Upload
shintantriamanda
View
35
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tinjauan pustaka ini bisa digunakan untuk bahan referat atau tinjauan pustaka saat lapkas.
Citation preview
LAPORAN TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELITUS
DISUSUN OLEHNAMA : Shinta Tantri Amanda, S. Ked.NPM : 2008730036
PEMBIMBING : dr. Dorlina Nainggolan,M.Biomed
STASE KEDOKTERAN KOMUNITAS IKEPANITERAAN KLINIK PKM PANCORAN
PERIODE 09 JANUARI 2012 – 18 MARET 2012
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2012
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT Penyusun ucapkan karena dengan rahmat dan
hidayahNya penyusun dapat menyelesaikan tugas laporan kasus “Varisela” tepat pada
waktunya.
Laporan kasus ini disusun untuk meningkatkan pengetahuan dan memenuhi tugas
pada kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Komunitas I (IKAKOM I) di Puskesmas
Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Terima kasih penyusun ucapkan kepada pihak-pihak
yang telah membantu tersusunnya laporan ini khususnya:
1. dr. Siti Maemunah sebagai pembimbing
2. Orangtua yang selalu memberikan motivasi dan dukungan
3. Teman-teman sejawat yang selalu kompak
Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih jauh dari sempurna
dan memiliki banyak kekurangan. Penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca ini, agar penyusun dapat mengoreksi diri dan
dapat membuat laporan kasus yang lebih sempurna di lain kesempatan.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, sekarang maupun
masa yang akan datang.
Wassalamualaikum wr.wb
Jakarta, Februari 2011
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN.................................................................................4
DIABETES MELITUS
I. PENDAHULUAN
I.1. Definisi ........................................................................................................5
I.2. Klasifikasi ....................................................................................................5
II. PATOFISIOLOGI
II.1. Fisiologi insulin.............................................................................................7
II.2. Patofisiologi Diabetes Melitus.........................................................................9
II.3. Tanda dan gejala............................................................................................11
III. PENGELOLAAN
III.1. Diagnosis...............................................................................................11
III.2. Penatalaksanaan.....................................................................................15
III.3. Promosi prilaku sehat.............................................................................30
III.4. Kelainan komorbid.................................................................................32
III.5. Penyulit diabetes........................................................................................32
IV. PENCEGAHAN
IV.1. Pencegahan primer.......................................................................................34
IV.2. Pencegahan sekunder...................................................................................36
IV.3. Pencegahan tersier.........................................................................................36
V. MASALAH-MASALAH KHUSUS.............................................................................36
VI. PERTANYAAN DAN JAWABAN .....................................................................39
VII.PENUTUP
VII.1. Kesimpulan........................................................................................40
VII.2. Saran ................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................41
3
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
LATAR BELAKANG
Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyakit degeneratif yang tidak menular
dan dipastikan akan meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes sudah merupakan salah
satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Meningkatnya prevalensi
diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di
negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang yang mengalami transisi demografi dan sebanding dengan peningkatan jumlah
penderita diabetes.
Selain itu,salah satu masalah utama dari diabetes melitus ialah komorbid dan
komplikasinya yang meningkatkan angka mortalitas diabetes. Berdasarkan hal diatas dan
juga sebagai tugas dalam stase Kedokteran Komunitas I menjadi latar belakang penulisan
laporan Tinjauan pustaka ini.
TUJUAN
Mengetahui tentang penyakit Diabetes mellitus baik secara teoritik dimulai dari
definisi, klasifikasi, alur penegakan diagnosis sampai penatalaksanaan secara komprehensif
dan terpadu maupun secara aplikatif dengan menerapkan dasar teori yang dipelajari bagi
para pembaca umumnya dan penulis khususnya.
4
DIABETES MELITUS
I. DEFINISI
I.1. Definisi:
Menurut Ammerican Diabetes Assosiation (ADA) 2010, Diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi
Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan
sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi
secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problem anatomik dan kimiawi
yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan gangguan fungsi insulin
I. 2. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut PERKENI tahun 2010 sebagai berikut :
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut disebabkan oleh autoimun atau idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin.
Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pancreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
DM Gestasional Diabetes melitus pada kehamilan.
5
II. PATOFISIOLOGI
II.1 Fisiologi insulin
Insulin ialah hormon berupa rangkaian asam amino yang dihasilkan oleh sel beta
kelenjar pankreas.
Sintesis insulin
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk preproinsulin (precursor hormon insulin) pada retikulum
endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim peptidase, preproinsulin mengalami pemecahan
sehingga terbentuk proinsulin yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung
(secretory vesicles) dalam sel tersebut. Di sini,sekali lagi dengan bantuan peptidase, proinsulin
diurai menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk disekresikan
secara bersamaan melalui membran sel.
Sekresi insulin
Kadar glukosa darah yang meningkat merupakan komponene utama yang memberi rangsangan
terhadap sel beta dalam memproduksi insulin sekaligus sebagai tahap awal terjadinya sekresi
insulin. Disamping glukosa,beberapa jenis asam amino dan obat-obatan dapat pula memiliki
efek yang sama dalam rangsangan terhadap sel beta. Berikut tahapan sekresi insulin:
- Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membran sel. Untuk dapat melewati memebran
sel beta, dibutuhkan bantuan senyawa lain yakni glucose transporter 2 (glut2) yang terdapat
dalam sel beta.
- Selanjutnya molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi di dalam sel dan
membebaskan molekul atp. Molekul atp yang terbentuk, mengaktifkan penutupan k channel
pada membran sel.
