30
LAPORAN KASUS PERITONITIS GENERALISATA EC HOLLOW VISCUS EC PERFORASI APPENDICITIS Oleh: REGAN JANUARDY MARLIAU I11109020 Pembimbing: dr. RANTI SMF EMERGENCY RSUD dr. ABDUL AZIZ KOTA SINGKAWANG

Laporan Kasus -Peritonitis

  • Upload
    reganjm

  • View
    851

  • Download
    103

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Kasus -Peritonitis

Citation preview

LAPORAN KASUSPERITONITIS GENERALISATA EC HOLLOW VISCUS EC PERFORASI APPENDICITIS

Oleh:REGAN JANUARDY MARLIAUI11109020

Pembimbing:dr. RANTI

SMF EMERGENCYrsud dr. ABDUL AZIZ kota SINGKAWANGFakultas kedokteranUniversitas TanjungpuraPontianak2015

BAB IPENDAHULUAN

Peritonitis merupakan inflamasi pada membrane serosa yang melapisi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat di dalamnya. Peritoneum pada dasarnya bersifas steril, dapat memberikan reaksi pada stimulus patologik dengan respon inflamasi. Tergantung pada patologi penyebabnya, peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis infeksi atau steril (kimia atau mekanik). Sepsis intraabdominal merupakan inflamasi pada peritoneum yang disebabkan oleh mikroorganisme pathogen dan produk yang dihasilkannya. Proses inflamasi yang terjadi dapat terlokalisasi (abses) atau difus. Infeksi intraperitoneal pada umumnya terjadi ketika barrier anatomi normal mengalami gangguan. Gangguan ini dapat terjadi ketika appendix, diverticulum, atau ulkus yang mengalami rupture; ketika dinding perut mengalami pelemahan karena iskemi, tumor, atau inflamasi (misal, inflammatory bowel disease); atau pada proses inflamasi yang terjadi bersamaan, seperti pancreatitis atau pelvic inflammatory disease. Ketika enzyme yang dihasilkan pada pancreatitis, atau organisme pada pelvic inflammatory disease masuk kedalam rongga peritoneum. Infeksi intraabdominal terjadi melalui dua tahap: peritonitis dan pembetukan abses intraabdominal. Peritonitis paling sering disebabkan oleh terjadinya infeksi pada peritoneum yang normalnya berada pada keadaan steril melalui perforasi organ, namun juga dapat disebabkan oleh iritan lain seperti benda asing, cairan empedu dari perforasi kandung empedu, atau laserasi liver, atau asam lambung dari ulkus perforasi. Wanita juga dapat mengalami peritonitis yang terlokalisasi dari infeksi pada tuba fallopi atau kista ovari yang ruptur. Pasien dapat tampil dengan onset penyakit akut atau hanya gejala yang ringan, atau penyakit sistemik dan penyakit yang berat yang disertai dengan shock septic.Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis. Diagnosis berdasarkan hasil analisis cairan peritoneum dapat membantu menegakkan diagnosis pada pasien dengan gejala yang tidak khas pada pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan peritonitis dan abses peritoneal adalah dengan mengatasi penyebab peritonitis, pemberian antibiotic sistemik, dan terapi suportif untuk mencegah dan membatasi terjadinya komplikasi sekunder karena kegagalan sistem organ.

BAB IIIPENYAJIAN KASUS

Identitas PasienNama : An. LJenis kelamin: Laki-lakiUsia: 3 tahun 4 bulan Tanggal lahir: 25 Oktober 2012Agama: BuddhaAlamat: Jl. Kridasana, Singkawang BaratMasuk RS: 8 Mei 2015, pukul 12.09 WIB

AnamnesisKeluhan Utama: Demam sejak 2 minggu SMRS Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke RS Abdul Azis Singkawang bersama dengan orang tuanya karena mengalami demam hilang timbul sejak 2 minggu lalu. Demam terutama pada siang dan malam hariSejak 1 minggu yang lalu, pasien mengalami muntah-muntah, 2-3x/hari, isi muntahan makanan, lendir (+), darah (-)Sejak 4 hari SMRS, pasien mengalami nyeri di seluruh bagian perut terus menerus

