34
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung Laporan Kasus: Februari 2011 Oleh : Amelia Harsanti Divisi : Perinatologi Pembimbing : Prof. Dr. H. Abdurahman Sukadi, dr. SpA(K) Prof. Dr. H. Sjarif Hidajat Effendi, dr., SpA(K) Aris Primadi, dr., Sp.A(K), M.Kes Tetty Yuniati, dr., SpA(K), M. Kes Fiva Aprilia Kadi, dr., SpA, M.Kes Hari/Tanggal : Kamis, 24 Februari 2011 Laporan Kasus Fraktur Klavikula pada Persalinan Letak Kepala Fraktur klavikula dapat terjadi pada 3-18 dari 1000 kelahiran hidup. Faktor utama penyebab fraktur klavikula antara lain kesulitan melahirkan bahu pada persalinan letak kepala dan lengan yang tertahan pada persalinan letak sungsang. 1 Menurut literatur lain, fraktur klavikula dapat terjadi pada 2 dari 1000 hingga 35 dari 1000 kelahiran pervaginam. 2 Sumber lain menyatakan insidensi fraktur klavikula sekitar 0,4-2%. 3 Fraktur yang berhubungan dengan trauma lahir sering terjadi saat proses persalinan. Prevalensi fraktur berhubungan dengan banyak faktor antara lain faktor ibu, faktor janin, dan keahlian penolong persalinan. Trauma saat lahir sebagian besar akibat persalinan pervaginam yang sulit misalnya pada presentasi puncak kepala, lengan yang tertahan pada kelahiran sungsang, distokia bahu, dan penggunaan instrumen forsep dan ekstraksi vakum. 4 Beberapa faktor risiko pada cedera trauma lahir yaitu (a) jalan lahir yang kaku: primipara, multipara usia tua, malformasi 1

patah tulang klavikula kanan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

patah tulang

Citation preview

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS BandungLaporan Kasus: Februari 2011Oleh

: Amelia HarsantiDivisi

: PerinatologiPembimbing: Prof. Dr. H. Abdurahman Sukadi, dr. SpA(K) Prof. Dr. H. Sjarif Hidajat Effendi, dr., SpA(K) Aris Primadi, dr., Sp.A(K), M.Kes Tetty Yuniati, dr., SpA(K), M. Kes Fiva Aprilia Kadi, dr., SpA, M.KesHari/Tanggal: Kamis, 24 Februari 2011Laporan Kasus

Fraktur Klavikula pada Persalinan Letak Kepala Fraktur klavikula dapat terjadi pada 3-18 dari 1000 kelahiran hidup. Faktor utama penyebab fraktur klavikula antara lain kesulitan melahirkan bahu pada persalinan letak kepala dan lengan yang tertahan pada persalinan letak sungsang.1 Menurut literatur lain, fraktur klavikula dapat terjadi pada 2 dari 1000 hingga 35 dari 1000 kelahiran pervaginam.2 Sumber lain menyatakan insidensi fraktur klavikula sekitar 0,4-2%.3 Fraktur yang berhubungan dengan trauma lahir sering terjadi saat proses persalinan. Prevalensi fraktur berhubungan dengan banyak faktor antara lain faktor ibu, faktor janin, dan keahlian penolong persalinan. Trauma saat lahir sebagian besar akibat persalinan pervaginam yang sulit misalnya pada presentasi puncak kepala, lengan yang tertahan pada kelahiran sungsang, distokia bahu, dan penggunaan instrumen forsep dan ekstraksi vakum.4

