Upload
agitto-purnawan
View
149
Download
3
Embed Size (px)
FRAKTUR KLAVIKULA
A. Pengertian
Fraktur klavikula (tulang kolar) merupakan cedera yang sering terjadi akibat
jatuh atau hantaman langsung ke bahu. Lebih dari 80% fraktur ini terjadi pada
sepertiga tengah atau proksimal klavikula. Tulang merupakan alat penopang dan
sebagai pelindung pada tubuh. Tanpa tulang tubuh tidak akan tegak berdiri. Fungsi
tulang dapat diklasifikasikan sebagai aspek mekanikal maupun aspek fisiologikal.
Dari aspek mekanikal, tulang membina rangka tubuh badan dan memberikan
sokongan yang kokoh terhadap tubuh. Sedangkan dari dari aspek fisiologikal t ulang
melindungi organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru dan lainnya. Tulang juga
menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan plasma. Selain itu tulang sebagai
tempat penyimpanan kalsium, fosfat, dan garam magnesium. Namun karena tulang
bersifat relatif rapuh, pada keadaan tertentu tulang dapat mengalami patah,
sehingga menyebabkan gangguan fungsi tulang terutama pada pergerakan.
B. Klasifikasi
1. Klasifikasi patah tulang secara umum adalah :
a. Fraktur lengkap Adalah patah atau diskontinuitas jaringan tulang yang
luas sehingga tulang terbagi menjadi dua bagian dan garis
patahnya menyeberang dari satu sisi ke sisi lain.
b. Fraktur tidak lengkap Adalah patah atau diskontinuitas jaringan
tulang dengan garis patah tidak menyeberang, sehingga tidak mengenai
korteks (masih ada korteks yang utuh).
2. Menurut Black dan Matassarin (1993) yaitu fraktur berdasarkan
hubungan dengan dunia luar, meliputi:
a. Fraktur tertutup yaitu fraktur tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh,
tulang tidak menonjol melalui kulit.
b. Fraktur terbuka yaitu fraktur yang merusak jaringan kulit, karena
adanya hubungan dengan lingkungan luar, maka fraktur terbuka
potensial terjadi infeksi.
3. Lokasi patah tulang pada klavikula diklasifikasikan menurut Dr. FL Allman
tahun 1967 dan dimodifikasi oleh Neer pada tahun 1968, yang membagi
patah tulang klavikula menjadi 3 kelompok:
a. Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3 tengah klavikula)
- Fraktur pada bagian tengah clavicula.
- Lokasi yang paling sering terjadi fraktur, paling banyak ditemui.
1
- Terjadi di medial ligament korako-klavikula (antara medial dan
1/3 lateral)
- Mekanisme trauma berupa trauma langsung atau tak langsung
(dari lateral bahu)
b. Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula
Fraktur klavikula lateral dan ligament korako-kiavikula, dapat
dibagi:
- type 1: undisplaced jika ligament
intak
- type 2: displaced jika ligamen korako-kiavikula
ruptur.
- type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.
c. Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal clavicula.
Fraktur yang paling jarang terjadi dari semua jenis fraktur clavicula,
insidensnya hanya sekitar 5%. Mekanisme trauma dapat beruma
trauma langsung dan tak langsung pada bagian lateral bahu yang
dapat menekan klavikula ke sternum. Jatuh dengan tangan terkadang
dalam posisi abduksi.
C. Etiologi
Penyebab farktur klavikula biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu akibat
kecelakaan apakah itu karena jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor, namun
kadang dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non traumatik. Berikut beberapa
penyebab pada fraktur klavikula yaitu :
1. Fraktur klavikula pada bayi baru lahir akibat tekanan pada bahu oleh
simphisis pubis selama proses melahirkan. Fraktur tulang humerus umumnya
terjadi pada kelahiran letak sungsang dengan tangan menjungkit ke atas.
Kesukaran melahirkan tangan yang menjungkit merupakan penyebab
terjadinya tulang humerus yang fraktur. Pada kelahiran presentasi kepala
dapat pula ditemukan fraktur ini, jika ditemukan ada tekanan keras dan
langsung pada tulang humerus oleh tulang pelvis. Jenis frakturnya berupa
greenstick atau fraktur total. Fraktur menurut Strek,1999 terjadi paling
sering sekunder akibat kesulitan pelahiran (misalnya makrosemia dan
disproporsi sefalopelvik, serta malpresentasi).
