40
1 HUKUM PIDANA ADAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA NASIONAL Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, S.H., M.H. (FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA) 1 1. PENGANTAR Dampak globalisasi dan reformasi yang semakin tajam berakibat makin sulitnya menentukan arah tatanan dunia baru yang akan terbentuk. Di beberapa belahan dunia, telah terjadi transformasi budaya yang semakin kompleks, tetapi di beberapa tempat justru telah terjadi kesenjangan budaya (cultural lag). Pada akhirnya, hampir semua negara menyadari bahwa jika hanyut pada arus yang demikian, suatu bangsa niscaya akan hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti. Dari kenyataan ini, muncul dan mulailah dikembangkan konsep „back to basic‟ atau menggali dan mengenal kembali identitas budaya sendiri 2 Dalam rangka pembangunan hukum di Indonesia, nampaknya konsep „back to basic‟ tidaklah dapat dikesampingkan karena antara hukum dan budaya merupakan dua variabel yang mempunyai hubungan korelatif, dalam artian antara hukum dan budaya merupakan dua variabel yang saling pengaruh mempengaruhi. Mencari hubungan di antara keduanya, akan melahirkan dua perspektif kajian. Dalam perspektif pertama, dapat ditempatkan hukum mempengaruhi budaya. Lewat kajian ini, budaya ditempatkan sebagai variabel terikat, di mana hukum dapat memberikan arah dalam perkembangan budaya sehingga budaya terikat pada 1 Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Sanksi Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar”, tanggal 9 Oktober 2015. 2 Lihat Soedjatmoko 1986. Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial Budaya Tahun 2000 ,Yogyakarta : Tiara Wacana, hal. 4 - 7

HUKUM PIDANA ADAT DALAM PEMBENTUKAN HUKUM PIDANA … · 2017-06-06 · yang mempunyai elemen utama jaminan kepastian hukum terhadap keberadaan tindak pidana dan sanksi pidana (maupun

  • Upload
    others

  • View
    31

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

1

HUKUM PIDANA ADAT DALAM PEMBENTUKAN

HUKUM PIDANA NASIONAL

Dr. I GUSTI KETUT ARIAWAN, S.H., M.H.

(FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA)1

1. PENGANTAR

Dampak globalisasi dan reformasi yang semakin tajam berakibat makin

sulitnya menentukan arah tatanan dunia baru yang akan terbentuk. Di beberapa

belahan dunia, telah terjadi transformasi budaya yang semakin kompleks, tetapi

di beberapa tempat justru telah terjadi kesenjangan budaya (cultural lag). Pada

akhirnya, hampir semua negara menyadari bahwa jika hanyut pada arus yang

demikian, suatu bangsa niscaya akan hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti.

Dari kenyataan ini, muncul dan mulailah dikembangkan konsep „back to basic‟

atau menggali dan mengenal kembali identitas budaya sendiri2 Dalam rangka

pembangunan hukum di Indonesia, nampaknya konsep „back to basic‟ tidaklah

dapat dikesampingkan karena antara hukum dan budaya merupakan dua

variabel yang mempunyai hubungan korelatif, dalam artian antara hukum dan

budaya merupakan dua variabel yang saling pengaruh mempengaruhi. Mencari

hubungan di antara keduanya, akan melahirkan dua perspektif kajian. Dalam

perspektif pertama, dapat ditempatkan hukum mempengaruhi budaya. Lewat

kajian ini, budaya ditempatkan sebagai variabel terikat, di mana hukum dapat

memberikan arah dalam perkembangan budaya sehingga budaya terikat pada

1Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Sanksi Pidana Adat dalam

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional”, Fakultas Dharma Duta Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar”, tanggal 9 Oktober 2015.

2 Lihat Soedjatmoko 1986. Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial Budaya Tahun 2000,Yogyakarta : Tiara Wacana, hal. 4 - 7

2

pola yang digariskan oleh hukum. Sebaliknya, dalam perspektif yang kedua,

hukum ditempatkan pada posisi variabel yang tidak terikat. Dalam kajian yang

demikian budaya menentukan arah kebijakan hukum. Hukum di sini terikat

pada format yang telah digariskan oleh budaya. Oleh karena itu, jelas bahwa

hukum yang dihasilkan adalah hukum yang lahir dari jelmaan budayanya.

Pola pengembangan budaya dan hukum untuk menghindarkan adanya

dekulturasi ataupun dehumanisasi serta terciptanya produk hukum yang sesuai

dengan sistem nilai budaya, strateginya telah digariskan secara konseptual

dalam GBHN tahun 1993, yaitu Tap MPR No. II/MPR/1993. Dalam kebijakan

pembangunan lima tahun keenam, khususnya bidang hukum yang dalam garis

besarnya dapat dijabarkan ke dalam 6 pokok pikiran sebagai berikut :

1. Materi hukum meliputi aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang

berlaku dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bersifat mengikat bagi semua

penduduk.

2. Pembangunan materi hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum

nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, yang bersumber

pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

3. Pembangunan materi hukum dilaksanakan melalui penataan pola pikir

yang mendasari sistem hukum nasional, penyusunan kerangka sistem

hukum nasional, serta penginventarisasian dan penyusunan unsur-unsur

tatanan hukum yang berlaku dengan sistem hukum nasional.

4. Perencanaan hukum harus dilaksanakan secara terpadu dan meliputi

semua bidang pembangunan agar produk hukum yang dihasilkan dapat

memenuhi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dalam segala

aspeknya.

5. Dalam pembentukan hukum perlu diindahkan :

3

a. ketentuan yang memenuhi nilai filosofis yang berintikan rasa keadilan

dan kebenaran, nilai sosiologis yang sesuai dengan tata nilai budaya

yang berlaku di dalam masyarakat, dan nilai yuridis yang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. produk hukum kolonial harus diganti dengan produk hukum yang

dijiwai dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945; dan

c. pembentukan hukum pada umumnya perlu didukung oleh penelitian

dan pengembangan hukum, serta ditunjang oleh sistem jaringan

dokumentasi dan informasi hukum yang mantap.

6. Penelitian dan pengembangan hukum serta ilmu hukum dilaksanakan

secara terpadu yang meliputi semua aspek kehidupan dan terus

ditingkatkan agar hukum nasional senentiasa dapat menunjang dan

mengikuti dinamika pembangunan sesuai dengan perkembangan aspirasi

masyarakat, serta kebutuhan masa kini dan masa depan.

Strategi yang digariskan secara konseptual dalam GBHN tersebut di atas,

merupakan kelanjutan strategi pembangunan hukum yang telah pula digariskan

dalam GBHN sebelumnya.

2. KONSEP PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia, telah dirasakan sebagai suatu

kebutuhan yang mendesak, sebagai akibat KUHP yang selama ini diberlakukan

merupakan produk hukum peninggalan kolonial (WvS/Wetboek van Strafrecht)

yang dinyatakan berlaku sebagai hukum positif di Indonesia berdasarkan UU

No.1/1946 jo. UU No.73/1958.Oleh karenanya, pembaharuan hukum pidana

tidak saja meliputi alasan yang bersifat politis (kebanggaan nasional untuk

memiliki KUHP sendiri), alasan sosiologis (merupakan tuntutan sosial untuk

memiliki KUHP yang bersendikan sistem nilai nasional) dan alasan praktis

4

(adanya KUHP yang asli berbahasa Indonesia). Selain ketiga alasan tersebut di

atas, masih terdapat pula alasan yang tidak kalah pentingnya, yaitu alasan

adaptif, yakni KUHP nasional mendatang hendaknya dapat menyesuaikan diri

dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan

internasional yang telah disepakai oleh masyarakat beradab.3 Pertimbangan lain,

sebagai persoalan yang bersifat mendasar adalah hal-hal menyangkut

heterogenitas kultur serta pluralisme hukum dalam masyarakat Indonesia baik

yang bersifat hukum adat maupun yang bersifat religius yang mempunyai

pengaruh terhadap hukum pidana.