- Penutupan k channel berakibat terhambatnya pengeluaran ion k dari dalam sel yang
menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang diikuti oleh pembukaan ca channel.
- Masuknya ion Ca2+ ini yang merangsang terjadinya mobilisasi vesikel proinsulin ke membran
sel dan akhirnya di sekresikan dalam bentuk insulin dan peptida-C
6
Dinamika sekresi insulin
Dalam keadaan fisiologis, insulin disekresikan sesuai dengan kebutuhan tubuh normal oleh sel
beta dalam dua fase, yakni:
- Sekresi fase 1: acute insulin secretion response (AIR) adalah sekresi insulin yang terjadi segera
stelah ada rangsangan sel beta, muncul cepat dan berakhir juga cepat. AIR yang berlangsung
normal mencegah terjadinya hiperglikemia akut setelah makan.
- Sekresi fase 2, setelah sekresi fase 1 berakhir :sustained phase atau latent phase, dimana sekresi
insulin kembali meningkat secara perlahan dan bertahan dalam waktu relatif lebih lama.
Seberapa tinggi puncak nya(secara kuantitatif) akan ditentukan oelh seberapa besar kadar
glukosa darah di akhir fase 1.
Aksi insulin
Target organ utama insulin yakni hepar, jaringan otot dan jaringan adiposa. Pada dasarnya,
insulin berperan dalam pengambilan glukosa, penggunanan dan penyimpanannya. Insulin akan
berikatan dengan sejenis reseptor di membran sel pada target organ yang selanjutnya memediasi
masuknya glukosa dari ekstrasel ke intrasel, metabolisme glukosa di dalam sel otot dan lemak
dan memberikan signal dalam pengaturan kadar gula darah oleh hepar.
7
II.2 Patofisiologi DM
1. Diabetes Tipe I
Dulu disebut insulin-dependent diabetes (IDDM, "diabetes yang bergantung pada
insulin").Terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel
pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia postprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam
urin (glukosuria). Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit
yang berlebihan, keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).
2. Diabetes Tipe II
Dulu disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM, "diabetes yang
tidak bergantung pada insulin") Terdapat dua masalah utama yang berhubungan
8
dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya
insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam
metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai
dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal
atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan
terjadi diabetes tipe II.
9
II.3 Tanda dan gejala Diabetes Melitus
- Banyak kencing (poliuria).
- Haus dan banyak minum (polidipsia), lapar (polifagia)
- Letih, lesu dan mengantuk
- Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
- Lemah badan, kesemutan, gatal, pandangan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan
pruritus vulvae pada wanita
- Dan gejala lain yang menyertai.
Mekanisme munculnya keluhan khas pada diabetes melitus, yakni pada diabetes melitus
terjadi keadaan hiperglikemia. Jika hiperglikemia ini melebihi ambang ginjal untuk proses
filtasi zat ini, maka akan terjadi glikosuria. Glikosuria ini akan menyebabkan diuresis
osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus(polidipsia).
Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif
dan berat badan berkurang. Rasa lapar ini timbul sebagai akibat dari kehilangan kalori.
III. PENGELOLAAN
III.1 Diagnosis Diabetes melitus
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar,glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM,
pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (Whole
Blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-
angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk
tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer.
Cara Mendiagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut dibawah ini :
Keluhan klasik DM berupa:
10
Poliuria, polldipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan dis-
fungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara :
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka dilakukan pemeriksaan glukosa
plasma sewaktu ≥200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
b. Dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan,
mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan dianjurkan
untuk diagnosis DM.
c. Dengan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Meskipun TTGO dengan
beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-utang dan dalam praktik sangat jarang
dilakukan.
Langkah diagnostik DM dan TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) dapat dilihat pada
gambar berikut :
11
Kriteria diagnosis DM:
Apabila Hasil Pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal dan DM, maka di golongkan ke
dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang diperoleh.
TGT Diagnosis TGT bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2
jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L
GDPT Diagnosis GDPT ditegakan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL (5,6-6,9 mmol/L
Adapun Cara pelaksanaan TTGO (WHO ,1994) yaitu sebagai berikut :
1. 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohirat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaaan minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram ( orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukasa selesai.
6. Diperiksa kadar glukosa darah 2(dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap lstirahat dan tidak
merokok.
12
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mernpunyai risiko DM namun
tidak menunjukkan adanya gejala DM.. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan
pasien dengan DM, TGT, Maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat.
Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan
sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM
dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemenksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor
risiko DM. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Apabila pada pemeriksaan penyaring ditemukan
hasil positif, maka perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa atau
dengan TTGO standar.
Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak
dianjurkan mengingat biaya yang mahal, serta pada umumnya tidak diikuti dengan rencana
tindak. lanjut bagi mereka yang ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan penyaring juga
dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain atau general check-up.
Kadar GDS dan GDP sebagal patokan penyaring dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Kadar GDS dan GDP sebagal patokan penyaring.
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar GDS
Plasma vena
Darah kapiler
Kadar GDP
Plasma vena
Darah kapiler
< 100
<80
<110
<90
100 - 200
80 - 200
110 - 126
90 – 110
>200
>200
>126
>110
Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain,
pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
13
III.2 Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang
diabetes.
Tujuan Penatalaksanaan
Jangka pendek : Menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa
nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
Jangka panjang : Mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.
Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan
perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Langkah-langkah Penatalaksanaan Penyandang Diabetes
Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama meliputi :
a. Riwayat penyakit
Gejala yang timbul
Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, termasuk
A1C dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM.
