26

Click here to load reader

mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

PENDAHULUANPenyakit diare adalah penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir di seluruh daerah geografis di dunia. Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama pada anak balita. Diare lebih dominan menyerang anak balita karena daya tahan tubuh anak balita yang masih lemah sehingga anak balita sangat rentan terhadap penyebaran bakteri penyebab diare (Depkes 2010).

Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit, utamanya penyakit infeksi (Notoatmodjo S, 2004). Di dunia terdapat 6 juta anak balita yang meninggal tiap tahunnya karena penyakit diare, dimana sebagian kematian tersebut terjadi di negara berkembang (DepkesRI, 2008).

Hal yang bisa menyebabkan anak balita mudah terserang penyakit diare adalah perilaku hidup masyarakat yang kurang baik dan keadaan lingkungan yang buruk. Diare

dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani secara serius karena tubuh anak balita sebagian besar terdiri dari air, sehingga bila terjadi diare sangat mudah terkena dehidrasi (Depkes, 2010). Negara berkembang termasuk Indonesia anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun dan hal ini yang menjadi penyebab kematian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian (Depkes RI, 2010).

Masih  banyaknya angka kesakitan karena diare disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor ibu dalam penatalaksanaan diare yang benar masih belum memadai, walaupun  program pengendalian kejadian diare sudah dilaksanakan. Salah satu hubungan faktor terjadinya diare pada anak balita adalah akibat dari faktor ibu sebagai orang yang selalu dekat dan memelihara kesehatan anak serta memberi makan.

1) Alumni Jurusan PKIP FKM Undana2) Staf pengajar Jurusan PKIP FKM Undana3) Staf pengajar Jurusan PKIP FKM Undana

HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE IBU DAN SARANA SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI DESA RAJA KECAMATAN

BOAWAE KABUPATEN NAGEKEO

Monika Karunia Tuda Geo 1, Marylin S. Junias 2, Agus Setyobudi 2

Abstract: Diarrhea is an environmentally-based disease that occurs in almost all parts of the world;and can strike all groups and genders-male or female. Data from puskesmas Boawae ( Boawae local health centre ) in 2010 shows that were 524 diarrhea cases, 301 of whom were balitas ( children under five years old ), of 1806 balitas as a whole. In 2011, there were 637 cases and 322 of whom were balitas. The research is aimed at identifying the relation of mather ‘s personal hygiene (water is boiled before consuming, habit of hand-washing before feeding balita and after and after defecation) to the means of enfironmental sanitation (qualiti of water bacteriology, physical quality, latrine ownership, availability of waste water drainage and waste bins) with diarrhea suffered by balitas in Raja village, of Kecamatan Boawae of Negekeo Regency. The research type is of analitycal survey by using cross sectional study. The population of 337 mothers having balitas were randomly sampled to have 75 mothers. Test of variable was done by employing Chi-square analisis. Statistic test reveals the folllowing results. There is a relation between: boiling water before consuming, and diarrhea cases by balitas whosw p value = 0,000; Hand-washing and diarrhea cases by balitas with p value = 0,000; However, no relation between quality of fresh water bacteriology and diarrhea cases by balitas with p value = 0,496; A relation between pysical quality of fresh water and diarrhea cases by balitas with p value = 0,001; family-owned latrine and diarrhea cases by balitas with p value = 0,000; Availability of waste bins and diarrhea cases by balitas with p value = 0,000; No relation between waste drainage and diarrhea cases by balitas with p value = 0,650.

Keywords : Diarrhea, Personal Hygiene, Environmentsl sanitation, under five years old

Page 2: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

Penyakit diare yang merupakan penyakit berbasis lingkungan juga dipengaruhi oleh keadaan kebersihan baik perorangan (personal hygiene) maupun kebersihan lingkungan perumahan yaitu tidak memadainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan sarana kebersihan, pembuangan tinja yang tidak higienis, kebersihan perorangan dan lingkungan yang jelek, serta pengolahan dan penyimpanan makanan yang tidak semestinya. Sanitasi yang baik dan memenuhi syarat kesehatan serta didukung oleh personal hygiene yang baik akan bisa mengurangi resiko munculnya suatu penyakit diare. Personal hygiene dan sanitasi lingkungan perumahan yang baik bisa terwujud apabila didukung oleh perilaku masyarakat yang baik (Depkes RI, 2008).

Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare, terdiri dari faktor agent penjamu, lingkungan dan perilaku. Faktor penjamu yang menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap diare, diantaranya tidak memberikan ASI selama 2 tahun, kurang gizi, penyakit campak, dan imunodefisiensi. Faktor lingkungan akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat, maka penularan diare dengan mudah dapat terjadi (Depkes RI, 2008).

Tahun 2008 dilaporkan terjadinya kejadian luar biasa (KLB) diare di 15 provinsi dengan jumlah penderita sebanyak 8.443 orang, jumlah kematian sebanyak 209 orang atau Case Fatality Rate (CFR) sebanyak 2,48%. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi yang buruk dan perilaku hidup tidak bersih (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).

Menurut Depkes RI (2009) angka Case Fatality Rate (CFR) penderita diare pada tahun 2009 adalah 1,74 %, dimana jumlah penderita diare sebanyak 5756 penderita. Penyakit diare juga merupakan 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit. Hasil riset kesehatan dasar 2007, diare

menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak balita dengan 162.000 kematian tiap tahun.

Kabupaten Nagekeo terbagi menjadi 7 kecamatan dan salah satunya adalah Kecamatan Boawae. Data dari Puskesmas Boawae, penderita diare pada tahun 2010 sebanyak 524 penderita dengan jumlah penderita pada anak balita sebanyak 301 orang dari 1806 jumlah anak balita secara keseluruhan. Data tahun 2011 (bulan Januari sampai bulan September) menunjukan sebanyak 637 penderita dengan jumlah diare pada anak balita sebanyak 322 penderita (laporan bulanan puskesmas Boawae, 2010).

Hasil inspeksi sarana sanitasi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo bersama dengan Puskesmas Boawae, ternyata masih ada sebagian besar dari penduduk yang masih belum memiliki sarana sanitasi lingkungan yang memadai misalnya, sarana air bersih yang sudah ada belum memenuhi syarat. Jamban keluarga, dari 447 keluarga yang diperiksa hanya 215 yang memenuhi syarat. Tempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan Boawae, yaitu 738 penderita dari 1440 penderita untuk Kabupaten Nagekeo (Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo, 2009).

Desa Raja, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo adalah desa dengan jumlah anak balita terbanyak di Kecamatan Boawae yaitu sebanyak 337 anak balita dengan angka kejadian diare pada tahun 2010 sebanyak 66 kasus (Puskesmas Boawae, 2010).

Masyarakat Desa Raja, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Karena kesibukan bekerja, maka orang tua khususnya ibu, biasanya membiarkan anak balita bermain sendiri tanpa pengawasan orang dewasa, akibatnya anak balita bermain di tempat yang kotor dan berperilaku tidak sehat seperti memasukan jari tangan ke dalam mulut. Hal lain yang menjadi penyebab tingginya angka kejadian diare di Desa Raja adalah kurangnya kesadaran

33

Page 3: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

masyarakat akan pentingnya sarana sanitasi lingkungan. Masyarakat pada umumnya belum memiliki sarana dasar sanitasi lingkungan yaitu tempat sampah, jamban, saluran pembuangan air limbah dan air bersih. Kebutuhan minum, masak, cuci dan sebagainya, masyarakat menggunakan air sungai dan untuk minum, masyarakat biasanya mengambil pada tempat-tempat tertentu di sepanjang sungai, yang menurut masyarakat merupakan air bersih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara personal hygiene ibu anak balita dan sarana sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja, Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo

BAHAN DAN METODELokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di Pasar Kasih Naikoten Kota Kupang.

