34
Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksistensi hukum pidana memiliki fungsi sebagai social defense yakni untuk menyeimbangkan kehidupan masyarakat yang diaturnya. Dengan adanya hukum pidana, masyarakat akan merasa aman, tenang, dan tenteram. Dengan kata lain, hukum pidana dibentuk berdasarkan kecenderungan masyarakat yang ingin mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungannya atau hukum pidana ini lahir karena disebabkan oleh adanya fenomena sosial berupa suatu tindakan atau perilaku yang merusak atau mengganggu ketertiban masyarakat. Dari sinilah, dapat kita pahami bahwa manusia selain memiliki kecenderungan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban tersebut, ia juga memiliki kecenderungan untuk melawan hukum pidana yang diprakarsai olehnya sendiri. Ironisnya, kita melihat terdapat banyak bentuk perbuatan melawan hukum atau bentuk pelanggaran (kejahatan) yang ada saat ini di berbagai negara khususnya di Indonesia, maka bukan hal yang tidak mungkin banyak pula bentuk dari perbuatan melawan hukum itu sendiri. Sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana yang sedikitnya telah penulis ilustrasikan di atas tentunya 1

Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eksistensi hukum pidana memiliki fungsi sebagai social defense yakni untuk

menyeimbangkan kehidupan masyarakat yang diaturnya. Dengan adanya hukum

pidana, masyarakat akan merasa aman, tenang, dan tenteram. Dengan kata lain,

hukum pidana dibentuk berdasarkan kecenderungan masyarakat yang ingin

mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungannya atau hukum pidana ini

lahir karena disebabkan oleh adanya fenomena sosial berupa suatu tindakan atau

perilaku yang merusak atau mengganggu ketertiban masyarakat. Dari sinilah,

dapat kita pahami bahwa manusia selain memiliki kecenderungan untuk

mewujudkan keamanan dan ketertiban tersebut, ia juga memiliki kecenderungan

untuk melawan hukum pidana yang diprakarsai olehnya sendiri.

Ironisnya, kita melihat terdapat banyak bentuk perbuatan melawan hukum

atau bentuk pelanggaran (kejahatan) yang ada saat ini di berbagai negara

khususnya di Indonesia, maka bukan hal yang tidak mungkin banyak pula bentuk

dari perbuatan melawan hukum itu sendiri.

Sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana yang sedikitnya telah penulis

ilustrasikan di atas tentunya akan dimintai pertanggungjawaban legal atau

pertanggungjawaban pidananya. Pertanggungjawaban pidana ini diberlakukan

agar orang yang diidentifikasi telah melakukan suatu tindakan melawan hukum

dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut sesuai dengan prosedur

dalam hukum pidana. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan sifat

melawan hukum dalam perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang didapat di

antaranya ialah:

1

Page 2: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

a. Apa pengertian dari sifat melawan hukum

b. Bagaimana eksistensi sifat melawan hukum dalam konsepsi hukum

pidana?

c. Bagaimana bentuk sifat melawan hukum?

d. Apa pengertian pertanggungjawaban pidana?

e. Apa saja unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana?

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum

Pidana. Selain itu pula, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberi

manfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Di

samping bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut, makalah ini juga

dibuat guna menambah pengetahuan serta memperluas wawasan penulis

mengenai sifat melawan hukum dalam perbuatan pidana dan pertanggungjawaban

pidana dan agar makalah ini dapat diijadikan referensi bagi para pembaca.

2

Page 3: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sifat Melawan Hukum

Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder:

bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di

dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain

adalah dari:

a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada

umumnya.

b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang

lain.

c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan

pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang

tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.

d. Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/

wewenang.

e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan

hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).

f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain

disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan

dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata

wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian

“bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang

lain atau hukum subjektif”.1

Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat,

antara lain sebagai berikut:

“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang

lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa

1 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal 31-32.

3

Page 4: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan

masyarakat.”2

2.2 Eksistensi Sifat Melawan Hukum di dalam Konsepsi Hukum

Pidana

Hukum pidana di dalam perspektif sistem hukum di Indonesia berada pada

ruang lingkup hukum publik yang secara esensial dapat dibagi lagi menjadi

hukum pidana materiil (materieel strafrecht) dan hukum pidana formal (formeel

strafrechtlstrafprocesrecht).

