Upload
yoga-hepta-gumilar
View
1.110
Download
9
Embed Size (px)
LAPORAN PRAKTIKUM
KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN
USAHA KONSERVASI TERHADAP TINGKAT EROSI
KECAMATAN BANTARUJEG
KABUPATEN MAJALENGKA, PROVINSI JAWA BARAT
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dengan dosen pengampu
1. Prof.Dr.Darsiharjo M.si
2. Drs. Jupri MT
Disusun oleh:
Adhi Munajar (1000920)
Dini Nuraftiani (1001670)
Ikbal Saeful Aziz (1005616)
Mochamad Fajar I (1001776)
Suyanto (1006644)
Yegi PerulamaD (1001436)
Yoga Hepta Gumilar (1002055)
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas
ketersediaannya. Seperti sumber daya alam lainnya, lahan merupakan salah satu
objek pemenuhan kebutuhan manusia. Tidak ada satu pun kebutuhan manusia di
dunia ini yang tidak diperoleh dari lahan. Setiap tahunnya kebutuhan manusia
akan pangan, sandang dan papan selalu meningkat dan hampir semua yang kita
gunakan untuk kebutuhan hidup akhirnya kembali diperoleh dari alam dimana
lahan itu disediakan.
Kebutuhan dan keinginan manusia terhadap lahan merupakan sifat naluriah
dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Akan tetapi dalam pemenuhan
kebutuhannya selalu ditemukan sifat kurang puas. Sehingga mengakibatkan
terjadinya kerusakan lahan. Padahal lahan termasuk di dalamnya tanah dan air
mudah mengalami kerusakan. Kerusakan lahan tersebut ditandai dengan
hilangnya unsur hara bagi tumbuhan dan menurunnya fungsi lahan atau tanah
sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan.
Kerusakan lahan dapat terjadi secara alami, akan tetapi kerusakan lahan dapat
diakibatkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan lahan oleh manusia diakibatkan
oleh adanya kegiatan yang secara langsung menyebabkan rusaknya daya dukung
lahan antara lain pemanfaatan lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan
peruntukkannya, untuk lahan pertanian yang tidak menerapkan teknologi
konservasi bahkan tidak sedikit yang berubah fungsi menjadi areal pemukiman.
Selain itu perambahan hutan merupakan indikasi yang jelas dari suatu kombinasi
tekanan jumlah penduduk, inkonsistensi dalam rencana tata ruang wilayah dan
rendahnya penegakkan hokum.
Dalam segi ekonomi, perubahan fungsi lahan tersebut dapat memberikan
keuntungan kepada para petani. Tetapi dilihat dari segi ekologinya, hutan lindung
Mandalawangi menjadi rusak sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
ekosistem hutan. Perubahan fungsi lahan ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya bencana longsor di Gunung Mandalawangi yang terjadi pada awal
tahun 2003 yang menimpa 2 desa yaitu Desa Mandalasari (Kp. Bojong Jambu,
Kp. Babakan Nenggeng dan Kp. Sindangsari), Desa Karang Mulya (Kp. Buni
Anten). Curah hujan yang tinggi, keadaan lereng yang curam dan vegetasi yang
sedikit tidak dapat menyerap dan menahan air hujan, menyebabkan air hujan
turun langsung ke kaki gunung dengan membawa lumpur dan material lainnya.
Longsor di Gunung Mandalawangi termasuk jenis longsor aliran karena pola
jaringannya yang menjari yang dipicu oleh aliran air permukaan sebagai dampak
dari kurangnya vegetasi yang berfungsi sebagai penutup lahan sehingga tidak
dapat menyerap dan menahan air hujan yang jatuh. Kurangnya vegetasi di
kawasan longsor membuat kondisi Gunung Mandalawangi terlihat gundul.
Dampak yang terjadi akibat longsor Mandalawangi ini yaitu banyaknya korban
jiwa dan kerusakan material. Selain itu, dampak dari longsor yang masih
dirasakan sampai sekarang adalah kondisi lahan bekas longsor yang menjadi
rusak, kualitas lahan pertanian yang terkena longsor menjadi jelek menyebabkan
produktivitas pertanian menurun, sumber mata air hilang sehingga penduduk yang
berada di kaki Gunung Mandalawangi sering kekurangan air bersih apalagi di
musim kemarau.
Upaya konservasi yang dilakukan setelah bencana longsor yaitu dengan
menanami tanaman pinus di kawasan hutan lindung dan buah-buahan, mahoni,
dan tanaman lain di sekitar kawasan longsoran tersebut yang merupakan lahan
milik masyarakat. Masyarakat yang memiliki lahan di sekitar longsoran tersebut
melakukan tumpangsari dengan menanami kopi, tembakau, singkong, jagung,
palawija dan tanaman musiman lainnya sehingga gunung tetap terlihat gundul.
Begitu pula dengan upaya konservasi, kebanyakan petani tidak memperhatikan
teknik konservasi yang baik untuk mencegah pengikisan air, yaitu masih
memberlakukan kemiringan lahan yang berbeda dengan teknik konservasi yang
sama. Lemahnya penerapan teknik konservasi tanah dapat menyebabkan
terjadinya longsor susulan. Petani di kawasan longsor sebagian besar
menggunakan teknik terasering tidak sempurna tanpa adanya tanaman penguat
teras.
Untuk memperbaiki lahan bekas longsor, perlu ada upaya pelestarian sumber
daya alam yaitu dengan melaksanakan kegiatan konservasi lahan. Kegiatan
konservasi lahan bertujuan untuk mencegah kerusakan lahan agar lahan dapat
terpelihara dengan baik. Jika lahan terpelihara dengan baik, maka hasil produksi
pertanian pun akan baik. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis
mencoba meneliti permasalahan tersebut dalam penelitian dengan judul Usaha
Konservasi Terhadap Tingkat Erosi Kecamatan Bantarujeg Kabupaten
Majalengka, Provinsi Jawa Barat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, untuk lebih terarahnya penelitian
maka dirumuskan pertanyaan sebagai berikut :
1. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya erosi di Desa Cigedang?
2. Bagaimanakah pengaruh bencana erosi terhadap aktivitas masyarakat?
3. Apakah teknik konservasi yang digunakan masyarakat pada lahan bekas
bencana sesuai dengan karakteristik lahan tersebut ?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk memperoleh gambaran faktor yang menyebabkan terjadinya erosi serta
longsor di Desa Bantarujeg.
2. Untuk memperoleh gambaran sejauh mana bencana fisik (erosi, longsor,
banjir, dll) dapat mempengaruhi aktivitas masyarakat.
3. Untuk memperoleh gambaran terhadap kesesuaian teknik konservasi yang
digunakan masyarakat dengan karakteristik lahan tersebut.
D. Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Diperoleh informasi tentang pemanfaatan lahan yang sesuai dengan kaidah
konservasi di Desa Bantarujeg.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan
dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat dan praktisi kehutanan dalam
pengembangan dan pengelolaan lahan konservasi.
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Pengertian Konservasi dan Rehabilitasi
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas
kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai
upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi
kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi
dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk
sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya
alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa
batasan, sebagai berikut :
a) Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi
keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).
b) Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang
optimal secara sosial (Randall, 1982).
c) Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme
hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai,
penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan
(IUCN, 1968).
d) Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
Rehabilitasi upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan
fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. (PP tahun 2008 tentang
rehabilitasi dan reklamasi hutan).
B. Aspek-aspek yang mempengaruhi rehabilitasi dan Konservasi Lahan
a. Erosi Tanah
a) Pengertian Erosi
Erosi tanah adalah penyingkiran dan pengangkutan bahan dalam bentuk larutan
atau suspensi dari tapak semula oleh pelaku berupa air mengalir (aliran limpasan), es
bergerak atau angin (tejoyuwono notohadiprawiro, 1998: 74). Menurut G.
kartasapoetra, dkk (1991: 35), erosi adalah pengikisan atau kelongsoran yang
sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau
kekuatan angin dan air, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat
tindakan atau perbuatan manusia.
Dua sebab utama terjadinya erosi adalah karena sebab alamiah dan aktivitas
manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena adanya pembentukan tanah dan proses
yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Sedangkan
erosi karena aktivitas manusia disebabkan oleh terkelupasnya lapisan tanah bagian
atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi
tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah (chay
asdak, 1995: 441).
Lebih lanjut tentang terjadinya erosi dikemukakan oleh G.R. foster & L.D.
meyer, yaitu menjelaskan bahwa erosi akan meliputi proses-proses:
1. detachment atau pelepasan partikel-partikel tanah
2. transportation atau penghanyutan partikel-partikel tanah
3. deposition atau pengendapan partikel-partikel tanah yang telah dihanyutkan
(dalam G. kartasapoetra, dkk, 1991: 41)
b) Bentuk-bentuk erosi
G. kartasapoetra (1991: 48) menjelaskan bahwa erosi terdiri atas normal
erosion (erosi geologi) dan accelerated erosion (erosi yang dipercepat). Dari kedua
macam erosi tersebut erosi dipercepat yang perlu diperhatikan. Menurut kartasapoetra
(2000), Kirby dan morgan (1980), rahim (2000) dan van zuidam (1978), erosi yang
terjadi dapat dibedakan atas dasar kenampakan lahan akibat erosi itu sendiri. Erosi
dapat dibedakan menjadi:
erosi percik (splash erosion); terjadi karena terlepasnya butiran tanah oleh
tetesan hujan pada awal kejadian hujan.
erosi lembar (sheet erosion); terjadi jika ada genangan dengan kedalaman
tiga kali ukuran butir hujan, sulit dideteksi karena pemindahan butir-butir
tanah merata pada seluruh permukaan tanah.
erosi alur (rill erosion); dimulai dengan adanya kkonsentrasi limpasan
permukaan, aliran air akan membentuk alur-alur dangkal memanjang
pada permukaan tanah (kedalaman <50 cm).
erosi parit atau erosi selokan (gulley erosion); merupakan erosi alur yang
telah berkembang membentuk parit berbentuk huruf V dan U (kedalaman
50 – 300 cm) atau telah berkembang menjadi jurang (ravine) (kedalaman
> 300 cm).
erosi tebing sungai (stream bank erosion) atau erosi saluran (channel
erosion); umumnya terjadi pada tebing-tebing sungai yang stabil.
c) faktor yang mempengaruhi erosi
Pada dasarnya erosi adalah akibat interaksi kerja antara factor iklim, topografi,
tumbuh-tumbuhan dan manusia terhadap lahan yang dinyatakan dalam persamaan
deskriptif berikut:
E= f (i, r, v, t, m)
Dimana E adalah erosi, i adalah iklim, r adalah topografi atau relief, v adalah
vegetasi, t adalah tanah dan m adalah manusia (sitanala arsyad, 1989: 72).
a. iklim
Di daerah beriklim basah factor yang mempengaruhi erosi adalah hujan.
Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan disperse
hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi.
Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu.
Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau masa tertentu
seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahuan.