Riwayat penyakit dahulu : Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya Pasien belum pernah berobat dan dirawat di rumah sakit sebelumnya

Riwayat Penyakit keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang serupa dengan pasien2.1. Pemeriksaan Fisik : Kesadaran : Compos mentis Keadaan umum : tampak sakit sedang Tanda vital : TD: HR : 100 x/menit RR: 32 x/menit T: 37,7oC Mata : Kunjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor OD 3 mm OS 3 mm, RCL (+/+), RCTL (+/+) Telinga: Tidak diperiksa Hidung: Tidak diperiksa Mulut: DBN Leher: Pembesaran KGB (-) Jantung: Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat Palpasi: Tidak diperiksa Perkusi: Tidak diperiksa Auskultasi: S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-) Paru Inspeksi: Statis: bentuk dada dalam batas normal, simetris Dinamis: gerakan paru simetris (+), ketertinggalangerak (-), retraksi iga (-) Palpasi: Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), fremitusTaktil kanan = kiri Perkusi: Sonor dikedua lapang paru Auskultasi: Suara napas dasar vesikuler +/+, suara napastambahan : rhonki (-/-) wheezing (-/-)

Abdomen: Inspeksi: Tampak distensi, tidak terdpat sikatrik, darm countour (-), darm steifung (-) Auskultasi: Bising usus (+) menurun, metallic sound (-), borborigmi (-) Palpasi: Perut teraba supel, defans muskular (+), nyeri tekan (+), defans muscular (+), hepar tidak teraba, lien tidak teraba. Perkusi: Timpani Ektremitas: akral hangat, capillary refill time < 2 detikOedema tungkai -/-

2.2. Pemeriksaan Penunjang :a. Laboratorium : Hemoglobin: 12,4 g/dL Hematokrit: 32,6 % MCV: 73,7 MCH: 28,2 MCHC: 38,2 Leukosit: 30.300 Hitung jenis leukosit: 0/0/0/81/15/4 Trombosit: 432.000 Golongan darah: AB SGPT: 15,4 U/L SGOT: 20,7 U/L Ureum : 47 mg/dL Kreatinin: 0,8 mg/dL Natrium : 154,57 Kalium: 2,59 HbsAg: non reaktif HIV: non reaktif CT: 530 BT: 215b. Radiologi Thorax AP

Abdomen 3 posisi duduk

AP

Left lateral decubitus

2.3. Resume Anak L, laki-laki, usia 3 tahun 4 bulan, datang ke RS Abdul Azis karena mengalami demam sejak 2 minggu SMRS, sejak 1 minggu SMRS, pasien mengalami muntah berulang, dan sejak 4 hari SMRS pasien mengalami nyeri di seluruh bagian perut. Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen dan nyeri tekan di seluruh lapang abdomen, dan bising usus yang menurun. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar leukosit 30.300. Pada pemeriksaan radiologi abdomen 3 posisi, tampak dilatasi usus halus dan Rigler sign pada posisi PA, tampak gambaran step-ladder dan multiple air fluid level pada posisi duduk

2.4. DiagnosaPeritonitis ec hollow viscus ec appendicitis perforasi

2.5. Tatalaksanaa. Non medikamentosa Pemasangan NGT Pemsangan Folley catheter Infus cairanb. Medikamentosa Antibiotik Antipiretikc. Operasi Pro laparatomi eksplorasi + Appendectomy

2.6. PrognosisAd Vitam: bonamAd Functionam: bonamAd Sanactionam: bonam

BAB IIIPEMBAHASAN

1. Anatomi Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis.

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya, serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis

2. Peritonitis2.1. DefinisiPeritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagaiprimary peritonitis.

2.2. EtiologiBentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfemesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gramlainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteriPeritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis(infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnyacairan empedu, barium, dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organdalam (misalnya penyakit Crohn)