Selanjutnya, ketentuan hukum pidana sesuai konteks di atas dapat

diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana

khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht). Ketentuan hukum

pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum sebagaimana termaktub dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan hukum pidana khusus

menurut W.P.J. Pompe, H.J.A. Nolte, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan sebagai

ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai subyeknya dan perbuatan yang

khusus (bijzonder lijkfeiten).3

Hukum pidana sebagai lingkup hukum publik merupakan salah satu sarana

untuk social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan

memperbaiki atau memulihkan kembali si pembuat tanpa mengurangi

keseimbangan kepentingan perorangan dan masyarakat.

Identifikasi dari beberapa aspek atau bentuk-bentuk perlindungan masyarakat

untuk mencapai kesejahteraan adalah sebagai berikut:4

1. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap perbuatan

anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat maka timbulah

2 Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, hal 44.

3 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia: Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1. Dikutip dari Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materriil (Materiela Wederechttelijkkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, hal. 1

4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 26

4

Page 5: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

pendapat atau teori bahwa tujuan pidana dan hukum pidana adalah

penanggulangan kejahatan/penindasan kejahatan/pengendalian kejahatan.

2. Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat terhadap sifat berbahaya orang

(si pelaku), maka timbul pendapat bahwa tujuan pidana adalah untuk

memperbaiki si pelaku/rehabilitasi/reformasi sosial/resosialisasi/

pemasyarakatan/pembebasan. Memperbaiki si pelaku mengandung makna

mengubah atau mempengaruhi tingkah laku kembali patuh pada hukum.

3. Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap

penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi

terhadap pelanggar pidana, maka dapat dikatakan tujuan pidana adalah

mengatur atau membatasi kesewenangan penguasa maupun warga

masyarakat pada umumnya dalam melakukan reaksi terhadap si pelanggar

sering pula dikatakan bahwa pidana dimaksudkan untuk menyediakan

saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam atau untuk

menghindari balas dendam.

4. Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlunya

mempertahankan keseimbangan atau keselarasan berbagai kepentingan

dan nilai yang terganggu oleh adanya kejahatan/dapat dikatakan bahwa

tujuan pidana adalah untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan

masyarakat.

Konsepsi (rancangan) sifat melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum

perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka sifat

melawan hukum dalam ranah hukum pidana sebagaimana yang telah dijelaskan di

atas dikenal dengan terminologi "wederrechtelijk", dan terminologi

"onrechtmatige daad" dalam ranah hukum perdata. Pengertian dan terminologi

"wederrechtelijk" dalam hukum pidana tersebut memiliki beberapa arti, di

antaranya diartikan sebagai ‘bertentangan dengan hukum’ (in strijd met het recht),

atau ‘melanggar hak orang lain’ (met krenking van eens anders recht) dan ada

juga yang mengartikan sebagai ‘tidak berdasarkan hukum’ (niet steunend op het

recht) atau sebagai ‘tanpa hak’ (zonder bevoegheid).

5

Page 6: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

2.3 Pembagian Sifat Melawan Hukum

Dalam Hukum Pidana dikenal dua macam sifat melawan hukum yaitu sifat

melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dan sifat melawan

hukum formil (formale wederrechtelijkeheid). Berikut uraiannya:

a. Sifat melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) merupakan

sifat melawan hukum yang luas yaitu melawan hukum sebagai suatu unsur

yang tidak hanya melawan hukum yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang

tidak tertulis (dasar-dasar/norma-norma hukum pada umumnya).

Terdapat dua pandangan/pemahaman mengenai makna materiil itu sendiri, yakni:

1. Pandangan pertama mengaitkan atau melihat makna materiil dari

sifat/hakikat perbuatan terlarang dalam undang-undang (perumusan delik

tertentu). Jadi, yang dilihat atau dinilai secara materiil adalah “perbuatan”-

nya. Cara pandang yang demikian cukup banyak terungkap dalam

kepustakaan maupun yuriprudensi. Misalnya dalam buku Hukum Pidana,5

kumpulan tulisan Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keizer, dan Mr.

