Upload
truongdiep
View
248
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
1
GAMBARAN SPASIAL KASUS DIARE PADA ANAK BALITABERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DI KABUPATEN SERANG
TAHUN 2013-2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana KesehatanMasyarakat (SKM)
Oleh:
Nadhira Khairani
1112101000081
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGANPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA2017
i
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANPROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKATKESEHATAN LINGKUNGANSkripsi, Februari 2017
Nadhira Khairani, NIM: 1112101000081Gambaran Spasial Kasus Diare pada Anak Balita Berdasarkan FaktorLingkungan di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015xvi + 113 halaman, 9 tabel, 6 peta, 4 grafik, 2 bagan, 4 lampiran
ABSTRAK
ABSTRAK
Diare pada balita menjadi masalah kesehatan di beberapa daerah tertentukarena angka morbiditas yang tinggi. Faktor lingkungan dicurigai sebagai faktoryang memengaruhi tingginya kasus diare di negara berkembang. Hasil Riskesdastahun 2013 menunjukkan bahwa Kabupaten Serang merupakan salah satu wilayahdengan kasus diare tertinggi dan kondisi sanitasi yang buruk di Provinsi Banten.Penelitian epidemiologi menggunakan pendekatan spasial dapat memberikanperanan dalam menggambarkan masalah kesehatan berbasis wilayah, namun masihjarang dilakukan di Kabupaten Serang.
Tujuan dari penelitian ini adalah diketahuinya gambaran spasial kasus diarepada anak balita berdasarkan faktor risiko lingkungan di Kabupaten Serang tahun2013-2015. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi dengan pendekatanSistem Informasi Geografi (SIG). Data yang dikumpulkan bersumber dari DinasKesehatan dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Serang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecamatan yang memiliki prevalensidiare balita tinggi (prevalensi >10%) hampir tersebar di seluruh bagian KabupatenSerang terutama di wilayah yang termasuk daerah aliran sungai. Pola sebaran diarebalita yang tinggi cenderung lebih banyak di kecamatan yang masyarakatnyamemiliki akses jamban sehat yang rendah (akses <62,41%) namun tidak lebihbanyak di akses air minum rendah (akses <68,87%). Beberapa kecamatan diKabupaten Serang juga ditetapkan sebagai daerah rawan banjir, dan sebagian besardaerah rawan banjir tersebar di wilayah dengan diare balita tinggi. Hasilpengamatan dan wawancara didapatkan bahwa masih banyak warga di sebagianbesar Kecamatan di Kabupaten Serang yang memiliki perilaku hygiene dan sanitasiyang buruk.
Disarankan bagi pemerintah daerah untuk melakukan upaya preventif danpromotif di wilayah prioritas khususnya di daerah aliran sungai. Upaya tersebutdapat dilakukan dengan melibatkan kader masyarakat untuk melakukan penyuluhan,pengawasan, serta teguran secara berkelanjutan untuk berperilaku hygiene dansanitasi yang baik. Perlu juga dilakukan sosialisasi pada masyarakat terkait mitigasipencegahan kejadian banjir khusunya pada masyarakat yang tinggal di daerah aliransungai.
Kata Kunci: Spasial, Diare, Sanitasi, Banjir, Kabupaten Serang
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCESPUBLIC HEALTH STUDY PROGRAMENVIRONMENTAL HEALTHSkripsi, February 2017
Nadhira Khairani, NIM: 1112101000081Spatial Distribution of Under-five Childhood Diarrhea Based onEnvironmental Factors in Serang Regency Year 2013-2015xvi + 113 pages, 9 tables, 6 maps, 4 graphs, 4 attachments
ABSTRCT
ABSTRACT
Diarrhea in children aged under five years still become a health problem incertain areas because of its high morbidity. Environmental factors suspected as afactor that contributing to the high incidence of childhood diarrhea in developingcountry. The result of National basic health research (Riskesdas) in 2013 showedthat Serang Regency is one of area with the highest prevalence of diarrhea and poorsanitary condition in Banten Province. Epidemiological research using spatialapproach can provide the role in describing the area-based health problems.However, this study approach is still rarely found in Serang Regency.
The purpose of this study was to determine the spatial distribution of under-five childhood diarrhea based on environmental factors in Serang Regency year2013-2015. This research using an ecological study design with geographicalinformation system (GIS). Data was collected from Health Departement andDisaster Management Agency (BPBD) of Serang Regency.
The result of this study showed that districts with high prevalence of under-five childhood diarhhea (prevalence >10%) almost distributed throughout SerangRegency, especially in area including watershed. The distribution pattern ofdistricts with high prevalence of under-five childhood diarhhea tend to be more inthe area with low access of improved sanitation facilities (access <62,41%) and notto be more in the area with low access of improved drinking water (access <68,87%).Some districts in Serang Regency are also designated as flood prone areas, an mostof that areas spread over a districts with high prevalence of under-five childhooddiarrhea. The results of ovservations and interviews showed that there are still manycommunities in some districts of Serang Regency with poor hygiene and sanitation.
Therefore, local government should undertake preventive and promotiveefforts in priority areas, especially in the watershed area. It can be done by involvingcommunites cadres to do a sustainable counseling, monitoring, and giving awarning to community for using improved hygiene and sanitation. It is alsonecessary to conduct socialization events related the mitigation of flood prevention,particularly among people living in watershed.
Keywords: Spatial, Diarrhea, Sanitation, Flood, Serang Regency
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi:
GAMBARAN SPASIAL KASUS DIARE PADA ANAK BALITA
BERDASARKAN FAKTOR LINGKUNGAN DI KABUPATEN SERANG
TAHUN 2013-2015
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Sidang
Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Maret 2017
Nama: Nadhira KhairaniNIM: 1112101000081
Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ela Laelasari, M.Kes Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.DNIP: 19721002 200604 2 001 NIP: 19750316 200710 2 001
iv
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh:
Nama: Nadhira Khairani
NIM: 1112101000081
Jakarta, Maret 2017
Penguji I,
Catur Rosidati, M.KM
NIP. 19750210 200801 2 018
Penguji II,
Siti Rahmah Lubis, M.KKK
Penguji III,
Andi Asnifatima, S.KM, M.Kes
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Maret 2017
Nadhira Khairani
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUPDAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama : Nadhira Khairani
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Oktober 1994
Usia : 22 tahun
Agama : Islam
No. Telepon : 085719610843
Alamat : Jalan Pisangan Barat No. 47 RT 03 RW 05
Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur,
Kota Tangerang Selatan
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
2012 – Sekarang : Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
2009 – 2012 : MAN 4 Jakarta
2006 – 2009 : MTs Sumur Bandung, Cililin
2000 – 2006 : MI Pembangunan Jakarta
RIWAYAT ORGANISASI
2015 - 2016 : Staf Layout dan Multimedia Berkala Ilmiah
Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia
(BIMKMI)
2014 – Sekarang : Anggota Youth For Climate Change (YFCC)
Indonesia
2017 : Koordinator Layout dan Multimedia Berkala
Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
Indonesia (BIMKMI)
vii
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, dengan ridho Allah SWT laporan hasil
penelitian ini dapat diselesaikan. Shalawat beriringkan salam senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa memberikan rahmat
hingga akhir zaman. Laporan ini disusun untuk menunjang gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat (SKM). Laporan skripsi dengan judul “Gambaran Spasial Kasus Diare
pada Anak Balita berdasarkan Faktor Lingkungan di Kabupaten Serang Tahun
2013-2015” dapat selesai dengan baik berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, ucapan terimakasih dituturkan secara ikhlas dan penuh kerendahan hati
atas terselesaikannya skripsi ini kepada:
1. Orang tua tercinta, Drs. Ikhwan M.Ag dan Dra. Najmi Ulya, M.Pd yang sudah
memberikan dukungannya baik berupa doa, sarana dan prasarana, serta
motivasi dan nasihat yang akan selalu saya ingat.
2. Prof. Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan dan Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua
Program Studi Kesehatan Masyarakat
3. Ibu Dr. Ela Laelasari, M.Kes selaku pembimbing 1 yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing, berdiskusi dan memberi nasihat yang akan selalu
saya ingat.
4. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku pembimbing 2 sekaligus dosen
pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk membimbing,
berdiskusi, dan memberikan semangat.
viii
5. Bapak Fajar Nugraha, yang telah memberikan ilmu tentang Sistem Informasi
Geografis dan selalu sedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi memberikan
masukan-masukan yang akan selalu saya ingat.
6. Jajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Serang. Kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten Serang yang telah memberikan saya izin untuk melaksanakan
penelitian ini. Kepada seluruh staff sub bidang Pengendalian Penyakit diare dan
Kesehatan Lingkungan) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
berdiskusi dan menyediakan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini.
7. Jajaran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Serang.
Kepada Kepala BPBD Kabupaten Serang yang telah memberikan izin untuk
pelaksanaan penelitian ini. Terimakasih juga kepada Bapak Nanda, dari Bidang
Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran yang telah meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dan memberikan data yang dibutuhkan untuk
penelitian ini.
8. Kakak dan adikku, M. Rian Fathany, S.T yang selalu mengingatkan penulis
untuk mengerjakan skripsi dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan selama
penulisan dan Ahmad Farhan yang selalu mendoakan dan memberikan
semangat kepada penulis.
9. Teman-temanku, Ainia, Yola, dan Bella, yang selalu meluangkan waktunya
untuk membantu memberikan masukan dan menemani selama pengumpulan
data hingga penulisan laporan ini. Terimakasih juga kepada Isnaeni Wahyu
Saputri, SKM yang selalu menyediakan waktu untuk berdiskusi tentang analisis
spasial dan memberikan masukan yang sangat berguna.
ix
10. Teman-teman peminatan Kesehatan Lingkungan dan semua teman Jurusan
Kesehatan Masyarakat angkatan 2012 yang selalu memberikan semangat.
11. Semua civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut
memberikan berbagai fasilitas yang mendukung penelitian ini, serta pihak-
pihak lain yang yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak
memberikan kontribusi dalam proses penyusunan laporan skripsi ini.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri,
mahasiswa, peneliti lainnya, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Serang, BPBD
Kabupaten Serang, dan masyarakat pada umumnya. Laporan ini tentu tidak lepas
dari segala kekurangan, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Ciputat, Maret 2017
Penulis
x
DAFTAR ISIDAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................. iv
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP............................................................................ vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................xiii
DAFTAR GRAFIK........................................................................................... xiv
DAFTAR PETA ................................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 4
1.3 Pertanyaan Penelitian............................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian................................................................................... 6
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................ 6
1.4.2 Tujuan Khusus................................................................................ 6
1.5 Manfaat Penelitian................................................................................. 6
1.6 Ruang Lingkup Penelitian...................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 9
2.1 Diare...................................................................................................... 9
2.1.1 Pengertian....................................................................................... 9
2.1.2 Etiologi........................................................................................... 9
2.1.3 Gejala Klinis................................................................................. 10
2.1.4 Komplikasi ................................................................................... 11
2.1.5 Penularan...................................................................................... 13
2.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada AnakBalita 13
2.2.1 Faktor Lingkungan ....................................................................... 14
xi
2.2.2 Faktor Perilaku Ibu ....................................................................... 25
2.2.3 Faktor Balita................................................................................. 26
2.2.4 Faktor Sosial Ekonomi.................................................................. 28
2.3 Sistem Informasi Geografi ................................................................... 29
2.4 Analisis Spasial ................................................................................... 30
2.4.1 Metode Analisis Spasial................................................................ 33
2.5 Kerangka Teori.................................................................................... 36
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................. 38
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 38
3.2 Definisi Operasional ............................................................................ 39
BAB IV METODE PENELITIAN..................................................................... 41
4.1 Desain Penelitian ................................................................................. 41
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 41
4.3 Populasi dan Sampel............................................................................ 41
4.4 Pengumpulan Data............................................................................... 42
4.4.1 Jenis dan Sumber Data.................................................................. 42
4.4.2 Cara Pengumpulan Data ............................................................... 42
4.5 Pengolahan Data .................................................................................. 43
4.6 Analisis Data ....................................................................................... 44
4.6.1 Analisis Univariat ......................................................................... 44
4.6.2 Analisis Spasial ............................................................................ 44
4.7 Penyajian Data..................................................................................... 47
BAB V HASIL PENELITIAN........................................................................... 48
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian .................................................. 48
5.1.1 Letak Geografis ............................................................................ 48
5.1.2 Luas Wilayah................................................................................ 49
5.1.3 Keadaan Alam .............................................................................. 50
5.1.4 Kependudukan.............................................................................. 53
5.1.5 Sarana Kesehatan.......................................................................... 53
5.2 Gambaran Kasus Diare Balita di Kabupaten Serang............................. 54
5.3 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Air Minum Layak... 60
5.4 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Jamban Sehat ......... 65
xii
5.5 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Daerah Rawan Banjir........ 69
BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................. 73
6.1 Keterbatasan Penelitian........................................................................ 73
6.2 Gambaran Kasus Diare Balita di Kabupaten Serang............................. 74
6.3 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Air Minum Layak... 79
6.4 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Jamban Sehat ......... 84
6.5 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Daerah Rawan Banjir........ 91
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 98
7.1 Simpulan ............................................................................................. 98
7.2 Saran ................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 102
LAMPIRAN .................................................................................................... 107
xiii
DAFTAR TABEL
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tingkatan Dehidrasi dan Gejalanya .................................................... 11
Tabel 2.2 Kriteria Sumber Air Minum berdasarkan Joint Monitoring Programme
WHO dan UNICEF ............................................................................ 16
Tabel 2.3 Kriteria Sarana Sanitasi Berdasarkan Joint Monitoring Programme
WHO dan UNICEF............................................................................ 19
Tabel 3.1 Definisi Operasional........................................................................... 39
Tabel 4.1 Jumlah Kecamatan di Kabupaten Serang ............................................ 42
Tabel 4.2 Jenis Data Penelitian .......................................................................... 42
Tabel 4.3 Cara Pengumpulan Data setiap Variabel ............................................. 43
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Prevalensi Kasus Diare pada Anak Balita di
Kabupaten Serang Tahun 2013-2015.................................................. 55
Tabel 5.2 Distribusi Persentase Akses Air Minum pada Masyarakat di Kabupaten
Serang Tahun 2013-2015 ................................................................... 60
Tabel 5.3 Distribusi Persentase Akses Jamban Sehat pada Masyarakat di
Kabupaten Serang Tahun 2013-2015.................................................. 66
xiv
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Curah Hujan Rata-Rata di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015........ 52
Grafik 5.2 Jumlah Hari Hujan Setiap Bulan di Kabupaten Serang Tahun 2013-
2015 ................................................................................................. 52
Grafik 5.3 Jumlah Kasus Diare Balita Berdasarkan Bulan di Kabupaten Serang
Tahun 2013-2015 ............................................................................. 55
Grafik 5.4 Distribusi Jumlah Kecamatan di Kabupaten Serang Berdasarkan
Prevalensi Kasus Diare Balita Tahun 2013-2015 .............................. 56
Grafik 5.5 Distribusi Jumlah Kecamatan Berdasarkan Akses Air Minum di
Kabupaten Serang Tahun 2013-2015 ................................................ 62
Grafik 5.6 Distribusi Jumlah Kecamatan Berdasarkan Akses Jamban Sehat di
Kabupaten Serang Tahun 2013-2015 ................................................ 67
Grafik 5.7 Distribusi Jumlah Kecamatan Berdasarkan Daerah Rawan Banjir di
Kabupaten Serang Tahun 2013-2015 ................................................ 70
xv
DAFTAR PETA
DAFTAR PETA
Peta 5.1 Letak dan Batas Administrasi Kabupaten Serang .................................. 48
Peta 5.2 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Serang............................... 51
Peta 5.3 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita di Kabupaten Serang
Tahun 2013-2015.................................................................................. 57
Peta 5.4 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita Berdasarkan Akses Air
Minum Layak di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015.......................... 63
Peta 5.5 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita Berdasarkan Akses
Jamban Sehat di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015 .......................... 68
Peta 5.6 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita Berdasarkan Daerah
Rawan Banjir di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015 .......................... 71
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Prevalensi Diare Balita di Kabupaten Serang ........................ 108
Lampiran 2 Data Akses Air Minul Layak di Kabupaten Serang........................ 113
Lampiran 3 Data Akses Jamban Sehat di Kabupaten Serang ............................ 115
Lampiran 4 Data Daerah Rawan Banjir di Kabupaten Serang........................... 117
1
BAB I
PENDAHULUAN
1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare masih menjadi masalah kesehatan di dunia karena merupakan
salah satu penyebab utama kematian pada anak-anak. Setiap tahun,
diperkirakan terdapat 1,7 milyar kasus diare yang terjadi di dunia dan
menyebabkan kematian pada 760.000 anak usia di bawah lima tahun (WHO,
2013). Diare juga menjadi penyakit penyebab kematian terbanyak kedua
(16%) setelah pneumonia (17%) pada anak-anak usia di bawah lima tahun
(UNICEF, 2009). Meskipun dengan persentase yang menurun, kejadian diare
khususnya pada anak balita masih terbilang tinggi dan tersebar luas terutama
di negara-negara berkembang (WHO, 2016).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang bermasalah
dengan penyakit diare karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi.
Berdasarkan hasil survei oleh Kementerian Kesehatan, angka insidens rate
(IR) diare cenderung meningkat sejak tahun 2000 (IR 301/1000 penduduk)
hingga tahun 2010 (IR 411/1000 penduduk) (Kemenkes RI, 2011). Selain itu,
diare juga perlu diwaspadai karena merupakan penyakit yang berpotensi
mengalami kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Pada tahun 2015, terjadi
18 kali KLB diare di Indonesia yang tersebar di 18 kabupaten/ kota dengan
angka kematian (CFR) mencapai 2,74% sehingga dapat dikatakan sudah
melebihi target CFR yang diharapkan yaitu <1% (Kemenkes RI , 2016).
Kabupaten Serang menjadi salah satu wilayah yang bermasalah
dengan kejadian diare di Provinsi Banten. Berdasarkan laporan Dinas
2
Kesehatan Provinsi Banten, Kabupaten Serang merupakan wilayah dengan
jumlah kasus diare tertinggi di Provinsi Banten pada tahun 2011 dengan total
36.030 kasus diare pada seluruh kelompok umur. Adapun menurut hasil
Riskesdas pada tahun 2013, diketahui bahwa Kabupaten Serang merupakan
wilayah dengan angka insidens diare tertinggi kedua pada seluruh kelompok
umur yaitu sebesar 5,1% atau melebihi angka insidens provinsi Banten yaitu
3,5%. Selain itu, insidens diare pada balita di Kabupaten Serang juga
termasuk tinggi, yaitu 7,9% atau melebihi angka provinsi yang sebesar 6,4%
(Kemenkes RI, 2013). Hingga tahun 2015, Kabupaten Serang masih menjadi
salah satu kabupaten dengan kasus tertinggi di Provinsi Banten untuk seluruh
kelompok umur (33.084 kasus) sehingga perlu adanya upaya pencegahan
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pencegahan terhadap kejadian diare perlu disesuaikan dengan
penyebab dan faktor risiko penularannya. Agen penyebab diare dapat berupa
zat yang bersifat toksik, zat yang bersifat alergen, maupun infeksi dari
mikroba seperti virus, bakteri dan parasit (Fitzwater, et al., 2011). WHO
memperkirakan bahwa penyebab utama kejadian diare di negara-negara
berkembang adalah Rotavirus dan bakteri Escherichia coli. Kedua agen
penyakit tersebut sangat erat hubungannya dengan faktor lingkungan seperti
hygiene sanitasi, kecukupan sarana air bersih dan air minum, serta kebersihan
dan keamanan pangan (WHO, 2013).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang berperan terhadap
kejadian diare. Diperkirakan sekitar 94% kasus diare diakibatkan oleh
lingkungan dan berhubungan dengan beberapa faktor risiko di antaranya
3
adalah air minum dan sanitasi higiene (Pruss-Ustun & Corvalan, 2006). WHO
(2013) juga menyatakan bahwa diare merupakan penyakit yang pada
dasarnya dapat dicegah dengan menggunakan sumber air minum yang aman,
serta sanitasi dan hygiene yang mencukupi. Di beberapa daerah dengan
karakteristik tertentu, faktor lingkungan lain juga dapat berpengaruh seperti
curah hujan ataupun suhu udara yang tinggi. Selain itu, jenis topografi suatu
daerah juga dapat berpengaruh terhadap tingginya angka kejadian diare,
seperti wilayah yang rawan terhadap bencana banjir (Ohl & Tapsell, 2000).
Kualitas sanitasi dan hygiene di Kabupaten Serang masih tergolong
rendah. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa akses masyarakat
terhadap air minum dan air bersih untuk keperluan rumah tangga di
Kabupaten Serang sebesar 52,7%. Angka tersebut menunjukkan bahwa
Kabupaten Serang menjadi salah satu kabupaten dengan akses air minum dan
air bersih terendah di Provinsi Banten. Kabupaten Serang juga termasuk
kabupaten dengan akses sanitasi layak (improved) dengan indikator
kepemilikan jamban sehat dan tangki septik yang rendah di Provinsi Banten,
yaitu sebesar 53,1%.
Selain itu, faktor lingkungan lainnya adalah kondisi topografi pada
beberapa wilayah di Kabupaten Serang yang sebagian besar merupakan
dataran rendah sehingga terdapat beberapa daerah yang rawan terhadap
bencana banjir. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Serang, terdapat 10 kecamatan dari 29 kecamatan yang
menjadi daerah yang rawan terhadap banjir khususnya pada musim hujan
(Rifat, 2016).
4
Hingga saat ini, sudah banyak dilakukan penelitian mengenai
hubungan faktor risiko lingkungan terhadap kejadian diare, namun kejadian
diare khususnya pada anak balita masih menjadi masalah penting. Oleh
karena itu, perlu adanya pendekatan lain dalam menangani kasus diare pada
balita salah satunya dengan pendekatan spasial menggunakan sistem
informasi geografi. Penelitian dengan pendekatan spasial terhadap kasus
diare hingga saat ini masih sedikit, khususnya di Kabupaten Serang yang
belum pernah dilakukan pemetaan terhadap penyakit diare dan faktor
lingkungannya.
Aplikasi dari sistem informasi geografi dapat digunakan dalam kasus
ini sehingga dengan adanya gambaran secara spasial dapat membantu
pemangku kebijakan serta pemegang program terkait dalam perencanaan
manajemen penyakit diare serta faktor risiko lingkungannya berdasarkan
wilayah yang memang berisiko terhadap kasus diare pada anak balita. Oleh
karena itu, penelitian ini ditujukan agar diketahuinya distribusi spasial kasus
diare berdasarkan kondisi lingkungan di Kabupaten Serang tahun 2013-2015.
1.2 Rumusan Masalah
Diare khususnya pada anak balita merupakan masalah kesehatan yang
perlu diperhatikan baik dari skala internasional, nasional, hingga di beberapa
daerah tertentu. Selain jumlah kasus yang tinggi, diare pada anak balita juga
dapat menyebabkan komplikasi lainnya seperti masalah gizi buruk, dehidrasi,
hingga kematian. Penyakit diare dan faktor lingkungannya sudah cukup
sering diteliti, namun untuk penggunaan sistem informasi geografis sebagai
alat analisisnya masih jarang dilakukan khususnya di Kabupaten Serang yang
5
merupakan wilayah dengan kasus diare yang tinggi serta akses air bersih dan
sanitasi yang rendah.
Penggunaan sistem informasi geografi ini dapat menjadi referensi
dalam manajemen penyakit berbasis wilayah, karena dapat diketahui wilayah
dengan kasus dan faktor risiko diare dengan dilakukan pemetaan secara
spasial. Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti bertujuan agar diketahuinya
distribusi spasial kasus diare pada anak balita berdasarkan faktor risiko
lingkungan di Kabupaten Serang periode tahun 2013-2015.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran spasial kasus diare pada anak balita di Kabupaten
Serang tahun 2013-2015?
2. Bagaimana gambaran spasial distribusi kasus diare pada anak balita
berdasarkan akses sumber air minum di Kabupaten Serang tahun 2013-2015?