Beberapa faktor risiko pada cedera trauma lahir yaitu (a) jalan lahir yang kaku: primipara, multipara usia tua, malformasi pelvis, (b) kegagalan adaptasi terhadap jalan lahir yang adekuat: letak sungsang, persalinan presipitasi, (c) bayi relatif besar terhadap jalan lahir: makrosomia, disproporsi sefalopelvik, distokia bahu, (d) presentasi abnormal: letak muka, letak lintang, (e) penggunaan ekstraksi vakum atau forsep, dan (f) prematuritas.5 Literatur lain mengemukakan faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko cedera lahir antara lain primipara, perawakan pendek pada ibu, kelainan pelvis ibu, partus lama atau terlalu cepat, oligohidramnion, kelainan presentasi janin, penggunaan forsep atau ekstraksi vakum, versi dan ekstraksi, berat badan lahir sangat rendah atau prematuritas, makrosomia atau makrosefal, dan kelainan pada janin.6 Faktor risiko fraktur pada bayi baru lahir antara lain letak sungsang, makrosomia, dan persalinan pervaginam.7 Fraktur klavikula pada bayi baru lahir merupakan cedera yang sering terjadi dan merupakan komplikasi dari persalinan per vaginam.5,6 Klavikula dapat mengalami fraktur pada saat membebaskan bahu pada distokia, dan beberapa penulis melaporkan fraktur klavikula juga dapat ditemukan pada persalinan dengan sectio caesaria. Dari berbagai laporan diduga terdapat hubungan antara terjadinya fraktur klavikula dengan persalinan operatif per vaginam, distokia bahu, kala II yang memanjang, dan berat badan bayi yang besar.6 Literatur lain menuliskan bahwa faktor risiko terjadinya fraktur klavikula pada persalinan pervaginam yaitu bayi besar, kurangnya pengalaman dari penolong persalinan, dan persalinan dengan forsep.5 Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai diagnosis, etiologi dan prognosis dari fraktur klavikula pada persalinan letak kepala dengan ekstraksi vakum atas indikasi partus lama dan ketuban pecah dini.Seorang bayi Ny. I, laki-laki, berusia 14 hari, datang ke Emergensi Anak RSHS pada tanggal 8 Februari 2011, dirujuk dari RSUD Garut dengan keluhan utama sesak napas, dan selanjutnya dirawat di ruang Perinatologi A1-3.Alloanamnesis (dari ibu penderita, dokter yang merawat di RSUD Garut)

Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit penderita tampak sesak napas yang semakin lama semakin bertambah sesak. Keluhan sesak napas disertai dengan kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari tangan dan kaki yang terutama tampak bila penderita menangis. Penderita tampak sering biru sejak sesaat setelah lahir. Keluhan sesak tidak disertai dengan bengkak pada kelopak mata maupun kedua tungkai. Keluhan juga tidak disertai panas badan, batuk pilek, muntah, mencret, kejang, maupun tampak tertidur dan sulit dibangunkan. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Penderita sejak lahir dirawat di bagian Perinatologi RSUD Dr. Slamet, Garut. Dirawat selama 14 hari. Selama perawatan penderita dipasang infus, selang oksigen, obat suntik yang diberikan melalui selang infus (cefotaxim iv), serta dipuasakan selama 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit karena sesak napas yang semakin berat. Karena penderita tampak sering kebiruan terutama bila menangis, saat diberi susu, atau bila selang oksigen dilepaskan dari penderita dan belum ada perbaikan akhirnya penderita dirujuk ke bagian anak RSHS. Selama perawatan di RSUD Garut ibu penderita tidak pernah sempat memberi ASI, karena menurut perawat yang bertugas, penderita baru saja diberi minum. Penderita lahir dari ibu P1A1 yang merasa hamil cukup bulan, ditolong dokter di RSUD dr, Slamet, Garut, letak kepala, ekstraksi vakum a.i partus lama dan ketuban pecah dini, tidak langsung menangis. Berat badan lahir 3150 gram, panjang badan lahir 51 cm. Riwayat ketuban pecah dini ada (9 jam sebelum penderita lahir). Riwayat ketuban berwarna kehijauan atau berbau tidak diketahui. Tiga jam sebelum ke RSUD Garut telah dipimpim persalinan oleh paraji selama 1 jam di rumah, namun tidak berhasil hingga akhirnya dirujuk ke RSUD dr. Slamet Garut. Saat dilahirkan menggunakan alat vakum di RSUD Garut, menurut penolong jarak kelahiran kepala dan bahu dikatakan langsung, kurang dari 60 detik. Selama hamil ibu penderita merasa sehat, kontrol teratur ke dokter kandungan 4x, bidan Posyandu 5x, satu bulan sekali mulai usia kehamilan 1 bulan hingga 9 bulan. Pernah di USG saat usia kehamilan 8 bulan di bidan. Selama kontrol kehamilan tidak pernah dikatakan memiliki panggul sempit. Selama hamil ibu penderita hanya minum obat-obatan yang diberikan dokter maupun bidan (vitamin dan zat besi), tidak merokok dan tidak minum alkohol. Riwayat penyakit kencing manis tidak ada, riwayat sakit berat selama hamil tidak ada, riwayat panas badan tinggi selama hamil tidak ada. Riwayat memelihara binatang peliharaan seperti kucing atau unggas selama hamil tidak ada. Anak pertama keguguran saat usia kandungan 1 bulan. Tiga bulan setelah keguguran ibu mulai mengandung penderita. Hari pertama haid terakhir tanggal 21/04/2010, taksiran persalinan tanggal 28 Januari 2011, penderita lahir tanggal 25 Januari 2011. Usia ibu saat melahirkan 20 tahun, tinggi badan ibu 142 cm. Sejak lahir penderita diberi susu formula selama perawatan di RSUD Garut dan belum pernah mendapatkan imunisasi.Riwayat Perawatan di RSHS:

Penderita telah dirawat di RSHS selama 1 hari. Pada saat datang ke Emergensi Anak RSHS (8/2/2011) penderita tampak sesak napas disertai kebiruan di sekitar mulut, tampak sakit berat, kurang aktif, sesak napas, dengan SpO2 80% (menggunakan Pulse Oxymetri), Downe Score 3. Pada saat datang berat badan 2600 gram, panjang badan 50,5 cm, lingkar kepala 33 cm. Pemeriksaan tanda vital mendapatkan nadi = HR 140-150 x/ menit, frekuensi napas 70 x/menit, suhu 37,0C. Pemeriksaan fisik pada kepala didapatkan ubun-ubun besar cekung, kelopak mata cekung, konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik, mukosa mulut dan lidah kering, sianosis perioral (+). Pada leher didapatkan retraksi suprasternal. Pada pemeriksaan dada ditemukan retraksi intercostal +/+, jantung ictus cordis tak tampak, teraba di ICS IV Linea Sternal Border, thrill (-), murmur tidak jelas, gallop (-), pada paru didapatkan bronkovesikular sound kiri=kanan, tidak ditemukan slem ataupun crackles. Pemeriksaan abdomen retraksi epigastrium (+), datar, lembut, bising usus (+) normal, hepar teraba 2 cm dibawah arcus costarum, tepi tajam, kenyal, permukaan rata, lien tidak teraba, turgor kurang. Pada ekstremitas didapatkan akrosianosis pada keempat ekstremitas, akral hangat, capillary refill 3 detik. Pada palpasi klavikula kanan didapatkan nyeri tekan. Refleks Moro asimetris. Pemeriksaan penunjang menunjukkan Lekositosis, pada morfologi darah tepi ditemukan hipersegmentasi (+), granula toksik (+). Pada toraks foto ditemukan kemungkinan CHD belum dapat disingkirkan, tidak ada kardiomegali. Pada EKG didapatkan irama sinus, RVH, LVH. Selama perawatan penderita telah mendapatkan rehidrasi Cairan KaEN3B 500cc dalam 24 jam, Infus kebutuhan cairan restriksi 80%, Aminofuchsin 5% 1,7 g/kgBB/hari, Ampisilin 3 x 130 mg iv, Cefotaxim 3 x 130 mg iv, koreksi hiponatremia 13 meq dalam 24 jam, dan dilakukan Echocardiografi.Diskusi