Pembentukan hukum pidana nasional, persoalannya tidak hanya terletak

pada tiga substansi pokok hukum pidana, yakni yang menyangkut masalah : (1)

masalah „tindak pidana‟ ; (2) masalah „kesalahan‟ ; dan (3) masalah „pidana‟. Di

dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru besar Ilmu Hukum Pidana Barda

Nawawi Arief mengemukakan bahwa dilihat dari sudut kebijakan hukum

pidana, dalam arti kebijakan menggunakan/ mengoperasionalisasikan /

memfungsionalisasikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok

sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan

mengatur dan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat)

dengan hukum pidana. Ini berarti bahwa masalah dasarnya terletak di luar

bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu pada masalah hubungan kekuasaan/hak

antara negara dan warga masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai

(pandangan/ ideologi) sosio-filosofik, sosio-politik dan sosio-kultural dari suatu

masyarakat, bangsa/negara.4

3 Muladi.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990), hlm. 3.

4 Lihat Barda Nawawi Arief., “Beberapa Aspek...., hlm. 16.

5

Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa makna dan hakikat

pembaharuan hukum pidana, berkaitan erat dengan aspek sosio-politik, aspek

sosio-filosofis dan aspek sosio-kultural ataupun dari berbagai aspek kebijakan,

baik kebijakan sosial, kebijakan kriminal maupun kebijakan penegakan hukum.

Dengan demikian pembaharuan hukum pidana merupakan perwujudan dari

perubahan dan pembaharuan berbagai aspek dan kebijakan yang

melatarbelakangi perlunya pembaharuan hukum pidana. Dari kenyataan ini

pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu

upaya untuk melakukan re-orientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai

dengan nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofis, dan sosio-kultural masyarakat

Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa

pembaharuan hukum pidana haruslah dilakukan dengan pendekatan yang

berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”)dan pendekatan yang

berorientasi pada nilai(“value-oriented approach”).Pembaharuan dilakukan dengan

pendekatan kebijakan, karena pada hakikatnya pembaharuan tersebut

merupakan bagian dari langkah kebijakan, yaitu bagian dari politik

hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik

sosial. Dalam setiap langkah kebijakan (policy), terkandung pula pertimbangan

nilai. Dari kenyataan inilah pembaharuan hukum pidana, di samping harus

mempertimbangkan pendekatan nilai, juga harus mempertimbangkan

pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kebijakan.5

Secara umum, hukum nasional yang hendak kita wujudkan harus

memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan perbedaan

5 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya

Bakti, 1996), hlm. 30-31.

6

kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh

karenanya dimensi pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum

nasional yang kita cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan

penciptaan sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum

nasional. Dengan demikian, cita-cita unifikasi hukum dalam bidang-bidang

hukum tertentu yang kita usahakan akan sekaligus mampu menjamin

tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan hukum dari berbagai ragam

kelompok masyarakat ke dalam sistem hukum nasional. Apabila persoalan ini

kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana nasional‟,

maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya mau tidak

mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi manusia,

alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang diakui oleh

bangsa-bangsa beradab. Ketiga cakupan muatan tersebut, terutama cakupan

kedua, yakni aspirasi kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa, merupakan satu

fenomena tersendiri, lebih-lebih dalam hubungannya dengan realitas

masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural, yang masing-masing punya

konsepsi tentang apa itu perbuatan jahat.

Nampaknya penyusun rancangan KUHP menyadari betul fenomena

tersebut, sehingga dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut

dipidananya suatu perbuatan, rancangan KUHP bertolak dari pendirian bahwa

sumber hukum yang utama adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi

bertolak dari asas legalitas dalam pengertian formal. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1 ayat (1) rancangan KUHP Tahun 2012 (RKUHP terakhir yang telah

disampaikan ke DPR, RKUUHP Tahun 2014). Berbeda halnya dengan asas

legalitas yang dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, konsep KUHP

memperluas perumusannya secara materiil dengan menegaskan bahwa

ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi berlakunya “hukum yang

7

hidup” di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber hukum

tertulis (undang-undang) sebagai kriteria/patokan formal yang utama,

rancangan KUHP juga masih memberikan tempat kepada sumber hukum tidak

tertulis yang ada dan hidup dalam kenyataan masyarakat sebagai dasar untuk

menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang ada

dan hidup dalam kenyataan masyarakat, terbatas untuk delik-delik yang tidak

diatur dan tidak mempunyai bandingannya dalam undang-undang.

Terhadap permasalahan ini, Muladi pernah mengemukakan bahwa

jembatan yuridis untuk aktualisasi atau rekriminalisasi hukum adat pidana

dalam kerangka hukum pidana nasional, sudah jelas, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub. b

UU No.1 Drt Tahun 1951 dan UU tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

Jembatan teoritiknya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam

fungsinya baik positif maupun negatif. Di samping itu, perlu dicatat pula

beberapa yurisprudensi yang memberikan kedudukan hukum adat pidana

sebagai sumber hukum tidak tertulis dalam memeriksa dan memutus suatu

kasus adat. Di sisi lain, secara sosiologis hal-hal di atas telah memperoleh

dukungan dari „legal community‟ dalam bentuk rancangan KUHP, yang secara

jelas mengakui eksistensi hukum adat pidana, mengakui sifat ajaran melawan

hukum materiil, mengakui jenis pidana tambahan „pemenuhan kewajiban adat‟,

mengakui penyelesaian konflik sebagai salah satu tujuan pemidanaan. Apabila

persoalan ini kita kembalikan pada pemahaman tentang istilah „hukum pidana

nasional‟, maka istilah nasional harus diartikan secara relatif, karena muatannya

mau tidak mau harus mencakup 1) aspirasi ideologi nasional; 2) aspirasi kondisi

manusia, alam dan tradisi bangsa; dan 3) kecenderungan internasional yang

diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

Mengkaitkan asas legalitas dengan hukum pidana adat, jelas tidak akan

memperoleh titik temu, karena di satu sisi hukum pidana adat dilandasi oleh

8

falsafah harmoni dan „communal morality‟. Sedangkan di sisi lain, asas legalitas

(principle of legality) berporos pada 1) legal difinition of crime; 2) punishment should

fit the crime; 3) doctrine of free will; 4) death penalty for some offences; 5) no empirical

research; dan 6) definite sentence, yang kesemuanya ini merupakan karakteristik

daripada aliran klasik. Mencermati semua permasalahan ini, maka asas legalitas

yang mempunyai elemen utama jaminan kepastian hukum terhadap keberadaan

tindak pidana dan sanksi pidana (maupun tindakan) haruslah ditafsirkan dalam

kerangka pemikiran neo-klasik, yang memandang pula betapa pentingnya

tindak pidana natural (natural crime) atas dasar konsep „Dader-daadstrafrecht‟.

Dalam hal ini terkandung pula apa yang dinamakan „demokratisasi‟ perumusan

tindak pidana, dalam artian apa yang dinamakan tindak pidana mutlak

dilandasi oleh persepsi yang sama antara penguasa dengan rakyat.

Asas legalitas harus diartikan secara kontemporer dengan „spirit‟ yang

berbeda dari aslinya dan lebih demokratis, spirit tersebut antara lain : a) Forward

looking; b) Restoratif justice; c) Natural crime; dand)Integratif

Atas dasar keempat tolok ukur tersebut di atas, akan dapat dilakukan

suatu seleksi untuk dapat memahami, apakah delik adat dapat disejajarkan

dengan hukum pidana tertulis (proses rekriminalisasi dan aktualisasi). Persoalan

ini menjadi sangat penting, karena sampai saat ini masih banyaknya orang

mengartikan hukum adat dan asas legalitas secara „bebas nilai‟ (value free).

Keempat tolok ukur sebagaimana dikemukakan di atas, memperoleh

pembenarannya dari segi konseptual, yang untuk masing-masing tolok ukur

tersebut dapat diberikan penjelasan sebagai berikut :

a) Spirit “forward looking” didukung oleh nilai bahwa penggunaan hukum

pidana hendaknya jangan semata-mata sebagai sarana balas dendam;

9

b) Spirit “Restoratif justice” didukung oleh sistem nilai yang menegaskan

bahwa kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan hukum

pidana haruslah lebih kecil dari akibat tindak pidana;

c) Spirit “natural crime” dibenarkan sistem nilai bahwa, baik „law making‟

maupun „law enforcement‟ harus didukung oleh masyarakat; dan

d) Spirit “integratif” didukung oleh fungsi hukum pidana yang harus

mencakup pengaturan yang serasi tentang perbuatan yang bersifat

melawan hukum, pertanggungjawaban pidana pelaku, pidana dan

tindakan serta perhatian terhadap korban tindak pidana.

