31
LAPORAN REFLEKSI KASUS STASE ILMU FORENSIK Disusun Oleh : Aulya Adha Dini Idhar Trisna Damayanti Kania Anindita Bustam Jhon elfran Sihombing Muhammad Dzikrifishofa FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 0

refleksi kasus forensik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

euthanasia

Citation preview

LAPORAN REFLEKSI KASUS

STASE ILMU FORENSIK

Disusun Oleh :

Aulya Adha Dini

Idhar Trisna Damayanti

Kania Anindita Bustam

Jhon elfran Sihombing

Muhammad Dzikrifishofa

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEKBANDAR LAMPUNG

2013

0

BAB I

Pendahuluan

Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi

dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum

kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang

bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi. Apabila

terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah. Akibat

gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak

individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari poros agama (gereja),

ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun (termasuk pemerintah) tidak

boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.

Masalah euthanasia sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tidak dapat

diembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam keadaan

demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan dan tidak ingin

diperpanjang hidupnya lagi atau di lain kasus keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar,

keluarga pesakit tidak tega melihat pasien penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta

kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang

mempercepat kematian.

1

Euthanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik. Tanpa penderitaan; sedang tanathos

= mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada

yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita. Belanda, salah satu Negara di Eropa yang maju

dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang

dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) Euthanasia adalah

dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau

sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien

dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.´Sedangkan menurut Commisie dari

Gezondheidsraad (Belanda) euthanasia adalah perbuatan yang dengan sengaja memperpendek

hidup ataupun dengan sengaja tidak memperpanjang hidup demi kepentingan si pasien oleh

seorang dokter ataupun bawahan yang bertanggung jawab kepadanya .Euthanasia dalam Oxford

English Dictionary dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama

dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan´. Istilah yang sangat

populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing. Sementara itu menurut

Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian

yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua,pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran

kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat

menyakitkan secara hati-hati dan disengaja. Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia,

yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena

penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang

diakibatkannya). Non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan,

2

bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak

sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya).

Involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).

Perkembangan euthanasia tidak terlepas dari perkembangan konsep tentang kematian. Usaha

manusia untuk memperpanjang kehidupan dan menghindari kematian dengan mempergunakan

kemajuan ipetek kedokterantelah membawa masalah baru dalam euthanasia, terutama berkenaan

dengan penentuan kapan sesorang dinyatakan telah mati.

Dikenal beberapa konsep tentang mati seperti:

1.Mati sebagai berhentinya darah mengalir

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh

3. Hilangnya kemmapuan tubuh secara permanen

4. Hilangnya manusia secar permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi social

Konsep mati dan berhentinya darah mengalir seperti dianut selama ini dan yang juga diatur

dalam PP 18 tahun 1981 menyatakan bahwa mati adalah berhentinya fungsi jantung dan paru-

paru, tidak bisa dipergunakan lagi karena teknologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan

paru-paru yang semua terhenti kini dapat dipacu untuk berdenyut kembali dan paru-paru dapat

dipompa untuk berkembang kempis kembali. Konsep mati dari terlepasnya dari tubuh sering

menimbulkan keraguan karena misalnya pada atindakan resusitasi yan gberhasil, keadaan

demikian menimbulkan kesan seakan-akan nyawa dapat ditarik kembali. Mengenai konsep mati

dari hilangnya kembali kemampuan tubuh secara permanen untuk menjalankan fungsinya secar

terpadu juga dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri- sendiri tanpa terkendali

3

karenaotak telah mati. Untuk kepentingan transplantasi konsep ini menguntungkan tetapi secar

moral tidak dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak

terpadu lagi.

