52
KASUS 1 Seorang wanita berusia 20 tahun datang ke praktek dr.Lalu untuk meminta visum atas kejadian penganiayaan yang dilakukan suaminya. Setelah melalui pemeriksaan yang teliti, Dr. Lalu yang baru lulus dan belum mempunyai STR, berhasil menyimpulkan bahwa luka pukulan ke mata kanan wanita tersebut menyebabkan perdarahan didalam bola mata. Keadaan yang demikian dapat mengganggu fungsi penglihatan mata kanan sehingga dapat dikategorikan sebagai luka berat sesuai Pasal 90 KUHP. Pertanyaan : 1. Apakah telah terpenuhi sarat formal? 2. Apakah telah terpenuhi sarat materiel? 3. Bagaimanakah prosedur permintaan visum et repertum korban KDRT berdasarkan KUHAP dan UU Penghapusan KDRT? 4. Bagaimanakah sistematika visum et repertum pada korban hidup yang mengalami cedera mata? Jawaban : 1. Persaratan formal belum terpenuhi karena : a. Pasien tidak berhak untuk meminta visum et repertum secara lisan kepada dokter (ahli) sebagaimana bunyi pasal 133 ayat 1 & 2 KUHAP. Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini

Kasus Forensik 1-Jadi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bv

Citation preview

KASUS 1

Seorang wanita berusia 20 tahun datang ke praktek dr.Lalu untuk meminta visum atas kejadian

penganiayaan yang dilakukan suaminya. Setelah melalui pemeriksaan yang teliti, Dr. Lalu yang

baru lulus dan belum mempunyai STR, berhasil menyimpulkan bahwa luka pukulan ke mata

kanan wanita tersebut menyebabkan perdarahan didalam bola mata. Keadaan yang demikian

dapat mengganggu fungsi penglihatan mata kanan sehingga dapat dikategorikan sebagai luka

berat sesuai Pasal 90 KUHP. Pertanyaan :

1. Apakah telah terpenuhi sarat formal?

2. Apakah telah terpenuhi sarat materiel?

3. Bagaimanakah prosedur permintaan visum et repertum korban KDRT berdasarkan

KUHAP dan UU Penghapusan KDRT?

4. Bagaimanakah sistematika visum et repertum pada korban hidup yang mengalami cedera

mata?

Jawaban :

1. Persaratan formal belum terpenuhi karena :

a. Pasien tidak berhak untuk meminta visum et repertum secara lisan kepada dokter (ahli)

sebagaimana bunyi pasal 133 ayat 1 & 2 KUHAP. Yang berwenang meminta keterangan

ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan

pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal

6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik

tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan

jiwa manusia. Oleh karena visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana

yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil

tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka hanya mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing

(Pasal 7(2) KUHAP).

b. Korban atau keluarganya hanya berhak melaporkan tindak kekerasan dalam rumah

tangga yang dialaminya itu secara langsung ataupun memberikan kuasa kepada keluarga

atau orang lain untuk melaporkan kepada pihak kepolisian (pasal 26 UU Penghapusan

KDRT). Berdasarkan Kode Etik Kedokteran pasal 2, Ijazah yang dimiliki seseorang

merupakan persyaratan untuk memperoleh ijin kerja sesuai profesinya (SID/Surat Ijin

Dokter). Untuk melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib dituruti peraturan

perundang-undangan yang berlaku (SIP/Surat Ijin Penugasan).

2. Persaratan Materiel belum terpenuhi karena berdasarkan UU Praktik Kedokteran Indonesia

setiap dokter wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Dokter (pasal 29) sehingga tidak berhak

memiliki surat izin praktik (pasal 38) danm tidak berwenang melakukan praktik kedokteran

yang terdiri atas (pasal 35) :

a. mewawancarai pasien;

b. memeriksa fisik dan mental pasien;

c. menentukan pemeriksaan penunjang;

d. menegakkan diagnosis;

e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;

f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

g. menulis resep obat dan alat kesehatan;

h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan

j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang

tidak ada apotek.

3. Prosedur permintaan visum et repertum korban KDRT

a. Berdasarkan KUHAP

Pasal 133

(1).Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.

(2).Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis,

yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan

mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Pasal 187

Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah, adalah :

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai

sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

Pasal 11

Penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali

mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik.