Jika direduksi, maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan

adanya ketertiban.Tujuan ini tentunya sejalan dengan fungsi utama hukum

yaitu, mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu

masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan

obyektif bagi setiap masyarakat manusia. Para penganut teori hukum positif

menyatakan bahwa „kepastian hukum‟ sebagai tujuan hukum. Kerangka pikir

positivisme hukum beranjak dari, ketertiban ataupun keteratutan tidaklah

mungkin dapat terwujud tanpa adanya garis-garis prilaku kehidupan yang pasti.

Keteraturan akan ada jika ada kepastian, dan untuk adanya kepastian hukum

haruslah dibuat dalam bentuk tertulis. Anggapan ini dibenarkan oleh banyak

kalangan akhli hukum, karena faktanya memang demikian. Tetapi sangatlah

penting untuk diingat kembali, berbagai kritik yang dilontarkan terhadap

bentuk hukum tertulis, karena dalam bentuknya yang demikian,hukum dapat

terjebak oleh sifatnya yang kaku (rigid) sehingga sulit mengantisipasi kebutuhan

hukum masyarakat. Bertolak dari pemikiran tersebut, kepastian hendaknya

jangan ditafsirkan secara kaku, tetapi kepastian yang fleksibel, bukan dalam arti

dapat ditafsirkan secara luas, melainkan bersifat lengkap, konkrit, prediktif dan

antisipatif.

10

Bertolak dari apa yang dikemukakan tersebut di atas serta dengan

mencermati tolok ukur yang telah pula dikemukakan , maka usaha

rekriminalisasi (mencakup „law making‟ dan „law enforcement‟ harus dapat

merumuskan secara jelas keempat hal di atas, yang apabila dijabarkan akan

menyangkut persyaratan sebagai berikut :

1) tidak semata-mata bertujuan pembalasan, dalam arti bersifat ad hoc;

2) harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas (bisa aktual dalam

delik materiil dan bisa potensial dalam delik formil);

3) apabila ada cara lain yang lebih baik dan efektif, hendaknya hukum

pidana tidak dipergunakan;

4) kerugian yang ditimbulkan akibat pemidanaan, harus lebih kecil apabila

dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan;

5) memperoleh dukungan masyarakat; dan

6) dapat diterapkan secara efektif

Apabila disepakati, bahwa asas legalitas dalam pengertian kontemporer

harus mencakup legalitas atas : 1) tindak pidana; 2) sanksi pidana dan tindakan;

3) pelaku, yang dalam hal ini orang atau badan hukum; dan 4) korban, maka

akan sangat menarik apabila hal ini digunakan untuk mengevaluasi karakteristik

hukum pidana adat. Di dalam melakukan evaluasi terhadap karakteristik

hukum adat pidana, Muladi mengemukakan asumsi-asumsinya sebagai berikut :

a. Tidak adanya pemisahan antara hukum pidana dengan hukum privat

secara dikhotomi relatif dapat dibenarkan. Hal ini antara lain

dicerminkan oleh “ultima ratio principles” atau “principles of restraint”,

sanksi yang saling menunjang (ganti rugi dalam hukum pidana), adanya

hukum pidana administratif dan tindakan tata tertib.

b. Penonjolan “communal morality” hendaknya diimbangi dengan

“institusional morality” dan “civil morality”. Contohnya adalah dengan

11

adanya “collective responbility” tanpa landasan ajaran kesalahan sama

sekali.

c. Hukum adat pidana hendaknya didudukkan secara komplementer

(ingat peranannya sebagai environmental input) terhadap asas „prae

existence regels‟.

d. Penyelesaian lewat perdamaian dalam delik-delik perseorangan yang

tidak menyangkut persekutuan dalam hukum adat pidana, hendaknya

dibatasi untuk tindak-tindak pidana ringan dan dalam kaitannya

dengan hukum pidana nasional dapat dihubungkan dengan „alternative

sanction‟.

e. Dalam beberapa delik adat, masalah kemampuan bertanggungjawab

atas (orang gila, anak) dikesampingkan. Hal ini tidak mungkin diterima

atas dasar doktrin „daad-daderstrafrecht‟. Secara universal, setiap tindak

pidana harus mencakup dua elemen. Elemen pertama adalah elemen

material yakni adanya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-

undang, dan elemen kedua adalah elemen mental dalam bentuk

kesengajaan termasuk „dolus eventualis‟ dan kealpaan.

f. Dalam hal-hal tertentu dalam hukum adat pidana „individualisasi

pidana‟ didasarkan atas stratifikasi sosial. Prinsip „equality before the law‟

harus dikembangkan pada alasan-alasan universal dan obyektif.

g. Dalam hukum adat pidana, perbuatan main hakim sendiri dalam hal-hal

tertentu dapat dibenarkan. Hal ini perlu ditinjau, karena secara

universal main hakim sendiri hanya dimungkinkan dalam „self defence‟

yang bersifat darurat.

h. Pedoman pemidanaan seringkali berorientasi pada prinsip „daad-

strafrecht‟. Masalah kerugian atau korban, perlu dipertimbangkan untuk

menentukan berat ringannya pidana seperti konsep KUHP.

12

3. PENGAKUAN KEBERADAAN HUKUM PIDANA ADAT DI BALI

Di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali, masyarakatnya hidup

dalam suatu himpunan organisasi kemasyarakatan dengan sistem budaya yang

berkaitan erat dengan nilai-nilai yang bersifat religius. Demikianlah, hukum adat

yang ada yang hidup dan diakui dalam kenyataan masyarakat banyak berbaur

dengan nilai-nilai keagamaan. Eratnya kaitan antara hukum adat dan agama,

sebenarnya telah pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven, di mana

dikemukakan bahwa hukum adat dan agama Hindu di Bali merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai akibat pengaruh agama Hindu

demikian kuatnya ke dalam adat istiadat6 . Keterkaitan tersebut berakibat dalam

beberapa hal, ketaatan terhadap hukum adat, juga berhubungan dengan adat

dan agama karena hukum adat tidak hanya dikokohkan oleh sanksi yang

bersifat lahiriah, tetapi juga sanksi yang bersifat batiniah. Salah satu contoh

konkrit keterkaitan yang erat antara hukum adat dan agama, adalah tata cara

penjatuhan “sanksi adat” untuk delik-delik adat tertentu yang pelaksanaannya

banyak berupa kewajiban untuk melaksanakan ritual adat keagamaan tertentu.

Semua ini tentunya dilandasi dan berhubungan pula dengan nilai dasar

filosofis reaksi adat, yakni untuk mengembalikan keseimbangan masyarakat

karena perasaan kotor (“leteh”).7 Dengan demikian, dalam masyarakat adat di

Bali, di samping dikenal sanksi yang bersifat materiil juga sanksi yang bersifat

immateriil.

Dalam pola pikir masyarakat adat di Bali hampir semua kejadian dapat

dilihat sebagai suatu „pertanda‟ akan terjadinya sesuatu kejadian yang bersifat

6 Van Vollenhoven., Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht), terj.

Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, (Jakarta : Djambatan, 1981), hal.131

7 I Gusti Ketut Ariawan 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta, hal.10

13

positif ataupun negatif. Pola pikir ini telah mengakar bahkan „mengkultur‟

dengan kuatnya serta melandasi hidup dan kehidupan masyarakat adat. Oleh

karena itu, tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pemenuhan kewajiban

adat sampai dewasa ini masih tetap dilaksanakan, walaupun kasus tersebut

telah diselesaikan lewat mekanisme peradilan pidana. Dijatuhkannya sanksi

adat, sangatlah tergantung pada sensitif atau tidaknya pelanggaran yang

dilakukan. Memang, dalam praktek peradilan di Bali tidak banyak ditemukan

putusan hakim yang menjatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat, padahal

di satu sisi masyarakat adat menghendaki dijatuhkannya pidana pemenuhan

kewajiban adat. Dalam kasus-kasus yang menghendaki dijatuhkannya

pemenuhan kewajiban adat tentunya hakim akan terbentur pada ketentuan

Pasal 10 KUHP, yang tidak menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai

salah satu jenis pidana.

Secara normatif, Pasal 5 ayat (3) sub b UU No.1 Drt/ 1951

memungkinkan hakim untuk menjatuhkan sanksi adat, namun dalam praktek

hal tersebut sangat jarang dilakukan. Untuk jelasnya berikut dikutip Pasal 5 ayat

(3) sub.b UU No.1 Drt/1951 sebagai berikut :

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian :

bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukum adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan dasar kesalahan terhukum.

bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksudkan di atas , maka atas kesalahan terdakwa dapat

14

dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.

bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana tersebut”

Kesimpulan yang dapat dikemukakan dengan melihat rumusan pasal

tersebut di atas adalah :

1. Delik adat yang tidak ada bandingannya dalam KUHP dan tergolong

tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya adalah pidana penjara

selama 3 bulan dan atau pidana denda lima ratus rupiah. Sedangkan

untuk delik hukum adat yang sifatnya berat, ancaman pidananya adalah

sepuluh tahun, sebagai perngganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh

terhukum.

