Upload
ivanalia-soli-deo
View
90
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
forensik kedokteran
Citation preview
Pemeriksaan Forensik pada Kasus Pembunuhan Melisa 102011340
Agatha Ismail 102012094Sendy Jayanti 102012186Vania Rafelia 102012251Michael Laban 102012285Arwi Wijaya 102012294
Ivanalia Soli Deo 102012359Filzah Atikah binti Johamin 102012491
B9FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANAKoresponden: [email protected]
Pendahuluan
Ilmu kedokteran forensik disebut juga ilmu kedokteran kehakiman, merupakan
salah satu mata ajaran wajib dalam rangkaian pendidikan kedokteran di Indonesia,
dimana peraturan perundangan mewajibkan setiap dokter baik dokter, dokter spesialis
kedokteran forensik, spesialis klinik untuk membantu melaksanakan pemeriksaan
kedokteran forensik bagi kepentingan peradilan bilamana diminta oleh polisi
penyidik. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh,
kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan.1
Pada kesempatan kali ini didapati kasus mengenai seseosok mayat laki-laki
yang dikirimkan ke Bagian Kedokteran Forensik FKUI/RSCM oleh sebuah Polsek di
Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putri yang
kebetulan anak dari seorang pejabat kepolisian. Berita yang dituliskan di dalam surat
permintaan visum et repertum adalah bahwa laki-laki ini mati karena gantung diri di
dalam sel tahanan Polsek. Pemeriksaan yang dilakukan keesokan harinya menemukan
bahwa pada wajah mayat terdapat pembengkakan dan memar, pada punggungnya
terdapat beberapa memar berbentuk dua garis sejajar (railway hematome) dan di
daerah paha di sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar berbentuk bundar
berukuran diameter kira-kira satu sentimeter.
Di ujung penisnya tedapat luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik.
Sementara itu terdapat pula jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah
kiri belakang yang membentuk sudut ke atas. Pemeriksaan bedah jenazah menemukan
resapan darah yang luas di kulit kepla, perdarahan yang tipis dibawah selput keras
1
otak, sebab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher tetapi sedikit
resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit
busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik pendarahan di permukaan
kedua paru dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil beberapa
contoh jaringan untuk pemeriksaan laboratorium. Keluarga korban datang ke dokter
dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban karena mereka mencurigai
adanya tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka melihat sendiri adanya
memar-memar di tubuh korban.
Untuk menyelesaikan kasus tersebut, perlu diketahui dan ditelusuri mengikut
alur bermula dari aspek hukum dan prosedur medikolegal, pemeriksaan medis berkait
traumatologi dan thanatologi, intepretasi temuan kesimpulan untuk menyatakan cara
mati dan sebab mati dan yang terakhir laporan hasil pemeriksaan. Diharapan melalui
makalah ini, mahasiswa FK Ukrida dapat lebih mengerti mengenai hal-hal tersebut
dan kemudian dapat mengaplikasikannya dalam kasus yang diterima sehari-hari.
Pembahasan
I. Aspek Hukum Medikolegal2
A. KUHP pasal 133
1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangini
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena
peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada kedokteran kehakiman atau dokter dan
atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.
3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh
penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuatkan
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diilekatkan pada ibu
jari kaki atau bagian lain badan mayat.
2
B. KUHP pasal 224
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-
undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
II. Tanatologi1
Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari
kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut. Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang
mati yaitu mati somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati
otak (mati batang otak).
Mati somatis disebut juga mati klinis yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga
sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan
sistem pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan
refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak
ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.
Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem
kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan
peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut
masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,
tersengat aliran listrik dan tenggelam. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian
organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya
tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya
kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini
penting dalam transplantasi organ.
Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan
dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati otak (mati batang otak)
adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial yang irreversible,
termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang
3
otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan
hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.
A. Tanda Kematian Tidak Pasti dan Kematian Pasti
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada
seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh
mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa
menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti,
pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata menghilang, kulit
pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati
yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda
tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis
atau lividitas pascamati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh,
pembusukan, mummifikasi dan adiposera.
Tanda Kematian Tidak Pasti
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi,
auskultasi).
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena
mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah
menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang
menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian
disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-daerah
yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang
terlentang.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah
kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan
kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang
masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.
4
Tanda Pasti Kematian
1. Lebam Mayat (livor mortis)
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah
akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk
bercak berwarna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali
pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya
aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat
biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya
bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum
waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat
berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan
sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan
dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam,
darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir
dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang
dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya
pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-
sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu,
kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan
tersebut.
Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan
sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO
atau CN, warna kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal;
mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam
mayat yang menetap; dan memperkirakan saat kematian.
Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum
menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah
beberapa saat akan terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan perut.
Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan
menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat pemeriksaan.
Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah,
maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah
akibat trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan
5
kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar
pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.
2. Kaku Mayat (rigor mortis)
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme
tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang
menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP.
Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila
cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan
miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai
tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-
otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku
mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat
menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang
dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan
serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi
teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas
fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot
kecil dan suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk
menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian.
