pemberian bantuan SAR di laut/perairan;
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan bantuan SAR di wilayah laut
dalam rangka evakuasi dan penyelamatan korban akibat kecelakaan di laut
maupun korban bencana alam.
d. Pelaksanaan transportasi kepolisian di perairan;
Fungsi ini dilaksanakan dengan memfasilitas transportasi kepolisian di
wilayah perairan, yaitu kegiatan pengamanan terhadap transportasi perairan.
e. Pelaksanaan telekomunikasi dan informatika di perairan;
Fungsi ini dilaksanakan dengan pengembangan jaringan telekomunikasi dan
informatika di perairan dalam rangka mempermudah koordinasi dengan pihak-
pihak terkait seperti TNI Angkatan Laut maupun Kantor Kepabeanan
f. Pengumpulan dan pengolahan data serta penyajian informasi dan dokumentasi
program kegiatan Ditpolair.
Fungsi ini dilaksanakan dalam rangka sistem pelaporan kinerja Ditpolair
dengan cara mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data atau informasi
serta mendokumentasikan program kegiatan Ditpolair yang telah
dilaksanakan.
34
E. Teori Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan
perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang
mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadipertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakankonsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkankepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
2) Faktor penegak hukumSalah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitasatau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakanhukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harusdinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitasSarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yangberpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakanhukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkinmenjalankan peran semestinya.
4) Faktor masyarakatMasyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakanhukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untukmencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakatmaka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor KebudayaanKebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakinbanyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengankebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah dalam menegakannya.40
40 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit UI.Jakarta, 1986. hlm 8-11
35
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Metode pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan metode
yuridis normatif yaitu metode pendekatan penelitian yang dilakukan untuk
mempelajari dan mengkaji serta menelaah peraturan perundang-undangan, asas-
asas dan teori/konsep yang berhubungan atau yang kaitannya dengan pembahasan.
Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan berdasarkan pada fakta objektif yang
didapatkan dari penelitian lapangan berupa hasil wawancara dengan narasumber.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber data dari penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan.
Sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder, sebagai berikut:
a. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung oleh penulis dari hasil studi
dan penelitian dilapangan
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan dengan
cara menelusuri literatur yang berhubungan dengan masalah yang sesuai
dengan pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Bahan-
bahan tersebut terdiri dari:
36
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri
dari:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73
Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
2. Bahan hukum sekunder, meliputi: bahan-bahan yang berhubungan dan dapat
membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, di antaranya:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
b. Keputusan Kapolri Nomor Pol: Kep /53 /X /2002 tanggal 17 Oktober
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi
pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
3. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan penelitian ini,
adalah bahan-bahan yang berguna sebagai petunjuk atau informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, di antaranya dari jurnal
penelitian, kamus dan sumber internet.
37
C. Penentuan Narasumber
Penelitian ini membutuhkan narasumber untuk mendapatkan informasi dan data
yang dibutuhkan pada saat pelaksanaan penelitian, yaitu sebagai berikut:
1. Penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung : 2 orang
2. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah : 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
a. Studi Pustaka, yaitu prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan
seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta
melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
terkait dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan, yaitu prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara
(interview) kepada narasumber penelitian sebagai usaha mengumpulkan
berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan
yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah
diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
38
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-
kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-
benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan
dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan
sehingga mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan
penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-
hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan dan saran yang diajukan kepada
pihak-pihak terkait dengan pembahasan dalam penelitian.
75
IV. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana perompakan yang dilakukan
oleh Direktorat Perairan Polda Lampung dilaksanakan dengan proses
penyidikan yang didasarkan pada kententuan perundang-undangan.
Penyidikan dilaksanakan dengan serangkaian tindakan yang ditempuh oleh
penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Tindakannya
meliputi mencari dan mengumpulkan alat bukti terkait tindak pidana
perompakan di wilayah perairan dan menemukan tersangkanya. Setelah
penyidikan selesai dilaksanakan maka perkara dilimpahkan ke Kejaksaan dan
Pengadilan untuk proses hukum selanjutnya sesuai dengan sistem peradilan
pidana.
2. Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana perompakan yang dilakukan oleh Direktorat Perairan Polda Lampung
terdiri dari faktor aparat penegak hukum, yaitu adanya penyidik yang
berpotensi menyalahgunakan kewenangan diskresi berupa penghentian
penyidikan, kurangnya kuantitas penyidik Direktorat Kepolisian Perairan dan
faktor sarana dan prasarana dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana perompakan, yaitu keterbatasan sarana dan prasarana patroli yang ada
76
di Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung, sehingga penyidikan
terhadap tindak pidana perompakan mengalami hambatan.
B. Saran
Penulis dalam penelitian ini memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung disarankan untuk
menambah jumlah sarana prasarana berupa kapal patroli dengan kategori
kapal besar Tipe C1 dalam rangka meningkatkan upaya penegakan hukum
pidana terhadap tindak pidana perompakan.
2. Penyidik Direktorat Kepolisian Perairan Polda Lampung disarankan untuk
mengembangkan jaringan kerja sama dengan berbagai pihak dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana perompakan. Hal ini diperlukan guna
mengantisipasi berkembangnya tindak pidana perompakan di wilayah hukum
Polda Lampung.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Binacipta, Bandung.
---------. 2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama,Bandung.
Friedmann, Robert R. 1998. Kegiatan Polisi dalam pembinaan keamanan danketertiban masyarakat perbandingan perspektif dan prospeknya, PT.Cipta Manunggal, Jakarta
Halim, Ridwan A. 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab, Ghalia Indonesia,Jakarta
Hamid, Abdul Ghafur. 2011. Kerjasama ASEAN dalam Meningkatkan Keamanandi Laut dengan Memerangi Pembajakan dan Perompakan. RinekaCipta. Jakarta.
Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. GhaliaIndonesia Jakarta.
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia danPenerapannya. Alumni, Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. CitraAdityta Bakti.Bandung.
Mauna, Boer. 2000. Hukum Internasional, Peranan dan Fungsi dalam EraDinamika Global, Alumni Bandung.
Mertokusumo, Sudikno. 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra AdityaBakti, Bandung.
Moeljatno, 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara,Jakarta.
---------1987. Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Mulyadi, Mahmud. 2009. Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USUPress, Medan.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra AdityaBakti, Bandung.
Nawawi Arief, Barda. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. CitraAditya Bakti, Bandung.
---------. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan PenanggulanganKejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Ndraha, Taliziduhu. 2012. Kybernologi: Ilmu Pemerintahan Baru. Rineka Cipta.Jakarta.
Parthiana, I Wayan. 2004. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. CVYrama Widya. Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, GentaPublishing, Yogyakarta.
Reksodiputro Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, MelihatKejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, PusatKeadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta
Saad, Sudirman. 2003, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Lembaga SentraPemberdayaan Masyarakat, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian hukum, Jakarta
--------- 1986. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. RinekaCipta. Jakarta.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung.
Supramono, Gatot. 2011. Hukum Pidana di Bidang Perikanan, Rineka Cipta,Jakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana(KUHP).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RepublikIndonesia
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan PemberdayaanNelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua AtasPeraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang PedomanPelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Keputusan Kapolri Nomor Pol: Kep /53 /X /2002 tanggal 17 Oktober 2002tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi padaTingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia
C. INTERNET
http://lampung.tribunnews.com/2018/09/13/breaking-news-ditpolairud-polda-lampung-tangkap-3-perompak.