2. Delik adat yang mempunyai bandingan dengan KUHP, maka ancaman

pidananya sama dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP.

3. Menurut UU No.1 Drt Tahun 1951, sanksi adat dapat pula dijadikan

pidana pokok oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara adat,

yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang

tidak mempunyai bandingan dalam KUHP.

Dengan demikian, sebenarnya ada kewajiban bagi hakim untuk menggali,

mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Apabila persoalan ini dikembalikan pada sanksi adat, maka ketentuan tersebut

di atas merupakan landasan yang mewajibkan serta memberikan kewenangan

kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi adat. Hanya saja persoalannya,

penjatuhan sanksi adat (di luar ketentuan Pasal 10 KUHP) hanya bisa dijatuhkan

terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai bandingannya dalam

15

KUHP. Sedangkan dalam kenyataannya, ada beberapa perbuatan yang dilarang

dan diancam pidana menurut ketentuan KUHP, tetapi menurut pandangan

masyarakat juga merupakan delik adat yang terhadap pelanggarnya dituntut

untuk melakukan upaya adat.

Dilihat dari ketentuan Pasal 3 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt Tahun 1951,

sebenarnya hakim dapat saja mejatuhkan pidana pemenuhan kewajiban adat.

Persoalannya, adalah dalam KUHP maupun UU No. 1 Drt Tahun 1951 tidak

menyebutkan pemenuhan kewajiban adat sebagai salah satu jenis pidana. Hal ini

tentunya mempersulit posisi seorang hakim, karena di satu sisi ada kewajiban

untuk menggali hukum dan mengikuti perasaan keadilan masyarakat, namun di

lain sisi, tidak ada ketentuan yang dapat dijadikan pedoman. Disini sebenarnya

ditunut keberanian hakim untuk menemukan hukum, namun hal tersebut tidak

dilakukan. Terobosan yang cukup menarik yang dilakukan oleh hakim

Pengadilan Negeri di Bali adalah Putusan Pengadilan Negeri Gianyar No.

11/Pid/1972, tanggal 13 Maret 1972 dalam kasus delik adat lokika sanggraha,

antara terdakwa I Gusti Ngurah Raka dengan saksi korban Ni Nyoman Kenyod

yang menjatuhkan pidana dengan syarat khusus. Dalam bagian

pertimbangannya secara jelas disebutkan Menimbang bahwa saksi I Nyoman

kenyod menerangkan bahwa ia telah dihukum oleh masyarakat desanya karena

telah dianggap mengotori desanya, dengan dikenai denda dan harus melakukan

upacara pembersihan desanya dengan mengadakan upacara “widi-widana”,

maka menurut hemat hakim, sudah sepatutnya apabila hukuman yang

dibebankan kepada saksi I Nyoman Kenyod itu dibebankan kepada terdakwa.

Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 18/Pid/S./1986/PN-KLK, dalam

kasus delik adat lokika sanggraha antara terdakwa I Ketut Suparta. dengan saksi

korban Ni Ketut Werni. Di dalam bagian pertimbangannya, secara jelas dapat

dibaca bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa adalah merupakan tindak

16

pidana adat yang dapat mengganggu keseimbangan riil maupun immateriil,

mengganggu keseimbangan lahir maupun magis bagi masyarakat setempat. Di

samping itu juga, terutama terhadap si anak yang lahir sebagai akibat

perbuatan terdakwa, jangan sampai mengalami tekanan bathin, serta tersisih

dari pergaulan masyarakat, di samping juga karena kelahirannya tersebut desa

adat tidak memberikan ijin kepadanya dan juga kepada keluarganya untuk

melaksanakan upacara keagamaan di pura-pura di wilayah desa adat. Dengan

dasar pertimbangan tersebut maka tidaklah bertentangan dengan hukum

apabila terhadap terdakwa juga diterapkan Pasal 14 c KUHP yaitu dengan

membebani suatu syarat khusus yang akan disebutkan dalam amar putusan.

Dari beberapa kasus delik adat yang telah diputus oleh hakim pengadilan

negeri yang dikemukakan di atas, sangat menarik untuk dikemukakan,

bagimanakah tindakan-tindakan yang diambil oleh “krama” desa adat, sebagai

berikut :

1. Dalam kasus pencurian benda-benda suci untuk melakukan upacara

keagamaan, dalam bentuk pretima di Pura Agung Jagatnata, di desa adat

Denpasar, Pengadilan Negeri Denpasar No. 88/P.N. Dps/K.S./1981,

tanggal 8 Juni 1981 telah diputus berdasarkan ketentuan Pasal 363 ayat

(1) angka 3 KUHP dan pelakunya (Jumadi ) dijatuhi pidana penjara

selama 4 tahun, namun krama desa adat Denpasar beranggapan pidana

penjara tersebut belumlah sepadan dengankerugian yang ditimbulkan

oleh perbuatan pelaku. Perbuatan pelaku telah mengakibatkan bukan

saja kerugian materiil, tetapi juga kerugian immateriil. Untuk

memulihkan kerugian immateriil, krama adat Denpasar melakukan

upacara prascita, dengan maksud untuk mengembalikan kesucian

pretima dan juga penyucian kembali tempat kejadian.

17

2. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk

“Pependeman” yang terjadi di Banjar Manukaya Anyar, Kecamatan

Tampaksiring, Kabupaten daerah Tingkat II Gianyar yang telah diputus

oleh Pengadilan Negeri Gianyar dengan putusannya No.

5/Pid/S/1987/PN.Gir., tanggal 26 Februari 1987. Krama desa adat tetap

membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara “mecaru manca

sata” kepada pelakunya (I Nengah Serinu dan I Made Rateng).

3. Dalam kasus pencurian sarana upacara keagamaan dalam bentuk

“pretima” yang terjadi yang terjadi di Pura Desa Sulang , Kecamatan

Dawan, Kabupaten Daerah Tingkat II Klungkung. yang telah diputus

oleh Pengadilan Negeri Klungkung No. 10 /PN.KLK / PID ./ TOL / ‟79,

tanggal 29 Januari 1980. Krama desa adat membebankan upacara

“pecaruan desa” dengan maksud untuk mengembalikan kesucian desa

adat.

4. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh

Pengadilan Negeri Denpasar dengan putusannya No.

89/Pid/B/1997/PN.Dps, tanggal 8 Mei 1997. Krama desa adat Pering,

Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar juga

membebankan kewajiban adat untuk melakukan upacara pecaruan desa

kepada saksi korban Ni Gusti Ayu Nilawati, dan sebelum upacara

tersebut dilakukan maka saksi korban beserta keluarganya dilarang

untuk mengikuti upacara keagamaan di pura desa setempat. Kewajiban

untuk melakukan ritual pecaruan tersebut dimaksudkan untuk

menyucikan desa, karena saksi korban telah melahirkan seorang anak

tanpa ikatan perkawinan. Dalam kasus delik adat ini menarik untuk

dikemukakan, bahwa beban yang diwajibkan krama desa adat justru

kepada saksi korban sendiri. Permasalahannya, mengapa bukan kepada

18

pelakunya, yang dalam hal ini Nyoman Armaya. Menurut bendesa adat

Pering, putusan krama desa adat lebih banyak menyoroti kelahiran anak

dari saksi korban yang menurut kepercayaan krama adat setempat telah

menimbulkan adanya perasaan “leteh”. Permasalahan ini kemudian

berlanjut dengan digugatnya pelaku (Nyoman Armaya) oleh saksi

korban di Pengadilan Negeri Gianyar. Di dalam putusan No.

1/Pdt.G/1998/PN.Gir. dalam salah satu petitum gugatan yang

dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Gianyar menyebutkan pembebanan

kepada tergugat I Nyoman Armaya untuk membayar upacara pecaruan

yang dikeluarkan oleh saksi korban sebesar Rp.350.000,-

5. Dalam kasus delik adat lokika sanggraha yang telah diputus oleh

Pengadilan Negeri Gianyar No. 4/Pid.B./1997/PN.GIR, tanggal 29 Maret

1997. Krama Banjar Adat Kecagan, Desa Adat Ketewel, Kecamatan

Sukawati, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, membebankan

kewajiban untuk melakukan upacara “meprascita”, karena kehamilan

saksi korban (Ni Ketut Koti) dianggap telah menodai desa adat.

6. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh

Pengadilan Negeri Denpasar, No. 161/KS/Pid/1974, tanggal 30 Agustus

1974, dan dalam tingkat banding dengan putusan Pengadilan Tinggi

Nusa Tenggara dengan putusan No.15/PTD/1975/Pid, tanggal 16 Juli

1975. Krama desa adat Carangsari telah menjatuhkan hukuman berupa

kewajiban untuk melakukan ritual “pecaruan desa” kepada pelaku (I

Nyoman Gatra alias Pan Limur alias Pan Malen)

7. Dalam kasus delik adat Gamia-gamana yang telah diputus oleh

Pengadilan Negeri Amlapura dengan putusannya No.

61/Pid.B./94/PN.AP., tanggal 15 Desember 1994. Krama desa adat

Abang, Kecamatan Abang, Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem

19

menjatuhkan hukuman berupa kewajiban untuk melakukan upacara adat

“pemayuh jagat” karena perbuatan pelaku dianggap menodai kesucian

desa adat.8

Dengan pemaparan tersebut jelas menunjukkan bahwa penyelesaian

kasus-kasus delik adat lewat mekanisme proses peradilan pidana, menurut

pandangan masyarakat (“krama”) desa adat di Bali, belum menyelesaikan

permasalahannya secara tuntas. Pemidanaan yang didasarkan atas ketentuan

Pasal 10 KUHP bukan sarana yang dapat mengembalikan keseimbangan sebagai

akibat adanya pelanggaran norma adat.

4. HUKUM PIDANA ADAT DI BEBERAPA DAERAH

Di beberapa daerah lain di Indonesia, realitas menunjukkan masih eksisnya

penyelesaian tindak pidana di luar peradilan, bahkan pola tersebut telah melembaga

dengan kokohnya. Dari beberapa hasil-hasil penelitian yang dilakukan, antara lain

dapat diidentifikasi beberapa daerah yang masih mengakui keberadaan pola

penyelesaian delik adat sebagai berikut :

1. Dalam kalangan masyarakat Aceh, juga dikenal cara-cara penyelesaian konflik

lewat ritual ”peusejeuk”. Hal ini terungkap dari penelitian tentang pengendalian

sosial di desa-desa tertentu di Aceh yang dilakukan oleh Alpian.

2. Terhadap delik adat Sasak yang tetap eksis di kalangan masyarakat adat Sasak

(lombok), seperti : ”Bekekaruh”, ”Bero dait sesato”, ”Ngeregah”, ”Ngampahang” atau

”Ngamburayang” juga dikenal cara-cara penyelesaiannya dengan memerankan

tokoh-tokoh adat sasak yang terhimpun dalam suatu lembaga yang bernama

”krama desa” di tingkat desa dan ”krama gubuk” di tingkat dusun., dimana

lembaga ini seringkali bertindak sebagai hakim perdamaian desa khususnya

8Untuk penyelesaian kasus-kasus delik adat oleh desa adat di Bali seperti tersebut nomor

1 sampai nomor 7, lebih jauh lihat I Gusti ketut Ariawan 1992.“Eksistensi …” hal. 150 - 256

20

dalam menyelesaikan delik adat sasak yang sifatnya ringan atas dasar

musyawarah atau ”begundem”

3. Dalam kalangan masyarakat hukum adat Lamaholot Kabupaten Flores Timur

juga dikenal cara-cara penyelesaian delik adat yang disebut : ”lewak tapo”, ”mao”

atau ” manuk telun”. Ritual dimaksud telah mengakar dengan kuat dan bahkan

telah menjadi budaya masyarakat setempat, dalam upaya untuk mencari kausa

kejahatan baru (balas dendam) karena belum dilakukannya ritual adat sebagai

upaya untuk menetralisasi keseimbangan yang terganggu.

4. Di kalangan masyarakat adat Kabupaten Biak Numfor Provinsi Papua dikenal

beberapa jenis delik adat yang sebagian besar juga termasuk delik umum dalam

KUHP. Apabila delik tersebut dilanggar maka terhadap si pelanggar dapat

diminta pertanggungjawabannya oleh ”mananwir” selaku hakim adat melalui

Dewan Adat Kainkain Karkara Biak, sebagai lembaga peradilan perdamaian

lingkungan masyarakat hukum adat Biak Numfor. Delik adat mamun/aipyokem

(pembunuhan), wos bin (perzinahan) dan sasmer bin (membawa lari seorang anak

perempuan gadis atau istri orang) dikategorikan sebagai delik adat berat, namun

pemahaman orang Biak selama ini menganggap delik pembunuhan, perzinahan

dan membawa lari anak gadis atau istri orang disebut sebagai ”mambri” (orang

kuat/hebat) dan sikap yang ditunjukkan itu dianggap mengangkat martabat

dari klen/keretnya, sehingga yang bersangkutan disegani, dan dihormati

sebagai pahlawan. Berbeda halnya dengan delik pencurian, karena dianggap

tabu maka pelakunya dapat dikenakan sanksi diusir dari kampungnya.

Setiap pelangaran adat yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan

masyarakat adat, harus segera dipulihkan. Pengembalian atau pemulihan

keseimbangan ini, biasanya selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan

yang harus dipertanggungjawabkan kepada si pelanggar adat. Perbuatan atau

kejadian ini, tidak selalu dalam bentuk tindakan yang bersifat jasmaniah, bahkan

tindakan-tindakan itu sebagian besar merupakan tindakan yang bersifat

rokhaniah, dalam bentuk kewajiban untuk melakukan ritual-ritual adat tertentu

yang dapat diyakini untuk memulihkan keseimbangan yang terganggu. Ritual

21

adat merupakan salah satu upaya pemulihan keseimbangan yang terganggu

dalam masyarakat, masyarakat hukum adat Biak Numfor biasanya menggelar

upacara pemulihan keseimbangan hanya dikhususkan untuk delik adat

mamun/aipyokem (pembunuhan). Istilah yang dipergunakan, yaitu ”wafwuf afer”

(tiup kapur) atau ”owapuk ambober” (potong bambu) sebagai simbol yang

memiliki nilai kerelegiusan dan kesakralan dalam mendamaikan si pelaku

dengan pihak keluarga korban.

5. Di kalangan masyarakat Kampung Kabupaten Waropen9 Provinsi Papua, delik

adat lebih variatif. Dalam masyarakat hukum adat di kampung-kampung

kabupaten Waropen, ada berbagai perbuatan yang dianggap sebagai

pelanggaran adat di samping ada pula pelanggaran-pelanggaran yang

sifatnya ringan. Klasifikasi perbuatan sebagai delik di kampung-kampung

di 4 distrik, yaitu : distrik Maserei, Urei Faisei, Waropen Bawah dan

Oadate apabila diklasifikasikan termasuk ke dalam: 1) delik terhadap

badan dan nyawa ; 2) delik harta benda ; 3) delik terhadap kehormatan

seseorang ; 4) delik terhadap kesusilaan ; dan 5) pelanggaran lainnya.

Hanya saja, di masing-masing kampung / distrik, penyebutan nama delik

tersebut berbeda sesuai dengan bahasa daerah masing-masing. Berikut

nama-nama perbuatan yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran adat di

masing-masing distrik :

A. Distrik Maseirei : Distrik Maseirei terdiri dari 9 kampung dengan jumlah penduduk

kurang lebih 3.159 jiwa, terdiri dari 14 suku10, yaitu : 1) Suku Mambai; 2)

9 I Gusti Ketut Ariawan dan Daniel Tanati “Delik Adat di Kampung-Kampung

Kabupaten Waropen Papua” Penelitian kerjasama Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan BAPEDA Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, Tahun 2008

10 Jumlah suku yang teridentifikasi. Banyaknya jumlah suku karena patokan bahasa yang dipakai sebagai pedoman.

22

Suku Papado; 3) Suku Risei; 4) Suku Sewobari; 5) Suku Bokadaro; 6) Suku

Oadate; 7) Suku Papai; 8) Suku Aniboi; 9) Suku Mayawahedo; 10) Suku

Urato; 11) Suku Sinonnde; 12) Suku Koweda; 13) Suku Sauri Sirame; dan

Suku Rowiare

Perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasi sebagai pelanggaran adat,

yaitu :

No Klasifikasi Nama/sebutan dalam

bahasa setempat Sanksi Keterangan

1.

