Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    1/30

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1Latar BelakangNyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi

    penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya

    kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya

    kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu dari gejalanya. Karena

    dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk

    mengendalikannya. Obat yang dikenal sebagai analgetik-narkotik sangat

    berguna untuk meredakan dan menghilangkan rasa nyeri. Semua analgesik-

    narkotik dapat menimbulkan adiksi. maka usaha penyelidik untuk

    mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan ( Neal, 2006).

    Analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau

    mengurangi rasa nyeri. Efek ini dapat dicapai dengan berbagai cara : menekan

    kepekaan reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanik, termik, listrik, atau

    kimiawi dipusat atau perifer atau dengan cara menghambat pembentukan

    prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri (Warsito, 2011).

    Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai

    kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang

    diinduksi pada hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi

    induksi secara maknik, termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian

    dengan induksi nyeri secara mekanik atau termik lebih sesuai untuk

    mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada umumnya daya kerja analgetika

    dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya peningkatan stimulus nyeri

    yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan

    hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon nyeri

    (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    2/30

    1.2Rumusan Masalah1. Apa respon yang ditimbulkan oleh bahan kimia pada percobaan mencit?2. Apa respon yang ditimbulkan oleh obat analgetika pada percobaan

    mencit?

    3. Apa respon yang ditimbulkan oleh reaksi termis (hot plate 51 C) padapercobaan mencit?

    4. Apa perbandingan hambatan respon nyeri yang ditimbulkan antarakelompok yang diberi obat dengan kelompok kontrol?

    1.3Tujuan1. Mengamati respon nyeri pada mencit yang ditimbulkan oleh bahan kimia.2. Mengamati respon menjilat kaki depan atau meloncat (merupakan respon

    nyeri pada mencit) yang ditimbulkan reaksi termis menggunakan hot plate

    51C.

    3. Mengamati hambatan respon nyeri yang timbul setelah pemberian obatanalgesik.

    4. Membandingkan hambatan respon nyeri yang timbul pada kelompok yangdiberi obat dengan kelompok kontrol.

    5. Menjelaskan mekanisme kerja obat- obat analgesik.1.4Manfaat

    1. Mengetahui respon yang ditimbulkan oleh bahan kimia pada percobaanmencit.

    2. Mengetahui respon yang ditimbulkan oleh obat analgetika pada percobaanmencit.

    3. Mengetahui respon yang ditimbulkan oleh reaksi termis (hot plate 51C)pada percobaan mencit.

    4. Mengetahui perbandingan hambatan respon nyeri yang ditimbulkan antarakelompok yang diberi obat dengan kelompok kontrol pada percobaan

    mencit.

    5. Mengetahui mekanisme kerja obat- obat analgetika.

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    3/30

    BAB 2

    ALAT, BAHAN dan CARA KERJA

    2.1 Alat dan Bahan :

    Alat :

    - Lempeng hot plate

    - Baskom tempat mencit

    Bahan:

    - 2 ekormencit

    - Metampiron 100mg/cc

    - Asam asetat 0.6%

    - Larutan CMC 1%

    - Kodein

    - Larutan PZ

    2.2 Cara Kerja :

    1. Menimbang mencit dan mengelompokkan sesuai obat yang akandiberikan. Kelompok I (kontrol), Kelompok II (metampiron) dan

    Kelompok III (kodein)

    2. Kelompok I diberi CMC 1% dan kelompok II diberi metampiron100mg/cc

    3. Menunggu 30 menit, setelah itu diberi asam asetat 0.6% secara intraperitoneal kemudian ditunggu selama 5 menit.

    4. Setelah 5 menit, mencit dimasukkan ke baskom. Kemudian jumlah liukanmencit dihitung dan dicatat tiap 5 menit selama 30 menit.

    5. Untuk mencit kelompok III diberikan kodein per oral, kemudianmenunggu 30-45 menit. Kemudian menaruh mencit tersebut ke lempeng

    hot plate dengan suhu 51o

    C

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    4/30

    6. Waktu yang tertera di hot plate dicatat dimulai saat mencit diletakkan kehot plate hingga menjilat kaki

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    5/30

    BAB 3

    TINJAUAN PUSTAKA

    3.1 NSAID

    3.1.1 Definisi

    Non-Steroid Anti-Inflamasi, NSAID, merupakan kelompok obat anti-

    inflamasi dan analgesik yang meliputi aspirin, turunan asam propionat (misalnya

    ibuprofen, fenbrufen, ketoprofen) dan obat-obatan serupa (misalnya diklofenak,

    difusinal, etodolac, indometasin, meloxicam, prioxicam, sulindac , ketorolac dan

    asam mefenamat) (Jean, 2009).

    Tujuan NSAID adalah untuk menekan peradangan dan nyeri dengan

    menghambat jalur siklooksigenase dan mencegah pelepasan mediator inflamasi

    (misalnya prostacyclins, prostaglandin dan tromboksan); digunakan untuk

    mengendalikan peradangan akut dan nyeri (misalnya jaringan lunak atau tulang

    cedera), peradangan kronis (misalnya terkait dengan osteo-atau rheumatoidarthritis) (Jean, 2009).

    Efek samping dari penggunaan jangka panjang termasuk mengurangi

    penyembuhan, kekebalan terganggu, peningkatan kerentanan terhadap infeksi,

    atrofi epidermis (penipisan kulit), edema perifer, memar dan pendarahan

    kecenderungan (yaitu efek antiplatelet), iritasi lambung dan / atau ulserasi,

    tinnitus dan anemia (sekunder untuk perdarahan gastrointestinal) (Jean, 2009).

    Kontraindikasi NSAID pada penyakit jantung iskemik, penyakit

    serebrovaskular, penyakit arteri perifer dan gagal jantung, pasien dengan angina

    atau penyakit jantung iskemik, atau mereka yang berisiko kecelakaan

    serebrovaskular (stroke) disarankan untuk mengambil aspirin 75mg setiap hari,

    NSAID saja mungkin tidak memadai untuk mengontrol nyeri pasca operasi (Jean,

    2009).

