27
BAB I PENDAHULUAN Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami telah dapat menyelesaikan makalah hasil diskusi kasus ini tepat pada waktunya setelah menjalani diskusi kelompok terlebih dahulu. Diskusi tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 2011. dengan topik ”BAYI DENGAN PATAH TULANG KLAVIKULA”. Diskusi diikuti oleh 14 peserta, dengan ANDRIANUS S. D. sebagai ketua yang memimpin diskusi dan JUSTHESYA FITRIANI F.PUTRI sebagai sekretaris. Adapun sebagai tutor adalah dr. T. Winardi. Diskusi berlangsung pada pukul 12.00-14.00. Diskusi berjalan lancar dan waktu yang disediakan cukup untuk membahas topik tersebut. Selama diskusi berlangsung semua peserta berperan serta dalam membahas topik yang dibahas. akhirnya kami memperoleh kesimpulan dan makalah ini sebagai hasil diskusi. 1

KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat di sana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi. Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah terbentuk kalus. Kepada dokter A, mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan C karena telah lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.

Citation preview

Page 1: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

BAB I

PENDAHULUAN

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami telah dapat menyelesaikan

makalah hasil diskusi kasus ini tepat pada waktunya setelah menjalani diskusi

kelompok terlebih dahulu.

Diskusi tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 27 Oktober 2011. dengan

topik ”BAYI DENGAN PATAH TULANG KLAVIKULA”. Diskusi diikuti oleh

14 peserta, dengan ANDRIANUS S. D. sebagai ketua yang memimpin diskusi dan

JUSTHESYA FITRIANI F.PUTRI sebagai sekretaris. Adapun sebagai tutor adalah

dr. T. Winardi. Diskusi berlangsung pada pukul 12.00-14.00.

Diskusi berjalan lancar dan waktu yang disediakan cukup untuk membahas

topik tersebut. Selama diskusi berlangsung semua peserta berperan serta dalam

membahas topik yang dibahas. akhirnya kami memperoleh kesimpulan dan makalah

ini sebagai hasil diskusi.

1

Page 2: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

BAB II

KASUS

Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A,

seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter

obgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B

maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera

sewaktu lahir dan dirawat di sana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan

benjolan di pundak kanan bayi.

Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai

penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah

terbentuk kalus. Kepada dokter A, mereka meminta kepastian apakah benar terjadi

patah tulang tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah

tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena

telah mengakibatkan patah tulang dan C karena telah lalai tidak dapat

mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga

ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia

katakan.

2

Page 3: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

BAB III

DISKUSI KASUS

Kronologis Kasus

Bayi lahir di tangani oleh dokter B sebagai spesialis obgin dan di rawta oleh

dokter C yang merupakan spesialis anak. Beberapa hari kemudian orang tuanya

menemukan benjolan di daerah bahu kanan anaknya. Lalu orang tua pasien menemui

dokter A untuk memeriksa anaknya, ternyata dari hasil pemeriksaan radiologi

ditemukan fraktur klavikula kanan yang sudah membentuk kalus. Kemudian dokter A

menyarankan untuk kembali ke dokter B dan dokter C guna mencari tahu apa

penyebab dari fraktur ini. Jika diketahui dokter B dan dokter C bersalah, dokter A

menegur dan menjelaskan kesalahan mereka serta mengingatkan agar mereka lebih

berhati-hati untuk kedepannya.

Pada kasus kali ini, kelompok kami mendapatkan masalah mengenai etika

profesi kedokteran, dimana dokter melakukan tindakan malpraktek. Adapun

penjelasan mengenai malpraktek telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Prinsip moral yang dilanggar oleh dokter pada kasus ini adalah prinsip non-

maleficence, karena dokter B dan dokter C telah merugikan pasien akibat kelalaian

mereka.

Sedangkan hubungan dokter dengan teman sejawatnya pada kasus ini diatur

dalam KODEKI, sebagai berikut :

- Pasal 14 : Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana

ia sendiri ingin diperlakukan.

