59
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten 1

Laporan Kasus Peritonitis

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangPeritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis.Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yangsering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen(misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal),ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri; kontaminasi yang terus menerus,bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya bendaasing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambilkarena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatandiagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuanmelakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik danpemeriksaan penunjang.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. DefinisiPeritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterisemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Fauci et al, 2008)

2.2. Anatomi dan Fisiologi

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membran basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis (Marshall, 2003).Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai 1,7m2. Ia berfungsi sebagai membran semipermeable untuk difusi 2 arah untuk cairan dan partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas 1m2 (Heemken, 1997).Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat 100cc cairan peritoneal yang mengandung protein 3g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah 33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai >3000/mm3 (Marshall, 2003).Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang sisanya melalui peritoneum parietalis (Evans, 2001).Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan lakuna limfe untuk bergerak ke limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan mendorong limfe ke mediastinum (Hau, 2003).Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung (Evans, 2001).Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragmaPompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata. Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii (Evans, 2001).Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan interstisial ke rongga peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pankreas memperbesar pergeseran cairan ini (Heemken, 1997).2. Penghancuran bakteri oleh sel imunBakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi (Iwagaki, 1997).Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang mengandung histamin dan prostaglandin. Histamin dan prostaglandin yang dilepas sel mast dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan, dan fibrin (Marshall, 2003).Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi kegagalan organ (Marshall, 2003).

3. Lokalisasi infeksi sebagai absesPada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin menjadi trombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi (Evans, 2001).2.3. EtiologiInfeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk: Peritonitis primer (Spontaneus)Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalahspontaneous bacterial peritonitis(SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial. Peritonitis sekunder Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendisitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus (Brian,2011).Tabel 1. Penyebab Peritonitis SekunderRegio AsalPenyebab

Esophagus Boerhaave syndrome Malignancy Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic

Stomach Peptic ulcer perforation Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic

Duodenum Peptic ulcer perforation Trauma (blunt and penetrating) Iatrogenic

Biliary tract Cholecystitis Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common duct Malignancy Choledochal cyst (rare) Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic

Pancreas Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones) Trauma (blunt and penetrating)Iatrogenic

Small bowel Ischemic bowel Incarcerated hernia (internal and external) Closed loop obstruction Crohn disease Malignancy (rare) Meckel diverticulum Trauma (mostly penetrating)

Large bowel and appendix Ischemic bowel Diverticulitis Malignancy Ulcerative colitis and Crohn disease Appendicitis Colonic volvulus Trauma (mostly penetrating) Iatrogenic

Uterus, salpinx, and ovaries Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian abscess, ovarian cyst) Malignancy (rare) Trauma (uncommon)

Peritonitis tertier Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya.

Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadigeneralized (peritonitis) danlocalized(abses intra abdomen). 2.4. PatofisiologiReaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalahkeluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses)terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadisatu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapidapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapatmengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler danmembran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksisecara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapatmemulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa keperkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karenatubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensicairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikutmenumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapiini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci et al, 2008).Organ-organ didalam kavum peritoneum termasuk dindingabdomen mengalami oedema.Oedema disebabkan olehpermeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum danlumen-lumen usus serta oedema seluruh organ intra peritoneal danoedema dinding abdomen termasuk jaringan retroperitonealmenyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah denganadanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebihlanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usahapernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunanperfusi (Fauci et al, 2008).Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaanperitoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitisumum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitasperistaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudianmenjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalamlumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasidan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkungusus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnyapergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus (Fauci et al, 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapatmenimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan)maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untukmengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dandapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksidisertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yangakan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadiperforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada ronggaabdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al, 2008).Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yangdisebabkan kuman S.Typhi yang masuk tubuh manusia melaluimulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kumandimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke usushalus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileumterminalis yang mengalami hipertrofi ditempat ini komplikasiperdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileumpada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selamakurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk danmalaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneumyang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibatperitonitis generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagiandepan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalamiperforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeriini timbul mendadak terutama dirasakan di daerah epigastriumkarena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu danatau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum adainfeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritoneumberupa pengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akanmengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadiperitonitis bakteria (Fauci et al, 2008).Pada appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatanlumen appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing,striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebutmenyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namunelastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehinggamenyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambataliran limfe yang mengakibatkan oedema, diapedesis bakteri,ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga oedema bertambahkemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dindingappendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dindingappendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnyamengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general (Fauci et al, 2008).Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan traumatumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengansepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritoneal.Rangsangan peritoneal yang timbul sesuai dengan isi dari organberongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampaidengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia onsetnyapaling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagianatas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangansegera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebatsedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidakterjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomenkarena perangsangan peritoneum (Fauci et al, 2008).2.5. Manifestasi KlinisGejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga abdomen. Beratnya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi kavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi: (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada kavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok (Doherty, 2006).2.5.1. Gejala Nyeri abdomenNyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis (Schwartz et al, 1989).

