Upload
bigman-jelex-andy-sianipar
View
1.445
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Dalam tugas paper hukum pidana ini kami akan meringkas buku hukum pidana yang
berjudul “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” yang ditulis oleh Drs. Adami Chazawi,
S.H. Dalam buku “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” tersebut materi yang dibahas
adalah :
BAB I. Pengertian Hukum Pidana.
BAB II. Stelsel Pidana.
BAB III. Tindak Pidana.
BAB IV. Teori-teori Pemidanaan.
BAB V. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana
Dalam materi tersebut kami juga akan meringkas sampai ke dalam sub-sub bab
materi tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Hukum Pidana
Dilihat dalam garis-garis besarnya, dengan berpijak pada kodifikasinnya sebagai
sumber utama atau sumber pokok hukum pidana, maka hukum pidana itu adalah bagian
dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang :
1. Aturan umum hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan
tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (starf) bagi yang
melanggar larangan tersebut.
2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk
dapat dijatuhkan sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya.
3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-
alat perlengkapan (misalnya polisi,jaksa, hakim), terhadap tersangka dan
didakwakan sebagai pelanggaran hukum pidana dalam rangka usaha negara
menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta
tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh
tersangka/terdakwa.
Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut dengan hukum
pidana materiil yang juga disebut hukum pidana abstrak, yang sumber utamannya adalah
Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP). Sedangkan hukum pidana yang berisi
aspek ke tiga tersebut disebut dengan hukum pidana formiil, yang sumber pokoknya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
B. PEMBAGIAN HUKUM PIDANA
1. Hukum Pidana Dalam Keadaan Diam dan Dalam Keadaan Bergerak.
Atas dasar ini, hukum pidana dibedakan antara hukum pidana materiil
dengan hukum pidana formill atau hukum acara pidana .
2. Hukum Pidana Dalam Arti Obyektif dan Dalam Arti Subyektif.
Hukum pidana obyektif atau disebut dengan ius poenale, adalah hukum
pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbut, larangan mana disertai
dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi sama
artinya dengan hukum pidana materiil.
Sedangkan hukum pidana subyektif atau disebut juga ius poeniendi sebagai
aspek subyektifnya hukum pidana, dalam arti aturan yang berisi atau mengenai
hak atau kewenangan negara.
3. Atas Dasar pada Siapa Belakunya Hukum Pidana.
Bahwa atas dasar pada siapa hukum pidana berlaku, maka hukum pidana
dibedakan atas hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
a. Hukum Pidana Umum adalah hukum pidana yang ditunjukan dan berlaku
untuk semua warga penduduk negara (subyek hukum) dan tidak
membeda-bedakan kualitas pribadi subyek hukum tertentu. Setiap warga
negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum.
b. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara
yang hanya dikhususkan berlaku bagi subyek hukum tertentu saja.
4. Atas Dasar Sumbernya.
Atas dasar sumber hukunya, hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
Hukum pidana umum disini diartikan adalah semua ketentuan hukum pidana
yang terdapat/bersumber pada kodifikasi (KUHP dan KUHAP), yang karenanya
dapat juga disebut dengan hukum pidana kodifikasi.
Sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada
perundang-undangan diluar kodifikasi.
5. Atas Dasar Wilayah Berlakunya Hukum.
Dilihat dari wilayah berlakunya hukum pidana dibedakan menjadi (a) hukum
Pidana Umum, (b) Hukum Pidana lokal.
Hukum pidana umum dalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintah
negara pusat yang berlaku bagi subyek hukum yang berada dan melanggar hukum
pidana diseluruh wilayah negara.
Hukum pidana local adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah
yang berlaku bagi subyek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh
pemerintah daerah tersebut.
6. Atas Dasar Bentuk/Wadahnya
Atas dasar bentuk atau wadahnya hukum pidana dapat dibedakan menjadi:
(a) hukum pidana tertulis, disebut juga hukum pidana Undang-undang, dan (b)
hukum pidana tidak tertulis, atau disebut dengan hukum pidana adat.
Hukum pidana tertulis terdiri dari hukum pidana kodifikasi (bersumber pada
kodifikasi, misalnya KUHP dan KUHAP), dan hukum pidana diluar kodifikasi,
yang tersebar dipelbagai peraturan perundangundangan.
C. FUNGSI HUKUM PIDANA.
1.Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang Menyerang Atau
Memperkosanya
Kepentingan hukum (rechtsbelang) adalah berupa se a kepentingan yang
diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, sebagai
anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga, wajib
dipertahankan agar tidak dilanggar/ diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia,
yang semuanya ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban didalam
segala bidang kehidupan.
2.Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara Dalam Rangka Negara Menjalankan
Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi.
Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang ddindungi, dilakukan
oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan,
tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi
yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan,
pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari, sampai yang
paling tajam berupa menjatuhkan sanksi pidana kepada petindaknya/si
pelanggarnya, yang mana tindakan ini sebagaimana diatas sudah diterangkan
adalah berupa tindakan yang justru menyerang kepentingan hukum yang bersang-
kutan yang dilindungi. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan
yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana, hak
untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa
kekuasaan yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh siapa-siapa kecuali
negara. Hak untuk menjatuhkan pidana ini adalah diatur dalam hukum pidana
itu sendiri.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini terutama terdapat dalam hukum
acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni UU No. 8 Tahun 1981. Dalam
hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat
dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan
hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.
3.Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuaaan Negara Dalam Rangka Negara
Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi
Dalam menjalankan fungsi hukum pidana yang disebutkan kedua, hukum
pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar
negara dapat menjalankan. Fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya kekuasaan yang sangat besar itu akan sangat berbahaya bagi
penduduk negara apabila tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sebab akan
menjadi bumerang bagi masyarakat dan pribadi manusia, perlakuan negara dapat
menjadi sewenang-wenang. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan
sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan
kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut
mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu adalah
menjadi wajib.
D. ILMU HUKUM PIDANA.
Pada dasarnya ilmu hukum pidana dapat dibedakan antara: ilmu hukum
pidana dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit, doktrin atau ilmu hukum pidana adalah bagian dad ilmu
hukum yang pada dasarnya mempelajari dan menjelaskan perihal hukum
pidana yang berlaku atau hukum pidana positif dari suatu negara (ius
constitutum), jadi bersifat dogmatis. Bahan kajian ilmu hukum pidana dalam
anti sempit adalah hukum positif yang sedang berlaku.
Dalam arti luas ilmu hukum pidana, tidak saja terbatas pada kajian dogmatis
sebagaimana yang diterangkan diatas, ilmu hukum pidana tidak hanya mempelajari
dan menjelaskan. Secara sistematis norma-norma hukum yang sedang berlaku saja
akan tetapi juga meliputi:
1. Bidang-bidang mengapa norma yang berlaku itu dilanggar, kajiannya tidak
terfokus pada normanya saja tapi pada sebabsebab mengapa norma itu dilanggar,
dan kemudian bagaimana upaya agar norma itu tidak dilanggar. Kajian bidang ini
kini telah merupakan ilmu tersendiri yang disebut dengan kriminologi.
2. Juga menjadi bahan kajian ilmu hukum pidana ialah tentang hukum yang akan
dibentuk atau hukum yang dicita-citakan (ius consituendum).