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    6/30

    3.1.2 Mekanisme NSAID

    Mekanisme NSAID dapat dibagi menjadi tiga, dilihat dari efek yang terjadi

    pada saat peradangan, nyeri, dan demam (Dugowson, et al., 2006).

    a. Anti-inflammatory effectNSAID menyebabkan efek anti-inflamasi melalui penghambatan

    prostaglandin G / H sintase, atau siklooksigenase, yang merupakan enzim

    yang mengkatalisis transformasi asam arakidonat menjadi prostaglandin dan

    tromboksan. Enzim ini memiliki dua bentuk, yaitu: cox-1 dan cox-2.

    Penghambatan selektif cox-2 menyebabkan penurunan efek samping GI.

    Penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel dan ekspresi

    molekul adhesi sel berperan dalam sirkulasi sel pada peradangan. NSAID

    dapat menghambat ekspresi molekul-molekul adhesi sel dan dapat langsung

    menghambat aktivasi dan fungsi neutrofil.

    b. Analgesic effectMeskipun NSAID diklasifikasikan sebagai analgesik ringan, NSAID

    memiliki efek yang lebih signifikan pada nyeri akibat meningkatnya

    sensitisasi perifer yang terjadi selama peradangan. Secara khusus, diyakinibahwa peradangan menyebabkan penurunan ambang respon nociceptors

    polimodal.

    c. Antipyretic effectNSAID menyebabkan efek antipiretik mereka dengan penghambatan sintesis

    prostaglandin E2 (PGE2), yang bertanggung jawab untuk memicu

    hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh selama peradangan.

    (Dugowson, et al., 2006).

    3.1.3 Metampiron

    Metampiron di Indonesia lebih dikenal dengan nama antalgin. Metampiron

    termasuk salah satu obat derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang berkhasiat

    sebagai analgetik-antipiretik dan antiinflamasi. Analgesik adalah obat untuk

    menghilangkan rasa nyeri dengan cara meningkatkan nilai ambang nyeri di sistem

    syaraf pusat tanpa menekan kesadaran, sedangkan antipiretik merupakan obat

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    7/30

    yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat

    yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.

    Sedangkan antiinflamasi adalah mengatasi inflamasi atau peradangan (Tjay dan

    Kirana, 2007).

    Dalam perdagangan, biasanya metampiron diformulasikan dalam bentuk

    tablet dengan dosis untuk dewasa 500-1000 mg, 3-4 kali sehari dan untuk anak-

    anak 250-500 mg, 3-4 kali sehari. (Widodo,U.,dkk, 1993).

    Gambar 1. Struktur Metampiron

    Rumus Struktur : C13H16N3NaO4S.H2O

    Nama Kimia : Natrium 2,3-dimetil-1-fenil-5-pirazolon-4-

    metilaminometanasulfonat

    Berat Molekul : 351,37

    Pemerian : Serbuk hablur, putih atau putih kekuningan.

    Kelarutan : Larut dalam air dan HCl 0,02 N.

    Identifikasi : Pada 3 ml larutan 10% b/v, tambahkan 1 ml sampai 2 ml

    asam klorida 0,02 N dan 1 ml besi (III) klorida 5% b/v

    terjadi warna biru yang jika dibiarkan berubah menjadi

    merah kemudian tidak berwarna.

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    8/30

    Susut Pengeringan : Tidak lebih dari 5,5%; lakukan pengeringan pada suhu

    105C hingga bobot tetap menggunakan 250 mg zat.

    Syarat Kadar : Metampiron mengandung tidak kurang dari 99,0% dan

    tidak lebih dari 101,0% C13H16N3NaO4S, dihitung

    terhadap zat yang telah dikeringkan.

    Sinonim : Metampiron (Ditjen POM, 2006).

    Farmakologi metampiron

    Metampiron termasuk derivat metan sulfonat dari amidopyrin yang mudah

    larut dalam air dan cepat diserap ke dalam tubuh. Bekerja secara sentral di otak

    dalam menghilangkan nyeri, menurunkan demam dan menyembuhkan rheumatik.

    Metampiron mempengaruhi hipotalamus dalam menurunkan sensitifitas reseptor

    rasa sakit dan thermostat yang mengatur suhu tubuh (Lukmanto, 1986).

    Farmakodinamika metampiron

    Sebagai analgetika, obat ini hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas

    rendah sampai sedang, misalnya sakit kepala dan juga efektif terhadap nyeri yang

    berkaitan dengan inflamasi. Efek analgetiknya jauh lebih lemah dari efek

    analgetik opiat, obat ini tidak menimbulkan ketagihan (adiksi) dan efek samping

    sentral yang merugikan.

    Sebagai antipiretik, obat ini akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan

    demam. Kerja analgetik metampiron lebih besar dibandingkan dengan kerja

    antipiretik yang dimilikinya. Sedangkan efek antiinflamasinya sangat lemah

    (Ganiswara,1981).

    Farmakokinetik metampiron

    Fase farmakokinetik adalah perjalanan metampiron mulai titik masuk ke

    dalam badan hingga mencapai tempat aksinya. Metampiron mengalami proses

    ADME yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi yang berjalan secara

    simultan langsung atau tidak langsung melintasi sel membrane (Anief, 1990).

    Pada pemberian secara oral senyawa diserap cepat dan sempurna dalam saluran

    cerna. Terdapat 60% metampiron yang terikat oleh protein plasma, masa paru

    dalam plasma 3 jam. Obat ini dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama dan

    diekskresi melalui ginjal (Widodo, 1993).

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    9/30

    Efek yang tidak diharapkan

    Pada pemakaian yang teratur dan untuk jangka waktu yang lama

    penggunaan obat yang mengandung metampiron kadang-kadang dapat

    menimbulkan kasus agranulositosis fatal. Untuk mendeteksi hal tersebut, selama

    penggunaan obat ini perlu dilakukan uji darah secara teratur (Lukmanto, 1986).