Bila dibandingkan dengan manusia sebagi mahluk social yaitu individu yang mempunyai

kepribadian, menyadari kehidupannyam kekhususannya, kemampuannya mengingat,

menentukan sikap dan mengambil keputusan, mengajukan alas an yang masuk akal, mampu

berbuat, mampu menikmati, mengalami kecemasan dan sebagainya, maka penggerak dari otak

baik secara fisik amupun social makin banyak dipergunakan. Pusat pengendali ini terdapat dalam

batang otak. Oleh Karen aitu jika batang otak telah mati (brain system death) dapat diyakini

bahwa manusia itu secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan demikian, kalangan medis

sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi (DNR, do not resuscitation) Penentuan

saat mati ini juga dibahas dan ditetapkan dalam worldMedical Assembly tahun 1968 yang

dikenal dengan Deklarasi Sydney. Disini dinyatakan penentuan saat kematian di kebanyakn

Negara merupakan tanggung jawab sah dokter. Dokter dapat menentukan sesorang sudah mati

dengan menggunakan criteria yang lazim tanpa bantuan alat khusus yang telah diketahui oleh

semua dokter.

Yang penting dalam penentuan saat mati disini adalah proses kematian tersebut sudah tidak

dapat dikemabalikan lagi (irreversible) meski menggunakan teknik penghidupan kembali

apapun. Walaupun sampai sekarang tidak ada alat yang sungguh-sungguh memuaskan dapat

digunakan untuk penentuan saat mati ini, alat elektroensefalograf dapat diandalkan untuk

maksud tersebut. Jika penentuan saat mati berhubungan dengan kpentingan transplantasi organ,

4

keputusan mati harus dilakukan oleh2 orang dokter atau lebih dan dokter yang menentukan saat

mati itu tidak boleh ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan euthanasia. Euthanasia bisa

ditinjau dari beberapa sudut. Menurut Frans Magnis Suseno , dari cara dilaksanakannya,

euthanasia dibedakan atas:

1. Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau

pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia

2. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakuykan secar medic melalui intervensi aktif oleh

seorang dokter engan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.

Euthanasia aktif dapat dibedakan menjadi :

1) Euthanasia aktif langsung (direct)

Adalah dilakukannya tindakan medic secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup

pasien atau memperpendek hidup pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagaiMercy Killing.

2) Euthanasia aktif tidak langsung (indirect)

Adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medic untuk meringankan

penderitaan pasien namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau

mengakhiri hidup pasien.

Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibedakan atas:

1. Euthanasia volunteer /m euthanasia sukarela/ euthanasia atas permintaan pasien Adalah

euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secar asadar dan diminta berulang-ulang

5

2. Euthanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien)

Adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar dan biasanya keluarga

pasien yang meminta

Kedua jenis euthanasia ini dapat digabung.Misalnya euthanasia pasif volunteer, euthanasia aktif

involunteer, euthanasia aktif langsung involuntir dan sebagainya. Ada yang melihat pelaksanaan

euthanasia dari sudut lain dan membaginya atas 4

kategori, yaitu:

1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup

pasien.

2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien

3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup

pasien.

4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien.

6

BAB II 

Kasus

seorang pasien, bapak B, berusia 59 tahun datang ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Muluk,

pada tanggal 28 Maret 2013 dengan diagnosa karsinoma kolon yang stadium 4. Pasien masih

cukup sadar dan berpendidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan

keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini. Ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu

kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat

menderita, dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaanya saja. Oleh

karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi

minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU,dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan

wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang

dibutuhkan.

Jenis Refleksi:

a. Ke-Islaman*

b. Etika/ moral

c. Medikolegal*

d. Sosial Ekonomi

e. Aspek lain

7

BAB III

Prinsip-Prinsip Tentang Etika Kedokteran

Jenis hubungan dokter - pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai

konsekuensi dari kewajiban- kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu

hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral

profesi, yaitu autonomy (menghormah hak-hak pasien), beneficence (berorientasi kepada

kebaikan pasien), non maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien) clan

justice ustice (meniadakan diskriminasi) yang disebut sebagai prinsip utama; dan veracity

(kebenaran = truthfull inforniation), ,fidelity(kesetiaan), privacy, dan confidentiality (menjaga

kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya.

Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada umumnya, maka

hubungan antara dokter dengan pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan yang sama. Pada

awalnya hubungan dokter - pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip

moral utama adalah beneficence.

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik

diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah

dasar moral tersebut adalah :

8

1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang kemudian

melahirkan doktrin informed consent;

2. Princip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke

kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,

melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya

(mudharat);

3. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk

keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai "primum non nocere" atau "above all do no

harm".

4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy

(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan fidelity

(loyalitas dan promise keeping). Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus

dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal

etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).

Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai—nilai dalam etika profesi tercermin di dalam

sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu "kontrak moral" antara

dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan "kontrak

kewajiban moral" antara dokter dengan peer—groupnya, yaitu masyarakat profesinya. Baik

9

sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat

kepada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak

dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi "pemimpin"

dari kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang

etis.

Persoalan yang dihadapi para profesional kesehatan pada akhir kehidupan tidak kalah pelik

dibanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah sederhana

seperti "bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien?" hingga ke persoalan

yang lebih rumit, seperti "seberapa jauh pecan keluarga dalam membuat keputusan medis

terhadap pasien?","apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?" yang kemudian

dihubungkan dengan isu tentang letting die naturally, physician assisted suicide, physician

assisted death, euthanasia, masalah futility dan brain death.

Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan untuk

tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan.

Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan barn, melainkan pertimbangan yang telah ada

pada jaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran "to refuse to treat those who ar

overmastered by their diseases, realizing that in such cases medicine is powerless". Namun

demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil

dengan melalui pertimbangan yang ketat.

10

BAB IV

Refleksi Kasus

A. Medikolegal

Pasal 304 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan,

sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan, kepada orang itu,karena hukum yang

berlaku baginya atau karena perjanjian,dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya dua

tahun delapan bulan atau denda sebanyak ± banyaknya empat ribu limaratus rupiah.

Pasal 338 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum karena menyebabkan

mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Pasal 340 KUHP

Barang siapa dengan sengaja dan direncankan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,

dihukum Karen apembunuhan direncankan (moord) dengan hukuman mati atau penjara

selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

Pasal 359 KUHP

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum penjara selama-

11

lamnya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hokum yang mengingatkan kalangan

kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia.

Euthanasia Dan Bunuh Diri

Pasal 344 KUHP

Barang siapa merampas nyawa orang lain alas permintaan orang itu sendiri yg jelas

dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas

tahun.

Pasal 345 KUHP

Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam

perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara

paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.

Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical

Association (WMA) adalah "the rights to accept or to refuse treatment after receiving

adequate information"'. Secara implicit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga

menyebutnya demikian "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, dst. Selanjutnya

UU No 23 / 1992 tentang Kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk memberikan

12

persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini kemudian

diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis.

B. Keislaman

Secara umum ajaran Islam diarahkan untuk menciptakan kemaslahatan hidup dan kehidupan

manusia, sehingga aturannya diberikan secara lengkap, baik yang berkaitan dengan masalah

keperdataan maupun pidana. Khusus yang berkaitan dengan keselamatan dan perihal hidup

manusia, dalam hukum pidana Islam (jinayat) ditetapkan aturan yang ketat, seperti adanya

hukuman qishash, hadd, dan diat.

Dalam Islam prinsipnya segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, baik

disengaja atau tidak sengaja, tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan; sebagaimana

disebutkan dalam hadits: “Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu

dari tiga alasan, yaitu: pezina mukhshan (sudah berkeluarga), maka ia harus dirajam

(sampai mati); seseorang yang membunuh seorang muslim lainnya dengan sengaja, maka ia

harus dibunuh juga. Dan seorang yang keluar dari Islam (murtad), kemudian memerangi

Allah dan Rasulnya, maka ia harus dibunuh, disalib dan diasingkan dari tempat

kediamannya” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Selain alasan-alasan diatas, segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan

dalam kategori perbuatan ‘jarimah/tindak pidana’ (jinayat), yang mendapat sanksi hukum.