BAB II
STELSEL PIDANA
A. PENGERTIAN PIDANA
Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi tentang antara
lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di
mana menjalankannya, begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan
pengecualian penjatuhan pidana
Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, ialah berupa penderitaan.
Perbedaannya hanya terletak, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan
daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan
istilah hukuman. Walaupun istilah pidana lebih tepat dari is tilah hukuman, karena
hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.
Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat
hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum
pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak
pidana (stafbaar feit).
B. JENIS-JENIS PIDANA.
Mengenai stelsel pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP
dalam Bab ke- 2 dari pasal 10 sampai pasal 43, yang kemudian juga diatur lebih jauh
mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan, yaitu:
1. Reglemen Penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan IN 1948 No. 77).
2 Ordonasi Pelepasan Bersyarat (Stb 1917 No. 749).
3 Reglemen Pendidikan Paksaan (Stb 1917 No. 741).
4 4 UU No. 20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan.
Menurut stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi 2 kelompok, pidana pokok
dengan pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari:
1. Pidana mati.
2. Pidana penjara.
3. Pidana kurungan.
4. Pidana denda.
5. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946).
Pidana tambahan terdiri dari:
1. Pidana pencabutan hak-hak tertentu.
2. Pidana perampasan barang-barang tertentu.
3. Pidana pengumuman keputusan hakim.
Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP, mengelompokkan jenis-jenis pidana
kedalam Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis
pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah:
1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif),
sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis
pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan
tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok
3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan
(executie).
C. PENJATUHAN PIDANA DENGAN BERSYARAT.
Pidana dengan bersyarat yang dalam praktik hukum sering juga disebut dengan
pidana percobaan adalah suatu sistem/model penjatuhan pidana oleh hakim yang
pelaksanaannya digantungkan pada syaratsyarat tertentu. Artinya pidana yang
dijatuhkan oleh hakim itu ditetapkan tidak perlu dijalankan pada terpidana selama
syarat-syarat yang ditentukan tidak dilanggarnya, dan pidana dapat dijalankan apabila
syarat-syarat yang ditetapkan itu tidak ditaatinya atau dilanggarnya.
Adapun manfaat dari penjatuhan pidana dengan bersyarat ini adalah memperbaiki
penjahat tanpa harus memasukkannya kedalam penjara, artinya tanpa membuat derita
bagi dirinya dan keluarganya, mengingat pergaulan dalam penjara terbukti sering
membawa pengaruh buruk bagi seseorang terpidana, terutama bagi orang-orang yang
melakukan tindak pidana karena dorongan faktor tertentu yang ia tidak mempunyai
kemampuan untuk menguasai dirinya, dalam arti bukan penjahat yang sesungguhnya,
misalnya karena kemelaratan dan untuk makan ia mencuri sebungkus roti, karena
butuh uang untuk mengobati istrinya yang luka parah akibat kecelakaan terpaksa la
menggunakan uang kas kantor (penggelapan, 372 KUHP).
D. PELEPASAN DENGAN SYARAT.
Lembaga pelepasan bersyarat (voorwaardelijke invrijheidstelling) ini telah ada
sejak diberlakukannya KUHP kita (1918), yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat
yang baru dimasukkan dalam KUHP kita pada tahun 1927. Lembaga pelepasan bersyarat
ini 12 tahun lebih dulu ada daripada pemidanaan bersyarat, latar belakangnya ialah
karena pengawasan terhadap nara pidana yang dilepas dengan bersyarat relatif lebih
mudah, karena ia telah dibina dalam dan ketika menjalani pidana penjara selama dua
pertiga dari lama pidana yang telah dijatuhkan atau paling tidak 9 bulan. Sedangkan
pada pidana bersyarat, seluruh pidananya belum atau tidak dijalani. Karena itu
pengawasannya menjadi lebih sulit, yang memerlukan lembaga pengawasan yang
lebih baik dan senmpurna. Sedangkan pengawasan narapidana yang dilepas dengan
bersyarat, cukup pada lembaga yang masih sederhana yang ketika itu (1918) sudah ada
di Hindia Belanda.
Penetapan pelepasan bersyarat dapat diberikan (oleh Menkeh, 15 ayat 1) apabila
terpidana telah menjalani pidana sepertiganya atau sekurang-kurangnya 9 bulan (15
ayat 1). Lamanya menjalani pidana yang dimaksud ini tidak termasuk lamanya masa
penahanan sementara jika sebelum divonis bersalah ia ditahan sementara). Artinya masa
lamanya penahanan sementara tidak dihitung dalam menentukan dua pertiga atau 9
bulan itu, walaupun dalam putusan hakim selalu ditetapkan bahwa pidana yang
dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan sementara.
Apabila seorang telah diberikan surat keputusan pelepasan bersyarat, maka
diberikan masa percobaan yang lamanya lebih 1 tahun dari sisa masa pidana yang
belum dijalaninya (15 ayat 3). Dalam masa percobaan ini narapidana diberikan syarat-
syarat tentang kelakuannya seteiah ia dilepaskan. Syarat ini ada 2 macam, ialah
syarat umum dan syarat khusus.
Syarat umum adalah berisi keharusan bagi narapidana selama masa percobaan itu
tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatanperbuatan tercela lainnya (15 ayat
1). Perbuatan tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya pengertiannya
lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang di tempat pelacuran
atau di tempat hiburan malam seperti diskotik, atau bergaul dengan para penjahat,
para preman dan lain sebagainya.
Sedangkan syarat khusus adalah segala macam ketentuan perihal kelakuannya,
asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah
agamanya (15 ayat2).
BAB III
TINDAK PIDANA
Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam.hukum pidana
Belanda yaitu "stafbaar feit". Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda
dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi
tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum
ada keseragaman pendapat.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundangundangan yang ada
maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit
adalah:
1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan
pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan
istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.
11/PNPS/ 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU No. 3 tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (diganti dengan UU No. 31 Th.
1999), dan perundang-undangan lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini
seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. (lihat buku Tindak-tindak Pidana
Tertentu di Indonesia).
2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R. Tresna
dalam bukunya "Azas-azas Hukum Pidana", Mr. Drs. H J van Schravendijk dalam
buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H
dalam buku beliau "Hukum Pidana". Pembentuk UU juga pernah menggunakan
istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun
1950 (baca pasal 14 ayat 1).
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin "delictum" juga digunakan untuk
menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafoaar feit. Istilah ini
dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H,
walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam
buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau "Hukum Pidana I".
Prof. Moeljatno pernah juga menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku
beliau "Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan", walaupun menurut beliau
lebih tepat dengan istilah perbuatan pidana.
4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-pokok Hukum Pidana
yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleb dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam buku
beliau "Ringkasan tentang Hukum Pidana". Begitu juga Schravendijk dalam
bukunya "Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia"
6 Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-undang dalam
Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak (baca pasal
3).
7. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan
beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.
Nyatalah kini setidak-tidaknya dikenal ada 7 istilah dalam bahasa
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, boar dan feit. Dari 7 istilah yang
digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan
dengan pidana dan hukuni. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.
Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan.