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya ataupun yang sedang dijalan
secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah
diperoleh tentang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang
diikuti dalam bidang terapi kesehatan.
Riwayat komplikasi akut, Riwayat infeksi sebelumnya, Riwayat penyakit dan
pengobatan diluar DM
Faktor risiko ,Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan,status ekonomi,
Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi dan kehamilan. Faktor terkait
lainnya
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi badan, berat badan dan lingkar pinggang.
14
Pengukuran tekanan darah termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik serta angkle
brachial index (ABI) untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah
tepi.
Pemeriksaan organ lain terkait dengan manifestasi dan komplikasi diabetes
melitus.
Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain
c. Evaluasi Laboratorium dan Penunjang Lain
Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
A1C
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL,LDL,trigliserida)
Kreatinin serum, Albuminuria, Keton, sedimen dan protein dalam urin
Elektrokardiogram dan Foto sinar-x dada
d. Tindakan Rujukan
Sistem rujukan perlu dilakukan pada seluruh pusat pelayanan kesehatan
yang memungkinkan dilakukan rujukan. Rujukan meliputi :
Ke bagian mata bila diperlukan pemeriksaan mata lebih lanjut.
Rujukan untuk terapi gizi medis sesuai indikasi.
Rujukan untuk edukasi kepada edukator diabetes
Rujukan kepada perawat khusus kaki (poodiatrist), spesialis perilaku
(psikolog) atau speslalis lain sebagai bagian dari pelayanan dasar dan sesuai
kebutuhan
Evaluasi medls secara berkala :
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
atau pada waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan AlC dilakukan setiap (3-6) bulan.
Secara berkala dilakukan pemeriksaan jasmani dan lab terkait
15
Pilar Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan
latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu). Bila setelah itu kadar
glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru
dilakukan intervensi farmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulin
sesuai dengan indikasi
Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau
langsung kombinasi, sesuai indikasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri,tanda
dangan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien,
sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri setelah
mendapat pelatihan khusus, yiatu melalui :
1. Edukasi
DM tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi
aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam
menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku,
dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala
hipoglikemi serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. Pemantaun
kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri setelah mendapat pelatihan
khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total.
Kunci keberhasilan TNM adalah keterilbatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan.
Untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan
jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
16
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan
tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki,
bersepeda santai, jogging dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat
komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak
atau bermalas-malasan.
4. Intervensl Farmakologls
Intetvensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukoia darah belum tercapal
dengan pengaturan makanan dan latihan jasniani.
a. Obat hipoglikemik oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan :
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion.
Penghambat glukoneogenesis : metformin
Penghambat absorpsl glukosa : penghambat glukosidase alfa
DPP-IV Inhibitor
Kegagalan pengendalian hiperglikemi pada DM setelah melakukan perubahan gaya
hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya komplikasi
diabetes atau paling sedikit menghambatnya.
Kasus DM yang paling banyak dijumpai adalah DM tipe 2 yang umumnya
mempuyai latar belakang kelainan yang diawali dengan resistensi insulin. Awalnya
resistensi insulin masih belum menyebabkan kelainan DM secara klinis. Pada saat
tersebut sel beta pancreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi
17
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat.
Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pancreas, baru akan terjadi DM
secara klinis, ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria
DM.
Dengan dasar pengetahuan ini, dapat diperkirakan bahwa dalam mengelola DM tipe
2, pemilihan penggunaan intervensi farmakologik sangat tergantung pada fase mana
diagnosis DM ditegakkan yaitu sesuai dengan kelainan yang terjadi pada saat tersebut
seperti:
Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati
Kenaikan produksi glukosa oleh hati
Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas
Macam-macam obat anti hiperglikemik oral
1. Golongan insulin sensitizing
Biguanid
Yang banyak dipakai saat ini adalah metformin. Metformin terdapat dalam
konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dometabolisme, tapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut, maka metformin
diberikan 2-3x/hari kecuali dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis
maksimal dapat menurunkan A1c 1-2%. Efek samping yang terjadi adalah asidosis
laktat, dan sebaiknya tidak digunkaan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(creatinin >1,3 mg/dl pada perempuan dan >1,5 mg/dl pada laki-laki) atau pada
gangguan fungsi hati dan gagal jantung, serta harus diberikan dengan hati-hati pada
lansia.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan kadar glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan
menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat
absorbsi glukosa di usus seusai makan. Setelah diberikan peroral, metformin akan
mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh.
Metformin akan menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak menyebabkan
hipoglikemi, sehingga tidak dinyatakan sebagai obat hipoglikemik, tapi sebagai obat
anti hiperglikemik. Pada keadaan tunggal metformin dapat menurunkan kadar
glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga
18
turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada penggunaan
sulfonilurea.
Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal
pengelolaan diabetes dan hanya 50% pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat
dikendalikan dengan pengobatan tunggal metformin atau sulfonilurea sampai dosis
maksimal.
Efek samping gastrointestinal sering ditemukan pada pemakaian awal metformin
dan bisa dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan
diberikan bersamaan dengan makanan.
Efektivitas insulin menurunkan kadar glukosa pada orang gemuk sebanding
dengan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid, maka metformin sebagai
monoterapi pada awal pengelolaan DM pada orang gemuk dengan dislipidemi dan
resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga
memiliki efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat
diberikan secara oral, kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat
oral lainnya. Monoterapi dengan glitazon dapat memperbaiki konsentrasi glukosa
darah puasa hingga 59-80 mg/dl dan A1c 1,4-2,6% dibanding dengan plasebo.