    Efek samping lain yang mungkin terjadi ialah urtikaria, leukopenia, trombopenia.

    Terutama pada pasien usia lanjut terjadi retensi Na dan air dengan edema. Pada

    kelebihan dosis, terjadi hipotensi, nafas terengah-engah, torus otot meninggi,

    rahang menutup, kehilangan kesadaran dan serangan kram/kejang cerebral

    (Widodo, 1993).

    3.2 Opioid

    3.2.1 Definisi Analgesik Opioid

    Analgesik merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan nyeri,

    yang dapat diakibatkan oleh suatu mediator inflamasi atau suatu rangsangan pada

    pusat nyeri di sistem saraf pusat (CNS) (Eriksen J et al, 2006).

    Analgesik opioid adalah obat yang daya kerjanya meniru opioid endogen

    dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid. Penggunaan

    analgesik opioid ini pada umumnya yaitu untuk menagani nyeri hebat, namun

    obat ini juga dapat menyebabkan efek samping yang sering terjadi apabila obat ini

    digunakan tanpa ada indikasi klinis, misalnya ketergantungan karena opioid dapat

    meyebabkan suatu sensasi euforia (Hojsted J and Sjogren P, 2007).

    Opioid dapat diklasifikasikan berdasarkan efek yang dihasilkan setelah

    mengenai reseptor. Dengan cara ini opioid dapat dianggap sebagai agonis, parsial

    agonis dan antagonis. Agonis berinteraksi dengan reseptor untuk menghasilkan

    respon maksimal dari reseptor. Sebaliknya antagonis mengikat reseptor tapi tidak

    menghasilkan respon fungsional, sementara pada saat yang sama mencegah

    agonis mengikatkan diri ke reseptor (misalnya, nalokson). Agonis parsial

    mengikat reseptor tetapi hanya mendapatkan respon fungsional parsial

    (buprenorphine).

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    10/30

    3.2.2 Mekanisme Kerja Analgesik Opioid

    Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme fisiologistubuh terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua tempat utama, yaitu

    di perifer dan sentral. Analgetik opioid (analgetik central) bekerja di SSP,

    memiliki daya penghalang nyeri yang hebat sekali yang bersifat depresan umum

    (mengurangi kesadaran) dan efek sampingnya dapat menimbulkan rasa nyaman

    (euforia). Obat ini khusus di gunakan untuk penghalau rasa nyeri hebat (Eriksen J

    et al, 2006).

    Golongan obat AINS bekerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan

    mediator sehingga aktifitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa

    prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan analgetik opioid bekerja di sentral dengan

    cara menempati reseptor di kornu dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi

    penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal tidak

    terjadi (Hutchinson K et al, 2007).

    Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang

    mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini

    akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema, rasa

    nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin .

    meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri

    (nosiseptif) (Hutchinson K et al, 2007).

    Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis

    sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari

    enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini

    menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)

    maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan perdarahan).

    Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu ubiquitously dan

    constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan inflamasi

    COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa lambung, parenkim ginjal dan

    platelet. Enzim ini penting dalam proses homeostatik seperti agregasi platelet,

    keutuhan mukosa gastrointestinal dan fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat

    inducible dan diekspresikan terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    11/30

    menimbulkan inflamasi, demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang

    transien di medulla spinalis dalam merespon inflamasi pembedahan mungkin

    penting dalam sensitisasi sentral (Eriksen J et al, 2006).

    3.2.3 Codeine

    Gambaran Umum

    Seperti morfin, codein merupakan jenis opioid yang berasal dari poppy

    plant. Codein dimetabolisme sebagian morfin, diyakini menjelaskan efek

    analgesik. Codein merupakan opioid yang paling sering digunakan degan

    digabungkan penggunaannya bersama non-opioid untuk mengatasi nyeri. 30 mg

    codein dikombinasikan dengan aspirin sama dengan efek analgesic 65 mg codein.

    Kombinasi dari obat mempunyai keuntungan mengurangi jumlah opioid yang

    dibutuhkan untuk meringankan rasa nyeri dan penghapusan nyeri lelalui

    mekasime yang berbeda, inhibisi sistesis prostanoid, dan inhibisi opioid dari

    transmisi nociceptive. Ketika diberikan sendiri (tanpa ditambahkan apa-apa),

    secara oral codein mempunyai sekitar satu sampai lima kali potensi dari morfin

    untuk mengatasi nyeri. Pemberian codein secara intravena mempunyai tendensi

    lebih hebat untuk merilis histamine dan menyebabkan vasodilatasi dan hipotensidaripada morfin. Oleh karena itu penggunaan codein secara intravena jarang

    sekali dilakukan. Codeinn sedikit adiktif dan menyebabkan sedikit euphoria

    (Welch, 2008).

    Indikasi

    Codein digunakan untuk terapi simptomatis batuk non-produktif. Codein

    merupakan obat reference standard dalm penelitian obat batuk lain. Dalam dosis

    antitusif biasa, codein memiliki efek analgesic ringan dan efek sedative. Efek

    analgesic codein ini dapat dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri

    dan ansietas (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran

    Universitas Sriwijaya, 2004).

    Codein diindikasikan untuk perawatan nyeri dari tingkat mild (ringan)

    sampai moderate (sedang) dan digunakan juga untuk antitussive. Codein

    digunakan secara luas sebagai antitussive opioid karena pada dosis antitusive

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    12/30

    mempunyai efek samping yang sedikit dan mempunyai oral bioavailability yang

    bagus (Welch, 2008).

    Codein (metil morfin) masih merupakan antitusif yang paling banyakdigunakan di klinik. Uji klinik terkontrol telah memperlihatkan keefektifan codein

    dalam batuk eksperimen dan batuk patologik akut dan kronis (Staf Pengajar

    Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004).

    Sediaan

    Codein terdapat dalam bentuk tablet codein sulfat atau codein fosfat berisi

    10,15, dan 20 mg. dosis biasa dewasa: 10-30 mg setiap 4-6 jam. Dosis yang lebih

    besar tidak lagi menambah efek secara proporsional. Dosis anak: 1-1,5 mg/kg

    BB/hari dalam dosis terbagi (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas

    Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004).