Secara literlijk kata "strap' artinya pidana, "baar" artinya dapat atau boleh dan
"feit" adalah perbuatan. Dalam kaitanya dengan istilah strafbaar feit secara utuh,
ternyata straf diterjemahkan juga dengan kata hukum, pada hat sudah lazim hukum itu
adalah berupa terjemahan dari kata recht, seolah-olah arti straf sama dengan recht,
yang sebenarnya tidak demikian halnya.
Sedangkan untuk kata "peristiwa", menggambarkan pengertian yang lebih luas
dari perkataan perbuatan, karena peristiwa tidak saja menunjuk pada perbuatan
manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang tidak saja disebabkan oleh
adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam, seperti matinya seseorang
karena disambar petir atau tertimbun tanah longsor yang tidak penting dalam hukum
pidana. Baru menjadi penting dalam hukum pidana, apabila kematian orang itu
diakibatkan oleh perbuatan manusia (pasif maupun aktif).
Untuk istilah "tindak" memang telah lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan kita, walaupun masih dapat diperdebatkan juga ketepatannya.
Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif (handelen) semata, dan
tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten). Padahal
pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah termasuk baik perbuatan aktif
maupun pasif tersebut. Perbuatan aktif artinya suatu bentuk perbuatan yang untuk
mewujudkannya diperlukan/disyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan
dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP)
atau merusak_(pasal 406 KUHP). Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk
tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apa pun yang oleh karenanya, dengan
demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya
perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304
KUHP).
Sedangkan istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada kaitannya dengan
istilah strafbaar feit, karena istilah ini berasal dari kata delictum (Latin), yang juga
dipergunakan dalam perbendaharaan hukum Belanda: delict, namun isi pengertiannya
tidak ada perbedaan prinsip dengan istilah strafbaar feit.
Istilah perbuatan ini dipertahankan oleh Moeljatno dan dinilai oleh beliau sebagai
istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan isi pengertian dari strafbaar feit (baca
teks pidato beliau pada saat Upacara Dies Natalis ke VI, 1955 Universitas Gajahmada
yang berjudul "Perbuatan pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana Dalam Hukum
Pidana"), walaupun istilah delik pernah juga digunakan oleh beliau.
Istilah perbuatan pidana ini pernah juga digunakan oleh Pernbentuk UU dalam
UU No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kesatuan Acara Pengadilan Sipi!" (baca pasal 5).
Pandangan Moeljatno terhadap perbuatan pidana seperti tercermin dalam istilah
yang beliau gunakan dan rumusannya, menampakkan bahwa beliau memisahkan
antara perbuatan dengan orang yang melakukan. Pandangan yang memisahkan antara
perbuatan dan orang yang melakukan ini Bering disebut pandangan dualisme, juga
dianut oleh banyak ahli, misalnya Pompe, Vos, Tresna, Roeslan Saleh, A. Zaenal
Abidin.
Kemampuan bertanggung. jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada
perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya
memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya)
pembuatnya, atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan demikian, maka hal
kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Kemampuan
bertanggung jawab adalah mengenai hal yang lain dari tindak pidana dalarn artian
abstrak, yakni mengenai syaraf untuk dapat dipidananya terhadap pelaku yang
terbukti telah melakukan tindak pidana atau melanggar larangan berbuat dalam
hukum pidana, dan sekali-kali bukan syarat ataupun unsur dari pengertian tindak
pidana. Sebagaimana diketahui bahwa orang yang telah terbukti bahwa perbuatannya
telah melanggar larangan berbuat (tindak pidana) tidak selalu dengan demikian
dijatuhi pidana.
Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan tentang
ketidakmampuan bertanggung jawab dalam pasal 44 KUHP yang tidak boleh dijatuhi
pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti untuk mempidana seseorang pelaku
tindak pidana disyaratkan bahwa orang itu hares mempunyai kemampuan
pertanggungan jawab pidana.
Bukan itu saja, bisa juga terjadi tidak dipidananya pelaku tindak pidana (disebut
petindak) karena alasan bahwa perbuatannya itu kehilangan sifat melawan
hukumnya perbuatan, seperti petinju yang memukul lawannya hingga luka-luka,
bahkan bisa sampai mati.
Demikian juga halnya pada syarat kedua, yakni bahwa perbuatan itu harus sesuai
dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan hukum. Ketentuan hukum yang
dimaksud adalah rumusan tindak pidana tertentu dalam peraturan perundang-
undangan.
Perkataan perbuatan disitu adalah menunjuk pada kejadian kongkrit (oleh
seseorang), yang tidak lain maksudnya adalah agar perbuatan itu dapat dipidana hares
mencocokkannya terlebih dulu pada rumusan (tentunya tentang tindak pidana) dalam
UU, yang jika ada persesuaian dengan unsur-unsur yang ada dalam rumusan UU,
maka perbuatan oran.R itu dapat dipidana, clan bukan berupa tindak pidana.
Kemampuan bertanggung jawab menjadi hal yang sangat penting adalah dalam
hal penjatuhan pidana, dan bukan dalam hal terjadinya tindak pidana (kongkrit).
Untuk terjadinya/terwujudnya tindak pidana sudah cukup dibuktikan terhadap semua
unsur yang ada pada tindak pidana yang bersangkutan.
Sedangkan kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal yang lain, yakni
hal untuk menjatuhkan pidananya. Persoalan kemampuan bertanggung jawab ini
barulah menjadi hal yang penting yakni ketika pidana hendak dijatuhkan.
Terwujudnya tindak pidana tertentu tidak dengan demikian diikuti dengan pidana
tertentu. Perihal kemampuan bertanggung jawab adalah mengenai hal syarat
penjatuhan pidana, bukan syarat untuk terwujudnya tindak pidana.
Berdasarkan hal ini, maka tidak terdapat unsur tertentu dalam tindak pidana
tertentu dengan tidak terdapatnya kemampuan bertanggung jawab pada kasus tertentu,
adalah hal yang berbeda dan mempunyai akibat hukum yang berbeda pula. Jika
hakim mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya salah satu unsur tindak pidana,
artinya tidak terwujudnya tindak pidana tertentu yang didakwakan, maka putusan
hakim berisi pembebasan clad segala dakwaan (vrijspraak). Tetapi jika hakim
mempertimbangkan bahwa pada diri terdakwa terdapat ketidakmampuan
bertanggung jawab (pasal 44 KUHP), maka amar putusan akan berisi "pelepasan dari
tuntutan hukum" (ontslag van rechtsvervolging).
B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, dapat dibedakan setidak-
tidaknya dari dua sudut pandang, yakni: (1) dari sudut teoritis dan (2) dari sudut
Undang-undang. Maksud teoritis ialah ber dasarkan pendapat para ahli hukum, yang
tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut UU adalah bagaimana kenyataan
tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal
peraturan perundang-undangan yang ada.
1. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi
Dimuka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh para
ahli hukum baik penganut paham dualisme maupun paham monisme. Unsur-unsur apa
yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang
dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritisi
yang telah dibicarakan dimuka, yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos, Jonkers dan Schra-
vendijk.
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan
hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada
pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam)
dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya
benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang
artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan
perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian
perbuatan pidana.
2. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam UU
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang
masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada
unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah
laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti pasal 351 (penganiayaan). Unsur
kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak
dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan
bertanggung jawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik
sekitar/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan
tertentu.
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat
diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu:
a. unsur tingkah laku.
b. unsur melawan hukum.