Mekanisme kerja. Glitazon merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma
terdapat di dalam jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan
hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid,
diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa protein yang dapat memperbaiki
sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia (GLUT-1, GLUT-4, dll) selain itu
dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin, seperti TNF
alfa, leptin, dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2
jam dan makanan tidak tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini.
Penggunaan dalam klinik.. Rosiglitazone dan pioglitazon dapat digunakan
sebagai monoterapi maupun kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.
19
2. Golongan sekretagok insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemi dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini meliputi sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonilurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an.
Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan DM dimulai.
Terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat
pada reseptor channel tersebut, maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi
depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan
penyebabkan peningkatan Ca intrasel, ion Ca akan terikat pada Calmodulin dan
menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan. Karena itu hanya bermanfaat pada pasien yang masih dapat
mengeluarkan insulin.
Untuk mengurangi hipoglikemi terutama pada pasien tua, dipilih obat yang masa
kerjanya paling singkat. Obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang sebaiknya
tidak dipakai pada usia lanjut. Selain pada orang tua, hipoglikemi juga sering terjadi
pada pasien gagal ginjal, gangguan fungsi hati berat dan pasien dengan asupan
makanan yang kurang dan jika digunakan bersama obat sulfa.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar (36%) daripada
glukosa setelah makan (21%).Penggunaan dalam klinik. Pada pemakaian sulfonilurea
umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan
hipoglikemi.Dosis permulaan tergantung pada beratnya hiperglikemi. Bila
konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dl sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan
dititrasi bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai kadar GDP 90-130 mg/dl.
Bila GDP >200 mg/dl bisa diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya
diberikan ½ jam sebelum makan karena diserap dengan baik. Pada obat yang
diberikan satu kali setiap hari sebaiknya diberikan saat makan pagi atau saat makan
porsi besar.Kombinasi sulfonilurea dengan insulin lebih baik daripada insulin sendiri
dan dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah.
20
Glinid
Kerjanya melalui reseptor sulfonilurea, memiliki kemiripan struktur dengan
sulfonilurea namun berbeda efeknya. Repaglinid dan nateglinid keduanya diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui
metabolisme dalam hati hingga diberikan 2-3 x/hari. Repaglinid bisa menurunkan
kadar glukosa darah puasa mesk masa paruhnya singkat karena menempel pada
reseptor sulfonilurea. Nateglinid mempunyai masa tinggal yang lebih singkat dan
tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Keduanya merupakan sekretagok yang
khusus menurunkan kadar glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang
minimal. Kekuatan untuk menurunkan kadar A1c tidak begitu kuat.
3. Penghambat alfa glukosida
Obat ini menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga
dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurukan hiperglikemi postprandial.
Obat ini bekerja di lumen usus, tidak menyebabkan hipoglikemi dan tidak
berpengaruh pada kadar insulin.
Acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang terdapat
pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Sebagai
monoterapi tidak dapat merangsang sekresi insuli dan tidak menyebabkan
hipoglikemi. Efek samping pada GI tract seperti meteorismus, flatulence dan diare.
Penggunaan dalam klinik bisa digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi
dengan insulin, metformin, glitazone, atau sulfonilurea. Untuk efek maksimal, obat
harus diberikan segera saat makan utama. Monoterapi dengan acarbose menurunkan
rata-rata glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan GDP10-20 mg/dl, A1c sebesar 0,5-
1%. Dengan terapi kombinasi dengan sulfonilurea, metformin atau insulin, acarbose
bisa menurunkan lebih banyak A1c sebesar 0,3-0,5% dan rata-rata glukosa post
prandial 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.
4. DPP-IV Inhibitor
Glucagon –like-peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini di sekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
21
glukagon. Namun demikian,secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptydil
peptidase-4 (DPP-4) menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2 sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional. Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP-4 atau memberikan hormon asli atau analognya (analog
incretin=GLP-1 agonis).
Ringkasan penggunaan OHO yaitu :
No. Golongan Mekanisme kerja Dosis dan sediaan ES-KI
1. Sulfonil urea-
Glibenclamid
Insulin secretagous
: ATP-sensitive K
channel
S:2,5-5mg/tab
DH:2,5-15mg
LK:12-24jam
F:1-2x/hari AC
ES:hipoglikemi
KI:pasien hepar&
ginjal
2. Meglitinid-
Repaglinid
SD no.1, t ½ 1 jam S:1mg/tab
DH:1,5-6mg
LK:-
F:3x/hariAC
SD no.1, ES: ggn GI
3. Biguanid-
Metformin
↓ Prod glukosa
hepar dan ↑ sens.
Jar otot& adiposa
thdp insulin
S:500-850mg
DH:250-3000
LK:6-8jam
F:1-3x/hari
PC/bersama mkn
ES: gjala GI
KI: hamil, pasien
hepar, c, ginjal, ph.
No. Golongan Mekanisme kerja Dosis dan sediaan ES-KI
4. Tiazolidinedion Mengaktifkan S:15-30mg/tab ES: ↑BB, edema
22
- pioglitazone PPAR-g, terbentuk
GLUT baru
DH:15-45mg
LK:24 jam
F:1x sehari
KI:ggal jtg 3-4
5. Penghambat α-
glikosidase
(acarbose)
Mengurangi
absorbsi glukosa di
usus halus
S:50-100mg
DH:100-300mg
LK:-
F:3x bersama
suapan I
ES: kembung, flatulens
6. DPP-IV
Inhibitor
(vildagliptin)
Menghambat kerja
DPP-IV- GLP
meningkat
S:50 mg/tab
DH:50-100mg
LK:12-24 jam
F:1-2x
-
Obat mahal
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.
b. Suntikan
1. Insulin
Pemberian Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat.