E. Ph. Sutorius dikemukakan empat makna atau pengertian sifat melawan

hukum, yaitu sifat melawan hukum umum6, sifat melawan hukum khusus7,

sifat melawan hukum formal, dan sifat melawan hukum materiil. Menurut

pandangan ini, sifat melawan hukum materiil diartikan sebagai suatu

perbuatan yang melanggar atau membahayakan “kepentingan hukum” yang

hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik

tertentu.8

2. Pandangan kedua, mengaitkan atau melihat makna materiil dari sudut

sumber hukum. Jadi yang dilihat atau dinilai secara materiil adalah “sumber

hukum”-nya. Maka menurut pandangan ini, pengertian sifat melawan

5 Lihat Sahetapy (editor penerjemah), Hukum Pidana, Kumpulan Bahan Penataran Hukum Pidana Prof. Dr. D. Schaffmeister, Prof. Dr. Nico Keizer, dan Mr. E. Ph. Sutorius, Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 39-50 dan 347-355. Dikutip dari Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandinagn, hal. 266 Ibid., hal. 39 dan 347: sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana: Perbuatan pidana adalah kelakuan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. 7 Sifat melawan hukum khusus: Sifat Melawan Hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik. Juga dinamakan sifta melawan hukum “faset”8 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandinagn, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 26-27

6

Page 7: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

hukum materiil adalah identik dengan melawan atau bertentangan dengan

hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/living law),

bertentangan dengan asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan

sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan atau

adat). Jadi singkatnya, “hukum” tidak dimaknai secara formal sebagai wet,

tetapi dimaknai secara materiil sebagai recth.9

Penganut Sifat Melawan Hukum Materiil

Zevenbergen mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur

bersifat melawan hukum dan harus dibuktikan .

Van Hamel mengatakan bahwa pada setiap delik dianggap ada unsur bersifat

melawan hukum. Tetapi sehubungan dengan pembuktian dikatakan jika

bersifat melawan hukum dicantumkan dengan tegas sebagai unsur delik,

atau bersifat melawan hukum tidak dinyatakan dengan tegas akan tetapi

timbul keragu-raguan apakah menurut paham masyarakat tindakan itu

bersifat melawan hukum, maka dalam dua hal tersebut harus ada

pembuktian pidana.

Contohnya adalah seorang guru yang menghukum muridnya, seorang ayah

yang menghukum anaknya, atau seseorang yang menjewer kuping anak nakal

akan dipidana dengan alasan tindak penganiayaan jika tidak dibuktikan dahulu

bahwa tindakan tersebut adalah untuk mendidik murid atau anak tersebut. Oleh

karenanya, perlu pembuktian dari suatu tindakan. Jika tindakan itu terbukti tidak

bertentangan dengan kepatutan atau norma masyarakat, maka tindakan itu bukan

termasuk tindakan melawan hukum.

Contoh lain adalah seorang dokter dengan alasan pengobatan melakukan

abortus yang telah memenuhi unsur-unsur Pasal 348 KUHPid tidak bersifat

melawan hukum karena dokter tersebut melakukan hal demikian hanyalah untuk

urusan pengobatan. Dengan kata lain, ia tidak melanggar norma hukum itu

sendiri.

b. Sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid) merupakan sifat

melawan hukum terhadap unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga

9 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), Hal. 27-28

7

Page 8: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

ia baru merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan

dalam rumusan tindak pidana (KUHP).10

Contoh Kasus :

1. Kasus Penganiayaan Pasal 351 KUHPid

Jika A memukul B, dan B mendapat luka karenanya maka A telah

melanggar delik penganiayaan tersebut Pasal 351 ayat 1 KUHPid. Tidak perlu

diselidiki apakah pemukulan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Tegasnya

pemukulan itu sudah dengan sendirinya bersifat melawan hukum karena telah

memenuhi perumusan delik dalam Undang-undang.

2. Kasus melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHPid)

C berada dalam keadaan telanjang bulat di muka umum, Dalam hal ini C

telah melakukan delik delik Pasal 281 KUHPid. Tindakan itu dengan sendirinya

sudah bersifat melawan hukum, karena memenuhi perumusan Pasal tersebut.

Tidak perlu lagi diselidiki apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau

tidak.

3. Kasus memasuki rumah dengan paksa (Pasal 167 KUHPid).

Seandainya di dalam Pasal 167 KUHPid tidak dinyatakan dengan tegas

unsur melawan hukum, maka seseorang pegawai penyidik atau jaksa memaksa

memasuki suatu rumah untuk menjalankan tugasnya, dapat dipersalahkan

melanggar Pasal 167 KUHPid. Justru dengan adanya unsur bersifat melawan

hukum pada Pasal tersebut, maka harus dibuktikan apakah pegawai tersebut

benar-benar sedang melakukan tugasnya atau tidak, yang akan menentukan

apakah tindakannya memasuki rumah tersebut melawan hukum atau tidak.