    Farmakokinetik

    Codein diserap baik pada pemberian oral dan puncak efeknya ditemukan 1

    atau 2 jam, dan berlangsung selama 4-6 jam. Metabolism terutama di hepar, dan

    diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah, diekskresi komplet setelah

    24 jam. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam air susu ibu (Staf Pengajar

    Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004).

    Farmakodinamik

    Kodein bertindak terpusat. Codein memiliki efek analgesik, yang dianggap

    terutama karena konversi metabolik parsialnya dengan morfin. Kodein memiliki

    sekitar seperenam aktifitas analgesik dari morfin (Anonim, 2005).

    Efek samping, Interaksi Obat dan Dosis Berlebih

    Efek samping dan interaksi obat dengan codein sama dengan morfin,

    meskipun codein kurang intens. Overdose pada anak-anak menghasilkan efek

    yang sama seperti overdose morfin, seperti depresi nafas, miosis, dan coma ;

    gejala-gejala tersebut dapat diterapi dengan pemberian naloxone (Welch 2008).

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    13/30

    Dosis kecil (10-30 mg) codein sering digunakan sebagai obat batuk, jarang

    ditemukan efek samping, dan kalau ada tidak lebih tinggi dari placebo. Efek

    samping dapat berupa mual, pusing, sedasi, anoreksia, dan sakit kepala. Dosis

    lebih tinggi (60-80 mg) dapat menimbulkan kegelisahan, hipotensi ortostatik,

    vertigo, dan midriasis. Dosis lebih besar lagi (100-500 mg) dapat menimbulkan

    nyeri abdomen atau konstipasi. Kadang-kadang timbul reaksi alergi, seperti

    dermatitis, hepatitis, trombopenia, dan anafilaksis. Depresi pernafasan dapat

    terlihat pada dosis 60 mg dan depresi nyata terjadi pada dosis 120 mg setiap

    beberapa jam. Oeh karena itu, dosis tinggi berbahaya untuk penderita dengan

    kelemahan pernafasan, khususnya penderita dengan retensi CO2. Dosis fatal

    codein ialah 800-1000 mg. Kelebihan dosis paling sering terjadi pada anak-anak,

    dan terutama harus diperhatikan pada neonaus dengan perkembangan hepar dan

    ginjal yang belum sempurna atau dengan diuresis yang berkurang sehingga dapat

    terjadi efek kumulatif yang memperdalam koma atau mempercepat kematian.

    Antagonis opioid seperti nalokson dapat bermanfaat untuk terapi kelebihan dosis.

    Potensi ketergantungan relative rendah dibandingkan jenis opioid lain. Untuk

    dapat menimbulkan ketergantungan fisik, codein harus diberikan dalam dosis

    tinggi setiap beberapa jam untuk jangka waktu lama, mungkin 1 bulan atau lebih

    (Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas

    Sriwijaya, 2004).

    3.3 Nyeri

    3.3.1 Definisi

    Nyeri adalah suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman

    emosional yang tidak menyenangkan serta termasuk suatu komponen sensori,

    komponen diskriminatori, respon-respon yang mengantarkan ataupun reaksi-

    reaksi yang ditimbulkan oleh stimulus dalam suatu kasus nyeri. Secara umum

    nyeri merupakansuatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri

    didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

    eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut

    International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman

    perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    14/30

    maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

    (Rinaningsih, 2011).

    Nyeri sangat penting sebagai mekanisme proteksi tubuh yang timbulbilamana jaringan sedang dirusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk

    menghilangkan rangsang nyeri ini (Rinaningsih, 2011).

    Pada Pertemuan Ilmiah Nasional I (PB PAPDI), menyatakan nyeri sebagai

    perasaan atau pengalaman emosional yang disebabkan dan berhubungan dengan

    terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Persepsi nyeri sangat bersifat individual,

    banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor non fisik, bukan hanya merupakan

    gangguan fisik tetapi merupakan kombinasi dari faktor fisiologis, patologis,

    emosional, psikologis, kognitif, lingkungan dan sosial (Isbagio, 2003).

    3.3.2 Fisiologi Nyeri

    Ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran nyeri yaitu sel syaraf

    aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel saraf eferen

    atau neuron motorik.Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang

    menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak.Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon

    perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap

    stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang

    nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin,

    bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan

    mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance &

    Serginson, 1997).

    Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai tempat

    memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori

    asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden

    dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah

    dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri

    dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi

    terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    15/30

    internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika

    diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan

    atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut

    gerbang. Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang

    menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan

    nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan,

    akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor

    sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi

    sensasi nyeri (Torrance & Serginson, 1997).

    3.3.3 Mekanisme Nyeri / Fisiologi Nyeri

    Teori Gate Control yang dikemukakan Melzack dan Wall merupakan teori

    yang komprehensif dalam menjelaskan transmisi dan persepsi nyeri.1 Dalam teori

    ini dijelaskan bahwa Substansia Gelatinosa (SG), yaitu suatu area dari sel-sel

    khusus pada bagian ujung dorsal serabut saraf sumsum tulang belakang (spinal

    cord) yang berperan sebagai mekanisme pintu gerbang (gating mechanism).

    Mekanisme pintu gerbang ini dapat memodifikasi dan merubah sensasi nyeri yang

    datang sebelum sampai di korteks serebri dan menimbulkan persepsi nyeri(Lavelle, 1988).

    Gambar 1.. Teori Gate Control (Walton, 1998)

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    16/30

    Prinsip dasar Teori Gate Control (gambar 1), yaitu : (Walton, 1998)

    1. Masuknya aktivitas saraf aferen dimodulasi oleh mekanisme pembukaan /penutupan gerbang (gating mechanism) di dalam tanduk dorsal kordaspinalis dan batangotak. Gerbang ini merupakan inhibitor atau fasilitator

    bagi aktivitas sel Transmisi (T) yang membawa aktivitas lebih jauh

    sepanjang jalur saraf.