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis.
Ketoasidosis diabetic, Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik dan
Hiperglikemia dengan asidosis laktat.
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal.
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke).
23
Kehamilan dengan DM/diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan.
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat atau Kontra indikasi dan atau
alergi terhadap OHO.
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis, yaitu:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin).
Insulin kerja pendek (short acting insulin.)
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin).
Insulin kerja panjang (long acting Insulin).
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin, sebagai berikut :
Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Memulai alur pemberian insulin
Pada pasien DM tipe 1 terapi insulin dapat diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan. Pada pasien ini terapi yang dianjurkan adalah injeksi harian multipel
untuk mencapai kendali kadar glukosayang baik. Selain itu pemberian bisa juga
dilakukan dengan pompa insulin.
Menurut PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006, sebagai
pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1c>6,5%) dalam
jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai
terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin, yaitu:
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiens insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
24
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi. Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal (satu
macam) berupa : Insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek (Short acting),
kerja menegah (intermediate acting), kerja panjang (long acting) atau insulin
campuran tetap(premixed insulin).
Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.
Penyesuaian dosis insulin dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4
hari bila sasaran terapi belum tercapai.
Cara penyuntikan Insulin sebagai berikut :
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit (subkutan), dengan
arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit. Pada keadaan
khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip.
Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek
dan kerja menengah, dengan perbandingan dosis tertentu. Apabila tidak terdapat
sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan dosis yang lain,
dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin tersebut. Teknik
lengkapnya pencampuran dan lainnya dapat dilihat dalam buku panduan tentang
insulin.
b. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk
pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan
insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan
yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek lainnya adalah
menghambat penglepasan glukagon. Pada binatang percobaan,obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek sampingnya antara lain rasa sebah
dan muntah.
Terapi Kombinasi
25
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa
darah.Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi, harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula
diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO
dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinik dimana insulin tidak
memungkinkan untuk dipakai dipilih terapi dengan kombinasi tiga OHO. Untuk
kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan
insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan
pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya
dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya.
Bila dengan cara seperti diatas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja.
Penilalan Hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah yaitu :
Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai.
Untuk melakukan penyesualan dosis obat, bila belum tercapai sasaran
terapi.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam postprandial secara berkala sesuai
26
dengan kebutuhan. Kalau karena salah satu hal terpaksa hanya dapat
diperiksa 1 kali dianjurkan pemeriksaan 2 jam post prandial.
b. Pemeriksaan A1C (Tes hemoglobin terglikosilasi / gllkohemoglobin /
hemoglobin glikosilasi)
A1C merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan
terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk
menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan
dilakukan minimal 2 kali dalam setahun.
c. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler.
Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen
kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh
kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai
dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan
dengan reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.
PGDM dianjurkan bagi paslen dengan pengobatan insulin atau pemicu
sekresi insulin.
d. Pemeriksaan glukosa urin
Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak
langsung. Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau
memeriksa kadar glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata
sakitar 180 mg/dL, dapat bervariasl pada beberapa paslen, bahkan pada pasien
yang sama dalam jangka waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat tergantung
pada fungsi ginjal dan tidak dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan
terapi.
5. Penentuan benda keton
Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup
penting terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk
27
(kadar glukosa darah > 300mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga
diperlukan pada penyandang diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton
urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting
adalah asam beta hidroksibutirat. Kadar asam beta hidroksibutirat darah <
0,6 mmol/L dianggap normal, diatas 1,0 mmol/L disebut ketosis dan
melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD (Keto Asidosis Diabetik).
Pengukuran kadar glukosa darah dan benda keton secara mandiri dapat
mencegah terjadinya penyulit akut diabetes, khususnya KAD.
Kriteria pengendalian Diabetes Melitus
Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian
DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali dengan balk,
apabila kadar glukosa darah mencapai dari yang diharapkan serta kadar lipid dan
AlC juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian status gizi dan tekanan darah.
Kriteria Pengendalian DM (Asia Pasifik)
Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl)
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)
80-109
110-144
110-125
145-179
>126
>180
A1c (%) <6.5 6.5 – 8 >8
Kolesterol Total (mg/dl)
Kolesterol LDL (mg/dl)
Kolesterol HDL (mg/dl)
Trigeliserida (mg/dl)
<200
<100
>45
<150
200-239
100-129
150-199
>240
>130
>200
IMT (kg/m2) 18,5-22,9 23-25 >25
Tekanan darah (mmHg) <130/80 130-140/80-90 >140/90
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar
glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL dan sesudahmakan 145-
180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah dan lain-lain, mengacu pada
batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus
pasien usia lanjut dan untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping
hipoglikemia dan interaksi obat.
28
III.3 Promosi Perilaku Sehat Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Promosi perilaku sehat merupakan faktor penting pada kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk mendapatkan hasil pengelolaan diabetes yang optimal dibutuhkan perubahan perilaku.
Perlu dilakukan edukasi bagi pasien dan keluarga untuk pengetahuan dan peningkatan
motivasi. Hal tersebut dapat terlaksana dengan baik melalui dukungan tim yang terdiri dari
dokter, ahli diet, perawat dan tenaga kesehatan lain.