Pasal 7

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya

mempunyai wewenang : h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya

dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan

lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar

hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan

pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Pasal 1

Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan :

(1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil

tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

(2) Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi

wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang

ini.

Pasal 184

(1) Alat bukti yang sah ialah :

c. surat;

b. Berdasarkan UU KDRT

Dalam UU KDRT ada beberapa pasal yang mengatur tentang prosedur permintaan visum et

repertum :

Pasal 10

Korban berhak mendapatkan :

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga

sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah

perlindungan dari pengadilan

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses

pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

e. Pelayanan bimbingan rohani

Pasal 26

(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada

kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara

(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan

kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada

maupun di tempat kejadian perkara

Pasal 17

Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga

kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk

mendampingi korban

Pasal 21

(1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :

a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya

b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas

permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan

hukum yang sama sebagai alat bukti

(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan

milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

4. Sistematika Visum et Repertum pada korban hidup yang mengalami cedera mata

1. Ketentuan standar dalam penyusunan visum et repertum korban hidup

a. Pihak yang berwenang meminta keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)

adalah penyidik yang menurut PP 27/1983 adalah Pejabat Polisi Negara RI. Sedangkan

untuk kalangan militer maka Polisi Militer (POM) dikategorikan sebagai penyidik.

b. Pihak yang berwenang membuat keterangan ahli menurut KUHAP pasal 133 ayat (1)

adalah dokter dan tidak dapat didelegasikan pada pihak lain.

c. Prosedur permintaan keterangan ahli kepada dokter telah ditentukan bahwa permintaan

oleh penyidik harus dilakukan secara tertulis yang secara tegas telah diatur dalam

KUHAP pasal 133 ayat (2).

d. Penyerahan surat keterangan ahli hanya boleh dilakukan pada Penyidik yang memintanya

sesuai dengan identitas pada surat permintaan keterangan ahli. Pihak lain tidak dapat

memintanya.

2. Tahapan-tahapan dalam pembuatan visum et repertum pada korban hidup

a. Penerimaan korban yang dikirim oleh Penyidik

Yang berperan dalam kegiatan ini adalah dokter, mulai dokter umum sampai dokter

spesialis yang pengaturannya mengacu pada S.O.P. Rumah Sakit tersebut. Yang

diutamakan pada kegiatan ini adalah penanganan kesehatannya dulu, bila kondisi telah

memungkinkan barulah ditangani aspek medikolegalnya. Tidak tertutup kemungkinan

bahwa terhadap korban dalam penanganan medis melibatkan berbagai disiplin spesialis.

b. Penerimaan surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum

Adanya surat permintaan keterangan ahli/visum et repertum merupakan hal yang penting

untuk dibuatnya visum et repertum tersebut. Dokter sebagai penanggung jawab

pemeriksaan medikolegal harus meneliti adanya surat permintaan tersebut sesuai

ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan aspek yuridis yang sering menimbulkan

masalah, yaitu pada saat korban akan diperiksa surat permintaan dari penyidik belum ada

atau korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan keterangan ahli/ visum et

repertum.

c. Pemeriksaan korban secara medis

Tahap ini dikerjakan oleh dokter dengan menggunakan ilmu forensik yang telah

dipelajarinya. Namun tidak tertutup kemungkinan dihadapi kesulitan yang

mengakibatkan beberapa data terlewat dari pemeriksaan. Ada kemungkinan didapati

benda bukti dari tubuh korban misalnya anak peluru, dan sebagainya. Benda bukti berupa

pakaian atau lainnya hanya diserahkan pada pihak penyidik. Dalam hal pihak penyidik

belum mengambilnya maka pihak petugas sarana kesehatan harus menyimpannya sebaik

mungkin agar tidak banyak terjadi perubahan. Status benda bukti itu adalah milik negara,

dan secara yuridis tidak boleh diserahkan pada pihak keluarga/ahli warisnya tanpa

melalui penyidik.

d. Pengetikan surat keterangan ahli/visum et repertum

Pengetikan berkas keterangan ahli/visum et repertum oleh petugas administrasi

memerlukan perhatian dalam bentuk/formatnya karena ditujukan untuk kepentingan

peradilan. Misalnya penutupan setiap akhir alinea dengan garis, untuk mencegah

penambahan kata-kata tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

e. Penandatanganan surat keterangan ahli / visum et repertum

Undang-undang menentukan bahwa yang berhak menandatanganinya adalah dokter.

