67
Dalam tugas paper hukum pidana ini kami akan meringkas buku hukum pidana yang berjudul “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” yang ditulis oleh Drs. Adami Chazawi, S.H. Dalam buku “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” tersebut materi yang dibahas adalah : BAB I. Pengertian Hukum Pidana. BAB II. Stelsel Pidana. BAB III. Tindak Pidana. BAB IV. Teori-teori Pemidanaan. BAB V. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana Dalam materi tersebut kami juga akan meringkas sampai ke dalam sub-sub bab materi tersebut.

Paper hukum Pidana

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Paper hukum Pidana

Dalam tugas paper hukum pidana ini kami akan meringkas buku hukum pidana yang

berjudul “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” yang ditulis oleh Drs. Adami Chazawi,

S.H. Dalam buku “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” tersebut materi yang dibahas

adalah :

BAB I. Pengertian Hukum Pidana.

BAB II. Stelsel Pidana.

BAB III. Tindak Pidana.

BAB IV. Teori-teori Pemidanaan.

BAB V. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana

Dalam materi tersebut kami juga akan meringkas sampai ke dalam sub-sub bab

materi tersebut.

Page 2: Paper hukum Pidana

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Hukum Pidana

Dilihat dalam garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasinnya sebagai

sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian

dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :

1. Aturan umum hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan

tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (starf) bagi yang

melanggar larangan tersebut.

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk

dapat dijatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang

dilanggarnya.

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-

alat perlengkapan (misalnya polisi,jaksa, hakim), terhadap tersangka dan

didakwakan sebagai pelanggaran hukum pidana dalam rangka usaha negara

menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta

tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh

tersangka/terdakwa.

Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut dengan hukum

pidana materiil yang juga disebut hukum pidana abstrak, yang sumber utamannya adalah

Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP). Sedangkan hukum pidana yang berisi

Page 3: Paper hukum Pidana

aspek ke tiga tersebut disebut dengan hukum pidana formiil, yang sumber pokoknya

adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

1. Hukum Pidana Dalam Keadaan Diam dan Dalam Keadaan Bergerak.

Atas dasar ini, hukum pidana dibedakan antara hukum pidana materiil

dengan hukum pidana formill atau hukum acara pidana .

2. Hukum Pidana Dalam Arti Obyektif dan Dalam Arti Subyektif.

Hukum pidana obyektif atau disebut dengan ius poenale, adalah hukum

pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbut, larangan mana disertai

dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi sama

artinya dengan hukum pidana materiil.

Sedangkan hukum pidana subyektif atau disebut juga ius poeniendi sebagai

aspek subyektifnya hukum pidana, dalam arti aturan yang berisi atau mengenai

hak atau kewenangan negara.

3. Atas Dasar pada Siapa Belakunya Hukum Pidana.

Bahwa atas dasar pada siapa hukum pidana berlaku, maka hukum pidana

dibedakan atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.

a. Hukum Pidana Umum adalah hukum pidana yang ditunjukan dan berlaku

untuk semua warga penduduk negara (subyek hukum) dan tidak

membeda-bedakan kualitas pribadi subyek hukum tertentu. Setiap warga

negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum.

Page 4: Paper hukum Pidana

b. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara

yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum tertentu saja.

4. Atas Dasar Sumbernya.

Atas dasar sumber hukunya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu

hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.

Hukum pidana umum disini diartikan adalah semua ketentuan hukum pidana

yang terdapat/bersumber pada kodifikasi (KUHP dan KUHAP), yang karenanya

dapat juga disebut dengan hukum pidana kodifikasi.

Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada

perundang-undangan diluar kodifikasi.

5. Atas Dasar Wilayah Berlakunya Hukum.

Dilihat dari wilayah berlakunya hukum pidana dibedakan menjadi (a) hukum

Pidana Umum, (b) Hukum Pidana lokal.

Hukum pidana umum dalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintah

negara pusat yang berlaku bagi subyek hukum yang berada dan melanggar hukum

pidana diseluruh wilayah negara.

Hukum pidana local adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah

yang berlaku bagi subyek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh

pemerintah daerah tersebut.

6. Atas Dasar Bentuk/Wadahnya

Atas dasar bentuk atau wadahnya hukum pidana dapat dibedakan menjadi:

(a) hukum pidana tertulis, disebut juga hukum pidana Undang-undang, dan (b)

hukum pidana tidak tertulis, atau disebut dengan hukum pidana adat.

Page 5: Paper hukum Pidana

Hukum pidana tertulis terdiri dari hukum pidana kodifikasi (bersumber pada

kodifikasi, misalnya KUHP dan KUHAP), dan hukum pidana diluar kodifikasi,

yang tersebar dipelbagai peraturan perundangundangan.

C. FUNGSI HUKUM PIDANA.

1.Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang Menyerang Atau

Memperkosanya

Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah berupa se a kepentingan yang

diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, sebagai

anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga, wajib

dipertahankan agar tidak dilanggar/ diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia,

yang semuanya ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban didalam

segala bidang kehidupan.

2.Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara Dalam Rangka Negara Menjalankan

Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi.

Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang ddindungi, dilakukan

oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan,

tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi

yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan,

pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari, sampai yang

paling tajam berupa menjatuhkan sanksi pidana kepada petindaknya/si

pelanggarnya, yang mana tindakan ini sebagaimana diatas sudah diterangkan

Page 6: Paper hukum Pidana

adalah berupa tindakan yang justru menyerang kepentingan hukum yang bersang-

kutan yang dilindungi. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan

yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana, hak

untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa

kekuasaan yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh siapa-siapa kecuali

negara. Hak untuk menjatuhkan pidana ini adalah diatur dalam hukum pidana

itu sendiri.

Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini terutama terdapat dalam hukum

acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni UU No. 8 Tahun 1981. Dalam

hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat

dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan

hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.

3.Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuaaan Negara Dalam Rangka Negara

Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi

Dalam menjalankan fungsi hukum pidana yang disebutkan kedua, hukum

pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar

negara dapat menjalankan. Fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang

dilindungi dengan sebaik-baiknya.

Sebaliknya kekuasaan yang sangat besar itu akan sangat berbahaya bagi

penduduk negara apabila tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sebab akan

menjadi bumerang bagi masyarakat dan pribadi manusia, perlakuan negara dapat

Page 7: Paper hukum Pidana

menjadi sewenang-wenang. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan

sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan

kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut

mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu adalah

menjadi wajib.

D. ILMU HUKUM PIDANA.

Pada dasarnya ilmu hukum pidana dapat dibedakan antara: ilmu hukum

pidana dalam arti sempit dan dalam arti luas.

Dalam arti sempit, doktrin atau ilmu hukum pidana adalah bagian dad ilmu

hukum yang pada dasarnya mempelajari dan menjelaskan perihal hukum

pidana yang berlaku atau hukum pidana positif dari suatu negara (ius

constitutum), jadi bersifat dogmatis. Bahan kajian ilmu hukum pidana dalam

anti sempit adalah hukum positif yang sedang berlaku.

Dalam arti luas ilmu hukum pidana, tidak saja terbatas pada kajian dogmatis

sebagaimana yang diterangkan diatas, ilmu hukum pidana tidak hanya mempelajari

dan menjelaskan. Secara sistematis norma-norma hukum yang sedang berlaku saja

akan tetapi juga meliputi:

1. Bidang-bidang mengapa norma yang berlaku itu dilanggar, kajiannya tidak

terfokus pada normanya saja tapi pada sebabsebab mengapa norma itu dilanggar,

dan kemudian bagaimana upaya agar norma itu tidak dilanggar. Kajian bidang ini

kini telah merupakan ilmu tersendiri yang disebut dengan kriminologi.

Page 8: Paper hukum Pidana

2. Juga menjadi bahan kajian ilmu hukum pidana ialah tentang hukum yang akan

dibentuk atau hukum yang dicita-citakan (ius consituendum).

BAB II

STELSEL PIDANA

A. PENGERTIAN PIDANA

Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi tentang antara

lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di

mana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan

pengecualian penjatuhan pidana

Page 9: Paper hukum Pidana

Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan.

Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan

daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana.

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan

istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari is tilah hukuman, karena

hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.

Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat

hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum

pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak

pidana (stafbaar feit).

B. JENIS-JENIS PIDANA.

Mengenai stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP

dalam Bab ke- 2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh

mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan, yaitu:

1. Reglemen Penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan IN 1948 No. 77).

2 Ordonasi Pelepasan Bersyarat (Stb 1917 No. 749).

3 Reglemen Pendidikan Paksaan (Stb 1917 No. 741).

4 4 UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.

Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi 2 kelompok, pidana pokok

dengan pidana tambahan.

Pidana pokok terdiri dari:

Page 10: Paper hukum Pidana

1. Pidana mati.

2. Pidana penjara.

3. Pidana kurungan.

4. Pidana denda.

5. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946).

Pidana tambahan terdiri dari:

1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu.

2. Pidana perampasan barang-barang tertentu.

3. Pidana pengumuman keputusan hakim.

Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP, mengelompokkan jenis-jenis pidana

kedalam Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis

pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah:

1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif),

sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.

2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis

pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan

tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok

3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum

tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan

(executie).

Page 11: Paper hukum Pidana

C. PENJATUHAN PIDANA DENGAN BERSYARAT.

Pidana dengan bersyarat yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan

pidana percobaan adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang

pelaksanaannya digantungkan pada syaratsyarat tertentu. Artinya pidana yang

dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama

syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila

syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.

Adapun manfaat dari penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki

penjahat tanpa harus memasukkannya kedalam penjara, artinya tanpa membuat derita

bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering

membawa pengaruh buruk bagi seseorang terpidana, terutama bagi orang-orang yang

melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai

kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat yang sesungguhnya,

misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena

butuh uang untuk mengobati istrinya yang luka parah akibat kecelakaan terpaksa la

menggunakan uang kas kantor (penggelapan, 372 KUHP).

D. PELEPASAN DENGAN SYARAT.

Lembaga pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheidstelling) ini telah ada

sejak diberlakukannya KUHP kita (1918), yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat

yang baru dimasukkan dalam KUHP kita pada tahun 1927. Lembaga pelepasan bersyarat

Page 12: Paper hukum Pidana

ini 12 tahun lebih dulu ada daripada pemidanaan bersyarat, latar belakangnya ialah

karena pengawasan terhadap nara pidana yang dilepas dengan bersyarat relatif lebih

mudah, karena ia telah dibina dalam dan ketika menjalani pidana penjara selama dua

pertiga dari lama pidana yang telah dijatuhkan atau paling tidak 9 bulan. Sedangkan

pada pidana bersyarat, seluruh pidananya belum atau tidak dijalani. Karena itu

pengawasannya menjadi lebih sulit, yang memerlukan lembaga pengawasan yang

lebih baik dan senmpurna. Sedangkan pengawasan narapidana yang dilepas dengan

bersyarat, cukup pada lembaga yang masih sederhana yang ketika itu (1918) sudah ada

di Hindia Belanda.