Dalam laporan kasus ini akan dibahas mengenai penegakan diagnosis, etiologi, serta prognosis dari penderita. Penderita datang ke Emergensi Anak RSHS dengan keluhan utama sesak napas. Dari anamnesis diketahui bahwa penderita mengalami sesak napas yang semakin bertambah sesak sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit disertai kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari terutama bila penderita menangis. Penderita sebelumnya telah dirawat di bagian Perinatologi RSUD Dr. Slamet Garut sejak lahir hingga usia 14 hari. Dari surat rujukan diketahui penderita memiliki penyakit jantung bawaan tipe sianotik dan terdapat fraktur pada klavikula kanan yang diduga merupakan trauma jalan lahir saat persalinan. Dari hasil rontgen ulang di Emergensi Anak RSHS tampak jelas adanya fraktur di daerah klavikula 1/3 tengah. Penderita lalu dikonsulkan ke Bagian Bedah Ortopedi dan Trauma saat masih di Emergensi Anak. Klavikula dapat mengalami fraktur pada saat membebaskan bahu pada distokia, dan beberapa penulis melaporkan fraktur klavikula juga dapat ditemukan pada persalinan dengan sectio caesaria. Dari berbagai laporan diduga terdapat hubungan antara terjadinya fraktur klavikula dengan persalinan operatif per vaginam, distokia bahu, kala II yang memanjang, dan berat badan bayi yang besar.6 Literatur lain menuliskan bahwa faktor risiko terjadinya fraktur klavikula pada persalinan pervaginam yaitu bayi besar, kurangnya pengalaman dari penolong persalinan, dan persalinan dengan forsep.5 Fraktur klavikula dapat didiagnosis melalui palpasi pada kavikula untuk mencari spongy mass pada daerah sekitar lokasi fraktur. Radiograf biasanya akan mengkonfirmasi diagnosis fraktur displaced.7 Bila gambaran radiograf normal, Ultrasonografi (USG) dapat mendeteksi fraktur klavikula dengan gambaran berupa interupsi daerah hiperekhoik pada klavikula.8 Penderita ini didiagnosis fraktur klavikula tertutup 1/3 tengah, displaced, berdasarkan hasil pemeriksaan bedah ortopedi ditemukan adanya deformitas pada daerah klavikula kanan dan gerakan lengan kanan yang terbatas karena nyeri serta dari hasil gambaran rontgen ditemukan diskontinuitas klavikula kanan. Komplikasi dari fraktur klavikula dapat terjadi cedera pleksus brakhialis.9-11 Kelumpuhan pleksus brakhialis yang paling sering ditemukan adalah Erbs palsy (kelumpuhan pleksus brakhialis setinggi C5 dan C6) yang ditandai gejala waiters tip appearance pada lengan dan tangan berupa rotasi internal bahu, ekstensi sendi siku, pronasi lengan bawah dan fleksi pada pergelangan tangan.7 Pada penderita tidak ditemukan gambaran tersebut. Mekanisme terjadinya fraktur klavikula paling sering disebabkan adanya distokia bahu. Definisi obyektif dari distokia bahu adalah adanya keterlambatan lahir antara kepala dan badan selama lebih atau sama dengan 60 detik.6 Pada distokia bahu terdapat kesulitan melahirkan bahu. Pada sebagian besar kasus, bahu anterior tertahan di belakang simfisis pubis, namun pada kasus yang berat dapat pula terjadi impaksi bahu posterior di atas promontorium sacrum.9,10 Insidensi distokia bahu bervariasi tergantung berat lahir bayi, terjadi sekitar 0,6-1,4% pada kelahiran dengan berat badan lahir 2500-4000 gram. Pada bayi dengan berat badan 4000-4500 gram insidensi distokia bahu meningkat menjadi 59%.12 Pada penderita ini jarak antara kelahiran kepala dan kelahiran bahu dikatakan langsung, kurang dari 60 detik. Sehingga kemungkinan adanya distokia bahu dapat disingkirkan.

Disproporsi sefalopelvik merupakan salah satu faktor risiko terjadinya trauma lahir.2 Perawakan pendek ibu juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya trauma lahir.3 Wanita dengan tinggi badan kurang dari 150 cm dapat dicurigai adanya kesempitan panggul.13 Kesempitan panggul dapat diketahui melalui pemeriksaan panggul secara manual atau dengan pelvimetri secara radiologis.13 Ibu penderita memiliki tinggi badan 142 cm. Selama hamil belum pernah dikatakan memiliki kesempitan panggul. Riwayat pemeriksaan panggul secara manual tidak diketahui dan selama kehamilan belum pernah dirontgen panggul. Sehingga kemungkinan adanya disproporsi sefalopelvik akibat panggul ibu yang sempit belum dapat disingkirkan sebagai penyebab terjadinya fraktur klavikula pada penderita.