3. Bagaimana gambaran spasial distribusi kasus diare pada anak balita
berdasarkan akses jamban sehat di Kabupaten Serang periode tahun 2013-
2015?
4. Bagaimana gambaran spasial distribusi kasus diare pada anak balita
berdasarkan daerah rawan banjir di Kabupaten Serang periode tahun 2013-
2015?
6
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran spasial kasus diare pada anak balita
berdasarkan faktor risiko lingkungan di Kabupaten Serang periode tahun
2013-2015.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran spasial kasus diare pada anak balita di Kabupaten
Serang tahun 2013-2015.
2. Diketahuinya gambaran spasial distribusi kasus diare pada anak balita
berdasarkan akses sumber air minum di Kabupaten Serang tahun 2013-2015.
3. Diketahuinya gambaran spasial distribusi kasus diare pada anak balita
berdasarkan akses jamban sehat di Kabupaten Serang periode tahun 2013-
2015.
4. Diketahuinya gambaran spasial distribusi kasus diare pada anak balita
berdasarkan daerah rawan banjir di Kabupaten Serang periode tahun 2013-
2015.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber
referensi ataupun studi pendahuluan bagi peneliti yang akan melakukan
penelitian terkait kejadian diare pada anak balita, serta faktor-faktor
lingkungannya baik secara teoritis maupun metodologis. Hasil penelitian
7
ini juga dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian
sejenis yang terkait dengan analisis spasial maupun penyakit diare dan
faktor risikonya.
b. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran spasial faktor
lingkungan terhadap kejadian diare dalam bentuk peta sehingga dapat
digunakan sebagai landasan untuk menyusun kebijakan mengenai
program pengendalian penyakit diare pada balita berbasis wilayah di
Kabupaten Serang.
c. Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Serang
Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi tambahan terhadap
BPBD Kabupaten Serang terkait salah satu masalah kesehatan akibat
banjir sehingga dapat digunakan sebagai landasan dalam menyusun
rencana mitigasi dan upaya pengendalian wilayah rawan banjir di
Kabupaten Serang.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi spasial kasus
diare pada anak balita berdasarkan faktor risiko lingkungannya di Kabupaten
Serang pada periode tahun 2013-2015. Pelaksanaan penelitian berlokasi di
Kabupaten Serang pada bulan Oktober-Desember tahun 2016. Pendekatan
dalam penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan desain studi ekologi
dengan data populasi sebagai unit analisis. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang didapat dari institusi-institusi terkait.
Data mengenai kasus diare, akses air minum dan akses jamban sehat
8
didapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Serang sementara data daerah
rawan banjir diperoleh dari BPBD Kabupaten Serang. Semua data yang
digunakan merupakan data yang tercatat selama periode tahun 2013-2015.
Adapun analisis data yang digunakan adalah analisis statistik univariat dan
analisis secara spasial untuk melihat kecenderungan antar variabel
berdasarkan wilayah (Spasial).
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1 Pengertian
Diare adalah keluarnya tinja yang berbentuk lebih cair dengan
frekuensi lebih dari tiga kali sehari atau terjadi lebih sering dari biasanya
pada seseorang, yang umumnya merupakan gejala infeksi saluran cerna
yang disebabkan oleh mikroorganisme akibat kontaminasi makanan, air
minum, ataupun langsung dari orang ke orang akibat dari kurangnya sanitasi
(WHO, 2016). Hippocrates mendefinisikan diare sebagai buang air besar
dengan frekuensi yang tidak normal atau cenderung meningkat diikuti
dengan konsentrasi tinja yang lebih lembek atau cair (Suharyono, 2008).
Diare juga diartikan sebagai kondisi hilangnya cairan dan elektrolit dalam
jumlah banyak melalui feses pada tubuh yang umumnya dikarenakan
adanya kelainan penyerapan di usus halus (Sodikin, 2011).
2.1.2 Etiologi
Etiologi atau agen penyebab kejadian diare dapat berupa agen biologis
seperti mikroorganisme maupun agen kimia. Pada dasarnya, diare secara
klinis dapat disebabkan oleh infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan,
defisiensi imunisasi dan sebab lainnya, namun penyebab yang paling umum
ditemukan adalah diare yang disebabkan oleh infeksi atau diare infeksius
dan keracunan akibat bahan kimia tertentu (Koletzko & Osterrieder, 2009).
10
Diare infeksius merupakan suatu gejala akibat adanya infeksi pada
saluran pencernaan yang disebabkan oleh berbagai macam organisme
seperti bakteri, virus, maupun parasit (WHO, 2013). Jenis virus yang paling
sering menjadi penyebab diare pada bayi dan anak khususnya di daerah
berkembang adalah rotavirus (Gillespie & Bamford, 2009). Rotavirus di
lingkungan dapat ditemukan pada tangan, permukaan benda, makanan, dan
air yang terkontaminasi. Bayi dan anak-anak merupakan kelompok yang
paling rentan terhadap pajanan dari rotavirus (CDC, 2014). Adapun bakteri
yang paling umum menjadi penyebab penyakit diare pada anak-anak adalah
bakteri Eschericia coli (E.coli) yang dapat ditransmsikan melalui makanan
atau air yang terkontaminasi tinja (CDC, 2016)
2.1.3 Gejala Klinis
Gejala klinis dan tanda diare terbagi menjadi dua, yaitu gejala umum
dan gejala spesifik. Sebagian besar kasus diare pada dasarnya memang
memiliki gejala yang umum, namun terdapat beberapa kasus memiliki
gejala yang khas akibat infeksi patogen tertentu. Adapun gejala umum diare
di antaranya adalah berak cair atau lembek yang terkadang tercampur
dengan darag dan diikuti dengan muntah, demam, dan dehidrasi (Koletzko
& Osterrieder, 2009).
Gejala dan tanda spesifik diare terjadi pada infeksi akibat patogen
tertentu. Contohnya adalah gejala akibat infeksi Vibrio cholera yang berupa
diare hebat (masif) dengan warna tinja seperti cucian beras dan berbau amis
hingga mencapai 20 liter perhari (Widoyono, 2011; Gillespie & Bamford,
2009). Pada infeksi Shigella, gejala khas di antaranya adalah tinja yang
11
mengandung darah dan berlendir (CDC, 2015). Gejala yang hampir sama
juga terjadi pada beberapa kasus infeksi akibat patogen E.coli
enterohemoragik yang menyebabkan diare berdarah atau haemorrhagic
colitis (WHO, 2011).
2.1.4 Komplikasi
Diare berkepanjangan dapat menimbulkan masalah kesehatan lainnya.
Beberapa komplikasi akibat diare yang berkepanjangan adalah sebagai
berikut:
1) Dehidrasi
Diare dapat mengakibatkan kehilangan air dan elektrolit melalui
tinja yang tidak diganti secara seimbang sehingga dapat menyebabkan
kematian. Adapun derajat dehidrasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
dehidrasi sangat ringan atau tanpa dehidrasi (kehilangan <3% cairan),
dehidrasi ringan hingga sedang (kehilangan 3-8% cairan), dan dehidrasi
berat (kehilangan ≥9% cairan tubuh). Adapun gejala dari masing-
masing tingkatan dehidrasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Tingkatan Dehidrasi dan Gejalanya
Dehidrasi sangat ringan/ tidak dehidrasi
(Kekurangan cairan <3% tubuh)
Dehidrasi ringan sampaisedang (kekurangan 3-
8% cairan tubuh)
Dehidrasi berat(kehilangan ≥9%
cairan tubuh)
Kondisi umumdan tingkatkesadaran
Kondisi normal, kesadarannormal
Kondisi terganggu(gelisah), emosi meningkatatau mengalami kelelahan,
serta kesadaran mulaimenurun
Apatis, timbul gejalalethargy
Tingkat kehausan Normal Merasa haus, banyakminum
Kurang minum, bahkantidak dapat minum
sama sekali
Detak Jantung Normal Normal – meningkat Timbul gejalatachycardia hingga
bradycardia
12
Dehidrasi sangat ringan/ tidak dehidrasi
(Kekurangan cairan <3% tubuh)
Dehidrasi ringan sampaisedang (kekurangan 3-
8% cairan tubuh)
Dehidrasi berat(kehilangan ≥9%
cairan tubuh)
Denyut nadi Normal Normal – melemah Mengalami theadypulse atau bahkan tidak
terdeteksi
Pernafasan Normal Normal – berat Nafas berat, timbulgejala acidotic breahing
Mata Normal Cekung Sangat cekung
Air Mata Ada (normal) Sedikit Tidak Ada
MembranMukosa
Lembab Kering Sangat Kering
Keriput padakulit (turgor)
Cepat menghilang Menghilang setelah < 2detik
Menetap hinga lebihdari 2 detik
Tungkai danLengan
Hangat Dingin Dingin, mengalamicyanosis
Urin Normal hingga berkurang Sedikit Sangat sedikit
Sumber: (Koletzko & Osterrieder, 2009)
2) Gangguan Sirkulasi
Diare akut dapat menyebabkan penderita mengalami kekurangan
cairan tubuh dalam waktu yang singkat. Hal ini dapat menyebabkan
berkurangnya volume darah (hypovolemia) sehingga dapat
mengganggu sirkulasi darah di dalam tubuh. Pada penderita dehidrasi
berat, denyut nadi akan semakin tidak terasa, pengisian pembuluh
kapiler oleh darah juga sangat lambat, serta detak jantung yang tidak
normal (Koletzko & Osterrieder, 2009). Apabila penderita kehilangan
cairan mencapai lebih dari 10% berat badan, penderita dapat mengalami
syok atau presyok (Widoyono, 2011).
3) Gangguan Asam-Basa (Asidosis)
Gangguan asidosis atau asam-basa dalam tubuh pada pasien diare
disebabkan oleh hilangnya elektrolit (bikarbonat) dari dalam tubuh. Hal
ini menyebabkan penderita mengalami nafas cepat untuk membantu
13
peningkatan pH pada arteri atau yang disebut dengan acidotic breathing
(Widoyono, 2011).
4) Gangguan Gizi
Penderita diare umumnya mengalami anoreksia (khususnya pada anak-
anak) yaitu asupan makanan semakin sedikit dari biasanya dan
berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan sehingga
menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak (Fitzwater, et al., 2011).
2.1.5 Penularan
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat ditularkan
melalui air yang terkontaminasi (waterborne diseases), makanan atau
minuman yang terkontaminasi (Foodborne diseases) ataupun penularan
langsung dari orang ke orang (kontak). Agen penyebab diare umumnya
menyebar melalui fekal oral, yaitu melalui makanan atau minuman yang
terkontaminasi tinja baik secara langsung maupun tidak langsung. Agen
penyebab diare juga dapat dibawa oleh vektor, seperti lalat yang kemudian
mengkontaminasi makanan atau minuman. Adapun penularan langsung dari
orang ke orang adalah saat melakukan kontak dengan orang dengan tangan
yang terkontaminasi kuman penyebab diare tanpa mencuci tangan dengan
benar (Soegijanto & Pramana, 2009).
2.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak
Balita
Diare merupakan masalah kesehatan yang umum di masyarakat
sehingga perlu diketahui faktor-faktor penyebabnya untuk dilakukan kegiatan
pencegahan. Hingga saat ini, faktor-faktor yang berhubungan dengan
14
kejadian diare sudah banyak diteliti dengan berbagai macam konsep yang
berbeda. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian diare khususnya pada anak balita
umumnya terbagi menjadi faktor lingkungan, faktor perilaku ibu, faktor balita,
dan faktor sosial ekonomi (Adisasmito, 2007).
2.2.1 Faktor Lingkungan
2.2.1.1 Air dan Sanitasi
a. Air Minum
Air minum merupakan komponen lingkungan yang sangat
dibutuhkan manusia untuk dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari.
Pengertian air minum menurut Peraturan Menteri Kesehatan nomor 492
tahun 2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum adalah air yang melalui
proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum. Air minum yang dikonsumsi oleh
masyarakat dapat diperoleh dari berbagai sumber air minum. Berikut ini
merupakan beberapa jenis sumber air minum yang umum digunakan oleh
masyarakat untuk keperluan sehari-hari (Ginanjar, 2008):
1) Sumur Gali (Terlindung/dengan pompa)
Sumur gali merupakan sarana air bersih yang bersumber dari air
tanah dengan cara menggali lubang ke dalam tanah hingga
mendapatkan air, kemudian lubang diberi dinding, bibir dan lantai.
Sumur gali merupakan sarana air bersih yang umumnya digunakan
oleh masyarakat di pedesaan. Adapun persyaratan kesehatan sumur
gali adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 1995):
15
a) Berada pada jarak 11 meter dari sumber pencemar apabila
sumber pencemar berada lebih tinggi dari sumur gali, dan
berjarak 9 meter dari sumber pencemar apabila lokasi sumber
pencemar lebih rendah dari sumur gali. Sumber pencemar
tersebut di antaranya adalah jamban, sarana pembuangan air
limbah, badan air tercemar, tempat pembuangan sampah, dan
kandang ternak.
b) Lantai kedap air minimal 1 meter dari sumur, tidak retak atau
bocor, mudah dibersikan serta tidak tergenang air.
c) Terdapat saluran pembuangan air limbah yang kedap air dan
tidak menimbulkan genangan (kemiringan minimal 2%)
d) Tinggi bibir sumur minimal 80 cm dari lantai, dan terbuat dari
bahan yang kuat dan rapat air
e) Dinding sumur minimal sedalam 3 meter dari permukaan tanah
yang terbuat dari bahan yang kuat dan kedap air
f) Timba yang digunakan untuk mengambil air harus selalu
digantung dan tidak boleh diletakkan di lantai agar tidak
tercemar
2) Penampungan Air Hujan
Penampungan air hujan merupakan sarana air bersih yang berasal
dari air hujan yang ditampung sebagai sediaan air bersih untuk
keperluan sehari-hari.
3) Sumur Pompa
16
Sumur pompa merupakan sarana air bersih yang menggunakan
pompa air untuk menaikkan air dari sumber air atau sumur. Pompa
air dapat berupa pompa tangan maupun pompa listrik.
4) Mata Air Terlindungi
Mata air terlindungi merupakan sumber air permukaan tanah dimana
air timbul dengan sendirinya. Masyarakat dapat dikatakan
menggunakan sumber air minum yang berasal dari mata air
terlindungi apabila sumber air minum yang digunakan hanya berasal
dari mata air yang diperoleh dari lokasi munculnya mata air tanpa
sistem perpipaan / pompa dan tanpa melalui proses penyaringan.
5) Air Ledeng atau Perpipaan
Air ledeng merupakan sarana air bersih yang bersumber dari satu
pusat sumber air yang dikelola dan didistribusikan ke rumah tangga
melalui jaringan perpipaan.
WHO berkerjasama dengan UNICEF dalam Joint Monitoring
Programme (JMP) membuat kriteria sumber air minum menjadi sumber air
minum improved (layak dan berkelanjutan) dan sumber air minum
unimproved (tidak layak dan berkelanjutan). Kriteria ini merupakan kriteria
yang umumnya dTabel berikut ini merupakan pembagian jenis-jenis sumber
air minum yang ditentukan dalam JMP (WHO & UNICEF, 2004).
Tabel 2.2 Kriteria Sumber Air Minum berdasarkan Joint MonitoringProgramme WHO dan UNICEF
Sumber Air Minum Improved Sumber Air Minum Unimproved
Sumber air minum berupa:- Air ledeng/perusahaan daerah air
minum
Sumber air minum berupa:- Air kemasan, air isi ulang- Air ledeng eceran/membeli
17
- Sumur bor/pompa- Sumur gali terlindung- Mata air terlindung- Penampungan air hujan- Air kemasan (hanya jika sumber air
untuk keperluan rumah tanggalainnya improved)
- Sumur gali dan mata air takterlindung
- Air sungai, danau atau irigasi
Sumber: (WHO & UNICEF, 2004)
Selain jenis sumbernya, kualitas air minum juga perlu diperhatikan
baik secara fisika, kimia, maupun dari segi mikrobiologisnya. Namun,
syarat minimal yang harus terpenuhi adalah syarat fisik yang dapat
diidentifikasi menggunakan penginderaan manusia dengan cara, dilihat,
dicium, dan dirasa. Adapun syarat-syarat air minum secara fisik adalah
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009):
1) Air tidak berwarna, harus bening atau jernih
2) Air tidak keruh, harus bebas dari pasir, debu, lumpur, sampah,
busa dan kotoran lainnya
3) Air tidak berasa (asin, asam), tidak payau, tidak pahit, dan harus
bebas dari bahan kimia beracun
4) Air tidak berbau amis, anyir, busuk atau bau belerang
Indikator yang digunakan dalam program penyehatan lingkungan
untuk terhadap konsumsi air minum layak pada masyarakat umumnya
adalah akses air minum yang layak dan berkelanjutan. Secara umum,
terdapat lima aspek yang digunakan untuk mengukur akses masyarakat
terhadap ketersediaan air minum, yaitu kualitas, kuantitas, kontinuitas,
keandalan (reliability) sistem penyediaan air minum, serta kemudahan
dalam aspek biaya, waktu, maupun jarak tempuhnya (Hakim, 2010). Sejalan
18
dengan indikator tersebut WHO dalam JMP juga menetapkan bahwa apabila
jumlah pemakaian air per orang kurang dari 20 liter per hari dari sumber air
dalam radius lebih dari 1 km atau waktu tempuh lebih dari 30 menit maka
dikategorikan sebagai tidak mempunyai akses dan mempunyai risiko tinggi
terhadap kejadian penyakit (WHO & UNICEF, 2004).
Air minum yang terkontaminasi dapat menjadi media penularan
diare. Hal ini diakibatkan oleh sumber air minum yang tidak aman sehingga
menjadi salah satu faktor risiko penyakit diare. Sumber air minum diketahui
berhubungan signifikan terhadap kejadian diare pada anak balita (Irianto, et
al., 1996). Studi yang dilakukan di Kota Manado menunjukkan bahwa
terdapat korelasi yang positif antara sumber air minum yang ditinjau dari
segi akses maupun kualitasnya terhadap insidens diare (r = 0,351, p<0,05).
(Sumampouw, et al., 2015). Sumber air minum dan kecukupan sanitasi
higiene juga berhubungan erat dengan kejadian diare balita di DKI Jakarta
(Azhar, et al., 2015). Hasil analisis lainnya menggunakan pendekatan model
Geographically Weighted Poisson Regression (GWPR) diketahui bahwa
jumlah fasilitas air minum yang terlindungi dan jumlah tenaga medis yang
tersedia berpengaruh secara lokal terhadap kejadian diare di Kota Semarang
(Yasin & Rusgiyono, 2013).
b. Jamban
Jamban merupakan tempat yang digunakan untuk buang air besar
dan umumnya digunakan di rumah tangga, sekolah, rumah ibadah, dan
lembaga-lembaga lain. Adapun yang dimaksud dengan jamban sehat adalah
fasilitas pembuangan tinja yang dapat mencegah kontaminasi ke badan air,
19
mencegah kontak antara manusia dan tinja, membuat tinja tersebut tidak
dapat dihinggapi serangga dan binatang lainnya, mencegah bau yang tidak
sedap serta konstruksi dudukannya dibuat dengan baik, aman dan mudah
dibersihkan (World Bank, 2009).
Terdapat beberapa jenis jamban yang digunakan oleh masyarakat,
namun jenis jamban yang dianjurkan yaitu jamban cemplung yang memiliki
penutup dan jamban leher angsa atau jamban tangki septik (septic tank).
WHO dan UNICEF dalam Joint Monitoring Programme (JMP) juga
membuat kriteria untuk fasilitas sanitasi yang dalam hal ini adalah jamban.
Sama halnya dengan kriteria sumber air minum, kriteria jamban dibagi
menjadi dua, yaitu sarana sanitasi improved (layak dan berkelanjutan) dan
sarana sanitasi unimproved (tidak layak dan berkelanjutan). Kriteria tersebut
lebih rinci ditampilkan pada tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Kriteria Sarana Sanitasi Berdasarkan Joint MonitoringProgramme WHO dan UNICEF
Sarana Sanitasi Improved Sarana Sanitasi UnimprovedSarana sanitasi (jamban) berupa:- Jamban keluarga yang memiliki
sistem pembuangan tinja(komunal ataupun sistem septik)
- Jamban leher angsa- Jamban cemplung (hanya untuk
masyarakat yang dikategorikansangat miskin)
- Jamban jenis ventilated improvedpit (VIP)
Sarana sanitasi (jamban) berupa:- Jamban komunal- Jamban cemplung terbuka- Jamban ember (bucket latrine)
Sumber: (WHO & UNICEF, 2004)
Jamban yang digunakan juga harus memenuhi syarat-syarat
kesehatan. Adapun syarat-syarat jamban yang memenuhi kesehatan atau
jamban sehat adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2009):
20
1) Tidak mencemari tanah di sekitarnya
2) Mudah dibersihkan dan aman digunakan
3) Dilengkapi dinding dan atap pelindung
4) Terdapat penerangan dan ventilasi yang memadai
5) Lantai kedap air, tidak terdapat genangan air dan luas ruangan
memadai
6) Tidak ada kotoran yang terlihat di dalam jamban
7) Tersedia alat pembersih, yaitu sabun, sikat dan air bersih
8) Tidak ada serangga (kecoa ataupun lalat) dan tikus yang
berkeliaran
Penggunaan jamban keluarga yang tidak bersih dan tidak sesuai
dengan syarat kesehatan dapat mengundang lalat atau vektor lainnya untuk
membawa patogen penyebab diare (Wandasari, 2013). Hasil survei
demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 menunjukkan
bahwa kondisi jamban berpengaruh secara signifikan sebagai faktor risiko
kejadian diare pada anak balita (Irianto, et al., 1996). Hasil penelitian
lainnya juga menunjukkan bahwa kepemilikan dan kondisi sarana
pembuangan tinja (jamban) mempengaruhi kejadian diare pada anak balita
(Kamilla, et al., 2012; Lindayani & Azizah, 2013). Hasil penelitian di
beberapa regional di Indonesia menunjukkan bahwa bahwa kondisi dan
kepemilikan jamban berhubungan signifikan terhadap kejadian diare di
regional Jawa-Bali, Sumatra dan Sulawesi (Mubasyiroh, 2010).
21
2.2.1.2 Topografi Wilayah
a. Daerah Rawan Banjir
Istilah banjir diartikan sebagai peristiwa dimana daratan yang
biasanya kering menjadi terbenam oleh air yang berasal dari sumber-sumber
air di sekitarnya seperti sungai, danau maupun laut yang sifatnya tidak
permanen. Banjir juga dapat didefinisikan sebagai peningkatan volume pada
sumber air sehingga menyebabkan air tersebut meluap dan menggenangi
daratan di sekitarnya (Amsyari, 1986). Daerah yang mengalami banjir
umumnya merupakan daerah dengan dataran rendah karena kondisi
topografinya sehingga pada waktu-waktu tertentu dapat tergenang oleh
banjir. Daerah ini disebut juga dengan daerah dataran banjir (Kodoatie &
Sugiyanto, 2002).
Banjir dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun secara umum
diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh
faktor alamiah dan tindakan manusia. Faktor alamiah di antaranya adalah
curah hujan yang tinggi, pengaruh fisiografi atau geografi fisik sungai
(bentuk, fungsi, kemiringan Daerah Aliran Sungai (DAS), lokasi, dan lain
sebagainya), erosi dan sedimentasi, kapasitas sungai, kapasitas drainasi
yang tidak memadai, serta pengaruh air pasang. Banjir akibat tindakan
manusia di antaranya adalah perubahan kondisi DAS, kawasan kumuh,
sampah, drainasi lahan, bending dan bangunan air, kerusakan bangunan
pengendali banjir, dan perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak
tepat (Kodoatie & Sugiyanto, 2002).