Dalam perkembangannya muncul pandangan sifat melawan hukum materiil

(materieele wederrechttelijkheid) dalam fungsi secara positif dan negatif. Ajaran

sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu perbuatan secara

materiil merupakan perbuatan melawan hukum apabila tidak ada aturan tertulis

dalam perundang-undangan pidana, maka perbuatan tersebut tidak dapat

10 M. Sudrajad Basar (1998:5) dalam Guse Prayudi , “Sifat Melawan HukumUndang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, IKAHI , Jakarta , 2007, hlm. 25. Dikutip dari Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materriil (Materiela Wederechttelijkkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, hal. 5

8

Page 9: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

dipidana.11 Sedangkan, Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya

yang negatif yaitu bahwa suatu perbuatan dapat hilang sifatnya sebagai melawan

hukum, apabila secara materiil perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum.12

Contohnya, seseorang tidak termasuk melawan hukum apabila orang tersebut

dalam perbuatannya melawan hukum bertujuan untuk sesuatu yang berguna atau

het juistemiddel tot het juiste doel bezigde, konsep ini diajukan oleh A. Grafzu

Dohna dalam karangannya tentang “ Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges

Markmal im Tatbestande starfbarer handlungen”.13

Berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Indonesia

telah dimungkinkan dalam menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam

fungsinya yang negatif. Seperti yang dikutip dari Yurisprudensi Mahkamah

Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan Mahkamah Agung

tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970 bahwa “Meskipun yang dituduhkan

adalah suatu delik formil, namun Hakim secara materiil harus memperhatikan

juga keadaan terdakwa atas dasar apa ia tidak dapat dihukum atau materieele

wederrechttelijkheid.”

Sedangkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung yang lain yakni Putusan

Nomor 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977 dan Putusan MA Nomor 572

K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004, diketahui bahwa hukum pidana Indonesia

dalam pendiriannya telah menganut pandangan sifat melawan hukum materiil

dalam fungsinya yang negatif.14 Jadi, pada intinya bahwa sifat melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang negatif ini telah diterapkan dalam hukum pidana

Indonesia.

Sedangkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil masih belum

sepenuhnya dapat diterima dalam penegakan hukum di Indonesia. Akan tetapi,

ide-ide untuk menerapkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah

ada, namun masih dijumpai banyak penolakan, termasuk penolakan dari

Mahkamah Konstitusi misalnya dalam Konteks UU Tindak Pidana Korupsi.

11 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “ Prof. Oemar Seno Adji & rekan”, Jakarta, 2002, hlm 1812 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm 2613 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 116. 14 Guse Prayudi, Op Cit., hlm. 25.

9

Page 10: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

Jika dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya sifat

melawan hukum formil saja yang dapat diterima. Oleh karenanya, sifat melawan

hukum materiil bertentangan dengan asas legalitas. Begitupun dengan penerapan

fungsi negatif pada sifat melawan hukum materiil, penerapan ini tidak sejalan

dengan asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Penerimaannya

semata-mata didasarkan pada doktrin dan kemudian diikuti oleh Yurisprudensi

Mahkamah Agung.

Namun, adapula yang berpendapat bahwa sifat melawan hukum materiil

dalam fungsinya yang negatif sudah dipengaruhi asas legalitas materiil atau asas

keseimbangan monodualistik. Singkatnya, sifat melawan hukum ini masih terikat

pada asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.15

Karena Indonesia menerapkan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya

yang negatif, maka penulis akan memaparkan tentang sifat melawan hukum

materiil dalam kebijakan formulasi beberapa KUHP asing dan dokumen

internasional. Hal ini guna menambah khazanah ilmu pengetahuan kita mengenai

sifat melawan hukum materiil. Berikut uraiannya:

1. Pasal 20 KUHP Korea Merumuskan Sebagai Berikut:

“Conduct in accordance with law or pursuant to accepted bussiness

practices, or other conduct which doesn’t violate the social mores shall

not be punishable.”