Sesak napas adalah salah satu manifestasi klinis yang menandakan adanya distress pernapasan pada neonatus yang didefinisikan sebagai kecepatan respirasi lebih dari 60 kali per menit, sesak napas, tarikan dinding dada di daerah interkostal dan subkostal, retraksi sterna, serta adanya predominan pola pernapasan tipe diafragmatik.14 Literatur lain menyatakan distress pernapasan pada bayi baru lahir ditandai satu atau lebih dari gejala: pernafasan cuping hidung, retraksi dinding dada, takipnea, dan bunyi napas merintih.15 Penyebab distress pernapasan pada bayi baru lahir dapat diklasifikasikan menjadi:161. Penyebab yang mempengaruhi pernapasan pada tingkat alveolar: HMD, pneumonia, Meconium Aspiration Syndrome (MAS), pneumotoraks, perdarahan pulmoner, PPHN, TTN

2. Kelainan struktur saluran napas: atresia khoana, fistula trakheo-esofageal, hernia diafragmatika kongenital, emfisema lobaris kongenital3. Penyebab ekstrapulmonal: defek tulang dinding dada, penyakit jantung kongenital, asidosis metabolik Sesak napas pada penderita pada awalnya diduga berasal dari pneumonia. Namun dengan adanya sianosis pada bibir dan ujung-ujung jari, kemungkinan adanya penyakit jantung bawaan sianotik sebagai penyebab sesak napas perlu dipertimbangkan. Pneumonia merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada neonatus, dapat disebabkan oleh infeksi saat antenatal, perinatal atau postnatal. Gambaran pneumonia dapat berbeda-beda pada bayi, termasuk segala bentuk distress pernapasan, letargis, malas menetek, ikterik, atau apnea. Kadang disertai ketidakstabilan suhu. Gambaran radiografi dada tergantung penyebab pneumonia. Konsolidasi bilateral (berwarna putih) sering dihubungkan dengan infeksi in utero. Pneumonia streptococcus grup B memiliki gambaran rontgen menyerupai HMD yaitu gambaranretikular dengan air bronchogram. Setiap neonatus yang dicurigai pneumonia perlu diberikan antibiotik hingga diagnosis pneumonia atau sepsis disingkirkan.15 Distres pernapasan yang disebabkan penyakit jantung bawaan dapat disertai sianosis atau tanda-tanda gagal jantung. Beberapa penyakit jantung bawaan yang dapat menyebabkan distress pernapasan yaitu:15a. Tipe sianotik: Transposisi arteri besar, Total anomalous pulmonary venous return (TAPVR), anomaly Ebstein, atresia trikuspid, stenosis pulmonal, Tetralogy of Fallot, gagal jantung kongesti yang berat.b. Tipe asianotik: Sindrom hipoplastik jantung kiri, Interrupted Aortic Arch, koarktasio aorta, Patent Ductus Arteriosus. Tanda-tanda yang menunjukkan adanya penyakit jantung bawaan: adanya hiperaktivitas impuls prekordial yang dapat dilihat pada dinding dada, irama gallop, capillary refill yang buruk, nadi lemah, hepatomegali, vaskularisasi abnormal pada gambaran radiografi dada. Bayi dengan penyakit jantung sianotik biasanya tidak menunjukkan retraksi dinding dada yang berat. Saturasi oksigen biasanya rendah.15