Intensitas hujan menyatakan besarnya curah hujan yang jatuh dalam suatu waktu
yang singkat yaitu 5, 10, 15, atau 30 menit, yang dinyatakan dalam millimeter per
jam atau cm per jam. Intensitas hujan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Suatu sifat hujan yang penting dalam mempengaruhi erosi adalah energi kinetis hujan
tersebut, karena merupakan penyebab pokok dalam penghancuran agregat-agregat
tanah. Kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi atau menyebabkan erosi disebut
daya erosi atau erosivitas hujan.
b. topografi
Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua unsure topografi yang
paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Selain memperbesar jumlah
aliran permukaan, makin curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran
permukaan dengan demikian memperbesar energi angkut air. Kemiringan lereng
dinyatakan dalam derajad atau persen. Kecuraman lereng 100% sama dengan
kecuraman 45° .
c. vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar tidak
jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah
sangat dikurangi. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah (1) melalui
fungsi melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, (2) menurunkan
kecepatan air larian, (3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya dan (4)
mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (chay asdak, 1995:
452).
d. tanah
Tipe tanah mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan
erosi tanah yaitu mudah tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai interaksi sifat-
sifat fisik dan kimia tanah. Sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan erosi
adalah (1) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi laju infiltrasi, permeabilitas dan
kapasitas menahan air dan (2) sifat-sifat tanah yang mempengaruhi ketahanan
struktur tanah terhadap disperse dan pengikisan oleh butir-butir hujan yang jatuh dan
aliran permukaan (sitanala arsyad, 1989: 96).
e. manusia
Manusialah yang menentukan apakah yang diusahakannya akan rusak dan
tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Perbuatan manusia
yang mengelola tanahnya dengan cara yang salah telah menyebabkan entensitas erosi
semakin meningkat. Misalnya pembukaan hutan, pembukaan areal lain untuk tempat
tanaman, perladangan dan sebagainya. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri selagi
manusia tidak bersedia untuk mengubah sikap dan tindakannya sebagaimana
mestinya, demi mencegah atau menekan laju erosi (wani hadi utomo, 1989: 39).
f. pendugaan / prakiraan erosi
Suatu model parametric untuk memprediksi erosi dari suatu bidang tanah
telah dikembangkan oleh wischmeier & smith (1965, 1978) dinamakan the universal
soil loss equation (usle). Usle memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi
suatu tanah tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk
setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi tanah) yang
mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan. Persamaan yang dipergunakan
mengelompokkan berbagai parameter fisik dan pengelolaan yang mempengaruhi laju
erosi ke dalam lima peubah utama yang nilainya untuk setiap tempat dapat
dinyatakan secara numeric. Persamaan usle adalah sebagai berikut:
A = R.K.LS.C.P
A = banyaknya tanah tererosi dalam ton per hektar pertahun.
R = factor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satu indeks erosi hujan,
yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan
maksimum 30 menit (I 30).
K = factor erodibilitas tanah yaitu laju eosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu
tanah yang didapat dari petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang
panjangnya 72,6 kaki (22 m) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman.
LS = factor panjang lereng dan kecuraman lereng. Factor panjang lereng yaitu nisbah
antara besarnya erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi
dari tanah dengan p[anjang lereng 72,6 kaki (22 m) di bawah keadaan yang identik.
Sedangkan factor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi yang terjadi
dari suatu tanah kecuraman lereng tertentu, terhadap besarnya erosi dari tanah dengan
lereng 9% di bawah keadaan yang identik.
C = factor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman yaitu nisbah antara
besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman
tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik danpa tanaman.
P = factor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya
erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengolahan
menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap besarnya erosi dari tanah
yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.
b. Erosifitas
Erosivitas hujan adalah tenaga pendorong (driving force) yang menyebabkan
terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat yang lebih rendah (chay
asdak, 1995: 455). Erosivitas hujan sebagian terjadi karena pengaruh jatuhan butir
hujan langsung di atas tanah dan sebagian lagi karena aliran air di atas permukaan
tanah.
Factor erosivitas hujan dengan intensitas hujan maksimal 30 menit (EI 30).
Jumlah dari seluruh hujan dengan spesifikasi tersebut di atas selama satu tahun
merupakan erosivitas hujan tahunan.
Pada metode usle prakiraan besarnya erosivitas hujan dalam kurun waktu
tahunan. Dalam penelitian ini menggunakan persamaan bols (1978) yang diperoleh
dari penelitian data curah hujan bulanan di 47 stasiun penakaran hujan di pulau jawa
yang dikumpulkan selama 38 tahun.
EI 30 = 6,119 (Rain) 1,21 (Days) -0,47 (Maxp) 0,53
R = curah hujan rata-rata tahunan (cm)
D = jumlah hari hujan rata-rata tahunan (hari)
M = curah hujan maksimum rata-rata 24 jam per bulan untuk kurun waktu
satu tahun (cm) (chay asdak, 1995: 457).
c. Tanah
a) Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan sifat fisik tanah yang menggambarkan susunan
ruangan partikel-partikel tanah yang bergabung satu dengan yang lain membentuk
agregat dari hasil proses pedogenesis.
Struktur tanah berhubungan dengan cara di mana, partikel pasir, debu dan liat
relatif disusun satu sama lain. Di dalam tanah dengan struktur yang baik, partikel
pasir dan debu dipegang bersama pada agregat-agregat (gumpalan kecil) oleh liat
humus dan kalsium. Ruang kosong yang besar antara agregat (makropori)
membentuk sirkulasi air dan udara juga akar tanaman untuk tumbuh ke bawah pada
tanah yang lebih dalam. Sedangkan ruangan kosong yang kecil ( mikropori)
memegang air untuk kebutuhan tanaman. Idealnya bahwa struktur disebut granular.
Pengaruh struktur dan tekstur tanah terhadap pertumbuhan tanaman terjadi
secara langsugung. Struktur tanah yang remah (ringan) pada umumnya menghasilkan
laju pertumbuhan tanaman pakan dan produksi persatuan waktu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan struktur tanah yang padat. Jumlah dan panjang akar pada
tanaman makanan ternak yang tumbuh pada tanah remah umumnya lebih banyak
dibandingkan dengan akar tanaman makanan ternak yang tumbuh pada tanah
berstruktur berat. Hal ini disebabkan perkembangan akar pada tanah berstruktur
ringan/remah lebih cepat per satuan waktu dibandingkan akar tanaman pada tanah
kompak, sebagai akibat mudahnya intersepsi akar pada setiap pori-pori tanah yang
memang tersedia banyak pada tanah remah. Selain itu akar memiliki kesempatan
untuk bernafas secara maksimal pada tanah yang berpori, dibandiangkan pada tanah
yang padat. Sebaliknya bagi tanaman makanan ternak yang tumbuh pada tanah yang
bertekstur halus seperti tanah berlempung tinggi, sulit mengembangkan akarnya
karena sulit bagi akar untuk menyebar akibat rendahnya pori-pori tanah. Akar
tanaman akan mengalami kesulitan untuk menembus struktur tanah yang padat,
sehingga perakaran tidak berkembang dengan baik. Aktifitas akar tanaman dan
organisme tanah merupakan salah satu faktor utama pembentuk agregat tanah.
Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar kecilnya
air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum
dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air
hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan
permukaan (longsor). Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan
penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan
sebagian besar menjadi aliran permukaan (longsor) Pembentukan Agregat
Menurut Gedroits (1955) ada dua tingkatan pembentuk agregat tanah, yaitu:
a. Kaogulasi koloid tanah (pengaruh Ca2+) kedalam agregat tanah mikro
b. Sementasi (pengikat) agregat mikro kedalam agregat makro.
Teori pembentukan tanh berdasarkan flokulasi dapat terjadi pada tanah yang
berada dalam larutan, misal pada tanah yang agregatnya telah dihancurkan oleh air
hujan atau pada tanah sawah. Menurut utomo dan Dexter (1982) menyatakan bahwa
retakan terjadi karena pembengkakan dan pengerutan sebagai akibat dari pembasahan
dan pengeringan yang berperan penting dalam pembentukan agregat.
Dapat diambil kesimpulan bahwa agregat tanah terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi dari butiran tunggal, liat, oksioda besi/ almunium dan bahan organik.
Agregat yang baik terbentuk karena flokuasi maupun oleh terjadinya retakan tanah
yang kemudian dimantapkan oleh pengikat (sementasi) yang terjadi secara kimia atau
adanya aktifitas biologi.
Macam macam struktur tanah
C. Struktu tanah berbutir (granular): Agregat yang membulat, biasanya
diameternya tidak lebih dari 2 cm. Umumnya terdapat pada horizon A yang
dalam keadaan lepas disebut “Crumbs” atau Spherical.
D. Kubus (Bloky): Berbentuk jika sumber horizontal sama dengan sumbu
vertikal. Jika sudutnya tajam disebut kubus (angular blocky) dan jika
sudutnya membulat maka disebut kubus membulat (sub angular blocky).
Ukuranya dapat mencapai 10 cm.
E. Lempeng (platy): Bentuknya sumbu horizontal lebih panjang dari sumbu
vertikalnya. Biasanya terjadi pada tanah liat yang baru terjadi secara deposisi
(deposited).
F. Prisma: Bentuknya jika sumbu vertikal lebih panjang dari pada sumbu
horizontal. Jadi agregat terarah pada sumbu vertikal. Seringkali mempunyai 6
sisi dan diameternya mencapai 16 cm. Banyak terdapat pada horizon B tanah
berliat. Jika bentuk puncaknya datar disebut prismatik dan membulat disebut
kolumner.
b) Permabilitas
. Permeabilitas tanah adalah suatu kesatuan yang melipui infiltrasi tanah dan
bermanfaat sebagai permudahan dalam pengolahan tanah.(Dede rohmat, 2010)
Permeabilitas merupakan besaran yang digunakan untuk menunjukkan seberapa besar
kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan fluida yang terkandung didalamnya.
Permeabilitas merupakan property suatu batuan berpori dan merupakan besaran yang
menunjukkan kapasitas medium dalam mengalirkan fluida.
• Jenis-jenis Permeabilitas.
1. Permeabilitas absolut (ka).
Yaitu pengukuran pada medium berpori untuk fluida satu fasa ketika medium
tersebut dialiri oleh satu jenis fluida, dimana saturasi fluida yang mengalir
bernilai 1.
2. Permeabilitas efektif (k).
Yaitu pengukuran pada medium berpori untuk fluida satu fasa ketika medium
tersebut dialiri oleh lebih dari satu jenis fluida.
3. Permeabilitas relatif (kr).
Yaitu perbandingan antara permeabilitas efektif fluida pada nilai saturasi
tertentu, terhadap permeabilitas absolut pada saturasi 100%.
• Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permeabilitas.
1. Distribusi ukuran butir.
Ukuran butiran yang semakin beragam dalam suatu batuan, maka pori-pori
akan semakin kecil dan permeabilitas juga akan semakin kecil.
2. Susunan (packing) butiran.
Susunan butiran yang semakin rapi, maka makin besar harga
permeabilitasnya.
3. Geometri butiran.
Semakin menyudut geometri butiran, maka permeabilitasnya semakin kecil.
4. Jaringan antar pori (pore network).
Semakin bagus jaringan antar pori, maka permeabilitasnya semakin besar.
5. Sementasi.
Semakin banyak semen dalam suatu batuan, maka harga permeabilitas akan
semakin kecil.
6. Clays content.
Semakin banyak mengandung clay, maka semakin kecil permeabilitas batuan
tersebut.
c) Bahan Organik
Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks
dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di
dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi
oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova, 1961). Menurut Stevenson (1994),
bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam
tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa mikroorganisme,
bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus.