Setiap lembar berkas keterangan ahli harus diberi paraf oleh dokter.

f. Penyerahan benda bukti yang telah selesai diperiksa

Benda bukti yang telah selesai diperiksa hanya boleh diserahkan pada penyidik saja

dengan menggunakan berita acara.

g. Penyerahan surat keterangan ahli/visum et repertum.

Surat keterangan ahli/visum et repertum juga hanya boleh diserahkan pada pihak

penyidik yang memintanya saja. Dapat terjadi dua instansi penyidikan sekaligus meminta

surat visum et repertum.

4. Sistematika Visum et repertum pada Korban Hidup yang Mengalami Cedera Mata

Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:

a) Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

b) Bernomor dan bertanggal

c) Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)

d) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

e) Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan

Pemeriksaan

f) Tidak menggunakan istilah asing

g) Ditandatangani dan diberi nama jelas

h) Berstempel instansi pemeriksa tersebut

i) Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan

j) Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu

instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya

berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum

masing-masing asli

k) Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan

sebaiknya hingga 20 tahun

Pada umumnya visum et repertum dibuat mengikuti struktur sebagai berikut :

1. Pro Justitia

Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et repertum tidak perlu

bermaterai.

CONTOH :

Pekanbaru, 24 Agustus 2008

PRO JUSTITIA

VISUM ET REPERTUM

No. /TUM/VER/VIII/2008

2. Pendahuluan

Pendahuluan memuat : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya

permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek

yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan

pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan, alasan dimintakannya visum et repertum, rumah

sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal dunia, keterangan mengenai

orang yang mengantar korban ke rumah sakit.

CONTOH :

Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin

Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor.........dengan suratnya

nomor..........................tertanggal....................maka dengan ini menerangkan bahwa pada

tanggal..........pukul...........bertempat di RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan

korban dengan nomor registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Warga negara :

Pekerjaan :

Agama :

Alamat :

3.Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)

Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan

ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari

atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari

letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan,

ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan II FK UR, September 2008 terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta

ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat

persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :

a) Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik

maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil

pemeriksaan korban hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang

keadaan umum dan perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya

(status lokalis).

b) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, alasan tidak

dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua

temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan

untuk menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-

tidaknya kesimpulan yang diambil.

c) Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal

penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas.

Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh,

karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang

diberikan.

CONTOH :

HASIL PEMERIKSAAN :

1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban

mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada kepala --

2. Pada korban ditemukan --------------------------------------------------------------------------

a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti

meter diatas batas dasar tulang, dinding luka kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga

senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat

sentimeter kali empat senti meter ------------------------------------

b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata,

dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali

setengah sentimeter dasar otot.-------------------------------------------------

c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri

pada penekanan. ----------------------------------------------------------------------

d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera

kepala ringan. ---------------------------------------------------------------------------------

3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya

patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang

lengan atas pada pertengahan. -------------------------------------------------

4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan pengobatan. ----------

5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi.--------------------------------

4. Kesimpulan

Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang

ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan

dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu

jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.

CONTOH :

KESIMPULAN : -------------------------------------------------------------------------------------------

Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera kepala

ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup. pada lengan

atas kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit

/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.----------

5. Penutup

Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat

sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah

atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan

Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum

CONTOH :

Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan keilmuan

yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

Dokter Pemeriksa

RUMAH SAKIT SANGLAH DENPASAR

BAGIAN/SMF/INSTALASI KEDOKTERAN FORENSIK

Telp : 227912 – 227915 Ext. 111

PROJUSTITIA

VISUM ET REPERTUM

NO: KF .../VR/ V/2007

Berhubung dengan surat Saudara:I WAYAN KUNCI ATMAJA AIPTU, NRP : enam

satu nol tujuh nol lima dua empat, Nomor Polisi B garis miring tiga puluh lima garis miring lima

romawi garis miring dua ribu tujuh garis miring lantas, tertanggal delapan belas Mei dua ribu

tujuh, maka kami yang bertanda tangan dibawah ini dokter IDA BAGUS PUTU ALIT, DFM,

Sp.F, dokter pemerintah pada Bagian Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Sanglah

Denpasar menerangkan bahwa kami pada tanggal tujuh belas Mei dua ribu tujuh pukul enam

lewat lima belas menit Waktu Indonesia Bagian Tengah telah melakukan pemeriksaan terhadap

korban dengan nomor rekam medis nol satu satu dua dua dua empat delapan yang berdasarkan

surat tersebut................................................................................................................................