Umumnya masyarakat kita belum begitu memahami akan adanya hubungan

yang erat antara sesama dokter dan kadang-kadang melakukan sesuatu yang

mengandung sifat adu domba. Tidak jarang terjadi seorang pasien

mengunjungi 2 atau 3 dokter untuk mencari pertolongan, akhirnya memilih

dokter yang dalam ucapan dan perbuatannya cocok dengan apa yang

diinginkannya sendiri. Dengan sendirinya seorang dokter yang mengetahui

kejadian tersebut harus menasehati si pasien untuk tidak berbuat demikian,

karena merugikan kepentingannya sendiri dan dapat membahayakan

3

Page 4: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

kesehatannya. Jangan diberi kesempatan padanya untuk menjelekkan nama

Teman Sejawat yang lebih dahulu menolongnya.

Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam taraf

jabatannya, maka Teman Sejawat yang mengetahui hal tersebut wajib

menasehatinya. Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran,

asal disampaikan dalam suasana persaudaraan. Sarat utama ialah bahwa

pembicaraan demikian berlaku dibawah emapt mata. Jangan sekali-kali

bertindak menjatuhkan seorang sejawat dari kedudukannya dengan

mempergunakan tenaga-tenaga dari luar seperti ormas dan orpol. Sewaktu

berhadapan dengan pasien, maka seorang dokter tidak boleh memperlihatkan

bahwa ia tidak sepaham dengan teman sejawatnya dengan menyindir ataupun

dengan gerak-gerik yang berarti demikian. Untuk mengadakan dan

mempererat hubungan baik antara Teman Sejawat maka wajiblah :

1. Buat dokter yang baru menetap di suatu tempat, mengunjungi teman

sejawat yang telah ada disitu. Ini tidak perlu dilakukan di kota-kota

besar; tempat dimana banyak dokter yang berpraktek, cukup dengan

pemberitahuan tentang pembukaan praktek baru kepada para teman

sejawat yang tinggal berdekatan. Dianjurkan supaya memperkenalkan

diri kepada spesialis-spesialis yang mungkin akan dikonsultasi pada

hari kemudian.

2. Menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang setia dan aktif.

Dengan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan, maka

terlaksanakan kontak pribadi sehingga timbul harga-menghargai. Rasa

persaudaraan dan kolegialitas dapat berkembang.

3. Mengunjungi pertemuan klinik bila ada kesempatan. Dengan demikian

secara mudah dapat mengikuti apa yang terjadi dalam dunia Ilmu

Kedokteran.

Semua ini perlu. Dengan adanya hubungan baik antara teman sejawat

membawa manfaat tidak saja kepada dokter-dokter yang bersangkutan pribadi,

tetapi juga kepada para pasien umumnya yang mengharapkan perlakuan yan

menyenangkan.

4

Page 5: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

- Pasal 15 : Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman

sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang

etis.

Semua pekerjaan seorang dokter umum di Kota Besar berpusat di

kamar praktek, hanya dokter spesialis saja yang dapat mengobati pasiennya

dalam rumah sakit partikelir. Biasanya seseorang menyukai dokter tertentu

dan setia datang kepadanya. Tetapi lebih banyak jumlah mereka yang sering

berpindah dokter. Dokter yang menerima mereka seperti ini tidak dapat

dikatakan merebut pasien dari teman sejawat. Lain halnya, kalau diketahui

bahwa pasien untuk satu penyakit terlebih dulu telah mendapat pertolongan

dari dokter lain. Kepada penderita seperti itu diberitahukan akan bahaya

pengobatan 2x berturut-turut dan menasehatkan supaya kembali ke dokter

pertama. Sangat tercela menasehatkan pasien untuk menghentikan makan obat

dokter yang dikunjungi semula dan memperlakukannya sebagai pasien sendiri.