Dengan demikian euthanasia karena termasuk salah satu dari jarimah dilarang oleh agama dan

13

merupakan tindakan yang diancam dengan hukuman pidana. Dalil syari’ah yang menyatakan

pelarangan terhadap pembunuhan antara lain Al-Qur’an surat Al-Isra’:33, An-Nisa’:92, Al-

An’am:151. Sedangkan dari hadits Nabi saw, selain hadits diatas, juga hadits tentang

keharaman membunuh orang kafir yang sudah minta suaka (mu’ahad).(HR.Bukhari).

Pada prinispnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti

mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat

kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt

kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah

menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan,

kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan

kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hal itu karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah dan oleh

karenanya manusia dalam hal ini tidak mempunyai hak atau kewenangan untuk memberi

hidup dan atau mematikannya. (QS.Yunus:56, Al-Mulk:1-2).

Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul persoalan fikih yaitu apakah memudahkan

proses kematian secara aktif ditolerir oleh Islam? Apakah memudahkan proses kematian

secara pasif juga diperbolehkan?

Dengan demikian melalui euthanasia aktif berarti manusia mengambil hak Allah Swt yang

sudah menjadi ketetapanNya. Memudahkan proses kematian secara aktif seperti pada contoh

pertama tidak diperkenankan oleh syari’ah. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan

14

tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui

pemberian obat secara overdosis atau cara lainnya.

Dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk

dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun

yanng mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya.

Karena bagaimanapun dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang dari pada Allah Al-

Khaliq. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah, karena Dia-lah yang memberi

kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah di

tetapkan-Nya.

Eutanasia demikian juga menandakan bahwa manusia terlalu cepat menyerah pada keadaan

(fatalis), padahal Allah swt menyuruh manusia untuk selalu berusaha atau berikhtiar sampai

akhir hayatnya. Bagi manusia tidak ada alasan untuk berputus asa atas suatu penyakit selama

masih ada harapan, sebab kepadanya masih ada kewajiban untuk berikhtiar. Dalam hadits

Nabi sw disebutkan betapapun beratnya penyakit itu, tetap ada obat penyembuhnya.(HR

Ahmad dan Muslim)

Adapun memudahkan proses kematian dengan cara euthanasia pasif sebagaimana

dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itutermasuk dalam kategori praktik penghentian

pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu

tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah

(hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat. Masalah ini terkait dengan

15

hukum melakukan pengobatan yang diperselisihkan oleh para ulama fikih apakh wajib atau

sekedar sunnah.

Menurut jumhur ulama mengobati atau berobat dari penyakit hukumnya sunnah dan tidak

wajib. Meskipun segolongan kecil ulama ada yang mewajibkannya, seperti kalangan ulama

syafi’iyah dan hanbali sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah.

Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah

bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih

utama, berdasarkan hadist Abbas yang diriwayatkan dalam kitab shahih dari seorang wanita

yang menderita epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi agar mendoakannya, lalu beliau

menjawab: “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga,

dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita

itu menjawab akan bersabar dan memohon kepada Nabi untuk medoakan kepada Allah agar ia

tidak minta dihilangkan penyakitnya namun tetap terjaga auratnya sehingga tidak tersingkap

ketika kambuh.

Disamping itu, terdapat banyak contoh dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat

ketika mereka sakit, bahkan di antara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubay bin Ka’ab

dan Abu Dzar Al-Ghifari. Sikap demikian tidak ditegur ataupun diprotes oleh kalangan

sahabat ataupun generasi tabai’in lainnya sebagaimana dikupas oleh Imam Al-Ghazali dalam

satu bab tersendiri yang berjudul “Kitab at-Tawakal” dalam kitab Ihya ‘Ulumuddinnya.