Pada penderita, kemungkinan distress pernapasan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik.Beberapa hal yang mendukung diagnosis ini yaitu pada saat datang ke UGD, keadaan umum penderita tampak kurang aktif, sesak, sianosis, dengan frekuensi pernapasan 70x/menit dan saturasi oksigen hanya 80%. Pada pemeriksaan fisik ditemukan retraksi suprasternal, interkostal, dan epigastrium. Pada pemeriksaan jantung didapatkan bunyi murmur tidak begitu jelas, pemeriksaan paru-paru tidak ditemukan adanya slem ataupun crackles. Pada ekstremitas ditemukan sianosis pada ujung-ujung jari. Pada gambaran rontgen dada ditemukan gambaran jantung berupa kardiomegali dengan CTR 59% dan tidak ditemukan gambaran bronkopneumonia. Pada EKG ditemukan kesan sinus takikardi, gangguan konduksi BBB, Left Ventricle Hypertrophy, dan Right Ventricle Hypertrophy. Selama pemantauan di ruangan, distres pernapasan cepat mengalami perbaikan, ditandai dengan frekuensi pernapasan < 60x/menit pada hari perawatan ke-3, dan retraksi intercostal menghilang pada hari perawatan ke-4. Pada distress pernapasan karena pneumonia retraksi dinding dada akan lebih berat, seringkali disertai demam tinggi, dan ditemukan slem dan atau crackles pada pemeriksaan paru-paru dengan auskultasi. Gambaran rontgen dada dapat ditemukan konsolidasi pada parenkim paru, dan tidak ada kardiomegali.15 Sepsis awitan lanjut terjadi pada usia 8-90 hari pada bayi baru lahir. Sepsis awitan lanjut dapat dibagi menjadi dua: penyakit terjadi pada bayi sehat yang tinggal di komunitas dan penyakit yang mengenai bayi prematur yang dirawat di NICU (nosokomial, hospital acquired sepsis).17 Sepsis awitan lanjut biasanya tidak berhubungan dengan komplikasi obstetrik dini.18 Pada bayi aterm, sepsis awitan lanjut biasanya ditandai demam atau ketidak stabilan suhu, dapat disertai atau tanpa malas menetek, letargis, iritabilitas, perubahan tonus otot. Pada kulit ditemukan perfusi perifer yang buruk, sianosis, mottling, pucat, petekie,rash, sklerema, atau ikterik. Problem feeding, berupa intoleransi terhadap minum yang diberikan, muntah, diare, distensi abdomen. Gejala kardiopulmonal berupa takipnea, distress pernapasan, apnea, takikardia, atau hipotensi. Gejala metabolik berupa: hipoglikemi, hiperglikemi, asidosis metabolik. Adanya infeksi lokal berupa selulitis, impetigo, abses jaringan lunak, omfalitis, konjungtivitis, otitis media, meningitis, atau osteomielitis.17,18 Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan kultur darah bakterial positif, netropenia, ditemukan bentuk lekosit imatur. Rasio batang terhadap segmen >0,3 atau rasio batang terhadap seluruh PMN >0,1 merupakan nilai prediktif yang baik untuk menduga adanya sepsis. Adanya peningkatan reaktan fase akut, salah satunya CRP (C-reactive protein) menandakan adanya proses inflamasi yang disebabkan oleh infeksi atau tissue injury.18 Diagnosis sepsis awitan lanjut pada penderita ini terbukti dengan adanya riwayat perawatan lama di rumah sakit Garut sejak penderita lahir hingga usia 14 hari, sehingga dugaan adanya infeksi nosokomial sangat kuat. Pada hari perawatan ke-2 penderita tampak letargis, dan selama perawatan didapatkan ketidakstabilan suhu (36,5-38,9C) disertai takipnea. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan lekositosis, ditemukan sel batang pada hitung jenis lekosit, CRP meningkat, dan pada kultur ditemukan bakteri Enterobacter cloacae. Pemeriksaan lumbal pungsi pada penderita telah diupayakan, namun hasilnya dry tap. Saat akan diulang, orang tua penderita menolak. Transposisi arteri besar (TGA) pada 5-7% dari seluruh penyakit jantung bawaan. Lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:1.19,20 Pada d-TGA aorta keluar dari ventrikel kanan membawa darah desaturasi ke seluruh tubuh, dan arteri pulmonal keluar dari ventrikel kiri membawa darah teroksigenasi kembali ke paru-paru. Akibatnya akan terjadi pemisahan sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik.19,21,22 Agar dapat bertahan hidup, defek yang memungkinkan terjadinya percampuran kedua sirkulasi harus dipertahankan, seperti ASD, VSD, dan PDA.19,21 Neonatus dengan d-TGA sebagian besar ukuran tubuhnya sesuai dengan masa kehamilan. Sianosis terjadi segera setelah lahir; bantalan kuku dan membran mukosa merupakan lokasi tersering untuk mendeteksi adanya sianosis. Jika terdapat ASD, VSD atau PDA, percampuran darah akan terjadi, sehingga sianosis akan tampak lebih lambat. Lama-kelamaan akan timbul takipnea dan distress pernapasan.22 Bila terdapat PDA, nadi dapat normal atau sedikit meningkat.7 Pada penderita denganTGA, bunyi jantung ke-2 (S2) keras dan tunggal. Tidak didapatkan murmur, atau murmur ejeksi sistolik derajat I-II/6 di daerah left midsternal border.19,20,22