Tindakan malpraktek pada kasus ini dilakukan oleh 2 dokter, yaitu :

1. Dokter B, seorang dokter obgyn. Ia membantu proses persalinan seorang ibu

(duty), dimana saat anak telah lahir, dokter B tidak menemukan

kelainan/penyakit/cedera pada bayi (dereliction of the duty). Namun setelah

beberapa hari, ibu tersebut baru menemukan benjolan di pundak kanan bayi,

dan setelah berkonsultasi ke dokter A ditemukan bahwa benjolan tersebut

diakibatkan oleh fraktur klavikula yang kemungkinan besar merupakan trauma

lahir yang paling sering terjadi (damage). Trauma lahir ini dapat ditemukan

pada kelahiran letak kepala yang mengalami kesukaran pada waktu

melahirkan bahu atau sering pula ditemukan pada lahir letak sungsang dengan

tangan menjungkit ke atas(4). Dan akibat fraktur tersebut, sekarang sudah

terbentuk kalus yang merupakan penyebab langsung dari penyimpangan

kewajiban dokter tersebut (direct cause).

2. Dokter C, seorang dokter anak. Ia merawat seorang anak (duty). Tetapi ia lalai

karena tidak menemukan kelainan/penyakit/cedera pada anak tersebut

sehingga iapun tidak dapat mendiagnosisnya sebagai fraktur klavikula kanan

(dereliction of the duty) yang sekarang sudah terbentuk kalus (damage).

Akibatnya terjadi pertumbuhan tulang yang abnormal pada bayi tersebut

(direct cause)

5

Page 6: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

.

Dan dampak hukum yang diterima oleh kedua dokter pada kasus ini adalah

sebagai berikut :

1. Malpraktek

- Pasal 360 KUHP :

(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang

lain mendapatkan luka berat, diancam dengan pidana paling lama lima

tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang

lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,

diancam dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda

paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

- Pasal 55 UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan :

(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan.

- Pasal 1365 KUH Perdata :

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,

mengganti kerugian tersebut.

- Pasal 1366 KUH Perdata :

Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau

kurang hati-hatinya.

- Pasal 1367 KUH Perdata :

Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan

orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang

yang berada di bawah pengawasannya.

6

Page 7: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

- Pasal 1371 KUH Perdata :

Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau

karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain

penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang

disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai

menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.

2. Kelalaian Dokter

Melanggar Kode Etik Kedokteran

- Pasal 1 :

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah

Dokter.

- Pasal 2 :

Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang

tertinggi,

- Pasal 10 :

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup

makhluk insani

Kelompok kami menyimpulkan jalan keluar yang terbaik pada kasus ini

adalah sebagai berikut :

1. Tanya info lebih lanjut ke dokter B dan dokter C tentang cara kelahiran,

informed consent, dll

2. Menenangkan pasien dan tidak menjelek-jelekan teman sejawat (dokter B &

dokter C)

3. Kalau terbukti dokter B dan dokter C salah, dokter A wajib menegur dengan

suasana persaudaraan (terdapat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia

tentang Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat) dan mengingatkan untuk

lebih berhati-hati kedepannya dalam menjalankan tugas mereka sebagai

dokter.

4. Rujuk anak ke dokter spesialis bedah ortopedi anak

7

Page 8: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

5. Melaporkan masalah ini ke MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia)

Jika dari langkah-langkah diatas tidak ditemukan solusi, maka orangtua pasien berhak

mencari pengacara dan mengadukan ke polisi untuk mengenakan dokter B dan dokter

C sanksi pidana

8

Page 9: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Etika profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi

dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya

dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etika kedokteran muncul

dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya macam-macam,

tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-

370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam

berperilaku dan bersikap atau semacam code of conduct bagi dokter.

World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968

menghasilkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran International. Kode

Etik Kedokteran International berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap

pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,

Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik

Kedokteran International.

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya

suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas.

Penilaian baik buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan

pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Secara ringkas, terdapat dua

teori etika yang paling banyak dianut orang, yaitu teori Deontologi yang mengajarkan

bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri dan

lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya. Sedangkan teori

Teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya

atau akibatnya dan lebih berlandaskan ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran

(justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).