Delik terhadap badan dan nyawa

1. Munio (penganiayaan) 2. Famunio (pengania-

yaan dengan menggu- nakan alat)

3. Munifero (penganiayaan

yang berakibat mati)

Denda Denda

Diserahkan

ke kepolisian

Besar dan bentuk denda ditentukan oleh lembaga adat, kepala kampung dan keamanan

2.

Delik terhadap harta benda

Humamana (pencurian)

Denda

sda

3.

Delik terhadap kehormatan seseorang

Ghadadumana (pelecehan bagi sebutan nama kepala kampung)

Denda

sda

4.

Delik terhadap kesusilaan

1. Wererai (menceraikan

suami/istri tanpa alasan yang sah) Delik ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Ri Bingga : apabila

suami menceraikan istri tanpa alasan yang sah.

b. Ri Mangga : apabila istri menceraikan suaminya tanpa alasan yang sah.

Denda

sda

23

2. Omamana (Zinah)

5.

Pelanggaran lain

Yai Iningga (Khewan peliharaan/sapi pelihara- an yang lepas, kemudian memakan tanaman orang lain sehingga menimbul- kan kerugian)

Denda

sda

B. Distrik Ureifaisei :

Distrik Ureifaisei terdiri dari 7 kampung dengan jumlah penduduk

kurang lebih 4.387 jiwa, terdiri dari suku, yaitu : 1) Suku Faisei

Saubowoa; 2) Suku Nubuai; 3) Suku Mambui; dan Suku Woyui

Perbuatan-perbuatan yang dapat diidentifikasi sebagai pelanggaran adat,

yaitu :

No Klasifikasi Nama/sebutan dalam bahasa setempat

Sanksi Keterangan

1.

Delik terhadap badan dan nyawa

1. Fameio (penganiayaan),

disebutkan juga dalam istilah lain, seperti : Kifamei, Kifaniu, Kimonio

Denda

Piring atau uang

Penjatuhan denda dilaksanakan oleh Sera dibantu sera titibi dan Eso

2.

Delik terhadap harta benda

1. Bumemana (pencurian yang dilakukan secara bersama-sama / lebih dari 1 orang)

2. Humamana (pencurian yang pelakunya hanya 1 orang)

Denda

Pada masa lalu, apabila denda dijatuhkan biasanya dalam bentuk kewajiban menyerahkan atap/gabok

3.

Delik terhadap kehormatan

Tidak ada istilah, tetapi sebutan bagi orang yang

Denda

-

24

seseorang melakukan pelecehan, disebut ”Swanggi” dan apabila pelecehan dilakukan terhadap wanita,sebutannya ”Onaruruwaei”

4.

Delik terhadap kesusilaan

1. Minarei

(perzinahan)apabila dilakukan oleh orang yang belum dalam status pernika- han, sebutannya Wimabo-Waribo.

Dinikahkan

Bila tidak mau menikah, oleh putusan adat akan dijatuhkan denda barang dan uang

5.

Pelanggaran lain

Raika Rongu : mengakui hak orang lain

Denda

-

C. Distrik Waropen Bawah :

Distrik Waropen Bawah terdiri dari 12 kampung dengan jumlah

penduduk kurang lebih 4. 721 jiwa, terdiri dari 5 keret besar, yaitu : 1)

Keret Sawai; 2) Keret Wairo; 3) Keret Saimua; 4) Keret Imbiri; dan 5) Keret

Watofa

Di distrik Waropen Bawah tidak banyak dapat diidentifikasi nama-

nama delik/pelanggaran adat, namun dalam bahasa yang telah umum

diterima oleh masyarakat kampung-kampung di distrik waropen bawah

dikenal suatu istilah atau sebutan nigogoko atau niyaro yang artinya

anggota masyarakat yang tidak tahu adat. Namun demikian, dalam

penelitian ini, dapat pula diidentifikasi (nama-nama) beberapa jenis

pelanggaran adat, yang apabila diklasifikasi termasuk juga dalam tindak

pidana terhadap badan dan nyawa, tindak pidana yang tertuju pada harta

benda, tindak pidana terhadap kehormatan, tindak pidana terhadap

kesusilaan dan jenis pelanggaran lain, seperti nampak dalam tabel berikut

:

25

No Klasifikasi Nama/sebutan dalam

bahasa setempat Sanksi Keterangan

1.

Delik terhadap badan dan nyawa

1. Munggaiwara

(penganiayaan)

Sanksi adat

denda Piring atau

uang

Bagi orang luar kampung, sanksinya bisa diusir

2.

Delik terhadap harta benda

1. Humamana (pencurian) 2. Yokoharo (penipuan)

Sanksi adat

denda Piring atau

uang

-

3.

Delik terhadap kehormatan seseorang

-

-

-

4.

Delik terhadap kesusilaan

1. Youmamana (Zinah) 2. Pelanggaran adat yang

melarang melakukan perkawinan bagi mereka yang mempunyai hubungan darah dekat

Sanksi adat

denda Piring atau

uang

-

5.

Pelanggaran lain

1. Nigogoko atau Niyaro

(sebutan yang umum dipakai untuk menunjukkan bahwa orang tersebut tidak tahu aturan adat)

denda

-

Dari beberapa jenis pelanggaran adat tersebut dapat diketahui

bahwa jenis-jenis tindak pidana tersebut telah diatur dalam KUHP

sebagai delik pidana umum. Namun menurut pandangan masyarakat

adat setempat, jenis-jenis pelanggaran tersebut termasuk juga

pelanggaran adat/delik adat.

26

Terhadap jenis pelanggaran adat tersebut, penyelesaiannya

dilakukan di hadapan kepala kampung dan kepala adat. Putusan yang

diambil, semuanya didasarkan pada musyawarah mufakat, dalam suatu

ritual adat yang disebut ‟Waisowosiyo‟ yang artinya mari duduk secara

bersama-sama untuk menyelesaikan masalah11. Lebih-lebih dalam

pelanggaran adat ”perkelahian” atau penganiayaan, ritual Waisowosiyo

sangat mempunyai arti/makna. Dalam pandangan masyarakat adat di

kampung-kampung distrik Waropen Bawah, proses peradilan formal

kasus-kasus adat hanya menyelesaikan masalah di permukaan, dan

belum menyelesaikan masalahnya secara tuntas. Ritual ini dimaksudkan

pula untuk menghindarkan adanya balas dendam yang tidak saja dapat

dilakukan oleh keluarga dekat korban, tetapi kemungkinan pula

dilakukan oleh keturunan korban.

D. Distrik Oadate :

Oadate berasal dan kata : ”Owa furu” dan ”Date” Owa furu berarti

orang yang tidak tahu apa-apa / pengembara. Sedangkan ”date” berarti

sekelompok orang di darat. Secara harfiah, Oadate berarti ikatan orang-

orang darat. Sebutan orang darat lebih berkonotasi pada pembedaan

orang-orang waropen pesisir dengan orang-orang yang mendiami daerah

dataran di daratan waropen. Namun perlu dicatat bahwa dalam

pandangan masyarakat adat oadate, prinsipnya semua orang berasal dari

darat yang kemudian sebagian dari mereka pergi ke pesisir.

Distrik Oadate terdiri dari 5 kampung dengan jumlah penduduk

kurang lebih 1984 jiwa. Di distrik Oadate terdapat kurang lebih 18 suku,

namun dalam penelitian ini hanya diwakili oleh 4 suku, yaitu : 1) Suku

11 Hasil wawancara dengan Gharak Rumabin Anthonius Rumboisano (Kepala Suku

Besar Sawai)

27

Demisa; 2) Suku Choria/Oa; 3) Suku Sapuni/Kuriye; dan Suku Nubuai

(suku Kai Barat)

Di kalangan masyarakat adat suku Demisa, otoritas Dewan Adat

dipimpin oleh seorang kepala adat suku besar yang disebut ”Date

Teadiya” Kepala suku besar dibantu oleh panglima tertinggi adat,

mahkamah tinggi adat dan komandan perang lapangan. Di kalangan

suku Demisa, berlaku suatu ketentuan bahwa seorang anak laki-laki,

sebelum melangsungkan perkawinan, ia wajib untuk menuntut ilmu

dalam sekolah adat. Sekolah adat dapat pada masa lalu, lamanya sampai

12 tahun dan kemudian berubah menjadi 6 tahun, kemudian berubah

menjadi 3 tahun, berubah lagi menjadi 1 tahun. Sekarang sekolah adat

hanya berlangsung selama 3 bulan, karena di kalangan suku demisa ada

kekhawatiran aktivitas sekolah adat ini bisa dicurigai sebagai kegiatan

yang melanggar aturan. Selesainya yang bersangkutan menjalankan

kewajiban belajar di sekolah adat menjadi tolok ukur bahwa seseorang

telah dewasa (”basire”). Bagi mereka yang belum mengenyam pendidikan

sekolah adat disebut ”boose”.