Anoreksia, mual, muntah dan demamPada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40OC (Schwartz et al, 1989).

Facies HipocratesPada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen (Schwartz et al, 1989).Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970). Syok Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua faktor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke kavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).Yang utama dari septisemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negatif dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).2.5.2. Tanda Tanda VitalTanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolik dapat dilihat dari frekuensi pernapasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk (Schwartz et al, 1989).

InspeksiTanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik (Cole et al,1970).

AuskultasiAuskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltik yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi (Cole et al,1970). PerkusiPenilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Cole et al,1970).Jika terjadi pneumoperitoneum karena ruptur dari organ berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang (Schwartz et al, 1989).

Palpasi Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada appendisitis dengan perforasi lokal, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pankreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal (Cole et al,1970).Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan (Schwartz et al, 1989).

2.6. Pemeriksaan Penunjang2.6.1. LaboratoriumEvaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya (Cole et al,1970).Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata (Schwartz et al, 1989).Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Doherty, 2006).2.6.2. RadiologiPemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam kavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen (Cole et al,1970).Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral dekubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus (Cole et al,1970).

2.7. Tata LaksanaTatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).2.7.1. Penanganan Preoperatif Resusitasi CairanPeradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam kavum peritoneum dan ruang interstisial (Schwartz et al, 1989).Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskuler sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi (Doherty, 2006). AntibiotikBakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terapi peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et al,1970).Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau non trauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti kandida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terapi antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi (Schwartz et al, 1989).Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari penicillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terapi yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua (Schwartz et al, 1989).Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotika awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006). Oksigen dan VentilatorPemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolisme tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti: (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya napas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring HemodinamikPemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperatur, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperatif termasuk serum elektrolit, kreatinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz et al, 1989).

2.7.2. Penanganan OperatifTerapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum.Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari kavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mukus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

Kontrol SepsisTujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur appendiks atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006). Peritoneal LavagePada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi napas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006). Peritoneal DrainagePenggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi (Doherty, 2006).2.7.3. Pengananan PostoperatifMonitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital, dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).2.8. KomplikasiKomplikasi post operatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama post operasi. Demam tinggi yang persisten, oedema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun (Doherty, 2006).2.9. PrognosisTingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau appendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006). BAB IIIPENUTUP3.1. KesimpulanPeritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalahspontaneous bacterial peritonitis(SBP) akibat penyakit hepar kronis. Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendisitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, serta perforasi kolon. Tanda-tanda peritonitis yaitu demam tinggi dan mengigil, bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat, dinding perut akan terasa tegang karena iritasi peritoneum.Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Komplikasi post operatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien.3.2. SaranSetiap peritonitis harus ditangani secermat mungkin bila tidak ingin penyakit berjalan terus. Source control harus dilaksanakan sebaik mungkin. Pemeriksaan kultur dan resistensi harus diulang terutama pada mereka yang menunjukkan perjalanan penyakit yang panjang dan berat. Awasi terjadinya perubahan organisme penyebab infeksi dan gunakan obat yang sesuai resistensi dan tidak lagi menggantungkan pada antibiotik spektrum luas.DAFTAR PUSTAKABrian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal Sepsis. Diakses pada 6 Juni 2012. http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#aw2aab6b2b4aaCole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition. Appelton-Century Corp, Hal 784-795

Doherty, Gerard. 2006. Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment 12ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Evans, HL. 2001. Tertiary Peritonitis (Recurrent Diffuse or Localized Disease) is not An Independent Predictor of Mortality in Surgical Patients with Intra Abdominal Infection. Surgical Infection (Larchmt); 2(4) : 255-63