22
Fenomena banjir merupakan salah satu bentuk bencana alam yang
banyak dialami di beberapa negara di seluruh dunia. Sebagian besar banjir
dialami oleh negara-negara berkembang dan negara tropis. Bencana ini
seringkali menjadi penyebab masalah lain terutama di daerah-daerah yang
masih berkembang, di antaranya adalah beberapa masalah kesehatan
masyarakat yang timbul setelah kejadian banjir, seperti peningkatan
kejadian diare (termasuk kolera dan disentri), infeksi saluran pernafasan,
hepatitis A dan E, demam tifoid, leptospirosis, dan penyakit bawaan
serangga. Selain itu, gangguan gizi buruk juga dapat dialami karena
kurangnya sediaan makanan atau terjadi pencemaran pada makanan yang
dikonsumsi sehingga berefek terhadap timbulnya penyakit (Ohl & Tapsell,
2000).
2.2.1.3 Iklim
Iklim merupakan keadaan rata-rata atmosfer pada suatu daerah
dalam kurun waktu yang relatif lama, sekitar 30 tahun atau lebih dan
meliputi wilayah yang luas. Iklim secara tradisional diartikan sebagai rata-
rata dan variabilitas dari beberapa komponen yang berhubungan dengan
atmosfer seperti suhu, hujan presipitasi dan angin, dan juga bisa dilihat
sebagai sintesis atau kumpulan cuaca. Sementara cuaca diartikan sebagai
cara atmosfer berperilaku secara mendasar, yang secara langsung
mempengaruhi aktivitas keseharian manusia seperti hujan, terik matahari,
dan lain sebagainya (Gutro, 2015).
Perubahan iklim menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2012)
adalah perubahan unsur iklim yang signifikan di suatu wilayah yang luas
23
dibandingkan dengan masa yang lampau. Adapun unsur iklim yang
dimaksud di antaranya adalah suhu, angin, hujan, penguapan, kelembaban,
dan tutupan awan. Perubahan iklim dapat berpengaruh secara tidak
langsung terhadap suatu penyakit melalui faktor risiko seperti vektor,
kualitas air, dan kualitas udara (Athena & Anwar, 2014).
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
dipengaruhi oleh kondisi iklim. WHO menyatakan bahwa diperkirakan pada
tahun 2030 hingga tahun 2050, perubahan iklim dapat menyebabkan
250.000 kematian tambahan pertahunnya salah satunya diakibatkan oleh
diare (WHO, 2016). Adapun unsur-unsur iklim yang berpengaruh terhadap
kejadian diare adalah sebagai berikut:
a. Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah
selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi millimeter di
atas permukaan horizontal. Curah hujan merupakan salah satu
fenomena lingkungan yang dapat mempengaruhi sirkulasi air di
lingkungan (Know Climate Change, 2016). Satuan yang digunakan
dalam pengukuran curah hujan adalah millimeter (mm) dan ketelitian
pembacaan sampai dengan 0,1 mm (Lakitan, 2002). Curah hujan 1 mm
menunjukkan bahwa air hujan yang jatuh setelah 1 mm tiak mengalir,
tidak meresap dan tidak menguap (Kartasapoetra, 2004).
Curah hujan yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah dapat
berpengaruh terhadap kejadian diare. Hasil studi di Peru menunjukkan
bahwa pada musim hujan terjadi peningkatan kasus diare hingga 12%
24
(Athena & Anwar, 2014). Hasil penelitian di Bangladesh menunjukkan
hasil bahwa setiap minggunya jumlah kasus diare non kolera
mengalami peningkatan 5,1% setiap meningkatnya curah hujan sebesar
10mm di atas baku mutu yaitu 52mm. Sebaliknya, jumlah kasus diare
tersebut juga mengalami peningkatan 3,9% setiap penurunan 10mm
curah hujan dari baku mutu (Hashizume, et al., 2007). Peningkatan
curah hujan ini berakibat terhadap bencana banjir, yang berefek
terhadap kontaminasi sediaan air bersih serta penyakit bawaan air.
Kurangnya air bersih dapat berbahaya terhadap hygiene dan
peningkatan risiko penyakit diare yang telah membunuh hampir
600.000 anak balita (WHO, 2016).
b. Suhu Udara Ambien
Suhu merupakan ukuran panas atau dinginnya sesuatu. Adapun
suhu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suhu rata-rata pada
udara ambien. Suhu merupakan faktor kunci dalam pembentukan cuaca
maupun iklim di suatu daerah karena dapat memengaruhi kondisi di
atmosfer (Know Climate Change, 2016). Suhu diukur menggunakan
thermometer dengan satuan yang biasa digunakan adalah derajat
celcius (oC). Data suhu yang diukur oleh stasiun klimatologi umumnya
berupa suhu rata-rata, baik dalam periode harian, bulanan, maupun
tahunan (Kartasapoetra, 2004).
Kondisi suhu ambien udara dapat berpengaruh terhadap
kejadian diare. Hasil penelitian di Peru menunjukkan bahwa setiap
peningkatan suhu udara 1oC pada musim kemarau diikuti dengan
25
peningkatan kasus diare sebesar 4%. Penelitian lain di Fiji
menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1oC suhu ambien dapat
meningkatkan kasus diare sebesar 3% (Athena & Anwar, 2014).
Penelitian lainnya yang dilakukan di Bangladesh juga menunjukkan
bahwa suhu ambien berhubungan secara positif terhadap kasus diare
non kolera, yaitu adanya peningkatan suhu ambien sejalan dengan
peningkatan kasus diare. Hal ini disebabkan oleh suhu ambien yang
lebih tinggi dapat mempercepat pertumbuhan bakteri yang menjadi
agent risiko penyakit diare (Hashizume, et al., 2007).
2.2.2 Faktor Perilaku Ibu
2.2.2.1 Perilaku Mencuci Tangan
Perilaku memcuci tangan yang tidak benar dapat menjadi salah satu
faktor risiko kejadian diare pada balita. Berdasarkan hasil penelitian kasus
kontrol terhadap diare pada balita, perilaku mencuci tangan pada yang tidak
sesuai dengan ketentuan WHO merupakan faktor risiko yang berpengaruh
terhadap kejadian diare pada balita dengan nilai odds ratio 2,77 (CI 95%
1,3-5,890) (Abdullah, et al., 2012). Hasil penelitian lainnya di Kecamatan
Pontianak Timur diketahui bahwa perilaku mencuci tangan pada ibu saat
sebelum makan dan setelah BAB berhubungan signifikan terhadap kejadian
diare pada anak balita (Kamilla, et al., 2012).
2.2.2.2 Praktek Mengelola Makanan
Selain ditularkan melalui air, diare juga dapat ditularkan melalui
makanan yang terkontaminasi. Sanitasi yang buruk dalam praktek
pengelolaan makanan dapat menjadi faktor yang dapat meningkatkan risiko
26
kejadian diare (Yassi, et al., 2001). Hasil penelitian di Kecamatan Pontianak
Timur diketahui bahwa praktek mengelola makanan pada ibu memiliki
hubungan yang signifikan terhadap kejadian diare pada anak balita. Hasil
uji multivariat, faktor ini juga menjadi faktor penentu terhadap kejadian
diare bersama dengan kepemilikan jamban keluarga dengan probabilitas 94%
(Kamilla, et al., 2012).
2.2.3 Faktor Balita
2.2.3.1 Status Gizi
Penderita diare yang sebelumnya sudah memiliki gangguan gizi
(malnutrisi) umumnya berisiko untuk mengalami diare yang lebih berat
(Widoyono, 2011). Hasil penelitian terhadap kejadian diare pada balita di
beberapa rumah sakit besar di Makassar menunjukkan bahwa status gizi
yang buruk pada berpengaruh terhadap kejadian diare (OR= 5,39 CI 95%
2,72-10,82) diakibatkan oleh gejala Shigellosis yang berulang (Abdullah, et
al., 2012).
2.2.3.2 ASI Eksklusif
Air susu ibu (ASI) adalah sumber makanan utama pada bayi. ASI
merupakan makanan yang memiliki komponen nutrisi yang ideal untuk
dicerna dan diserap oleh bayi, bersifat steril tanpa adanya kontaminasi dari
alat makan seperti botol. Dengan memberikan ASI saja hingga usia 6 bulan
dapat mencegah masuknya patogen penyebab diare melalui makanan pada
anak bayi. Selain itu, ASI juga memiliki khasiat preventif secara imunoloik
dengan adanya antibodi dan zat-zat yang dikandungnya sehingga
memberikan perlindungan terhadap diare (Kemenkes RI, 2011).
27
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa ASI yang diberikan
secara eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dapat mencukup
kebutuhan nutrisi bayi untuk tumbuh dan berkembang (Hegar, 2013).
Pemberian ASI efektif dalam pencegahan penyakit infeksi, dibuktikan
dengan berkurangnya kejadian beberapa penyakit pada anak (Tumbelaka &
Karyanti, 2013). Penelitian yang dilakukan terhadap kasus diare shigellosis
pada anak balita menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan ASI
eksklusif dan cenderung memberikan susu formula atau air lainnya lebih
berisiko terkena diare (OR=5,64 CI95% 2,86-11,18) (Abdullah, et al., 2012).
2.2.3.3 Imunisasi Campak
Imunisasi merupakan salah satu cara untuk memberikan daya tahan
tubuh terhadap beberapa penyakit tertentu khususnya pada anak-anak.
Imunisasi merupakan salah satu upaya pencegahan terjangkitnya penyakit
tertentu. Di Indonesia, setiap bayi (usia 0-11 bulan) wajib mendapatkan
imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari: 1 dosis Hepatitis B, 1 dosis BCG,
3 dosis DPT-Hepatitis B, 4 dosis polio dan 1 dosis campak (Kemenkes RI,
2014).
Pemberian imunisasi campak setelah bayi berusia 9 bulan
merupakan salah satu bentuk pencegahan terhadap kejadian diare pada bayi
dan balita. Hal ini dikarenakan anak yang terkena sakit campak sering kali
disertai dengan diare (Kemenkes RI, 2011). Selain itu, supresi sistem
kekebalan tubuh akibat penyakit campak dapat mengakibatkan komplikasi
sebagai akibat replikasi virus ataupun karena superinfeksi bakeri atau virus
lain seperti patogen penyebab diare (Lestari, et al., 2009).
28
2.2.4 Faktor Sosial Ekonomi
2.2.4.1 Status Sosial Ekonomi Keluarga
Status ekonomi keluarga sering kali dikaitkan dengan kejadian suatu
penyakit, salah satunya adalah diare. Beberapa penelitian telah dilakukan
untuk membuktikan faktor ini hubungannya dengan kejadian diare pada
anak balita. Dari dua hasil penelitian membuktikan bahwa status sosial
ekonomi keluarga berpengaruh sigifikan sebagai salah satu faktor risiko
diare pada bayi dan balita, dengan simpulan bahwa diare dengan lebih
sering muncul pada bayi dan balita yang berasal dari keluarga dengan status
ekonomi keluarga rendah atau miskin (Abdullah, et al., 2012). Hasil
penelitian lainnya yang dilakukan dengan melakukan analisa multivariat
data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi diare 1,6 kali
lebih tinggi pada daerah kabupaten/kota yang penduduknya miskin
(Trihono & Gitawati, 2009).
Kondisi sosial ekonomi selalu dikaitkan dengan kualitas hidup
seseorang. Dapat dikatakan bahwa kualitas hidup menentukan kualitas
lingkungannya, karena dari pola hidupnya tercermin cara dan perilaku untuk
mengeksploitasi lingkungannya (Siahaan, 2004). Status ekonomi yang
rendah atau kemiskinan dapat mengakibatkan gizi buruk/kurang, ketiadaan
akses terhadap sanitasi yang memadai, serta edukasi kesehatan yang kurang
sehingga meningkatkan beban penyakit pada wilayah dengan mayoritas
penduduk yang tergolong miskin (Trihono & Gitawati, 2009).
29
2.3 Sistem Informasi Geografi
Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu perangkat untuk
mengumpulkan, menampilkan, dan menghubungkan data spasial dari
fenomena geografis untuk dianalisis dan hasilnya kemudian dikomunikasikan
kepada pengguna data sebagai dasar untuk pengambilan keputusan atau
kebijakan (Achmadi, 2012). SIG pada dasarnya merupakan sebuah sistem
untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan, analisis ran penayangan
(display) data yang terkait dengan permukaan bumi. Selain itu, SIG juga
diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berbasis pada perangkat lunak
komputer yang digunakan untuk memberikan bentuk digital dan analisa
terhadap permukaan geografi bumi hingga membentuk informasi keruangan
yang tepat dan akurat (Suryantoro, 2013).
Terdapat dua kegiatan utama dalam sistem informasi geografi, yaitu
membuat gambaran informasi dalam bentuk spasial (membuat pemetaan
terhadap suatu objek yang diobservasi) dan melakukan analisis informasi
spasial. Kedua kegiatan tersebut memungkinkan pengguna/peneliti untuk
menganalisis sebuah fenomena geografis yang sedang diteliti. Contoh dari
fenomena tersebut di antaranya adalah untuk mengetahui sebuah pola spasial,
mencari hubungan spasial, karakteristik geografis, memonitor perubahan,
serta sebagai hubungan observasi dengan riset (Lai, et al., 2009).
Sistem informasi geografi memiliki beberapa fungsi yang dapat
diaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu. Secara umum, fungsi dari aplikasi
sistem informasi geografi adalah sebagai berikut (Suryantoro, 2013):
30
a. Pengukuran (measurment)
Fasilitas ini berfungsi untuk mengukur jarak antar titik, jarak rute, atau
luas suatu wilayah secara interaktif
b. Pemetaan (mapping)
Fungsi ini menggunakan metode overlay dimana setiap layer disatukan
dan memungkinkan seseorang untuk mencari lokasi, rute jalan, mencari
tempat-tempat penting lainnya. Dengan fungsi ini, dapat juga terlihat
pola sebaran yang mungkin akan muncul dari suatj feature seperti
Puskesmas, sekolah, daerah miskin, dan lain sebagainya.
c. Pemantauan (monitoring)
Fungsi ini memungkinkan SIG untuk memantau suatu fenomena dan
keputusan yang akan diambil dengan memetakan apa yang ada apada
suatu area dan apa yang ada di luar area.
d. Pembuatan model (modelling)
Permodelan dilakukan dengan menentukan kelas-kelas, misalnya
menentukan wilayah dengan konsentrasi zat pencemar udara paling
tinggi hingga paling rendah menggunakan teknik overlay berdasarkan
skema yang sudah dibuat.
2.4 Analisis Spasial
SIG merupakan sebuah sistem yang dirancang untuk menjawab
pertanyaan berdasarkan data spasial maupun non-spasial beserta
kombinasinya dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan dalam
lingkup spasial (keruangan) sehingga dapat mendukung berbagai analisis
spasial. Analisis spasial sendiri merupakan sekumpulan teknik untuk
31
menganalisis data spasial, sehingga hasilnya akan bergantung pada akses
terhadap lokasi objek dan atributnya. Adapun yang dimaksud dengan data
spasial merupakan data yang mengandung unsur keruangan yang jelas
(terdapat titik koordinat) di permukaan bumi (Prahasta, 2014).
Analisis spasial menurut A Practitioner's Guide to GIS Terminology
merupakan sebuah proses ekstraksi atau membuat informasi baru terkait fitur
geografis untuk menunjukkan pemeriksaan rutin, penilaian data (assessment)
evaluasi, analisis ataupun membuat permodelan data dalam area geografis
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ditentukan dan terkomputerisasi
(Lai, et al., 2009). Analisis ini dapat digunakan untuk melakukan analisis
persebaran faktor risiko pentakit infeksi maupun non infeksi, penyakit yang
ditularkan oleh binatang atau vektor, pelayanan kesehatan seperti ambulans
keliling, rumah sakit, analisis potensi bahaya lingkungan, pengelompokan
kejadian penyakit, pemetaan informasi kesehatan, data dasar kesehatan
masyarakat dan lain sebagainya (Achmadi, 2012).
Kejadian penyakit tertentu dapat dikaitkan dengan bebagai objek yang
memiliki keterkaitan dengan lokasi, topografi, benda-benda, distribusi benda-
benda ataupun kejadian lain dalam sebuah space atau ruangan pada tertentu.
Dapat pula dihubungkan dengan peta dan ketinggian. Menurut Elliot dan
Wartenberg (2004), analisis spasial terhadap suatu penyakit dapat dikategorikan
menjadi tiga kelompok utama, yaitu (Achmadi, 2012):
a. Pemetaan Kasus Penyakit
Pemetaan penyakit umumnya dilakukan untuk tujuan deskriptif,
baik untuk menghasilkan hipotesis seperti etiologi, untuk melakukan
32
surveilans untuk pengawasan yang menyoroti area pada risiko yang tinggi,
dan untuk membantu alokasi sumber daya dan kebijakan. Pemetaan
penyakit secara khusus dapat menunjukkan angka mortalitas atau
morbiditas untuk suatu area geografi seperti suatu Negara, provinsi atau
daerah. Pengamatan terhadap penyebaran penyakit sudah dilakukan sejak
awal abad ke-19, di antaranya adalah pengamatan penyebaran penyakit
yellow fever dan kolera.
b. Studi Hubungan Geografis
Studi hubungan geografi atau korelasi geografi bertujuan untuk
menyajikan variasi geografi yang disilangkan dengan populasi kelompok
pemajanan ke variabel lingkungan yang mungkin diukur (udara, air dan
tanah), ukuran demografi dan sosial ekonomi, faktor gaya hidup (merokok
dan diet) dalam hubungan dengan hasil kesehatan berdasarkan skala
geografi. Pendekatan ini lebih mudah dilakukan dan dapat menggunakan
data yang secara rutin tersedia dan dapat digunakan untuk penyelidikan atau
eksperimen alami di mana pemajanan mempunyai suatu basis fisik (seperti
pemajanan terhadai unsur tanah, udara dan unsur air).
c. Pengelompokkan Penyakit
Pengelompokkan penyakit dilakukan untuk menyelidiki suatu
penyakit yang terjadi cenderung mengelompok di lokasi-lokasi tertentu
yang umumnya dihubungkan dengan sumber-sumber penyakit, seperti
tempat pembuangan sampah akhir, jalan raya, pabrik tertentu, pembangkit
atau saluran udara tegangan tinggi. Penyelidikan ini umumnya berasumsi
bahwa latar belakang derajat risiko yang sama, padahal sebenarnya
33
konsentrasi amat bervariasi antarwaktu dan antarwilayah, sehingga perlu
adanya sensitivitas serta intuisi untuk melihat fenomena tersebut.
2.4.1 Metode Analisis Spasial
Langkah awal dalam melakukan analisis spasial dalam studi
epidemiologi adalah melakukan penggambaran atau visualisasi dari data
spasial yang diperoleh. Dalam melakukan visualisasi ini, peneliti dalam
menilai pola yang terlihat dalam peta, mengidentifikasi kesalahan-
kesalahan (errors), serta membuat hipotesis terkait faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pola yang sedang diamati tersebut. Visualisasi dalam
analisis spasial juga sangat penting untuk memberikan informasi terkait
temuan dalam penelitian terhadap sasaran atau pengguna informasi. Secara
garis besar, metode dalam melakukan visualisasi data dalam epidemiologi
spasial terbagi menjadi dua, yaitu analisis terhadap data titik (point data)
dan data kelompok (aggregated data) (Pfeiffer, et al., 2008).
2.4.1.1 Analisis Data Titik (Point Data)
Data spasial berbentuk titik (point) yang menunjukkan suatu
kejadian penyakit merupakan jenis data yang dasar dan fundamental dalam
epidemiologi spasial (Lai, et al., 2009). Analisis data titik merupakan cara
yang paling lama dan paling sering digunakan, yaitu dengan melakukan
plotting atau menandai lokasi subjek penelitian menggunakan koordinat
kartesian (Cartesian coordinates). Metode ini merupakan cara yang paling
sederhana dalam pemetaan penyakit apabila lokasi kasus diketahui (Pfeiffer,
et al., 2008).
34
Salah satu jenis analisis statistik dalam metode analisis data statistic
pada epidemiologi spasial adalah mengukur indeks tetangga terdekat
(Nearest Neighbour Index / NNI). NNI digunakan untuk mengetahui bentuk
sebaran suatu penyakit. Cara analisis ini menggunakan perhitungan dengan
membandingkan jarak rata-rata antara satu titik kasus penyakit dengan
kasus lainnya yang terdekat dengan jarak khayal acak secara spasial. Nilai
NNI ini dapat mengidentifikasikan tingkatan spasial yang berbeda-beda
sehingga dapat diketahui apakah suatu penyakit membentuk pola
mengelompok, menyebar, atau acak. Namun, penggunaan NNI tidak dapat
memberikan informasi terkait trend atau perubahan pola penyakit
berdasarkan waktu (Lai, et al., 2009).
Penggunaan data poin dalam analisis epidemiologi spasial memang
memiliki kelebihan di antaranya adalah data yang disajikan merupakan data
yang paling detil sehingga pola sebaran penyakit dapat diketahui
berdasarkan lokasi kasus penyakit berada. Namun, analisis ini masih
memiliki beberapa kekurangan, di antaranya adalah titik kasus penyakit
yang disajikan umumnya merupakan lokasi tempat tinggal kasus, padahal
kejadian transmisi penyakit belum tentu terjadi di tempat tinggal kasus,
melainkan di sekolah, tempat kerja, atau tempat lainnya yang mungkin saja
jauh dari lokasi tempat tinggal kasus. Selain itu, analisis statistik yang
digunakan hanya sebatas dua jenis analisis yaitu mengukur kepadatan
(density) dan pengukuran jarak antar titik (Lai, et al., 2009).
35
2.4.1.2 Analisis Data Kelompok (Aggregated Data)
Analisis data kelompok atau data agregat dilakukan dengan cara
pemetaan berbasis area. Analisis ini merupakan metode yang konvensional
untuk merangkum data spasial berdasarkan angka statistik, batas administrasi,
maupun satuan unit. Metode ini dapat digunakan apabila banyak sampel atau
data kasus yang alamatnya tidak dapat ditemukan, atau hanya diketahui nilai
statistiknya saat pengumpulan data. Selain itu, pemetaan menggunakan data
kelompok juga digunakan apabila data penyakit dan atributnya (point data)
terlalu banyak sehingga terjadi overlapping symbols pada peta (Lai, et al.,
2009).
Dalam epidemiologi spasial, bentuk umum data agregat adalah hasil
perhitungan kasus penyakit dalam suatu wilayah dengan cara dijumlahkan
sehingga menghasilkan jumlah total kasus di setiap wilayah. Jumlah kasus
penyakit dapat juga difungsikan dengan ukuran populasi sehingga menjadi
data setimasi berupa prevalensi, incidence risk, ataupun incidence rate per
unit area (Pfeiffer, et al., 2008). Analisis data kelompok berbasis area dapat
dilakukan menggunakan autokorelasi spasial, yaitu untuk mengetahui
hubungan keterkaitan antara variabel yang diamati berdasarkan
keruangannya (spasial) (Lai, et al., 2009).
36
2.5 Kerangka Teori
Berdasarkan penjelasan secara teoritis pada subbab sebelumnya, maka dapat dibuat sebuah kerangka teori. Adapun kerangka teori
tersebut digambarkan pada Bagan 2.2 Berikut ini:
Bagan 2.1 Bagan Kerangka Teori
37
Berdasarkan Bagan 2.2, diketahui bahwa secara teoritis terdapat beberapa
faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak balita. Faktor
lingkungan di antaranya adalah akses air dan sanitasi layak yang dapat menjadi
sumber agen penyakit atau tempat berkembangbiaknya agen infeksius diare pada
balita seperti virus, bakteri maupun parasit. Faktor lingkungan lain yang
mempengaruhi perkembangan agen infeksius adalah suhu udara ambien, di mana
pada suhu tertentu dapat menjadi suhu optimal bagi perkembangan mikroorganisme.
Cuaca ekstrem seperti curah hujan yang tinggi juga dapat menimbulkan daerah
rawan banjir yang dapat mencemari sarana air bersih maupun sumber air minum.
Agen infeksius yang berkembang kemudian dapat mencemari makanan atau
minuman yang dikonsumsi oleh anak balita. Pencemaran tersebut dapat terjadi
secara langsung maupun melalui vektor pembawa kuman seperti lalat. Faktor
perilaku ibu balita khususnya kebiasaan mencuci tangan dan praktek mengolah
makanan dapat berpengaruh terhadap kejadian diare pada balita. Perilaku tersebut
dapat mencemari makanan ataupun minuman yang dikonsumsi oleh anak balita.