Jadi, menurut ketentetuan di atas, tindak pidana:

a. Perbuatan yang sesuai dengan undang-undang (in accordance with

law)

b. Perbuatan yang sesuai dengan praktek bisnis yang sudah lazim atau

diterima (pursuant to accepted bussiness practices)

c. Perbuatan lain yang tidak melanggar norma / kebiasaan masyarakat

(does not violate the social mores)

2. Pasal 15 International on Civil and Political Rights (ICCPR) Menegaskan:

a. “Tidak seorangpun dapat dipertanggungjawabkan untuk suatu perbuatan

(atau tidak berbuat) yang tidak merupakan tindak pidana menurut

15 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandinagn, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 30

10

Page 11: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

hukum nasional ataupun hukum internasional yang ada / berlaku pada

saat perbuatan itu dilakukan.”

(No one shall be held guilty of any criminal offense on account of any

act or amission which didn’t constitute a criminal offense, under

national or international law, at thetime when it was committed).

b. “Tidak sesuatu pun dalam pasal ini yang akan menghambat atau

merugikan (mengurangi hak) peradilan dan pemidanaan terhadap

seseorang atas perbuatan (atau tidak berbuat) yang pada saat dilakukan

merupakan kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum yang

diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.”

(Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any

person for any act or amission which, at the time when it was

committed, was criminal according to the general principles of law

recognized by the community of nation).

3. Pasal 7 (3.76) KUHP Kanada tentang “Crime Against Humanity”

Menyatakan:

“’Kejahatan terhadap kemanusiaan’ ialah pembunuhan, pemusnahan,

perbudakan, pengusiaran/pemindahan, penganiayaan, atau perbuatan tidak

manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil atau kelompok

orang, apakah perbuatan itu merupakan atau tidak merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang yang berlaku pada saat itu dan ditempat

perbuatan itu dilakukan, dan bahwa perbuatan-perbuatan itu pada saat dan

di tempat itu merupakan pelanggaran terhadap hukum kebiasaan

international atau merupakan kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum

umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.”

(‘Crime against huminity’ means murder, extermination, enslavement,

deportation, persecution, or any other inhumane act or omission that is

committed against any civilian population or any identifiable group of

person, whether or not it constitutes a contravention of the law inforce at

the time and in the place of its commission, and that, at the time and in

that place, constitutes a contravention of customary international law r

11

Page 12: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

conventional international law or is criminal according to general

prinsiples of law recognized by the community of nations).

2.4 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis,

pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana

bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak

pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang di

lakukannya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat di pertanggungjawabkan

karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi

juga di jatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka

tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang di jatuhkanya atas atau jenis

perbuatan sangat berbeda-beda yang di sebabkan oleh wewenang yang mutlak

dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman.

Namun setelah Revolusi Prancis pertanggungjawaban pidana di dasarkan atas

dasar falsafah kebebasan berkehendak yang di sebut dengan teori tradisionalisme

(mashab taqlidi), kebebasan berkehendak di maksud bahwa seorang dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana atas dasar pengetahuan dan pilihan, menurut

teori ini seseorang yang pada usia tertentu dapat memisahkan dan membedakan

mana yang di katakan perbuatan baik dan mana yang tidak baik.16

Dalam bahasa asing, pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

‟toerekenbaarheid‟, “criminal responbility‟, “criminal liability‟. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau

dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu

bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan

tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan

16 Alie Yafie, Ahkad Sukaraja, Muhammad Amin Suma, dkk, ibid hlm. 64

12

Page 13: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang

dilakukan tersebut.17

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh

masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas

perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung18 jawabkan perbuatan yang

tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si

pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu

dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana.

Dalam konsep KUHP tahun 1982-1983, pada pasal 27 menyatakan bahwa

pertanggungjawaban pidana adalah di teruskanya celaan yang objektif ada pada

tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku, secara obyektif kepada pembuat

yang memenuhi syarat-syarat undang-undang untuk dapat di kenai pidana karena

perbuatanya.19

Menurut Roeslan Saleh, beliau mengatakan bahwa:

“Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.

Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang

yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal

apakah dia dalam melakukan perbuatan itu memang mempunyai kesalahan atau

tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai

kesalahan, maka tentu dia akan dipidana”.20

2.5 Unsur-Unsur dalam Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang atau pelaku tindak pidana tidak akan dimintai pertanggungjawaban

pidana atau dijatuhi pidana apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan

perbuatan pidana tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia

17 Loc. Cit. Hal. 250.18 Op.Cit. Ruslan Saleh. Hal. 75-76.19 Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta , 1987 ) ,hlm.7520 Op. Cit. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Hal. 75

13

Page 14: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang

melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah

dan meyakinkan melakukan kesalahan.