Sekolah adat di kalangan suku demisa, mengajarkan berbagai

keterampilan seperti : ilmu perang/strategi taktik serang, mengenali

musuh12, adaptasi dengan alam/lingkungan sampai kemampuan untuk

berubah wujud menjadi binatang seperti : tikus, buaya ataupun burung

kaswari dan juga kemampuan untuk memanggil binatang-binatang

tertentu13 Apabila dikaji dari penjelasan tersebut di atas, sebenarnya dapat

disimpulkan bahwa sekolah adat tersebut sebenarnya berkaitan erat

12 Strategi perang yang dipergunakan oleh suku Demisa adalah menyerang pada waktu

malam hari. Untuk mengenal lawan dan kawan, ”bokoraho” (memasang jamur pada jidat yang menyala di malam hari) merupakan sarana yang ampuh untuk mengenal kawan.

13 Rangkuman wawancara dengan Simon Didam dan Saul Didat sebagai kepala suku Demisa.

28

dengan situasi dan kondisi pada saat itu, dimana seseorang anggota suku

harus dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya, baik bertahan

dari serangan lawan maupun upaya bagaimana mereka dapat

mempertahankan hidup dengan memiliki keterampilan berburu dengan

cara memanggil binatang yang akan menjadi sasaran bidikannya.

Di kalangan suku-suku di distrik Oadate, tidak dikenal istilah-

istilah untuk menyebutkan suatu perbuatan sebagai delik/pelanggaran

adat. Hanya saja dalam sebutan yang telah umum diterima, istilah

”Kaowamero” dipakai sebagai sebutan bagi pelanggaran-pelanggaran

norma adat, baik itu untuk pelanggaran berupa pencurian, penganiayaan

maupun pembunuhan. Di kalangan suku Oa/Choria pelanggaran norma

adat disebut ”Birimdate” atau ”Datefiyae” yang berarti orang tidak baik.

Pada masa lalu, pelanggaran-pelanggaran adat selalu diancam dengan

hukuman mati sebagai putusan dari kepala suku yang sifatnya mutlak.

Kepala suku (”Oa”) dalam melaksanakan kewenangannya dibantu oleh

”Oedate” atau ”Oweidate” sebagai wakil dan juga ”Kumambe”

(masyarakat perang) dan ”Oboadamo” (masyarakat umum). Suku ini juga

mengenal sekolah adat, hanya saja berbeda dalam kurun waktu

pelaksanaannya dibandingkan dengan suku Demisa. Sekolah adat di

kalangan suku Oa/Choria hanya berlangsung 1 tahun, kemudian dirubah

menjadi 6 bulan. Dan setelah masuknya agama dan pemerintahan,

sekolah adat hanya berlangsung selama 7 hari (1 minggu). Namun yang

sama adalah materi yang diajarkan di sekolah adat, sama dengan apa

yang diajarkan dalam sekolah adat suku Demisa. Orang-orang yang

termasuk dalam suku Oa/Choria, menyebut pelanggaran adat sebagai

”Dilimdamo” yang berarti salahi aturan adat.

29

Yang menarik, adalah ditemukan 2 cara perdamaian adat dalam

penyelesaian kasus-kasus pelanggaran adat, yang disebut ”Sarohe” atau

pisang perdamaian adat. Dalam ritual ini, pisang sarohe dibakar beramai-

ramai (antara mereka yang terlibat konflik). Setelah pisang matang, semua

mengambil posisi berdiri dan kepala suku mulai berbicara, kemudian

disusul dengan pengucapan sumpah bersama untuk tidak melakukan

konflik. Kemudian, pisang dipatahkan dan sisanya dibagikan kepada

masing-masing warga.

Di kalangan suku Oa/Choria, juga dikenal cara perdamaian yang

disebut dengan istilah ”Atayumero” (penukaran perdamaian). Pola

penyelesaian ini biasanya dilakukan terhadap kasus-kasus perkawinan

ataupun perkelahian. Caranya adalah dengan cara penukaran sarana-

sarana tertentu, yang pada masa lalu biasanya dalam bentuk ”wemo”

(anjing), ”jubi” (anak panah).

6. DELIK ADAT DAN PERADILAN DI DAERAH OTONOMI KHUSUS

Pada masa kolonial ada dua bentuk peradilan untuk orang pribumi yaitu

”Peradilan Adat” dan ”Peradilan Desa”. Antara kedua badan peradilan ini,

sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipiil. Peradilan Desa umumnya

terdapat hampir di seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang

bersifat teritorial. Namum peradilan adat ditemukan pada masyarakat yang

bersifat teritorial maupun geneologis. Akan tetapi yang jelas kedua peradilan

dimaksud terkait dengan fungsi dari suatu masyarakat hukum adat

(adatrechtgemeenschap) yang ditemukan diberbagai masyarakat adat di

Nusantara. Namun tidak semua masyarakat adat mengenal adanya peradilan

adat atau peradilan desa, karena mereka hanya mengenal adanya suatu

mekanisme penyelesaian sengketa menurut hukum adat setempat.

30

Ketika pemerintah menetapkan Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun

1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan

Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan, Pengadilan Sipil (LN. 1951 No. 9)

pada tanggal 13 Januari 1951 pemerintah secara tegas sudah menentukan sikap

mengenai keberadaan peradilan adat dan kedudukan peradilan desa. Pada

pokoknya Undang-undang Darurat No. 1 Drt Tahun 1951 berisi 4 hal yaitu :

1. Penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan suasana

negara kesatuan.

2. Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja di beberapa

daerah tertentu dan semua pengadilan adat.

3. Pelanjutan peradilan agama dan peradilan desa; serta

4. Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat di mana

dihapuskan Landgerecht atau Pengadilan Negara serta pembentukan

Pengadilan Tinggi di Makassar dan pemindahan tempat kedudukan

Pengadilan Tinggi Yogya dan Bukit Tinggi masing-masing ke Surabaya

dan Medan.

Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951 menyatakan

pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman,

dihapus segala Peradilan Adat (Inheemse Rechtspraak in rechtsreeks bestuurd

gebied), kecuali Pengadilan Agama jika pengadilan itu menurut hukum yang

hidup merupakan satu bagian tersendiri dari Peradilan Adat. Kemudian dalam

ayat (3) disebutkan bahwa ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak

sedikitpun mengurangi kekuasaan yang sampai saat ini diberikan kepada

hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana di maksud dalam Pasal 3a

Rechterlijk Organisatie.

Penghapusan Peradilan Adat dimaksud untuk menciptakan adanya

kesatuan sistem peradilan melalui suatu Pengadilan Negara. Penghapusan

31

peradilan swapraja dan peradilan adat tak memungkinkan dijalankan pada saat

peraturan ini diundangkan, karena konsekuensinya bagi hakim pada Pengadilan

Negeri diperluaskan beban tugasnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka

penghapusan peradilan adat dilakukan secara berangsur-angsur menurut

kebutuhan dengan memperhatikan kesiapan tenaga-tenaga hakim di pengadilan

negeri.

Untuk itu, penghapusan peradilan adat dilakukan melalui beberapa

ketentuan seperti:

1. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17

(TLN 276) tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Swapraja dan

Pengadilan Adat di seluruh Sulawesi;

2. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No.

J.B.4/4/7 (TLN. 462) tentang Penghapusan Pengadilan-pengadilan Adat

di seluruh Lombok;

3. Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 TLN.