C. unsur kesalahan.
d. unsur akibat konstitutif.
e. unsur keadaan yang menyertai.
f. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.
g. unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.
h. unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
Dari 8 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan melawan hukum
adalah termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya adalah berupa unsur obyektif.
Mengenai unsur melawan hukum, adakalanya bersifat obyektif, misalnya melawan
hukumnya perbuatan mengambit pads pencurian (362) adalah terletak bahwa dalam
mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum obyektif).
Atau pada 251 pada kalimat "tanpa izin pemerintah", juga pada pasal 253 pada kalimat
"menggunakan cap asli secara melawan hukum" adalah berupa melawan hukum
obyektif. Tetapi ada juga melawan hukum subyektif misalnya melawan hukum dalam
penipuan (oplichting, 378), pemerasan (afpersing, 368), pengancaman (afdreiging,
369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan
memiliki dalam penggelapan (372) yang bersifat subyektif, artinya bahwa
terdapatnya kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam
kekuasaannya itu adalah merupakan celaan masyarakat.
Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum obyektif
atau subyektif, bergantung dad bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang
bersangkutan.
Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada diluar keadaan batin
manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan
dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek
tindak pidana. Sedangkan unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang
mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.
a. Unsur Tingkah Laku
Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif
(handelen), juga dapat disebut perbuatan materiil (materieel feit) dan tingkah laku
pasif atau negatif (nalaten).
Tingkah laku aktif adalah suatu bentuk tingkah laku yang untuk mewujudkannya
atau melakukannya diperlukan wujud gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau
bagian dari tubuh, misalnya mengambil (362) atau memalsu dan membuat secara
palsu (268). Sebagian besar (hampir semua) tindak pidana tentang unsur tingkah
lakunya dirumuskan dengan perbuatan aktif, dan sedikit sekali dengan perbuatan
pasif.
Sedangkan tingkah laku pasif adalah berupa tingkah laku membiarkan (nalaten),
suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu tubuh atau bagian
tubuh, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan-keadaan tertentu harus
melakukan perbuatan aktif, dan dengan tidak berbuat demikian seseorang itu
disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Contoh perbuatan: tidak
memberikan pertolongan (531), membiarkan (304), meninggalkan (308), tidak segera
memberitahukan (164), tidak datang (522).
b. Unsur Sifat Melawan Hukum
Melawan hukum adalah suatu sifat tercelanya atau terlarangnva dari suatu
perbuatan, yang sifat tercela mana dapat bersumber pada Undang-undang (melawan
hukum formil/formelle wederrechtelijk) dan dapat bersumber pada masyarakat
(melawan hukum materiil/ materieel wederrechtelijk). Karena bersumber pada
masyarakat, yang sering juga disebut dengan bertentangan dengan asas-asas hukum
masyarakat, maka sifat tercela tersebut tidak tertulis. Seringkali sifat tercela dari
suatu perbuatan itu terletak pada kedua-duanya, seperti perbuatan menghilangkan
nyawa (orang lain) pada pembunuhan (338), adalah dilarang baik dalam UU maupun
menurut masyarakat. Adalah wajar setiap perbuatan yang tercela menurut masyarakat
ada-lah tercela pula menurut Undang-undang, walaupun kadangkala ada perbuatan
yang tidak tercela menurut masyarakat tetapi tercela menurut Undang-undang,
misalnya perbuatan mengemis (504), bergelandang (505). Sebaliknya ada perbuatan
yang tercela menurut masyarakat tetapi tidak menurut Undang-undang, contohnya
perbuatan bersetubuh senang sama suka antara bujang dan gadis yang berpacaran.
Dari sudut Undang-undang, suatu perbuatan tidaklah mempunyai sifat melawan
hukum sebelum perbuatan itu diberi sifat terlarang (wederrechtelijk) dengan
memuatnya sebagai dilarang dalam peraturan perundang-undangan, artinya sifat
terlarang itu disebabkan atau bersumber pada dimuatnya dalam peraturan perundang-
undangan.
Dalam hal yang terakhir, bagaimana mengenai kenyataan bahwa tidak semua orang
akan mengetahui tentang begitu banyak dan luasnya tindak pidana dalam UP Hal
kenyataan itu tidak perlu menjadi kendala, karena dalam hal berlakunya hukum pidana
didasarkan pada adagium yakni "setiap orang dianggap mengetahui hukum". Jadi dengan
terpenuhinya perbuatan mengambil beserta unsur-unsur lainnya, sudah dengan demikian
dianggap seseorang itu mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang UU.
c. Unsur Kesalahan
Kesalahan (schuld) adalah unsur mengenai keadaan atau gambaran batin orang
sebelum atau pada saat memulai perbuatan, karena itu unsur ini selalu melekat pada
diri pelaku dan bersifat subyektif. Dalam hal ini berbeda dengan unsur melawan
hukum yang dapat bersifat obyektif dan dapat bersifat subyektif, bergantung pada
redaksi rumusan dan sudut pandang terhadap rumusan tindak pidana tersebut.
Unsur kesalahan yang mengenai keadaan batin pelaku adalah berupa unsur yang
menghubungkan antara perbuatan dan akibat serta sifat melawan hukum perbuatan
dengan si pelaku. Hanya dengan adanya hubungan antara ketiga unsur tadi dengan
keadaan batin pembuatnya inilah, pertanggungan jawab dapat dibebankan pada orang
itu (Wirjono Prodjodikoro, 1981:55). Dengan demikian maka terhadap pelaku tadi
dijatuhi pidana.
Unsur kesalahan (balk kesengajaan maupun kelalaian) dalam tindak pidana
pelanggaran tidak pernah dicantumkan dalam rumusan. Apakah dengan demikian
tidak berlaku azas geen straf zonder schuld pada pelanggaran? Sesuai dengan
keterangan dalam MvT WvS Belanda yang menyatakan bahwa pada pelanggaran
hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya
kesengajaan atau kelalaian dan tidak diperlukan memberikan putusan tentang hal itu
(Masruchin R,1986:87), maka praktik hukum sebelum 1916, mengenai pelanggaran
ini dianut ajaran perbuatan jasmani (perbuatan materiil), artinya jika perbuatan
jasmani telah terwujud, maka terwujudlah pelanggaran, tanpa harus mempersoalkan
kesalahan pada petindaknya. Tetapi sejak tahun 1916, pendirian perbuatan jasmani
itu ditinggalkan, sebagaimana Hoge Raad dalam arrest Pengusaha Susu (14-2-1916)
menyatakan bahwa bagi pelanggaran diperlukan kesalahan walaupun tidak dinyatakan
dengan tegas sebagai unsur oleh Undang-undang (Satochid Kartanegara,I:359).
Disisi lain mengenai kesalahan dalam pelanggaran ini, yang kenyataannya tidak
dibedakan antara bentuk kesengajaan dan bentuk kelalaian sebagaimana pada kejahatan.
Namun melihat dari rumusan beberapa pelanggaran misalnya 490 (1), 504, 525, 545,
mustahil dapat diwujudkan tanpa ada kesengajaan didalamnya.