    2. Gerbang dipengaruhi oleh derajat relatif dari aktivitas serabut beta Adengan diameter besar, serabut delta A diameter kecil serta serabut C.

    Serabut beta A diameter besar diaktifkan oleh stimuli tidak berbahaya dan

    pada aktifitas serabut aferen besar cenderung menutup gerbang sedangkan

    aktifitas serabut kecil cenderung membukanya.

    3. Mekanisme kontrol serabut saraf desendens dari tingkatan yang lebihtinggi di susunan saraf pusat dipengaruhi oleh proses kognitif,

    motivasional dan afektif.Derajat mekanisme yang lebih tinggi ini juga

    memodulasi gerbang. Aktivitas di dalam serabut aferen besar tidak hanya

    cenderung menutup gerbang secara langsung tetapi juga mengaktifkan

    mekanisme kontrol pusat yang menutup gerbang.

    4. Saat gerbang terbuka dan aktivitas di dalam aferen yang baru masuk cukupuntuk mengaktifkan sistem transmisi, dua jalur asendens utama diaktifkan.

    Yang pertama adalah jalur sensoris-diskriminatif, yang bersambung

    dengan korteks somatosensoris serebri melalui thalamus ventroposterior.

    Jalur ini memungkinkan penentuan tempat nyeri. Kedua, jalur asendens

    yang melibatkan informasi retikuler melalui sistem thalamus dan limbus

    medial. Jalur ini berurusan dengan rasa tidak enak, penolakan (aversif) dan

    aspek emosional dari nyeri. Jalur desendens, selain berpengaruh pada

    gerbang tanduk dorsal, dapat juga berinteraksi dengan kedua sistem

    asendensini.

    Didapat banyak asosiasi antara rasa nyeri dan depresi. Penderita depresi

    sering mengeluh adanya rasa nyeri dan sebagian besar penderita nyeri kronik

    menjadi depresif. Terkadang didapatkan kesulitan menemukan penyebab yang

    primer (seperti masalah nyeri atau masalah depresinya) dan dalam menentukan

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    17/30

    faktor psikologis yang mengeksaserbasi rasa nyeri. Hal ini mempunyai implikasi

    terapeutik dan memberi dasar rasional terhadap penggunaan obat yang

    meringankan atau menghilangkan kecemasan.Sering hal ini sama efektifnya

    dengan analgetik dalam menanggulangi rasa nyeri (Lumantobing, 2001).

    3.3.4 Klasifikasi Nyeri

    Berdasarkan Mekanisme Nyeri

    1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidakmerusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang

    ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara

    kuatnya stimuli dan persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka

    semakin berat nyeri yang dialami (Meliala, 2003).

    2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuatsehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi

    dan menyebabkan fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan

    yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi,

    seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat

    mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidaklangsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi

    nosiseptor menyebabkan hiperalgesia. Meskipun nyeri merupakan salah

    satu gejala utama dari proses inflamasi, tetapi sebagian besar pasien tidak

    mengeluhkan nyeri terus menerus. Kebanyakan pasien mengeluhkan nyeri

    bila jaringan atau organ yang berlesi mendapat stimuli, misalnya: sakit

    gigi semakin berat bila terkena air es atau saat makan, sendi yang sakit

    semakin hebat bila digerakkan (Meliala, 2003).3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya

    disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma,

    kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka

    terjadi perubahan khususnya pada Serabut Saraf Aferen (SSA) atau fungsi

    neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif

    oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga

    menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    18/30

    dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme

    perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan

    fungsi sentral (mekanisme sentral) (Meliala, 2003).

    Berdasarkan Kemunculan Nyeri

    Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri

    dapat dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :

    1. Nyeri akut, nyeri yang biasanya berhubungan dengan kejadian ataukondisi yang dapat dideteksi dengan mudah. Nyeri akut merupakan suatu

    gejala biologis yang merespon stimuli nosiseptor (reseptor rasa nyeri)

    karena terjadinya kerusakan jaringan tubuh akibat penyakit atau trauma

    Nyeri ini biasanya berlangsung sementara, kemudian akan mereda bila

    terjadi penurunan intensitas stimulus pada nosiseptor dalam beberapa hari

    sampai beberapa minggu.

    Contoh nyeri akut ialah nyeri akibat kecelakaan

    atau nyeri pasca bedah (Isbagio, 2003).

    2. Nyeri kronik, nyeri yang dapat berhubungan ataupun tidak denganfenomena patofisiologik yang dapat diidentifikasi dengan mudah,

    berlangsung dalam periode yang lama dan merupakan proses dari suatu

    penyakit. Nyeri kronik berhubungan dengan kelainan patologis yang telah

    berlangsung terus menerus atau menetap setelah terjadi penyembuhan

    penyakit atau trauma dan biasanya tidak terlokalisir dengan jelas (Meliala,

    2003; Isbagio, 2003) .Nyeri wajah atipikal adalah salah satu nyeri kronik

    (Nuartha, 2003).

    Berdasarkan Klasifikasi Nyeri Wajah

    Nyeri pada wajah ataupun rongga mulut dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori

    yaitu:

    1. Nyerisomatik, nyeri yang dapat dihasilkan dari stimulasi reseptor-reseptorneural ataupun saraf-saraf periferal. Jika stimulasi bermula dari bagian

    superfisial tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas

    menstimulasi, lokalisasi nyeri yang tepat, adanya hubungan yang akurat

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    19/30

    antara tempat lesi dan sumber nyeri serta cara menghilangkan nyeri yang

    temporer dengan aplikasi anestesi topikal. Jika stimulasi bermula dari

    bagian dalam tubuh, karakteristik klinisnya, seperti: nyeri dengan kualitas

    mendepresikan, lokalisasi beragam dari nyeri yang menyebar, lokasi dari

    nyeri bisa ataupun tidak berhubungan dengan tempat lesi, sering

    menunjukkan efek-efek sekunder dari perangsangan pusat (Lavelle, 1988).