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan
tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah
menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk
kerusakan tanah yang umum terjadi. Kerusakan tanah merupakan masalah penting bagi
negara berkembang karena intensitasnya yang cenderung meningkat sehingga
tercipta tanah-tanah rusak yang jumlah maupun intensitasnya meningkat.
d. Kemiringan Lereng
Peta kelas lereng diperoleh melalui interpetasi pet rupa bumi Indonesia ( RBI )
dengan metode pembuatan peta lereng yang dikemukakan oleh Wenthworth dengan
rumus sebagai berikut :
(n-1) x kiS = --------------------------------- x 100% a x penyebut skala petaKeterangan :
S = Besar sudut lerengn = Jumlah kontur yang memotong tiap diagonal jaringki = kontur intervala = panjang diagonal jarng dengan panjang rusuk 1 cmKlasifikasi kemiringan lereng ini berpedoman pada penyusunan rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah sebagai berkut :
Tabel kelas kemiringan lereng dan nilai skor kemiringan lereng
KELAS KEMIRINGAN ( % ) KLASIFIKASII 0 – 8 DatarII > 8 – 15 LandaiIII >15 – 25 Agak CuramIV > 25 – 45 CuramV > 45 Sangat Curam
Sumber : Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, 1986
Tabel Pembagian kemiringan lereng berdasarkan klasifikasi USSSM dan USLE
Kemiringan lereng (°)
Kemiringanlereng (%)
KeteranganKlasifikasi
USSSM* (%)KlasifikasiUSLE* (%)
< 1 0 - 2 Datar – hampir datar 0 - 2 1 - 2
1 - 3 3 - 7 Sangat landai 2 - 6 2 - 7
3 - 6 8 - 13 Landai 6 - 13 7 - 12
6 - 9 14 - 20 Agak curam 13 - 25 12 - 18
9 - 25 21 - 55 Curam 25 - 55 18 - 24
25 - 26 56 - 140 Sangat curam > 55 > 24
> 65 > 140 Terjal
*USSSM = United Stated Soil System Management
USLE = Universal Soil Loss Equation
Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relative terhadap bidang
datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Kecuraman
lereng,panjang lereng dan bentuk lereng semuanaya akan mempengaruhi besarnya
erosi dan aliran permukaan. Menurut sitanala Arsyad (1989:225) mengkelaskan
lereng menjadi seperti berikut:
KEMIRINGAN ( % ) KLASIFIKASI KELAS0 – 3 Datar A3 – 8 Landai Atau Berombak B8 – 15 Agak Miring C15 – 30 Miring D30-45 Agak Curam E45-65 Curam F>65 Sangat Curam G
\
BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif,
wawancara serta observasi. Menurut Suryabrata (1983), metode deskriptif eksploratif
yaitu sebuah metode dengan tujuan untuk mendapatkan data dasar yang diperlukan
sebagai pangkalan untuk penelitian lebih lanjut ataupun sebagai dasar untuk membuat
keputusan. Metode wawancara yaitu metode yang dilakukan secara eksplisit untuk
mengetahui informasi dari informan untuk mendapatkan data dalam bentuk data
kualitatif. Metode wawancara dilakukan untuk lebih memperdalam mengenai informasi
yang telah didapatkan melalui metode deskriptif eksploratif, sehingga dengan adanya
metode wawancara dapat menambahkan informasi terhadap data yang didapat.
Metode yang terakhir yang digunakan yaitu metode observasi dimana metode ini
dilakukan untuk mendapatkan data primer dengan cara terjun langsung ke lapangan
untuk melakukan penelitian.
Melalui metode tersebut penulis akan menggali secara mendalam mengenai
tingkatan erosi yang terjadi di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka, fenomena
longsor, kekeringan, banjir, gerakan tanah, gempa bumi, angin tornado (puyuh) serta
fenomena fisik lainnya yang terjadi di lokasi kajian.
Selain daripada mengetahui terdapat berbagai macam fenomena fisik yang secara
alami terjadi melalui alam tersebut, tidak luput penerapan teknik konservasi pada lahan
yang diterapkan masyarakat dan menilai kesesuaian teknik konservasi tersebut dengan
karakteristik lahan serta menghubungkan penerapan teknik konservasi tersebut dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sumaatmadja (1988:112) mengatakan bahwa “Keseluruhan gejala, individu,
kasus dan masalah yang diteliti, yang ada di daerah penelitian menjadi objek
penelitian geografi. Semua kasus, individu dan gejala yang ada di daerah penelitian
disebut populasi penelitian atau universe”.
Menurut Ridwan (2003 : 8) “Populasi merupakan objek atau subjek yang
berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan
masalah penelitian”. Populasi penelitian terdiri dari populasi wilayah dan populasi
responden. Populasi wilayah adalah seluruh lahan yang telah mengalami longsoran,
gempa, banjir, pergerakan tanah, erosi, kekeringan di Desa Bantarujeg Kabupaten
Majalengka yang merupakan lahan yang rentan terhadap terjadinya erosi yang
tinggi dan populasi responden adalah petani yang mengolah lahan tersebut.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lahan yang berada di Desa
Bantarujeg Kabupaten Majalengka yaitu :
Tabel 3.1 Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
No Wilayah Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Desa Bantarujeg Sawah Irigasi Setengah Teknis 65
Sawah Tadah Hujan 154
Jumlah 219
Gambar 3.1 Grafik Penggunaan Lahan Sawah di Desa Bantarujeg
Berdasarkan pada data diatas, populasi wilayah penelitian ini mempunyai luas
3,60 Km2, dengan dominasi penggunaan lahannya berupa sawah dan pemukiman.
2. Sampel
Menurut Sumaatmadja (1988 : 112) “Sampel adalah bagian dari populasi
(cuplikan contoh) yang mewakili kriteria bagian ini diambil dari keseluruhan sifat
atau generalisasi yang ada pada populasi”.
Berdasarkan masalah yang akan dibahas, maka dalam menentukan sampel
penelitian ini digunakan teknik sampel wilayah (area probality sampling) yaitu
teknik sampling yang dilakukan dengan mengambil wakil dari setiap wilayah yang
terkena longsor, banjir, erosi, kekeringan, gerakan tanah serta gempa yang terdapat
dalam kawasan populasi yang menjadi objek kajian dengan pendekatan satuan
lahan yang merupakan hasil tumpangsusun peta kemiringan lereng dengan peta
penggunaan lahan dan peta jenis tanah. Jadi satuan lahan yang sama diwakili oleh
satu sampel secara acak (random). Sedangkan cara pengambilan sampel mengikuti
sampel satuan lahan yang ditentukan dengan teknik aksidental. Kawasan yang
rentan terhadap erosi, longsor, banjir di Desa Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Sampel wilayah diambil berdasarkan kemiringan lereng sebanyak 4 sampel yang
mewakili setiap daerah yang terkena banjir, longsor dan erosi berdasarkan bagian
atas, tengah dan bawah.
Satuan lahan yang telah ditentukan dapat dilihat sebarannya pada peta satuan
lahan yang disajikan pada gambar 3.1 berikut ini :
Tabel 3.1
Sampel Satuan Lahan
Sedangkan untuk sampel respondennya menggunakan teknik pengambilan
secara aksidental yaitu semua masyarakat yang ditemui pada saat penelitian
dijadikan sampel. Sampling aksidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan
faktor spontanitas, artinya siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan
peneliti dan sesuai dengan karakteristiknya, maka orang tersebut dapat digunakan
sebagai sampel (responden)”.
C. Variabel Penelitian
Menurut Rafi’i (1996 : 46), variable penelitian mengandung pengertian ukuran, sifat,
ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok atau suatu yang berbeda dengan
yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel penelitian dalam judul penelitian ini adalah
terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variable bebas dan terikat. Variabel bebas
terdiri dari karakteristik lahan dan respon masyarakat, karakteristik lahan meliputi
tanah, topografi, erosi dan vegetasi, sedangkan respon masyarakat meliputi kegiatan
pertanian dan pemahaman petani tentang lahan kritis. Variabel terikatnya adalah
kekritisan lahan yang terbagi menjadi lahan potensial kritis, semi kritis dan lahan kritis,
serta faktor dari teknik pertanian yang telah dipakai oleh masyarakat seperti Sistem
tanam, pola tanam, jenis tanaman, pemeliharaan tanaman, teknik konservasi yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat terhadap lahan garapan. Untuk melihat hubungan antara
ketiga faktor ini dapat dilihat pada table 3.2 dimana terdapat hubungan antara ketiga
variable tersebut. Variabel bebas dapat mempengaruhi variable terikat dan variable
bebas dapat berdiri sendiri. Variabel bebas terdiri dari variable fisik yang merupakan
parameter tingkat kekritisan lahan, sedang variable terikatnya adalah tingkat kekritisan
lahan yang diakibatkan oleh adanya erosi, longsor, pergerakan tanah, kekeringan serta
fenomena fisik yang lainnya.
Variabel Bebas (X) Variabel terikat (Y)
Faktor Petani :
Kegiatan PetaniPemahaman petani tentang lahan kritis
Teknik Pertanian
Sistem tanamPola tanamJenis tanamanPemeliharaan tanamanTeknik konservasi
Teknik Konservasi yang dilakukan masyarakat untuk tetap menjaga
kelestarian lahan dari kerentanan terhadap bahaya erosi, banjir,
longsor, pergerakan tanah dll.
Karakteristik LahanKemiringan lerengKondisi tanahKondisi geologiVegetasi
Gambar 3.2. Variabel Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi, yaitu teknik pengamatan secara langsung terhadap gejala, fenomena dan
fakta yang ada di daerah penelitian. Alat yang digunakan yaitu pedoman observasi
digunakan untuk mengamati karakteristik lahan dan teknik konservasi yang
digunakan masyarakat terhadap fenomena alam yang terjadi seperti erosi, longsor,
banjir serta lainnya.
2. Wawancara, yaitu peneliti menanyakan langsung kepada responden tanpa
perantara di daerah penelitian dengan menggunakan pedoman berstruktur untuk
mengamati kondisi masyarakat yang menetap di daerah kawasan rentan terhadap
bencana.
3. Studi dokumentasi, yaitu penarikan data dari lembaga-lembaga yang terkait dengan
penelitian ini. Teknik ini digunakan untuk melengkapi data yang berkaitan dengan
penelitian baik berupa data statistik maupun peta-peta tematik serta foto-foto yang
dibutuhkan dari lapangan.
4. Kajian Pustaka, yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan literatur
seperti buku, jurnal, internet, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan
yang sedang diteliti. Kajian pustaka digunakan untuk memperoleh referensi tentang
iklim, tanah, geologi, geomorfologi, data kependudukan, luas kawasan longsor, dan
lain-lain.
D. Alat Pengumpulan Data
Untuk memudahkan pengumpulan data maka diperlukan alat dan bahan sebagai
berikut :
1. Peta dasar (base map) terdiri dari :
a. Peta rupabumi lembar
b. Peta rupabumi lembar
c. Peta rupabumi lembar
d. Peta rupabumi lembar
e. Peta Geologi lembar
2. Kompas untuk menentukan lokasi penelitian
3. Klinometer atau busur derajat untukmengukur kemiringan lereng
4. Ceklist lapangan dan pedoman wawancara
5. Kamera digital Cannon
6. Bor tanah
7. Ph Tester
8. Alat tulis
9. Ring sample
10. GPS
E. Teknik Analisa
Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif dan kualitatif. Teknik
analisis kuantitatif digunakan untuk mengelola dan menginterpretasikan data yang
berbentuk angka atau yang bersifat sistematis. Jenis analisis yang digunakan dalam
penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Lahan yang lebih menitikberatkan terhadap
fenomena yang terjadi secara alami dan non alami seperti erosi, longsor, banjir, gerakan
tanah serta fenomena yang lain yang dapat mengurangi manfaat dari lahan itu sendiri.
Analisis yang pertama dilakukan secara kualitatif dimana analisis ini didasarkan
terhadap data-data yang telah didapatkan di lapangan sesuai dengan objektifitas dari
kajian. Analisis kualitatif dilakukan dengan berdasarkan terhadap data yang di dapat
serta wawancara yang telah dilakukan.
Analisis yang kedua dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan menggunakan rumus
USLE.
Teknik atau langkah-langkah yang dilakukan penyusun dalam pengolahan data
penelitian yang terkumpul adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa kembali data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder,
hal ini dilakukan untuk menghindari kekurangan atau kesalahan yang terjadi dalam
kajian.