Desain dan Variabel PenelitianJenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survey analitik dengan menggunakan desain penelitian Cross sectional yaitu suatu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, pengamatan atau pengumpulan data sekaligus pada saat yang sama (Notoatmodjo, 2005).

Populasi dan SampelPopulasi pada penelitian ini adalah ibu yang tercatat memiliki anak balita berumur di bawah lima tahun di Desa Raja, Kecamatan Boawae yang berjumlah 337 orang. sampel sebanyak 75 responden yakni ibu yang memiliki anak balita berusia 0 bulan – 59 bulan

Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan wawancara dan pengisian chek list. Wawancara dilakukan terhadap ibu yang mempunyai anak balita untuk mendapatkan data mengenai personal hygiene ibu balita dan ketersediaan sarana sanitasi lingkungan sedangkan pengisian chek list akan dilakukan untuk mempertegas ketersediaan

sarana sanitasi lingkungan di rumah responden.

Analisis DataAnalisis data dalam 2 tahap yakni univariat dan bivariat. Analisis univariat dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Analisis bivariat dengan bantuan program SPSS dan menggunakan uji Chi-Square (α=0,05). Jika nilai p < 0,05 artinya ada hubungan yang signifikan.

HASILPersonal Hygiene1) Memasak Air Sebelum DikonsumsiMemasak air sebelum dikonsumsi merupakan suatu kebiasaan ibu di rumah yang selalu memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi. Secara rinci kebiasaan ibu ( responden) yang selalu memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi dapat dilihat pada tabel 1 berikut

Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Memasak Air Minum di Desa Raja Tahun 2012

Memasak Air Minum

Jumlahn %

Ya 39 52Tidak 36 48Total 75 100

Menurut tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 75 responden yang diteliti terdapat 39 responden atau sebesar 52 % yang memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi sedangkan 36 responden lainnya tidak memasak air sebelum dikonsumsi atau sebanyak 48 %.

2) Mencuci Tangan Personal Hygiene ibu dalam hal mencuci tangan dapat dilihat dari kebiasaan ibu mencuci tangan sebelum memberi anak balita makan dan setelah buang air besar. Distribusi responden berdasarkan kebiasaan ibu (responden) mencuci tangan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa dari total responden, yang berperilaku baik dengan

34

Page 4: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

mencuci tangan sebelum memberi anak balita makan dan setelah buang air besar berjumlah 20 responden (26,7) sedangkan yang berperilaku buruk atau yang tidak mencuci tangan yaitu 55 orang ( 73,3 % ).

Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Mencuci Tangan di Desa Raja Tahun 2012

Mencuci Tangan

Jumlahn %

Baik 20 26,7Buruk 55 73,3Total 75 100

Sarana Sanitasi Lingkungan

1) Kualitas Bakteriologis Air BersihKualitas bakteriologis air bersih dapat dilihat pada jumlah bakteri coliform yang terdapat dalam sampel air.

Tabel 3 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Bakteriologis Sumber Air di Desa Raja Tahun 2012

Sumber Air

Hasil Jumlah Coliform

Titik I Memenuhi syarat

21

Titik II Tidak memenuhi syarat

1100

Titik III Tidak memenuhi syarat

1100

Titik IV Tidak memenuhi syarat

> 2400

Tabel 3 di atas, dapat diketahui bahwa dari keempat titik yang diambil sampel untuk diperiksa, hanya ada satu titik yang memenuhi syarat bakteriologis, karena jumlah coliform 21. Jumlah coliform yang paling sedikit yaitu di titik pertama dengan jumlah 21 dan yang paling banyak yaitu air sungai dari titik keempat dengan jumlah > 2400.

2) Kualitas Fisik Air Bersih

Tabel 4 Kualitas Fisik Air Bersih di Desa Raja Tahun 2012

Sumber Air Kualitas FisikBerbau Berasa

Titik I Tidak TidakTitik II Tidak TidakTitik III Tidak YaTitik IV Ya Ya

Menurut tabel 4, pada titik pertama dan titik kedua yang memenuhi syarat kualitas fisik air bersih dilihat dari tidak berbau dan tidak berasa, sedangkan pada titik ketiga dan keempat, tidak memenuhi syarat kualitas fisik air bersih.

3) Kepemilikan Jamban KeluargaDistribusi responden berdasarkan kepemilikan jamban keluarga dapat dilihat pada tabel 5

Tabel 5 Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Jamban Keluarga di Desa Raja Tahun 2012

Kepemilikan Jamban Keluarga

Jumlahn %

Ada 25 33,3Tidak Ada 50 66,7Total 75 100

Menurut tabel 5, dapat diketahui bahwa masih banyak responden yang belum memiliki jamban keluarga yaitu sebanyak 50 orang (66,7 %) sedangkan yang yang memiliki jamban keluarga sebanyak 25 orang (33,3 %).

4) Ketersediaan Saluran Pembuangan Air LimbahDistribusi responden berdasarkan ketersediaan saluran pembuangan air limbah dapat dilihat pada table 6

Tabel 6 menerangkan bahwa yang memiliki saluran pembuangan air limbah sebanyak 30 responden dengan persentase 40 % dan yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sebanyak 45 orang (60 %)

35

Page 5: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

Tabel 6 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) di Desa Raja Tahun 2012

Ketersediaan SPAL

Jumlahn %

Ada 30 40Tidak Ada 45 60Total 75 100

5) Ketersediaan Tempat Sampah Distribusi responden berdasarkan ketersediaan tempat sampah dapat dilihat pada tabel 7

Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Ketersediaan Tempat Sampah di Desa Raja Tahun 2012

Ketersediaan Tempat Sampah

Jumlahn %

Ada 16 21,3Tidak Ada 59 78,7Total 75 100

Menurut tabel di atas diperoleh hasil bahwa yang memiliki tempat sampah sebanyak 16 responden dengan persentase 21,3 % dan yang tidak memiliki tempat sampah sebanyak 59 responden dengan persentase 78,7 %.

6) Kejadian Diare pada Anak BalitaDistribusi kejadian diare pada anak balita dapat dilihat pada tabel IV.8 berikut

Tabel 8 Distribusi Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012

Kejadian Diare JumlahN %

Diare 56 74,7Tidak Diare 19 25,3Total 75 100

Menurut tabel 8 diperoleh hasil bahwa dari 75 responden, terdapat 56 orang anak balita yang diare dengan perentase 74,7 % dan yang tidak diare sebanyak 19 orang dengan perentase 25,3 %.

Analisis Hubungan antar Variabel

Analisis hubungan antar variabel dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara memasak air sebelum dikonsumsi, mencuci tangan sebelum memberi anak balita makan dan setelah buang air besar, kualitas bakteriologis air bersih, kualitas fisik air bersih, kepemilikan jamban keluarga, ketersediaan saluran pembuangan air limbah dan ketersediaan tempat sampah dengan kejadian diare. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

Personal Hygiene1) Hubungan memasak air sebelum dikonsumsi dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja

Tabel 9 Hubungan Memasak Air Minum dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012

Memasak Air Minum

Kejadian Diare Jumlah Responden

p value

Diare Tidak Diare

n %

n % n %Ya 22 29,3 1

722,7

39 52

Tidak 34 45,3 2 2,7 36 48 0,00Total 56 74,7 1

925,3

75 100

Menurut tabel 9 dapat dilihat bahwa dari 39 responden yang memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi, anak balitanya menderita diare sebanyak 22 orang dan yang tidak diare sebanyak 17 orang, sedangkan dari 36 responen yang tidak memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi, anak balita yang menderita diare sebanyak 34 orang dengan presentase 45,3 % dan yang tidak diare hanya 2 orang dengan presentase 2,7 %. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara memasak air minum dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja.

2) Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja tahun 2012

Tabel 10 menunjukan bahwa dari 55 responden yang berperilaku buruk atau yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan

36

Page 6: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

sebelum memberi balita makan dan setelah buang air besar, 51 diantaranya anak balita menderita diare ( 68 % ) dan 4 orang tidak menderita diare dengan presentase 5,3 %. Sedangkan dari 20 responden yang mencuci tangan, hanya 5 orang balita yang mengalami diare atau dengan presentase 6,7 %. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja

Tabel 10 Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Kebiasaan Mencuci Tangan

Kejadian Diare Jumlah Responden

p Value

Diare Tidak Diare

n %

n % n %Baik 5 6,

715

20

20

26,7

Buruk 51

68

4 5,3

55

73,3

0,000

Total 56

74,7

19

25,3

75

100

.

a. Sarana Sanitasi Lingkungan1) Hubungan kualitas bakteriologis air bersih dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja.

Tabel IV.11 Hubungan Kualitas Bakteriologis Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012

Kualitas Bakteriologis Air Bersih

Kejadian Diare Jumlah Responden

p Value

Diare Tidak Diare

n %

n % n %

Memenuhi 1 1 4 5, 1 2

Syarat 4 8,7

3 8 4

Tidak Memenuhi Syarat

42

56

15

20

57

76

0,496

Total 56

74,7

19

25,3

75

100

Menurut tabel IV. 11 dapat dilihat bahwa jumlah responden menggunakan air yang memenuhi syarat bakteriologis dan tidak terkena diare sebanyak 4 responden (5,3 %). Sedangkan responden yang menggunakan air yang tidak memenuhi syarat bakteriologis, dari 57 responden, 42 orang (56 %) diantaranya menderita diare. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p > α ( 0,05 ), sehingga Ho diterima berarti tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air bersih dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan, keempat sampel yang diperiksa, hanya satu sampel yang memenuhi syarat bakteriologis. 2) Hubungan kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja Tabel IV. 12 Hubungan Kualitas Fisik Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012

Kualitas Fisik Air Bersih

Kejadian Diare Jumlah Responden

p Value

Diare Tidak Diare

n %

n % n %

Memenuhi Syarat

17

22,7

14

18,7

31

41,3

Tidak Memenuhi Syarat

39

52

5 6,7

44

58,7

0,001

Total 56

74,7

19

25,3

75

100

Menurut tabel di atas, dapat diketahui bahwa, responden yang menggunakan air

37

Page 7: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

dari titik I dan titik II ( memenuhi syarat fisik air bersih) yang menderita diare ada 17 orang atau dengan presentasi 22,7 %, sedangkan yang tidak diare sebanyak 14 orang. 44 responden yang menggunakan air dari titik III dan titik IV (tidak memenuhi syarat fisik), yang menderita diare ada 5 orang dan yang diare sebanyak 39 orang dengan presentase 52 %. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja.

3) Hubungan kepemilikan jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja tahun 2012 Tabel IV. 13 Hubungan Kepemilikan Jamban Keluarga dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012Kepemilikan Jamban Keluarga

Kejadian Diare Jumlah Responden

p Value

Diare Tidak Diare

n %

n % n %Ada 1

114,7

14

18,7

25

33,3

Tidak Ada

45

60

5 6,7

50

66,7

0,000

Total 56

74,7

19

25,3

75

100

Tabel di atas menjelaskan bahwa yang memiliki jamban keluarga dan terjadi diare adalah sebanyak 11 responden dengan persentase 14,7 %, sedangkan yang tidak diare adalah sebanyak 14 responden dengan persentase 18,7 %. Keluarga yang tidak memiliki jamban dan terjadi diare adalah sebanyak 45 responden dengan persentase 60 %, sedangkan yang tidak diare sebanyak 5 responden dengan persentase 6,7 %. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak

berarti ada hubungan antara kepemilikan jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja.

4) Hubungan ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL) dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja Tabel IV. 14 Hubungan Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja tahun 2012Ketersediaan SPAL

Kejadian Diare Jumlah Responden

p Value

Diare Tidak Diare

n %

n % n %Ada 1

925,3

11

14,7

30

40

Tidak Ada

37

49,3

8 10,7

45

60 0,650

Total 56

74,7

19

25,3

75

100

Tabel IV. 14 dapat dilihat bahwa kejadian diare banyak terjadi pada responden yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah yaitu sebanyak 37 anak balita sedangkan yang tidak diare yaitu sebanyak 8 orang atau 10,7 %. Responden yang memiliki saluran pembuangan air limbah, jumlah balita yang mengalami kejadian diare sebanyak 19 orang dengan presentase 25,3 % dan yang tidak diare sebanyak 11 orang. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p > α ( 0,05 ), sehingga Ho diterima berarti tidak ada hubungan antara ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL) dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. 5) Hubungan ketersediaan tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja

Tabel IV. 21 Hubungan Ketersediaan Tempat Sampah dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja tahun 2012Ketersediaan

Kejadian Diare Jumlah Respo

p Value

38

Page 8: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

Tempat Sampah

ndenDiare Tidak

Diaren %

n % n %Ada 6 8 1

013,3

16

21,3

Tidak Ada

50

66,7

9 12

59

78,7

0,000

Total 56

74,7

19

25,3

75

100

Tabel di atas menjelaskan bahwa yang memiliki tempat sampah dan terjadi diare sebanyak 6 responden dengan persentase 8 %, sedangkan yang tidak diare adalah sebanyak 10 responden dengan persentase 13,3 %. Responden yang tidak memiliki tempat sampah, diare sebanyak 50 responden dengan persentase 66,7 % dan yang tidak diare sebanyak 9 responden dengan persentase 12 %. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara ketersediaan tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja.

BAHASAN1 Hubungan Memasak Air dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Menurut Miller (2001) bagi manusia, air sangat penting untuk pencernaan, tetapi air juga rentan terhadap kontaminasi dan pencemaran. Sebagian besar air untuk konsumsi manusia telah tercemar. Hampir semua air permukaan sudah tercemar dan membutuhkan pengolahan sebelum dikonsumsi dengan aman. Memasak air sebelum dikonsumsi merupakan suatu hal yang sangat penting karena kuman penyakit yang terdapat pada air akan mati jika air dimasak hingga mendidih pada suhu 1000 C. Hasil penelitian, dari 56 responden (74,7 % ) yang menderita diare, 34 responden (45,3 %) diantaranya mempunyai kebiasaan tidak memasak air sebelum dikonsumsi. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak memasak air sebelum dikonsumsi, anak balitanya lebih rentan