Fauci et al, 2008, Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1, McGraw Hill, Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917

Hau, T. 2003. Peritoneal Defense Mechanisms. Turk J Med Sci; 33: 131-4

Heemken, R. 1997. Peritonitis: Pathophydiology and Local Defense Mechanisms. Hepatogastroenterology; Jul-Aug; 44(16): 927-36

Iwagaki, H. 1997. Clinical Value of Cytokine Antagonists in Infectious Complications. Res CommunMol Pathol Pharmacol; Apr: 96(1): 25-34

Marshall, JC. 2003. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection. Critical Care Medicine; 31(8) : 2228-37

Schwartz et al. 1989. Priciple of Surgery 5th Edition. Singapore: Mc.Graw-Hill, Hal 1459-1467

LAPORAN KASUSA.IDENTITAS PASIEN

Nama

: Mq. CacihJenis Kelamin: Laki-laki

Usia

: 65 Tahun

Alamat

: Suela - LotimMRS

: 18 Agustus 2013, pukul 13.16 WITA

No. RM

: 240427B.ANAMNESA

KU: Nyeri perut.

RPS: Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri perut yang dialami sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengatakan tidak bisa BAB dan kentut, mual (+), muntah (-), perut terasa keras sejak 5 hari yang lalu, BAK lancar, pasien juga merasakan nyeri pada bahu. RPD: Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat hipertensi (-), DM (-).

RPK: Tidak ada riwayat sakit serupa pada keluarga pasien.C.PEMERIKSAAN FISIK

GCS : E4V5M6

TD

:120/80

Nadi : 80x/m

Suhu : 36,2 C

RR

: 20x/m

Chepal: CA (-/-), SI (-/-), sianosis (-), pupil isokor, RP (+/+)

Leher : Pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

Cor

: S1S2 tunggal, reguler, M (-), G(-)

Pulmo : Ves (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)

Abdomen : Distensi (+), BU menurun, pembesaran hepar (-), nyeri tekan (+)

Extremitas: Oedema (-), akral hangat

D.STATUS LOKALIS

-Inspeksi : Meteorismus (+), distensi (+)-Auskultasi : Bising usus menurun-Perkusi : Pekak hati (-)

-Palpasi : Nyeri tekan abdomen (+), defans muskular (+) -RT : Tonus sfingter ani (+), ampula rekti kolaps (-).

E.RENCANA PEMERIKSAAN

-Cek laboratorium-Foto polos abdomenF.DIAGNOSA

-DK : Susp. Ileus paralitik-DD : PeritonitisG.TERAPI

-IVFD RL 20 tpm

-Inj. Ranitidin 2x1 Amp- Inj. Alinamin 3x1 Amp

- Dulcolac Supp-Pasang NGTData Perkembangan Pasien

TglSubjectObjectiveAssessmentPlanning

19/08/13BAB (-), flatus (-), muntah (-), meteorismus (+), nyeri tekan abdomen (+), defans muskuler (+), bising usus menurun TD : 130/90

N : 100x/mRR : 20x/mt : 36,8C

Susp. Ileus paralitik DD : Peritonitis Foto BNO Abdomen dan LLD Cek lab. Lengkap

Konsul dr. Aji, Sp.B:

Pro operasi laparotomi

Cek lab lengkap

EKG

Ro thorax PA

Konsul interna

Rencana operasi selasa

IVFD RL : D5% = 1 : 2 ( 28 tpm Inj. Ceftriaxon 1x1 gr

Inj. Ranitidin 2x1 Amp Inj. Alinamin 2x1 Amp Sucralfat Syr. 2x Cth 1

Pasang NGT

20/08/13BAB (-), flatus (+), muntah (-), meteorismus (+), nyeri tekan abdomen (+), defans muskuler (+), bising usus menurun, NGT terpasangTD : 130/90

N : 100x/mRR : 18x/mt : 36,7C

Hasil lab :