2. Menghitung kemiringan lereng diperoleh dari informasi kontur yang terdapat pada
peta rupabumi skala 1 : 25.000, perhitungan berlaku untuk setiap karvak, yang
dilakukan pertama kali adalah membuat petak persegi ukuran 2x2 cm diatas peta,
kedua membuat garis diagonal memotong kontur, ketiga menghitung jumlah kontur
dan dikelaskan sesuai perhitungan, maka akan didapatkan besar kemiringan lereng
untuk setiap karvak, kemudian besaran di klasifikasikan menurut kelas Jamulya
(1993). Pada peta setiap yang memiliki kemiringan lereng sama dipisahkan dan
dideliniasi dan diberikan keterangan hingga mendapatkan sebaran kelas kemiringan
lereng yang dikehendaki. Perhitungan kemiringan lereng (s)tersebut menggunakan
rumus :
Keterangan :
n = Jumlah kontur Ci = Interval Kontur
s = Kemiringan lereng S = Skala
a = Panjang lereng
3. Penentuan Horizon Tanah
Sebelumnya, pertama kita sudah ditentukan dan dibantu oleh tim mobile mulai
berada dari plot mana untuk mengambil sample tanahnya. Untuk menentukan tiap
horizon, kita dapat mengetahuinya dengan cara melihat keadaan dan daerah
lerengnya. Setelah itu kita bisa mulai menggali tanahnya untuk mulai menetukan
horizon apa saja yang terdapat di tanah tersebut. Batas dari suatu horizon dapat
diketahui dari warna tanah yang tampak dan kita juga bisa menentukan batas
horizonnya dengan cara menusuk-nusuk tanah dengan menggunakan pisau
lapangan. Apabila tanah mulai terasa berbeda kepadatan dan kekerasan tanahnya
maka itu merupakan horizon yang sudah berbeda dibandingkan horizon yang ada .
4. Pengambilan Sampel Tanah Undisturb
Setelah ploting lokasi praktikum selesai dilakukan, selanjutnya Kelompok 6
mulai dengan mengambil sampel tanah secara Undisturb terlebih dahulu dengan
dua kali pengambilan sampel menggunakan ring sample. Pengambilan pertama
dilakukan di horizon A, dan melakukan pengukaran horizon tersebut menggunakan
penggaris, dalam pengambilan sampel yang kedua dilakukan di horizon B, dan
melakukan pengukuran menggunakan penggaris.
Untuk mengambil sample undisturb kita dapat mengguanakan alat yang disebut
Ring Sample. Pertama, kita harus membersihkan permukaan tanah dari rerumputan
dengan menggunakan cangkul atau alat lain yang sejenisnya. Setelah dibersihkan
kita cari permukaan tanah yang rata untuk menyimpan ring sample diatas
permukaan tanah tersebut. Kemudian untuk mempermudah pengambilan tanah,
tutupi bagian atas ring misalnya menggunakan papan yang datar agar ring sample
menghujam dengan posisi yang lurus, kemudian ring tersebut dipukul-pukul sampai
ring tersebut masuk kedalam tanah hingga ring itu penuh dengan tanah. Sebelum
ring sample yang pertama masuk seluruhnya ke dalam tanah, terlebih dahulu
dibantu menggunakan ring sample yang lain, dengan cara meletakkan dengan posisi
yang sama di atas ring sample yang pertama. Lalu dilanjutkan memukul kedua ring
sample tersebut hingga terbenam ke dalam tanah. Kemudian cangkul bongkahan
tanah yang berada disekeliling ring sample tanpa mengganggu sample tanah yang
ada di dalam ring sample tersebut.
Kemudian jika tanah tersebut kurang rata maka harus diratakan dengan
menggunakan pisau lapangan dengan mencacah permukaan tanah dan bagian yang
berada dibawahnya secara pelan-pelan yang berada di ring sample tersebut, dengan
cara mengiris-iris secara vertikal. Setelah ring sampel bagian luar bersih dari tanah ,
tutup lah ring sample menggunakan tutupnya atau masukkan ke dalam wadah
plastik dengan tidak lupa memberi label identitas keterangan sampel tersebut agar
tidak tertukar dalam pengujian di laboratorium dan tanah yang tidak terganggu itu
siap untuk di uji di laboratorium.
Setelah mendapatkan sample tanah yang pertama, kemudian kita ratakan
kembali permukaan tanah tersebut untuk mengambil sample tanah yang kedua,
yakni pada horizon tanah yang B. Cara pengambilan sampel tanah yang kedua sama
seperti prosedur yang pertama. Kedalaman ring sample tanah yang kedua ini adalah
20-40 cm. Setelah sample tanah tersebut diambil maka sample tanah siap untuk
diuji di laboraturium.
5. Pengambilan Sampel Tanah Disturb
Setelah itu kelompok 6 mengambil sampel tanah secara Disturb, karena lokasi
yang tidak berada di lereng, horizon tanah tidak terlihat. Jadi menggunakan bor
tanah dalam pengambilan sampel Disturb. Setelah menancapkan bor tanah dengan
kedalaman tertentu, kami mengeluarkan bor tanah yang telah kami tancapkan dan
kami menusuk tanah yang ada di bor tanah tersebut dan dimasukkan ke dalam
plastik sampel yang telah kami sediakan dengan cara menusuk tanah yang
menempel di bor tanah dengan pisau lapangan.
6. Prosedur Laboratorium
a. Cara menguji pH aktual, pH potensial dan kandungan Organik
Cara untuk mengetahui pH tanah adalah dengan cara memasukan sedikit
sampel tanah kedalam tabung reaksi kemudian tetesi dengan Aquades untuk
menguji pH Aktual, tetesi dengan H2O2 untuk menguji kandungan Bahan Organik
dan tetesi dengan KCl untuk menguji pH Potensial. Setelah itu, kocok tabung
rekasi yang digunakan untuk mengukur pH, biarkan tabung yang digunakan
untuk mengukur kandungan bahan organik sampai mengelurakan buih dan
asap. Jika buih itu meningkat tinggi, maka zat organik dalam tanah tersebut
banyak dan jika buih itu tidak terlalu meningkat tinggi berarti kandungan zat
organik dalam tanah tersebut rendah.
b. Cara Mengukur Masa Dan Volume Sampel Undistrub
Untuk menguji massa kita lakukan dua kali yaitu massa tanah sebelum
dioven untuk mengetahui masa total dan massa tanah setelah dioven untuk
mengetahui massa tanah saja. Untuk menguji volume awal kita biasa mengukur
volume ring sampel karena volume ring sampel sama dengan volume tanah
kering. Dan untuk mengukur volume kering kita bisa mencelupkan tanah
kedalam gelas ukur dan selisih volume air akhir dengan volume awal merupakan
volume tanah kering.
c. Penentuan tekstur
Penentuan tekstur dapat dialakukan dengan melaksanakan langkah-langkah
dibawah ini :
1) Ambilah sedikit tanah, simpan dalam tangan lalu basuh dengan sedikit air
lalu bisa dengan cara menggulung-gulung tanah tersebut, rasakan dengan
perasaan sampai kita benar-benar merasakan tingkat kekerasan dan
bentukan dari tanah yang kita uji.
2) Kita bisa merasakan adanya kekasaran, kelicinan, kelengketan dan
kekenyalan serta derajat kemengkilatan tanah dengan ibu jari dan telunjuk.
Perhatikan hal-hal sebagi berikut :
a) Kekerasan, dapat menunjukan tingkat untuk menentukan jumlah pasir
yang terdapat didalam tanah.
b) Kelicinan, dapat menunjukan tingkat dalam penentuan jumlah-jumlah
debu, kadang-kadang karena partikel debu yang banyak dan bergesekan
maka akan terasa seperti sabun.
c) Kelengketan dan plastisitas adalah penduga kandungan liat dalam
tanah. Bila tanah lebih kenyal maka akan lebih mudah tanah tersebut
dibentuk bola permukaan tanah yang mengandung liat akan
menyebabkan tanah mengkilat.
Gambar 3.3. Bagan Alur Penelitian
Peta Rupa Bumi
Peta kemiringan Peta Penggunaan Lahan
Peta Sampel Penelitian
Peta Satuan Lereng
Karakteristik Lahan
Kemiringan LerengKondisi tanahKondisi GeologiVegetasi
Analisis
Rekomendasi
Aktivitas Petani
Cara pengolahan lahanSistem tanamPola tanamJenis tanamanPemeliharaan tanamanTeknik konservasi
Kesimpulan
Faktor Budaya Masyarakat
PendidikanKesadaranKemampuan
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kondisi Fisik Daerah Penelitian
1. Letak dan Luas Daerah Plot Praktikum
Secara astronomis Kecamatan Bantarujeg terletak pada 108o11’ 00’’ BT-
108o24’00’’ BT dan 6o57’00’’ LS - 7o41’00’’ LS. Sedangkan secara
administratif Kecamatan Bantarujeg termasuk wilayah Kabupaten
Majalengka dengan batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Maja
b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Talaga
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Malausma
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Lemahsugih
Kecamatan Bantarujeg memiliki wilayah seluas 61,86 Km2 yang
terdiri dari 22 desa. Desa yang memiliki wilayah terluas adalah Desa
gununglarang, yaitu 11,12 Km2. Sedangkan yang mempunyai luas wilayah
terkecil, yaitu Desa Cinambo 1,97 Km. Dengan luas yang dimiliki
Kecamatan Bantarujeg berarti Kecamatan Bantarujeg hanya sekitar 5,14 %
dari luas wilayah Kabupaten Majalengka (yaitu kurang lebih 1.204,24 Km2).
Dengan jumlah penduduk sebanyak 43.581 jiwa, maka kepadatan penduduk
per Km mencapai 705 orang.
Sedangkan daerah Plot yang berada di desa Batantarujeg berada pada
Koordinat 108°13’30” BT dan 6°59’00” LS sampai 108°15’30“ BT dan
6°58’30“ LS. Secara administratif desa Bantarujeg memilikai batas wilayah
sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Babakansari
b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Wadon
c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sirnagalih
d. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukajadi
Gambar 4.1
Peta Administratif Desa Bantarujeg
Gambar 4.2
Peta Plot Kajian Kelompok 6 di Desa Bantarujeg
2. Iklim
a. Klasifikasi Iklim Berdasarkan Sistem Schmidt dan Ferguson
Klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson (dalam Rafi’i,
1995:259) “Tipe iklim suatu daerah dapat ditentukan dengan
memperhatikan jumlah rata-rata bulan basah dan bulan kering dalam
kurun waktu 10 tahun hingga 20 tahun”.
Bulan Basah adalah bulan yang curah hujannya lebih dari 100 mm.
Bulan kering adalah bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm.
Bulan yang curah hujannya antara 60-100 mm digolongkan pada bulan
lembab.