Etika profesi kedokteran sangat mempengaruhi jenis hubungan dokter-pasien,

sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau

rambu-rambu hubungan tersebut. Beauchamp and Chidress (1994) menguraikan

bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral

(moral principal) dan beberapa rules dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut

adalah :

9

Page 10: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

2. Prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,

terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral

inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent.

3. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang

ditujukan ke kebaikan pasien dan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat)

lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).

4. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang

memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non

nocere” atau “above all do no harm”.

5. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan

dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive

justice).

Sedangkan rules derivatnya, adalah sebagai berikut :

1. Veracity, yaitu berbicara benar, jujur dan terbuka (truthfull information).

2. Privacy, yaitu menghormati hak privasi pasien.

3. Confidentiality, yaitu menjaga kerahasiaan pasien.

4. Fidelity, yaitu kesetiaan untuk menjaga janji (loyalitas & promise keeping)

Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas yang harus dijadikan pedoman

dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran juga mengenal etika

profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of ethical conduct).

Sebagaimana diuraikan pada pendahuluan, nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di

dalam sumpah kedokteran dan kode etik kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu

“kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik

kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer-groupnya,

yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran

berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada dokter. Meskipun

kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dipaksakan

secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi “pemimpin” dari

kewajiban dalam hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum

yang etis.

Sebagaimana layaknya hubungan antara profesional dengan klien pada

umumnya, maka hubungan dokter – pasien juga mengikuti alternatif jenis hubungan

10

Page 11: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

yang sama. Pada awalnya hubungan dokter – pasien adalah hubungan yang bersifat

paternalistik dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Namun, sifat hubungan

paternalistik ini dinilai mengabaikan nilai otonomi pasien dan dianggap tidak sesuai

dengan perkembangan moral saat ini. Sehingga berkembanglah teori hubungan

kontraktual (sekitar tahun 1972 – 1975). Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya

pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga

memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan

kepada dokter. Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di

bidang politik. Veatch (1972) mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-

pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat

keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas

segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan

penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien.

Walaupun hubungan dokter – pasien ini bersifat kontraktual, namun

mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi

kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaat verbintennis) melainkan

upaya yang sungguh-sungguh (inspanning verbintennis). Hubungan kontrak semacam

ini harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu

standar atau benchmark tertentu.

Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai

hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih

hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi

hubungan dokter – pasien. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter – pasien

menjadi “peraturan” dan “kewajiban” saja, sehingga seorang dokter dianggap “baik”

bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules). Hubungan

kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan,

kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari

virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/keutamaan).

Pada hubungan dokter – pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa

hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak satupun

ketentuan yang ditentukan pada permulaan dapat menentukan masa depan. Baik

dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi

dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. Tentu saja

11

Page 12: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

komunikasi yang baik tersebut membutuhkan prinsip-prinsip moral di atas, termasuk

informed consent yang berasal dari prinsip autonomy.

Berdasarkan hubungan kontrak di atas munculah hak-hak pasien yang pada

dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu : The Rights to Health Care dan The Rights to Self

Determination. Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan

Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter

secara bebas, hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam mebuat keputusan klinis dan

etis, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang

adekuat, hak untuk bermartabat dan hak untuk menerima atau menolak dukungan

spiritual atau moral. Sedangkan pada UU Kesehatan menyebutkan beberapa hak

pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan

persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak untuk kerahasiaan, hak untuk

memperoleh pelayanan kesehatan dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila ia

dirugikan akibat kesalahan tenaga kesehatan.

Sedangkan hubungan dokter dengan teman sejawatnya diatur dalam Kode

Etik Kedokteran Indonesia Bab III Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawatnya

pasal 14, 15, 16 dan 17, sebagai berikut :

- Pasal 14 :

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin

diperlakukan.