Nama : Ni Luh Putu Srihartini

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : Tiga puluh lima tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Hindu

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jalan Ks. Tubun Gang enam nomor dua Delod peken Tabanan

Pada pemeriksaan ditemukan:

a. Korban datang dalam keadaan sadar setelah mengalami penganiayaan oleh suaminya dengan

keadaan umum sakit sedang ..................................................................................................

b. Pada korban dilakukan pemeriksaan:

Pemeriksaan Fisik : Tekanan darah seratus sepuluh per enam puluh milimeter air raksa,

denyut nadi delapan puluh empat kali per menit, pernapasan dua puluh dua kali per menit

Ditemukan luka pada mata :

............................................................................................................................................

c. Pada korban dilakukan tindakan :

Pemeriksaan ....................................................................................................................

KESIMPULAN

Luka-luka tersebut diatas disebabkan oleh kekerasan benda tumpul. Luka tersebut diatas tidak

dapat mendatangkan bahaya maut...............................................................................................

Luka tersebut diatas tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan..

Demikian Visum et Repertum ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan mengingat sumpah

jabatan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.............................................

       Denpasar, Dua puluh Juni Dua ribu enam

Dokter Pemeriksa,              

dr. Ida Bagus Putu Alit, DFM, Sp.F.

    

NIP. 132 281 815

KASUS 2

Sekelompok pria dewasa sedang pesta buah durian. Salah satu diantara pria tersebut tersedak

oleh biji durian kemudian dibawa ke UGD RSU A. Dokter umum yang tugas jaga tidak mau

melakukan tindakan ekstraksi biji durian karena merasa tidak mampu dan tidak berwenang.

Pasien dirujuk ke RSU B, meskipun telah dilakukan ekstraksi oleh dr.THT, pasien mengalami

kondisi dimana pasien tidak bisa pulih seperti semula

A. Apakah dr. A melanggar Good Samaritan Law???

Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan

pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam

pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan

hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Pada keadaan gawat

darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu:

- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat

- Perubahan klinis yang mendadak

- Mobilitas petugas yang tinggi

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi

pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat

darurat sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat

darurat) maka hubungan dokter – pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu

pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas

voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter

berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam

keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari keduabelah pihak juga

tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat

darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme. Apabila seseorang bersedia menolong orang

lain dalam keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain

yang melanjutkan pertolongan ituatau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal

pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap

mencampuri/ menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of

chance).

Teori Hukum Good Samaritan memiliki kesimpulan yang menyatakan Seseorang yang

dengan sukarela menolong orang lain yang dalam keadaan terluka terancam akan terluka, atau

memerlukan pertolongan dan tindakan kegawat daruratan medis akan dilindungi oleh hukum.

Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah :

1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau

keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila

pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak

berlaku.

2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang

dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan

trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan

karena diduga terdapatkekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak

pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab

kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi

gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut

terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga

kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.

Tetapi pada kasus diatas dr. A tidak melakukan tindakan dan memilih merujuk pasien

kepada spesialis THT untuk melakukan ekstraksi, sehingga dr.A tidak dapat dikatakan

melanggar good samaritan doktrin karena tidak melakukan pertolongan. Para dokter terutama

dokter UGD dan dokter bedah, sering kali merasa takut untuk melakukan tindakan karena

kemungkinan untuk dituntut sangat besar. Namun apakah good samaritan law digunaka di

Indonesia? Mari kita tinjau dari beberapa hal berikut:

Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam

pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan

pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992

tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya

penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh

derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah

bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat”

termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula

pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat

(swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan

gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan

gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian

pelayanan.

Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).

Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2

dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam

keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak

sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan

Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk

tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam

pasal 50 UU No.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga kesehatan

bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian

dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”. Pengaturan di atas menyangkut

pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki

kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam

keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka

yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat

itu. Pada Kode Etik kedokteran indonesia pada pasal 13 menyebutkan bahwa “Setiap pdokter

wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin

ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya”.