Rumus yang digunakan untuk menentukan tipe iklim menurut
Schmidt Ferguson adalah sebagai berikut :
Q = Md x 100 %
Mw
(Rafi’i, 1995: 43)
Keterangan:
Q = Tipe iklim Schmidt Ferguson
Md= Rata-rata banyaknya bulan kering dibagi oleh lama waktu
pengamatan
Mw= Rata-rata banyaknya bulan basah dibagi oleh lama waktu
pengamatan
Klasifikasi nilai Q untuk penentuan tipe iklim suatu daerah
menurut Schmidt dan Ferguson disajikan pada tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.1
Nilai untuk Tipe Iklim
Tipe Nilai (%) SifA
B
C
D
0 < Q <
14.3
14,3 < Q <
33,3
33,3 < Q <
60
60 < Q <
Sangat Basah
Basah
Agak Basah
Sedang
Agak Kering
Kering
Sangat KeringSumber : Suryatna Rafi’i, 1995
Data Curah hujan yang ada di Kecamatan Bantarujeg yaitu dapat
dilihat dari tabel sebagai berikut :
Tabel 4.2
Curah Hujan Bulanan Kecamatan Bantarujeg
Bln
Tahu200
0
200
1
200
2
200
3
200
4
200
5
200
6
200
7
200
8
200
9J 40 47 52 43 53 49 49 56 34 43F 43 16 94 30 42 42 67 45 20 44M 37 38 52 30 71 38 22 44 51 28A 41 28 37 13 14 41 38 38 35 16M 19 19 10 5 12 3 30 5 7 22J 4 15 7 0 15 13 2 14 1 18J 6 8 6 0 0 8 0 0 0 6A 3 0 6 1 0 0 0 0 0 0S 1 1 0 4 0 0 0 0 7 0O 25 35 0 13 0 5 0 4 95 0N 31 43 51 21 22 16 3 8 28 24D 25 31 41 44 37 30 36 31 35 37
Juml
a 279 285 361 209 270 251 251 248 309 233Sumber : Dinas Pertanian Tahunan Pangan, Majalengka 2010
Dari tabel di atas diperoleh bahwa selama sepuluh tahun rata-rata
curah hujan terbanyak tiap bulan terjadi pada bulan Januari hingga bulan
April, dan bulan Oktober sampai bulan Desember. Curah hujan pada bulan
Mei sudah mulai menurun, kondisi tersebut berlangsung sampai pada
bulan September.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Bantarujeg
merupakan daerah yang memiliki karakteristik wilayah tropik,
dikarenakan jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah itu sama
sehingga cenderung kondisi wilayahnya apabila terjadi hujan, maka
cenderung debit yang turun sangat banyak dan apabila sebaliknya tidak
terjadi hujan maka bencana akan kekeringan kemungkinan akan terjadi.
Berikut adalah rata-rata jumlah hujan per bulan dalam kurun waktu 10
tahun dapat dilihat pada tabel 4.4 Di bawah ini :
Tabel 4.3
Jumlah Curah Hujan Bulanan Kecamatan Bantarujeg
Tahun 2000 sampai Tahun 2009
N Bula Jumlah Rata-rata1 Januari 470 392 Februari 447 373 Maret 416 344 April 304 255 Mei 135 116 Juni 93 77 Juli 30 28 Agustus 24 29 September 7 61 Oktober 179 11 November 250 201 Desember 352 29
Jumla 2713 212Sumber : Hasil Penelitian 2010. Djadjang Sukma
Berikut jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah tertera pada tabel
di bawah ini :
Tabel 4.4
Jumlah Bulan Kering dan Bulan Basah Kecamatan Bantarujeg
N
o
Tah
un
Jumla
h
Cura
Rata-
rata
Cura Bula
n
Bul
an
Bulan1 200 2792 2 3 1 82 200 2858 2 2 1 93 200 3612 3 2 3 74 200 2090 1 5 0 75 200 2705 2 4 0 86 200 2515 2 4 1 77 200 2514 2 6 0 68 200 2482 2 5 1 69 200 3096 2 4 1 71 200 2335 1 4 0 8
Jumlah 26999 2 3 7 7Sumber : Hasil Perhitungan peneliti, 201.Djadjang Sukma
Dari tabel di atas, diperoleh jumlah curah hujan selama 10 tahun
sebanyak 26999 mm, dengan rata-rata curah hujan tahunan 2251
mm/ tahun. Adapun jumlah bulan kering selama 10 tahun yaitu 39
dan jumlah bulan basah selama 10 tahun adalah 73. Dari data tersebut
diperoleh rata- rata bulan kering (Md) 39/10 = 3,9 dan rata-rata bulan
basah (Mw) 73/10 = 7,3. Untuk memperoleh nilai Q digunakan rumus
menurut Schmidt Ferguson, yaitu:
Dari hasil perhitungan di atas diperoleh nilai Q = 53,42%,
maka Kecamatan Bantarujeg menurut Schmidt Ferguson termasuk tipe
iklim C (agak basah), karena nilai Q berada pada 33,3% < Q < 60%.
b. Klasifikasi Iklim Berdasarkan Sistem Junghuhn
Iklim menurut sifat dan unsur yang dimilikinya dapat dibedakan
berdasarkan tempat dan ketinggian, seperti yang dikemukakan oleh
Junghuhn (dalam Rafi’i, 1995:195) adalah
1) Zone iklim panas, antara ketinggian 0-700 m dpl. Di daerah ini
ditanam padi, jagung, tebu, kelapa tumbuh dengan baik.
2) Zone iklim sedang, antara ketinggian 700-1500 m dpl. Di daerah
ini baik untuk tumbuhan kelas perkebunan seperti karet, kopi, kina.
3) Zone iklim sejuk, antara ketinggian 1500-2500 m dpl. Di daerah ini
merupakan wilayah yang baik bagi tumbuhan pinus, jenis
holtikultura, seperti sayuran, bunga dan sebagainya.
4) Zone iklim dingin, antara ketinggian 2500-3300 m dpl.
5) Zone iklim salju, di atas ketinggian 3300 m dpl.
Tabel 4.5
Pembagian Iklim Menurut Junghuhn
Ketinggian tempat Daerah /iklim Temperatur (oC)0- Pan 26,
650-1500 Sedang 22,17,1500-2500 Seju 17,1-
>2500 Dingi 11,1-Sumber : Suryatna Rafi’i, 1995
Berdasarkan kriteria dan klasifikasi iklim Junghuhn diatas, di
Kecamatan Bantarujeg sebagian besar termasuk ke dalam zone sedang
karena sebagian besar wilayahnya terletak antara 650-1500 dimana
kondisi iklim ini berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanaman
tembakau karena tanaman tersebut cocok untuk tumbuh di daerah Zone
iklim sedang. Berdasarkan uraian tersebut, lebih detail dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 4.3 Pada Zonefikasi Iklim Menurut Junghuhn
Sumber: Rafi’i (1995:195)
Berdasarkan kriteria dan klasifikasi iklim Junghuhn di Kecamatan
Bantarujeg sebagian besar termasuk ke dalam zone panas dan sebaliknya
hanya sedikit pada zona iklim sedang sejuk, karena mempunyai ketinggian
280-1134 mdpl.
3. Topografi
Berdasarkan peta Topografi dan pengamatan lapangan ketinggian tempat
daerah penelitian antara 280 m dpl sampai 1134 m dpl. Kelas
kemiringan lerengnya yaitu kelas II (3-8 %) merupakan lahan landai atau
berombak, kelas III (8-15%), merupakan lahan agak miring atau
bergelombang, kelas IV (15-30 %) yaitu merupakan lahan miring/berbukit.
Luas lahan daerah penelitian disajikan pada tabel 4.6 yaitu :
Tabel 4.6
Luas kemiringan Lereng Daerah Penelitian
N Kelas lereng Luas (Km2) %1. II (3-8 %) 60,3 54,12. III (8-15%) 13,6 12,23. IV (15-30 %) 37,5 33,6
Jumla 111,5 100,0Sumber: Hasil Penelitian 2007
Berdasarkan hasil penelitian dari tabel di atas bahwa kemiringan lereng
yang paling dominan di Kecamatan Bantarujeg adalah kemiringan lereng II
(datar sampai bergelombang) dengan luas 60,37 Km2 (54,12%). Adapun peta
kemiringan lereng disajikan pada gambar 4.3.
Gambar 4.4
Peta Kemiringan Lereng Wilayah Kajian Kelompok 6
4. Kondisi Geologi
Berdasarkan peta geologi lembar arjawinangun satuan batuan didaerah
penelitiaan dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Formasi kaliwungu (Tpk)
Formasi kaliwungu terdiri dari terdiri dari batu lempung dengan
sisipan batu pasir tufaan dan konglomerat. Batu lempung ini berwarna
abu-abu tua bersifat keras.
Tanah pelapukan berupa lempung berwarna abu-abu agak kekuningan,
lunak teguh plastisitas tinggi, kesarangan rendah, kandungan organic
rendah, reaksi tanah (pH) asam sangat asam, dengan ketebalan tanah
pelapukan 1.50 – 2.25 meter.
b. Formasi halang anggota atas (Tmhu)
Satuan batuan ini terdiri dari batuan tufaan, lempung, dan
konglomerat. Batu pasir merupakan bagian yang utama, berwarna abu-abu
kekuningan, berbutir halus dan keras.
Tanah pelapukannya berupa pasir lanauan, berwarna coklat
kemerahan, bersifat uraian, plastisitas rendah, kesarangan sedang,
kandungan organic rendah, reaksi tanah (pH) asam, dengan ketebalan
tanah 21-2 meter.
Gambar 4.5
Peta Geologi wilayah kajian kelompok 6 Desa Bantarujeg
5. Geomorfologi
Kenampakan geomorfologi yang terdapat didaerah penelitian yaitu
bentukan denudasional. Bentukan ini terjadi karena proses gradasi yang
meliputi proses gradasi damn agradsi. Proses ini berlangsung dalam kurun
waktu lama dapat merubah permukaan bumi menjadi suatu dataran yang
seragam. Dalam perubahan bentuk permukaan bumi proses yang paling
dominan adalah proses degradasi yang ditunjukan oleh hilangnya lapisan
demi lapisan dari permukaan akibat terjadinya pelapukan batuan yang
terangkut oleh erosi dan longsoran.
Bukit sisa terdapat di Desa Bantarujeg, Desa Babakansari, dan Desa
Cikidang dan D5 (paneplains) atau dataran nyaris terdapat disebelah selatan
Desa Bantarujeg, Desa Cimangguhilir, Desa Desa sindanghurip, Desa
Cipeundeuy, Desa Sukadana, Desa Ciranca, Desa Jagamulya, Desa Banyusari,
Desa Malausna, Desa Buninagaradan Desa Cimuncang.
6. Tanah
Di kecamatan bantarujeg, jenis tanah yang tersebar adalah tanah litosol,
tanah latosol dan tanah podsolik merah kuning. Luas tanah latosol di daerah
penelitian adalah 47,8 km. Di daerah penelitian yaitu Kecamatan
Bantarujeg, jenis tanah yang tersebar adalah tanah latosol, tanah litosol
dan tanah podsolik merah kuning. Tanah latosol merupakan tanah yang
terletak pada ketinggian 300-900 m dpl. Tanah ini memiliki lapisan solum
yang tebal sampai sangat tebal, yakni berkisar antara 1,35-5 m bahkan lebih,
sedangkan batas antara horizon tidak begitu jelas, berwarna merah coklat
sampai kekuning-kuningan, kandungan bahan organiknya antara 3-9% pH
tanah 4,5-6,5 yaitu asam sampak agak asam, tekstur tanah adalah liat,
sedangkan strukturnya remah dan konsistensinya gembur, permeabilitas
tanah mudah sampai agak sukar, tanah latosol terdapat di Desa Sukamenak.
Tanah litosol merupakan tanah yang memiliki lapisan solum yang sangat
tipis sampai tidak ada paling tebal solumnya 50 cm saja. Kandungan bahan
organiknya sangat rendah sampai tidak ada, warna tanah dan teksturnya
kasar yaitu berpasir struktur tidak ada atau berbutir lepas, pH dan
permeabilitas bervariasi. Tanah ini terdapat di Desa salawangi,
Cimangguhilir, Cipeundeuy, Sindanghurip, dan Cinambo, sedangkan tanah
podsolik merah kuning mempunyai ketebalan solum antara 50-180 cm
dengan batas horizon yang nyata, bahan induk liat dan pasir, batu pasir dan
batu liat, warna tanah merah, struktur gempal dan teksturnya lempung
berpasir hingga liatl sedangkan tanah podsolik merah kuning terdapat di
Desa Sukamenak.