Perilaku Sehat bagi Penderita Diabetes Melitus Tipe 2
Tujuan perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes dapat menjalani pola hidup
sesuai perilaku yang diharapkan, yaitu :
Mengikuti pola makan sehat dan Meningkatkan kegiatan jásmani.
Menggunakan obat diabetes dan obat-obat pada keadaan khusus secara aman,
teratur. Melakukan PGDM dan memanfaatkan data yang ada. Memiliki kemampuan
untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat.
Melakukan perawatan kaki secara berkala.
Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan ingin bergabung
dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti
pengelolaan penyandang diabetes.
Edukasi Perubahan Perilaku
Deteksi dini kelainan kaki risiko tinggi
Kaki yang berisiko tinggi antara lain:
Kulit kaki yang kering,bersisik dan retak-retak serta kaku. Bulu-bulu rambut kaki
yang menipis. Kelainan bentuk dan warna kuku
Kalus (mata ikan) terutama di telapak kaki
Perubahan bentuk jari, kaki baal, kesemutan dan terasa dingin
Bekas luka atau riwayat amputasi jari-jari.
29
Elemen kunci edukasi perawatan kaki
Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air
Periksa kaki setiap hari dan laporkan pada dokter apabila ada kulit yang
terkelupas, kemerahan atau luka
Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
Potong kuku teratur, keringkan kaki setelah dari kamar mandi, selalu mejaga kaki
dalam keadaan bersih, tidak basah dan mengoleskan krim pelembab pada kulit yang
kering
Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi dan
apabila sudah ada bentuk kelainan kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus.
Prinsip-prinsip perawatan ulkus kaki diabetes
Metabolic control: pengendalian keadaan metabolik sebaik mungkin seperti pengendalian kadar
glukosa darah, lipid dan sebagainya.
Vascular control: perbaikan suplai vascular (dengan operasi, ateu angioplasti) biasanya
dibutuhkan pada keadaan ulkus iskemik
Infection control: pengobatan infeksi secara agresif, jika terlihat tanda klinis infeksi (indikasi adanya
kolonisasi dad pertumbuhan organisme pada hasil usap bukan merupakan infeksi, jika tidak terdapat
tanda klinis)
Wound control: Pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrotis secara teratur
Pressure control: mengurangi tekanan yang berulang dapat menyebabkan ulkus, sehingga harus
dihindari. fiat itu sangat panting dilakukan pada ulkus neuiopatik, dan diperlukan pembuang -an
kalus dan memakaikan sepatu yang pas yang berfungsi untuk mengurangi tekanan
Education control: Penyuluhan yang baik
III.4 Kelainan komorbid
30
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi kelainan penyerta yang mengikuti keadaan
diabetes melitus, diantaranya :
1. Dislipidemia pada diabetes
2. Hipertensi pada diabetes
3. Obesitas pada diabetes
4. Gangguan koagulasi pada diabetes
III.5 Penyulit Diabetes Melitus Tipe 2
Dalam perjalanan penyakit DM Tipe 2, dapat terjadi penyulit akut dan menahun :
Penyulit Akut
Terdiri dari :
1. Ketoasidosis diabetic
Komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300-600mg/dl) disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma
keton (+)kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan
anion gap
2. Hiperosmolar non ketotik
Terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi 9600-1200mg/dl), tanpa tanda dan
gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml),plasma keton
(+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat
Catatan:
Kedua keadaan diatas memerlukan perawatan di rumah sakit karena memiliki angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya :
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan
oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan
suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
31
kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia
lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar,banyak keringat,
gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun
sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan
makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan
ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
Penyullt Menahun
1. Makroangiopati:
Pembuluh darah jantung dan Pembuluh darah otak.
Pembuluh darah tepi: Penyakit arteri perifer sering terjadi pada
penyandang diabetes. Biasanya teriadi dengan gejala tipikal intermittent
claudicatio, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang Ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul.
2. Mikroangiopati:
Retinopati diabetik, kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati.
Nefropati diabetik, kendali glukosa dan tekanan darah yang
baik akan mengurangi risiko nefropati, Pembatasan asupan protein dalam
diet (0,8/kg/BB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati.
3. Neuropati
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sating dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri,
dan lebih terasa sakit di malam hari.
32
Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik
atau gabapentin.
IV.Pencegahan Diabetes Melitus
IV.1 Pencegahan Primer
Sasaran pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor risiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk
mendapatkan DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Faktor risiko diabetes sama dengan faktor risiko untuk intoleransi glukosa
yaitu :
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi,diantaranya :
Ras dan etnik.
Riwayat keluarga dengan diabetes (anak penyandang diabetes).
Umur. Risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia ≥ 45 tahun harus dilakukan
pemeriksaan DM.
Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG).
b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi, diantaranya:
Berat badan lebih (IMT >23 kg/m2).
Kurangnya aktivitas fisik.
Hipertensi ( 140/90 mmHg), Dislipidemia (HDL 35 mg/dL dan atau
trigliserida 250 mg/dL).
Diet tak sehat . (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat
akan meningkatkan resiko menderita prediabetes dan DM tipe 2.
33
c. Faktor lain yang terkait dengan risiko diabates :
Penderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin.
Memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit
kardiovaskuler seperti stroke, (Penyakit jantung koroner (PJK),
(Peripheral Arterial Diseases) PAD.
d. Intoleransl Glukosa
Intoleransi glukosa merupakan suatu keadaan yang mendahului timbulnya
diabetes. Angka kejadian intoleransi glukosa dilaporkan terus rnengalami
peningkatan.