Penetapan pelepasan bersyarat dapat diberikan (oleh Menkeh, 15 ayat 1) apabila

terpidana telah menjalani pidana sepertiganya atau sekurang-kurangnya 9 bulan (15

ayat 1). Lamanya menjalani pidana yang dimaksud ini tidak termasuk lamanya masa

penahanan sementara jika sebelum divonis bersalah ia ditahan sementara). Artinya masa

lamanya penahanan sementara tidak dihitung dalam menentukan dua pertiga atau 9

bulan itu, walaupun dalam putusan hakim selalu ditetapkan bahwa pidana yang

dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan sementara.

Apabila seorang telah diberikan surat keputusan pelepasan bersyarat, maka

diberikan masa percobaan yang lamanya lebih 1 tahun dari sisa masa pidana yang

belum dijalaninya (15 ayat 3). Dalam masa percobaan ini narapidana diberikan syarat-

syarat tentang kelakuannya seteiah ia dilepaskan. Syarat ini ada 2 macam, ialah

syarat umum dan syarat khusus.

Syarat umum adalah berisi keharusan bagi narapidana selama masa percobaan itu

tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatanperbuatan tercela lainnya (15 ayat

Page 13: Paper hukum Pidana

1). Perbuatan tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya pengertiannya

lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang di tempat pelacuran

atau di tempat hiburan malam seperti diskotik, atau bergaul dengan para penjahat,

para preman dan lain sebagainya.

Sedangkan syarat khusus adalah segala macam ketentuan perihal kelakuannya,

asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah

agamanya (15 ayat2).

Page 14: Paper hukum Pidana

BAB III

TINDAK PIDANA

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam.hukum pidana

Belanda yaitu "stafbaar feit". Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda

dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi

tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum

berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum

ada keseragaman pendapat.

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundangundangan yang ada

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit

adalah:

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan

pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan

istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.

11/PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No. 3 tahun

1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU No. 31 Th.

1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini

Page 15: Paper hukum Pidana

seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. (lihat buku Tindak-tindak Pidana

Tertentu di Indonesia).

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R. Tresna

dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana", Mr. Drs. H J van Schravendijk dalam

buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H

dalam buku beliau "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah menggunakan

istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun

1950 (baca pasal 14 ayat 1).

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga digunakan untuk

menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafoaar feit. Istilah ini

dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H,

walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam

buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana I".

Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku

beliau "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun menurut beliau

lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana

yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.

5. Perbuatan yang boleb dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku

beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana". Begitu juga Schravendijk dalam

bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia"

Page 16: Paper hukum Pidana

6 Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang dalam

Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca pasal

3).

7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan

beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.

Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 istilah dalam bahasa

Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, boar dan feit. Dari 7 istilah yang

digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan

dengan pidana dan hukuni. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.

Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan

perbuatan.

Secara literlijk kata "strap' artinya pidana, "baar" artinya dapat atau boleh dan

"feit" adalah perbuatan. Dalam kaitanya dengan istilah strafbaar feit secara utuh,

ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hat sudah lazim hukum itu

adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht,

yang sebenarnya tidak demikian halnya.

Sedangkan untuk kata "peristiwa", menggambarkan pengertian yang lebih luas

dari perkataan perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan

manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh

adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang

karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum

pidana. Baru menjadi penting dalam hukum pidana, apabila kematian orang itu

diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif).

Page 17: Paper hukum Pidana

Untuk istilah "tindak" memang telah lazim digunakan dalam peraturan

perundang-undangan kita, walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.

Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan

tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Padahal

pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif

maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk

mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan

dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP)

atau merusak_(pasal 406 KUHP). Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk

tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya, dengan

demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya

perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304

KUHP).

Sedangkan istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan

istilah strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delictum (Latin), yang juga

dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda: delict, namun isi pengertiannya

tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit.

Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai

istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit (baca

teks pidato beliau pada saat Upacara Dies Natalis ke VI, 1955 Universitas Gajahmada

yang berjudul "Perbuatan pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana Dalam Hukum

Pidana"), walaupun istilah delik pernah juga digunakan oleh beliau.

Page 18: Paper hukum Pidana

Istilah perbuatan pidana ini pernah juga digunakan oleh Pernbentuk UU dalam

UU No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan

Susunan, Kesatuan Acara Pengadilan Sipi!" (baca pasal 5).

Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah

yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan

antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara

perbuatan dan orang yang melakukan ini Bering disebut pandangan dualisme, juga

dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal

Abidin.

Kemampuan bertanggung. jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada

perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya

memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya)

pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan demikian, maka hal

kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Kemampuan

bertanggung jawab adalah mengenai hal yang lain dari tindak pidana dalarn artian

abstrak, yakni mengenai syaraf untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang

terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam

hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak

pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang telah terbukti bahwa perbuatannya

telah melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dengan demikian

dijatuhi pidana.

Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan tentang

ketidakmampuan bertanggung jawab dalam pasal 44 KUHP yang tidak boleh dijatuhi

Page 19: Paper hukum Pidana

pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti untuk mempidana seseorang pelaku

tindak pidana disyaratkan bahwa orang itu hares mempunyai kemampuan

pertanggungan jawab pidana.

Bukan itu saja, bisa juga terjadi tidak dipidananya pelaku tindak pidana (disebut

petindak) karena alasan bahwa perbuatannya itu kehilangan sifat melawan

hukumnya perbuatan, seperti petinju yang memukul lawannya hingga luka-luka,

bahkan bisa sampai mati.

Demikian juga halnya pada syarat kedua, yakni bahwa perbuatan itu harus sesuai

dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Ketentuan hukum yang

dimaksud adalah rumusan tindak pidana tertentu dalam peraturan perundang-

undangan.