7. Kondisi Hidrologi
Kondisi hidrologi merupakan penyebaran satuan air tanah, air permukaan
dan atau banyaknya sungai yang mengalir. Berdasarkan peta hidrogeologi
kabupaten majalengka skala 1:100.000 bahwa satuan air tanah didaerah
penelitian dapat dikelompokan dalam empat satuan, yaitu daerah air tanah
langka, aquifer produktif kecil setempat, aquifer produktif sedang setempat,
dan aquifer produktif sedang setempat, dan aquifer produktif sedang
penyebaran luas.
Aquifer produktif setempat terdapat pada wilayah pegunungan atau
mempunyai karakteristik tempat dengan ketinggian yang cukup tnggi sampai
tinggi yakni desa gununglarang, wado wetan, haurgeulis, salawangi,
sukadana, werasari, buninagara, silihwangi, banyusari, ciranca, malausma,
jagamulya, cimuncang serta sebagian desa suka menak. Untuk aquifer
produktif sedang penyebaran luas menempati sebagian kecil desa babakan sari
yakni dusun sukanagara. Sedangkan daerah air tanah langka terdapat antara
lain di desa sindanghurip, cimanggu dan lebak wangi.
Sungai yang terdapat dikecamatan bantarujeg adalah mempunyai pola
aliran dendritis, induk yang mengalir dikecamatan bantarujeg adalah sungai
Ci lutung yang induknya berasal dari kecamatan talaga kemudian mengalir
melalui Desa Salawangi, Desa cikidang, Desa Wadowetan, Desa bantarajeg,
desa babakan sari, desa gunung larang dan keluar dari kecamatan bantarujeg
menuju kecamatan maja.
Sungai yang terdapat di Kecamatan Bantarujeg adalah mempunyai pola
aliran dendritis, induk yang mengalir di Kecamatan Bantarujeg adalah Sungai
Cilutung yang induknya berasal dari Kecamatan Talaga kemudian
mengalir melalui Desa Salawangi, Desa Cikidang, Desa Wadowetan,
Desa Bantarujeg, Desa Babakansari, Desa Gununglarang dan keluar dari
Kecamatan Bantarujeg menuju Kecamatan Maja. Hidrologi ini berpengaruh
pada mudah atau tidaknya pengairan tanaman tembakau. Untuk lebih
jelasnya tentang keadaan Hidrologi di Kecamatan Bantarujeg dapat dilihat
pada Peta Hidrologi dibawah;
8. Penggunaan Lahan Daerah Penelitian
Terdapat 5 jenis penggunaan lahan di Kecamatan Bantarujeg yaitu
pemukiman, sawah, tegalan atau lading, kebun campuran dan hutan.kondisi
lahan didaerah penelitian dominan dimanfaatkan untuk lahan pertanian.
Pemanfaatan lahan didaerah penelitian adalah sawah, pemukiman dan ladang.
Dapat dilihat dari peta dibawah ini yang dapat menunjukkan berbagai macam
penggunaan lahan yang ada di Desa Bantarujeg.
B. Kondisi Sosial Daerah Praktikum
1. Jumlah Penduduk di Lokasi Praktikum
Jumlah penduduk dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan.
Jumlah penduduk Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka berdasarkan
data monografi Kecamatan Bantarujeg tahun 2009 adalah 43.581 orang
denangan jumlah Kepala Keluarga (KK) 12.847 dan luas wilayah 61,86
Km2. Adapun perincian hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4.12 sebagai
berikut :
Tabel 4.7
Jumlah Penduduk Tiap Desa di Kecamatan Bantarujeg Tahun 20099.
N Nama Desa Jumlah penduduk 1 Bantarujeg 3.6
282 Babakansari 4.4973 Wadowetan 3.2814 Gununglarang 4.2015 Cikidang 2.9836 Haurgeulis 1.3727 Cinambo 1.8258 Sukamenak 3.3429 Salawangi 3.7671
0Silihwangi 4.3
6311
Cimangguhilir
4.5481
2Sindanghurip 2.6
1713
Cipeundeuy 3.157Jumlah 43.581Sumber: Monografi Kecamatan Bantarujeg 2009
Berdasarkan tabel 4.12 di atas nampak jelas bahwa desa yang
memiliki jumlah penduduk paling tinggi di Kecamatan Bantarujeg adalah
Desa Babakansari yaitu 4.497 jiwa. Dan desa berpenduduk paling sedikit
adalah Desa Haurgeulis yaitu 1.372.
Perincian jumlah Kepala Keluarga (KK) tiap desa di
Kecamatan Bantarujeg adalah sebagai berikut :
Tabel 4.8 Kepala Keluarga Tiap Desa
di Kecamatan Bantarujeg Tahun 2009
N Nama Desa Kepala Keluarga (KK)1 Bantarujeg 104
12 Babakansari 13823 Wadowetan 944
4 Gununglarang 12395 Cikidang 938
6 Haurgeulis 4087 Cinambo 6028 Sukamenak 104
99 Salawangi 10691
0Silihwangi 125
311
Cimangguhilir
12651
2Sindanghurip 765
13
Cipeundeuy 892Jumlah 12.8
47Sumber: Monografi Kecamatan Bantarujeg
Menurut tabel 4.13 di atas dapat diketahui bahwa Desa Babakansari
memiliki jumlah Kepala Keluarga (KK) terbesar yaitu 1382 KK, dan
desa yang memiliki jumlah Kepala Keluarga (KK) terkecil adalah Desa
Haurgeulis yaitu 408 KK.
2. Kepadatan Penduduk di Kecamatan Bantarujeg
Menurut Mantra (1985) “Kepadatan penduduk suatu wilayah terbagi
menjadi 3 bagian yaitu kepadatan penduduk agraris, kepadatan penduduk
fisiografis dan kepadatan penduduk kasar”. Kepadatan penduduk agraris
adalah perbandingan antara jumlah penduduk petani dengan luas lahan
pertanian. Kepadatan penduduk agraris Kecamatan Bantarujeg adalah 261
jiwa/km2. Kepadatan penduduk fisiografis adalah perbandingan jumlah
penduduk dengan luas lahan pertanian. Kepadatan penduduk fisiografis
Kecamatan Bantarujeg adalah 996 jiwa/km2.
Kepadatan penduduk kasar adalah perbandingan jumlah penduduk
dengan luas lahan keseluruhan Kecamatan Bantarujeg. Kepadatan penduduk
kasar Kecamatan Bantarujeg adalah 790 jiwa/km2. Menurut UU No. 5
tahun 1960, tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah dikelompokkan
sebagai berikut:
1. 0 -51 orang/km2 termasuk tidak padat
2. 51 – 250 orang/km2 termasuk kurang padat
3. 251 – 400 orang/km2 termasuk padat
4. > 400 orang/km2 termasuk sangat padat
Adapun data jumlah penduduk dengan luas wilayahnya tiap desa di
Kecamatan Bantarujeg sebagai berikut :
Tabel 4.9
Kepadatan Penduduk Tiap Desa di Kecamatan Bantarujeg
No.
Nama Desa
JumlahPenduduk
(Jiwa)
Luas Wilayah
2(Km)
Kepadatan Penduduk(jiwa/Km2)
1 Bantarujeg 3.628 3,08
11782 Babakansari 4.497 7,4
0608
3 Wadowetan 4.497 4,47
7344 Gununglaran
g4.201 10,0
2419
5 Cikidang 2.983 4,71
6336 Haurgeulis 1.372 3,6
4377
7 Cinambo 1.825 1,88
9718 Sukamenak 3.342 6,2
9531
9 Salawangi 3.767 4,51
83510
Silihwangi 4.363 4,63
94211
Cimangguhilir
4.548 5,77
78812
Sindanghurip
2.617 2,74
95513
Cipeundeuy 3.157 2,72
1161Jumlah 88145 111,56 10132Sumber: Monografi Kecamatan Bantarujeg 2009
Kepadatan penduduk kasar Kecamatan Bantarujeg adalah 7 0 5
jiwa/km2. Jadi menurut klasifikasi tersebut kepadatan penduduk di
Kecamatan Bantarujeg ini tergolong sangat padat.
2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kecamatan
Bantarujeg disajikan pada tabel 4.15 di bawah ini :
Tabel 4.10 Jumlah Penduduk Kecamatan Bantarujeg
Berdasarkan Jenis Kelamin
N Jenis Jumlah Persentase (%)1. Laki-laki 2171
449.8150.2. Perempuan 2186
750.1
9Jumlah 43581
100,00Sumber: Data Monografi Kecamatan Bantarujeg Tahun 2007
Dari tabel tersebut dapat diketahui sex ratio penduduk yang ada di
daerah penelitian, dengan menggunakan rumus :
SR = J u ml a h L a k i - l a ki x 100% Jumlah Perempuan
= 21714 x 100 % 21867
= 100,704
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka rasio jenis kelamin
penduduk di lokasi penelitian adalah pada tiap 100 orang perempuan
terdapat 100 orang laki-laki. Dengan demikian sex ratio di Kecamatan
Bantarujeg dapat dikatakan seimbang.
C. Hasil Penelitian
1. Karakteristik dan Kualitas Lahan Untuk Setiap Satuan Lahan
Kecamatan Bantarujeg dapat dikatakan daerah agraris. Seluas 79,28 %
dari luas keseluruhan merupakan lahan pertanian yang terdiri sawah
(47,84%), tegalan (3,34), serta kebun campuran (37,27%). Didukung dengan
sumberdaya lahan yang luas, tak heran penduduknya bermata pencaharian
paling dominan sebagai petani (58%). Lahan pertanian terutama berupa
sawah menjadi sumber penghasilan pokok keluarga.
Lahan pertanian di Kecamatan Bantarujeg sangat dipengaruhi faktor
cuaca dan iklim terutama curah hujan. Pada musim penghujan, petani
menanam padi pada lahan sawah. Sedangkan pada musim kemarau para
petani beranekaragam menanam jenis tanaman selain padi. Sebagian
banyak menanam palawija, sebagian pula ada yang lain. Tujuh dari 22 desa
di Kecamatan Bantarujeg menanam tembakau. Pada tujuh desa tersebut,
penggunaan lahan yang digunakan tembakau adalah berupa ladang/tegalan.
sawah irigasi, sawah tadah hujan.
Pemanfaatan lahan yang ditanami tembakau merupakan orientasi
penelitian ini. Untuk dapat mengevaluasi sumberdaya lahan diperlukan
informasi karakteristik dan kualitas lahan tersebut. Informasi tersebut
diperoleh dari sejumlah sampel setiap satuan lahan dengan dilengkapi
data sosial. Adapun sampel wilayah yang diambil berdasarkan satuan lahan
sebagai berikut.
Gambar 4.6
Peta Satuan Lahan Wilayah Kajian Kelompok 6
2. Hasil Perhitunngan Tingkat Kehilangan Tanah oleh Erosi menggunakan
rumus USLE (Universal Soil Lose Equation)
Dengan melakukan metode observasi yang dilakukan di lapangan
dengan lokasi yang bertepat di wilayah Desa Bantarujeg Kecamatan
Bantarujeg, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat dan diteruskan
dengan menggunakan metode studi pustaka yang dilakukan untuk melengkapi
mengenai data yang telah didapatkan di lapangan, maka setelah didapatkan
data mengenai volume hujan yang telah dikumpulkan dari kegiatan tersebut,
maka ebserver (kelompok 6) dapat mengambil tahapan-tahapan untuk
menghitung sejauh manakah curah hujan dapat menimbulkan terjadinya
fenomena erosi yang berdampak terhadap adanya kehilangan di suatu tempat.