Terdapat kekakuan pada mayatyang menyerupai kaku mayat, antara lain :
a. Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekauan otot
yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm
sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas
sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah
akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat
pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat
sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini jarang dijumpai, tetapi
sering terjadi dalam masa perang. Kepentingan medikolegalnya adalah
menunjukkkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang
menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam,
tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.
6
b. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh
panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah
robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada
heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga
menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap
petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti
tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara
kematian.
c. Cold stiffening, yaitu kekauan tubuh akibat lingkungan dingin,
sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi,
pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi
ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
3. Penurunan Suhu Tubuh (algor mortis)
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu
benda ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi
dan konveksi. Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva
sigmoid atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh
suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh dan
pakaian. Selain itu, suhu saat mati perlu diketahui untuk perhitungan perkiraan
saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang
rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus,
posisi terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya
orang tua serta anak kecil.
Penelitian akhir-akhir ini cenderung untuk memperkirakan saat mati
melalui pengukuran suhu tubuh pada lingkungan yang menetap di Tempat
Kejadian Perkara (TKP). Caranya adalah dengan melakukan 4-5 kali
penentuan suhu rectal dengan interval waktu yang sama (minimal 15 menit).
Suhu lingkungan diukur dan dianggap konstan karena faktor-faktor
lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati dianggap 37oC bila
tidak ada penyakit demam. Penelitian membuktikan bahwa perubahan suhu
lingkungan kurang dari 2oC tidak mengakibatkan perubahan yang bermakna.
Dari angka-angka di atas, dengan menggunakan rumus atau grafik dapat
7
ditentukan waktu antara saat mati dengan saat pemeriksaan. Saat ini telah
tersedia program komputer guna penghitungan saat mati melalui cara ini.
4. Pembusukan (decomposition, putrefaction)
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis
dan kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang
terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim
yang dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan
jaringan. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam
tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri
tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang
terutama adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk
gas-gas alkana, H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak.
Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna
kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair
dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan
ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met-hemoglobin. Secara bertahap warna
kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun
mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan
berwarna hijau kehitaman.
Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi
cairan kemerahan berbau busuk. Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di
dalam lambung dan usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya
cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Gas yang terdapat di dalam jaringan
dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik (krepitasi). Gas ini
menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan
terbesar terdapat di daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan
payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic attitude), yaitu
kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat terkumpulnya gas
pembusukan di dalam rongga sendi.
Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas,
wajah mengembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata
membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak dan sering terjulur
di antara gigi. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban,
8
sehingga tidak dapat lagi dikenali oleh keluarga. Hewan pengerat akan
merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca mati, terutama bila mayat
dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan binatang pengerat
khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi.
Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata,
yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat
ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung
dan di antara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva
dalam waktu 24 jam. Dengan identifikasi spesies, lalat dan mengukur panjang
larva, maka dapat diketahui usia larva tersebut, yang dapat dipergunakan
untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi bahwa lalat biasanya
secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan tidak lagi dapat
mengusir lalat yang hinggap).
Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang
berbeda. Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus,
usus, menjadi ungu kecoklatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan,
endokardium dan intima pembuluh darah juga kemerahan, akibat hemolisis
darah. Difusi empedu dari kandung empedu mengakibatkan warna coklat
kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi berongga seperti
spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat dalam akan mengerut.
Prostat dan uterus non-gravid merupakan organ padat yang paling lama
bertahan terhadap perubahan pembusukan.
Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26.5oC
hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak
bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis.
Media tempat mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara
akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau
dalam tanah. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya
memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang
cepat dan bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.
5. Adiposera atau Lilin Mayat
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca
9
mati. Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai
karena penunjukan sifat-sifat di antara lemak dan lilin.
Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk
oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam
lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat,
jaringan saraf yang termumifikasi dan kristal-kristal sferis dengan gambaran
radial. Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan
nyala kuning, larut dalam alkohol dan eter.
Adiposera dapat terbentuk di sembarang lemak tubuh, bahkan di dalam
hati, tetapi lemak superficial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan
berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh
atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera.
Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan
hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab
kematian masih dimungkinkan.
Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah
kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang meghambat adalah
air yang mengalir yang membuang elektrolit. Udara yang dingin menghambat
pembentukan, sedangkan suhu yang hangat akan mempercepat. Invasi bakteri
endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan mempercepat
pembentukannya.
Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat
keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung
kira-kira 0.5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati
dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada
saat ini, adiposera menjadi jelas secara makroskopik sebagai bahan berwana
putih kelabu yang menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian lunak
tubuh. Pada stadium awal pembentukannya sebelum makroskopik jelas,
adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmitat.
6. Mummifikasi
Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat
menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,
10
berwarna gelap, berkeriput dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat
berkembang pada lingkungan yang kering. Mummifikasi terjadi bila suhu
hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan
waktu yang lama (12-14 minggu). Mummifikasi jarang dijumpai pada cuaca
yang normal.
B. Perkiraan Waktu Kematian
Selain dari melihat tanda-tanda perubahan pada mayat seperti di atas,
beberapa perubahan lain dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati.