Menurut Ruslan Saleh, tidaklah ada gunanya untuk

mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu

sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan

bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan

kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan

perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang

mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah21 :

1. Melakukan perbuatan pidana;

Telah di maklumi bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi

pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka, setidaknya ada dua

alasan mengenai hakikat perbuatan pidana (kejahatan).22 Yakni pertama,

pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak

senonoh yang di lakukan manusia lainnya. Kedua, pendekatan yang

melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang

tidak normal sehingga ia berbuat jahat.

Kedua pendekatan ini berkembang sedemikian rupa bahkan di yakini

mewakili pandangan-pandangan yang ada seputar pidana dan pemidanaan.

Dari sinilah kemudian berbagai perbuatan pidana dapat di lihat sebagai

perbuatan yang tidak muncul begitu saja, melainkan adalah hasil dari

refleksi dan kesadaran manusia. Hanya saja perbuatan tersebut telah

menimbulkan kegoncangan sosial di masyarakat.

2. Mampu bertanggung jawab;

Di dalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari

keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan

masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting

untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang

21 Op.Cit. Ruslan Saleh. Hal. 75-76.22 Andi Matalatta, “santunan bagi korban” dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870) , hlm.41-42

14

Page 15: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat

dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang

dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang

dianggap baik oleh masyarakat.23

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal, maka

ukuran – ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk

diadakan pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan

Bab III Pasal 4 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

1. Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di

pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau

karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan kepadanya

karena kurang sempurna akalnya karena sakit berubah akal maka hakim

boleh memerintahkan menempatkan di di rumah sakit gila selama-lamanya

satu tahun untuk di periksa.

3. Yang di tentukannya dalam ayat di atas ini, hanya berlaku bagi

Mahkamah Agung, Pengadilan Tingi dan pengadilan negeri.24

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara

terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya ditemukan beberapa

pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang

yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga)

syarat, yaitu : (1) dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam

alam kejahatan, (2) dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak

patut dalam pergaulan masyarakat, (3) mampu untuk menentukan niat atau

kehendaknya terhadap perbuatan tadi.25

Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan

beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu : (1) kemampuan untuk

membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai

dengan hukum dan yang melawan hukum; (2) kemampuan untuk

23 Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap pasal 44 KUHP),” dalam Andi Hamzah (ed.), Bunga Rampai HUkum Pidana dan Acara Pidana ( Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986), hlm. 7824 R. Soesilo Ibid, hlm. 60-6125 Sutrisna, I Gusti Bagus , Op.cit, hlm.79

15

Page 16: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya

perbuatan tadi.26

3. Dengan kesengajaan atau kealpaan;

Dipidananya seseorang tidaklah cukup orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.

Jadi meskipun perbuatanya memenuhi rumusan delik dalam undang-

undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk

penjatuhan pidana.Untuk itu pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu

bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau

bersalah (Subjective guilt).

Di sini berlaku apa yang di sebut atas “TIADA PIDANA TANPA

KESALAHAN” (keine strafe ohne schhuld atau geen straf zonder schuld)

atau NULLA POENA SINE CULPA (“Culpa” di sini dalam arti luas

meliputi kesengajaan).

Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu

teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.

- Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan

unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sebagai contoh, A

mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B. A adalah

“sengaja” apabila A benar-benar menghendaki kematian B.

- Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak

mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat

menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu

akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena

suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena

itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan

yang terlebih dahulu telah dibuat.

Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu :

26 Sutrisna, Ibid. hlm 83

16

Page 17: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk). Dalam VOS, definisi

sengaja sebagai maksud adalah apabila pembuat menghendaki akibat

perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah

mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah

tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya.

Contoh: A menghendaki kematian B, dan oleh sebab itu ia

mengarahkan pistolnya kepada B. Selanjutnya, ia menembak mati B.