Jadi Good Samaritan Law tidak digunakan di indonesia. Dan dokter A telah melanggar

beberapa pasal pada undang-undang kesehatan dan KODEKI. Dr. A seharusnya melakukan

bantuan medis, jika ia merasa tidak kompeten, ia dapat meminta saran atau berkonsultasi pada

dokter yang lebih kompeten (dalam hal ini Dokter THT) baik secara langsung ataupun Via

telepon untuk melakukan tindakan yang sesuai.

B. Apakah dr. B melakukan kelalaian??

Menurut World Medical Association (WMA) kelalaian, seorang dokter dikatakan melakukan

malpraktek medik jika dokter tersebut melakukan tindakan yang menyebabkan kerugian pada

pasien yang dikarenakan :

Melakukan terapi yang tidak sesuai dengan kondisi yang dialami pasien

Kurangnya kemampuan dokter tersebut

Melakukan kelalaian dalam menerapkan pelayanan kepada pasien.

Menurut WMA, kegagalan medik yang disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diduga

sebelumnya dan tidak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan dokter tersebut

tidak harus mempertanggung jawabkannya.

Seorang dokter bisa dikatakan melakukan suatu tindak kelalaian bila terpenuhi 4 syarat berikut :

1. Harus terjalin adanya hubungan dokter-pasien.

2. Dokter tidak melaksanakan kewajibannya.

3. Dokter tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang ada.

4. Tindakan yang tidak sesuai standar profesi tersebut menyebabkan terjadi kerugian / cedera

yang sebetulnya dapat dicegah.

Setiap persyaratan diatas harus dapat dibuktikan terjadi oleh pihak penuntut agar dapat

memenangkan perkara. Kelalaian yang dimaksud diatas juga berlaku terhadap profesi lainnya.

Undang-undang kesehatan No. 36 tahun 2009 pada Pasal 29 “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan

terlebih dahulu melalui mediasi. Dan pada pasal 58 menyebutkan:

1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian

dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga

kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan

seseorang dalam keadaan darurat.

3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan.

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan

karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak

pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab

kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi

gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut

terjadi. Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga

kesehatan yang berkulifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.

KASUS 3

Seorang anak berusia 5 tahun mengalami katarak. 2 tahun yang lalu, anak tersebut

dibawa kontrol ke dokter puskesmas. Oleh dokter disarankan untuk menunda operasi hingga usia

anak dewasa dan katarak sudah ‘matang’. Namun sebulan terakhir, anak tersebut sering kali

terjatuh karena tidak bisa melihat. Dokter mata yang melakukan pemeriksaan mengatakan bahwa

retina mata si anak telah mengalami atropi. Dengan demikian pasien telah mengalami kebutaan.

Pertanyaan :

a) Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?

b) Apakah kesalahan dalam membuat diagnosa penyakit dapat dikategorikan sebagai bentuk

kelalaian?

A. Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?

Jika berdasar pada informasi yang terdapat di kasus, kemungkinan besar ya.

Alasannya adalah karena tidak merujuk, padahal Katerak juvenil merupakan penyakit

kategori SKDI 3A yaitu “mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik

dan permintaan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter. Dokter boleh memberikan

tatalaksana awal serta dapat pula merujuk ke spesialis yang relevan (bukan kasus

emergency)”.

Dokter umum lalai karena sepertinya ia tidak memberikan informed consent kepada pasien

untuk memeriksakan diri ke dokter speasialis mata. Padahal menurut Peraturan Menteri

Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 4

harusnya informed consent harus diberikan:

Walaupun dokter umum mungkin melakukan kelalaian, namun penentuan diagnosis yang

dilakukan oleh dokter tersebut tidak salah, karena:

PENENTUAN DIAGNOSIS

Untuk menentukan suatu diagnosis, kita harus tahu terlebih dahulu tata cara penentuan

diagnosis yang tepat.

1. Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja adalah diagnosis yang ditetapkan oleh dokter hanya didasarkan oleh

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari sini, selain menentukan diagnosis kerja akan

muncul diagnosis banding lainnya. Sudah wajar jika pada tahap ini bisa saja terjadi

kesalahan penentuan diagnosis, karena suatu gejala yang dikeluhkan oleh pasien bisa saja

merupakan gejala yang sebenarnya dapat ditemukan pada berbagai macam penyakit.