    2. Nyeri neurogenik, nyeri yang dihasilkan dalam sistem sarafnya sendiri,reseptor saraf ataupun stimulasi serabut yang tidak diperlukan.

    Karakteristik klinis dari nyeri neurogenik, yaitu: nyeri seperti membakar

    dengan kualitas menstimulasikan, lokalisasi baik, adanya hubungan yang

    tertutup diantara lokasi dari nyeri dan lesi, pengantaran nyeri mungkin

    dengan gejala-gejala sensorik, motorik dan autonomic (Lavelle, 1988).

    3. Nyeri psikogenik, nyeri yang dapat memunculkan intensifikasi nyerisomatik atau neurogenik dan juga merupakan suatu manifestasi

    psikoneurotik. Karakteristik dari nyeri psikogenik, seperti: lokasi nyeri

    selalu tidak mempunyai hubungan dengan suatu penyebab yang mungkin,

    tindakan klinis dan respon pada pengobatan mungkin non fisiologis, tidak

    diharapkan dan tidak biasa.10

    Nyeri wajah Atipikal adalah salah satu nyeri

    psikogenik(Nuartha, 2003).

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    20/30

    BAB 4

    HASIL PRAKTIKUM

    Hasil praktikum percobaan analgetika pada mencit.

    1. Percobaan I (Mengamati liukan mencit kontrol dan telah diberi obat)Tiap 5 menit Mencit Kontrol Mencit Ekor Merah

    I 10 -

    II 30 17

    III 20 18

    IV 13 15V 13 9

    VI 8 5

    Nb : Satuan dalam liukan

    2. Percobaan II (Mengalami mencit yang menjilat kaki belakang)Mencit Kontrol : 28,7 detik

    Mencit Ekor Hijau : 27 detik

    3. Hasil Rata-rata Percobaan Tiap kelompok

    I. Jumlah Liukan

    Kelompok Kontrol Ekor Merah

    I 97 35

    II 85 101

    III 27 22

    IV 94 64

    V 97 35

    VI 112 101

    JUMLAH 512 358

    85,3 59,57

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    21/30

    II. HOT PLATEKelompok Kontrol Ekor Hijau

    I 26,1 23

    II 30,6 23,4

    III 26,5 49,5

    IV 28,7 27

    V 27 19,4

    VI 29,4 38,9

    JUMLAH 168,3 181,2

    RATA-RATA 28,05 30,2

    Nb : dalam satuan detik

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    22/30

    BAB 5

    PEMBAHASAN

    5.1 Pembahasan

    Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk

    mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Percobaan ini dilakukan

    terhadap hewan percobaan, yaitu mencit (Mus muscullus). Metode

    rangsang kimia digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan

    oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika.

    Pada hasil dalam kelompok kami, kami telah menguji dua mencit

    yaitu melalui dua percobaan. Percobaan yang pertama adalah percobaan

    untuk melihat rasa nyeri yang dialami oleh mencit kontrol dan mencit

    yang telah diberi obat terlebih dahulu, yaitu mencit yang diberi dan

    Metaphiron. Kemudian kedua mencit yang telah diberi obat tersebut

    kemudian disuntik dengan asam asetat untuk mengetahui efek rasa nyeri

    pada mencit . Dan setelah dihitung pada saat 5 menit pertama dapat dilihat

    dari hasil kami bahwa mencit berwarna putih yaitu mencit kontrol sudah

    mulai meliuk-liuk merasakan nyeri, dan pada hasil kami dapat diketahui

    liukan mencit sudah ada yaitu10 liukan dan sedangkan mencit yang sudah

    diberi obat Metampiron pada 5 menit pertama belum merasakan liukan

    rasa nyeri.

    Hal ini merupakan akibat dari mencit yang telah diberikan

    Metampiron yaitu salah satu obat analgesik yang berfungsi untuk

    mengurangi rasa nyeri, dengan kesadaran tetap. Obat ini berinteraksi

    dengan reseptor opioid sehaingga dapat memberikan efek pada sistem

    saraf. Nyeri ini sendiri memberikan stimulus dan menggangu membran sel

    kemudian masuk ke dalam phospolipid dalam phospolipid stimulasi ini

    dibantu dengan phospolipase A dirubah menjadi asam arachinodic dan

    dengan obat ini maka asam arachinodic akan menyerang prostaglandin,

    namun dengan obat NSAID ini maka rangsang yang diberikan akan

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    23/30

    dihambat oleh NSAID, sehingga nyeri yang diberikan stimulus tidak

    berlangsung sepenuhnya.

    Dan dapat dilihat juga pada mencit yang telah diberikan

    Metampiron rasa nyeri yang dirasakan berangsur-angsur berkurang secara

    lebih cepat dibandingkan dengan mencit yang tidak diberikan obat.

    Percobaan menggunakan metode Witkins yang ditujukan untuk

    melihat respon mencit terhadap asam asetat yang dapat menimbulkan

    respon menggeliat dari mencit ketika menahan nyeri pada perut. Langkah

    pertama yang dilakukan adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap

    mencit. Setelah 30 menit, mencit disuntik secara intraperitoneal dengan

    larutan induksi asam asetat 0,6 %. Pemberian dilakukan secara

    intraperitoneal karena untuk mrncegah penguraian asam asetat saat

    melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran asam asetat

    dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute

    lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak

    tahan terhadap pengaruh asam.

    Setelah 5 menit dari pemberian larutan asam asetat 0,6%, mencit

    menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang.

    Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 30 menit. Pengamatan

    yang dilakukan agak rumit karena praktikan sulit membedakan antara

    geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit

    merasa kesakitan akibat penyuntikan intraperitoneal pada perut mencit.

    Pada percobaan untuk rasa nyeri yang diinduksi dengan hot plate

    (thermis), respon nyeri diperlihatkan oleh mencit dengan menjilat telapak

    kaki. Obat yang digunakan adalah kodein per oral. Suhu dari hotplateadalah 51C. Kodein atau methylmorphine merupakan golongan

    narkotik yang pada umumnya digunakan untuk analgesik, antitussive, dan

    antidiarrheal.