Materi Pencegahan Primer
Materi pencegahan primer terdiri dari tindakan penyuluhan dan pengelolaan yang ditujukan
untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi dan intoleransi glukosa. Materi
penyuluhan meliputi antara lain:
- Program Penurunan Berat Badan
- Diet Sehat
- Latihan Jasmani
- Menghentikan Merokok
IV.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderlta DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup
dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya
pencegahan sekunder program penyuluhan memegang peranan penting untuk meningkatkan
kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.
Penyuluhan untuk pencegahan sekunder ditujukan terutama pada pasien baru.
Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada setiap kesempatan
34
pertemuan berikutnya. Materi penyuluhan pada tingkat pertama dan lanjutan dapat dilihat pada
materi edukasi dan materi tentang edukasi tingkat lanjut.
IV.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut.
Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap.
Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80-325 mg./hari) dapat diberikan secara rutin bagi
penyandang diabetes yang sudah mempunyai penyulit Makroanglopati.
Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga.
Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan holistik dan terintegrasi antar disiplin
yang terkait, terutama dirumah sakit rujukan. Kolaborasi yang baik antar para ahli di
berbagai disiplin (Jantung dan ginjal, mata,bedah ortopedi, bedah vaskular, radologi,
rehabilitasi medis, gizi, podiatrist, dll) sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan
pencegahan tersier.
V. Masalah-masalah Khusus
1. Diabetes dengan infeksi
Adanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah.lnfeksi dapat
memperburuk kendali glukosa'daah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan kemudahan atau
memperburuk infeksi.
2. Diabetes dengan Nefropati Diabetik
Sekitar 20-40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetic. Didapatkannya
albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam (mikroalbuminuria) rnerupakan tanda dini
nefropati diabetic. Pasien yang disertai dengan albuminuria mikro dan berubah menjadi
makroalbuminuria ( 300 mg/24 jam), pada akhirnya sering berlanjut menjadi gagal ginjal kronik stadium
akhir. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin 30 mg dalam urin 24
jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab albuminuria
lainnya.
35
3. Diabetes dengan Disfungsi Ereksi (DE)
Prevalensi DE pada penyandang diabetes tipe lebih dari 10 tahun cukup tinggi dan
merupakai akibat adanya neuropati autonom, angiopati dan problem psikis. DE sering menjadi
sumber kecemasan pe nyandang diabetes, tetapi jarang disampaikai kepada dokter oleh
karena itu perlu ditanyakai saat konsultasi. DE dapat didiagnosis dengan menggunakar
instrument sederhana yaitu kuesioner IIEF; (International Index of Erectile Function 5). Upaya
pengobatan utama adalah memperbaik kontrol glukosa darah senormal mungkin dar memperbaiki faktor
risiko DE lain seperti disli pidemia, merokok, obesitas dan hipertensi. Pengobatan lini pertama ialah
terapi psikosek. sual dan obat oral antara lain sildenafil dar vardenafil
4. Diabetes dengan kehamilan/ 'Diabetes Melitus Gestasional
Diabetes Melitus gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrai
(TGT,GDPT,DM) yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang ben
plaanngislaulnaga. adanya risiko DMG perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk pemeriksaan
kehamilannya.
Faktor risiko DMG antara lain: obesitas, adanya riwayat pernah mengalami DMG,
glukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat
melahirkan bayi dengan cacat bawaan atau melahirkan bayi dengan berat >4000 gram, dan adanya
riwayat preeklamsia.
Diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan TTGO dilakukan dengan memberikan beban
75 gr glukosa setelah berpuasa 8-14 jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa,
1 jam dan 2 jam setelah beban. DMG ditegakkan apabila ditemukan hasil pemeriksaan
glukosa darah puasa 95mg/dL, 1 jam setelah beban 180mg/dL dan 2 jam setelah beban
>155mg/dL. Apabila hanya dapat dilakukan 1 kali pemeriksaan glukosa darah maka
lakukan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah pembebanan, bila didapatkan hasH glukosa
darah 155mg/dL, sudah dapat didiagnosis sebagai DMG.
Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu oleh spesialis penyakit
dalam, spesialis obstetri ginekologi, ahli diet dan spasialis anak.Tujuan penatalaksanaan
adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu, kesakitan dan kematian perinatal. Ini
hanya dapat dicapai apabila keadaan normoglikemia dapat dipertahankan selama
kehamilan sampai persalinan. Sasaran normoglikemia DMG adalah kadar glukosa darah
36
puasa 95 mg/dL dan 2 jam setelah makan 120 mg/dL. Apabila sasaran kadar glukosa darah
tidak tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani, langsung diberikan insulin.
5. Diabetes dengan lbadah Puasa
Penyandang diabetes yang terkendali dengan pengaturan makan saja tidak akan mengalami
kesulitan untuk berpuasa. Selama berpuasa Ramadhan, perluu dicermati adanya perubahan jadwal,
jumlah dan komposisi asupan makanan. Perlu peningkatan kewaspadaan pasien terhadap
gejala-gejala hipoglikemia. Untuk menghindarkan terjadinya hipoglikemia pada slang had,
dianjurkan jadwal makan sahur mendekati waktu imsak/sutiuh, kurangi aktifitas fisik pada siang
had dan bila beraktivitas dianjurkan pada sore had.