Untuk itu, dari data yang telah didapatkan, kami secara akademik
mencoba untuk menghitung berapakah kehilangan tanah yang diakibatan oleh
erosi tersebut. Dari Desa Bantarujeg yang notabene merupakan wilayah yang
memiliki topografi landau tetapi tidak berbukit, namun dengan adanya system
jalan yang telah dibangun akan sedikit menambah efektifitas dari erosi
tersebut. Untuk mengetahui tingkatan tanah yang hilang oleh erosi dapat
ditentukan oleh data dibawah ini :
A = R.K.LS.C.P
A = perkiraan kehilangan tanah tahunan rata-rata (mt/ha)
R = Faktor erosivitas tanah (j/ha)
K = Faktor erodibilitas tanah (mt/j)
LS = Faktor panjang lereng dan kemiringan lereng
C = Faktor pengaturan tanaman
P = Faktor praktek-praktek yang mempercepat erosi
Tabel 4.11 Erosivitas
Waktu
mulai hujan
Volume
hujan (mm)
Intensitas
hujan
Tenaga
Kinetik
Tenaga
Total
(menit) (mm/jam) (j/m2/mm) Kinetik
(j/m2)0-14 0,50 2 -225,2 -112,615-29 15 60 21,3 319,530-44 15,33 61,32 21,48 329,29Jumlah 536,19
Mencari I30 :
I30 = 15 + 15,33
= 30,33 mm x 2 = 60,66 mm/jam
Mencari Tenaga Kinetik :
E = (KC) = 28,9 – 127,5/I
E (0-14) = 28,9 – 127,5/0,50 = 29,8 – 255 = - 225,2
E (15-29) = 28,9 – 127,5/15 = 29,8 – 8,5 = 21,3
E (30-44) = 28,9 – 127,5/15,33 = 29,8 – 8,32 = 21,48
Mencari EI30= 536,19 x 60,66 = 32523,4656 J/M2/mm
Untuk menganalisis data perhitungan di atas sebagai kunci dari
kehilangan tanah, maka kelompok 6 melakukan pengujian di beberapa plot
guna untuk menyelaraskan antara kejadian di lapangan dengan data hasil
perhitungan yang telah dilakukan.
a. Plot Pengamatan 1 (Desa Bantarujeg)
Tabel 4.12 Hasil pengamatan plot 1
Titik Koordinat : 108o14’19,7” BT – 6o58’19,7” LS
Ketinggian : 377 mdpl
Plot Pengamatan 1Tanah
Jenis Erosi Erosifitas (R) Struktur Tipe dan
Kelas
struktur
Permeabilit
as
BO LS Jenis Tanaman
pengelolaan
tunggal (C)
Jenis Tanaman
Pengelolaan
pertanian
Kedalama
n tanah
(cm)
Bentuk
lereng
1. Lembar
2. Saluran
32523,4656
J/M2/mm
Gumpal
halus
O=4cm
A=3cm
B=37cm
Granuler
halus (1-2
mm)
Ph = 6
Sedimen
Liat berdebu
Lengah (4) 40 % 13
m
15%
1. Padi lahan
kering
2. Jagung
3. Ubi Kayu
4. Kapas
Tembakau
5. Pisang
6. Talas
7. Hutan tak
terganggu
8. Pohon tanpa
semak
1. Padi gogo
2. Pola tanam
(padi jagung)
3. Tanah kosong
tak diolah
4. Kebun
campuran
5. tembakau
1. dalam
(<90)
Cembung
Konservasi Tabah1. Teras Banku (sedang)
2. Perumputan (baik)
3. Pertanaman kontur (kemiringan lereng 0-8%)
4. Limbah jerani reboisasi awal (3 ton/ha/tahun (2,5 ton/ha/tahun))
Diketahui :
• R = 32523,4656 J/M2/mm
• K = 100 K = 2,1 M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)
a = 40%
b = 40
c = 4
(M = % debu (0,1-0,02) x (100-% lempung))
(M = 40 % (0,1-0,02) x (100 – 20 %))
(M = 40 % (0,08) x (100 – 20 %))
(M = 0,4 (0,08) x (100 – 0,2))
(M = 0,032 x 99,8)
(M = 3,1936)
100 K = 2,1.3,1936-1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)
= 2,1 x 0,266 (0,0001) (11,6) + 3,25 (40-2) + 2,5 (4-3)
= 2,1 x 0,00031 + 126
= 126,00065
• LS = 1
• C =
Tabel 4.13 Jenis Tanaman Pengelolaan Pertanian
Nilai C Faktor Korelasi (%R) Pembobotan Nilai C)0,209 32523,4656 (2,970) 0,6210,498 32523,4656 (2,970) 1,4791 32523,4656 (2,970) 2,9700,1 32523,4656 (2,970) 0,297Jumlah 5,367
Tabel 4.14 Jenis Tanaman Pengelolaan Tunggal
Nilai C Faktor Korelasi (%R) Pembobotan Nilai C)0,561 32523,4656 (2,970) 1,670,637 32523,4656 (2,970) 1,890,8 32523,4656 (2,970) 2,3760,5 32523,4656 (2,970) 1,4850,6 32523,4656 (2,970) 1,7820,86 32523,4656 (2,970) 2,5540,001 32523,4656 (2,970) 0,0030,32 32523,4656 (2,970) 0,950Jumlah 12,71
Sehingga Pembobotan C yaitu 12,71 + 5,367 = 18,077
• P A = R.K.LS.C.P
= 207421606.429915 mm/thun
Tabel 4.15 Pembobotan Nilai P
Plot 1 Pembobotan Nilai P0,150,040,500,500,50
0,75Jumlah 2,8
b. Plot Pengamatan 2 (Desa Bantarujeg)
Tabel 4.16 Hasil pengamatan plot 2
Titik Koordinat : 108o14’19,0” BT – 6o58’31,1” LS
Ketinggian : 379 mdpl
Plot Pengamatan 2Tanah
Jenis Erosi Erosifitas Struktur Tipe dan
Kelas
struktur
Permeabilit
as
BO LS Jenis Tanaman
pengelolaan
tunggal (C)
Jenis Tanaman
Pengelolaan
pertanian
Kedalaman
tanah (cm)
Bentuk
lereng
1. Lembar
2. Saluran
32523,4656
J/M2/mm
Gumpal
halus
O=3cm
Granuler
halus (1-2
mm)
Agak lambat 45 % 1 m
10%
1. Jagung
2. Ubi Kayu
3. Pisang
1. Pola tanaman
tumpang gilir
2. Bambu, jati,
3. dalam
(<90)
Lurus
A=40cm
B=62cm
C=50cm
Liat
Sedimen
Ph =7
4. Alang-alang mangga
Konservasi Tabah1. Teras Banku (jelek)
2. Perumputan (Baik)
c. Plot Pengamatan 3 (Desa Bantarujeg)
Tabel 4.17 Hasil pengamatan plot 3
Titik Koordinat : 108o14’20,5” BT – 6o58’30,4” LS
Ketinggian : 363 mdpl
Plot Pengamatan 3Tanah
Jenis Erosi Erosifitas Struktur Tipe dan
Kelas
struktur
Permeabilit
as
BO LS Jenis Tanaman
pengelolaan
tunggal (C)
Jenis Tanaman
Pengelolaan
pertanian
Kedalaman
tanah (cm)
Bentuk
lereng
1. Lembar
2. Saluran
3. Parit
32523,4656
J/M2/mm
Gumpal
halus
O=3cm
A=40cm
Granuler
halus (1-2
mm)
Liat berdebu
Agak lambat 40 % 5 m
30%
1. Jagung
2. Pisang
3. Semak tak
terganggu
1. Bambu, jati,
mahoni
4. dalam
(<90)
Cekung
B=62cm
C=50cm
Sedimen
Ph = 7
4. Hutan tak
terganggu
5. Alang-alangKonservasi Tabah
Teras Banku (jelek)
Perumputan (Baik)
Pertanaman kontur (jelek)
d. Plot Pengamatan 4 (Desa Bantarujeg)
Tabel 4.18 Hasil pengamatan plot 4
Titik Koordinat : 108o14’26,6” BT – 6o58’27,9” LS
Ketinggian : 426 mdpl
Plot Pengamatan 4Tanah
Jenis Erosi Erosifitas Struktur Tipe dan
Kelas
struktur
Permeabilit
as
BO LS Jenis Tanaman
pengelolaan
tunggal (C)
Jenis Tanaman
Pengelolaan
pertanian
Kedalaman
tanah (cm)
Bentuk
lereng
1. Lembar
2. Saluran
3. Parit
32523,4656
J/M2/mm
Sangat
halus
O=2cm
A=11cm
B=43cm
C=17cm
Granuler
menengah
atau kasar
Liat
Ph = 6
Agak lambat 50 % 3 m
35%
1. Jagung
2. Pisang
3. Semak tak
terganggu
4. Hutan tak
terganggu
1. Bambu, jati,
manga
2. pisang
1. dalam
(<90)
lurus
R=717cm 5. Alang-alang
Konservasi TabahTeras Banku (jelek)
Perumputan (baik)
Pertanaman kontur (jelek)
Dari penghitungan yang telah dilakukan diatas, maka didapatkan
bahwa dengan adanya tingkat erosi yang berada di Desa Bantarujeg,
dalam skala ataupun interval selama satu tahun apabila di hitung dengan
menggunakan rumus USLE (Universal Lose Equation), didapatkan angka
207421606.429915 mm/thun yang menunjukkan bahwa tingkat erosi
yang berada di Desa Bantarujeg merupakan berada pada tingkatan
menengah sampai tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang
mendukung terjadinya erosi di Desa Bantarujeg tersebut.
Dengan mengetahui seberapa besarnya erosi dapat menghilangkan
tanah, hal tersebut dapat dijadikan referensi untuk mengetahui sejauh
manakah bencana fisik ini dapat memberikan dampak terhadap Desa
Bantarujeg dalam hal pengelolaan lahan dan pertanian yang sangat
dominan di Desa Bantarujeg.
Dengan melihat hasil penghitungan dengan menggunakan rumus
USLE, dapat diketahui tingkatan faktor yang menghambat laju erosi yang
berada di Desa Bantarujeg tersebut cukup jarang adanya. Dengan
berkaitan kurangnya penghalang laju erosi yang terjadi, maka hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa lahan yang berada di Desa Bantarujeg
merupakan lahan yang rentan terhadap bencana erosi serta fenomena
fisik yang lainnya.
Dengan kondisi tanah yang tergolong tanah liat tersebut, semakin
menambah laju erosi yang melintas diatasnya. Air yang mengalir di atas
tanah liat tersebut maka akan rentan terhadap aliran erosi parit maupun
erosi yang lainnya.
3. Fenomena fisik yang terjadi di wilayah kajian
a. Gempa Bumi
Gambar 4.7 Rumah Retak
Gambar 4.7 Rumah Retak
Gambar 4.7 Rumah Retak
Beberapa contoh gambar diatas merupakan wujud nyata dari
adanya fenomena fisik yang terjadi di wilayah kajian kelompok 6 yaitu
di Desa Bantarujeg Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka.
Gempa bumi merupakan salah satu fenomena yang pernah terjadi di
Desa Bantarujeg. Hal tersebut dapat menambah tingkat erosivitas
tanah yang dapat menyebabkan longsor. Terjadinya gempa bumi yang
terjadi di Desa Bantarujeg tersebut terjadi saat gempa bumi yang
berpusat (epicentrum) di Kota Tasikmalaya yang sampai ke
Majalengka.
Dilihat dari dampak tersebut hanya material bangunan yang
menjadi korban, akan tetapi tidak ada satupun korban yang meninggal.