Faktor lain juga dapat berdampak terhadap kejadian diare pada anak balita,
seperti status imunisasi, pemberian ASI eksklusif, dan status gizi balita. Status
imunisasi yang dimaksud adalah imunisasi campak, karena apabila anak balita
mengalami campak umumnya disertai dengan gejala diare. Adapun faktor lainnya
seperti status gizi dan ASI eksklusif memengaruhi imunitas pada anak balita
sehingga anak balita rentan terhadap diare. Faktor-faktor tersebut dapat dipengaruhi
juga oleh status sosial dan ekonomi keluarga balita.
38
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3 BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Dari keseluruhan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian diare
pada kerangka teori, tidak semua faktor dijadikan sebagai variabel dalam
penelitian ini. Adapun variabel dalam penelitian ini di antaranya adalah
prevalensi diare pada balita dengan faktor lingkungan meliputi akses air
minum layak, akses jamban sehat serta daerah rawan banjir. Variabel yang
diteliti dapat dilihat pada Bagan 3.1 berikut ini.
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Terdapat beberapa variabel yang tidak diteliti, di antaranya adalah
faktor perilaku ibu (perilaku mencuci tangan dan praktek mengelola
makanan), faktor balita (status gizi, ASI eksklusif, dan imunisasi), serta faktor
sosial ekonomi (kemiskinan). Faktor perilaku ibu tidak diteliti karena tidak
tersedianya data kelompok (agregat) terkait perilaku mencuci tangan dan
praktek mengelola makanan oleh ibu balita, sementara dalam penelitian ini
data yang digunakan adalah data agregat. Adapun variabel status ekonomi
keluarga atau kemiskinan tidak diteliti dikarenakan pendataan sosial ekonomi
39
tidak dilakukan setiap tahun, sehingga tidak ada variasi secara temporal.
Selain itu, faktor iklim juga tidak diteliti dikarenakan cakupan penelitian
hanya terbatas hanya di Kabupaten Serang, sementara pengambilan sampel
iklim oleh Stasiun Klimatologi hanya dilakukan pada satu titik mewakili satu
Kota/Kabupaten sehingga dikhawatirkan tidak terdapat variasi secara spasial.
3.2 Definisi Operasional
Definisi operasional dari setiap variabel yang akan diteliti dijabarkan
pada Tabel berikut ini.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi OperasionalCaraUkur
Alat Ukur HasilSkalaukur
PrevalensiDiareBalita
Perbandingan jumlahkasus diare pada anakusia di bawah 5 tahun(0-4 tahun) yangdilaporkan kepadaDinkes KabupatenSerang denganjumlah seluruh anakbalita (0-4 tahun)yang ada diKabupaten Serangtahun 2013-2015.
ObservasiData
Sekunder
LaporanDinkesKabupatenSerang
0. Tinggi(Prevalensi ≥10%anak usia 0-4tahun)1. Rendah(Prevalensi <10%anak usia 0-4tahun)
Sumber:(Kemenkes RI,2008)
Ordinal
AksesJambanSehat
Besarnya aksesmasyarakat di setiapkecamatan terhadapjamban yangmemenuhi syaratkesehatanberdasarkan hasilpemeriksaan olehPuskesmas dandilaporkan kepadaDinkes KabupatenSerang tahun 2013-2015
ObservasiData
Sekunder
LaporanDinkesKabupatenSerang
0.Rendah (Alses<62,41%)
1.Tinggi (Akses ≥62,41%)
Sumber:(Kemenkes RI ,2013)
Ordinal
40
Variabel Definisi OperasionalCaraUkur
Alat Ukur HasilSkalaukur
Akses airminumlayak
Besarnya akesterhadap sumber airminum padamasyarakat di setiapkecamatan yangberkualitas danmemenuhi syaratkesehatanberdasarkan hasilpemeriksaan olehPuskesmas dandilaporkan kepadaDinkes KabupatenSerang tahun 2013-2015
ObservasiData
Sekunder
LaporanDinkesKabupatenSerang
0.Rendah (Akses<68,87%)
1.Tinggi (Akses ≥68,87%)
Sumber:(Kemenkes RI ,2013)
Ordinal
DaerahRawanBanjir
Daerah Kecamatanyang memilikipotensi ataukerawanan terjadinyagenangan airberdasarkanperhitungan risikoterhadap bencanabanjir oleh BPBDKabupaten Serangtahun 2013-2015
ObservasiData
Sekunder
LaporanBPBDKabupatenSerang
0. Ya1. Tidak
Nominal
41
BAB IV
METODE PENELITIAN
4 BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi
ekologi berdasarkan tempat atau lokasi. Studi ini bersifat deskriptif dan dapat
disebut juga sebagai studi korelasi dengan populasi sebagai unit analisisnya
(unit analisis agregat). Selain itu, penelitian dengan desain ini menggunakan
data sekunder yang diperoleh dari institusi terkait (Gerstman, 2003). Pada
penelitian ini, penyakit yang diteliti adalah kejadian diare pada balita,
sementara faktor risiko yang diteliti adalah akses air minum layak, akses
jamban sehat dan daerah rawan banjir.
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, dimulai pada bulan
Oktober sampai dengan bulan Desember tahun 2016. Adapun lokasi
penelitian ini adalah seluruh wilayah yang ada di Kabupaten Serang, Provinsi
Banten.
4.3 Populasi dan Sampel
Desain studi ekologi merupakan desain dengan unit analisis
merupakan data agregat, yaitu data yang mewakili populasi dari suatu
kelompok masyarakat sehingga tidak dilakukan pengambilan sampel.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah administratif
(kecamatan) di Kabupaten Serang. Dikarenakan adanya perubahan tata
42
wilayah administratif, terdapat perbedaan jumlah kecamatan yang diamati
pada tahun 2013 dengan tahun 2014 dan 2015 yang dapat dilihat pada Tabel
4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Jumlah Kecamatan di Kabupaten Serang
No. Tahun Jumlah Kecamatan1. 2013 28 Kecamatan2. 2014 29 Kecamatan3. 2015 29 Kecamatan
4.4 Pengumpulan Data
4.4.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari institusi-institusi terkait. Adapun data yang dikumpulkan
berupa data spasial maupun data non spasial (data atribut). Data yang telah
terkumpul kemudian diolah dengan memanfaatkan sistem informasi
geografi sebagai tools dalam analisis. Adapun data-data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini tertera pada Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel 4.2 Jenis Data Penelitian
No. Data Jenis Data Sumber Data1. Peta digital Kabupaten Serang Spasial Badan Pusat Statistik
2. Prevalensi kasus diare balita Atribut Dinkes Kabupaten Serang
3. Akses Air Minum Atribut Dinkes Kabupaten Serang
4. Akses Jamban Sehat Atribut Dinkes Kabupaten Serang
5. Data daerah rawan banjir Atribut BPBD Kabupaten Serang
4.4.2 Cara Pengumpulan Data
Data yang diperoleh merupakan data yang dikumpulkan oleh
instansi yang menjadi sumber data. Adapun cara pengumpulan data yang
dilakukan oleh instansi terkait pada masing-masing variabel ditunjukkan
pada Tabel 4.3 berikut.
43
Tabel 4.3 Cara Pengumpulan Data setiap Variabel
No. Variabel Cara Pengumpulan Data1. Prevalensi kasus diare Dinkes Kabupaten Serang mengumpulkan
data kasus diare dari Rumah Sakit sertalaporan Puskesmas dengan form W2 yangdisampaikan kepada Dinkes KabupatenSerang. Adapun kasus diare balita yangdilaporkan oleh puskesmas berasal dari hasilpemeriksaan pasien yang datang kePuskesmas serta laporan kasus dari kaderkesehatan di wilayah kerjanya.
2. Akses sumber air minum Pemegang program kesehatan lingkungandibantu dengan kader kesehatan di setiappuskesmas melakukan pemeriksaan kondisisanitasi perumahan menggunakan formulirpenilaian rumah sehat yang diberikan olehDinkes Kabupaten Serang. Formulir tersebuttelah mencakup penilaian terkait sumber airminum dan jumlah penggunanya sertajamban sehat dan jumlah penggunanya.Pemeriksaan sanitasi dan air minum inidilaksanakan setiap tahun satu kali dandilaporkan kepada Dinkes KabupatenSerang.
3. Akses Jamban sehat
4. Daerah rawan banjir Badan Penanggulangan Bencana Daerahperhitungan risiko banjir (risk) pada setiapkecamatan berdasarkan data riwayatkejadian banjir (bahaya/hazard), kerentananwilatah seperti kontur wilayah, kondisicuaca dan iklim, dan kondisi sosial ekonomimasyarakatnya (vulnerability), dandibandingkan dengan kapasitas masyarakatdalam penanganan bencana dan saranapencegah banjir (capacity).
4.5 Pengolahan Data
Data yang telah didapatkan kemudian diolah dengan sekumpulan
proses hingga menghasilkan informasi yang bermakna.
i. Data structure: merupakan kegiatan mengembangkan struktur data sesuai
dengan analisis yang akan dilakukan dengan jenis software yang
digunakan.
44
ii. Data entry: merupakan kegiatan memasukkan data ke dalam software
untuk kemudian dilakukan analisis.
iii. Data cleaning: merupakan kegiatan membersihkan data yang telah masuk.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengontrol kesalahan dalam memasukkan
data.
4.6 Analisis Data
4.6.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variabel
yang diteliti. Analisis data yang dilakukan terhadap variabel jumlah kasus
diare, akses air minum layak, dan akses jamban sehat menggunakan
perhitungan persentase (%) kemudian dikategorikan sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan. Adapun untuk variabel daerah rawan banjir dianalisis
dengan melakukan pengelompokkan daerah yang merupakan rawan
terhadap banjir dan tidak rawan terhadap banjir. Analisis data bersifat
deskriptif kuantitatif. Data disajikan dengan menggunakan tabel dan grafik.
4.6.2 Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui distribusi masing-
masing variabel menggunakan teknik pemetaan dalam sistem informasi
geografi. Aplikasi yang digunakan untuk analisis spasial adalah aplikasi
opensource atau yang dapat diakses secara terbuka, yaitu Quantum GIS
versi 2.14-Essen Adapun teknik yang digunakan adalah overlay yaitu
melakukan penumpukan layer shapefile dari setiap variabel. Analisis data
spasial dalam SIG dilakukan berdasarkan tahapan yang dimulai dari desain
45
basis data hingga menghasilkan suatu informasi yang baru berbentuk peta
melalui tahapan seperti pada berikut ini:
1) Pengelolaan basis data
Basis data dalam penelitian ini terdiri dari data spasial berupa peta
administrasi Kabupaten Serang dalam bentuk shapefile (.shp), serta
data atribut berupa data kasus diare balita, akses air minum, akses
jamban sehat, dan daerah rawan banjir dalam bentuk tabel. Tahapan
dalam pengelolaan basis data adalah sebagai berikut:
a. Menyesuaikan kode unik yang dapat digunakan pada data atribut
dan data spasial. Adapun kode unik pada penelitian ini adalah
nama kecamatan.
b. Menyimpan data atribut dalam format Comma delimited (.csv)
2) Penggabungan data (join data)
Penggabungan data yang dimaksud adalah menggabungkan data
atribut dan data spasial dengan tahapan sebagai berikut:
a. Memulai aplikasi Quantum GIS versi 2.14-Essen
b. Menambahkan data spasial berupa shapefile peta administrasi
wilayah dengan menekan icon dan menambahkan
data atribut dengan menekan icon
c. Setelah data tersebut ditambahkan, akan muncul nama-nama
data yang ditambahkan pada panel layer. Klik dua kali pada
nama data yang berjenis shapefile, kemudian akan muncul menu
pengaturan layer.
46
d. Memilih menu Join, kemudian tekan icon untuk
menambahkan data atribut yang akan digabungkan dengan data
shapefile.
e. Memilih nama file data atribut pada pilihan join layer, kamudian
pilih kode unik pada pilihan join field dan target field yang
dalam penelitian ini merupakan nama kecamatan.
f. Setelah data spasial dan data atribut digabungkan, akan
terbentuk shapefile atau layer yang di dalamnya terdapat data
atribut.
3) Pemberian warna (kalsifikasi data)
Untuk melakukan analisis, perlu dilakukan klasifikasi data atribut
karena data yang didapatkan berupa data dengan skala rasio. Hasil
klasifikasi data setiap variabel akan ditunjukkan pada tampilan peta
shapefile melalui perbedaan warna dengan tahapan sebagai berikut:
a. Klik dua kali pada layer atau shapefile yang akan dianalisis pada
panel layer, kemudian memilih menu style.
b. Memilih jenis pewarnaan Graduated, kemudian memilih
variabel yang akan dianalisis, serta menentukan jumlah kelas
dan cut off point yang digunakan untuk setiap kelas. Untuk
variabel dengan skala ukur nominal (daerah rawan banjir) jenis
pewarnaan menggunakan pilihan Categorized.
c. Tampilan hasil klasifikasi kemudian ditunjukkan dengan gradasi
warna. Untuk kecamatan dengan klasifikasi prevalensi diare
balita, akses jamban sehat, akses air minum yang tinggi serta
47
daerah rawan banjir akan diberikan warna yang lebih gelap,
sementara untuk kecamatan dengan klasifikasi prevalensi diare
balita, akses jamban sehat, akses air minum yang rendah serta
bukan daerah rawan banjir akan diberikan warna yang lebih
terang.
4) Overlay
Overlay merupakan cara dalam operasi spasial dengan
menggabungkan layer geografik yang berbeda untuk mendapatkan
informasi baru (KEMENRISTEK RI, 2013). Data spasial yang
sudah memiliki klasifikasi kemudian divisualisasikan dengan cara
menumpuk layer pada beberapa variabel yang akan dianalisis.
5) Layout
Peta yang sudah dianalisis menggunakan overlay kemudian dicetak
dalam tampilan peta yang berisi judul, gambar peta hasil analisis,
serta keterangan pada peta dengan dilakukan layout terlebih dahulu.
Peta yang sudah dilayout kemudian dicetak dalam bentuk file jpg.
4.7 Penyajian Data
Data yang telah diperoleh akan disajikan dalam berbagai bentuk
sesuai dengan jenisnya. Data atribut (non spasial) akan disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik. Adapun data yang berbentuk sata spasial akan
disajikan dalam bentuk peta.
48
BAB V
HASIL PENELITIAN
5 HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Wilayah Penelitian
5.1.1 Letak Geografis
Kabupaten Serang merupakan salah satu wilayah di Provinsi Banten
yang terletak di ujung bagian utara Pulau Jawa. Secara geografis, wilayah
Kabupaten Serang terletak pada titik koordinat 5°50’ sampai dengan 6°21’
Lintang Selatan dan 105°0’ sampai dengan 106°22’ Bujur Timur. Adapun
letak dan wilayah administrasi Kabupaten Serang dapat dilihat pada Peta
5.1 berikut ini.
Peta 5.1 Letak dan Batas Administrasi Kabupaten Serang
Sumber: BPBD Kabupaten Serang
49
Berdasarkan Peta 5.1 juga dapat dilihat bahwa secara geografis
Kabupaten Serang berbatasan dengan daerah-daerah sebagai berikut:
a. Sebelah utara: berbatasan dengan Laut jawa, Kota Cilegon, dan
Kota Serang
b. Sebelah Timur: berbatasan dengan Kabupaten Tangerang
c. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan
Kabupaten Pandeglang
d. Sebelah Barat: berbatasan dengan Kota Cilegon dan Selat Sunda
Kabupaten Serang menjadi salah satu daerah penyangga Ibukota
Negara karena posisinya hanya berjarak ± 70 km dari DKI Jakarta. Selain
itu, Kabupaten Serang juga merupakan pintu gerbang atau transit
perhubungan darat antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
5.1.2 Luas Wilayah
Wilayah Kabupaten Serang berdasarkan administrasinya terbagi
menjadi 28 kecamatan dan kemudian sejak tahun 2014 terdapat perubahan
tata wilayah menjadi 29 Kecamatan. Terdapat penambahan kecamatan yaitu
kecamatan Lebak Wangi yang terdiri dari 10 desa. Desa-desa tersebut
sebelumnya merupakan bagian dari Kecamatan Pontang, Kecamatan
Tirtayasa, dan Kecamatan Carenang.
Kabupaten Serang memiliki luas wilayah secara keseluruhan seluas
1.467,35 km2. Kecamatan Cinangka menjadi kecamatan terluas yang terdiri
dari 14 Desa dengan luas 111,47 km2 sementara Kecamatan Bandung
menjadi kecamatan dengan luas terendah yaitu 25,18 km2 dan terdiri dari 8
50
Desa. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Serang termasuk dalam
klasifikasi wilayah perdesaan. Kabupaten Serang terdiri dari 326 Desa, 72
di antaranya merupakan wilayah perkotaan dan 254 sisanya merupakan
wilayah perdesaan. Berdasarkan penggunaannya, sebagian besar luas lahan
di Kabupaten Serang merupakan persawahan (41,33%) dan kebun
campuran (22,59%), sementara hanya 8,53% wilayah yang dijadikan
sebagai daerah perkampungan serta 0,36% wilayah yang dijadikan sebagai
perumahan.
5.1.3 Keadaan Alam
Sebagian besar wilayah Kabupaten Serang berdasarkan keadaan
topografinya merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata
daerahnya adalah 25,66 meter di atas permukaan laut (mdpl). Terdapat
daerah pantai yang membentang di Pantai Utara Laut Jawa dan di Pantai
Selat Sunda. Lebih dari 97,5% wilayah Kabupaten Serang berada pada
ketinggian kurang dari 500 mdpl. Sebagian kecil daerah di Kabupaten ini
merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian mencapai 1.778 mdpl
yang berada di Puncak Gunung Karang bertepatan di sebelah selatan
perbatasan dengan Kabupaten Pandeglang. Kabupaten Serang juga
memiliki 17 pulau kecil yang berada di sekitar Laut Jawa dan Selat Sunda.
Beberapa kecamatan yang memiliki pulau kecil di antaranya adalah
Kecamatan Tirtayasa, Kecamatan Pontang, Kecamatan Anyar, dan
Kecamatan Pulo Ampel.
Berdasarkan keadaan hidrologisnya, Kabupaten Serang dialiri oleh
tiga sungai besar yang merupakan sungai lintas provinsi, yaitu Sungai
51
Ciujung, Sungai Cidurian, dan Sungai Cidanau. Sungai terpanjang dan
terbesar yang ada di wilayah ini adalah sungai Ciujung dengan panjang
56,625 km. Terdapat beberapa kecamatan yang merupakan daerah aliran
sungai (DAS) tersebut yang dapat dilihat pada peta 5.2. Masyarakat yang
tinggal di DAS tersebut umumnya memanfaatkan air sungai untuk
keperluan irigasi dan ada juga memanfaatkan air sungai sebagai sumber air
bersih seperti masyarakat di Kecamatan Pontang, Kecamatan Tirtayasa, dan
Kecamatan Tanara.
Peta 5.2 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Serang
Sumber air permukaan yang ada di Kabupaten Serang tidak hanya
berupa sungai tetapi juga berupa waduk dan situ, di antaranya adalah Waduk
Ciukur, Jakung, Ciwaka, Cicinta, Krenceng, Rawa Danau, dan Situ
52
Tasikardi. Situ Rawa Danau merupakan salah satu situ yang terluas
mencapai 1.300 ha yang berada di perbatasan wilayah Kecamatan Mancak,
Padarincang, dan Gunung Sari. Kabupaten Serang merupakan daerah yang
beriklim tropis dengan curah hujan dan hari hujan yang cukup tinggi seperti
yang ditunjukkan pada grafik 5.1 dan grafik 5.2 berikut ini.Grafik 5.1 Curah Hujan Rata-Rata di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015
Grafik 5.2 Jumlah Hari Hujan Setiap Bulan di Kabupaten Serang Tahun2013-2015
0
5
10
15
20
25
CURA
H HU
JAN
(MM
)
BULAN
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
Sumber: Kabupaten Serang dalam Angka
0
5
10
15
20
25
30
JUM
LAH
HARI
HUJ
AN (H
ARI)
BULAN
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
Sumber: Kabupaten Serang dalam Angka
53
Curah hujan rata-rata secara keseluruhan dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2015 adalah 8 mm perbulannya dengan lama hujan 12 hari
setiap bulan. Berdasarkan grafik 5.1, curah hujan tinggi di Kabupaten
Serang umumnya terjadi pada pertengahan hinga akhir tahun. Sementara
pada grafik 5.2 menunjukkan bahwa jumlah hari hujan cenderung lebih
banyak di awal tahun hingga pertengahan tahun. Adapun suhu rata-rata
udara ambien di Kabupaten Serang berkisar antara 23,4℃ - 31,48℃ serta
kelembaban relatif 81%.
5.1.4 Kependudukan
Kabupaten Serang merupakan wilayah dengan populasi penduduk
tertinggi ke empat di Provinsi Banten. Jumlah penduduk Kabupaten Serang
hingga tahun 2015 mencapai 1.474.301 jiwa yang terdiri dari 50,72% laki-
laki dan 49,28% perempuan. Berdasarkan kelompok umur, penduduk
dengan jumlah populasi tertinggi adalah anak-anak (5-9 tahun) (10,17%)
dan balita (0-4 tahun) (10,14%). Tingkat kepadatan penduduknya adalah
1.005 penduduk per kilometer persegi dengan rata-rata setiap rumahtangga
terdiri dari 4 orang. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah
Kecamatan Cikande (96,511 jiwa) dan kecamatan dengan jumlah penduduk
terendah adalah Kecamatan Gunungsari (20.343 jiwa). Adapun berdasarkan
luas wilayahnya, Kecamatan Ciruas yang merupakan ibukota Kabupaten
memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi (2.170 jiwa/km2).
5.1.5 Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan yang dapat diakses oleh masyarakat di Kabupaten
Serang terdiri dari Puskesmas, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
54
Kabupaten, Apotek, Praktek Dokter dan Balai Obat. Terdapat 31 Puskesmas
Umum di Wilayah tersebut, dengan masing-masing Kecamatan memiliki satu
Puskesmas kecuali Kecamatan Kopo dan Kragilan yang memiliki 2
Puskesmas Umum. Setiap Puskesmas juga memiliki Puskesmas Pembantu
(Pustu) berjumlah 48 yang tersebar di sebagian besar wilayah kerja
Puskesmas umum. Namun, terdapat beberapa Kecamatan yang tidak
memiliki Pustu, di antaranya adalah Kecamatan Gunung Sari, Kecamatan
Kopo, dan Kecamatan Binuang.
Selain Puskesmas, Rumah Sakit, dan sarana kesehatan lainnya,
terdapat fasilitas kesehatan lain yang dapat diakses oleh masyarakat
khususnya untuk pelayanan anak balita (0-4 tahun) yaitu Posyandu dan
Poskesdes (Pos Kesehatan Desa). Jumlah Posyandu di Kabupaten Serang
yang tersebar di setiap wilayah kerja Puskesmas adalah 1.529 Posyandu
dengan jumlah kader sebanyak 7.524 orang. Adapun jumlah Poskesdes di
Kabupaten Serang sebanyak 105 Poskesdes yang tersebar hampir di seluruh
kecamatan selain Kecamatan Tanara, Kecamatan Lebak Wangi, dan
Kecamatan Kibin.