Perkataan perbuatan disitu adalah menunjuk pada kejadian kongkrit (oleh

seseorang), yang tidak lain maksudnya adalah agar perbuatan itu dapat dipidana hares

mencocokkannya terlebih dulu pada rumusan (tentunya tentang tindak pidana) dalam

UU, yang jika ada persesuaian dengan unsur-unsur yang ada dalam rumusan UU,

maka perbuatan oran.R itu dapat dipidana, clan bukan berupa tindak pidana.

Kemampuan bertanggung jawab menjadi hal yang sangat penting adalah dalam

hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana (kongkrit).

Untuk terjadinya/terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap semua

unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan.

Sedangkan kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal yang lain, yakni

hal untuk menjatuhkan pidananya. Persoalan kemampuan bertanggung jawab ini

barulah menjadi hal yang penting yakni ketika pidana hendak dijatuhkan.

Page 20: Paper hukum Pidana

Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti dengan pidana

tertentu. Perihal kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal syarat

penjatuhan pidana, bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana.

Berdasarkan hal ini, maka tidak terdapat unsur tertentu dalam tindak pidana

tertentu dengan tidak terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pada kasus tertentu,

adalah hal yang berbeda dan mempunyai akibat hukum yang berbeda pula. Jika

hakim mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya salah satu unsur tindak pidana,

artinya tidak terwujudnya tindak pidana tertentu yang didakwakan, maka putusan

hakim berisi pembebasan clad segala dakwaan (vrijspraak). Tetapi jika hakim

mempertimbangkan bahwa pada diri terdakwa terdapat ketidakmampuan

bertanggung jawab (pasal 44 KUHP), maka amar putusan akan berisi "pelepasan dari

tuntutan hukum" (ontslag van rechtsvervolging).

B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-

tidaknya dari dua sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis dan (2) dari sudut

Undang-undang. Maksud teoritis ialah ber dasarkan pendapat para ahli hukum, yang

tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut UU adalah bagaimana kenyataan

tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal

peraturan perundang-undangan yang ada.

1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi

Dimuka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh para

ahli hukum baik penganut paham dualisme maupun paham monisme. Unsur-unsur apa

yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang

Page 21: Paper hukum Pidana

dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritisi

yang telah dibicarakan dimuka, yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers dan Schra-

vendijk.

Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan

hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada

pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam)

dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya

benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang

artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan

perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian

perbuatan pidana.

2. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam UU

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang

masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada

unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah

laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti pasal 351 (penganiayaan). Unsur

kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak

dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan

bertanggung jawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik

sekitar/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan

tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat

diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:

Page 22: Paper hukum Pidana

a. unsur tingkah laku.

b. unsur melawan hukum.

C. unsur kesalahan.

d. unsur akibat konstitutif.

e. unsur keadaan yang menyertai.

f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.

g. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.

h. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Dari 8 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan melawan hukum

adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah berupa unsur obyektif.

Mengenai unsur melawan hukum, adakalanya bersifat obyektif, misalnya melawan

hukumnya perbuatan mengambit pads pencurian (362) adalah terletak bahwa dalam

mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum obyektif).

Atau pada 251 pada kalimat "tanpa izin pemerintah", juga pada pasal 253 pada kalimat

"menggunakan cap asli secara melawan hukum" adalah berupa melawan hukum

obyektif. Tetapi ada juga melawan hukum subyektif misalnya melawan hukum dalam

penipuan (oplichting, 378), pemerasan (afpersing, 368), pengancaman (afdreiging,

369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan

memiliki dalam penggelapan (372) yang bersifat subyektif, artinya bahwa

terdapatnya kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam

kekuasaannya itu adalah merupakan celaan masyarakat.

Page 23: Paper hukum Pidana

Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum obyektif

atau subyektif, bergantung dad bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang

bersangkutan.

Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada diluar keadaan batin

manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan

dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek

tindak pidana. Sedangkan unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang

mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.

a. Unsur Tingkah Laku

Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif

(handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materieel feit) dan tingkah laku

pasif atau negatif (nalaten).

Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya

atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau

bagian dari tubuh, misalnya mengambil (362) atau memalsu dan membuat secara

palsu (268). Sebagian besar (hampir semua) tindak pidana tentang unsur tingkah

lakunya dirumuskan dengan perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan

pasif.

Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten),

suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian

tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus

melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu

disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Contoh perbuatan: tidak

Page 24: Paper hukum Pidana

memberikan pertolongan (531), membiarkan (304), meninggalkan (308), tidak segera

memberitahukan (164), tidak datang (522).

b. Unsur Sifat Melawan Hukum

Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnva dari suatu

perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan

hukum formil/formelle wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat

(melawan hukum materiil/ materieel wederrechtelijk). Karena bersumber pada

masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum

masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari

suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan

nyawa (orang lain) pada pembunuhan (338), adalah dilarang baik dalam UU maupun

menurut masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat

ada-lah tercela pula menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan

yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut Undang-undang,

misalnya perbuatan mengemis (504), bergelandang (505). Sebaliknya ada perbuatan

yang tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang, contohnya

perbuatan bersetubuh senang sama suka antara bujang dan gadis yang berpacaran.

Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan

hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan

memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat

terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-

undangan.

Page 25: Paper hukum Pidana

Dalam hal yang terakhir, bagaimana mengenai kenyataan bahwa tidak semua orang

akan mengetahui tentang begitu banyak dan luasnya tindak pidana dalam UP Hal

kenyataan itu tidak perlu menjadi kendala, karena dalam hal berlakunya hukum pidana

didasarkan pada adagium yakni "setiap orang dianggap mengetahui hukum". Jadi dengan

terpenuhinya perbuatan mengambil beserta unsur-unsur lainnya, sudah dengan demikian

dianggap seseorang itu mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang UU.

c. Unsur Kesalahan

Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang

sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada

diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan

hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada

redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.

Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang

menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan

dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan

keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungan jawab dapat dibebankan pada orang

itu (Wirjono Prodjodikoro, 1981:55). Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi

dijatuhi pidana.

Unsur kesalahan (balk kesengajaan maupun kelalaian) dalam tindak pidana

pelanggaran tidak pernah dicantumkan dalam rumusan. Apakah dengan demikian

tidak berlaku azas geen straf zonder schuld pada pelanggaran? Sesuai dengan

keterangan dalam MvT WvS Belanda yang menyatakan bahwa pada pelanggaran

hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya

Page 26: Paper hukum Pidana

kesengajaan atau kelalaian dan tidak diperlukan memberikan putusan tentang hal itu

(Masruchin R,1986:87), maka praktik hukum sebelum 1916, mengenai pelanggaran

ini dianut ajaran perbuatan jasmani (perbuatan materiil), artinya jika perbuatan

jasmani telah terwujud, maka terwujudlah pelanggaran, tanpa harus mempersoalkan

kesalahan pada petindaknya. Tetapi sejak tahun 1916, pendirian perbuatan jasmani

itu ditinggalkan, sebagaimana Hoge Raad dalam arrest Pengusaha Susu (14-2-1916)

menyatakan bahwa bagi pelanggaran diperlukan kesalahan walaupun tidak dinyatakan

dengan tegas sebagai unsur oleh Undang-undang (Satochid Kartanegara,I:359).

Disisi lain mengenai kesalahan dalam pelanggaran ini, yang kenyataannya tidak

dibedakan antara bentuk kesengajaan dan bentuk kelalaian sebagaimana pada kejahatan.

Namun melihat dari rumusan beberapa pelanggaran misalnya 490 (1), 504, 525, 545,

mustahil dapat diwujudkan tanpa ada kesengajaan didalamnya.

1) Kesengajaan

Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Dalam Memorie

van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai

kesengajaan ini, yang menyatakan "Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya

pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan

diketahui (wetens)" (Moeljatno, 1983:171). Dengan singkat dapat disebut bahwa

kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-

tidaknya kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan

berupa pengetahuan (yang diketahui).

Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk

melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah

Page 27: Paper hukum Pidana

dikehendaki sebelum seseorang itu sungguhsungguh berbuat. Jika dihubungkan pada

rumusan tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan di mana akibat sebagai syarat

penyelesaian tindak pidana (tindak pidana materiil), maka selain ditujukan pada

perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada timbulnya akibat itu. Hal ini tampak

secara jelas pada kejahatan pembunuhan (338), di mana perbuatan, misalnya

mengampak (wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa) memang ia kehendaki, dan

kematian korban dari perbuatan itu juga ia kehendaki. Antara perbuatan dan

akibat dalam hubungannya dengan kehendak, adalah suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana materiil.

Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia

ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Jika

dihubungkan dengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah mengenai segala sesuatu yang

ia ketahui dan bayangkan sebelum seseorang melakukan perbuatan beserta segala sesuatu

sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimana yang dirumuskan dalam UU.

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 3 bentuk kesengajaan, yaitu:

a) kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)

b) kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

c) kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbe wustzijn) disebut

juga dengan dolus eventualis.

Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan meng hendaki

(willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki

untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) clan atau juga

menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil). Itulah

Page 28: Paper hukum Pidana

bentuk yang paling sederhana dari pengertian kesengajaan sebagai maksud. Misalnya

untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai

mati. Disini perbuatan menikam itu dikehendaki, demikian juga kematian akibat

tikaman itu juga ia kehendaki.

Dalam rumusan tindak pidana, kesengajaan sebagai maksud dengan mudah

dapat diketahui, karena secara tegas dirumuskan, misalnva pada pasal 362, 368, 369,

378.

2). Kelalaian (Culpa)

Kelalaian yang sering juga disebut dengan tidak sengaja, lawan dari kesengajaan

(opzettelijk atau dolus) dalam rumusan tindak pidana sering disebut dengan schuld,

yang dapat saja membingungkan, karena schuld dapat juga berarti kesalahan yang

terdiri dari kesengajaan dan tidak sengaja (culpa) itu sendiri. Contohnya,

perhatikanlah rumusan tindak pidana dalam pasal: 114, 188, 359, 360, 409, yang

mengandung unsur culpa tersebut, yang berbunyi "Hij aan wiens schuld to wijten is"

yang diterjemahkan dengan "Barangsiapa karena salahnya..." atau "Barangsiapa

karena kesalahannya...", yang anti salahnya atau kesalahannya tiada lain adalah suatu

kelalaian. Tapi ada istilah schuld yang artinya lebih luas sebagaimana terdapat dalam

alas tiada pidana tanpa kesalah-an (geen straf zonder schuld), yang perkataan schuld

disitu adalah mengandung pengertian opzettelijk dan culpa. Dalam doktrin perkataan

schuld itu memang terdiri dari dolus dan culpa. Untuk mengurangi kebingungan

itu, lebih baik menggunakan istilah schuld dalam arti luas ialah terdiri dari dolus dan

culpa, sedangkan schuld dalam arti sempit ialah culpa saja. Dalam hal ini pembentuk

Undang-undang dengan menggunakan kata schuld adalah dalam arti sempit.