terkena diare daripada anak balita yang ibunya memiliki kebiasaan memasak air sebelum dikonsumsi. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ) dengan nilai p = 0,000, sehingga Ho ditolak berarti ada hubungan antara memasak air minum dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Hal ini terjadi karena air yang digunakan untuk kebutuhan sehari – hari termasuk minum, menggunakan air sungai/air permukaan yang sudah terkontaminasi atau tercemar oleh berbagai macam kotoran. Oleh karena itu, bila akan dijadikan air minum, harus dimasak sampai mendidih terlebih dahulu sehingga semua kuman/bakteri mati (Proverawati & Rahmawati, 2012). Hasil wawancara dengan responden, menyimpulkan beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat Desa Raja cenderung mengkonsumsi air yang belum dimasak, diantaranya anggapan masyarakat bahwa air sungai lebih segar bila diminum langsung daripada dimasak, kelelahan seharian bekerja dikebun/sawah sehingga saat pulang ke rumah masyarakat malas memasak air. Alasan lain yaitu sulit untuk mendapatkan bahan bakar minyak tanah dan kayu api, terutama di musim hujan.Faktor yang mempengaruhi anak balita tidak menderita diare walaupun ibunya tidak memasak air sebelum dikonsumsi adalah gizi yang baik menyebabkan imunitas anak balita tinggi dan mal adaptasi (adaptasi yang terjadi karena keadaan). Di sisi lain, anak balita yang menderita diare walaupun ibunya memasak air sebelum dikonsumsi adalah air yang dimasak belum benar – benar mendidih. Selain itu, wadah tempat menyimpan air minum dicuci dengan air yang tidak bersih. Air yang sudah dimasak kemudian disimpan dalam wadah tersebut. Pada saat pengambilan air untuk diminum, menggunakan gelas/mok yang tidak mempunyai pegangan sehingga air yang bersih terkontaminasi dengan tangan yang kotor. Ada juga yang mengambil air menggunakan gelas bekas pakai/gelas kotor. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Musran ( 2009) di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengolahan air

39

Page 9: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

minum dengan kejadian diare (p = 0,000). Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Apriyani (2009) di wilayah kerja Puskesmas Swakelola II Ilir Palembang, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengolahan air bersih dengan kejadian diare dengan nilai p =1,000 . Hal ini terjadi karena walaupun responden tidak mengolah air bersihnya dengan baik mereka menggunakan air mineral isi ulang untuk keperluan konsumsinya, sehingga kemungkinan air telah diolah terlebih dahulu dan aman untuk dikonsumsi walaupun tidak dimasak lagi.

2. Hubungan Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Mencuci tangan dengan benar ialah pertahanan pertama yang dapat mencegah penyebaran berbagai penyakit. Mencuci tangan dengan baik dan benar harus memiliki syarat tertentu seperti menggunakan sabun dan air mengalir terutama sesudah buang air besar, sesudah buang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyuapi anak makan, dan sebelum makan, dapat mengurangi angka kejadian diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 55 responden (73,3 % ) mempunyai kebiasaan mencuci tangan yang buruk dan sebanyak 51 orang (68 %) mengalami diare. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak mencuci tangan, maka anak balitanya lebih berisiko terkena diare dibandingkan dengan ibu yang mencuci tangan. Uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p = 0,000 dengan p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Menurut hasi penelitian, ibu di Desa Raja yang mencuci tangan tetapi anak balitanya menderita diare, alasannya karena ibu belum mencuci tangan dengan baik (menggunakan sabun dan air bersih mengalir) dan benar (mencuci telapak tangan, punggung tangan, disela-sela jari tangan, kuku dan pergelangan tangan). Selain itu, faktor anak itu sendiri juga mempengaruhi kejadian diare. Anak balita yang sudah bisa bermain

sendiri (usia mandiri), biasanya tidak mencuci tangan setelah bermain, dan langsung makan. Sebagian anak balita bahkan makan tanpa menggunakan senduk. Di sisi lain, kebersihan kuku ibu dan anak balita juga ikut berpengaruh terhadap masuknya kuman/bakteri penyebab penyakit ke dalam tubuh. Sementara itu, ibu yang tidak mencuci tangan tetapi anak balitanya tidak terkena diare adalah walaupun awalnya anak balita diare, tapi lama kelamaan tubuh anak balita akan otomatis beradaptasi dengan keadaan (maladaptasi). Mencuci tangan perlu dilakukan karena selama beraktifitas, tidak disadari kita memegang hidung, mulut dan lain sebagainya sehingga kuman dapat menempel pada tubuh kita. Masyarakat Desa Raja, jarang mencuci tangan karena menurut mereka keadaan fisik tangan masih dalam keadaan bersih walaupun habis mengerjakan sesuatu. Biasanya hanya dilap saja di kain lap/sarung/pakaian yang sedang dipakai. Setelah buang air besar tetapi masyarakat tidak mencuci tangan karena menurut mereka tidak penting. Menurut Depkes (2009), cuci tangan pakai sabun adalah salah satu tindakan pencegahan penyakit dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia sehingga menjadi lebih bersih dan memutuskan mata rantai kuman. Sabun dapat membersihkan kotoran dan membunuh kuman, karena tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan (Rahmawati & Proverawati, 2012). Penyebab utama diare adalah minimnya perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat. Salah satunya karena rendahnya pemahaman mengenai cara mencuci tangan dengan sabun secara baik dan benar mengunakan air bersih mengalir. Penggunaan sabun, walaupun waktu mencuci tangan menjadi lama, dapat menghilangkan kuman yang tidak tampak, lemak, minyak, kotoran di permukaan kulit. Menurut hasil wawancara, ibu – ibu malas mencuci tangan setelah buang air besar menggunakan sabun, karena tempat sabun disimpan di kamar mandi, dan jarak dari jamban ke kamar mandi jauh. Selain itu, mencuci tangan menggunakan sabun memerlukan waktu yang lama.

40

Page 10: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

Cuci tangan harus dilakukan dengan sabun dan air bersih. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit dan bila digunakan, kuman berpindah ke tangan. Pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh, dan dapat menimbulkan penyakit. Masyarakat biasanya mencuci tangan, tetapi tidak memakai sabun dan memakai air di ember cuci piring bukan air yang mengalir. Selain itu, pada umumnya masyarakat Desa Raja, belum mengetahui dan memahami cara mencuci tangan yang baik dan benar. Hal ini terjadi karena, ibu – ibu jarang membaca koran yang berisi informasi dan menonton televisi yang menayangkan/menyajikaninformasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat. Jika ada penyuluhan dari puskesmas, ibu lebih memilih ke kebun/sawah sehingga ibu – ibu tidak memperoleh informasi dan pengetahuan tentang cara mencuci tangan yang baik dan benar serta tidak mengetahui bahwa penyakit diare dapat dicegah dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air bersih. Kebiasaan mencuci tangan sebelum memberi anak balita makan, memakai air dan sabun mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan pencegahan penyakit diare, karena dengan mencuci tangan dengan air dan sabun dapat lebih efektif menghilangkan debu dan kotoran secara mekanis dari permukaan kulit dan dapat mengurangi jumlah mikroorganisme penyebab penyakit. Pada umumnya ibu – ibu di Desa Raja, mencuci tangan sebelum memberi anak balita makan, namun hanya sebagian kecil yang menggunakan sabun dan air bersih. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusnani (2008), menyatakan bahwa ada hubungan cuci tangan memakai sabun dengan kejadian diare di lingkungan II, Kelurahan Tanah Merah, yaitu dengan nilai p = 0,014 ( p < 0,05), karena apabila mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, tangan akan bebas dari bakteri. Tingginya penyakit diare dapat disebabkan oleh jari atau tangan yang tercemar oleh tinja, selanjutnya melalui tangan yang tidak dicuci, dapat mencemari makanan pada waktu memasak, menyiapkan

makanan dan memberi anak balita makan. Penelitian yang dilakukan Apryani (2009) juga mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada anak usia 6 – 24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Swakelola II Ilir Palembang dengan nilai p = 0,010.