5.2 Gambaran Kasus Diare Balita di Kabupaten Serang
Hasil penelitian yang sudah dilaksanakan menunjukkan informasi
terkait perkembangan kasus diare pada anak balita (0-4 tahun) di Kabupaten
Serang tahun 2013-2015. Jumlah kasus diare pada anak balita ini diperoleh
berdasarkan laporan pencatatan oleh sarana kesehatan (Puskesmas) beserta
laporan oleh kader kesehatan. Data jumlah kasus tersebut kemudian
dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Serang secara berkala (setiap
55
3 bulan) oleh petugas Puskesmas. Adapun distribusi frekuensi kasus diare
pada anak balita tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Prevalensi Kasus Diare pada Anak Balita diKabupaten Serang Tahun 2013-2015
TahunPrevalensi (%)
Kabupaten Serang Min Kecamatan Maks Kecamatan2013 14,44 4,72 Pulo Ampel 44,76 Bandung2014 11,69 3,92 Lebak Wangi 18,22 Cikande2015 11,44 4,42 Lebak Wangi 19,53 Tirtayasa
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa angka prevalensi diare tertinggi
selama tiga tahun terakhir terjadi di Kecamatan Bandung (2013),
Kecamatan Cikande (2014), dan Kecamatan Tirtayasa (2015). Sementara
itu, angka prevalensi diare balita terendah hanya terjadi di dua kecamatan
yaitu Kecamatan Pulo Ampel (2013) dan Kecamatan Lebak Wangi (2014
dan 2015). Secara temporal, jumlah kasus diare pada anak balita dapat
dilihat pada Grafik berikut ini.
Grafik 5.3 menunjukkan bahwa secara temporal, tidak terbentuk
pola yang sama pada kasus diare balita setiap tahunnya. Pada tahun 2013,
terlihat jelas bahwa kasus diare balita lebih banyak di awal tahun, namun
pada tahun 2014 dan tahun 2015 pola peningkatan kasus diare balita tidak
0500
100015002000250030003500
Jum
lah
Kasu
s Dia
re
Bulan
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
Grafik 5.3 Jumlah Kasus Diare Balita Berdasarkan Bulan diKabupaten Serang Tahun 2013-2015
56
terlalu terlihat perbedaannya. Namun, secara keseluruhan, Tabel 5.1 dan
grafik 5.3 juga menunjukkan bahwa secara temporal kejadian diare balita di
Kabupaten Serang mengalami penurunan sejak tahun 2013 hingga tahun
2015. Meskipun mengalami penurunan angka kejadian, namun kasus diare
balita masih tergolong tinggi karena melebihi angka perkiraan kasus yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.
Target yang ditentukan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes) No. 828 Tahun 2008 untuk penemuan dan pelayanan kasus
diare adalah 10% dari jumlah populasi yang berisiko, yang dalam penelitian
ini adalah anak balita berusia 0-4 tahun yang terlampir pada lampiran 1.
Berdasarkan Kepmenkes tersebut, dapat dikatakan apabila angka prevalensi
kasus diare telah melebihi angka 10% maka dapat dikategorikan sebagai
kasus diare yang tergolong tinggi (Irianti, et al., 2014). Adapun jumlah
kecamatan yang termasuk dalam kategori prevalensi tinggi ditunjukkan
pada grafik 5.4 berikut.
Grafik 5.4 Distribusi Jumlah Kecamatan di Kabupaten Serang BerdasarkanPrevalensi Kasus Diare Balita Tahun 2013-2015
21 2119
7 810
0
5
10
15
20
25
2013 2014 2015
JUM
LAH
KECA
MAT
AN
TAHUNPrevalensi Tinggi (≥10%) Prevalensi Rendah (<10%)
57
Grafik 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan di
Kabupaten Serang termasuk dalam kategori prevalensi diare balita tinggi
sejak tahun 2013 sampai dengan tahun 2015. Berdasarkan jumlahnya,
hampir tidak ada perbedaan jumlah kecamatan yang memiliki prevalensi
diare balita pada tiga tahun terakhir. Adapun distribusi diare balita dengan
prevalensi tinggi berdasarkan wilayah kecamatan dapat dilihat pada Peta 5.3
berikut ini.
Peta 5.3 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita di Kabupaten Serang Tahun2013-2015
58
Peta 5.3 menunjukkan bahwa wilayah kecamatan yang ditandai
dengan warna merah merupakan kecamatan yang memiliki prevalensi diare
balita tinggi lebih dari 10% dari jumlah keseluruhan balita seperti yang
terlampir pada lampiran 1. Adapun kecamatan yang ditandai dengan warna
merah pudar merupakan kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita
rendah. Berdasarkan Peta 5.3 juga dapat diketahui bahwa daerah yang
memiliki prevalensi diare balita tinggi hampir tersebar di seluruh bagian
Kabupaten Serang.
Secara spasial, lokasi daerah dengan prevalensi diare balita tinggi
juga cenderung berdekatan dengan daerah lainnya yang memiliki prevalensi
diare balita tinggi. Selain itu, jika diperhatikan, daerah dengan diare balita
tinggi banyak berada di kecamatan yang termasuk sebagai daerah aliran
sungai-sungai utama (DAS), yaitu di wilayah bagian timur Kabupaten
Serang (DAS Ciujung-Cidurian) dan wilayah bagian barat Kabupaten
Serang (DAS Cidanau).
Secara temporal, dapat dilihat bahwa sebaran kecamatan dengan
prevalensi diare balita tinggi cenderung berkurang dari tahun 2013 sampai
dengan tahun 2015 meskipun tidak terlalu signifikan. Selain itu, terdapat
beberapa kecamatan yang selalu memiliki angka kejadian balita tinggi
selama tiga tahun terakhir, di antaranya adalah Kecamatan Tirtayasa,
Pontang, Tanara, Bojonegara, Carenang, Cinangka, Padarincang, Pabuaran,
Tanjung Teja, Pamayaran, Jawilan, Bandung, Cikande, Kibin, dan Kragilan.
Sebaliknya, hanya ada 3 kecamatan yang selalu memiliki angka prevalensi
59
diare balita rendah dalam tiga tahun terakhir, yaitu Kecamatan Ciruas,
Kecamatan Kopo, dan Kecamatan Lebak Wangi.
Pada tahun 2013, hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Serang
termasuk daerah dengan prevalensi diare balita tinggi, yaitu sebanyak 21
kecamatan. Daerah-daerah tersebut secara spasial tersebar merata di seluruh
bagian wilayah Kabupaten Serang. Selain itu juga terdapat 7 kecamatan
yang merupakan daerah dengan prevalensi diare balita rendah, di antaranya
adalah Kecamatan Pulo Ampel, Anyar, Mancak, Ciruas, Cikeusal, Binuang,
dan Kopo.
Pada tahun 2014, jumlah kecamatan dengan prevalensi diare balita
yang tinggi tidak jauh berbeda dengan tahun 2013, namun terdapat perbedaan
pada sebaran kasusnya. Beberapa kecamatan mengalami peningkatan angka
kejadian diare balita dari yang sebelumnya rendah (<10%) menjadi tinggi
(≥10%) di antaranya adalah Kecamatan Pulo Ampel, Kecamatan Anyar, dan
Kecamatan Mancak. Sebaliknya, juga terdapat kecamatan yang mengalami
penurunan angka kejadian diare balita hingga tergolong sebagai kecamatan
dengan prevalensi diare rendah, di antaranya adalah Kecamatan Waringin
Kurung, Kecamatan Gunung Sari, Kecamatan Ciomas, dan Kecamatan Petir.
Selain itu, terdapat kecamatan yang baru terbentuk yaitu Kecamatan Lebak
Wangi yang memiliki prevalensi diare rendah, sehingga jumlah kecamatan
dengan diare balita rendah bertambah.
Pada tahun 2015, jumlah kecamatan dengan angka kejadian diare
balita tinggi mengalami penurunan. Beberapa kecamatan mengalami
penurunan angka kejadian diare balita dari yang sebelumnya tinggi (≥10%)
60
menjadi rendah (<10%) di antaranya adalah Kecamatan Baros, Kecamatan
Kramat Watu, Kecamatan Pulo Ampel, serta Kecamatan Anyar. Selain itu
juga terdapat beberapa kecamatan yang mengalami peningkatan prevalensi
diare balita, di antaranya adalah Kecamatan Ciomas dan Kecamatan
Waringin Kurung yang dapat dilihat pada Lampiran 1.
5.3 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Air Minum Layak
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan menunjukkan informasi
terkait akses masyarakat terhadap air minum yang berkualitas dan memenuhi
syarat kesehatan (layak) di Kabupaten Serang tahun 2013-2015. Data tersebut
didapatkan dari pemeriksaan rutin yang dilakukan oleh petugas sanitarian
Puskesmas dan Pustu serta dibantu oleh kader kesehatan yang sudah terlatih
dengan cara melakukan pemeriksaan ke rumah penduduk, wawancara, serta
pengambilan sampel air minum dari sumber yang digunakan. Data yang
dikumpulkan oleh petugas Puskesmas tersebut kemudian dilaporkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten Serang secara rutin. Adapun distribusinya dapat
dilihat pada tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Distribusi Persentase Akses Air Minum pada Masyarakat diKabupaten Serang Tahun 2013-2015
TahunAkses Air Minum (%)
KabupatenSerang Min Kecamatan Maks Kecamatan
2013 67,03 47,63 Cinangka 88,17 Kramat Watu2014 74,49 51,53 Pulo Ampel 92,5 Kragilan2015 73,00 46,91 Lebak Wangi 90,29 Kramat Watu
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap air
minum yang di Kabupaten Serang mengalami peningkatan dari tahun 2013
hingga tahun 2014, namun mengalami penurunan pada tahun 2015.
61
Terdapat dua kecamatan dengan akses air minum tertinggi, yaitu Kecamatan
Kramat Watu (tahun 2013 dan 2015) dan Kecamatan Kragilan (2014).
Adapun kecamatan dengan persentase akses air minum terendah yaitu
Kecamatan Cinangka (2013), Kecamatan Pulo Ampel (2014) dan
Kecamatan Lebak Wangi (2015).
Target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap
akses air minum pada masyarakat adalah 68,87%. Target ini dibuat dalam
rangka menurunkan proporsi penduduk tanpa akses air minum layak yang
mengacu pada pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) hingga
tahun 2015 (Kemenkes RI , 2013). Berdasarkan target tersebut, maka
kecamatan dengan persentase akses air minum yang sudah mencapai angka
68,87% dikategorikan sebagai daerah dengan akses air minum tinggi,
sementara kecamatan yang belum mencapai akses air minum 68,87%
dikategorikan sebagai daerah dengan akses air minum rendah.
Berdasarkan target yang telah ditetapkan, maka persentase akses air
minum di Kabupaten Serang pada tahun 2013 masih termasuk dalam
kategori rendah, namun terjadi peningkatan pada tahun 2014. Peningkatan
akses air minum tersebut menjadikan Kabupaten Serang secara keseluruhan
telah memenuhi target sehingga termasuk dalam akses air minum yang
tinggi. Meskipun pada tahun 2015 kembali mengalami penurunan, namun
masih melebihi target Pemerintah. Adapun jumlah kecamatan yang telah
memenuhi target akses masyarakat terhadap akses air minum layak dapat
dilihat pada grafik 5.5 berikut ini.
62
Grafik 5.5 Distribusi Jumlah Kecamatan Berdasarkan Akses Air Minum diKabupaten Serang Tahun 2013-2015
Grafik 5.5 menunjukkan bahwa jumlah kecamatan yang telah
memenuhi target akses air minum pada masyarakat mengalami peningkatan
sejak tahun 2013 hingga tahun 2015. Pada tahun 2013, Kecamatan dengan
akses air minum rendah lebih banyak dibandingkan dengan kecamatan yang
memiliki akses air minum tinggi. Sementara pada tahun berikutnya, seiring
dengan peningkatan persentase akses air minum yang ditunjukkan pada
tabel 5.2, jumlah kecamatan yang memiliki akses air minum tinggi juga
semakin bertambah. Adapun sebaran akses air minum pada masyarakat di
Kabupaten Serang berdasarkan wilayah kecamatan dapat dilihat pada peta
5.4 berikut ini.
15
12 1213
17 17
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
2013 2014 2015
JUM
LAH
KECA
MAT
AN
TAHUNRendah (<68,87%) Tinggi (≥68,87%)
63
Peta 5.4 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita Berdasarkan Akses AirMinum Layak di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015
Peta 5.4 menunjukkan bahwa daerah kecamatan yang berwarna
cokelat merupakan kecamatan yang memiliki akses air minum tinggi,
sementara daerah kecamatan yang berwarna kuning merupakan kecamatan
yang memiliki akses air minum rendah. Secara spasial, daerah yang memiliki
akses rendah terhadap air minum layak tersebar di beberapa wilayah bagian
utara dan selatan Kabupaten Serang. Selain itu, jika diperhatikan, daerah
dengan akses air minum rendah cenderung berdekatan dengan daerah lainnya
yang memiliki akses air minum rendah.
64
Secara temporal, daerah dengan akses air minum rendah berkurang
dari tahun 2013 hingga tahun 2015. Terdapat beberapa kecamatan yang selalu
memiliki akses air minum rendah, yaitu Kecamatan Pulo Ampel, Bojonegara,
Pontang, Tirtayasa, Tanara, Pabuaran, Baros, Cikeusal, dan Bandung.
Hampir seluruh daerah kecamatan yang memiliki akses air minum yang
rendah juga memiliki angka prevalensi diare balita yang tinggi selama tiga
tahun terakhir, kecuali Kecamatan Baros dan Kecamatan Cikeusal.
Pada tahun 2013, sebagian besar kecamatan dengan akses air minum
rendah memiliki angka prevalensi diare balita tinggi. Hal ini ditunjukkan dari
28 jumlah kecamatan yang diamati, terdapat 15 kecamatan yang memiliki
akses air minum rendah atau memiliki persentase kurang dari 68,87%.
Apabila dibandingkan dengan angka prevalensi diare balita, dari 15
kecamatan yang memiliki akses air minum rendah, terdapat 13 kecamatan
yang memiliki angka prevalensi diare balita tinggi.
Pada tahun 2014, sebagian besar kecamatan dengan akses air minum
rendah juga memiliki angka prevalensi diare balita yang tinggi meskipun
jumlah kecamatan dengan akses air minum rendah berkurang dari tahun
sebelumnya. Hal ini karena terdapat kecamatan yang sebelumnya memiliki
akses air minum rendah menjadi tinggi, di antaranya adalah Kecamatan
Gunung Sari, Kecamatan Tanung Teja, dan Kecamatan Pamarayan.Secara
keseluruhan, jumlah kecamatan yang diamati pada tahun 2014 bertambah dari
sebelumnya menjadi 29 kecamatan. Dari 29 kecamatan yang diamati, terdapat
12 kecamatan dengan akses air minum rendah dan 11 kecamatan di antaranya
memiliki angka prevalensi diare balita yang tinggi.
65
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2015 sebagian
besar kecamatan yang memiliki akses air minum tinggi justru memiliki angka
prevalensi diare yang rendah. Dari 29 kecamatan yang diamati, terdapat 12
kecamatan yang memiliki akses air minum yang rendah, dan di antaranya
hanya 7 kecamatan yang memiliki angka prevalensi diare balita yang tinggi.
Terdapat kecamatan yang sebelumnya memiliki persentase akses air minum
rendah menjadi tinggi pada tahun 2015 namun angka prevalensi diare balita
masih tetap tinggi, yaitu Kecamatan Cinangka dan Kecamatan Padarincang.
5.4 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Jamban Sehat
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan menunjukkan informasi
terkait akses sanitasi layak (jamban sehat) pada masyarakat di Kabupaten
Serang Tahun 2014-2015. Data akses jamban sehat pada tahun 2013 tidak
digunakan karena adanya perbedaan kriteria dalam penilaian akses jamban
sehat dengan tahun-tahun setelahnya, sehingga tidak dapat dilakukan
perbandingan. Selain itu, kriteria yang digunakan dalam penilaian akses
jamban sehat pada tahun 2013 juga tidak sesuai dengan definisi operasional
dalam penelitian ini.
Pada tahun 2013, kriteria dalam penilaian jamban sehat hanya sebatas
ketersediaan jamban (ada dan tidak ada) berdasarkan jenis jamban yang
termasuk jamban sehat di setiap rumah tangga. Pada tahun 2014 dan 2015,
kriteria jamban sehat juga mencakup jenis jamban yang digunakan sesuai
kriteria Joint Monitoring Program WHO (improved dan unimproved) yaitu
terdiri dari jamban leher angsa yang dihalirkan melalui sewer terpusat,
jamban leher angsa yang memiliki tangki septik untuk saluran air limbahnya,
66
jamban cubluk dengan ventilasi dan dudukan, serta jamban kompos. Selain
itu juga terdapat aspek jumlah pengguna (anggota keluarga yang
menggunakan jamban improved) dalam satu keluarga.
Jamban Sehat merupakan indikator yang digunakan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Serang untuk mengukur akses sanitasi layak pada
masyarakat. Data tersebut didapatkan dari pemeriksaan rutin yang dilakukan
oleh petugas sanitarian Puskesmas dan Pustu serta dibantu oleh kader
kesehatan yang sudah terlatih dengan cara melakukan pemeriksaan ke rumah
penduduk dan melakukan wawancara. Data yang dikumpulkan oleh petugas
Puskesmas tersebut kemudian dilaporkan kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten Serang secara rutin. Adapun distribusinya dapat dilihat pada tabel
5.3 berikut ini.
Tabel 5.3 Distribusi Persentase Akses Jamban Sehat pada Masyarakat diKabupaten Serang Tahun 2013-2015
TahunAkses Jamban Sehat (%)
Kabupaten Serang Min Kecamatan Maks Kecamatan2014 63.6 37.5 Lebak Wangi 88.2 Tanjung Teja2015 63 40.21 Lebak Wangi 88.65 Pabuaran
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa persentase akses masyarakat
terhadap jamban sehat di Kabupaten Serang hampir tidak mengalami
perbedaan dari tahun 2014 hingga tahun 2015. Kecamatan dengan akses
jamban sehat tertinggi berada di Kecamatan Tanjung Teja (2014) dan
Kecamatan Pabuaran (2015). Sementara itu hanya terdapat satu kecamatan
yang memiliki akses jamban sehat terendah, yaitu Kecamatan Lebak Wangi
(2014 dan 2015).
67
Target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap
akses sanitasi layak pada masyarakat adalah 62,41%. Target ini dibuat
dalam rangka menurunkan proporsi penduduk tanpa akses sanitasi layak
(jamban sehat) yang mengacu pada pencapaian Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs) hingga tahun 2015 (Kemenkes RI , 2013). Berdasarkan
target tersebut, maka daerah dengan persentase akses sanitasi layak yang
sudah memenuhi target dikategorikan sebagai daerah dengan akses sanitasi
layak tinggi, sementara daerah yang belum memenuhi target dikategorikan
sebagai daerah dengan akses sanitasi layak rendah.
Berdasarkan target tersebut, maka pada dasarnya akses sanitasi
layak yang dalam hal ini adalah akses masyarakat terhadap jamban sehat
pada masyarakat di Kabupaten serang sejak tahun 2014 sampai dengan 2015
sudah tergolong tinggi. Meskipun begitu, namun masih banyak wilayah
berdasarkan kecamatan yang belum memenuhi target akses air jamban sehat
yang diharapkan. Adapun jumlah kecamatan yang telah memenuhi target
akses masyarakat terhadap jamban sehat dapat dilihat pada grafik 5.6
berikut ini.
Grafik 5.6 Distribusi Jumlah Kecamatan Berdasarkan Akses JambanSehat di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015
22 22
7 7
0
5
10
15
20
25
2014 2015
JUM
LAH
KECA
MAT
AN
TAHUNRendah (< 62.41) Tinggi (≥ 62.41)
68
Grafik 5.6 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah
kecamatan yang telah memenuhi target akses jamban sehat pada masyarakat
sejak tahun 2014 hingga tahun 2015. Adapun sebaran akses jamban sehat
pada masyarakat di Kabupaten Serang berdasarkan wilayah kecamatan
dapat dilihat pada peta 5.5 berikut ini.
Peta 5.5 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita Berdasarkan Akses JambanSehat di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015
Peta 5.5 menunjukkan bahwa daerah kecamatan yang berwarna hijau
muda merupakan kecamatan yang memiliki akses rendah terhadap jamban
69
sehat, sementara daerah kecamatan yang berwarna hijau tua merupakan
kecamatan yang memiliki akses jamban sehat yang tinggi. Secara spasial,
tidak ada perbedaan sebaran daerah dengan akses jamban sehat rendah antara
tahun 2014 dah tahun 2015. Selain itu, daerah dengan akses jamban sehat
rendah cenderung berdekatan dengan daerah lainnya yang memiliki akses
jamban sehat rendah. .
Sebagian besar kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita
tinggi tersebar di daerah yang memiliki akses jamban sehat rendah.
Kecamatan yang diamati pada untuk variabel akses jamban sehat pada tahun
2014 dan tahun 2015 berjumlah 29 kecamatan dan terdapat 22 kecamatan
yang masih memiliki akses jamban sehat yang rendah. Dari 22 kecamatan
yang memiliki akses jamban sehat rendah, pada tahun 2014 terdapat 14
kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita tinggi, dan pada tahun 2015
terdapat 13 kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita tinggi.
5.5 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Daerah Rawan Banjir
Hasil penelitian yang telah dilaksanakan menunjukkan informasi
terkait daerah kecamatan rawan banjir di Kabupaten Serang Tahun 2013-
2015. Banjir merupakan salah satu bencana yang cukup sering terjadi di
Kabupaten Serang pada bulan-bulan tertentu, umumnya saat curah hujan dan
jumlah hari hujan yang tinggi. Berdasarkan laporan data kejadian bencana,
banjir di Kabupaten Serang lebih banyak terjadi di awal tahun dan akhir tahun.
Banjir pada tahun 2013 terjadi pada bulan Januari dan April, sementara pada
tahun 2014 terjadi pada bulan Januari, Februari, Juli, November, dan
70
Desember. Adapun kejadian banjir pada tahun 2015 lebih banyak Januari,
Februari, Maret, dan Desember.
Daerah rawan banjir ditetapkan oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kabupaten Serang berdasarkan perhitungan risiko terhadap
kejadian banjir setiap tahunnya. Pehitungan risiko banjir dilakukan dengan
cara membandingkan jumlah kejadian banjir di tahun tersebut dikalikan
dengan perbandingan besarnya kerentanan dengan kapasitas wilayah tersebut.
Adapun distribusinya dapat dilihat pada grafik 5.7 berikut ini.
Grafik 5.7 Distribusi Jumlah Kecamatan Berdasarkan Daerah Rawan Banjir diKabupaten Serang Tahun 2013-2015
Grafik 5.7 menunjukkan bahwa jumlah kecamatan yang telah
ditetapkan sebagai daerah rawan banjir oleh BPBD Kabupaten Serang
mengalami fluktuasi dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015. Pada tahun
2013, jumlah kecamatan yang dinyatakan rawan banjir adalah 13 kecamatan,
lebih sedikit dari kecamatan yang tidak rawan terhadap banjir. Pada tahun
berikutnya, kecamatan yang dinyatakan rawan terhadap banjir berkurang
jumlahnya meskipun tidak terlalu berbeda dengan tahun berikutnya. Hingga
1311
1315
1816
0
5
10
15
20
2013 2014 2015
JUM
LAH
KECA
MAT
AN
TAHUN
Rawan Banjir Tidak Rawan Banjir
71
tahun 2015, daerah yang ditetapkan sebagai daerah rawan banjir kembali
mengalami peningkatan. Adapun sebarannya dapat dilihat pada peta 5.6
berikut ini.
Peta 5.6 Perkembangan Spasial Prevalensi Diare Balita Berdasarkan Daerah RawanBanjir di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015
Peta 5.6 menunjukkan bahwa daerah kecamatan yang berwarna
cokelat merupakan kecamatan yang ditetapkan sebagai daerah rawan banjir,
sementara daerah kecamatan yang berwarna cokelat muda merupakan
kecamatan yang tidak menjadi daerah rawan banjir. Secara spasial,
72
kecamatan yang merupakan daerah rawan banjir tersebar di beberapa
wilayah yang sebagian besarnya merupakan daerah yang termasuk dalam
daerah aliran sungai Ciujung yaitu di wilayah bagian timur Kabupaten
Serang. Selain itu, meskipun terdapat perubahan sebaran daerah rawan
banjir setiap tahun, namun apabila diperhatikan, kecamatan yang menjadi
rawan banjir memiliki lokasi yang cenderung berdekatan.
Berdasarkan peta 5.6 juga dapat dilihat bahwa sebagian besar daerah
rawan banjir merupakan daerah yang memiliki prevalensi diare balita tinggi.