Pada kasus ini, dikatakan dokter di puskesmas mengatakan bahwa pasien didiagnosis

mengalami ‘Katarak Juvenil’. Mungkin diagnosis yang diberikan oleh dokter didapatkan

dari tanda yang terjadi pada anak yaitu adanya penutupan lapang pandang, yang

merupakan salah satu tanda dari penyakit katarak. Jadi menurut kami, dokter tidak

melakukan kesalahan atau kelalaian.

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.585/Men.Kes/Per/IX/1989

Tentang Persetujuan Tindakan Medik

Pasal 4

1. Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien baik diminta maupun tidak diminta

2. Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien, atau pasien menolak diberikan informasi

3. Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat 2 dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi seorang perawat atau paramedik lainnya sebagai saksi

Pada kasus ini, dokter juga tidak menyarankan dilakukan tindakan pembedahan hingga

katarak pasien matur, hal ini pun benar karena:

Pembedahan harus dilakuan dengan segera jika kasusnya yang katarak infantil (<1

thn), sedangkan pada saat pasien datang ke dokter puskesmas usianya masih sekitar 3

tahun

Jika kataraknya belum terlalu tebal dan anak masih bisa melihat, pembedahan tidak

wajib dibutuhkan atau dapat ditunda hingga usia anak mencapai usia dimana

pembedahan katarak dengan implan dapat dilakukan dengan aman.

Pembedahan juga ditunda karena sistem penglihatan anak masih belum berkembang

sempurna dan dikawatirkan timbul resiko lain berupa ambliopia.

2. Diagnosis Tetap

Diagnosis tetap adalah diagnosis yang ditetapkan setelah dilakukan pemeriksaan

penunjang, yaitu dalam kasus ini menggunakan slit lamp. Pada puskesmas biasanya

jarang ditemukan slit lamp sehingga biasanya hanya dengan menggunakan iris shadow

test untuk menegakkan diagnosis kerja katarak (juvenil).

3. Diagnosis Operasi

Biasanya hanya pada kasus bedah.

B. Apakah kesalahan dalam membuat diagnosa penyakit dapat dikategorikan sebagai bentuk

kelalaian?

Bisa TIDAK dan bisa YA

TIDAK jika kesalahan diagnosis ditemukan pada tahapan awal yaitu pada tahapan

penentuan Diagnosis Kerja, dimana diagnosis hanya didasarkan atas anamnesis dan

pemeriksaan fisik.

YA jika ternyata Diagnosis Tetap yang dinyatakan diderita oleh pasien ternyata tidak

sesuai dengan hasil pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan akibat kelalaian dari

dokter yang melakukan analisis kondisi pasien mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Kesalahan dalam pembuatan diagnosis tetap ini juga

melanggar Undang-undang Praktek Kedokteran Pasal 35 sehingga bisa mendapatkan

sanksi pidana.

Error of (in) judgment

Seorang profesi medis yang telah mengikuti standar profesi yang dipakai secara

umum tidak dapat dianggap lalai atau bertanggung jawab apabila keputusan yang diambil

ternyata telah keliru.

Doktrin error in judgment ini berkaitan dengan pemastian beberapa unsur yang

berkaitan dengan konsep malpraktik :

1. Doktrin menekankan syarat fundamental bahwa sebelum seorang dokter dapat dianggap

bertanggung jawab, maka penggugat harus membuktikan bahwa sikap/tindak dokter itu

lalai. Bahwa tindakannya tidak sesuai dengan standar profesi yang berlaku.

2. Doktrin ini menekankan kembali, bahwa tanpa terdapatnya bukti-bukti kelalaian seorang

dokter tidak dapat dianggap bertanggung jawab semata-mata karena suatu akibat yang

tidak menyenangkan timbul dari terapi yang diberikan itu.

3. Doktrin ini memastikan adanya ketentuan “ respectable, minority, rule ” yang memberi

hak dan melindungi seorang dokter untuk memilih antara beberapa terapi, walaupun

kemudian yang dipilih itu, ternyata kurang mengungtungkan. Ini bukanlah suatu “ error

in judgment”.