- Pasal 15 :

Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali

dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

- Pasal 16 :

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

- Pasal 17 :

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran/kesehatan

12

Page 13: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

Malpraktek

Dalam beberapa tahun terakhir kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan

kelalaian medis ataupun malpraktek medis tercatat meningkat dibandingkan dengan

tahun-tahun sebelumnya. Kalangan kedokteran umumnya berpendapat bahwa

tingginya jumlah penuntutan hukum tidak berhubungan dengan kualitas layanan

kedokteran pada umumnya dan kompetensi para dokter yang memberikan pelayanan.

Bahkan mereka berpendapat bahwa motivasi finansial, pemberlakuan Undang-undang

Perlindungan Konsumen dan peranan para penasehat hukumlah yang lebih

bertanggung jawab atas peningkatan keberanian masyarakat untuk mengajukan

penuntutan hukum kepada dokter.

Sebenarnya, banyaknya kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga

melakukan kelalaian medik, apabila dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat

diharapkan berperan sebagai upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada

masyarakat. Namun di sisi lain, penuntutan tersebut dapat menimbulkan berbagai

dampak negatif.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional

misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional

services to exercise that degree of skill and learning commonly apllied under all the

circumstances in the communityby the average prudent reputable member of the

profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services

or to those entitled to rely upon them”.

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa

malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada

misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-

mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter.

Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional

lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam

pekerjaannya masing-masing. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang

melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu

yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada

suatu keadaan dan situasi yang sama.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis

menurut World Medical Association (1992), yaitu : “medical malpractice involves the

13

Page 14: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s

condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the

direct cause of an injury to the patient.”

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat

malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya

(unforeseeable) yang tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke

dalam pengertian malpraktek.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu :

1. Malfeasance, berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak

tepat/layak (unlawful atau improper). Misalnya, melakukan tindakan medis

tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah

improper)

2. Misfeasance, berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi

dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance). Misalnya,

melakukan tindakan medis yang menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance, berarti tidak melakukan tindakan medis yang merupakan

kewajiban baginya.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi

empat unsur di bawah ini, yaitu :

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis

atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu

pada situasi dan kondisi yang tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu

yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan

kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.

4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal

ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban

dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.

Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya

ke-empat unsur di atas dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan

maka gugatan tersebut dinilai tidak cukup bukti.

14

Page 15: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA

( KODEKI )

(S.K. P.B. IDI No:221/PB/A.4/04/2002)

Kewajiban Umum :

Pasal 1 :

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

Pasal 2 :

Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan

standar profesi yang tertinggi.

Pasal 3 :

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi

oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4 :

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5 :

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun

fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh

persetujuan pasien.

Pasal 6 :

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan

setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-

hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7 :

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa

sendiri kebenarannya.

15

Page 16: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

Pasal 7a :

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis

yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih

sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

Pasal 7b :

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan

sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki

kekurangan dalam karakter dan kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau

penggelapan, dalam menangani pasien.

Pasal 7c :

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak

tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Pasal 7d :

Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk

insani.

Pasal 8 :

Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan kepentingan

masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh

(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) serta berusaha menjadi pendidik dan

pengabdi masyarakat yang sebenarnya.

Pasal 9 :

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang

lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban dokter terhadap pasien:

Pasal 10 :

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan semua ilmu dan

keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan

suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk

pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

16

Page 17: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

Pasal 11 :

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat

berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam

masalah lainnya.

Pasal 12 :

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang

pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13 :

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih

mampu memberikan.

Kewajiban dokter terhadap teman sejawat:

Pasal 14 :

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin

diperlakukan.

Pasal 15 :

Seorang dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan

persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Pasal 16 :

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17 :

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kedokteran/kesehatan.

17

Page 18: KASUS Forensik Bayi dengan Patah Tulang Klavikula

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

1. Sampurna, Budi, dkk. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Cetakan kedua.

Jakarta. 2007.

2. Suhasim, H.R. Pengabdian Profesi dan Pengamalan Etika Kedokteran.

Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti. 1992.

3. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Yayasan Penerbit IDI. 1978.

4. Nelson, Waldo E. 1996. Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. vol 1. Jakarta : EGC

18