3. Hubungan Kualitas Bakteriologis Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Air adalah kebutuhan dasar yang dipergunakan setiap hari untuk minum, masak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat – alat dapur, mancuci pakaian dan sebagainya. Desa Raja merupakan salah satu desa yang dilewati aliran sungai dari sumber mata air Locolabo, Wolowea, yang mengalir menuju laut. Keadaan sungai Raja sebagian besar berbatu dan berpasir sedangkan sebagian kecil berlumpur. Satu – satunya sumber air untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat Desa Raja adalah air di Sungai Raja. Pengambilan air untuk kebutuhan sehari - hari, biasanya tergantung tempat tinggal. Masyarakat di dusun I, cenderung mengambil air di tempat pengambilan sampel pertama di titik I, demikian seterusnya. Bagi masyarakat di dusun V, yang terletak di daerah perbukitan, biasanya mengambil air di tempat mengambilan sampel tiga ( titik III ) dan empat (titik IV). Lebih jelasnya, dapat dilihat pada denah lokasi pengambilan sampel air di belakang. Untuk kebutuhan minum, masyarakat mengambil air pada pagi hari, dan pada saat itu, yang tidak mempunyai jamban biasanya langsung buang air besar di pinggir sungai/di atas batu di tengah sungai. Menurut penelitian diketahui bahwa jumlah responden menggunakan air yang memenuhi syarat bakteriologis dan tidak terkena diare sebanyak 4 responden (5,3 %), sedangkan responden yang menggunakan air yang tidak memenuhi syarat bakteriologis, dari 57 responden, 42 orang (56 %) diantaranya menderita diare. Uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p > α ( 0,05 ) dengan nilai p = 0,496 , sehingga Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara kualitas bakteriologis air bersih

41

Page 11: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Kejadian diare di Desa Raja, terjadi bukan hanya karena faktor air sungai saja. Walaupun kualitas bakteriologis air bersih, tidak mempunyai pengaruh terhadap kejadian diare, namun masih ada faktor lain yang menyebabkan kejadian diare pada anak balita misalnya pada proses pengambilan dan penyimpanan air bersih yang salah. Hasil observasi dengan bantuan chek list, diketahui bahwa pada umumnya masyarakat menyimpan air dalam ember/jerigen yang tidak ditutup sehingga memungkinkan kotoran masuk dalam air tersebut. Air yang sudah dimasak disimpan dalam wadah yang terbuka ( tidak ada tutupan ). Selain itu perilaku ibu yang tidak baik ( tidak memasak air sebelum dikonsumsi, tidak mencuci tangan, mencuci botol susu anak balita menggunakan air mentah) sangat berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak balita. Di lain pihak, ibu yang anak balitanya tidak diare walaupun menggunakan air yang tidak memenuhi syarat bakteriologis adalah air tersebut dimasak sampai mendidih sebelum dikonsumsi. Secara kuantitas (jumlah), air minum di Desa Raja dapat memenuhi semua kebutuhan penduduk di Desa Raja. Namun secara bakteriologis, air minum ada yang belum memenuhi syarat, dimana dari 100 ml sampel air yang diperiksa, didapatkan kadar MPN coli sebanyak 1100 - > 2400. Pengambilan sampel dilakukan sekali yaitu pada pagi hari, karena pada pagi masyarakat banyak mengambil air untuk kebutuhan di rumah. Gambaran mengenai tempat dan jarak keempat sampel air yang diperiksa adalah sebagai berikut : sampel pertama ( Ngeta) diambil dengan jarak 100 m dari sumber mata air, sampel kedua (Titu) diambil dengan jarak 300 m dari sampel pertama, sampel ketiga (Padha) diambil di tempat yang berjarak 200 m dari titik kedua, dan sampel Pemeriksaan bakteriologis air bersih dilakukan dengan menggunakan metode sederhana yaitu metode tabung ganda, dimana sampel air yang ada, diperiksa dalam 2 tahap yaitu tahap perkiraan dan tahap penegasan. Pemeriksaan ini menggunakan media dengan perbandingan 3:3:3.

Pemeriksaan dilakukan selama 4 hari di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Ngada. Hasil pemeriksaan bakteriologis pada menunjukan sampel pertama memenuhi syarat bakteriologis, yaitu terdapat 21 coliform. Penyebabnya adalah sampel air diambil dekat sumber mata air, sehingga tingkat resiko pencemaran masih kecil. Sampel yang tidak memenuhi syarat, jumlah coliform berkisar antara 1100 - > 2400. Alasannya karena, semakin ke hilir, semakin tinggi pencemaran. Pencemaran tersebut terjadi karena masyarakat memandikan hewan (sapi, kuda dan kerbau) di sungai dan mencuci pakaian di sungai kemudian air bilasan langsung dibuang dalam sungai. Air untuk kebutuhan sehari – hari harus bebas dari bakteri terutama bakteri pathogen.Permenkes416/MenKes/PER/IX/1990, menyatakan jumlah coliform yang diperbolehkan untuk air bersih non perpipaan yaitu 50/100 ml air dan untuk air perpipaan 10/100 ml air. Bakteri golongan coli ini berasal dari usus besar ( feaces ) dan tanah.bakteri yang mungkin ada dalam air antara lain bakteri typhsum, vibrio colerae, bakteri dystolotica, bakteri enteritis, E. coli. Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah berkontaminasi dengan kotoran manusia. Dengan demikian dalam pemeriksaan bakteriologis, tidak langsung diperiksa apakah air mengandung bakteri pathogen, tetapi diperiksa dengan indicator bakteri golongan Coli. Penelitian yang dilakukan oleh Muhajirin (2007) di Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap, dengan metode case-kontrol, diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara kualitas bakteriologis air bersih dengan kejadian diare pada anak balita, dimana hasil uji siatistik menunjukan nilai p < 0,05 ( p = 0,042 ), tetapi karena nilai OR< 1, maka hubungannya masih belum pasti. Hal ini terjadi karena, walaupun kualitas bakteriologis air bersih tidak memenuhi syarat, orang tua anak balita memasak air sampai mendidih sebelum dikonsumsi, maka kualitas air tidak terlalu berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak balita.