Karena itu, apabila tidak dapat dibuktikan bahwa sikap-tindak dokter itu lalai sesuai standar

profesi yang berlaku dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang dokter, maka seorang

dokter tidak dapat dikatakan melakukan kelalaian.

Keterangan yang mungkin dibutuhkan :

Penyakit ini chorioretinal atrophy sangat jarang ditemukan pada anak-anak dan paling sering

ditemukan pada lansia atau mulai usia 40 tahuna ke atas

Pemeriksaan dengan oftalmoskop sekalipun sulit dilakukan oleh dokter umum dan hanya

bisa menentukan apakah refleks fundus positif atau negatif

Sepertinya dokter di puskesmas menegakkan diagnosis hanya didasarkan atas anamnesis dan

mungkin juga pemeriksaan fisik yang berupa inspeksi pada lensa mata, tes konfrontasi dan

funduskopi. Mungkin dokter puskesmas tersebut tidak melakukan pemeriksaan penunjang

karena keterbatasan alat.

Bisa saja sewaktu diperiksa dulu memang hanya menderita katarak, namun 2 tahun kemudian

mengalami atrofi retina yang penyebabnya pada anak biasanya adalah karena infeksi

(toksoplasma).

Terapi katarak pada anak

Pembedahan harus dilakuan dengan segera jika kasusnya yang katarak infantil (<1 thn)

Pilihan terapi katarak:

1. No surgery with periodic follow up

2. Cataract removal without intraocular lens implant

3. Cataract removal with intraocular lens implant

□ Jika kataraknya belum terlalu tebal dan anak masih bisa melihat, pembedahan tidak wajib

dibutuhkan atau dapat ditunda hingga usia anak mencapai usia dimana pembedahan katarak

dengan implan dapat dilakukan dgn aman

□ Biasanya implantasi lensa tidak disarankan pada katarak juvenil (acquired childhood

cataract) karena matanya masih dalam tahap perkembangan + ada resiko inflamasi berat

(uveitis) pada anak2 ini dan kemungkinan after-cataract juga hampir 100%

□ Katarak yang hanya ditemukan pada satu mata pada katarak infantil harus ditindak segera

untuk menghindari amblyopia.

KASUS 4

Seorang anak menderita penyakit batuk, pilek, panas. Setelah diberi obat yang berwarna

merah, kuning, hijau di puskesmas, sekujur tubuh anak tersebut melepuh. Kemudian pasien

dirujuk ke RSU.

Pertanyaan:

Apakah dokter puskesmas telah melakukan kelalaian?

PEMBAHASAN

Dari kasus diatas, terdapat beberapa dasar hukum yang terkait. Berikut adalah hukum yang

terkait dengan kasus tersebut.

1. Dokter tersebut dapat dikatakan lalai apabila dalam pemberian tindakan (dalam hal ini

pemberian obat kepada pasien) tidak menyampaikan secara lengkap informasi dari tindakan

yang akan dilakukan, baik mencakup diagnosis dan tata cara tindaka medis, risiko dan

komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang terjadi seperti yang

tercantum pada UU Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat 3. Selain itu juga, dokter tersebut akan

dikatakan melanggar hak pasien apabila tidak menyampaikan informasi-informasi tersebut

kepada pasien seperti yang tercantum dalam UU Praktek Kedokteran Pasal 52 poin a. oleh

karena itu penyidik harus melakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui informasi apa

saja yang telah disampaikan dokter tersebut kepada pasien.

2. Dokter tersebut akan dikatakan tidak lalai apabila telah menyampaikan semua informasi yang

seharusnya disampaikan kepada pasien seperti yang tercantum pada UU Praktek Kedokteran

Pasal 45 dan 52.

3. Dokter tersebut telah melakukan tindakan yang tepat pada pasien dengan merujuknya ke

RSU setelah mengalami kulit melepuh. Karena penyakit yang dialami pasien kemungkinan

adalah kelainan kulit yang memang harus mendapat tindakan dari dokter spesialis kulit dan

tindakan merujuk oleh dokter tersebut ke RSU dapat dikatakan benar. Hal tersebut sesuai

dengan KODEKI Pasal 10 dan UU Praktek Kedokteran Pasal 51 poin b.