Penyandang diabetes yang cukup tedcendali dengan OHO dosis tunggal, juga tidak
mengalami kesulitan untuk berpuasa. OHO dibetikan saat berbuka puasa. Hati-hati terhadap
terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat OHO dengan dosis maksimal.Bagi yang
terkendali dengan OHO dosis terbagi, pengaturan dosis obat diberikan sedemikian rupa
sehingga dosis sebelum berbuka lebih besar dari pada dosis sahur.Untuk penyandang
diabetes DM tipe 2 yang menggunakan insulin, dipakai insulin kerja menengah yang
diberikan saat berbuka saja.
6. Diabetes pada Pengelolaan perioperatif
Tindakan operasi, khususnya dengan anestesi umum merupakan faktor stres pemicu
terjadinya penyulit akut diabetes, Oleh karma itu setiap operasi elektif pada penyandang
diabetes harus dipersiapkan seoptimal mungkin (sasaran kadar glukosa darah puasa .-
5_150mg/dL, PERKENI 2002).
VI. Pertanyaan dan jawaban
1. Mengapa pasien DM cenderung mengantuk? (dr. Mayalitasari)
2. Mengapa konsumsi acarbose sebagai pengobatan DM menyebabkan efek sering platus?
(dr. Dorlina nainggolan,M.Biomed)
3. Mengapa pasien DM cenderung terkena TB dan sulit mengalami konversi? (dr.
Mayalitasari)
Jawaban :
37
1. Karena : pada keadaan hiperglikemia persisten pada pasien DM, glukosa akan
memberikan reaksi dengan mengedarkan protein strukturan secara non enzimatik. Salah
satu reaksi tersebut yakni glikosilasi Hb menjadi HbA1C. Hal ini mengakibatkan
semakin tinggi kadar glukosa, semakin tinggi Hb yang terikat dengan Glukosa, hal ini
berefek pada pengikatan oksigen oleh Hb. Semakin meningkat Hb yang terikat pada
glukosa, semakin sedikit jumlah oksigen yang terikat pada Hb sehingga menurunnya
oksigenasi ke organ-organ,salah satu gejalanya yakni keluhan mengantuk dikarenakan
kurangnya oksigenasi ke otak. (Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III edisi V th 2009
dan hasil diskusi kelompok pada saat tutorial I)
2. Karena : mekanisme kerja acarbose yang menghambat enzym α-glucosidase yang
memecah oligosakarida menjadimonosakarida (Sheehan, 2003), sehingga
karbohidrat lebih cepat mencapai usus besar dan mengakibatkan produksi gas, diare,
dan nyeri perut. Inilah yang mengakibatkan konsumsi acarbose berefek pada
frekuensi platus yang semakin sering. (Majalah Farmasi Indonesia, 20(4), 224 –
230, 2009 dan buku ajar farmakologi dan terapi FKUI 2007)
3. Karena : Pada pasien DM terjadi abnormalitas fungsi imunitas seluler dan fungsi fagosit
yang berkaitan dengan keadaan hiperglikemi dan menurunnya serta melemahnya
vaskularisasi. Hal inilah yang menyebabkan pasien DM lebih rentan terkena infeksi,
khusunya pada TB karena fungsi pertahanan tubuh terhadap kuman mycobacterium
tuberculosis yang diperankan oleh neutrofil dan makrofag menjadi tidak optimal/
melemah. (Kasper, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 1th edition.
McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2008)
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemik yang terjadi Karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya . diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4 tipe. Gejala klasik pada
penderita diabetes yakni adanya keluhan poliuri, polidipsi dan polifagi. Jumlah pasien
38
diabetes dalam kurun waktu mendatang akan sangat meningkat akibat peningkatan
kemakmuran, perubahan pola demografi dan urbanisasi. Di samping itu juga karena pola
hidup yang akan berubah menjadi pola hidup berisiko. Hal inilah yang harus diperhatikan
dalam upaya pengelolaan diabetes melitus.
Pencegahan baik primer, sekunder maupun tersier merupakan upaya yang paling
tepat dalam mengantisipasi ledakan jumlah ini, dengan melibatkan berbagai pihak
yang terkait Dari segi teknis, karena cakupannya sangat luas dalam pelaksanaannya
perlu dibantu oleh para penyuluh diabetes yang terampil.
Saran
Dalam pelaksanaannya, diabetes melitus perlu ditangani secara komprehensif dan
terpadu. Pengelolaan nya pun membutuhkan peranan berbagai bidang serta menuntut
kepekaan terhadap faktor penyulit,kelainan komorbid dan komplikasinya. Masih banyak
hal terkait yang perlu diperdalam lebih jauh lagi untuk dapat memahami kasus kasus
diabetes melitus di lapangan. Semoga tinjauan pustaka ini memberikan manfaat dan dapat
menstimulasi penulis sendiri maupun pembaca untuk lebih kritis dalam memahami baik
secara teori maupun klinis tentang diabetes melitus.
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Medical Management of type 2 Diabetes.ADA Clinical
Series. American Diabetes Association.1998
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
Farmakologi dan terapi FKUI. Edisi 5. 2009
39
Kasper, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine 1 th edition. McGraw-Hill Medical
Publishing Division. 2008
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus di
Indonesia, PB. PeRKENI. Jakarta 2010
Perkumpulan endokrinologi Indonesia. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Mellitus
tipe 2. PB.PERKENI Jakarta. Editor : S. Soegondo, P.Soewondo, I.Subekti
dkk.PB.PERKENI.Jakarta 2002
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
40