1) Kesengajaan
Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Dalam Memorie
van Toelichting (MvT) WvS Belanda ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai
kesengajaan ini, yang menyatakan "Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya
pada barangsiapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens) dan
diketahui (wetens)" (Moeljatno, 1983:171). Dengan singkat dapat disebut bahwa
kesengajaan itu adalah orang yang menghendaki dan orang yang mengetahui. Setidak-
tidaknya kesengajaan itu ada dua, yakni kesengajaan berupa kehendak, dan kesengajaan
berupa pengetahuan (yang diketahui).
Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang ditujukan untuk
melakukan perbuatan, artinya untuk mewujudkan perbuatan itu memang telah
dikehendaki sebelum seseorang itu sungguhsungguh berbuat. Jika dihubungkan pada
rumusan tindak pidana yang mengandung unsur perbuatan di mana akibat sebagai syarat
penyelesaian tindak pidana (tindak pidana materiil), maka selain ditujukan pada
perbuatan, kehendak juga harus ditujukan pada timbulnya akibat itu. Hal ini tampak
secara jelas pada kejahatan pembunuhan (338), di mana perbuatan, misalnya
mengampak (wujud dari perbuatan menghilangkan nyawa) memang ia kehendaki, dan
kematian korban dari perbuatan itu juga ia kehendaki. Antara perbuatan dan
akibat dalam hubungannya dengan kehendak, adalah suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana materiil.
Menurut teori pengetahuan, kesengajaan adalah mengenai segala apa yang ia
ketahui tentang perbuatan yang akan dilakukan dan beserta akibatnya. Jika
dihubungkan dengan tindak pidana, kesengajaan itu adalah mengenai segala sesuatu yang
ia ketahui dan bayangkan sebelum seseorang melakukan perbuatan beserta segala sesuatu
sekitar perbuatan yang akan dilakukannya sebagaimana yang dirumuskan dalam UU.
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada 3 bentuk kesengajaan, yaitu:
a) kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)
b) kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)
c) kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbe wustzijn) disebut
juga dengan dolus eventualis.
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan meng hendaki
(willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki
untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) clan atau juga
menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil). Itulah
bentuk yang paling sederhana dari pengertian kesengajaan sebagai maksud. Misalnya
untuk maksud membunuh, maka dengan sebilah pisau ditikamnya korban sampai
mati. Disini perbuatan menikam itu dikehendaki, demikian juga kematian akibat
tikaman itu juga ia kehendaki.
Dalam rumusan tindak pidana, kesengajaan sebagai maksud dengan mudah
dapat diketahui, karena secara tegas dirumuskan, misalnva pada pasal 362, 368, 369,
378.
2). Kelalaian (Culpa)
Kelalaian yang sering juga disebut dengan tidak sengaja, lawan dari kesengajaan
(opzettelijk atau dolus) dalam rumusan tindak pidana sering disebut dengan schuld,
yang dapat saja membingungkan, karena schuld dapat juga berarti kesalahan yang
terdiri dari kesengajaan dan tidak sengaja (culpa) itu sendiri. Contohnya,
perhatikanlah rumusan tindak pidana dalam pasal: 114, 188, 359, 360, 409, yang
mengandung unsur culpa tersebut, yang berbunyi "Hij aan wiens schuld to wijten is"
yang diterjemahkan dengan "Barangsiapa karena salahnya..." atau "Barangsiapa
karena kesalahannya...", yang anti salahnya atau kesalahannya tiada lain adalah suatu
kelalaian. Tapi ada istilah schuld yang artinya lebih luas sebagaimana terdapat dalam
alas tiada pidana tanpa kesalah-an (geen straf zonder schuld), yang perkataan schuld
disitu adalah mengandung pengertian opzettelijk dan culpa. Dalam doktrin perkataan
schuld itu memang terdiri dari dolus dan culpa. Untuk mengurangi kebingungan
itu, lebih baik menggunakan istilah schuld dalam arti luas ialah terdiri dari dolus dan
culpa, sedangkan schuld dalam arti sempit ialah culpa saja. Dalam hal ini pembentuk
Undang-undang dengan menggunakan kata schuld adalah dalam arti sempit.
Untuk menggambarkan adanya suatu kelalaian, selain dengan menggunakan
istilah aan wiens schuld, juga digunakan istilah lain, misalnya:
a. onacbtzaamheid seperti pada pasal 231 (4), 232 (3), yang diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia, juga dengan: karena kealpaan (BPHN,1983:96-97), atau
kelalaian (R.Soesilo: 1980, 1540), atau kurang berhati-hati (Martiman
Prodjohamidjojo, 1996:53)
b. wist of moest verwachten pada pasal 483 (butir 2), 484 (2), diterjemahkan dengan
patut menduga atau seharusnya menduga (BPHN,1983:188, Moeljatno,1959: 154,
Andi Hamzah,2000:191).
c. redelijkerwijs moet vermoeden atau patut dapat menduga (PAF Iamintang,1979:373),
atau sepatutnya harus diduga (BPHN, 1983: 187) pada pasal 480 (1). Hal yang
sama terdapat juga dalam pasal: 287, 288, 290, 292, 293, 418.
d. ernstige reden heeft om to vermoeden, atau ada alasan kuat untuk menduga (Martiman
Prodjohamidjojo, 1996:53)
Kesengajaan dan culpa adalah berupa unsur batin (subyektif). Sesuatu mengenai
alam batin ini, bisa berupa: kehendak, pengetahuan, perasaan, pikiran dan kata
lainnya yang dapat menggambarkan perihal keadaan batin manusia. Manusia normal
memiliki semua itu, dan dalam keadaan normal is mempunyai kemampuan
menggunakan/merefleksikan keadaan batin itu kedalam wujud tingkah laku. Apabila
kemampuan menggunakan sesuatu alam batin itu ditujukan kedalam wujud-wujud
perbuatan tertentu yang dilarang, hal itu disebut sebagai kesengajaan. Sedangkan
apabila kemampuan berpikir, berperasaan itu tidak dia gunakan sebagaimana
mestinya dalam hal melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya dilarang,
maka disebut sebagai kelalaian.
d. Unsur Akibat Konstitutif
Unsur akibat konstitutif ini terdapat pada: (1) tindak pidana materiil (materieel
delicten) atau tindak pidana di mana akibat menjadi syarat selesainya tindak
pidana, (2) tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai syarat pemberat
pidana, dan (3) tindak pidana di mana akibat merupakan syarat dipidananya pembuat.
Berbeda dengan yang dimaksud kedua, dalam tindak pidana materiil (yang pertama),
timbulnya akibat itu bukan untuk memberatkan pertanggungan jawab pidana, dalam
arti berupa alasan pemberat pidana, tetapi menjadi syarat selesainya tindak pidana.
Perbedaan lain, ialah unsur akibat konstitutif pada tindak pidana materiil adalah
berupa unsur pokok tindak pidana, artinya jika unsur ini tidak timbul, maka tindak
pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah percobaannya.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat memperberat pidana karena bukan
merupakan unsur pokok tindak pidana, artinya jika syarat ini tidak timbul, tidak
terjadi percobaan, melainkan terjadinya tindak pidana selesai. Misalnya pada pasal
288 jika akibat luka berat (ayat 2) tidak timbul, maka yang terjadi adalah berupa
kejahatan yang selesai yakni bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya dikawini
dan menimbulkan luka (bukan luka berat, ayat 1), dan bukan percobaan berse tubuh
dengan wanita yang belum waktunya dikawini yang menimbulkan luka berat.