16

Dalam hal ini hukum berobat atau mengobati penyakit yang lebih tepat adalah pada dasarnya

wajib terutama jika sakitnya parah, obatnya efektif berpengaruh, dan ada harapan untuk

sembuh sesuai dengan perintah Allah Swt untuk berobat. Inilah yang sesuai dengan petunjuk

Nabi saw dalam masalah pengobatan sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Ibnul

Qoyyim dalam kitabnya Zadul-Ma’ad. Dan paling tidak, petunjuk Nabi saw, tersebut minimal

menunjukkan hukum sunnah.

Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya sunnah ataupun wajib apabila penderita

dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika secara perhitungan akurat medis yang

dapat dipertanggungjhawabkan sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnatullah

dalam hukum kausalitas yang dikuasai para ahli seperti dokter ahli maka tidak ada seorang

pun yang mengatakan sunnah berobat apalagi wajib.

Apabila penderita sakit kelangsungan hidupnya tergantung pada pemberian berbagai macam

media pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, infus dan sebagainya, atau

menggunakan alat pernapasan buatan dan peralatan medis modern lainnya dalam waktu yang

cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan

pengobatannya itu tidak wajib dan tidak juga sunnah sebagaimana difatwakan oleh Syeikh

Yusuf Al-Qardhawi dalam Fatawa Mu’ashirahnya, bahkan mungkin kebalikannya yakni tidak

mengobatinya itulah yang wajib atau sunnah.

Dengan demikian memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini dalam kondisi

sudah tidak ada harapan yang sering diistilahkan dengan qatl ar-rahma (membiarkan

17

perjalanan menuju kematian karena belas kasihan), karena dalam kasus ini tidak didapati

tindakan aktif dari dokter maupun orang lain. Tetapi dokter ataupun orang terkait lainnya

dengan pasien hanya bersikap meninggalkan sesuatu yang hukumnya tidak wajib ataupun

tidak sunnah, sehingga tidak dapat dikenai sanksi hukuman menurut syari’ah maupun hukum

positif. Tindakan euthanasia pasif oleh dokter dalam kondisi seperti ini adalah jaiz (boleh) dan

dibenarkan syari’ah apabila keluarga pasien mengizinkannya demi meringankan penderitaan

dan beban pasien dan keluarganya.

Hal ini terkait dengan contoh kedua dari eutanasia aktif terdahulu yaitu menghentikan alat

pernapasan buatan dari pasien, yang menurut pandangan dokter ahli ia sudah “mati” atau

“dikategorikan telah mati” karena jaringan otak ataupun fungsi syaraf sebagai media hidup

dan merasakan telah rusak. Kalau yang dilakukan dokter tersebut semata-mata menghentikan

alat pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan.

Dengan demikian masalahnya sama seperti cara-cara eutanasia pasif lainnya. Karena itu,

eutanasia untuk seperti ini adalah bukan termasuk kategori eutanasia aktif yang diharamkan.

Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syari’ah dan tidak terlarang terutama bila

peralatan bantu medis tersebut hanya dipergunakan pasien sekadar untuk kehidupan lahiriah

yang tampak dalam pernapasan dan denyut nadi saja, padahal bila dilihat secara medis dari

segi aktivitas maka pasien tersebut sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat

mengerti sesuatu dan tidak merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai

sumber semua aktivitas hidup itu telah rusak.

18

Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan menghabiskan biaya dan tenaga

yang banyak serta memperpanjang tanggungan beban. Selain itu juga dapat menghalangi

pemanfaatan peralatan tersebut oleh pasien lain yang membutuhkannya. Di sisi lain, penderita

yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu

dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.

Umpan balik dari pembimbing

19

Bandar Lampung, 16 April 2013

TTD Dokter Pembimbing TTD Dokter Muda

Aulya Adha Dini

Idhar Trisna Damayanti

Kania Anindita Bustam

Dr. Handayani Dwi Utami, M. Kes Sp. F Jhon elfran Sihombing

Muhammad Dzikrifishofa

20