461) jo. Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954

No. J.B.A./4/20 (TLN. 642) tentang penghapusan-penghapusan

pengadilan-pengadilan swapraja dan Pengadilan Adat di seluruh

Propinsi Kalimantan;

4. Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan Pengadilan

Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Jaya

Barat. (Peraturan Presiden ini dengan Undang-undang No. 5 Tahun

1969 ditetapkan menjadi Undang-undang). Sebagai pelaksanaan

dikeluarkan Keputusan Bersama Gubemur Kepala Daerah Propinsi Irian

Barat dan Ketua Pengadilan Tinggi Jayapura No. 11/GIB/1970/BO-

11/TV/1970 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di

daerah Propinsi Irian Barat

32

Pada zaman orde lama telah dikeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun

1964 (LN. 1964 No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Dalam Undang-undang ini tidak ada pernyataan yang tegas tentang

penghapusan peradilan adat. Di dalamnya hanya ada Pasal 1 ayat (1) yang

menyatakan “semua peradilan di selurh wilayah Republik Indonesia adalah

peradilan negara yang ditetapkan dengan Undang-undang”. Penjelasan Pasal

tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ada dua Pasal yang

secara khusus menyangkut peradilan adat yaitu :

1. Pasal 3 ayat (1) menyatakan “semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan Pasal ini (TLN. 2951) menyatakan pasal ini mengandung arti bahwa di samping peradilan negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan peradilan negara.

2. Pasal 39 menyebutkan Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Pemerintah. Sebagian penjelasan pasal mi menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan kekuasaan dan acara pengadilan sipil Pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilakukan penghapusan pengadilan adat/ swapraja. di seluruh Bali, Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan, Jambi dan Maluku.

Di daerah-daerah (Provinsi) dengan otonomi khusus, persoalan delik adat

dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai akibat

di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga peradilan di luar

peradilan formal, seperti Aceh dan Papua.

A. Peradilan Syari’at di Aceh :

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat

dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh

adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan

Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengakuan Negara atas

33

keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006

No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota

Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tanggal 15

Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat

menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara

berkelanjutan14.

Syari‟at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi bidang aqidah,

syar‟iyah, dan akhlak. Syari‟at Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal

alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah

(hukum pidana), qadha‟ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar,

dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan syari‟at Islam diatur dengan

Qanun Aceh.

Peradilan syari‟at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan

nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah

Syar‟iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syar‟iyah

merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di

Aceh.Mahkamah Syar‟iyah terdiri atas Mahkamah Syar‟iyah

Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah

Syar‟iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah

Syar‟iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua

Mahkamah Agung15.

14https://saripedia.wordpress.com/tag/syariat-islam-di-aceh/

15Ibid

34

Mahkamah Syar‟iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus,

dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang Ahwal Al-Syakhsiyah

(hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah (hukum pidana)

yang didasarkan atas syari‟at Islam. Ketentuan mengenai bidang Ahwal Al-

Syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan Jinayah

(hukum pidana) diatur dengan Qanun Aceh.

Putusan Mahkamah Syar‟iyah Aceh dapat dimintakan kasasi kepada

Mahkamah Agung. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar‟iyah

adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh. Sengketa wewenang

antara Mahkamah Syar‟iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan

lain menjadi wewenang Mahkamah Agung untuk tingkat pertama dan

tingkat terakhir. Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh

dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama

bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan

menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah.

Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan

jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau

ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku

hukum jinayah.

B. Peradilan Adat di Provinsi Papua dan Papua Barat

Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang merupakan instrumen kebijakan

publik, pemerintah Indonesia yang bertujuan untuk memberikan solusi atas

permasalahan krusial yang terjadi di Papua. Masalah tersebut meliputi: 1)

35

konflik politik, berfokus pada isu tuntutan Papua merdeka yang dipandang

oleh pemerintah Indonesia sebagai gerakan separatis. 2) konflik sosial antara

warga, sebagai akibat tidak adanya solusi yang memadai atas menguaknya

konflik politik yang muncul lebih dahulu, serta 3) ketertinggalan

pembangunan ekonomi masyarakat, terutama masyarakat Papua, dibanding

sebagian besar provinsi lain di Indonesia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara politik Otsus

memuat pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, melalui kebijakan

desentralisasi yang lebih memadai, secara sosial memuat pengakuan dan

penghormatan terhadap indentitas sosial budaya dan hak-hak dasar

masyarakat asli Papua dalam kerangka Kebhinekaan Indonesia. Pengakuan

dan penghormatan terhadap indentitas sosial budaya dan hak-hak dasar

masyarakat untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 B ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Repubhik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

bahwa: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan

daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan

undang-undang.

Berkenaan dengan pelaksanaan peradilan adat dalam Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 menentukan :

”Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Hukum Repubhik Indonesia”,

kemudian Pasal 2 menentukan ”Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer.

36

lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”. Lebih jauh, dalam Pasal l3 ayat (1) ditentukan bahwa semua

peradilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan

negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.

Ketentuan di atas secara jelas menyatakan bahwa penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman dilakukan Mahkmah Agung dan semua peradilan di

seluruh wilayah negara Indonesia adalah peradilan negara, namun Undang-

Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi

Papua dalam BAB XIV tentang kekuasaan peradilan. Pasal 50 ayat (2) dan

Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8) menentukan :

Pasal 50:

(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan

Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

(2) Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana di masksud pada ayat

(1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat.

Pasal 51

(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat

hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili

sengketa adat dalam perkara pidana diantara para warga masyarakat

hukum adat yang bersangkutan.

(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat

hukum adat yang bersangkutan.

37

(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan

perkara pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) berdasarkan

hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara

berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang

memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak yang

berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat

pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk

memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang

bersangkutan.

(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara

dan kurungan.

(6) Putusan pengadilan mengenai delik pidana yang perkaranya tidak

dimintakan pemeriksaan ulang sebagaimana dimasud pada ayat (4),

menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut

ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan

persetujuan untuk dilaksanakan dari ketua pengadilan negeri yang

mewilayahinya, yang diperoleh melalui kepala kejaksaan negeri yang

bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (3).

(8) Dalam hal permintaan pemyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi

putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak

oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan

Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

38

Makna dari Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) sampai dengan ayat (8)

Undang-Undang No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi

Provinsi Papua, mengatur adanya Badan Peradilan Adat untuk

menyelesaikan kasus-kasus perdata dan pidana adat. Intinya bahwa

Peradilan Adat menyelesaikan kasus-kasus yang putusan hukumnya adalah

“perdamaian” antara para pihak, tetapi apabila para pencari keadilan itu

menghendaki putusan hukum untuk “menang dan kalah”, maka tempatnya

adalah di Pengadilan Negeri dan tingkatan selanjutnya.

7. P E N U T U P

a. Pembentukan hukum pidana nasional tidak dapat dilepaskan dengan

latar belakang sosial budaya dan perbedaan kebutuhan hukum yang

dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu, oleh karenanya dimensi

pembangunan hukum nasional menuju sistem hukum nasional yang kita

cita-citakan yaitu dimensi pemeliharaan, pembaharuan dan penciptaan

sedapat mungkin menggunakan wawasan pembangunan hukum

nasional, sehingga cita-cita unifikasi hukum dalam bidang hukum

mampu menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai maupun kebutuhan

hukum dari berbagai ragam kelompok masyarakat ke dalam sistem

hukum nasional.

b. Pengakuan akan keberadaan hukum pidana adat, tidak hanya ada di Bali,

tetapi juga di daerah-daerah lain.

c. Di daerah-daerah (Provinsi) dengan otonomi khusus, persoalan delik adat

dan lembaga penyelesaian delik adat, tidaklah menjadi persoalan, sebagai

39

akibat di daerah dengan otonomi khusus, diakui adanya lembaga

peradilan di luar peradilan formal, seperti Aceh dan Papua.

40

DAFTAR BACAAN

Ariawan, I Gusti Ketut 1992. “Eksistensi Delik Hukum Adart Bali Dalam Rangka Pembentukan Hukum Pidana nasional” , Tesis, Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Jakarta

------------dan Daniel Tanati “Delik Adat di Kampung-Kampung Kabupaten

Waropen Papua” Penelitian kerjasama Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana dengan BAPEDA Kabupaten Waropen, Provinsi Papua, Tahun 2008

Arief, Barda Nawawi Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 1996) Muladi.,”Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Dimasa Datang” Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1990)

Soedjatmoko 1986.Pembangunan Sebagai Proses Belajar dalam Masalah Sosial

Budaya Tahun 2000,Yogyakarta : Tiara Wacana Vollenhoven., Van Penemuan Hukum Adat (De Ontdekking van Het Adatrecht),

terj. Koninklijk Instituut voor Tall, Lan-en Volkenkunde bekerjasama dengan LIPI, (Jakarta : Djambatan, 1981)

https://saripedia.wordpress.com/tag/syariat-islam-di-aceh/