2
2. Fraktur klavikula akibat kecelakaan termasuk kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang lainnya.
3. Fraktur klavikula akibat kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama,
misalnya pada pelajar yang menggunakan tas yang terlalu berat.
4. Fraktur klavikula akibat proses patologik, misalnya pada pasien
post radioterapi, keganasan clan lain-lain.
Menurut sejarah fraktur pada klavikula merupakan cedera yang sering terjadi
akibat jatuh dengan posisi lengan terputar/tertarik keluar (outstreched hand) dimana
trauma dilanjutkan dari pergelangan tangan sampai klavikula, namun baru-baru ini
telah diungkapkan bahwa sebenarnya mekanisme secara umum patah tulang
klavikula adalah hantaman langsung ke bahu atau adanya tekanan yang keras ke
bahu akibat jatuh atau terkena pukulan benda keras. Data ini dikemukankan oleh
Nowak et a,l Nordqvist dan Peterson.
Patah tulang klavikula karena jatuh dengan posisi lengan tertarik keluar
(outstreched hand) hanya 6% terjadi pada kasus, sedangkan yang lainnya karena
trauma bahu. Kasus patah tulang ini ditemukan sekitar 70% adalah hasil dari
trauma dari kecelakaan lalu lintas. Kasus patah tulang klavikula termasuk kasus
yang paling sering dijumpai. Pada anak-anak sekitar 10-16 % dari semua kejadian
patah tulang, sedangkan pada orang dewasa sekitar 2,6-5%.
D. Patofisiologi
Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan selama
perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6. Tulang klavikula, tulang humerus bagian
proksimal dan tulang skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula
juga membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax. Tulang ini
membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke belakang thorax. Pada bagian
proksimal tulang clavikula bergabung dengan sternum disebut sebagai sambungan
sternoclavicular (SC). Pada bagian distal klavikula bergabung dengan acromion
dari skapula membentuk sambungan acromioclavicular (AC).
Patah tulang klavikula pada umumnya mudah untuk dikenali dikarenakan
tulang klavikula adalah tulang yang terletak dibawak kulit (subcutaneus) dan
tempatnya relatif di depan. Karena posisinya yang teletak dibawah kulit maka
tulang ini sangat rawan sekali untuk patah. Patah tulang klavikula terjadi akibat dari
tekanan yang kuat atau hantaman yang keras ke bahu. Energi tinggi yang menekan
bahu ataupun pukulan langsung pada tulang akan menyebabkan fraktur.
Fraktur klavikula paling sering disebabkan oleh karena mekanisme kompressi
atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan yang melebihi kekuatan tulang 3
tersebut dimana arahnya dari lateral bahu apakah itu karena jatuh, keeelakaan
olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor.
Pada daerah tengah tulang klavikula tidak di perkuat oleh otot ataupun
ligament-ligament seperti pada daerah distal dan proksimal klavikula. Klavikula
bagian tengah juga merupakan transition point antara bagian lateral dan bagian
medial. Hal ini yang menjelaskan kenapa pada daerah ini paling sering terjadi
fraktur dibandingkan daerah distal ataupun proksimal.
4
E. Pathway Fraktur Klavikula
5
Trauma langsung
Trauma Tidak Langsung
Kondisi Patologis
Fraktur
Pergeseran Fragmen Tulang Nyeri
Diskontinuitas Tulang
Perubahan Jaringan Sekitar
Spasme otot
Peningkatan tekanan kapiler
Pelepasan histamin
edema
Intoleransi Aktivitas
Laserasi
Kerusakan
Integritas
Pergeseran Fragmen Tulang
Deformitas
Gangguan Mobilitas
F. Tanda dan Gejala
Pasien dengan fraktur clavicula biasanya didasari dari mekanisme kecelakaan
dan lokasi adanya ekimosis, deformitas, ataupun krepitasi. Pasien biasanya
mengeluh nyeri setelah terjadinya kecelakaan tersebut dan sulit untuk mengangkat
lengan atau bahu. Fraktur pada bagian tengah clavicula, pada inspeksi bahu
biasanya asimetris, agak jatuh kebawah, lebih ke depan ataupun lebih ke posterior.
Tanda dan gejala dapat dilihat berdasarkan anamnesis misalnya apakah ada riwayat
trauma, dan pemeriksaan fisik bisa kita dapatkan pembengkakan daerah klavikula atau
aberasi, dan akan lebih mudah terlihat pada fraktur terbuka.