42

Page 12: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

4. Hubungan Kualitas Fisik Air Bersih dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Air merupakan zat yang memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Manusia akan cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan makanan. Air dibutuhkan manusia untuk memenuhi berbagai macam kepentingan. Oleh karena itu, air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tidak menimbulkan penyakit bagi manusia. Persyaratan fisik untuk air minum adalah tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau, suhu dibawah suhu udara diluarnya, sehingga dalam kehidupan sehari – hari cara mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik, tidak sukar (Rahmawati & Proverawati, 2012). Menurut hasil penelitian diketahui bahwa dari 31 orang (41,3 %) responden yang kualitas fisik air bersihnya memenuhi syarat, 17 orang (22,7 %) mengalami diare. Kualitas air yang tidak memenuhi syarat dimiliki oleh 44 responden (58,7 %) dan 39 orang (52 %) orang diantaranya menderita diare. Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ), sehingga Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja dengan nilai p = 0,001. Air di sungai Raja tidak memenuhi syarat secara fisik karena endapan lumpur yang dibawa air sewaktu banjir , dedaunan dari pohon – pohon dipinggir kali, yang membusuk di dalam kali, hewan (kuda, kerbau, sapi ) diikat dipinggir sungai bahkan dimandikan di sungai. Masyarakat menggunakan air yang memenuhi syarat fisik tetapi menderita diare, kemungkinan terjadi pencemaran oleh bakteri pada saat pengambilan, pengangkutan maupun penyimpanan air dan perilaku masyarakat saat memasak air. Selain itu, kemungkinan air tersebut tidak memenuhi kualitas bakteriologis air bersih. Keadaan ini diperparah apabila masyarakat tidak memasak air sebelum dikonsumsi. Masyarakat yang menggunakan air memenuhi syarat fisik tetapi tidak diare, terjadi karena air dimasak sampai mendidih terlebih dahulu sebelum dikonsumsi

sehingga bakteri yang terdapat dalam air mati. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Efriani (2008) dalam Kusumaningrum (2011) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara kualitas sumber air dengan kejadian diare pada anak balita ( p = 0,026). Akan tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Umiati (2010), bahwa kualitas fisik air bersih tidak ada hubungan dengan kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali tahun 2009 dengan nilai p = 0,307 (p > α). Hal ini terjadi karena air yang akan digunakan diendapkan lebih dahulu dalam tempat penyimpanan hingga terpisah dari kotoran yang berupa tanah atau lumpur, lalu air direbus hingga mendidih.

5. Hubungan Kepemilikan Jamban Keluarga dengan Kejadian Diare di Desa Raja Jenis jamban yang digunakan dalam suatu rumah tangga hendaknya mempertimbangkan syarat- syarat pembuangan tinja antara lain : tidak mengotori tanah, tidak mengotori air, tidak terbuka sehingga dapat digunakan oleh lalat untuk berkembang biak, dan harus terlindung/tertutup. Selain itu, juga harus memenuhi syarat letak, yaitu tempat pembuangan tinja (bangunan rembesan) harus berjarak minimum 10 meter dengan sumber air minum. Menurut hasil penelitian, keluarga yang tidak memiliki jamban dan terjadi diare adalah sebanyak 45 orang (60 %) responden, sedangkan yang tidak diare sebanyak 5 responden dengan persentase 6,7 %. Uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ) dengan nilai p = 0,000, sehingga Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara kepemilikan jamban keluarga dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Hasil analisis antar variabel menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai jamban keluarga lebih beresiko terkena diare dibandingkan dengan yang memiliki jamban keluarga. Hasil wawancara dengan responden, masyarakat yang tidak memiliki jamban, biasa buang air besar di

43

Page 13: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

jamban tetangga, sungai dan kebun. Masyarakat yang buang air besar di kebun dan di pinggir sungai, biasanya dibiarkan terbuka/tidak dikubur. Hal ini menyebabkan tinja tersebut dihinggapi vektor (lalat), kemudian lalat mengkontaminasi makanan dan minuman dan pada akhirnya menyebabkan diare. Tinja anak balita biasanya dibuang ke kebun atau ke sungai sewaktu mencuci pakaian anak balita. Masyarakat yang mempunyai jamban tapi anak balitanya menderita diare karena walaupun mempunyai jamban, tetapi karena jambannya jauh dari rumah, masyarakat malas atau jarang menggunakan jamban tersebut, apalagi di malam hari, biasanya buang air di dekat rumah. Di sisi lain, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya jamban sehat, membuat masyarakat tidak memperhatikan syarat jamban sehat ketika membuat jamban. Jamban dibuat tanpa atap dan ventilasi serta tidak menggunakan semen sebagai lantai jamban. Bagi masyarakat yang tinggal jauh dari sungai, di jamban air tidak selalu tersedia. Masyarakat yang tinggal di dekat sungai, pada umumnya tidak memperhatikan jarak sumber air dengan jamban. Masyarakat yang tidak mempunyai jamban tetapi tidak menderita diare karena masyarakat tersebut tidak buang air besar di sembarang tempat tetapi menggunakan jamban milik tetangga untuk buang air besar dan kecil serta ikut menjaga kebersihan jamban tersebut. Hasil penelitian Sumali M. Atmojo (2006) menunjukkan bahwa anak balita yang berasal dari keluarga yang menggunakan jamban bersama, paling banyak menderita diare untuk wilayah pedesaan dan perkotaan. Wilayah perkotaan presentase anak balita yang menderita diare dari keluarga yang menggunakan kakus bersama, paling tinggi yaitu sebesar 14,3% sedangkan untuk wilayah pedesaan, anak balita yang menderita diare dari keluarga yang menggunakan jamban bersama, presentasenya juga paling tinggi. Penyebabnya karena jamban yang digunakan bersama-sama, biasanya mempunyai tingkat sanitasi yang rendah, sehingga bakteri diare akan mudah terkontaminasi. Penelitian serupa juga

dilakukan oleh Bintoro (2010) di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karananyar yang menyimpulkan bahwa jenis jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan kejadian diare dengan nilai p = 0,029.

6. Hubungan Ketersediaan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012 Air limbah rumah tangga merupakan air buangan yang dapat berasal dari buangan air kamar mandi, aktivitas dapur, cuci pakaian dan lain-lain yang kemungkinan mengandung mikroorganisme pathogen dalam jumlah kecil serta dapat membahayakan kesehatan manusia. Komposisi air limbah rumah tangga terdiri dari tinja, air kemih, dan buangan air limbah lain seperti kamar mandi, dapur, dan cucian yang kurang lebih mengandung 99,9 % air dan 0,1 zat padat (Depkes RI, 2004). Menurut hasil penelitian diketahui bahwa pada responden yang memiliki saluran pembuangan air limbah, dan menderita diare sebanyak 19 orang (25,3%), sedangkan responden yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah, dan menderita diare sebanyak 37 orang (49,3% ). Hasil uji stasistik dengan uji Chi square diperoleh nilai p > α ( 0,05 ) dengan nilai p = 0,650, sehingga Ho diterima yang berarti tidak ada hubungan antara ketersediaan saluran pembuangan air limbah (SPAL) dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Hal ini disebabkan karena walaupun responden tidak memiliki saluran pembuangan air limbah, tetapi karena kondisi tekstur tanah daerah penelitian sebagian besar adalah cadas, maka tidak berpengaruh terhadap kejadian diare maupun terhadap kualitas air bersih, karena air limbah tidak dapat diserap secara keseluruhan tetapi menguap ke udara karena sinar matahari dan cepat terserap ke dalam tanah karena pori – pori tanah yang besar. Jika musim hujan, masyarakat yang tinggal di dekat sungai, air limbah sebagian besar mengalir ke sungai/parit bersama air hujan sedangkan sebagian kecil air limbahnya tergenang di sekitar kamar mandi/rumah.