Pada tahun 2013, dari 28 kecamatan yang diamati, terdapat 13 daerah rawan
banjir yang dan 10 di antaranya merupakan daerah yang memiliki prevalensi
diare tinggi. Pada tahun 2014, dari 29 kecamatan yang diamat terdapat 11
kecamatan yang merupakan daerah rawan banjir, dan hampir seluruhnya
merupakan daerah dengan angka prevalensi diare balita tinggi kecuali
Kecamatan Kopo. Pada tahun 2015, jumlah daerah kecamatan yang rawan
banjir kembali bertambah menjadi 13 kecamatan dan 10 di antaranya
merupakan daerah dengan angka prevalensi diare balita tinggi.
73
BAB VI
PEMBAHASAN
6 PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini baik pada data
hingga analisis yang digunakan. Adapun keterbatasan dalam penelitian di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder sehingga
peneliti harus melakukan cleaning data serta melakukan wawancara pada
penyedia data untuk memastikan validitas data yang digunakan.
Penggunaan data sekunder ini juga berisiko timbulnya bias informasi.
2) Variabel jamban sehat hanya dapat dianalisis dari tahun 2014-2015 karena
adanya perbedaan standar dan kriteria yang digunakan dalam
pengumpulan data jamban sehat pada tahun 2013 dan tahun selanjutnya
sehingga tidak dapat dilakukan perbandingan.
3) Terdapat perubahan wilayah administrasi yang diamati pada tahun 2013
yang terdiri dari 28 Kecamatan, dan pada tahun 2014-2015 yang terdiri
dari 29 Kecamatan. Adanya perubahan wilayah administrasi dapat
menimbulkan bias informasi, karena adanya perubahan struktur
pemerintahan serta struktur pelayanan masyarakat di wilayah yang
mengalami perubahan sehingga mempengaruhi kualitas data yang diamati.
4) Unit analisis penelitian ini hanya sebatas wilayah kecamatan. Hal ini
dikarenakan jenis data yang tersedia di Dinas Kesehatan Kabupaten
Serang merupakan laporan yang berasal dari puskesmas kecamatan,
74
sehingga data yang tersedia merupakan data kecamatan. Akan lebih baik
jika unit analisis dalam penelitian ini diperkecil hingga batas desa karena
masih ada kemungkinan adanya perbedaan karakteristik wilayah desa
dalam satu kecamatan.
6.2 Gambaran Kasus Diare Balita di Kabupaten Serang
Kasus diare balita di Kabupaten Serang cenderung mengalami
penurunan dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015. Penurunan kasus diare
balita dapat dilihat pada tabel 5.1 yang menunjukkan bahwa angka prevalensi
diare balita pada tahun 2013 mencapai 14,44% dengan jumlah kasus tertinggi
di Kecamatan Bandung yaitu dengan prevalensi sebesar 44,76 %. Pada tabel
5.1 juga terlihat penurunan angka prevalensi diare balita yang cukup besar
dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2014 dan 2015. Tingginya angka
prevalensi diare balita pada tahun 2013 ini selain karena distribusi kasus diare
yang cenderung lebih tinggi di beberapa kecamatan juga dapat dipengaruhi
oleh angka kasus terbanyak pada tahun 2013 di kecamatan Bandung yang
sangat tinggi dibandingkan dengan distribusi kasus terbanyak pada tahun
2014 dan tahun 2015.
Meskipun mengalami penurunan angka kejadian, diare pada anak
balita di Kabupaten Serang secara keseluruhan masih tergolong tinggi. Hal
ini dikarenakan angka kejadian secara keseluruhan melebihi target
pemerintah dalam penemuan kasus diare yaitu 10% dari populasi yang
berisiko (Kemenkes RI, 2008). Tingginya angka kasus diare balita yang
ditemukan ini memungkinkan adanya beberapa kasus dengan individu yang
sama, karena kasus diare yang dicatat di pelaporan sarana kesehatan
75
umumnya merupakan kasus diare akut yang dapat terjadi secara berulang
pada individu yang sama. Hal ini didukung oleh pernyataan WHO bahwa
rata-rata anak di usia kurang dari 3 tahun di negara berkembang mengalami
3 kali episode diare dalam satu tahun (Kemenkes RI, 2011).
Diperkirakan kasus diare pada balita yang ada di Kabupaten Serang
sebenarnya melebihi angka yang tercantum pada tabel 5.1. Hal ini
dikarenakan kasus diare balita yang tercatat hanya berdasarkan laporan
temuan kasus dari kader kesehatan dan pencatatan kasus yang datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan (Puskesmas dan Pustu). Selain itu, diare pada
dasarnya merupakan masalah kesehatan yang sudah umum terjadi di
masyarakat serta penatalaksanaannya dapat dilakukan sendiri menggunakan
obat modern maupun obat tradisonal.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa secara umum, 46,6%
balita yang menderita diare pernah menjalani pengobatan sendiri yang
dilakukan oleh keluarga. Sementara itu, dalam penelitian yang sama juga
disebutkan bahwa hanya 67% balita yang menderita diare melakukan
perawatan jalan ke pelayanan kesehatan. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh
kondisi alam dan kondisi sosial masyarakat yang ada di lingkungan tempat
tinggal balita (Djaja, et al., 2002).
Berdasarkan kondisi geografisnya, Kabupaten Serang merupakan
bagian dari Republik Indonesia yang memiliki kondisi iklim tropis sehingga
wilayah ini berpotensi menjadi wilayah yang endemis terhadap diare
khususnya pada anak balita. Diare merupakan salah satu penyakit yang
endemis di daerah yang beriklim tropis, karena kondisi iklim ini merupakan
76
kondisi yang optimal untuk pertumbuhan bakteri penyebab diare seperti
E.coli (Widoyono, 2011). Hal ini dikarenakan beberapa jenis bakteri dapat
tumbuh dengan baik dalam kondisi suhu yang tidak terlalu tinggi dan tidak
terlalu rendah, lembab, dan basah atau berada di kawasan perairan
(Melliawati, 2009).
Kabupaten Serang memiliki suhu udara ambien yang berkisar antara
23,4 oC – 31,8 oC (BPS Kabupaten Serang, 2016). Kisaran suhu tersebut
termasuk dalam kategori suhu optimal untuk pertumbuhan agen infeksius
diare. Sebagian besar jenis bakteri termasuk E.coli dapat tumbuh baik pada
suhu 80-460C. Bakteri yang dipelihara di bawah suhu minimum atau sedikit
di atas suhu maksimum tidak akan segera mati melainkan berada di dalam
keadaan tidur atau dorman (Melliawati, 2009). Kabupaten Serang juga
memiliki kelembaban udara relatif yang cukup tinggi yaitu antara 64-97%
(BPS Kabupaten Serang, 2016). Kondisi tersebut cenderung disenangi untuk
pertumbuhan mikroorganisme baik itu bakteri, virus maupun parasit
(Gillespie & Bamford, 2009).
Kondisi perairan yang ada di Kabupaten Serang juga dapat menjadi
salah satu sumber potensi endemisnya kasus diare balita. Hasil penelitian
yang ditunjukkan pada peta 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar
kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita tinggi berada di wilayah
yang merupakan daerah aliran sungai seperti ditunjukkan pada peta 5.2, di
antaranya adalah DAS Ciujung dan DAS Cidurian yang berada di bagian
timur Kabupaten Serang, serta DAS Cidanau yang berada di bagian barat
Kabupaten Serang.
77
Berdasarkan laporan dari Dewan Sumber Daya Air Nasional
(DSDAN), infrastruktur yang telah dibangun di wilayah sungai Ciujung,
Cidurian, dan Cidanau dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan masyarakat
untuk keperluan irigasi, air baku untuk air minum dan industri, ketenagaan,
perikanan, penggelontoran dan pariwisata. Namun, dikarenakan belum
optimalnya pengelolaan limbah industri, limbah air domestik dan limbah
peternakan, adanya sisa penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian, serta
pengelolaan limbah padat yang belum optimal menyebabkan penurunan
kualitas ketiga sungai tersebut sehingga termasuk dalam kondisi tercemar
sedang. Selain itu, belum adanya penetapan batas pemanfaatan daerah
sempadan sungai menyebabkan banyaknya kawasan pemukiman di sekitar
sungai yang belum memenuhi daya dukung lingkungan (DSDAN, 2014).
Sungai besar beserta sungai-sungai kecil lainnya yang mengaliri
Kabupaten Serang dapat menjadi media transmisi agen infeksius diare yang
bersumber dari air limbah rumah tangga, limbah industri maupun limbah
ternak. Jarak sungai dengan tempat tinggal masyarakat dapat berpengaruh
terhadap terjadinya diare karena agen berupa mikroorganisme maupun bahan
kimia pada sungai dapat mencemari sumber air utama (sumur) yang
digunakan oleh masyarakat terlebih di daerah bagian hilir (Yuniarno, 2005).
Terlebih, apabila sungai tersebut meluap dan menyebabkan banjir dapat
menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas dan akses air dan sanitasi
pada masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai (Kodoatie & Sugiyanto,
2002)
78
Secara administratif, sebagian besar wilayah di Kabupaten Serang
merupakan daerah yang termasuk dalam klasifikasi pedesaan (rural) sehingga
juga dapat menjadi salah satu daerah yang endemis terhadap diare (BPS
Kabupaten Serang, 2016). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, penyakit
diare infeksius pada anak balita secara geografis cenderung lebih banyak
tersebar di daerah dengan klasifikasi pedesaan dibandingkan dengan
perkotaan (Clasen, et al., 2012). Hasil penelitian lainnya yang dilakukan di
Haiti juga menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara geografis
terhadap sebaran morbiditas dan mortalitas diare, dimana daerah yang
merupakan pedesaan (terpencil) lebih berisiko dengan angka kejadian diare
yang tinggi (Page, et al., 2015).
Perbedaan karakteristik antara wilayah perkotaan dan perdesaan baik
secara sosial, budaya maupun lingkungan dapat memengaruhi perkembangan
penyakit di wilayah tersebut. Masyarakat di daerah pedesaan cenderung
mempertahankan budaya dan kebiasaan yang ada, di antaranya adalah
penggunaan sarana sanitasi yang tidak adekuat dan perilaku hygiene yang
rendah sehingga penyakit infeksi masih berkembang di daerah pedesaan
(Yassi, et al., 2001; Clasen, et al., 2012). Selain itu, daerah rural juga
cenderung identik dengan rendahnya kepadatan penduduk dan transportasi
yang jarang serta jarak yang cukup jauh terhadap fasilitas umum termasuk
sarana kesehatan, sehingga menyebabkan rendahnya akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu, kondisi ini juga dapat menjadi
hambatan bagi petugas kesehatan dalam melakukan sosialisasi terkait
perilaku sehat kepada masyarakat di pedesaan (Page, et al., 2015).
79
Mengetahui bahwa sebagian besar Kabupaten Serang memiliki
kondisi yang berpotensi sebagai wilayah yang endemis terhadap diare balita,
Dinas Kesehatan Kabupaten Serang perlu meningkatkan upaya preventif dan
promotif dalam pengendalian penyakit diare pada anak balita. Selain itu,
karena wilayah Kabupaten Serang memiliki cakupan daerah yang luas,
peneliti menyarankan untuk menentukan wilayah prioritas untuk melakukan
upaya tersebut dengan memanfaatkan sistem informasi geografi. Daerah
yang diprioritaskan tersebut juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor
yang diperkirakan mempengaruhi tingginya kasus diare pada balita. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa wilayah yang berada di daerah aliran
sungai utama dapat dijadikan wilayah prioritas dalam upaya preventif
pengendalian penyakit diare pada balita.
6.3 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Air Minum Layak
Air minum merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat
mendasar. Hal inilah yang menjadi alasan utama untuk menjaga kualitas dan
kuantitas air minum secara berkelanjutan pada masyarakat agar tidak menjadi
media penularan penyakit. Oleh karena itu, perlu adanya monitoring yang
dilakukan oleh instansi atau badan yang berwenang untuk memastikan bahwa
masyarakat mendapatkan air minum yang layak berdasarkan kuantitas
maupun kualitasnya.
Pemeriksaan terhadap akses air minum yang layak pada masyarakat
di Kabupaten Serang menjadi wewenang Dinas Kesehatan dengan unit
pelaksana teknisnya adalah pelaksana program kesehatan lingkungan di
Puskesmas yang ada di setiap kecamatan. Indikator yang digunakan untuk
80
mengukur kualitas air minum yang digunakan oleh masyarakat adalah
kelayakan sumber air minum yang digunakan, kuantitas atau banyaknya air
yang dapat diakses (dalam liter), serta kualitas air minum berdasarkan
parameter fisik, kimia dan biologi dari sampel air minum yang diambil
(Kemenkes RI , 2011).
Dinas Kesehatan Kabupaten Serang hingga saat ini belum
menetapkan standar atau target untuk menentukan pencapaian akses air
minum layak pada masyarakat di daerah Kabupaten Serang. Oleh karena itu,
pencapaian akses air minum tersebut ditentukan berdasarkan target nasional.
Target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap akses air
minum pada masyarakat adalah 68,87%. Target ini dibuat dalam rangka
menurunkan proporsi penduduk tanpa akses air minum layak yang mengacu
pada pencapaian MDGs hingga tahun 2015 (Kemenkes RI , 2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di beberapa
kecamatan di Kabupaten Serang masih memiliki akses yang rendah terhadap
air minum layak dan berkelanjutan. Kecamatan tersebut secara spasial
tersebar di bagian utara maupun bagian selatan wilayah Kabupaten Serang
seperti yang ditunjukkan pada peta 5.4. Sebarannya mengalami pengurangan
dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015, khususnya di bagian selatan
Kabupaten Serang yaitu pada Kecamatan Cinangka dan Kecamatan
Padarincang. Pada tahun 2014, akses air minum di Kecamatan Cinangka
sebesar 60,19% dan di Kecamatan Padarincang sebesar 65,07% sementara
pada tahun 2015, akses air minum di Kecamatan Cinangka meningkat hingga
70,37% dan di Kecamatan Padarincang mencapai 76,37%. Hal ini
81
menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang cukup tinggi terhadap akses
air minum layak pada masyarakat di kedua kecamatan tersebut.
Salah satu upaya pemerintah daerah Kabupaten Serang dalam
peningkatan akses air minum layak adalah dengan cara mendistribusikan air
minum layak melalui jaringan perpipaan. Upaya ini diselenggarakan oleh
perusahaan air minum milik daerah Kabupaten Serang. Namun, hingga saat
ini, distribusi air minum melalui jaringan perpipaan belum menyeluruh ke
beberapa daerah, sehingga masih ada beberapa daerah yang memiliki akses
air minum layak sesuai dengan target.
Salah satu peran Dinas Kesehatan (Dinkes) dalam hal ini adalah
pemberian rekomendasi berdasarkan hasil pemeriksaan akses air minum
masyarakat kepada penyelenggara air minum. Berdasarkan Pedoman Sistem
Surveilans Air Minum dan Sanitasi, rekomendasi ini seharusnya diberikan
dalam bentuk pemetaan hasil inspeksi air minum dalam bentuk catatan
beserta peta yang sesuai dengan wilayah desa atau kecamatan (Kemenkes RI ,
2011). Berdasarkan pemaparan petugas Kesehatan Lingkungan Dinkes
Kabupaten Serang, rekomendasi hasil pemeriksaan akses air minum masih
masih dilakukan menggunakan data tabular, dan belum dilakukan pemetaan
sesuai dengan pedoman tersebut. Oleh karena itu, disarankan bagi Dinkes
Kabupaten Serang untuk melakukan pemetaan hasil pemeriksaan akses air
minum pada masyarakat sesuai dengan pedoman yang ada.
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa air minum
memiliki pengaruh terhadap kejadian diare pada anak balita baik berdasarkan
kualitas maupun kuantitasnya. Hasil analisis multivariat terhadap data
82
Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa anak balita dari keluarga dengan
akses air minum unimproved (tidak layak dan berkelanjutan) memiliki odds
1,91 kali untuk menderita diare dibandingkan dengan balita dari keluarga
dengan air minum improved (layak dan berkelanjutan) setelah dikontrol
dengan variabel lainnya yaitu akses sanitasi dan perilaku cuci tangan ibu
(Azhar, et al., 2015).
Penelitian terdahulu yang dilakukan berdasarkan hasil analisis Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994 juga menunjukkan
bahwa sumber air minum keluarga berhubungan secara signifikan terhadap
kejadian diare pada anak balita (Irianto, et al., 1996). Hasil studi lainnya yang
dilakukan di Kota Manado menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif
antara sumber air minum yang ditinjau dari segi akses maupun kualitasnya
terhadap insidens diare (Sumampouw, et al., 2015).
Diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang termasuk dalam
kategori waterborne disease atau penyakit yang ditularkan melalui media
lingkungan air. Air yang digunakan sebagai air minum harus aman dan
memenuhi berbagai syarat kesehatan. Air minum yang baik harus memenuhi
persyaratan fisik, bakteriologis, dan syarat kimia seperti yang sudah
ditetapkan dalam peraturan persyaratan kualitas air minum (Wandasari,
2013). Air minum yang kualitasnya tidak memenuhi persyaratan kesehatan
tersebut yang akan menjadi media penularan diare, baik diare yang
disebabkan oleh agen infeksius maupun agen non infeksius (Nainggolan &
Widjiastuti, 2012).
83
Diare pada anak balita yang terjadi di negara-negara berkembang
diperkirakan disebabkan oleh agen infeksius di antaranya adalah Rotavirus
dan bakteri E.coli (WHO, 2013). Rotavirus yang merupakan salah satu agen
utama penyebab diare pada anak sering kali ditemukan pada air
terkontaminasi yang kemudian dikonsumsi oleh bayi dan anak-anak yang
merupakan kelompok yang paling rentan terhadap pajanan virus ini (CDC,
2014). Selain itu, secara umum bakteri E.coli sebagai agen infeksius diare
juga menyukai keadaan basah hingga dapat hidup di dalam air terutama air
yang berada di permukaan atau tidak berada di wadah yang tertutup
(Melliawati, 2009).
Peta 5.4 menunjukkan bahwa wilayah dengan kasus diare balita
tinggi cenderung lebih banyak berada di daerah dengan akses air minum
rendah. Pada tahun 2013 dan 2014, sebagian besar kecamatan yang
memiliki prevalensi diare balita tinggi berada di daerah dengan akses rendah
terhadap air minum layak dan berkelanjutan. Namun, terdapat perbedaan
pola pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa kecamatan dengan
prevalensi diare balita tinggi lebih banyak di daerah yang memiliki akses air
minum tinggi. Kecamatan yang mengalami peningkatan dalam akses air
minum layak namun tetap memiliki prevalensi diare balita tinggi (>10%),
yaitu Kecamatan Cinangka dan Padarincang. Hal ini dapat menunjukkan
bahwa peningkatan akses air minum saja belum cukup untuk menurunkan
angka kejadian diare balita di Kabupaten Serang.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Clasen et, al. (2012) yang menyatakan bahwa untuk menurunkan angka
84
kejadian diare tidak cukup dilakukan dengan satu jenis intervensi saja. Hal
ini dikarenakan kejadian diare dapat dipengaruhi oleh banyak faktor lain
meskipun sanitasi dan air minum merupakan salah satu faktor risiko utama.
Faktor lainnya dapat berupa sanitasi seperti rendahnya akses terhadap
jamban sehat karena sebagian besar wilayah di Kabupaten Serang masih
memiliki akses yang rendah terhadap jamban sehat hingga tahun 2015.
Selain itu, faktor lain seperti bencana banjir juga memungkinkan sebagai
salah satu faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare
pada balita di Kabupaten Serang.
Selain faktor lingkungan, masih terdapat beberapa faktor lainnya
yang secara teoritis dapat mempengaruhi kejadian diare pada balita.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku hygiene ibu
dan status gizi serta imunitas pada balita berhubungan terhadap kasus diare
pada anak balita (Abdullah, et al., 2012; Kamilla, et al., 2012). Selain itu,
faktor sosial ekonomi keluarga juga diasumsikan dapat berpengaruh
terhadap hasil penelitian ini, karena beberapa penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa prevalensi diare lebih banyak pada daerah yang
penduduknya misikin (Trihono & Gitawati, 2009). Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut di beberapa wilayah khususnya daerah
yang tergolong memiliki angka prevalensi diare balita yang tinggi.
6.4 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Akses Jamban Sehat
Sarana buang air besar (jamban) merupakan sarana sanitasi yang
sangat penting berkaitan dengan kejadian diare. Agar tidak menjadi sumber
penularan penyakit, jamban yang digunakan oleh masyarakat harus
85
memenuhi persyaratan kesehatan berdasarkan aspek kepemilikan, jenis
maupun kondisi fisiknya (kebersihan). Oleh karena itu, akses masyarakat
terhadap jamban sehat menjadi salah satu indikator penting dalam penilaian
status kesehatan lingkungan di suatu wilayah (Irianto, et al., 1996).
Akses jamban sehat pada masyarakat menjadi indikator utama yang
digunakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Serang untuk menilai
kelayakan sanitasi dasar yang diakses oleh masyarakatnya. Pemeriksaan
jamban sehat dilakukan rutin setiap tahunnya oleh petugas teknis kesehatan
lingkungan puskesmas kecamatan yang dibantu dengan kader kesehatan.
Namun, terdapat perubahan kriteria dalam penilaian akses jamban sehat dari
tahun 2013 dengan tahun 2014 dan 2015. Pada tahun 2013, penilaian hanya
digunakan berdasarkan kriteria kepemilikan dan kondisi fisik jamban yang
sesuai dengan persyaratan kesehatan. Sejak tahun 2014, kriteria yang
digunakan adalah aspek kepemilikan, kondisi fisik, serta jumlah anggota
keluarga yang memanfaatkan jamban tersebut.
Dinas Kesehatan Kabupaten Serang hingga saat ini belum
menetapkan standar atau target untuk menentukan pencapaian akses sanitasi
layak (jamban sehat) pada masyarakat di daerah Kabupaten Serang. Oleh
karena itu, pencapaian akses sanitasi tersebut ditentukan berdasarkan target
nasional. Target yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap
akses jamban sehat pada masyarakat adalah 62,41%. Target ini dibuat dalam
rangka menurunkan proporsi penduduk tanpa akses sanitasi layak yang
mengacu pada pencapaian MDGs hingga tahun 2015 (Kemenkes RI , 2013).
86
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat di sebagian
besar kecamatan yang ada di Kabupaten Serang masih memiliki akses
jamban sehat yang tergolong rendah. Meskipun pada tabel 5.3 ditunjukkan
bahwa terdapat perubahan secara kuantitatif pada persentase sebaran akses
jamban sehat, namun pada grafik 5.3 menunjukkan bahwa jumlah
kecamatan yang tergolong sebagai daerah dengan akses jamban sehat
rendah tidak ada perubahan. Selain itu, sebaran secara spasial yang
ditunjukkan pada peta 5.5 juga menunjukkan bahwa tidak ada perubahan
sebaran kecamatan yang memiliki akses rendah terhadap jamban sehat.
Penelitian-penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa
penggunaan jamban yang tidak sehat pada keluarga berpengaruh terhadap
kejadian diare pada anak balita. Hasil analisis data SDKI tahun 1994
menunjukkan bahwa anak balita yang menggunakan kakus (jamban) tanpa
tangki septik berisiko 1,76 kali bila dibandingkan dengan anak balita dari
keluarga yang menggunakan kakus yang dilengkapi tangki septik (Irianto,
et al., 1996). Penelitian yang dilakukan di beberapa regional di Indonesia
juga didapatkan hasil bahwa kondisi dan kepemilikan jamban berhubungan
signifikan terhadap kejadian diare di regional Jawa-Bali, Sumatra dan
Sulawesi (Mubasyiroh, 2010). Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan
bahwa kepemilikan dan kondisi sarana pembuangan tinja (jamban)
mempengaruhi kejadian diare pada anak balita (Kamilla, et al., 2012;
Lindayani & Azizah, 2013).