Pasien merasakan rasa sakit bahu dan diperparah dengan setiap gerakan
lengan. Pada pemeriksaan fisik pasien akan terasa nyeri tekan pada daerah fraktur
dan kadang-kadang terdengar krepitasi pada setiap gerakan. Dapat juga terlihat
kulit yang menonjol akibat desakan dari fragmen patah tulang. Pembengkakan
lokal akan terlihat disertai perubahan warna lokal pada kulit sebagai akibat trauma dan
gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur. Untuk memperjelas dan menegakkan
diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi
yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari
karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus
atas dasar. Indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca
sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a. Bayangan jaringan lunak.
b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
6
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
3. Pemeriksaan lain-lain
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
f. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada fraktur clavicula ada dua pilihan yaitu dengan tindakan
bedah atau operative treatment dan tindakan non bedah atau nonoperative
treatment. Tujuan dari penanganan ini adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari
patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk menjaga agar
mereka tetap menempel sebagaimana mestinya sehingga tidak terjadi deformitas
dan proses penyembuhan tulang yang mengalami fraktur lebih cepat.
Proses penyembuhan pada fraktur clavicula memerlukan waktu yang cukup
lama.Penanganan nonoperative dilakukan dengan pemasangan saling selama 6
minggu. Selama masa ini pasien harus membatasi pergerakan bahu, siku dan
tangan. Setelah sembuh, tulang yang mengalami fraktur biasanya kuat dan kembali
berfungsi. Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk membatasi
pergerakan. atau mobilisasi pada tulang untuk mempercepat penyembuhan. Patch
tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (immobilisasi). Imobilisasi bisa
dilakukan melalui:
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
7
b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar
tulang yang patah Modifikasi spika bahu (gips klavikula) atau balutan
berbentuk angka delapan atau strap klavikula dapat digunakan untuk
mereduksi fraktur ini, menarik bahu ke belakang, dan mempertahankan
dalam posisi ini. Bila dipergunakan strap klavikula, ketiak harus diberi
bantalan yang memadai untuk mencegah cedera kompresi terhadap
pleksus brakhialis dan arteri aksilaris. Peredaran darah dan saraf kedua
lengan harus dipantau.
c. Penarikan (traksi) : menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota,
gerak pada tempatnya.
d. Fiksasi internal : dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan
(plate) atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang atau sering
disebut open reduction with internal fixation (ORIF).
e. Fiksasi eksternal: Immobilisasi lengan atau tungkai menyebabkan otot
menjadi lemah dan menciut. Karena itu sebagian besar penderita perlu
menjalani terapi fisik.
I. Komplikasi
Komplikasi pada fraktur clavicula dapat berupa :
1. Malunion
Malunion merupakan suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan melakukan analisis yang cermat
sewaktu melakukan reduksi, dan mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin
terutama pada masa awal periode penyembuhan.
Gejala malunion pada clavicula dapat menyebabkan penderita tidak
puas. Gejala sebelum operasi termasuk kelemahan, nyeri, gejala-gejala
neurologik, dan munculnya perasaan yang cemas (bahu yang semakin
memburuk dengan gejala-gejala lainnya)
2. Nonunion
Lebih umum terjadi pada fraktur yang ditangani dengan cara operasi,
khususnya pada studi sebelumnya. Secara keseluruhan, angka non union
yang lebih kurang dari 1 % hingga yang lebih besar dari 10%, telah dilaporkan.
Paling banyak pada fraktur 1/3 distal tetapi hasilnya secara
fungsional memperlihatkan kepuasan. Penanganan operasi termasuk
8
stabilisasi dan graft tambahan pada tulang memberikan hasil yang
memuaskan serta fiksasi dengan plate dan peralatan intermedullary.
Fraktur 1/3 tengah dengan lebih dari 2 cm dan fraktur 1/3 lateral menjadi
faktor resiko lebih tinggi nonunion:
a. Komplikasi neurovaskular, bisa menyebabkan timbulnya trombosis
dan pseudoaneurisma pada arteri axillaris dan vena subclavian
kemudian bisa menyebabkan timbulnya cerebral emboli.