Persamaannya ialah, bahwa dalam kedua unsur itu, timbulnya akibat ialah setelah
perbuatan dilakukan.
Sedangkan unsur akibat sebagai syarat dapat dipidananya pembuat, ialah tanpa
timbulnya akibat itu perbuatan yang dirumuskan dalam UU itu tidak dipidana. Baru
dapat dipidana apabila akibat terlarang itu telah timbul. Contohnya pasal 288,
perbuatan persetubuhan dengan istrinya itu tidak dapat dipidana, dan barn dipidana
jika dari persetubuhan itu mendatangkan akibat luka dan atau kematian istrinya yang
belum waktunya dikawini itu telah timbal.
Kembali pada tindak pidana materiil, ialah berupa tindak pidana yang berisi
larangan menimbulkan akibat tertentu (akibat terlarang). Dengan rumusan lain,
tindak pidana materiil adalah suatu tindak pidana yang menurut bunyi redaksi
rumusannya mengandung unsur akibat dari perbuatan sebagai syarat selesainya
tindak pidana. Unsur akibat ini disebut juga dengan akibat konstitutif (constitutief
gevolg)
Tindak pidana materiil di mana unsur akibat menjadi syarat selesainya tindak
pidana, berbeda dengan tindak pidana yang mengandung unsur akibat sebagai
pemberat pidana atau tindak pidana yang dikualifiser oleh akibatnya (door bet gevolg
gequalificeerde delicten). Perbedaan itu adalah dalam tindak pidana materiil, jika
akibat itu tidak timbul, maka tindak pidana tersebut tidak terjadi, yang terjadi adalah
percobaannya. Tetapi jika akibat tidak timbul pada tindak pidana di mana akibat
sebagai syarat pemberat pidana, maka tidak terjadi percobaan tindak pidana tersebut,
tetapi yang terjadi adalah tindak pidana selesai yang lain. Contohnya pada pencurian
dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang lain (365 ayat 3), jika
kematian tidak timbul, maka tidak terjadi percobaan pencurian dengan kekerasan yang
mengakibatkan matinya orang lain (365 ayat 3 Jo 53), tetapi pencurian dengan
kekerasan yang menimbulkan luka berat selesai (jika ada luka, 365 ayat 2 sub 4) dan
pencurian kekerasan selesai (365 ayat 1, jika tidak ada akibat luka atau kematian). Luka
dan matinya orang lain adalah unsur pemberat pidana pada pencurian dengan
kekerasan (365 ayat 1).
e. Unsur Keadaan yang Menyertai
Unsur keadaan yang menyertai, adalah unsur tindak pidana yang berupa semua
keadaan yang ada dan berlaku dalam mana perbuatan di lakukan. Unsur keadaan yang
menyertai ini dalam kenyataan rumusan tindak pidana dapat:
1) mengenai cara melakukan perbuatan;
2) mengenai cara untuk dapatnya dilakukan perbuatan;
3) mengenai obyek tindak pidana;
4) mengenai subyek tindak pidana;
5) mengenai tempat dilakukannya tindak pidana; dan
6) mengenai waktu dilakukannya tindak pidana.
1) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Cara Melakukan Perbuatan
Unsur keadaan yang menyertai yang berupa cara melakukan perbuatan, artinya
cara itu melekat pada perbuatan yang menjadi unsur tindak pidana. Ada tindak
pidana tertentu yang disamping penyebutan unsur tingkah laku dalam rumusan tindak
pidana, juga menyebutkan caranya melakukan tingkah lakunya itu. Dengan
disebutkan unsur cara melakukan disamping penyebutan tingkah lakunya, lalu dengan
demikian menjadi terbatas sifat dan wujud tingkah laku itu dalam pelaksanaannya.
Dengan mencantumkan unsur cara melakukan perbuatan maka wujud tingkah laku itu
menjadi terbatas. Cara berbuat dapat juga disebut sebagai wujud kongkrit dari tingkah
laku. Penyebutan unsur cars dalam mewujudkan tingkah laku hanyalah terdapat pada
tindak pidana yang unsur tingkah lakunya itu bersifat abstrak. Misalnya kekerasan
dan ancaman kekerasan menurut pasal 285, 289, 368 adalah wujud kongkrit dari
perbuatan memaksa (dwingen), atau dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
menggunakan nama palsu atau kedudukan palsu dapat disebut sebagai wujud dari
perbuatan menggerakkan (bewegen) pada penipuan (378).
2) Unsur Cara Untuk Dapat Dilakukannya Perbuatan
Unsur ini agak berbeda dengan yang disebutkan yang pertama. Unsur cara
untuk dapat dilakukannya perbuatan adalah bukan berupa cara berbuat, melainkan
untuk dapat melakukan ferbuatan yang menjadi larangan dalam tindak pidana, terlebih
dulu hares dipenuhinya cara-cars tertentu agar perbuatan yang menjadi larangan itu
dapat diwujudkan. Jadi berupa syarat (incasu cars berbuat) untuk dapat dilakukannya
perbuatan yang menjadi larangan, dan bukan cara melakukan perbuatan yang menjadi
larangan.
3) Unsur Keadaan Menyertai Mengenai Obyek Tindak Pidana
Keadaan yang menyertai mengenai obyek tindak pidana adalah berupa semua
keadaan yang melekat pada atau mengenai obyek tindak pidana, misalnya unsur
"milik orang lain" yang melekat pada benda yang menjadi obyek pencurian (362),
penggelapan (372), perusakan (406), atau ternak (363 ayat 1 ke-1), belum waktunya
dikawin (288), seorang yang belum dewasa yang baik tingkah lakunya (293).
4) Unsur Keadaan yang Menyertai Mengenai Subyek Tindak Pidana
Unsur ini adalah segala keadaan mengenai diri subyek tindak pidana, baik yang
bersifat obyektif maupun subyektif. Bersifat obyektif adalah segala keadaan diluar
keadaan batin pelakunya, misalnya seorang ibu (342), seorang pejabat (414, 415, 415),
seorang nakhoda (449), seorang warga negara RI (451), dua atau lebih dengan
bersekutu (363 ayat 1 ke-4). Sedangkan yang bersifat subyektif adalah keadaan me
ngenai batin subyek hukum, misalnya dengan rencana lebih dulu (340, 353).
5) Keadaan yang Menyertai Mengenai Tempat Dilakukannya Tindak Pidana
Unsur ini adalah mengenai segala keadaan mengenai tempat dilakukannya tindak
pidana, misalnya sebuah kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada tempat
kediaman (363 ayat 1 ke-3), dimuka umum (160, 207, 532), berada dijalan umum
(536 ayat 1), di tempat
lalu lintas umum (533).