Hb : 16,3 g/dl

Leukosit : 21.710/uL Eritrosit : 5,47

Trombosit : 268.000/uL SGOT : 19,7 U/L

SGPT : 12,2 U/L Albumin : 3,79 g/dl GDS : 139 mg/dl

Ureum : 121,1 mg/dl

Kreatinin : 1,56 mg/dl

Kalium : 4,3 mmol/L Natrium : 133 mmol/L Chlorida 105 mmol/L

Peritonitis Konsul dr. Zakiah, Sp.PD :

EKG : LVH (+), sinus takikardi

Saran : Cek BT/CT Operasi hari ini

Post op. puasa

Inj. RL : D5 ( 2:1 ( 25 tpm

Inj. Omeprazol 3x1

Inj. Sucralfat 3x1

Inj. Ketorolac 3x30 mg Inj. Cefotaxim 2x1 Amp Inj. Metronidazol 3x1

Inj. Alinamin F 3x1

21/08/13BAB (-), flatus (+), muntah (-), meteorismus (-), nyeri luka operasi (+), defans muskuler (-), bising usus menurun, cairan NGT hijau, drain (+) aktifTD : 120/70

N : 89x/mRR : 18x/mt : 36,5C

Post laparotomi hari I Terapi lanjut Rawat luka

22/08/13BAB (+), flatus (+), BAK (+), nyeri luka operasi , drain (+) aktifTD : 120/70

N : 80x/mRR : 18x/mt : 36,5C Post laparotomi hari II Terapi lanjut Rawat luka IVFD RL:D5 2:1 ( 28 tpm Inj. Ceftriaxon 1x1 gr Inf. Metronidazol 3x500 mg Inj. Alinamin 2x1 amp Inj. Pantoprazol 1x1 Sucralfat Syr. 1xcth I

23/08/13Keluhan (-), nyeri luka operasi (-), demam (-), produksi NGT , drain (+) aktif, BAB (+), flatus (+) seringTD : 120/70

N : 82x/mRR : 18x/mt : 36,5C Post laparotomi hari III Terapi lanjut Rawat luka

Diit susu

Inf. RL:Kalbamin:Martos ( 1:1:1 /8 jam

24/08/13Keluhan (-), nyeri luka operasi (-), demam (-), produksi NGT , drain (+) aktif, BAB (+), flatus (+)TD : 120/70

N : 80x/mRR : 20x/mt : 36,7C Post laparotomi hari IV Terapi lanjut

Rawat luka

26/08/13Keluhan (-), produksi NGT , drain (+) aktif, BAB (+), flatus (+)TD : 110/70

N : 74x/mRR : 20x/mt : 36,5C Post laparotomi hari VI Terapi lanjut

Rawat luka

27/08/13Keluhan (-), produksi NGT , drain (+) tidak aktif, BAB (+), flatus (+)TD : 120/80

N : 72x/mRR : 20x/mt : 36,5C Post laparotomi hari VII Aff drain

Rawat luka

Inj. Alinamin F 2x1 Amp

Diit bubur

28/08/13KU baik, produksi NGT (-), Bising usus (+) TD : 120/70

N : 80x/mRR : 18x/mt : 36,5C Post laparotomi hari VIII Terapi lanjut Mobilisasi

Diit bubur

29/08/13KU baik, keluhan (-) produksi NGT (-),TD : 120/80

N : 76x/mRR : 18x/mt : 36,5C Post laparotomi hari IX Terapi lanjut

Mobilisasi Aff NGT

30/08/13KU baik, makan dan minum (+), mobilisasi (+)TD : 120/80

N : 80x/mRR : 20x/mt : 36,5C Post laparotomi hari X BPL Obat pulang:

Ciprofloxacin 3x1

Metro tab. 3x1

As. Mef 3x1

Sucralfat Syr. 3xCth 1

KESIMPULAN

Pasien laki-laki usia 65 tahun datang dengan keluhan nyeri perut. Pasien datang ke RS dengan keluhan nyeri perut yang dialami sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengatakan tidak bisa BAB dan kentut, mual (+), muntah (-), perut terasa keras sejak 5 hari yang lalu, BAK lancar, pasien juga merasakan nyeri pada bahu. Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi berupa laparotomi. Ketika dilakukan insisi dan membuka peritoneum keluar cairan berwarna hijau kehitaman kemudian dieksplorasi dan ditemukan perforasi gaster dengan diameter 1 cm. 25