KASUS 5

Seorang istri dokter mengalami kanker nasofaring. Setelah dilakukan operasi, kondisi pasien

semakin memburuk sehingga harus dirawat di ICU dengan ventilator. Sementara itu, dua buah

ventilator yang dimiliki oleh RSU sedang dipakai oleh pasien lainnya. Satu diantara pasien

adalah seorang penderita AIDS yang telah mengalami kondisi vegetative, sementara yang lain

adalah seorang wanita hamil G1P0A0 yang mengalami eklamsi.

Pertanyaan :

Siapakah diantara ketiga pasien yang patut menggunakan ventilator?jelaskan alasan Anda!

Jawaban :

Menurut Kelompok kami semua patut dan berhak menggunakan ventilator, dan Kita sebagai

tenaga medis harus berusaha semaksimal mungkin agar pasien mendapatkan perawatan dan

pengobatan yang sesuai. Untuk masalah ventilator kemungkinan sebaiknya proses perujukan

segera dilakukan karena selain pasien sudah dalam kondisi yang semakin buruk RS juga tidak

dapat memberikan layanan ventilator karena ventilator hanya berjumlah dua dan semuanya

sedang diapakai, tidak mungkin juga untuk mengorbankan salah satu pasien karena pasien

(manusia) mempunyai hak untuk hidup dan tidak ada orang walaupun tenaga medis yang dapat

menentukan hidup dan mati seseorang. Menurut hukum di Indonesia euthanasia tidak dilegalkan

karena:

Euthanasia Menurut Perspektif Medis

Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan “seorang dokter harus senantiasa berupaya

melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Seorang dokter dalam

melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu

kedokteran , hukum dan agama.

KODEKI pasal 7d menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan

kewajiban melindungi hidup insani”, artinya dalam setiap tindakan dokter, harus bertujuan untuk

memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang

kewajiban dokter kepada pasien disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat

akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter tidak boleh

menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus) dan mengakhiri hidup orang yang sakit

meskipun menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh (euthanasia).

Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan

sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang

pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan

euthanasia aktif.”

Euthanasia Menurut Hukum di Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia, euthanasia adalah suatu perbuatan yang melawan

hukum, seperti yang tercantum pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada Pasal 344

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa "Barang siapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan

kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun". Dengan

demikian, hukum di Indonesia melarang euthanasia ini, karena pembunuhan terhadap seseorang

walaupun itu atas permintaan orang tersebut tetap akan dikenakan tindak pidana. Demikian juga

yang disebutkan dalam pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP, yaitu : Pasal 338: “Barang siapa

dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja &

direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan

pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara

sementara selama-lamanya duapuluh tahun.” Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk

orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya

untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh

diri.” Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu

tahun”. Apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi

berkompeten melakukan perawatan medis dan dapat dijerat hukum sesuai

KUHP pasal 351 tentang penganiayaan yang berbunyi: (1) Penganiayaan diancam dengan

pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu

lima ratus rupiah. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Hubungan

hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, &

1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal

1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan

kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis

tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

LAMPIRAN 1

UU Praktik Kedokteran

Pasal 29

Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki

surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.

Pasal 35

(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang

melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki,

yang terdiri atas :

a. mewawancarai pasien;

b. memeriksa fisik dan mental pasien;

c. menentukan pemeriksaan penunjang;

d. menegakkan diagnosis;

e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;

f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;

g. menulis resep obat dan alat kesehatan;

h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;

i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan

j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang

tidak ada apotek.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan

Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 38

(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau

dokter gigi harus :

a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih

berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31 dan Pasal 32;

b. mempunyai tempat praktik; dan

c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :

a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan

b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.

Pasal 45

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau

dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis

maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus

diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan

Peraturan Menteri.

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional

serta kebutuhan medis pasien;

b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan

yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien

itu meninggal dunia;

d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang

lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran

gigi.

Pasal 52

Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 45 ayat (3);

b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

d. Menolak tindakan medis; dan

e. Mendapatkan isi rekam medis.

LAMPIRAN 2

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar

profesi yang tertinggi

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri

kebenarannya

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang

kompeten dengan kebebasan medis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang

(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia

Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan

berupaya mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau

kompetensi, atau melakukan penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga

kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya

untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan pemeriksaan atau

pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang

mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.