6) Keadaan yang Menyertai Mengenai Waktu Dilakukannya Tindak Pidana
Unsur ini adalah mengenai waktu dilakukannya tindak pidana, yang dapat berupa
syarat memperberat pidana maupun yang menjadi unsur pokok tindak pidana. Berupa
syarat diperberatnya pidana, misalnya waktu malam (363 ayat 1 ke-3), kebakaran,
letusan, banjir, gempa bumi, gempa laut, gunung meletus, kapal karam dst. (363
ayat 1 ke2). Sedangkan waktu yang menjadi unsur pokok tindak pidana, misalnya
dalam masa perang (124, 127), pejabat yang sedang (waktu) menjalankan tugasnya
yang sah (212, 217).
f. Unsur Syarat Tambahan untuk Dapatnya Dituntut Pidana
Unsur ini hanya terdapat pada tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan
adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut pidana jika adanya pengaduan dari
yang berhak mengadu. Pengaduan substansinya adalah sama dengan laporan, ialah
berupa keterangan atau informasi mengenai telah terjadinya tindak pidana yang
disampaikan kepada pejabat penyelidik atau penyidik yakni kepolisian, atau dalam
hal tindak pidana khusus ke kantor Kejaksaan Negeri setempat. Perbedaan
pengaduan dengan laporan, ialah pada pengaduan hanya: (1) dapat dilakukan oleh
yang berhak mengadu saja, yakni korban kejahatan, atau
,arakilnya yang sah (lihat pasal 72), dan (2) pengaduan diperlukan hanya terhadap
tindak pidana aduan saja. Pada laporan kedua syarat itu tidak
diperlukan.
Untuk dapatnya dituntut pidana pada tindak pidana aduan diper1tkan syarat
adanya pengaduan dari yang berhak tersebut. Sprat pengaduan bagi tindak pidana
aduan inilah yang dimaksud dengan unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
Syarat ini ada yang disebutkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana yang
bersangkutan misalnya pada perzinaan (284 ayat 2), pada penghinaan (310-318 jo 319),
path pencurian dalam kalangan keluarga (362-365 jo 367), tetapi ada yang sekedar
menunjuk pada ketentuan syarat pengaduan pada pasal yang lain, misalnya pada
penggelapan (376 menunjuk 367), atau pengancaman (370 menunjuk 367).
g. Syarat Tambahan untuk Memperberat Pidana
Mengenai syarat ini telah disinggung pada saat membicarakan unsur akibat
konstitutif dimuka. Unsur ini adalah berupa alasan untuk diperberatnya pidana, dan
bukan unsur syarat untuk terjadinya atau syarat selesainya tindak pidana sebagaimana
pada tindak pidana materiil.
Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana bukan merupakan unsur pokok
tindak pidana yang bersangkutan, artinya tindak pidana tersebut dapat terjadi tanpa
adanya unsur ini. Misalnya pada penganiayaan berat (354), kejahatan ini dapat
terjadi (ayat 1), walaupun akibat luka berat tidak terjadi (ayat 2). Luka berat
hanyalah sekedar syarat saja untuk dapat diperberatnya pidana.
h. Unsur syarat Tambahan untuk Dapatnya Dipidana
Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana adalah berupa unsur keadaan-
keadaan tertentu yang timbul setelah perbuatan dilakukan, yang menentukan untuk
dapat dipidananya perbuatan. Artinya bila setelah perbuatan dilakukan keadaan ini
tidak timbul, maka terhadap perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum dan
karenanya si pembuat tidak dapat dipidana. Sifat melawan hukumnya dan patutaya
dipidana perbuatan itu sepenuhnya digantungkan pada timbulnya unsur ini. Nilai
bahayanya bagi kepentingan hukum dari perbuatan itu adalah terletak pada timbulnya
unsur syarat tambahan, bukan semata-mata pada perbuatan.
Walaupun unsur ini sama dengan unsur akibat konstitutif dalam hal timbulnya
setelah dilakukan perbuatan. Tetapi berbeda secara prinsip. Pada unsur akibat
konstitutif harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang menjadi larangan dengan
akibatnya, seperti perbuatan memukul dengan kayu dengan akibat patah tangannya
korban. Sedangkan pada unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana tidak
memerlukan hubungan kausal yang demikian. Misalnya unsur "pecah perang" tidak
ada hubungan kausal atau bukan berupa akibat dari masuknya seseorang warga
negara RI menjadi anggota tentara asing dari pasal 123.
Perbedaan yang lain ialah, apabila akibat konstitutif tidak timbul setelah
dilakukannya perbuatan, maka tindak pidananya tidak terjadi, yang terjadi hanyalah
percobaannya. Misalnya niat membunuh dengan telah melakukan perbuatan
membacok batang leher korban, tetapi tidak menimbulkan akibat kematian, maka
pembunuhan tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan pembunuhan (338 jo 53).
Tetapi jika unsur syarat tambahan tidak timbul setelah dilakukan perbuatan (aktif
maupun pasif), maka tindak pidana itu tidak terjadi, demikian juga percobaannya
tidak terjadi. Misalnya bila tidak terjadi "kejahatan yang direncanakan", maka tindak
pidana tidak melapor sebagaimana dirumuskan pada pasal 164 tidak terjadi, demikian
juga tidak terjadi percobaannya.
C. CARA MERUMUSKAN TINDAK PIDANA
Buku II dan Buku III KUHP berisi tentang rumusan tindak pidanatindak pidana
tertentu. Tentang bagaimana cara pembentuk Undangundang dalam merumuskan
tindak pidana itu pada kenyataannya
memang tidak seragam.
Dalam hal ini akan dilihat dari 3 dasar pembedaan cara dalam merumuskan
tindak pidana dalam KUHP kita.
1. Cara Pencantuman Unsur-unsur dan Kualifikasi Tindak Pidana
Dari sudut ini, maka dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada 3 cara perumusan,
ialah:
a. Cara pertama, dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman
pidana.
b. Cara kedua, dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan
mencantumkan ancaman pidana.
c. Cara ketiga, sekedar mencantumkan kualifikasinya saja, tanpa unsur-unsur dan
mencantumkan ancaman pidana.
Tampaklah yang sebenarnya, bahwa dari ketiga cara tersebut, ada tindak pidana
yang dirumuskan tanpa menyebut unsur-unsur dan banyak yang tidak menyebut
kualifikasi. Selalu disebut dalam rumusan adalah ancaman pidana. Ancaman pidana
dan kualifikasi memang bukan unsur tindak pidana. Kualifikasi dicantumkan sekedar
untuk menggampangkan penyebutan terhadap pengertian tindak pidana yang
dimaksudkan. Sedangkan mengenai selalu dicantumkannya ancaman pidana dalam
rumusan, disebabkan karena ancaman pidana ini adalah ciri mutlak dari suatu larangan
perbuatan sebagai tindak pidana dan yang membedakan dengan larangan perbuatan
yang bukan tindak pidana atau diluar hukum pidana.
a. Mencantumkan Unsur Pokok, Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Cara yang pertama ini adalah merupakan cara yang paling sempurna. Cara ini
digunakan terutama dalam hal merumuskan tindak pidana dalam bentuk
pokok/standard, dengan mencantumkan unsurunsur obyektif maupun unsur subyektif,
misalnya pasal: 338 (pembunuhan), 362 (pencurian), 368 (pengancaman), 369
(pemerasan), 372 (penggelapan), 378 (penipunan), 406 (perusakan).
Dimaksudkan unsur pokok atau unsur esensiel adalah berupa unsur yang
membentuk pengertian yuridis dari tindak pidana tertentu itu. Unsur-unsur ini dapat
dirinci secara jelas, dan untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan tindak
pidana tersebut dan menjatuhkan pidana, maka semua unsur itu harus dibuktikan
dalam persidangan.
b. Mencantumkan Semua Unsur Pokok Tanpa Kualifikasi dan Mencantumkan
Ancaman Pidana.