Page 29: Paper hukum Pidana

Untuk menggambarkan adanya suatu kelalaian, selain dengan menggunakan

istilah aan wiens schuld, juga digunakan istilah lain, misalnya:

a. onacbtzaamheid seperti pada pasal 231 (4), 232 (3), yang diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia, juga dengan: karena kealpaan (BPHN,1983:96-97), atau

kelalaian (R.Soesilo: 1980, 1540), atau kurang berhati-hati (Martiman

Prodjohamidjojo, 1996:53)

b. wist of moest verwachten pada pasal 483 (butir 2), 484 (2), diterjemahkan dengan

patut menduga atau seharusnya menduga (BPHN,1983:188, Moeljatno,1959: 154,

Andi Hamzah,2000:191).

c. redelijkerwijs moet vermoeden atau patut dapat menduga (PAF Iamintang,1979:373),

atau sepatutnya harus diduga (BPHN, 1983: 187) pada pasal 480 (1). Hal yang

sama terdapat juga dalam pasal: 287, 288, 290, 292, 293, 418.

d. ernstige reden heeft om to vermoeden, atau ada alasan kuat untuk menduga (Martiman

Prodjohamidjojo, 1996:53)

Kesengajaan dan culpa adalah berupa unsur batin (subyektif). Sesuatu mengenai

alam batin ini, bisa berupa: kehendak, pengetahuan, perasaan, pikiran dan kata

lainnya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Manusia normal

memiliki semua itu, dan dalam keadaan normal is mempunyai kemampuan

menggunakan/merefleksikan keadaan batin itu kedalam wujud tingkah laku. Apabila

kemampuan menggunakan sesuatu alam batin itu ditujukan kedalam wujud-wujud

perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut sebagai kesengajaan. Sedangkan

apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak dia gunakan sebagaimana

Page 30: Paper hukum Pidana

mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang,

maka disebut sebagai kelalaian.

d. Unsur Akibat Konstitutif

Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: (1) tindak pidana materiil (materieel

delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak

pidana, (2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat

pidana, dan (3) tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.

Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana materiil (yang pertama),

timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungan jawab pidana, dalam

arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana.

Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah

berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak

pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya.

Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan

merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak

terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada pasal

288 jika akibat luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah berupa

kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini

dan menimbulkan luka (bukan luka berat, ayat 1), dan bukan percobaan berse tubuh

dengan wanita yang belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat.

Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya akibat ialah setelah

perbuatan dilakukan.

Page 31: Paper hukum Pidana

Sedangkan unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya pembuat, ialah tanpa

timbulnya akibat itu perbuatan yang dirumuskan dalam UU itu tidak dipidana. Baru

dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Contohnya pasal 288,

perbuatan persetubuhan dengan istrinya itu tidak dapat dipidana, dan barn dipidana

jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat luka dan atau kematian istrinya yang

belum waktunya dikawini itu telah timbal.

Kembali pada tindak pidana materiil, ialah berupa tindak pidana yang berisi

larangan menimbulkan akibat tertentu (akibat terlarang). Dengan rumusan lain,

tindak pidana materiil adalah suatu tindak pidana yang menurut bunyi redaksi

rumusannya mengandung unsur akibat dari perbuatan sebagai syarat selesainya

tindak pidana. Unsur akibat ini disebut juga dengan akibat konstitutif (constitutief

gevolg)

Tindak pidana materiil di mana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak

pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai

pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya (door bet gevolg

gequalificeerde delicten). Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materiil, jika

akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah

percobaannya. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana di mana akibat

sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan tindak pidana tersebut,

tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain. Contohnya pada pencurian

dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang lain (365 ayat 3), jika

kematian tidak timbul, maka tidak terjadi percobaan pencurian dengan kekerasan yang

mengakibatkan matinya orang lain (365 ayat 3 Jo 53), tetapi pencurian dengan

Page 32: Paper hukum Pidana

kekerasan yang menimbulkan luka berat selesai (jika ada luka, 365 ayat 2 sub 4) dan

pencurian kekerasan selesai (365 ayat 1, jika tidak ada akibat luka atau kematian). Luka

dan matinya orang lain adalah unsur pemberat pidana pada pencurian dengan

kekerasan (365 ayat 1).

e. Unsur Keadaan yang Menyertai

Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa semua

keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan di lakukan. Unsur keadaan yang

menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat:

1) mengenai cara melakukan perbuatan;

2) mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;

3) mengenai obyek tindak pidana;

4) mengenai subyek tindak pidana;

5) mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan

6) mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.

1) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Cara Melakukan Perbuatan

Unsur keadaan yang menyertai yang berupa cara melakukan perbuatan, artinya

cara itu melekat pada perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Ada tindak

pidana tertentu yang disamping penyebutan unsur tingkah laku dalam rumusan tindak

pidana, juga menyebutkan caranya melakukan tingkah lakunya itu. Dengan

disebutkan unsur cara melakukan disamping penyebutan tingkah lakunya, lalu dengan

demikian menjadi terbatas sifat dan wujud tingkah laku itu dalam pelaksanaannya.

Dengan mencantumkan unsur cara melakukan perbuatan maka wujud tingkah laku itu

Page 33: Paper hukum Pidana

menjadi terbatas. Cara berbuat dapat juga disebut sebagai wujud kongkrit dari tingkah

laku. Penyebutan unsur cars dalam mewujudkan tingkah laku hanyalah terdapat pada

tindak pidana yang unsur tingkah lakunya itu bersifat abstrak. Misalnya kekerasan

dan ancaman kekerasan menurut pasal 285, 289, 368 adalah wujud kongkrit dari

perbuatan memaksa (dwingen), atau dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,

menggunakan nama palsu atau kedudukan palsu dapat disebut sebagai wujud dari

perbuatan menggerakkan (bewegen) pada penipuan (378).