44

Page 14: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

Masyarakat yang mempunyai saluran pembuangan air limbah, tetapi anak balitanya menderita diare karena saluran pembuangan air limbah tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan. Saluran tidak terbuat dari semen, hanya berupa tanah yang digali membentuk cekungan. Tidak ada tempat penampungan limbah dari saluran tersebut. Jadi jika tekanan air limbah kecil, air akan tergenang di saluran dan mengakibatkan lumpur. Bagi masyarakat yang tinggal di dekat sungai, air limbah dialirkan menuju sungai. Masyarakat yang mempunyai lubang penampungan air limbah, air limbah digunakan untuk menyiram tanah dan tanaman serta dialirkan ke kandang ternak ( bebek dan itik ). Warga yang tidak mempunyai saluran pembuangan air limbah tetapi balita tidak diare karena kaadaan tanah di sekitar dapur/kamar mandi berbatu – batu atau merupakan tanah cadas, sehingga air limbahnya meresap ke dalam tanah. Air limbah sangat berbahaya terhadap kesehatan. Pembuangan air limbah yang tidak dikelola dengan baik dan memenuhi syarat kesehatan dapat mengkontaminasi air permukaan maupun air tanah dan digunakan sebagai tempat perindukan vektor penyakit sehingga menjadi sumber penularan penyakit. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Rahma (2006) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perilaku ibu terhadap pembuangan air limbah dengan kejadian diare pada anak balita usia 2-5 tahun Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar dengan nilai X2 = 1,00. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Bintoro (2010), di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar, hasilnya mengatakan bahwa pengolahan air limbah yang tidak memiliki saluran pembuangan air limbah, akan mengakibatkan kejadian diare sebesar 2,50 kali dibandingkan dengan pembuangan limbah yang ada SPAL dengan nilai p = 0,026.

7. Hubungan Ketersediaan Tempat Sampah dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Desa Raja Tahun 2012 Sampah dapat diartikan sebagai suatu bahan atau benda padat yang tidak

digunakan lagi, tidak terpakai dan tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia. Pembuangan sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, timbulnya penyakit tempat perkembangbiakan vektor serta gangguan estetika. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada responden yang tidak memiliki tempat sampah, jumlah penderita diare sebanyak 50 orang (66,7 %), sedangkan responden yang memiliki tempat sampah tetapi menderita diare sebanyak 6 orang (8 %). Hasil uji stasistik dengan uji chi square diperoleh nilai p < α ( 0,05 ) dengan nilai p = 0,000 sehingga Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara ketersediaan tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita di Desa Raja. Sarana pembuangan sampah dapat meliputi tempat sampah, tempat penampungan sementara, transportasi dan pembuangan akhir. Tempat sampah biasanya ditempatkan dekat dengan sumbernya, tempat penampungan sementara merupakan alat pengumpulan sampah yang berfungsi mengumpulkan sampah dari berbagai sumber, transportasi digunakan untuk mengangkut sampah dari tempat penampungan sementara ke tempat pembuangan akhir. Penentuan lokasi dan konstruksi pembuangan sampah mulai dari tempat sampah, tempat penampungan sementara sampai pada pembuangan akhir, harus mempertimbangkan beberapa hal antara lain tidak mencemari lingkungan, tidak digunakan sebagai tempat perkembangbiakan vektor penyakit, tidak terjangkau oleh vektor penyakit, tidak mengganggu pemandangan dan bau tidak sedap akibat pembusukan. Tempat sampah yang baik harus mudah dibersihkan dan mudah diangkut serta tidak terjangkau oleh vektor penyakit. Penanganan sampah biasanya tidak boleh labih dari tiga hari di tempat penampungan, sampah yang dibakar, asap dan debu yang dihasilkan tidak mengganggu dan membahayakan masyarakat disekitarnya (Chandra, 2007). Model/wadah/konstruksi tempat sampah milik masyarakat di Desa Raja berada di luar rumah dan bermacam – macam. Tidak ada

45

Page 15: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

masyarakat yang mempunyai tempat sampah tertutup. Tempat sampah dibuat dengan cara digali lalu sampahnya dibuang di dalam lubang tersebut sehingga jika musim hujan, air akan menggenangi tempat sampah dan menyebabkan sampah – sampah mengapung. Model lainnya adalah sampah dikumpulkan kemudian langsung dibakar atau dibuang ke kebun, sungai, belakang rumah, halaman rumah, dan dibiarkan dicakar – cakar ayam hingga berserakan. Sampah yang ditumpuk dapat menjadi tempat perindukan vektor, apalagi jika tidak didukung oleh tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan. Masyarakat yang tidak mempunyai tempat sampah, selain karena faktor ekonomi keluarga, masyarakat juga sudah terbiasa dengan keadaan lingkungan rumah yang kurang bersih, masyarakat tidak menyadari bahwa lingkungan rumah tersebut kotor dan umumnya masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di kebun, sehingga kurang memperhatikan kebersihan tempat tinggal. Masyarakat yang mempunyai tempat sampah tetapi balitanya menderita diare, karena tempat sampah tersebut tidak dimanfaatkan. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan menyebabkan masyarakat tidak mengetahui bahaya lingkungan rumah yang kotor dan manfaat tempat sampah. Masyarakat yang tidak mempunyai tempat sampah tetapi balitanya tidak diare karena masyarakat langsung membakar sampah setelah dikumpulkan, sehingga tidak ada sampah yang berserakan atau dicakar – cakar ayam. Beberapa alasan yang telah dipaparkan di atas, alasan lain yang menyebabkan kejadian diare adalah anak balita yang sudah bisa berjalan, biasanya cenderung bermain dengan teman sebaya tanpa pengawasan orang tua. Mereka membeli makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan tanpa ditutup dan makan menggunakan tangan yang kotor. Anak balita tidak tentu kapan waktu mandinya. Biasanya anak balita dibiarkan mandi sendiri, jadi kebersihan diri anak balita khususnya kebersihan kuku tidak diperhatikan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhajirin (2007)

dimana, penelitian yang dilakukan menyimpulkan bahwa ada hubungan antara jenis tempat sampah dengan kejadian diare pada balita di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap dengan nilai p = 0,005 . Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siti Rahma (2006) bahwa tidak ada hubungan antara perilaku ibu terhadap pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita usia 2-5 tahun di Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar dengan nilai X2 dan OR tidak dapat dihitung, berarti bahwa antara keluarga yang menderita diare dan keluarga yang tidak menderita diare memiliki perilaku membuang sampah yang baik.

Simpulan1. Sebagian besar responden memasak air sebelum dikonsumsi (52%). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan ada hubungan kebiasaan memasak air minum dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,000.2. Sebagian besar responden tidak mencuci tangan sebelum memberi anak balita makan dan setelah buang air besar ( 55 % ). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan ada hubungan kebiasaan mencuci tangan sebelum memberi anak makan dan setelah buang air besar dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,000.3. Sebagian besar responden menggunakan air yang tidak memenuhi syarat bakteriologis (76%). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan tidak ada hubungan kualitas bakteriologis air bersih dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,496.4. Sebagian besar responden menggunakan air yang tidak memenuhi syarat fisik (58,7%). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan ada hubungan kualitas fisik air bersih dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,001.5. Sebagian besar responden tidak memiliki jamban keluarga (66,7%). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan ada hubungan

46

Page 16: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

kepemilikan jamban dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,000.6. Sebagian besar responden tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (66%). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan tidak ada hubungan ketersediaan saluran pembuangan air limbah dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,650.7. Sebagian besar responden tidak memiliki tempat sampah (78,7%). Hasil analisis hubungan antar variabel menunjukan ada hubungan ketersediaan tempat sampah dengan kejadian diare pada anak balita dengan nilai p = 0,000.Saran 1. Bagi masyarakata. Menanamkan kebiasaan untuk selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum memberi anak balita makan, sebelum makan, setelah buang air besar dan setelah melakukan aktifitas.b. Memasak air sampai mendidih kemudian disaring dan didiamkan sebelum dikonsumsi.c. Swadaya membuat reservoir menampung air dari sungai, kemudian membuat perpipaan agar air tersebut dapat dipergunakan oleh masyarakat.d. Membuat dan menggunakan jamban keluarga serta membuang tinja bayi dan anak balita di jamban. e. Membuat saluran pembuangan air limbah agar air limbah dapat mengalir dengan lancar dan tidak tergenang di dekat kamar mandi/dapur. Selain itu, perlu adanya tempat penampungan air limbah yang tertutup.f. Selalu menempatkan tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan seperti mudah dibersihkan dan mempunyai penutup2. Bagi pemerintah dan instansi kesehatanMeningkatkan program penyuluhan kepada masyarakat tentang cara mencuci tangan yang baik dan benar, penggunaan air bersih, pemanfaatan jamban keluarga, pembuangan sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan saluran pembuangan air limbah serta melalukan evaluasi terhadap keberhasilan program.