Pada EKG ditemukan QRS aksis lebih ke kanan (+90 hingga +200), Right Ventricular Hypertrophy (RVH), Biventricular Hypertrophy (BVH) bila terdapat VSD besar, PDA, atau penyakit obstruktif vaskuler paru yang menimbulkan gambaran LVH. Kadang ditemukan Right Atrial Hypertrophy (RAH).19,20 Pada rontgen dada ditemukan kardiomegali dengan peningkatan vaskularisasi paru. Gambaran khas yaitu bentuk jantung seperti telur (egg-shaped cardiac silhouette).19,20,22 Echocardiografi merupakan uji diagnostik standar. Pada echocardiografi ditemukan bifurkasio arteri besar posterior (arteri pulmonalis) keluar dari ventrikel kiri, dan di anterior pembuluh tanpa percabangan yang diidentifikasi sebagai aorta keluar dari ventrikel kanan. Pada echocardiografi perlu dicari adanya PFO, ASD, VSD, PDA dan stenosis pulmonal.20,22 Diagnosis TGA-PDA kecil + PFO ditegakkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya sesak napas disertai kebiruan di sekitar mulut dan ujung-ujung jari yang terlihat sesaat setelah penderita lahir, yang semakin bertambah terutama bila penderita menangis. Sianosis tidak mengalami perbaikan meskipun penderita telah mendapat terapi oksigen. Keadaan umum penderita tampak sesak, sianotik, saturasi oksigen hanya 80%. Pada tanda vital didapatkan takipnea. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis perioral. Pada pemeriksaan jantung tidak ditemukan bunyi murmur. Pada ekstremitas ditemukan sianosis pada ujung-ujung jari tangan dan kaki. Pada pemeriksaan penunjang rontgen dada ditemukan egg-shaped cardiac silhouette dengan corakan vaskuler yang bertambah. Pada EKG ditemukan sinus takikardi, RVH, LVH. Dan dari hasil echocardiografi ditemukan kesan Simple Transposition of the Great Arteries (TGA), Restrictive Persistent Foramen Ovale (PFO), Small Patent Ductus Arteriosus (PDA).

Diagnosis dehidrasi ec intake ditegakkan berdasarkan anamnesis bahwa penderita telah dipuasakan selama 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Tidak didapatkan riwayat muntah ataupun mencret. Pada pemeriksaan di Emergensi anak didapatkan BB penderita 2600 gram, namun BB terakhir saat dirawat di RSUD Garut tidak diketahui. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ubun-ubun besar cekung, kelopak mata cekung, dan mukosa mulut dan lidah kering, serta turgor kulit yang kembali lambat.