2) Unsur Cara Untuk Dapat Dilakukannya Perbuatan

Unsur ini agak berbeda dengan yang disebutkan yang pertama. Unsur cara

untuk dapat dilakukannya perbuatan adalah bukan berupa cara berbuat, melainkan

untuk dapat melakukan ferbuatan yang menjadi larangan dalam tindak pidana, terlebih

dulu hares dipenuhinya cara-cars tertentu agar perbuatan yang menjadi larangan itu

dapat diwujudkan. Jadi berupa syarat (incasu cars berbuat) untuk dapat dilakukannya

perbuatan yang menjadi larangan, dan bukan cara melakukan perbuatan yang menjadi

larangan.

3) Unsur Keadaan Menyertai Mengenai Obyek Tindak Pidana

Keadaan yang menyertai mengenai obyek tindak pidana adalah berupa semua

keadaan yang melekat pada atau mengenai obyek tindak pidana, misalnya unsur

"milik orang lain" yang melekat pada benda yang menjadi obyek pencurian (362),

penggelapan (372), perusakan (406), atau ternak (363 ayat 1 ke-1), belum waktunya

dikawin (288), seorang yang belum dewasa yang baik tingkah lakunya (293).

4) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Subyek Tindak Pidana

Page 34: Paper hukum Pidana

Unsur ini adalah segala keadaan mengenai diri subyek tindak pidana, baik yang

bersifat obyektif maupun subyektif. Bersifat obyektif adalah segala keadaan diluar

keadaan batin pelakunya, misalnya seorang ibu (342), seorang pejabat (414, 415, 415),

seorang nakhoda (449), seorang warga negara RI (451), dua atau lebih dengan

bersekutu (363 ayat 1 ke-4). Sedangkan yang bersifat subyektif adalah keadaan me

ngenai batin subyek hukum, misalnya dengan rencana lebih dulu (340, 353).

5) Keadaan yang Menyertai Mengenai Tempat Dilakukannya Tindak Pidana

Unsur ini adalah mengenai segala keadaan mengenai tempat dilakukannya tindak

pidana, misalnya sebuah kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat

kediaman (363 ayat 1 ke-3), dimuka umum (160, 207, 532), berada dijalan umum

(536 ayat 1), di tempat

lalu lintas umum (533).

6) Keadaan yang Menyertai Mengenai Waktu Dilakukannya Tindak Pidana

Unsur ini adalah mengenai waktu dilakukannya tindak pidana, yang dapat berupa

syarat memperberat pidana maupun yang menjadi unsur pokok tindak pidana. Berupa

syarat diperberatnya pidana, misalnya waktu malam (363 ayat 1 ke-3), kebakaran,

letusan, banjir, gempa bumi, gempa laut, gunung meletus, kapal karam dst. (363

ayat 1 ke2). Sedangkan waktu yang menjadi unsur pokok tindak pidana, misalnya

dalam masa perang (124, 127), pejabat yang sedang (waktu) menjalankan tugasnya

yang sah (212, 217).

f. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana

Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan

adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari

Page 35: Paper hukum Pidana

yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah

berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang

disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam

hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan Negeri setempat. Perbedaan

pengaduan dengan laporan, ialah pada pengaduan hanya: (1) dapat dilakukan oleh

yang berhak mengadu saja, yakni korban kejahatan, atau

,arakilnya yang sah (lihat pasal 72), dan (2) pengaduan diperlukan hanya terhadap

tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua syarat itu tidak

diperlukan.

Untuk dapatnya dituntut pidana pada tindak pidana aduan diper1tkan syarat

adanya pengaduan dari yang berhak tersebut. Sprat pengaduan bagi tindak pidana

aduan inilah yang dimaksud dengan unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.

Syarat ini ada yang disebutkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana yang

bersangkutan misalnya pada perzinaan (284 ayat 2), pada penghinaan (310-318 jo 319),

path pencurian dalam kalangan keluarga (362-365 jo 367), tetapi ada yang sekedar

menunjuk pada ketentuan syarat pengaduan pada pasal yang lain, misalnya pada

penggelapan (376 menunjuk 367), atau pengancaman (370 menunjuk 367).

g. Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana

Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat

konstitutif dimuka. Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan

bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana

pada tindak pidana materiil.

Page 36: Paper hukum Pidana

Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok

tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa

adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat (354), kejahatan ini dapat

terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat

hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana.

h. Unsur syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana

Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-

keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk

dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini

tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan

karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutaya

dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai

bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya

unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.

Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal timbulnya

setelah dilakukan perbuatan. Tetapi berbeda secara prinsip. Pada unsur akibat

konstitutif harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan dengan

akibatnya, seperti perbuatan memukul dengan kayu dengan akibat patah tangannya

korban. Sedangkan pada unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana tidak

memerlukan hubungan kausal yang demikian. Misalnya unsur "pecah perang" tidak

ada hubungan kausal atau bukan berupa akibat dari masuknya seseorang warga

negara RI menjadi anggota tentara asing dari pasal 123.

Page 37: Paper hukum Pidana

Perbedaan yang lain ialah, apabila akibat konstitutif tidak timbul setelah

dilakukannya perbuatan, maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah

percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah melakukan perbuatan

membacok batang leher korban, tetapi tidak menimbulkan akibat kematian, maka

pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (338 jo 53).

Tetapi jika unsur syarat tambahan tidak timbul setelah dilakukan perbuatan (aktif

maupun pasif), maka tindak pidana itu tidak terjadi, demikian juga percobaannya

tidak terjadi. Misalnya bila tidak terjadi "kejahatan yang direncanakan", maka tindak

pidana tidak melapor sebagaimana dirumuskan pada pasal 164 tidak terjadi, demikian

juga tidak terjadi percobaannya.

C. CARA MERUMUSKAN TINDAK PIDANA

Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak pidanatindak pidana

tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk Undangundang dalam merumuskan

tindak pidana itu pada kenyataannya

memang tidak seragam.