Peta 5.5 juga menunjukkan bahwa secara spasial, wilayah dengan
prevalensi diare balita tinggi cenderung berada di kecamatan yang tergolong
87
memiliki akses rendah terhadap jamban sehat. Perubahan pola sebaran yang
terjadi pada peta tersebut disebabkan oleh adanya perubahan pola sebaran
kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita tinggi, namun, dari kedua
pola tersebut masih menunjukkan bahwa wilayah dengan prevalensi diare
tinggi lebih banyak berada di kecamatan yang memiliki akses rendah
terhadap jamban sehat. Berdasarkan hasil tersebut, dapat terlihat bahwa ada
kemungkinan tingginya prevalensi diare balita di kecamatan-kecamatan
tersebut dipengaruhi oleh akses jamban sehat yang rendah.
Rendahnya akses jamban sehat pada masyarakat di Kabupaten
Serang disebabkan oleh pemanfaatan yang minim terhadap fasilitas jamban
improved (layak dan berkelanjutan). Berdasarkan laporan Profil Dinas
Kesehatan Kabupaten Serang pada tahun 2013, kepemilikan masyarakat
terhadap fasilitas jamban (kepemilikan sendiri dan bersama) yang sesuai
dengan syarat kesehatan sudah tergolong tinggi (77,2%) dan hanya 8
kecamatan yang masih tergolong rendah.
Petugas Bidang Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes)
Kabupaten Serang menyatakan bahwa masyarakat di Kabupaten Serang
sebagian besar cenderung lebih sering menggunakan jamban komunal yang
cenderung tidak memenuhi syarat kesehatan, bahkan masih ada masyarakat
memanfaatkan lahan kosong untuk buang air besar dibandingkan dengan
fasilitas jamban yang dimilikinya. Pernyataan ini didukung oleh data
laporan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) yang menyatakan
bahwa hanya 27 desa di Kabupaten Serang yang sudah terverifikasi sebagai
desa open defecation free (ODF) dari total 326 desa yang ada. Dari laporan
88
yang sama, diketahui pula bahwa hingga tahun 2015 masih terdapat 48,42%
dari seluruh jumlah kepala keluarga (KK) yang anggotanya masih memiliki
kebiasaan buang air besar sembarangan (Kemenkes RI, 2017)
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang,
Pemerintah Kabupaten Serang juga telah membangun fasilitas jamban
sebanyak 54 unit yang dapat digunakan oleh masyarakat yang disesuaikan
dengan syarat kesehatan untuk memenuhi akses sanitasi masyarakat (BPS
Kabupaten Serang, 2016). Namun, pemanfaatan masyarakat terhadap
jamban yang disediakan tersebut masih minim. Hal ini dapat disebabkan
oleh banyak faktor, seperti rendahnya pengetahuan dan praktik dalam
perilaku hidup sehat dan bersih, serta kebiasaan masyarakatnya sebagai
masyarakat pedesaan (rural) yang lebih banyak menghabiskan waktunya di
luar tempat tinggal (sawah atau kebun) dan cenderung mempertahankan
kebiasaan dan budayanya.
Upaya sosialisasi untuk menggunakan jamban sehat telah dilakukan
oleh pemerintah daerah di Kabupaten Serang. Berdasarkan pemaparan dari
petugas Dinkes Kabupaten Serang, kegiatan ini dilakukan saat sosialisasi
pembangunan fasilitas jamban oleh pemerintah dengan bentuk himbauan
kepada masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan.
Namun, kegiatan sosialisasi ini hanya dilakukan satu kali setiap pelaksanaan
pembangunan jamban.
Sosialisasi mengenai penggunaan jamban sehat sebaiknya tidak
hanya dilakukan satu kali saat kegiatan pembangunan fasilitasnya saja.
Terlebih karena karakteristik masyarakat rural yang sulit meninggalkan
89
kebiasaanya, kegiatan sosialisasi ini perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Upaya ini dapat dilakukan dengan melibatkan Kelompok Anggota
Dermawan (Kader) masyarakat untuk melakukan sosialisasi, pengawasan
serta teguran secara berkelanjutan terhadap perilaku masyarakat dalam
penggunaan jamban sehat. Berdasarkan hasil penelitian di Desa Gucialit
Kabupaten Lumajang, keterlibatan Kader tersebut dinilai efektif terhadap
keberlangsungan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM)
khususnya terhadap perubahan pola perilaku buang air besar dan
penggunaan jamban sehat pada masyarakat (Nugraha, 2015).
Selain sosialisasi seperti yang disebutkan sebelumnya, untuk upaya
peningkatan sanitasi perumahan secara keseluruhan, Dinkes Kabupaten
Serang juga melakukan program pembinaan rumah sehat yang dilaksanakan
oleh petugas Kesehatan Lingkungan Puskesmas. Pembinaan ini
dilaksanakan dengan pemberian kartu rumah yang berisikan indikator-
indikator pemenuhan syarat rumah sehat kepada setiap rumah yang dipilih,
kemudian setiap rumah yang terpilih dibina oleh petugas kesehatan melalui
kegiatan pemeriksaan, sosialisasi dan konsultasi dengan output yang
diharapkan adalah terciptanya rumah yang memenuhi syarat kesehatan
setelah dilakukan pembinaan.
Berdasarkan laporan dari Petugas Bidang Penyehatan Lingkungan
Dinkes Kabupaten Serang, pelaksanaan program pembinaan rumah sehat
saat ini hanya sebatas pemeriksaan kondisi fisik rumah berdasarkan
indikator yang ada di Kartu Rumah saja. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya tenaga sanitarian, karena hingga saat ini Kabupaten Serang
90
hanya memiliki 17 sanitarian (kesehatan lingkungan) sehingga belum
semua Puskesmas memiliki tenaga sanitarian. Hal ini tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75 tahun 2014 tentang Puskesmas yang
menyatakan bahwa setiap Puskesmas seharusnya memiliki tenaga
kesehatan lingkungan (sanitarian) sehingga penyelenggaraan pelayanan
kesehatan lingkungan dapat dilaksanakan dengan baik. Hendaknya
Pemerintah Daerah Kabupaten Serang mengevaluasi kembali distribusi
sumber daya kesehatan yang ada di setiap Puskesmas.
Jamban merupakan sarana sanitasi yang sangat penting untuk di
perhatikan baik dari segi kepemilikan maupun aspek kebersihannya karena
jamban dapat menjadi sumber penularan penyakit diare (Irianto, et al., 1996).
Hal ini dikarenakan penularan penyakit diare bersifat fecal-oral, yaitu agen
infeksiusnya bersumber dari tinja yang kemudian ditransmisikan melalui
media lingkungan air atau bahkan melalui kontak langsung dari tubuh
manusia hingga mencemari makanan atau minuman yang dikonsumsi oleh
manusia (Yassi, et al., 2001).
Penggunaan jamban yang layak dan berkelanjutan sesuai dengan
persyaratan kesehatan sangat berguna untuk membantu mencegah
pencemaran sumber air yang berada di sekitarnya. Memanfaatkan jamban
keluarga yang bersih dan sehat juga dapat mencegah datangnya lalat atau
serangga yang dapat menjadi penular penyakit yang dapat diakibatkan oleh
tinja manusia (Wandasari, 2013).
91
6.5 Gambaran Kasus Diare Balita Berdasarkan Daerah Rawan Banjir
Banjir merupakan salah satu bencana alam yang paling banyak dan
paling sering terjadi di Kabupaten Serang. Penanggulangan serta pendataan
terhadap kejadian banjir di wilayah ini dilaksanakan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Serang. Indikator yang
digunakan oleh BPBD Kabupaten Serang dalam menentukan masalah banjir
adalah perhitungan daerah rawan banjir. Secara umum, suatu daerah
dikatakan rawan terhadap banjir apabila daerah tersebut mengalami kejadian
banjir dan memengaruhi daerah pemukiman masyarakat secara langsung.
Penentuan daerah rawan banjir dilakukan dalam kurun waktu satu tahun
sebagai bahan evaluasi penanggulangan dan pencegahan kejadian banjir di
tahun berikutnya.
Daerah rawan banjir ditentukan berdasarkan kejadian banjir sebagai
indikator bahaya kemudian dikalikan dengan perbandingan kerentanan dan
kapasitas daerah yang terkena banjir. Indeks bahaya banjir, selain
berdasarkan data kejadian juga ditentukan berdasarkan kemiringan lereng
(jenis topografi) dan jarak sungai dengan daerah pemukiman (Amri, et al.,
2016). Lokasi dimana kemiringan sungai menjadi landai secara teoritis
merupakan titik awal terjadinya banjir yang umumnya berada di daerah hilir
(KemenPU, 2012). Menurut laporan Dewan Sumber Daya Air Nasional
(2014), Kabupaten Serang merupakan daerah hilir dari Sungai Ciujung,
Cidurian, dan Cidanau, dan secara topografi ketiga sungai tersebut bersifat
landai dan datar dengan ketinggian 0-100 mdpl, sehingga terdapat beberapa
daerah yang berdasarkan topografinya memang rawan terhadap banjir.
92
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah daerah kecamatan
yang ditetapkan sebagai daerah rawan banjir oleh BPBD Kabupaten Serang
dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 tidak mengalami perbedaan yang
signifikan. Berdasarkan Peta 5.6 dapat diketahui bahwa secara spasial daerah
rawan banjir di Kabupaten Serang terdistribusi di beberapa daerah tertentu
yaitu di sebelah timur dan sebelah barat Kabupaten. Setiap tahunnya terjadi
perubahan pola spasial daerah rawan banjir, namun sebagian besar cenderung
berada di daerah aliran sungai-sungai besar yaitu Sungai Ciujung, Sungai
Cidurian, dan Sungai Cidanau.
Berdasarkan laporan BPBD Kabupaten Serang, banjir yang terjadi di
daerah rawan banjir sebagian besar terjadi disebabkan oleh curah hujan dan
hari hujan yang tinggi. Berdasarkan laporan kejadian banjir BPBD Kabupaten
Serang, banjir di Kabupaten Serang lebih banyak terjadi pada bulan dengan
hari hujan tinggi seperti yang ditampilkan pada grafik 5.2 yaitu di awal tahun
(Bulan Januari) dan di akhir tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan volume
air permukaan, seperti yang terjadi di DAS Ciujung. Ada juga daerah di
sekitar pantai yang mengalami kejadian banjir akibat meluapnya air laut
(banjir rob) seperti yang terjadi di Kecamatan Anyar. Secara umum, banjir
berasal dari sumber-sumber air di sekitarnya seperti sungai, danau maupun
laut yang sifatnya tidak permanen (Amsyari, 1986).
Peningkatan volume yang tinggi pada sumber air menyebabkan air
meluap dan menggenangi dataran di sekitarnya, terutama daerah yang
termasuk sebagai dataran rendah (Kodoatie & Sugiyanto, 2002). Meluapnya
aliran air sungai juga dapat disebabkan oleh adanya erosi di sekitar sungai
93
sehingga terjadi pendangkalan sungai sehingga berkurangnya kapasitas aliran
sungai dan jaringan drainasi (Najib, 1999). Sekitar 28,1% dari luas wilayah
Sungai Ciujung, Cidurian dan Cidanau diketahui telah mengalami erosi tanah
yang tergolong dalam kelas berat sampai dengan sangat berat (>180
ton/ha/tahun). Selain itu juga terdapat lokasi-lokasi yang telah mengalami
erosi atau penggerusan pantai di Kabupaten Serang, di antaranya adalah
Kecamatan Tirtayasa dan Kecamatan Cinangka (DSDAN, 2014).
Berdasarkan pemaparan petugas BPBD Kabupaten Serang,
Pemerintah Daerah telah melakukan beberapa upaya untuk mencegah
kejadian banjir berdasarkan hasil penentuan daerah rawan banjir meskipun
belum menyeluruh. Di antara upaya tersebut adalah pembuatan tanggul di
beberapa titik aliran sungai Ciujung yang sering terjadi luapan air. Namun,
hingga saat ini belum ada sistem peringatan dini untuk masyarakat di daerah
aliran sungai utama. Selain itu, berdasarkan laporan Dewan Sumber Daya Air
Nasional, belum ada penetapan batas pemanfaatan daerah sempadan sungai
dan situ sehingga menyebabkan masih adanya kawasan pemukiman baru
yang belum memenuhi daya dukung lingkungan (rawan terhadap banjir)
(DSDAN, 2014).
Hasil penelitian pada peta 5.6 juga menunjukkan bahwa daerah yang
rawan terhadap banjir cenderung memiliki angka kejadian diare balita yang
tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pola spasial yang terbentuk pada peta tahun
2013 sampai dengan tahun 2015 sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah
yang tergolong sebagai daerah rawan banjir sebagian besar tersebar di
94
kecamatan yang juga memiliki prevalensi diare balita yang tinggi, meskipun
sebaran daerahnya berbeda setiap tahunnya.
Secara teoritis, kejadian banjir dapat meningkatkan potensial
terjadinya penyakit tular air (waterborne disease) seperti diare, karena
menyebabkan penurunan akses air dan sanitasi pada masyarakat yang
tertimpa banjir (WHO, 2017). Bencana alam dan krisis kemanusiaan lainnya
dapat meningkatkan risiko penyakit diare pada masyarakat yang disebabkan
oleh penurunan infrastruktur sanitasi secara umum, adanya penampungan
masyarakat, sehingga penyebaran patogen menjadi lebih mudah karena
terhambatnya manajemen kasus diare secara optimal saat keadaan darurat dan
krisis kesehatan (Fitzwater, et al., 2011).
Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian yang ditampilkan pada
Peta 5.4 dan Peta 5.5, kecamatan yang termasuk daerah rawan banjir pada
Peta 5.6 cenderung memiliki akses sanitasi (jamban sehat) dan akses air
minum yang tinggi. Beberapa daerah yang merupakan daerah rawan banjir
namun memiliki akses air minum dan sanitasi yang tinggi di antaranya adalah
Kecamatan Tunjung Teja, Pamarayan, Jawilan, Cikande, dan Kibin. Hal ini
kemungkinan dapat disebabkan oleh perbedaan waktu dalam pengumpulan
data setiap variabel.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Petugas Kesehatan Lingkungan
Dinkes Kabupaten Serang, pengambilan data untuk menilai akses air minum
dan sanitasi hanya dilakukan satu kali setiap tahunnya. Pengambilan data juga
dilakukan dalam kondisi normal atau tidak terjadi bencana. Sementara itu,
menurut penjelasan dari petugas bidang Penanggulangan Bencana BPBD
95
Kabupaten Serang, sebagian besar masyarakat yang terkena banjir untuk
sementara waktu lebih banyak yang tinggal di lokasi pengungsian yang
memiliki akses sanitasi yang belum sesuai dengan standar sanitasi dalam
kegawatdaruratan.
Penelitian-penelitian terdahulu telah membuktikan secara statistik
bahwa kejadian banjir berpengaruh terhadap kejadian diare pada anak balita.
Hasil analisis time series di China selama tahun 2004 sampai dengan tahun
2010, terdapat peningkatan kasus diare yang signifikan wilayah yang
mengalami banjir (Ni, et al., 2014). Banjir juga secara signifikan
berhubungan terhadap peningkatan insiden penyakit diare di dua provinsi di
Cambodia berdasarkan analisis menggunakan time series dari tahun 2001
sampai dengan tahun 2012 (Davies, et al., 2015).
Secara temporal, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
sebelumnya karena kejadian banjir yang terjadi di daerah-daerah rawan banjir
justru tidak selalu menyebabkan peningkatan terhadap kasus diare pada balita.
Pada tahun 2013, kejadian banjir lebih banyak terjadi di awal tahun, dan
terlihat bahwa lebih banyak kasus diare di awal tahun seperti yang
ditunjukkan pada Grafik 5.3.Tetapi pada grafik yang sama, kasus diare balita
pada tahun 2014 dan 2015 tidak menunnjukkan pola yang sama meskipun
kejadian banjir juga lebih banyak terjadi di awal tahun dan di akhir tahun.
Berdasarkam hasil penelitian yang telah disebutkan sebelumnya,
dapat dikatakan bahwa meskipun secara spasial daerah yang rawan banjir
cenderung memiliki angka prevalensi diare balita tinggi, namun secara
temporal kasus diare balita tidak mengalami peningkatan pada waktu-waktu
96
yang sering terjadi banjir. Selain itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa akses air minum dan akses sanitasi di daerah rawan banjir juga
cenderung baik, sehingga kejadian diare balita kemungkinan dipengaruhi
oleh faktor lain. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya,
beberapa faktor lain dapat memengaruhi kasus diare pada balita di antaranya
adalah perilaku ibu dalam pengolahan makanan, status gizi dan imunitas
balita, serta faktor sosial ekonomi keluarga (Kamilla, et al., 2012; Adisasmito,
2007; Abdullah, et al., 2012).
Meskipun kejadian banjir secara temporal tidak meningkatkan kasus
diare pada anak balita, penanggulangan pascabencana banjir tetap harus
diperhatikan. Berdasarkan laporan Dewan Sumber Daya Air Nasional (2014),
penanganan akibat bencana di Kabupaten Serang belum optimal, khususnya
dalam perbaikan fasilitas sanitasi. Pemulihan kondisi rumah masyarakat yang
menjadi korban bencana banjir masih belum optimal, padahal seringkali
terjadi kerusakan prasarana sumber daya air setelah kejadian bencana banjir.
Hal ini dipengaruhi oleh belum maksimalnya penyediaan dana untuk
pelaksanaan pemulihan kondisi prasarana dan sarana umum setelah
terjadinya bencana banjir.
Hendaknya pemerintah daerah menjadikan pemulihan kondisi
prasarana dan sarana umum khususnya untuk keperluan sumber daya air dan
sanitasi sebagai salah satu prioritas dalam penanggulangan bencana sehingga
dapat mengurangi dampak negatif akibat bencana lainnya seperti penularan
penyakit. BPBD Kabupaten Serang sebagai pihak yang berwenang juga perlu
membentuk program tanggap bencana dan sistem kewaspadaan dini yang
97
kepada masyarakat yang berada di daerah rawan banjir. Program ini
disarankan untuk mengurangi dampak kesehatan yang diakibatkan dari
adanya bencana banjir (WHO, 2017). Hal ini dapat dilakukan dengan cara
sosialisasi pada masyarakat terkait mitigasi pencegahan kejadian banjir
khusunya pada masyarakat yang tinggal di daerah aliran sungai.
98
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diperoleh
beberapa simpulan sebagai berikut:
1) Prevalensi diare pada anak balita di Kabupaten Serang dari tahun 2013
hingga tahun 2015 cenderung mengalami penurunan, namun masih
termasuk dalam klasifikasi prevalensi tinggi berdasarkan target nasional.
Secara spasial, kecamatan yang memiliki prevalensi diare balita tinggi
terdistribusi cenderung lebih banyak di wilayah yang termasuk sebagai
daerah aliran sungai (DAS).
2) Persentase akses air minum layak pada masyarakat di kabupaten Serang
sejak tahun 2013-2015 cenderung meningkat. Berdasarkan pola
sebarannya, kecamatan dengan prevalensi diare balita tinggi tidak
memiliki kecenderungan lebih banyak di daerah yang memiliki akses
rendah terhadap air minum yang layak.
3) Akses jamban sehat pada masyarakat di Kabupaten Serang hampir tidak
mengalami perubahan baik dari angka cakupan maupun sebarannya sejak
tahun 2014-2015. Berdasarkan pola sebarannya, kecamatan dengan
prevalensi diare balita tinggi cenderung lebih banyak di daerah yang
memiliki akses rendah terhadap jamban sehat pada tahun 2014 dan 2015.
4) Jumlah daerah kecamatan yang ditetapkan sebagai daerah rawan banjir
oleh BPBD Kabupaten Serang dari tahun 2013 sampai dengan tahun
99
2015 tidak mengalami perbedaan yang signifikan. Berdasarkan pola
sebarannya, daerah yang rawan terhadap banjir cenderung memiliki
angka kejadian diare balita yang tinggi dari tahun 2013 sampai dengan
tahun 2015.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti
memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti Selanjutnya:
a. Penelitian terkait analisis spasial penyakit dan faktor lingkungan
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan unit analisis yang lebih
spesifik seperti batas desa karena masih ada kemungkinan adanya
perbedaan karakteristik wilayah desa dalam satu kecamatan.
2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serang:
a. Dinas Kesehatan Kabupaten Serang hendaknya membuat target atau
standar khusus yang dapat digunakan untuk menilai prevalensi diare
yang terjadi di Kabupaten Serang, karena standar nasional masih
terlalu umum dan belum tentu sesuai dengan kondisi di Kabupaten
Serang. Disarankan juga untuk membuat target capaian pemeriksaan
akses air minum dan akses sanitasi layak yang disesuaikan dengan
karakteristik masyarakat yang ada di Kabupaten Serang
b. Untuk program pengendalian penyakit diare, disarankan untuk
melakukan manajemen penyakit berbasis wilayah dengan
menentukan wilayah prioritas khususnya di wilayah yang
merupakan daerah aliran sungai. Dengan adanya wilayah prioritas
100
yang disesuaikan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
lingkungan, diharapkan upaya preventif dan promotif dapat
dilakukan dengan efektif dan efisien.
c. Sebaiknya Dinkes Kabupaten Serang membuat pemetaan hasil
pemeriksaan air minum dan sanitasi sesuai dengan pedoman yang
sudah tersedia. Dengan adanya pemetaan tersebut akan didapatkan
informasi berbasis wilayah, sehingga diharapkan pihak yang
berwenang dalam penyelenggaraan air minum dan sanitasi dapat
melakukan perbaikan sarana air minum dan sanitasi berdasarkan
wilayah yang menjadi prioritas.
d. Dinkes Kabupaten Serang dapat melakukan sosialisasi dengan
melibatkan kader masyarakat untuk melakukan penyuluhan,
pengawasan serta teguran secara berkelanjutan terhadap perilaku
masyarakat dalam penggunaan jamban sehat.
e. Hendaknya Pemerintah Daerah Kabupaten Serang mengevaluasi
kembali distribusi sumber daya kesehatan yang ada di setiap
Puskesmas, khususnya untuk tenaga kesehatan lingkungan agar
penyelenggaraan pelayanan kesehatan lingkungan dapat
dilaksanakan dengan lebih baik.
3. Bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Serang:
a. BPBD Kabupaten Serang sebaiknya membentuk program tanggap
bencana dan sistem kewaspadaan dini di daerah rawan banjir.
Program ini disarankan untuk mengurangi dampak kesehatan yang
diakibatkan dari adanya bencana banjir. Hal ini dapat dilakukan
101
dengan cara sosialisasi pada masyarakat terkait mitigasi pencegahan
kejadian banjir khusunya pada masyarakat yang tinggal di daerah
aliran sungai.
102
DAFTAR PUSTAKA
8 DAFTAR PUSTAKA9 References
Abdullah, A. Z., Arsin, A. A. & Dahlan, L., 2012. Faktor Risiko Diare Shigellosispada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, VII(1), pp. 16-21.
Achmadi, U. F., 2012. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta:Rajawali Pers.
Achmadi, U. F., 2012. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: RajawaliPers.
Adisasmito, W., 2007. Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia:Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat.Makara Kesehatan, XI(1), pp. 1-10.
Amri, M. R. et al., 2016. Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: Badan NasionalPenanggulangan Bencana.
Amsyari, F., 1986. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan (Studitentang Banjir, Karakteristik Desa dan Kota). Jakarta: Ghalia Indonesia.
Athena & Anwar, D., 2014. Penelitian/Pengembangan Model/Sistem SurveilansDampak Kesehatan Perubahan Iklim. Buletin Penelitian Kesehatan, 42(1), pp.46-58.
Azhar, K., Sisca, D. & Hapsari, T., 2015. Diare Balita di Provinsi DKI JakartaDitinjau dari Aspek Air Minum, Sanitasi dan PHBS (Analisis Data Riskesdas2013). Jurnal Ekologi Kesehatan, XIV(1), pp. 29-40.
BPS Kabupaten Serang, 2016. Statistik Daerah Kabupaten Serang Tahun 2016,Serang : BPS Kabupaten Serang .
CDC, 2014. Rotavirus. [Online]Available at: http://www.cdc.gov/rotavirus/about/index.html[Accessed 5 Juni 2016].