    Disini mekanisme kerja kodein dalam menghambat rasa nyeri

    adalah sebagaimana sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa

    kodein merupakan salah satu golongan opioat dimana memberikan efek

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    24/30

    seperti morfin yang bila diteruskan maka akan mengakibatkan efek adiksi.

    Asal obat ini pula berasal dari morphin, semisintetik, dan sintetik.

    Mekanisme kerja dari kodein ini adalah berinteraksi dengan

    reseptor opiat di Sistem Saraf Pusat dan memberikan efek. Reseptor yang

    memodulasi transmisi nyeri yang kemudian menurunkan persepsi nyeri

    dengan cara menyekat nyeri pada berbagai tingkat, terutama di otak tengah

    dan medulla spinalis. Respetor opiat sendiri ada 3 yaitu, Reseptor (mu) :

    Berperan dalam analgesia supraspinal, depresi respirasi, euforia, dan

    ketergantungan, dan pada reseptor (kappa) : berperan dalam analgesia

    spinal, miosi dan sedasi, dan pada reseptor (delta) : menyebabkan

    disforia, halusinasi, stimulasi pusat vasomotor.

    Dan pada percobaan Hot plate kali ini dilakukan pada dua mencit,

    yaitu pada mencit berekor putih atau kontrol mencit tidak diberi apa-apa

    dan dimasukkan ke dalam hot plate bersama-sama dengan ditekannya alat

    memulai untuk memanaskan kaki mencit. Disini akan tampar respon rasa

    nyeri pada mencit yang diletakkan pada alat percobaan hot platepada suhu

    500 C. Pada suhu ini mencit dapat merasakan rasa nyeri dengan menjilat

    kaki belakang mencit ini ditandai adanya perbedaan suhu kaki mencit

    dengan suhu hot platedimana ketika mencit merasakan respon rasa nyeri

    mencit akan menjilat kaki belakang mencit dengan maksud untuk

    menyamakan kembali temperatur kaki mencit pada suhu yang semula. Dan

    pada mencit kontrol kami didapatkan 28,7 detik mencit mulai merasakan

    nyeri.

    Sedangkan pada mencit yang telah diberi tanda hijau pada bagian ekor telah diberi

    obat yaitu Kodein. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa kodein

    merupakan obat analgesik yang berperan untuk menghambat rasa nyeri. Namun

    pada percobaan kami, mencit yang telah diberi Kodein sebelumnya jauh dapat

    merasakan respon rasa nyeri lebih cepat, ini mungkin dikarenakan karena yang

    pertama mencit yang kami letakkan tidak bersamaan penghitungannya dengan

    saat hot plateditekan, sehingga perhitungan detik dimulai lebih dahulu sebelum

    mencit diletakkan, yang kedua alat percobaan hot plate yang kami pakai sudah

    dimulai pada suhu langsung 500 C sehingga berbeda dengan mencit kontrol

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    25/30

    dimana hot plate dimulai pada suhu normal yang kemudian berangsur-angsur

    naik, sehingga mencit dapat membiasakan diri terlebih dahulu.

    5.2 Dikusi Pertanyaan1. Rangsang rusak (naksus) apa saja yang dapat menimbulkan rasa nyeri? Rangsang rusak (naksus) yang dapat menimbulkan rasa nyeri antara

    lain rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis. Rangsangan tersebut

    dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut

    memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri.

    Mediator nyeri antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan

    kejang-kejang yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas

    di kulit, mukosa dan jaringan lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh

    jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di

    salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan

    amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan,

    dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat

    nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri.

    2. Rasa nyeri yang diamati sebenarnya adalah respon nyeri. Respon nyeri apasaja yang dapat terlihat?

    Pada percobaan yang telah dilakukan respon nyeri dilihat dengan

    adanya liukan mencit. Sedangkan respon nyeri akibat rangsangan

    thermal dengan hot plate ditunjukkan oleh mencit dengan menjilat

    kakinya.

    3. Bagaimana hasil percobaan dengan metampiron? Berikan penjelasannya!

    Apakan perbedaan rasa nyeri pada kelompok I dibandingkankelompok II?

    Pada percobaan dengan metampiron (kelompok I) mencit

    memperlihatkan respon nyeri yang lebih sedikit dibanding pada

    mencit kontrol (kelompok II). Hal tersebut dikarenakan metampiron

    memiliki efek analgesik atau penghambat rasa nyeri, sehingga pada

    percobaan dengan rangsang thermal (hot plate) mencit yang diberi

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    26/30

    suntikan metampiron hanya menunjukkan sedikit respon nyeri dengan

    menjilat kakinya.

    4. Apakah kegunaan khusus metampiron?

    Bagaimana cara kerjanya? Apakah efek sampingnya?

    Apakah kontraindikasinya?

    Kegunaan khusus metampiron adalah sebagai analgesik, untuk

    mengobati nyeri akut atau kronik hebat bila analgesik lain tidak

    menolong. Selain itu metampiron juga memiliki efek farmakodinamik

    lain seperti antipiretik, menurunkan demam bila tidak dapat diatasi

    dengan antipiretik lain dan anti-Inflamasi, namun efek anti radang yang

    dihasilkan rendah.

    Cara kerja: metampiron adalah derivat metansulfonat dan

    amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat yaitu

    mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat

    pengatur suhu tubuh.

    Efek samping metampiron dapat muncul seperti gejala kepekaan

    (ruam, alergi). Pada penggunaan teratur dan jangka panjang dapat

    menyebabkan gangguan saluran cerna, tinitus (telingga berdenging),

    anemia aplastik atau gangguan / terhambatnya pembentukan sel darah

    merah. Efek samping lainnya yaitu peradangan mulut, hidung,

    tenggorokan serta tremor, syok hingga menimbulkan agranulositosis

    yaitu berkurangnya jumlah granulosit dalam darah.