Cara inilah yang paling banyak digunakan dalam merumuskan tindak pidana
dalam KUHP. Tindak pidana yang menyebutkan unsurunsur pokok tanpa menyebut
kualifikasi, dalam praktik kadang-kadang terhadap suatu rumusan diberi kualifikasi
tertentu, misalnya terhadap tindak pidana pada pasal 242 diberi kualifikasi sumpah
palsu, stellionaat (385), penghasutan (160), laporan palsu (220), membuang anak
(305), pembunuhan anak (341), penggelapan oleh pegawai negeri (415)
c. Mencantumkan Kualifikasi dan Ancaman Pidana
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara ini adalah yang paling sedikit. Hanya
dijumpai pada pasal tertentu saja. Model perumusan `b i dapat dianggap sebagai
perkecualian. Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara yang sangat singkat ini
dilatarbelakangi oleh suatu ratio urtentu, misalnya pada kejahatan penganiayaan (351).
Pasal 351 (1) dirupwskan dengan sangat singkat yakni: "Penganiayaan
(mishandeling) diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
dan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".
2. Dan Sudut Titik Beratnya Larangan
Disamping itu dari sudut titik beratnya larangan maka dapat dibedakan pula
antara merumuskan dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara
materiil (pada tindak pidana materiil).
a. Dengan Cara Formil
Disebut dengan cara formil karena dalam rumusan dicantumkan secara tegas
perihal larangan melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang menjadi pokok larangan
dalam rumusan itu ialah melakukan perbuatan tertentu. Dalam hubungannya dengan
selesainya tindak pidana, maka jika perbuatan yang menjadi larangan itu selesai
dilakukan, maka tindak pidana itu selesai pula, tanpa bergantung pada akibat yang
timbul dari perbuatan.
b. Dengan Cara Materiil
Perumusan dengan cara materiil maksudnya ialah yang menjadi pokok larangan
tindak pidana yang dirumuskan itu adalah pada menimhulkan akihat tertentu, disebut
dengan akibat yang dilarang atau akibat konstitutif. Titik beratnya larangan adalah pada
menimbulkan akibat, sedangkan wujud perbuatan apa yang menimbulkan akibat itu
tidak menjadi persoalan.
Tindak pidana yang dirumuskan dengan cara materiil disebut dengan tinclak
pidana materiil (materieel delict).
3. Darii Sudut Pembedaan Tindak Pidana Antara Bentuk Pokok, Bentuk yang Lebih
Berat dan yang Lebib Ringan
a. Perumusan Dalam Bentuk Pokok
Jika dilihat dari sudut sistem pengelompokan atau pembedaan
tindak pidana antara bentuk standard (bentuk pokok) dengan bentuk
g diperberat dan bentuk yang lebih ringan, juga cara mei rumuskannya dapat
dibedakan antara merumuskan tindak pidana dalam bentuk
pokok dan dalam bentuk yang diperberat dan atau yang lebih ringan.
b. Perumusan Dalam Bentuk yang Diperingan dan yang Diperberat
Rumusan dalam bentuk yang lebih berat dan atau lebih ringan dari tidak pidana
yang bersangkutan, unsur-unsur bentuk pokoknya tidak diulang kembali atau
dirumuskan kembali, melainkan menyebut saja pasal bentuk pokok (misalnya: 364,
373, 379) atau kualifikasi bentuk pokok (misalnya: 339, 363, 365). Kemudian
menyebutkan unsur-unsur yang menyebabkan diperingan atau diperberatnya tindak
pidana itu.
D. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu:
1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam
buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III.
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel
delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten)
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana seng tja
(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan
tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta
omissionis).
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara
tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau
berlangsung lama/berlangsung terus.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus.
7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana
communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak
pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi
tertentu).
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan
antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten).
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana bentuk pokok (eenvotidige delicten), tindak pidana yang
diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan
(gepriviligieerde delicten).
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak
terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti
tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana
pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan
antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana
berangkai (samengestelde delicten).
E. WAKTU DAN TEMPAT TINDAK PIDANA
Dari apa yang telah dibicarakan tentang tindak pidana dimuka, mengenai
tempat dan waktu tindak pidana tidak disebut-sebut sebagai unsur tindak pidana,
walaupun pada kenyataannya ada juga disebagian kecil rumusan tindak pidana
tertentu di mana mengenai hal waktu dan tempat itu menjadi unsur, baik sebagai
unsur yang memberatkan, misalnya waktu malam dalam sebuah kediaman (363 ayat
2 sub 3), atau pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi dan sebagainya
(363 ayat 1 sub 2), atau sebagai unsur pokok, misalnya: waktu perang (127), dimuka
umum (281, 282, 532), di tempat lalu lintas umum (533), berada dijalan umum (536),
dijalan umum (544 (1).
1. Mengenai Waktu Tindak Pidana
a. Mengenai hubungannya dengan ketentuan pasal 1 ayat 2 KUHP, perihal adanya
perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan,
b. Mengenai berlaku tidaknya ketentuan perihal penjatuhan pidana atau tindakan
(maatregelen) terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan tindak
pidana sebelum umur 16 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 45, 46 dan
47 KUHP.
c. Mengenai hal yang berhubungan dengan ketentuan kadaluwarsa bagi hak negara
untuk melakukan penuntutan pidana sebagaimana ditentukan dalam pasal 78, 79
KUHP.
d. Mengenai hal untuk menentukan usia korban ketika tindak pidana dilakukan
e. Mengenai hal yang berhubungan dengan keadaan jiwa si pelaku ketika
melakukan tindak pidana
f. Mengenai hal yang berhubungan dengan pengulangan (recidive)
2 . Mengenai Ternpat Tindak Pidana
Mengenai tempat dilakukannya tindak pidana penting dalam beberapa hal, yaitu:
a. Dalam hal yang berhubungan dengan kompetensi relatif.
b. Dalam hubungannya dengan ketentuan pasal 2 KUHP yang mernuat azas teritorialitet
tentang berlakunya hukum pidana Indonesia.
3. Teori Tentang Waktu dan Tempat Tindak Pidana
Undang-undang ternyata telah tidak memberikan penjelasan perihal waktu dan
tempat tindak pidana. Oleh sebab itu teori-teori mengenai waktu dan tempat ini
menjadi sangat penting dalam praktik hukum, karena teori-teori itulah yang dapat
menjadi pegangan hakim dalam memecahkan persoalan yang menyangkut tentang
waktu dan tempat tindak pidana ini.
Dari sudut faktual atau kenyataannya, maka ada benarnya jika kita berpendapat
bahwa pada dasarnya waktu dan tempat tindak pidana adalah seluruh waktu dan
tempat di mana tindak pidana itu dilakukan.
Mengenai waktu dan tempat tindak pidana pasif (omissi) berupa tindak pidana
pelanggaran terhadap kewajiban hukum untuk berbuat, misalnya mengabaikan
panggilan hakim untuk menjadi saksi ahli atau juru bahasa dipersidangan pengadilan
(522), adalah waktu dan tempat di mana ia seharusnya memenuhi kewajiban hukum
itu dilakukan.