2.3. Klasifikasia. Peritonitis primerPeritonitis primer atau peritonitis spontan terjadi melalui penyebaran limfatik dan hematogen. Kejadiannya jarang dan angka insidensinya kurang dari 1 % dari seluruh angka kejadian peritonitis. Paling umum terjadi peritonitis primer adalah peritonitis bakterial spontan akibat penyakit liver menahun yang dikarenakan adanya asites sehingga menyebar melalui aliran limfatik.b. Peritonitis sekunderPeritonitis Sekunder terjadi akibat proses patologik yang terjadi dalam abdomen. Peritonitis ini tipe yang paling sering terjadi. Berbagai macam jalur patologis dapat berakibat terjadinya peritonitis sekunder. Yang paling sering mengakibatkan terjadinya tipe ini termasuk perforasi apendisitis, perforasi infeksi lambung dan usus, perforasi usus besar akibat divertikulitis, volvulus, kanker, dan lain-lain.c. Peritonitis tersierPeritonitis tersier adalah peritonitis yang sudah ditangani lewat operasi tetapi mengalami kekambuhan kembali. Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise.2.4. PatofisiologiReaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalahkeluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses)terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadisatu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapidapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapatmengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler danmembran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksisecara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian sel.Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapatmemulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa keperkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karenatubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensicairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikutmenumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapiini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dindingabdomen mengalami oedem.Oedem disebabkan olehpermeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut yang meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum danlumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal danoedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitonealmenyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah denganadanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebihlanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usahapernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunanperfusi.Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaanperitoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitisumum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitasperistaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudianmenjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalamlumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasidan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkungusus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnyapergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapatmenimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan)maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untukmengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dandapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksidisertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yangakan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadiperforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada ronggaabdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

2.5. Manifestasi KlinisGejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum.Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.

2.6. Pemeriksaan Penunjanga. Test laboratoriumLeukositosis, hematokrit meningkat, dan asidosis metabolik. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

b. Pemeriksaan radiologik Pemeriksaan foto polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis.Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : Posisi supinasi, sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP). Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP. Left lateral decubitus (LLD), dengan sinar horizontal, proyeksiAP.Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.Dapat terlihat: gambaran udara kabur dan tidak tersebar merata. Penebalan dinding usus-usus. Perselubungan menyeluruh atau pun di bagian-bagian tertentu. Gambaran garis permukaan cairan dalam usus (air-fluid levels) atau dalam rongga peritoneal (intraperitoneal fluid level). Kalau terdapat perforasi akan terlihat udara bebas di bawah diafragma. Gambaran foto seperti tersebut di atas menggambarkan proses pengumpulan cairan intra abdomen seperti tersebut di dalam uraian patofisiologi.

2.7. PenatalaksanaanTatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik. Penanganan PreoperatifResusitasi CairanPeradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells)atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi. AntibiotikPemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi. Penanganan OperatifTerapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.

Kontrol SepsisTujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum. Peritoneal LavagePada peritonitis difus,lavagedengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersamalavage. Terlebih lagi,lavagedengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukanlavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri. Peritoneal DrainagePenggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.

BAB IV KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Peritonitis Sekunder terjadi akibat proses patologik yang terjadi dalam abdomen. Peritonitis ini tipe yang paling sering terjadi. Berbagai macam jalur patologis dapat berakibat terjadinya peritonitis sekunder. Yang paling sering mengakibatkan terjadinya tipe ini termasuk perforasi apendisitis. Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Pada test laboratorium dapat ditemukan peningkatan leukosit dan anemia, sedangkan pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukanuntuk menegakkan diagnosis adalah foto abdomen 3 posisi. Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Acosta J, Adams CA, Alarcon LH, et al. Sabiston Textbook of Surgery, 18th Edition. Saunders; 2007.2. Fauciet al, 2008,Harrisons Principal Of Internal Medicine Volume 1. McGraw Hill3. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartzs Principles of Surgery 10th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 20144. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-ajar ilmu bedah Edisi 2. Jakarta: EGC5. Silvia A. Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta. EGC6. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Jakarta. EGC