Kerusakan nervus supraclavicular menyebabkan timbulnya nyeri
dinding dada.
b. Refraktur, fraktur berulang pada clavicula yang mengalami
fraktur sebelumnya.
c. Pneumothoraks biasa didapatkan pada pasien dengan fraktur
clavicula terutama yang mengalami multiple traumatik,
diakibatkan oleh karena robeknya lapisan pleura sehingga masuk
udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal.
9
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
10
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian
juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid
yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
11
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi,
warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi
Anna, 1991).
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D,
1995).
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
8) Pola Sensori dan Kognitif
12
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak
serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
2. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a. Gambaran Umum
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
13
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
b. Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
c. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
d. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
e. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
f. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak
terjadi perdarahan)
g. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
h. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h. Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
i. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j. Paru
- Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
- Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara
tambahan lainnya.
14
- Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k. Jantung
- Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Perkusi: suara pekak pada semua lapang jantung
- Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l. Abdomen
- Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
- Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
- Auskultasi: Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
b.Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
b) Cape au lait spot (birth mark)
c) Fistulae.
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini
15
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat
adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Tonus otot pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain
itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu di deskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Timbul
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,
kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan gangguan
pola tidur.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
16
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat
traksi/immobilisasi, stress, ansietas
a. Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang
b. Kriteria hasil :
1) Pasien tampak tenang
2) Pasien melaporkan nyeri berkurang atau hilang
c. Intervensi
- Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga
- Kaji tingkat intesitas, skala nyeri (0-10) dan frekuensi
nyeri menunjukkan skala nyeri.
- Pertahahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.
- Jelaskan prosedur sebelum memulai setiap tindakan.
- Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan
dengan cedera.
- Lakukan dan awasi dalam latihan gerak aktif atau pasif.
- Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, perubahan
posisi.
- Dorong pasien dalam menggunakan teknik manajemen stress,
seperti relaksasi napas dalam, imajinasi visualisasidan sentuhan
terapeutik.
- Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan dispnea,
kelemahan/keletihan, ketidak edekuatan oksigenasi, ansietas, dan
gangguan pola tidur.
a. Tujuan : pasien memiliki cukup energi untuk beraktivitas
b. Kriteria hasil :
1. Perilaku menampakan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan diri.
17
2. Pasien mengungkapkan mampu untuk melakukan
beberapa aktivitas tanpa dibantu.
3. Koordinasi otot, tulang dan anggota gerak lainya baik.
c. Intervensi :
- Rencanakan periode istirahat yang cukup.
- Berikan latihan aktivitas secara bertahap.
- Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan sesuai
kebutuhan.
- Setelah latihan dan aktivitas kaji respons pasien.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan
oleh terdapat luka / ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor
kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
a. Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.
b. Kriteria hasil :
1. Menyatakan ketidaknyaman hilang
2. Menunjukkan perilaku untuk mencegah kerusakan
kulit dan memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
c. Intervensi:
- Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan,
perdarahan dan perubahan warna
- Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.
- Pantau peningkatan suhu tubuh
- Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic, blut luka
dengan kasa yang kering dan gunakan plester kertas.
- Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindak lanjut
misalnya debridement
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan,
kerusakan muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/tahanan.
a. Tujuan : pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
b. Kriteria hasil :
1) Melakukan pergerakkan dan perpindahan.
18
2) mempertahankan mobilitas optimal yang dapat di toleransi,
dengan karakteristik :
0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu.
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan,
p engawasan, dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat Bantu.
4 = ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
c. Intervensi :
- Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan
akan peralatan.
- Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
- Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
- Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif
- Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
5. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
a. Tujuan : infeksi tidak terjadi / terkontrol.
b. Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus.
- Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleransi.
c. Intervensi :
- Pantau tanda-tanda vital.
- Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik.
- Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infus,
kateter, drainase luka, dll.
- Jika ditemukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan
darah, seperti Hb dan leukosit.
- Kolaborasi untuk pemberian antibiotik.
6. Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
19
a. Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek
prosedur dan proses pengobatan.
b. Kriteria Hasil :
- Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan
dari suatu tindakan.
- Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta
dalam regimen perawatan.
c. Intervensi :
- Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
- Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan
kondisinya sekarang.
- Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan
nya.
- Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang
telah diberikan.
20
DAFTAR PUSTAKA
A Graham, Appley. 2005. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur. Edisi 7. Jakarta: WidyaMedika
Anderson, Sylvia Price. 2010. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit.Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untukPerencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC
Junadi, Purnawan. 2004. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Suzanne CS & Barre GB. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika
21