Akibat penembakan yaitu kematian B tersebut adalah benar

dikehendaki A. Kesengajaan dengan maksud merupakan bentuk

sengaja yang paling sederhana. Menurut teori kehendak, maka sengaja

dengan maksud dapat didefinisikan sebagai berikut: sengaja dengan

maksud adalah jika apa yang dimaksud telah dikehendaki. Menurut

teori membayangkan, sengaja dengan maksud adalah jika akibat yang

dimaksudkan telah mendorong pembuat melakukan perbuatannya yang

bersangkutan.

2. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat

tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa

pelanggaran juga.

Contoh: agar dapat mencapai tujuannya, yaitu membunuh B, maka A

sebelumnya harus membunuh C, karena C menjadi pengawal B.

Antara A dan C sama sekali tidak ada permusuhan, hanya kebetulan C

pengawak B. A terpaksa tetapi sengaja terlebih dahulu membunuh C

dan kemudian membunuh B. Pembunuhan B berarti maksud A

tercapai, A yakin bahwa ia hanya dapat membunuh B setelah terlebih

dahulu membunuh C, walaupun pembunuhan C itu pada permulaannya

tidak dimaksudkannya. A yakin bahwa jika ia tidak terlebih dahulu

membunuh C, maka tentu ia tak pernah akan dapat membunuh B.

3. Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan besar

dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran

pertama.

Contoh: keputusan Hoge Raad tanggal 19 Juni 1911, kasusnya A

hendak membalas dendam terhadap B. A mengirimkan sebuah kue tart

17

Page 18: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

ke alamat B, dalam tart tersebut telah dimasukkan racun. A sadar akan

kemungkinan besar bahwa istri B turut serta makan kue tart tersebut.

Walaupun ia tahu, tapi ia tidak menghiraukan . Oleh hakim ditentukan

bahwa perbuatan A terhadap istri B juga dilakukan dengan sengaja,

yaitu sengaja dengan kemungkinan.27

Adapula bentuk-bentuk kesengajaan yang ditinjau dari sudut berat

ringannya, yang terdiri dari :

- Kesengajaan berat (culpa lata). Kesengajaan berat dalam bahasa

belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli

menyatakan bahwa kesengajaan berat ini tersimpul dalam ”kejahatan

karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP.

- Kesengajaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte

schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis

kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat

didalam hal pelanggaran Buku III KUHP.

4. Tidak adanya alasan pemaaf.28

Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP di

muat dalam buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan atau

memberatkan pengenaan pidana. Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai

alasan penghapus pidana, yaitu alasan-alasan yang memungkinkan orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tindak pidana

dapat menghapuskan perbuatan pidananya sehingga ia tidak perlu

mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Dalam ketentuan Umum KUHPidana Alasan penghapus pidana ini

dirumuskan dalam buku kesatu, yaitu terdapat dalam Bab III Buku Kesatu

KUHPidana yang terdiri dari pasal 44, pasal 48 sampai dengan pasal 51.29

27 https://syarifblackdolphin.wordpress.com/2012/01/11/pertanggungjawaban-pidana/28 Op.Cit. Tri Andrisman. 2009. Hal. 9129 Sedangkan pasal Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 KUHPidana telah di cabut berdasarkan Pasal 67 Undang-undang N0.3Tahun 1997 ( undang-undang peradilan anak). M. Hamdan, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapusan Pidana, ( Medan Desember :2008), hlm. 43

18

Page 19: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

a. Pasal 44 ( pelaku yang sakit/terganggu jiwanya ) pasal 44 KUHPidana

berbunyi :

1. Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat di

pertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya

atau karena sakit berubah akal tidak boleh di hukum.

2. Jika nyata perbuatan itu tidak dapat di pertanggungjawabkan

kepadanya karena kurang sempurna akalanya atau karena sakit

berubah akal maka hakim boleh memerintahkan dia di rumah sakit

gila selama-lamanya satu tahun untuk di perikasa.

3. Yang di tentukan dalam ayat yang di atas ini hanya berlaku bagi

mahkamah Agung, pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

b. Pasal 48 KUHPidana (perbuatan yang dilakukan dalam keadaan

terpaksa) berbunyi :

“Barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu

kekuasaan yang tidak dapat di hindarkan, tidak boleh di hukum.”

c. Pasal 49 ayat 1 KUHPidana (perbuatan yang di lakukan untuk mebela

diri) berbunyi :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang terpaksa di lakakuanya

untuk memeprtahankan dirinya, atau diri orang lain,

mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau

kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan

mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh di hukum.”