CDC, 2015. General Information: Shigella-Shigellosis. [Online]Available at: http://www.cdc.gov/shigella/general-information.html[Accessed 5 Juni 2016].
CDC, 2016. E.coli (Escherichia Coli). [Online]Available at: http://www.cdc.gov/ecoli/[Accessed 5 Juni 2016].
Chandra, B., 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC.
Clasen, T. et al., 2012. The Effect of Improved Rural Sanitation and HelminthInfection: Design of A Cluster-Randomized Trial in Orissa, India. EmergingThemes in Epidemiology, IX(7).
Davies, G. I. et al., 2015. Water-Borne Diseases and Extreme Weather Events inCambodia: Review od Impacts and Implications of Climate Change.
103
International Journal of Environmental Research and Public Health, Volume12, pp. 191-213.
Dennehy, P. H., 2005. Acute Diarrheal Disease in Children: Epidemiology,Prevention, and Treatment. Infectious Diseases Clinics of North America,Volume 19, pp. 585-602.
Djaja, S., Ariawan, I. & Afifah, T., 2002. Perilaku Pencarian Pengobatan Diare padaBalita. Buletin Penelitian Kesehatan, 30(1), pp. 22-30.
DSDAN, 2014. Pola Pengelolaan Sumber Daya Air WIlayah Sungai CIdanau-Ciujung-Cidurian, Jakarta: Dewan Sumber Daya Air Nasional.
Fitzwater, S., Chandran, A., Kosek, M. & Santosham, M., 2011. Infectious Diarrhea.In: J. M. Selendy, ed. Water and Sanitation-Related Diseases and TheEnvironment: Challenges, Interventions, and Preventive Measures. New Jersey:Wiley-Blackwell, pp. 47-70.
Gerstman, B. B., 2003. Epidemiology Kept Simple: an introduction to classic andmodern epidemiology. 2nd ed. New Jersey: Wiley-Liss Inc..
Gillespie, S. & Bamford, K., 2009. At a Glance: Mikrobiologi Medis dan Infeksi.3rd ed. Jakarta: Erlangga.
Ginanjar, R., 2008. Hubungan Jenis Sumber Air Bersih dan Kondisi Fisik AirBersih dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas Sukmajaya Tahun2008, Depok : FKM Universitas Indonesia.
Gutro, R., 2015. NASA - What's the Difference Between Weather and Climate?.[Online]Available at: http://www.nasa.gov/mission_pages/noaa-n/climate/climate_weather.html[Accessed 21 July 2016].
Hakim, D. L., 2010. Aksesibilitas Air Bersih Bagi Masyarakat di PemukimanLinduk Kecamatan Pontang Kabupaten Serang, Semarang: ProgramPascasarjana Magister Teknik Pembangunan WIlayah dan Kota UniversitasDiponegoro.
Hashizume, M. et al., 2007. Association between Climate Variability and HospitalVisits for Non-Cholera Diarrhoea in Bangladesh: Effects and VurnerableGroups. International Journal of Epidemiology, Volume XXXIV, pp. 1030-1037.
Hegar, B., 2013. Mengapa ASI Eksklusif Sangat Dianjurkan pada Usia di Bawah 6Bulan. [Online]Available at: http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/mengapa-asi-eksklusif-sangat-dianjurkan-pada-usia-di-bawah-6-bulan.html[Accessed 8 June 2015].
Irianti, S., Herman, M. J. & Prasetyoputra, P., 2014. Pokok-Pokok Hasil RisetKesehatan Dasar Provinsi Banten 2013 (Buku1). Jakarta: KementerianKesehatan RI.
104
Irianto, J. et al., 1996. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare padaAnak Balita (Analisis Lanjut Daya SDKI 1994). Buletin Penelitian Kesehatan,24(2&3), pp. 77-96.
Kartasapoetra, A. G., 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim terhadap Tanah danTanaman. Revisi ed. Jakarta: Bumi Aksara.
Kemenkes RI , 2011. Panduan Sistem Surveilans Air Minum dan Sanitasi. Jakarta:Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI , 2013. Road Map Percepatan Program STBM Tahun 2013-3015.Jakarta: Ditjen P2PL Kementerian Kesehatan RI .
Kemenkes RI , 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI, 1995. Pengawasan Kualitas Air untuk Penyediaan Air BersihPedesaan dan Kota Kecil. Jakarta: Ditjen PPM & PLP Kemenkes RI.
Kemenkes RI, 2008. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal BidangKesehatan di Kabupaten/Kota. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi SetJenKementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI, 2009. Seri Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga.Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes RI .
Kemenkes RI, 2011. Pengendalian DIare di Indonesia. Buletin Jendela Data danInformasi Kesehatan, II(2), pp. 19-25.
Kemenkes RI, 2011. Situasi Diare di Indonesia, Jakarta': Kementerian KesehatanRI.
Kemenkes RI, 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013, Jakarta:Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI, 2014. Situasi dan Analisis Imunisasi, Jakarta: Pusat Data danInformasi Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI, 2017. Monitoring Data Sanitasi Total Berbasis MasyarakatKabupaten Serang. [Online]Available at: http://stbm-indonesia.org/monev/index.php/pilar_1[Accessed 1 February 2017].
KemenLH, 2012. Suplemen Pembelajaran Perubahan Iklim untuk Guru. Jakarta:Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan MasyarakatKementerian Lingkungan Hidup.
KemenPU, 2012. Pedoman Pembuatan Peta Rawan Longsor dan Banjir BandangAkibat Runtuhnya Bendungan Alam. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum .
KEMENRISTEK RI, 2013. Modul 3: WebGIS dan Analisis Spasial. Bandung:Kementerian Riset dan Teknologi RI .
Know Climate Change, 2016. Basic of Climate Change : Climatic Variables.[Online]
105
Available at:http://know.climateofconcern.org/index.php?option=com_content&task=article&id=117[Accessed 28 July 2016].
Kodoatie, R. J. & Sugiyanto, 2002. BANJIR: Beberapa Penyebab dan MetodePengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koletzko, S. & Osterrieder, S., 2009. Acute Infectious Diarrhea in Childtren.Deutsches Arzteblatt International, 106(33), pp. 539-549.
Lai, P.-C., So, F.-M. & Chan, K.-W., 2009. Spatial Epidemiological Approaches inDisease Mapping and Analysis. New York: CRC Press.
Lakitan, B., 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Lestari, C. W., Tjitra, E. & Sandjaja, 2009. Dampak Status Imunisasi Anak diIndonesia terhadap Kejadian Penyakit. Media Penelitian dan PengembanganKesehatan, XIX(2), pp. 55-62.
Lloyd, S. J., Kovats, S. r. & Armstrong, B. G., 2007. Global Diarrhoea Morbidity,Weather and Climate. Climate Research, Volume 34, pp. 119-127.
Melliawati, R., 2009. Escherichia Coli dalam Kehidupan Manusia. BioTrends, 4(1),pp. 10-14.
Mubasyiroh, R., 2010. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare padaBalita di Beberapa Regional Indonesia Tahun 2007. Buletin PenelitianKesehatan, pp. 24-31.
Nainggolan, R. & Widjiastuti, B., 2012. Sumber Pencemaran Potensial danKejadian Diare di Provinsi DKI Jakarta (RISKESDAS 2007). Jurnal EkologiKesehatan, 11(1), pp. 24-32.
Najib, M., 1999. Implikasi Erosi dan Sedimentasi pada DAS serta UpayaPenanggulangannya (Studi Kasus DAS Ciliwung). Aplikasi Geografi FisikIndonesia, Volume I, pp. 151-183.
Ni, W. et al., 2014. Impacts od Floods on DIsentry in Xinxiang City, China during2004-2010: A Time-Series Poisson Analysis. Global Health Action, Volume 7.
Nugraha, M. F., 2015. Dampak Program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat(STBM) Pilar Pertama Desa Gucialit Kecamatan Gucialit Kabupaten Lumajang.Kebijakan dan Manajemen Publik, 3(2), pp. 44-53.
Ohl, C. A. & Tapsell, S., 2000. Flooding and Human Health: The dangers posed arenot always obvious. BMJ, Volume 321, pp. 1167-1168.
Page, A.-L.et al., 2015. Geographic Distribution and Mortality Risk Factors duringthe Cholera Outbreak in a Rural Region of Haiti, 2010-2011. PLOS NeglectedTropical Diseases, 9(3), pp. 1-13.
Pfeiffer, D. et al., 2008. Spatial Analysis in Epidemiology. New York: OxfordUniversity.
106
Prahasta, E., 2014. Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar (PersperktifGeodesi & Geomatika). Revisi ed. Bandung: INFORMATIKA.
Pruss-Ustun, A. & Corvalan, C., 2006. Preventing Disease Through HealthyEnvironments: Towards an Estimate of the environmental burden Disease.Geneva: WHO.
Rifat, S. &., 2016. 10 Kecamatan di Kabupaten Serang Rawan Banjir. [Online]Available at: http://pilarbanten.com/index.php/banten-raya/item/2801-10-kecamatan-di-kabupaten-serang-rawan-banjir.html[Accessed 10 11 2016].
Siahaan, N., 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. 2nd ed. Jakarta:Erlangga.
Sodikin, 2011. Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal danHepatobilier. Jakarta: Salemba Medika.
Soegijanto, S. & Pramana, K. P., 2009. Diare pada Anak. In: Kumpulan MakalahPenyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia Jilid 7. Surabaya: Airlanga UniversityPress, pp. 1-20.
Suharyono, 2008. Diare Akut: Klinik dan Laboratorik. 2nd ed. Jakarta: RinekaCipta.
Sumampouw, O. J., Soemarno, Andarini, S. & Sriwahyuni, E., 2015. EnvironmentRisk Factors of Diarrhea Incidence in The Manado City. Public HealthResearch, V(5), pp. 139-143.
Suryantoro, A., 2013. Integrasi Aplikasi Sistem Informasi Geografi. Yogyakarta:Penerbit OMBAK.
Trihono & Gitawati, R., 2009. Hubungan antara Penyakit Menular denganKemiskinan di Indonesia. Jurnal Penyakit Menular Indonesia, 1(1), pp. 38-43.
Tumbelaka, A. R. & Karyanti, M. R., 2013. Air Susu Ibu dan Pengendalian Infeksi.[Online]Available at: http://idai.or.id/public-articles/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-pengendalian-infeksi.html[Accessed 8 June 2015].
UNICEF, 2009. Diarrhoea: Why Children are Still Dying and What Can Be Done.New York: UNICEF & WHO.
Wandasari, A. P., 2013. Kualitas Sumber Air Minum dan Pemanfaatan JambanKeluarga dengan Kejadian Diare. Jurnal Kesehatan Masyarakat, IX(1), pp. 24-29.
WHO & UNICEF, 2004. Meeting the MDG Drinking Water and Sanitation Target:A Mid-Term Assessment of Progress. Geneva: WHO.
WHO, 2011. Enterohaemorrhagic Escherichia coli (EHEC). [Online]Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs125/en/[Accessed 5 Juni 2016].
107
WHO, 2013. Media Centre: Diarrhoeal DIsease. [Online]Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/[Accessed 24 May 2016].
WHO, 2016. Global Health Observatory (GHO) Data: Causes of Child Mortality.[Online]Available at: http://www.who.int/gho/child_health/mortality/causes/en/[Accessed 25 May 2016].
WHO, 2016. Health and Sustainable Development: Unsafe Drinking Water,Sanitation and Waste Management. [Online]Available at: http://www.who.int/sustainable-development/cities/health-risks/water-sanitation/en/[Accessed 29 April 2016].
WHO, 2016. Health Topics: Diarrhoea. [Online]Available at: http://www.who.int/topics/diarrhoea/en/[Accessed 5 Juni 2016].
WHO, 2016. Media Centre: Climate Change and Health. [Online]Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs266/en/[Accessed 20 July 2016].
WHO, 2017. Flooding and Communicable Diseases Fact Sheet: Risk Assessmentand Preventive Measures. [Online]Available at: http://www.who.int/hac/techguidance/ems/flood_cds/en/[Accessed 31 January 2017].
Widoyono, 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan danPemberantasannya. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.
World Bank, 2009. Informasi Pilihan Jamban Sehat. Jakarta: Water and SanitationProgram East Asia and Pasific.
Yasin, H. & Rusgiyono, A., 2013. Identifikasi Faktor-faktor Penyebab KejadianDiare di Kota Semarang dengan Pendekatan Geographically Weighted PoissonRegression. Jurnal Sains dan Matematika, XXI(3), pp. 84-91.
Yassi, A., Kjellstrom, T., Kok, T. d. & Guidotti, T. L., 2001. Basic EnvironmentalHealth. New York: Oxford University Press.
Yuniarno, S., 2005. Hubungan Kualitas Air Sumur dengan Kejadian Diare di DASSolo (Studi Kasus di Hulu dan Hilir Bengawan Solo), Semarang: ProgramPascasarjana Universitas Diponegoro.
LAMPIRAN
108
Lampiran 1 Data Prevalensi Diare Balita di Kabupaten Serang
Data Kasus Diare Balita (0-4 tahun) yang Ditemukan oleh Sarana Kesehatan dan Kader diKabupaten Serang Tahun 2013
No. Kecamatan
JumlahBalita(0-4
tahun)
Jumlah Kasus Diare Balita (0-4 tahun) yang ditemukan Total Kasus
Diare balita(0-4 tahun)
Prevalensi(%)Sarana
Kesehatan Kader
1 Cinangka 5761 312 565 877 15.222 Padarincang 6662 1384 68 1452 21.803 Ciomas 4395 428 130 558 12.704 Pabuaran 4174 402 46 448 10.735 Gunung Sari 2296 220 12 232 10.106 Baros 6235 651 278 929 14.907 Petir 5797 552 44 596 10.288 Tunjung Teja 4395 575 39 811 18.459 Cikeusal 7221 458 110 568 7.87
10 Pamarayan 5517 657 245 902 16.3511 Bandung 3025 972 382 1354 44.7612 Jawilan 5669 721 246 967 17.0613 Kopo 5636 484 20 504 8.9414 Cikande 10144 1699 312 2011 19.8215 Kibin 5256 737 19 756 14.3816 Kragilan 8275 1103 9 1112 13.4417 Waringin Kurung 4466 322 283 605 13.5518 Mancak 4933 326 116 442 8.9619 Anyar 5473 277 0 277 5.0620 Bojonegara 3985 443 593 1036 26.0021 Puloampel 3665 173 0 173 4.7222 Kramatwatu 8918 1152 112 1264 14.1723 Ciruas 7744 687 65 752 9.7124 Pontang 4032 644 166 810 20.0925 Carenang 3256 462 8 470 14.4326 Binuang 2680 90 53 143 5.3427 Tirtayasa 3870 627 184 614 15.8728 Tanara 4089 629 19 648 15.85
Kabupaten Serang 147569 17187 4124 21311 14.44Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
109
Data Kasus Diare Balita (0-4 tahun) yang Ditemukan oleh Sarana Kesehatan danKader di Kabupaten Serang Tahun 2014
No. Kecamatan
JumlahBalita(0-4
tahun)
Jumlah Kasus Diare Balita (0-4 tahun) yang ditemukan
Total KasusDiare
balita (0-4tahun)
Prevalensi(%)Sarana
Kesehatan Kader
1 Cinangka 5750 217 639 856 14.892 Padarincang 6659 838 57 895 13.443 Ciomas 4396 275 69 344 7.834 Pabuaran 4176 424 138 562 13.465 Gunung Sari 2298 140 0 140 6.096 Baros 6240 573 211 784 12.567 Petir 5793 495 68 563 9.728 Tunjung Teja 4392 575 45 461 10.509 Cikeusal 7218 752 249 1001 13.87
10 Pamarayan 5516 471 135 606 10.9911 Bandung 3027 292 37 329 10.8712 Jawilan 5680 528 210 738 12.9913 Kopo 5643 433 14 447 7.9214 Cikande 10162 1672 180 1852 18.2215 Kibin 5290 673 14 687 12.9916 Kragilan 8291 896 27 923 11.1317 Waringin Kurung 4469 284 21 305 6.8218 Mancak 4930 225 368 593 12.0319 Anyar 5465 579 8 587 10.7420 Bojonegara 3987 217 214 431 10.8121 Puloampel 3661 360 72 432 11.8022 Kramatwatu 8921 908 84 992 11.1223 Ciruas 7751 656 63 719 9.2824 Pontang 4023 522 22 544 13.5225 Lebak Wangi 3213 385 4 126 3.9226 Carenang 3248 157 0 389 11.9827 Binuang 2797 351 110 157 5.6128 Tirtayasa 4191 536 0 620 14.7929 Tanara 3549 126 0 536 15.10
Kabupaten Serang 150736 14560 3059 17619 11.69Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
110
Data Kasus Diare Balita (0-4 tahun) yang Ditemukan oleh Sarana Kesehatan danKader di Kabupaten Serang Tahun 2015
No. Kecamatan
JumlahBalita(0-4
tahun)
Jumlah Kasus Diare Balita (0-4tahun) yang ditemukan
TotalKasusDiare
balita (0-4tahun)
Prevalensi(%)Sarana
Kesehatan Kader
1 Cinangka 5691 336 536 872 15.322 Padarincang 6601 627 46 673 10.203 Ciomas 4357 741 61 802 18.414 Pabuaran 4144 461 138 599 14.455 Gunung Sari 2281 209 2 211 9.256 Baros 6192 488 9 497 8.037 Petir 5737 450 67 517 9.018 Tunjung Teja 4353 501 18 558 12.829 Cikeusal 7153 593 201 794 11.10
10 Pamarayan 5470 546 97 643 11.7611 Bandung 3002 285 20 305 10.1612 Jawilan 5643 574 133 707 12.5313 Kopo 5602 424 11 435 7.7714 Cikande 10096 1405 124 1529 15.1415 Kibin 5278 501 108 609 11.5416 Kragilan 8241 896 51 947 11.4917 Waringin Kurung 4437 282 194 476 10.7318 Mancak 4889 502 90 592 12.1119 Anyar 5412 425 0 425 7.8520 Bojonegara 3956 388 160 548 13.8521 Puloampel 3627 212 40 252 6.9522 Kramatwatu 8851 841 14 855 9.6623 Ciruas 7691 682 68 750 9.7524 Pontang 3980 502 8 510 12.8125 Lebak Wangi 4053 502 6 179 4.4226 Carenang 3102 219 43 508 16.3827 Binuang 3218 460 98 262 8.1428 Tirtayasa 2658 527 4 519 19.5329 Tanara 3824 176 3 531 13.89
Kabupaten Serang 149539 14755 2316 17105 11.44Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
111
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
45.00
50.00
Grafik Prevalensi Diare Balita Per Kecamatan di Kabupatan Serang
Prevalensi 2013 (%) Prevalensi 2014 (%) Prevalensi 2015 (%)
112
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November DesemberTahun 2013 1757 2025 1940 2918 1743 907 1769 1876 1761 1696 1637 1500Tahun 2014 1493 1337 1292 1611 1380 1482 1443 1515 1620 1540 1593 1564Tahun 2015 1472 1454 1437 1594 1603 1464 1433 1350 1024 1711 1569 1072
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Grafik Jumlah Kasus Diare Balita Per Bulan di Kabupaten Serang Tahun 2013-2015
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
113
Lampiran 2 Data Akses Air Minul Layak di Kabupaten Serang
Tabel 0.1 Persentase Penduduk dengan Akses Air Minum Layak di Kabupaten SerangBerdasarkan Kecamatan Tahun 2013-2015
No. KecamatanPenduduk dengan Akses Air Minum Layak (%)Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
1 Cinangka 47.63 60.19 70.372 Padarincang 54.04 65.07 76.163 Ciomas 72.32 73.82 73.24 Pabuaran 64.29 68.68 66.95 Gunung Sari 63.69 68.97 68.226 Baros 66.28 67.74 67.877 Petir 78.7 81.36 81.798 Tanjung Teja 64.25 78.77 78.579 Cikeusal 51.6 54.47 56.09
10 Pamarayan 59.92 72.58 72.2411 Bandung 51.43 53.18 53.2112 Jawilan 75.13 73.18 73.413 Kopo 71.415 79.42 76.0814 Cikande 87.98 90.14 86.6815 Kibin 74.04 76.62 7516 Kragilan 77.995 92.5 81.2217 Waringin Kurung 74.79 75.25 7518 Mancak 81.65 83.58 82.0419 Anyar 72.82 86.34 86.0820 Bojonegara 65.93 67.01 68.3821 Pulo Ampel 48.79 51.53 52.2722 Kramatwatu 88.17 89.74 90.2923 Ciruas 69.38 85.12 76.3424 Pontang 51.58 68.23 54.8125 Carenang 53.12 72.28 57.7726 Binuang 69.48 75.68 74.827 Tirtayasa 49.54 62.5 62.7128 Tanara 57.85 59.43 60.5829 Lebak Wangi 63.55 46.91
Kabupaten Serang 65.85 72.31 70.52Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
114
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Grafik Akses Air Minum Layak per Kecamatan di Kabupaten Serang
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
115
Lampiran 3 Data Akses Jamban Sehat di Kabupaten Serang
Tabel 0.2 Persentase Penduduk dengan Akses Jamban Sehat di Kabupaten SerangBerdasarkan Kecamatan Tahun 2013-2015
No. KecamatanPenduduk dengan Akses Jamban Sehat (%)
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 20151 Cinangka 41.5 57.1 57.292 Padarincang 74.3 55 62.633 Ciomas 64.5 51.9 584 Pabuaran 97.1 77.8 88.655 Gunung Sari 63.4 54.7 56.546 Baros 72 53 58.597 Petir 75.4 61.2 61.698 Tanjung Teja 90.6 88.2 74.019 Cikeusal 69.1 56.1 55.51
10 Pamarayan 96 80.1 79.2211 Bandung 57.7 47 48.9912 Jawilan 101.8 81.6 79.9113 Kopo 69.48 56.6 57.7514 Cikande 87.7 70.3 69.9115 Kibin 93.1 75.4 74.9116 Kragilan 70.88 61.78 56.8917 Waringin Kurung 82.9 66.8 66.1618 Mancak 63 44.5 48.1919 Anyar 80.5 63.8 63.9520 Bojonegara 69.4 56.8 55.7821 Pulo Ampel 77.3 62.5 61.822 Kramatwatu 94.3 73.4 73.7723 Ciruas 75.2 63.1 57.5824 Pontang 64.6 63.8 53.5425 Carenang 60.1 60.4 49.4326 Binuang 62.8 50.5 51.327 Tirtayasa 82.3 66.8 66.0428 Tanara 88.4 68.8 68.0829 Lebak Wangi 37.5 40.21
Kabupaten Serang 75.91 62.29 61.94Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
116
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
0
20
40
60
80
100
120
Grafik Akses Jamban Sehat per Kecamatan di Kabupaten Serang
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
117
Lampiran 4 Data Daerah Rawan Banjir di Kabupaten Serang
Tabel 0.3 Kecamatan Rawan Banjir di Kabupaten Serang Berdasarkan Kecamatan Tahun2013-2015
No. KecamatanDaerah Rawan Banjir
Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 20151 Cinangka - Rawan Rawan2 Padarincang Rawan - Rawan3 Ciomas - - -4 Pabuaran - Rawan -5 Gunung Sari - - -6 Baros - - -7 Petir - - -8 Tanjung Teja Rawan Rawan -9 Cikeusal Rawan Rawan -
10 Pamarayan Rawan Rawan Rawan11 Bandung Rawan Rawan -12 Jawilan Rawan - Rawan13 Kopo Rawan Rawan -14 Cikande Rawan Rawan Rawan15 Kibin Rawan - Rawan16 Kragilan Rawan Rawan -17 Waringin Kurung - - -18 Mancak - - -19 Anyar - Rawan -20 Bojonegara - - -21 Pulo Ampel - - -22 Kramatwatu - - Rawan23 Ciruas - - -24 Pontang - - Rawan25 Carenang - - Rawan26 Binuang Rawan Rawan Rawan27 Tirtayasa Rawan - Rawan28 Tanara - - Rawan29 Lebak Wangi - Rawan
Jumlah Kecamatan Rawan Banjir 12 11 11Sumber: BPBD Kabupaten Serang