    Kontraindikasi metampiron:

    a. Pada penderita yang alergi terhadap derivat pirazolon. Kasusporfiria hati (amat jarang) dan defisiensi bawaan glukosa-6-fosfat-dehidrogenase.

    b. Penderita yang hipersensitif.c. Bayi 3 bulan pertama atau dengan berat badan dibawah 5 kg.d. Wanita hamil terutama 3 bulan pertama dan 6 minggu terakhir.e. Penderita dengan tekanan darah < 100 mmHgf. Penderita glaukoma sudut sempit

    5. Jelaskan mekanisme kerja metampiron (NSAID)!

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    27/30

    Metampiron termasuk dalam non-steroid anti-inflamatory drug

    (NSAID) yang dapat mengurangi rasa nyeri dengan menghambat enzim

    siklooksigenase (cox-1 dan cox-2) sehingga tidak terbentuk mediator-

    mediator nyeri yaitu prostaglandin dan tromboksan.

    6. Jelaskan mekanisme kerja kodein!

    Kodein merupakan obat analgesik opioid yang metabolit aktifnya mengikat

    dan mengaktifkan reseptor myu (). Kodein merangsang reseptor dalam SSP, juga

    menyebabkan depresi pernapasan, vasodilasi perifer, inhibisi gerak peristaltik

    usus, stimulasi dari chemoreceptors yang menyebabkan muntah, peningkatan nada

    kandung kemih dan menekan refleks batuk pada medula oblongata.

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    28/30

    BAB 6

    PENUTUP

    Kesimulan

    Analgetika merupakan obat yang digunakan untuk menghalau atau

    mengurangi rasa sakit atau rasa nyeri. Metampiron merupakan obat analgesik

    golongan NSAID yang berperan mengurangi rasa nyeri dengan cara mengambat

    rangsang nyeri. Sedangkan Kodein merupakan analgesik golongan opioid yang

    memodulasi transmisi nyeri dan menurunkan persepsi nyeri dengan cara

    menyekat nyeri pada berbagai tingkat.

  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    29/30

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Halaman 25

    2. Anonim. 2005. CORE CODEINE PRODUCT INFORMATION. Availablefrom: http://www.asmi.com.au/industry/PI_codein.pdf. Accessed : May,

    29th 2013. Craig,RC, Welch,SP. 2008. Modern Pharmacology with

    Clinical Aplication: Opioid and Nonopioid Analgesics. 6thed. Richmond:

    Virginia Commonwealth University 321-322

    3. Ditjen POM. (2006). Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta:Departemen Kesehatan RI. Halaman 77, 237

    4. Dugowson,C MD, MPH And Gnanashanmugam,P MD; 2006 ;Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs; Division of Rheumatology,

    University of Washington; 17 (2006) p347354

    5. Eriksen J et al. 2006. Critical issues on opioids in chronic non-cancer pain:An epidemiological studyPain.Vol125 :172179

    6. Ganiswara, S., (1981). Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Jakarta:Universitas Indonesia Press. Halaman 207-210, 215-216

    7. Hojsted J and Sjogren P. 2007. Addiction to opioids in chronic painpatients: A literature reviewEuropean Journal of Pain .11: 490-518

    8. Hutchinson K et al. 2007. Exploring beliefs and practice of opioidprescribing for persistent non-cancer pain by general practitioners

    European Journal of Pain. 11: 9398

    9. Isbagio H. 2003.Penatalaksanaan nyeri sebagai model pendekataninterdisiplin pada pasien geriatrik.Di dalam: Prodjosudjadi W, Setiati S,

    Alwi I, eds. Pertemuan Ilmiah Nasional I. Jakarta: Pusat Informasi dan

    Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia, 2003: 168-79.

    10.Kelompok Kerja Phyto Medica. 1993. Penapisan Farmakologi, PengujianFitokimia dan Pengujian Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica. hal. 3-6.

    11.Lavelle CLB. Applied oral physiology. 2nd ed. London: Butterworth &Co, 1988: 1-11.

    http://www.asmi.com.au/industry/PI_codein.pdfhttp://www.asmi.com.au/industry/PI_codein.pdf
  • 7/22/2019 Laporan isi dan daftar pustaka print.pdf

    30/30

    12.Lukmanto, H. (1986). Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia.Edisi II. Jakarta. Halaman 112

    13.Lumantobing SM. 2001. Neurogeriatry. Jakarta: Balai Penerbit FakultasKedokteran Universitas Indonesia,pp.135-57.

    14.Meliala L.2003.Nyeri orofasial, mekanisme dan farmakoterapi. JurnalIlmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi.; 1(2): 123-8.

    15.Mooney, Jean ; 2009 ; Illustrated Dictionary of Podiatry and Foot Science; Elsevier Limited

    16.Neal, M.J, 2006 At a Glance Farmakologi Medis Edisi V, Erlangga,Jakarta, hal 65

    17.Nuartha AABN. 2003. Nyeri kepala dan wajah.Di dalam: Harsono, eds.Kapita selekta neuralgia. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press, pp:

    237-8, 248.

    18.Rinaningsih, Wahyu. 2011. Xerostomia Akibat Penggunaan Tramadol.Available: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24986

    19.Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran UniversitasSriwijaya. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi, Ed.2. Jakarta: EGC. 561

    20.Tjay, T., dan Kirana, R. (2007). Obat-obat Penting. Edisi VI. Jakarta: PT.Gramedia. Halaman 312-315

    21.Walton RE. 1998. Prinsip dan praktik ilmu endodonsi. Alih Bahasa:Narlan Sumawinta, Winiarti Sidharta, Bambang Nursasongko. Jakarta:

    EGC, pp: 643-59).

    22.Wasito, H., 2011, Obat Tradisional Kekayaan Indonesia, Graha Ilmu,Yogyakarta, pp. 13-14, 27.

    23.Widodo, U. (1993). Kumpulan Data Klinik Farmakologik. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Halaman 313-314

    http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24986http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24986http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24986http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/24986