d. Pasal 50 KUHPidana (melaksankan peraturan perundang-undangan)

yang berbunyi :

“Barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan

peraturan undang-undang tidak boleh di hukum.”

e. Pasal 51 ayat (1) KUHPidana (melakukan perintah jabatan yang syah)

yang berbunyi :

19

Page 20: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah

jabatan yang di berikan oleh kuasa yang berhak akan tidak boleh di

hukum.”

f. Pasal 51 ayat (2) (melakukan perintah jabatan yang tidak syah di anggap

syah) berbunyi :

“Perintah jabatan yang di berikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak

membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya

atas kepercayaan memandang bahwa perintah itu seakan-akan di

berikan oleh kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan

perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah pemerintah

tadi.”

2.6 Subyek Pertanggungjawaban Pidana

Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana, karena

berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan

mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana adalah pelaku tindak pidana itu

sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku

tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya.

Menurut Ey. Kanter dan SR. Sianturi30, yang dianggap sebagai subyek Tindak

Pidana adalah manusia (natuurlijke-persoonen), sedangkan hewan dan badan-

badan hukum (rechtspersonen) tidak dianggap sebagai subjek. Bahwa hanya

manusialah yang dianggap sebagai subjek tindak pidana, ini tersimpulkan antara

lain dari :

a. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah:

barangsiapa, warga negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri, dan

lain sebagainya. Penggunaan istilah-istilah tersebut selain daripada

yang ditentukan dalam rumusan delik yang bersangkutan, ditemukan

dasarnya dari pasal-pasal: 2 sampai dengan 9 KUHP. Untuk istilah

barangsiapa, dalam pasal-pasal : 2, 3 dan 4 KUHP digunakan istilah

„’een ieder’‟ (dengan terjemahan „‟ setiap orang „‟).

30 Op.Cit. E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. hlm. 253

20

Page 21: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

b. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana seperti diatur,

terutama dalam pasal: 44, 45, 49 KUHP, yang antara lain

mengisyaratkan sebagai geestelijke vermogens dari petindak.

c. Ketentuan mengenai pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP,

terutama mengenai pidana denda, hanya manusialah yang mengerti

nilai uang.

Perkembangan hukum pidana selanjutnya memang bukan hanya manusia saja

yang dianggap sebagai subyek. Penentuan atau perluasan badan hukum sebagai

subjek tindak pidana, adalah karena kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan,

perekonomian dan keamanan negara, yang disesuaikan dengan perkembangan

peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Namun pada hakekatnya, manusia

yang merasakan/menderita pemidanaan itu.31

Lalu siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku

tindak pidana? Berdasarkan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa:

Ayat (1) dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta

melakukan perbuatan.

2) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan seseuatu dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesetan. Atau dengan memberi kesempatan, sarana

atau keterangan sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

Ayat (2) terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke-1, ke-2 dan ayat (2) KUHP di atas

mengategorikan pelaku tindak Pidana sebagai orang yang melakukan sendiri suatu

tindak tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-sama untuk

melakukan tindak pidana

Daftar Pustaka

31 Ibid. hlm. 222.

21

Page 22: Makalah Hukum Pidana: Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya

Hukum Pidana: Melawan Hukum Pidana dalam Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Pidana

M. Sudrajat Bassar, Tindak-tindak Pidana Tertentu dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, (Bandung: Ramadja Karya, 1986)

Widjoyo Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika

Aditama Bandung, 2003)

Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perpektif Kajian

Perbandingan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakrie, 2005)

Mesdiana Purba SH, MH Dan Nelvitia Purba SH. M.Hum., September 2013,

Perbuatan Melawan Hukum (Wederrechtelijk) di dalam Prespektif Hukum

Pidana dan Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) di dalam

Perspektif Hukum Perdata, Volume: 14 No. 1.

RB. Budi Prastowo, Juli 2006, Delik Formiil atau Materiil Sifat Melawan Hukum

Formiil atau Materiil dan Pertanggungjawaban Pidana dalam Tundak Pidana

Korupsi Kajian Teori Hukum Pidana terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi RI

Perkara No. 003/PUU-04/2006, Jurnal Hukum Pro Justitia, Volume 24 No. 03.

Ninil Eva Yustina SH. M.Hum. Februari 2009, Perbuatan Melawan Hukum

Materriil (Materiela Wederechttelijkkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi pada

Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.

22