Dalam hal ini akan dilihat dari 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan

tindak pidana dalam KUHP kita.

1. Cara Pencantuman Unsur-unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana

Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan,

ialah:

a. Cara pertama, dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman

pidana.

Page 38: Paper hukum Pidana

b. Cara kedua, dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan

mencantumkan ancaman pidana.

c. Cara ketiga, sekedar mencantumkan kualifikasinya saja, tanpa unsur-unsur dan

mencantumkan ancaman pidana.

Tampaklah yang sebenarnya, bahwa dari ketiga cara tersebut, ada tindak pidana

yang dirumuskan tanpa menyebut unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut

kualifikasi. Selalu disebut dalam rumusan adalah ancaman pidana. Ancaman pidana

dan kualifikasi memang bukan unsur tindak pidana. Kualifikasi dicantumkan sekedar

untuk menggampangkan penyebutan terhadap pengertian tindak pidana yang

dimaksudkan. Sedangkan mengenai selalu dicantumkannya ancaman pidana dalam

rumusan, disebabkan karena ancaman pidana ini adalah ciri mutlak dari suatu larangan

perbuatan sebagai tindak pidana dan yang membedakan dengan larangan perbuatan

yang bukan tindak pidana atau diluar hukum pidana.

a. Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana

Cara yang pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini

digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk

pokok/standard, dengan mencantumkan unsurunsur obyektif maupun unsur subyektif,

misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman), 369

(pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipunan), 406 (perusakan).

Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang

membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu itu. Unsur-unsur ini dapat

dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak

Page 39: Paper hukum Pidana

pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan

dalam persidangan.

b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencantumkan

Ancaman Pidana.

Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana

dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsurunsur pokok tanpa menyebut

kualifikasi, dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi

tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah

palsu, stellionaat (385), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak

(305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415)

c. Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana

Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya

dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan `b i dapat dianggap sebagai

perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini

dilatarbelakangi oleh suatu ratio urtentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351).

Pasal 351 (1) dirupwskan dengan sangat singkat yakni: "Penganiayaan

(mishandeling) diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan

dan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

2. Dan Sudut Titik Beratnya Larangan

Disamping itu dari sudut titik beratnya larangan maka dapat dibedakan pula

antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara

materiil (pada tindak pidana materiil).

Page 40: Paper hukum Pidana

a. Dengan Cara Formil

Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas

perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan

dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan

selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai

dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang

timbul dari perbuatan.

b. Dengan Cara Materiil

Perumusan dengan cara materiil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan

tindak pidana yang dirumuskan itu adalah pada menimhulkan akihat tertentu, disebut

dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada

menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu

tidak menjadi persoalan.

Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tinclak

pidana materiil (materieel delict).

3. Darii Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang Lebih

Berat dan yang Lebib Ringan

a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok

Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan

tindak pidana antara bentuk standard (bentuk pokok) dengan bentuk

g diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara mei rumuskannya dapat

dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk

pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.

Page 41: Paper hukum Pidana

b. Perumusan Dalam Bentuk yang Diperingan dan yang Diperberat

Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tidak pidana

yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau

dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364,

373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian

menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya tindak

pidana itu.

D. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:

1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam

buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.

2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel

delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)

3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana seng tja

(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).

4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana

aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan

tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta

omissionis).

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara

tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau

berlangsung lama/berlangsung terus.

Page 42: Paper hukum Pidana

6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak

pidana khusus.

7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana

communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak

pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi

tertentu).

8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan

antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht

delicten).

9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan

antara tindak pidana bentuk pokok (eenvotidige delicten), tindak pidana yang

diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan

(gepriviligieerde delicten).

10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak

terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti

tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana

pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain

sebagainya.

11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan

antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana

berangkai (samengestelde delicten).

E. WAKTU DAN TEMPAT TINDAK PIDANA

Page 43: Paper hukum Pidana

Dari apa yang telah dibicarakan tentang tindak pidana dimuka, mengenai

tempat dan waktu tindak pidana tidak disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana,

walaupun pada kenyataannya ada juga disebagian kecil rumusan tindak pidana

tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik sebagai

unsur yang memberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman (363 ayat

2 sub 3), atau pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi dan sebagainya

(363 ayat 1 sub 2), atau sebagai unsur pokok, misalnya: waktu perang (127), dimuka

umum (281, 282, 532), di tempat lalu lintas umum (533), berada dijalan umum (536),

dijalan umum (544 (1).

1. Mengenai Waktu Tindak Pidana

a. Mengenai hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya

perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,

b. Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan

(maatregelen) terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak

pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46 dan

47 KUHP.

c. Mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan kadaluwarsa bagi hak negara

untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78, 79

KUHP.

d. Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan

e. Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika

melakukan tindak pidana

Page 44: Paper hukum Pidana

f. Mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive)

2 . Mengenai Ternpat Tindak Pidana

Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana penting dalam beberapa hal, yaitu:

a. Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif.

b. Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang mernuat azas teritorialitet

tentang berlakunya hukum pidana Indonesia.

3. Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana

Undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan

tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini

menjadi sangat penting dalam praktik hukum, karena teori-teori itulah yang dapat

menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang

waktu dan tempat tindak pidana ini.

Dari sudut faktual atau kenyataannya, maka ada benarnya jika kita berpendapat

bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana adalah seluruh waktu dan

tempat di mana tindak pidana itu dilakukan.

Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif (omissi) berupa tindak pidana

pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan

panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa dipersidangan pengadilan

(522), adalah waktu dan tempat di mana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum

itu dilakukan.