Dapat dilihat dengan adanya fenomena tersebut, menyimpulkan bahwa
tanah di Desa Bantarujeg sangat rentan terhadap adanya pergerakan
tanah. Sehingga sangat dibutuhkan bentuk knservasi yang sesuai
dengan fenomena yang terjadi.
b. Erosi
Gambar 4.7 Erosi
Gambar 4.7 Erosi Parit
Gambar 4.7 Erosi Parit
Contoh gambar diatas merupakan wujud nyata dari adanya
fenomena fisik yang terjadi di wilayah kajian kelompok 6 yaitu di
Desa Bantarujeg Kecamatan Bantarujeg Kabupaten Majalengka. Erosi
merupakan salah satu fenomena yang sering terjadi di Desa
Bantarujeg. Hal tersebut dapat dilihat banyaknya tanah-tanah yang
rentan terhadap longsor. Terjadinya erosi yang terjadi di Desa
Bantarujeg tersebut terjadi ketika mulai adanya presipitasi yang terjadi
dengan tingkat presipitasi yang besar maka akan semakin
mengakibatkan tingkat erosi yang terjadi juga menjadi lebih tinggi
yang akan mebghilangkan tanah.
Erosi yang terjadi di wilayah kajian kelompok 6 yang kebetulan
dapat teramati oleh peneliti, dapat ditemukan beberapa erosi yaitu erosi
parit, erosi alur. Dilihat dari bentuk erosinya menandakan bahwa
wilayah kajian kelompok 6 merupakan daerah yang memiliki tanah liat
yang halus yang diakibatkan oleh adanya sedimentasi.
Disamping hal tersebut, kemiringan lereng yang terdapat di
wilayah kajian sangatlah bervariasi, dimulai dari datar sampai terjal,
hal tersebut dikarenakan karena genesa geologi dari wilayah kajian
kelompok 6 merupakan bagian dari formasi kaliwungu yang
merupakan terbentuk karena serpihan.
4. Konservasi yang dilakukan pada setiap wilayah penelitian
a. Plot penelitian 1
Konservasi yang dilakukan pada plot penelitian 1 ini bermacam-
macam, karena plot penelitian 1 ini berada pada daerah pertanian
maka konservasi yang dilakukan oleh warga setempat lebih kepada
konservasi terhadap pertanian namun tidak semua konservasi berbasis
kepada pertanian ada juga konservasi yang dilakukan warga terhadap
wilayah non pertanian. Contoh dari konservasi yang dilakukan di plot
penelitian 1 antara lain :
1) Membuat terasering berundak terhadap lahan pertanian warga agar
tingkat erosi di wilayah pertanian itu dapat ditekan atau
diperlambat.
2) Menanam tanaman berakar kuat sebagai penguat tanah agar
terjadinya tanah longsor dapat diminimalisir
3) Penggunaan pupuk organic untuk mengembalikan kondisi tanah
adar tidak menjadi lahan kritis yang tidak bias lagi ditanami, pupuk
organic ini berasal dari serasah padi yang disimpan hingga
membusuk secara alami.
4) Melakukan system tanam tumpang sari, system ini dapat
memperbaharui unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah
5) Adanya Teras bangku sempurna
6) Perumputan permanen dalam keadaan baik
7) Pertanaman kontur memiliki kemiringan lereng 0-8%
Gambar 4.8 Sawah yang mengikuti Kontur
Gambar 4.9 Penanaman Pohon berakar kuat
Keempat konservasi di atas merupakan contoh konservasi yang
dilakukan oleh warga setempat yang berada di wilayah penelitian 1,
konservasi ini dilharapkan agar tanah dan erosi dapat terjaga dengan
baik dan tidak merusak unsur-unsur hara sehingga dapat digunakan
lebih lama dan bijaksana.
b. Plot Penelitian 2
Konservasi yang dilakukan pada plot penelitian 2 di desa
bantarujeg ini tidak jauh beda dengan konservasi yang dilakukan pada
plot penelitian pertama. Pada plot penelitian 2 ini di dominasi oleh
lahan lading, namun ada beberapa usaha konservasi yang dilakukan
oleh warga setempat yaitu :
1) Penanaman Bambu pada didinding lereng
2) Dilakukan tanaman tumpangsari
3) Dilakukan sistem guludan
4) Ditanami tanaman-tanaman keras
5) Perumputan permanen jelek
6) Pertanaman kontur memiliki kemiringan lereng 0-8%
Gambar 4.10 Guludan
c. Plot penelitian 3
Di plot penelitian 3 ini tidak banyak konservasi yang dilakukan,
hanya ada beberapa saja konservasi yang dilakukan oleh para
penduduk setempat seperti :
1) Penanaman bambu pada dinding lereng
2) Penanaman pohon keras seperti jati
3) Penanaman dengan system tumpang sari
4) Adnanya semak tak terganggu yang bias menahan erosi
5) Adanya teras bangku tetapi dalam kondisi jelek
Gambar 4.11 Tanaman Akar Panjang
Tidak banyak konservasi yang dilakukan pada plot penelitian 4 ini,
karena plot penelitian ini berada pada rintisan jalan. Pada plot 3 ini
terdapat masswashting atau dalam bahasa sehari-hari disebut longsor.
Namun longsor ini tidak besar, kemungkinan terjadinya longsor ini
dampak dari pembangunan rintisan jalan pemukiman
d. Plot Penelitian 4
Pada plot penelitian ini masih berada pada jalan rintisan
pemukiman, keadaan pada plot ini merupakan sebuah penggunaan
lahan lading yang didominasi oleh tanaman-tanaman kecil namun ada
sedikit tanaman besar seperti jati.
Contoh konservasi yang dilakukan pada plot penelitian plot 4 ini
berupa :
1) Penanaman bambu pada lereng
2) Penanaman tanaman keras seperti jati
3) Adanya semak tyang tak terganggu
4) Adanya sengkedan
Seperti yang telah disebutkan diatas ada 4 konservasi yang
dilakukan oleh warga setempat untuk upaya mengurangi penghilangan
tanah. Diharapkan dengan adanya konservasi ini tingkat erosi bisa
ditekan dan pengurangan tanah juga bias ditekan, dengan tertekannya
tingkat erosi dan pengurangn tanah ini diharapkan lahan tersebut tidak
menjadi sebuah lahan kritis.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang
terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki
pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what
you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh
Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi.
Rehabilitasi upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas
dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
(PP tahun 2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan).
Adanya Konservasi serta rehabilitasi tersebut tidak lepas dari adanya
fenomena fisik seperti erosi. Erosi merupakan salah satu fenomena fisik yang
sering terjadi pada lahan. Erosi tanah adalah penyingkiran dan pengangkutan
bahan dalam bentuk larutan atau suspensi dari tapak semula oleh pelaku
berupa air mengalir (aliran limpasan), es bergerak atau angin (tejoyuwono
notohadiprawiro, 1998: 74). Menurut G. kartasapoetra, dkk (1991: 35), erosi
adalah pengikisan atau kelongsoran yang sesungguhnya merupakan proses
penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan angin dan air, baik
yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan atau
perbuatan manusia.
Dua sebab utama terjadinya erosi adalah karena sebab alamiah dan
aktivitas manusia. Erosi alamiah dapat terjadi karena adanya pembentukan
tanah dan proses yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah
secara alami. Sedangkan erosi karena aktivitas manusia disebabkan oleh
terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak
mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan
yang bersifat merusak keadaan fisik tanah (chay asdak, 1995: 441).
Dalam penelitian kali ini dilaksanakan di Desa Bantarujeg Kecamatan
Bantarujeg Kecamatan Majalengka. Erosi yang terjadi di Desa Bantarujeg
disebabkan oleh beberapa faktor geografis serta faktor sosial. Dilihat dari
faktor geografisnya, erosi diakibatkan oleh adanya pergerakan tanah yang
secara alami menjadi sebuah siklus, sifat tanah yang mudah tererosi
dikarenakan memiliki sifat liat berdebu, kurangnya tutupan lahan, gundulnya
hutan, salah penggunaan lahan yang mengakibatkana adanya alur erosi yang
terjadi. Disamping itu kemiringan lereng sangat menentukan adanya sebuah
erosi serta jenis tanaman yang berada pada lahan.
Dilihat dari aspek sosial masyarakat sudah tidak mengindahkan etika
dalam mengolah lahan sesuai karakteristik wilayahnya. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya pemahaman masyrakat terhadap gejala-gejala alam
yang kemungkinan akan terjadi. Teknik konservasi yang dilakukan oleh
masyarakat rata-rata menerapkan teknik konservasi untuk pertanian, karena
wilayah kajian kelompok 6 yang bertempat di Desa Bantarujeg didominasi
oleh lahan persawahan. Teknik ang dilakukan yaitu seperti membuat
sengkedan, guludan, pemanfaatan lahan sesuai kontur serta penanaman
tanaman berakar kuat untuk menahan erosi.
B. Rekomendasi
Kesimpulan di atas telah menunjukkan gambaran umum hasil penelitian
ini. Berdasarkan kesimpulan tersebut maka ada beberapa rekomendasi agar
didapatkan teknik konservasi yang sesuai dengan fenomena alam di Desa
Bantarujeg. Rekomendasi tersebut adalah:
1. Diperlukan perhatian penuh untuk setiap upaya-upaya perbaikan lahan,
karena setiap upaya perbaikan pada tiap faktor pembatas menjadi bagian
penting dalam menahan terjadinya erosi pada lahan.
2. Selain mengadakan penyuluhan, instansi terkait perlu mengadakan
forum atau kegiatan dimana masyarakat dapat bertukar ide yang sudah
berpengalaman dan atau mengenal lebih dalam menanggapi fenomena
alam (erosi) di Desa Bantarujeg Kecamatan Bantarujeg.
3. pengenalan dan pengembangan dalam hal permodalan terutama
perbankan sehingga akan lebih efektif dan efisien serta lebih
menguntungkan.
4. Bagi masyarakat disarankan untuk tetap menjaga kondisi lahannya
seperti mengadakan pembuatan sumur resapan untuk menampung air
hujan yang turun ke dalam tanah sehingga alur erosi dapat sedikit
terhambat.
5. Penekanan untuk tetap menjaga kelestarian hutan yang ada di dekat Desa
Bantarujeg.
6. Perlu dilakukan pemaduserasian antara faktor fisik dan sosial dalam
upaya pengoptimalan lahan sehingga outputnya akan dapat terasa
menjadi lebih menguntungkan dan keseimbangan alam terutama
sumberdaya lahan tersebut dapat terjaga kualitasnya.
7. Penelitian lanjutan berupa Action Research sangat diperlukan.
Penelitian Action Research tersebut secara lebih dalam mengenai (1)
Pengolahan lahan dan budidaya untuk tanaman tembakau, (2) Upaya
perbaikan lahannya, dan (3) Ketidakmerataan pengetahuan dan
keterampilan petani dalam budidaya tembakau.
DAFTAR PUSTAKA
Catatan Kuliah Yoga Hepta Gumilar
PP tahun 2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan
Rafi’i, Suryatna. (1995). Meteorologi dan Klimatologi. Bandung: Angkasa
Rohmat, Dede. (2010). Pedoman Praktis Pengamatan Tanah di Lapangan
Sutanto, Rachman. (2005). Dasar-dasar Ilmu Tanah Konsep dan Kenyataan.
Yogyakarta: Kanisius
______.(2011) Erosivitas [Online]
Tersedia : http://tanahjuang.wordpress.com/tag/erosivitas/ [10 Desember
2012]
______.(2012) Klasifikasi Kemiringan Lereng [Online]
Tersedia : http://pinterdw.blogspot.com/2012/03/klasifikasi-kemiringan-
lereng.html [10 Desember 2012]
______.(2011) Konservasi [Online]
Tersedia : http://www.pendakierror.com/Konservasi.htmlkonservasi
[10 Desember 2012]
______.(2012) Mencoba Belajar Petrofisika [Online]
Tersedia : http://arifpanduwinata.blogspot.com/2012/03/mencoba-belajar-
petrofisika.html [10 Desember 2012]
______.(2008) Struktur Tanah [Online]
Tersedia : http://bwn123.wordpress.com/2008/09/06/struktur-tanah
[10 Desember 2012]