3. Bagi peneliti lainMengadakan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan yang sama tentang pengaruh kejadian diare namun dengan variabel yang lain misalnya variabel jenis lantai rumah, pengetahuan ibu, perilaku anak balita, sosial ekonomi keluarga, dalam hubungan dengan kejadian diare pada anak balita.

Daftar PustakaAdam, S. 2007. Hygiene Perorangan. Jakarta : Penerbit Bharatara.Anwar, D. 2002. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Bara – Baraya Makasar. http://www.scribd.com/ (diakses 31 Januari 2012).

Apriyani, M. 2009. Hubungan Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Swakelola II Ilir. Palembang: Universitas Sriwijaya. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:7_28QOWUpDYJ:eprints.unsri.ac.id/66/1/Abstrak10.doc+hubungan+memasak+air+dengan+kejadian+diare+pada+balita/ (diakses 19 Juni 2012)Atmojo, S.M. 1998. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Anak Balita di Kabupaten Purwerejo Jawa Tengah. FK UGM: Yogyakatra. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/20/jtptunimus-gdl-s1-2008henifatmas-960-1-abstrak.pdf (diakses 19 Juni 2012)Azwar, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.Bintoro, B. R. 2010. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar. Universitas Muhamadiyah: Surakarta. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:KunUfzaN6ZcJ:etd.eprints.ums.ac.id/9271/2/J410050010.pdf ( diakses 13 Juni 2012)Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. . 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

47

Page 17: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

MKM Vol. 07 No. 01 Des 2012

Dainur. 1995. Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.Depkes RI. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta: DepKes RI. . 2000. Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. . 2004. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: DepKes RI . 2008. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL . 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: DepKes RI . 2009. Panduan Penyelenggaraan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia. Jakarta: Ditjen PPM dan PL . 2009. Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. . 2010. Buku Bagan Managemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Ditjen PPM dan PL. . 2010. Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare. Jakarta: Ditjen PPM dan PL. . 2010. Panduan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Di Rumah Tangga. Jakarta: Ditjen PPM dan PL.Pemerintah Kabupaten Nagekeo. 2011. Profil Desa Raja. Mbay: Nagekeo.Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo. 2010. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Nagekeo. Nagekeo: Dinkes Nagekeo.Djoko, W. 2006. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang hygiene dengan kejadian diare pada anak. http://www.scribd.com/doc/ (diakses 20 November 2011).Djonoputro, E. R. 2010. Buku Penuntun Sanitasi yang Terjangkau untuk Daerah Spesifik Water and Sanitation Program- East Asia Pasific.Kusumaningrum, A. 2011. Pengaruh PHBS Tatanan Rumah Tangga Terhadap Diare Balita di Kelurahan Gandus Palembang. Universitas Sriwijaya : Palembang.https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:7_28QOWUpDYJ:eprints.unsri.ac.id/66/1/.doc1+pengaruh+tatanan+rt+terhadap+

kejadian+diare+pada+balita/ (diakses 20 Juni 2012).Lestari, S. 2008. Hubungan Faktor Lingkungan, Perilaku dan Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Diare Balita pada 10 Propinsi di Indonesia. UPN Veteran: Jakarta. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/0810211090/BAB%204.pdf (diakses 14 Juni 2012)

Lubis, P. 1991. Perumahan Sehat, Proyek Pengembangan Tenaga Sanitasi. Jakarta. https://docs.google.com/ (diakses 19 Juni 2012)

Mansjoer, A. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. Ketiga Jilid kedua. Jakarta: Aesculapius.

Miller, G.T. 2001. Living In The Environment Principle, connection ans solution 12 thed Wadsporth/Thompson Learning. Belmont, CA.https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:zqBEhiL7/KEJ:eprints.unsri.ac.id/889/1 (diakses 20 Juni 2012)

Muhajirin. 2007. Hubungan Antara Praktek Personal Hygiene Ibu Balita dan Sarana Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Universitas Diponegoro: Semarang. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:4mAHlv2MxdoJ (diakses 15 Juni 2012).Mukono, H. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press.Musran. 2009. Hubungan Perilaku Masyarakat dalam Mengelola Air Minum dengan Kasus Diar di Kecamatan Celala Kabupaten Aceh Tengah. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:4mAHlv2MxdoJ (diakses 15 Juni 2012).Murti, B. 2006. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Ngastiyah. 2005. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Bara – Baraya

48

Page 18: mediakesehatanmasyarakat.files.wordpress.com · Web viewTempat sampah dan pengelolaan air limbah, belum memenuhi syarat. Hal ini menjadi penyebab tingginya angka diare di Kecamatan

Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Mengenai Perilaku Pencegahan Malaria Di Desa Oesao

Makasar. http://www.scribd.com/ (diakses 31 Januari 2012).Notoatmodjo, S. 2004. Ilmu Lesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. . 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 416/MenKes/PER/IX/1990 tentang air minum yang memenuhi syarat kesehatanProverawati, A dan Rahmawati, E. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) . Yogyakarta : Nuha MedikaPuskesmas Boawae. 2010. Profil Puskesmas Boawae Tahun 2010. Boawae: Puskesmas Boawae.

. 2011. Laporan Bulanan Puskesmas Boawae. Boawae: Puskesmas Boawae.Ramaiah, S. 2000. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang hygiene dengan kejadian diare pada anak. http://www.scribd.com/doc/ (diakses 20 November 2011).Rahma, S. 2006. Hubungan Perilaku Ibu yang Memiliki Anak Balita Usia 2–5 Tahun Terhadap Kejadian Diare di Kecamatan Aceh Besar. Universitas SumatraUtara.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6805/1/047023027.pdf (diakses 18 Juni 2012)Sofwan, R. 2010. Cara Tepat Atasi Diare pada Anak. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer.Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja dan Air Limbah. Jakarta: Buku Kedokteran.Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Jakarta: Alfabeta.Sutrisno, T. 2006. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Jakarta: Rineka Cipta.Tarigan, E. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Keluarga dalam Penggunaan Jamban di Kota Kabanjahe, Medan: FKM Universitas Sumatra Utara.Umiati. 2009. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nogosari Kabupaten Boyolali. Universitas Muhamadiyah: Surakarta. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:1MULvyYWtZ0J:etd.eprints.u

ms.ac.id/9813/10/J410050026.pdf// (diakses 15 Juni 2012)Widjaja. 2002. Mengatasi Diare dan Keracunan pada Anak balita. Jakarta: Kawan Pustaka.Yusnani. 2008. Hubungan Sanitasi Dasar dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Terhadap Kejadian Diare pada Balita di Lingkungan II Kelurahan Tanah Merah Kota Binjai. FKM USU: Medan. https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:e-8U9HIRVWcJ. (diakses 13 Juni 2012).

49