Prognosis quo ad vitam pada penderita ini ad malam. Berdasarkan adanya distress pernapasan disertai sianosis, adanya TGA dengan PDA kecil yang hampir menutup, serta diperberat adanya sepsis awitan lanjut menyebabkan kebutuhan oksigen semakin meningkat untuk mempertahankan oksigenasi jaringan. Tanpa tindakan segera untuk mempertahankan PDA tetap terbuka dan dilakukan pemasangan balloon atrial septostomy atau operasi pertukaran arterial segera penderita tidak akan bertahan hidup lama. Pada follow up setelah penderita pulang paksa, penderita meninggal dunia 3 hari setelah pulang paksa. Prognosis quo ad functionam pada penderita ini ad malam, karena dengan adanya TGA dengan PDA kecil yang hampir menutup, menyebabkan fungsi jantung dan paru tidak optimal. Paru-paru tidak dapat menyediakan darah yang teroksigenasi ke seluruh tubuh, demikian pula dengan fungsi jantung yang memompakan darah hipoksemik ke seluruh tubuh. Akibatnya kebutuhan jaringan otak, ginjal, hati, saluran cerna terhadap oksigen untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik tidak terpenuhi, sehingga akan berujung pada terjadinya kegagalan fungsi organ. Untuk prognosis fraktur klavikula pada penderita ini quo ad functionam ad bonam, karena dengan terapi konservatif fraktur klavikula dapat mengalami penyembuhan secara spontan dalam waktu 7-10 hari.7DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams obstetrics. Edisi ke-23. New York: Mc Graw Hill; 2010. h. 605-392. Taeusch HW. Orthopedic conditions. Dalam: Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, Avery ME, editor. Averys diseases of the newborn. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier-Saunders; 2005. h. 1423-36.

3. Beall MH, Ross MG. Clavicle fracture in labor: risk factors and associated morbidities. J Perinatol. 2001; 21: 513-5.

4. Nasab SAM, Vaziri S, Arti HR, Najafi R. Incidence and associated risk factors of birth fractures in the newborn. Pak J Med Sci. 2011;27(1): 142-4.

5. Rosenberg AA. Traumatic birth injury. Neoreviews. 2003; 4: e270-e276.

6. Abdulhayoglu E. Birth Trauma. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editor. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 228-43

7. Sankar WN, Weiss J, Skaggs DL. Orthopaedic conditions in the newborn. J Am Acad Orthop Surg. 2009; 17: 112-22.8. Kayser R, Mahlfiled K, Heyde C, Grasshoff H. Ultrasonographic imaging of fractures of the clavicle in newborn infants. J Bone Joint Surg. 2003;85(1): 115-6.

9. Abubakar AM, Askegard-Glesmann JR, Kenney BD. Birth Injuries. [diunduh 12 Februari 2011]. Tersedia dari URL: http://www.global-help.org/publications/books/help_pedsurgeryafrica35.pdf10. Kwek K, Yeo GSH. Shoulder distocia and injuries: prevention and management. Curr Opin Obstet Gynecol. 2006;18:123-8.

11. Zhang N, Gonik B, Grimm MJ. Development of madymo model to investigate fetal brachial plexus injury during complicated vaginal delivery.Summer Bioenginering Conference; 2003 June 25-29;Sonesta Beach Resort, Florida. USA; 2003.12. Athukorala C, Middleton P, Crowther CA. Intrapartum interventions for preventing shoulder distocia (review). Cochrane Database of Systematic Reviews. [online serial] 2009. [diunduh 12 Februari 2011]; 4. Tersedia dari: http://www.thecochranelibrary.com13. Aflah N. Ukuran panggul pada pasien pasca seksio sesarea atas indikasi panggul sempit. [Tesis]. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2009.14. Kumar A, Bhatnagar V. Respiratory distress in neonates. Indian J Pediatr. 2005; 72(5): 425-8.

15. Aly H. Respiratory disorders in the newborn: identification and diagnosis. Pediatr Rev. 2004;25: 201-8.

16. Diwakar KK. Clinical approach to respiratory distress in newborn. Indian J Pediatr. 2003;70: S53-S59.

17. Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR, editor. Manual of neonatal care. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 274-300.

18. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology: management, procedures, on-call problems, diseases, and drugs. Edisi ke-6. New York: Mc Graw Hill; 2009. h. 665-72.

19. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. h. 219-34.

20. Grifka RG. Cyanotic congenital heart disease with increased pulmonary blood flow. Pediatr Clin North Am. 1999; 46(2): 405-25.21. Roebiono PS. Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawaan. [Diunduh 12 Februari 2011]. Tersedia dari URL: http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/68321669235fd5a14595241e85893e6bbb8907f2.pdf22. Rao PS. Transposition of the great arteries in the neonate. Congenital cardiology today. 2010; 8(8): 1-9.

1