Diantaranya dapat dilihat dari perubahan pada mata, lambung, rambut, kuku,
cairan serebrospinal, dsb.
1. Perubahan pada Mata
Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea
akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan
dasar di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi
lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan
dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih
dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini
terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup
maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan
dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas.
Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi
pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil
dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat
kematian hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak
kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1
jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam
pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning.
Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada
saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar
belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam
pasca mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat.
Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-
pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar
11
belakang kuning kelabu. Dalam waktu 7 – 10 jam pasca mati akan mencapai
tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus
hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh
darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran
pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna
coklat gelap.
2. Perubahan Pada Lambung
Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat
digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan
saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam
membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung
dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah
makan makanan tersebut.
3. Perubahan pada Rambut dan Kuku
Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari,
panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan
saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai
kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia
mencukur. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang
diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan
saat kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong
kuku.
4. Perubahan Cairan Serebrospinal dan Cairan Vitreus
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian
belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%
menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan
10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan
30 jam. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup
akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 – 100 jam pasca mati.
12
5. Kadar Komponen Darah
Kadar komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah
pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa
hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri,
serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan
fungsi tubuh selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam
darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan
perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati
dengan lebih tepat.
6. Reaksi Supravital
Rekasi supravital yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang
masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa
uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik
masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati
dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60-90 menit pasca mati,
sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1
jam pasca mati.
III. Otopsi3
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, autopsi berasal dari kata Auto
(sendiri) dan Opsis (melihat). Yang dimaksud dengan Autopsi adalah pemeriksaan
terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian
dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,
melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya
serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan
dengan penyebab kematian. Jika pada pemeriksaan ditemukan beberapa jenis kelainan
bersama-sama, maka dilakuakn penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab
kematian, serta apakah kelianan yang lain turut mempunyai andil dalam terjadinya
kematian tesebut.
13
A. Pemeriksaan Luar
Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika
pemeriksaan luar adalah :
1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan
pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama
berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin.
Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah, harus
tetap ada pada tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas
sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi
bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran,
merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada.
Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran
atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.
5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk
serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi
a. Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
b. Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada
tidaknya spasme kadaverik.
c. Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu
ruangan pada saat tersebut.
d. Pembusukan.
e. Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan
umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan,
disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut.
14
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas
khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit,
anomali dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut.
Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara
memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi
kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantungan
yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda
kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata,
warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak
perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik.
Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil,
bandingkan kiri dan kanan.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi
dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu,
kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya.
14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran
pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara
menyeluruh.
15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan
bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita
dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang
sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka,
benda asing, darah dan lain-lain.
16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus,
sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain
pada tubuh.
17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka
pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka,
lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah
kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa
15
patokan, antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah
melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan
garis mendatar melalui pusat.
B. Pemeriksaan Dalam
Pemeriksaan organ/alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, oesofagus, trakea
dan seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa
terakhir.
1. Lidah
Pada lidah, perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas gigitan,
baik yang baru maupun yang lama. Bekas gigitan yang berulang dapat
ditemukan pada penderita epilepsy. Bekas gigitan ini dapat pula terlihat
pada penampang lidah. Pengirisan lidah sebaiknya tidak sampai teriris
putus, agar setelah selesai autopsy, mayat masih tampak berlidah utuh.
2. Tonsil
Perhatikan permukaan maupun penampang tonsil, adakah selaput,
gambaran infeksi, nanah dan sebagainya. Ditemukannya tonsilektomi
kadang kadang membantu dalam identifikasi.
3. Kelenjar gondok
Untuk melihat kelenjar gondok dengan baik, otot-otot leher terlebih
dahulu dilepaskan dari perlekatannya disebelah belakang. Dengan pinset
bergigi pada tangan kiri, ujung bawah otot-otot leher dijepit dan sedikit
diangkat, dengan gunting pada tangan kanan, otot leher dibebaskan dari
bagian posterior. Setelah otot leher ini terangkat, maka kelenjar gondok
akan tampak jelas dan dapat dilepaskan dari perlekatannya dari rawan
gondok dan trakea. Perhatikan ukuran dan beratnya. Periksa apakah
permukaannya rata, catat warnanya, adakah perdarahan berbintik atau
resapan darah. Lakukan pengirisan dibagian lateral pada kedua bagian
kelenjar gondok dan catat perangai penampang kelenjar ini.
4. Kerongkongan (esophagus)
Esophagus dibuka dengan jalan menggunting sepanjang dinding
belakang. Perhatikan adanya benda benda asing, keadaan selaput lender
serta kelainan yang mungkin ditemukan (misalnya striktura atau varises).
16
5. Batang tenggorok (trakea)
Pemeriksaan dimulai pada mulut atas batang tenggorok, dimulai pada
epiglottis. Perhatikan adakah edema, benda asing, perdarahan dan
kelainan lain. Perhatikan pula pita suara dan kotak suara. Pembukaan
trakea dilakukan dengan melakukan pengguntingan dinding belakang
(bagian jaringan ikat pada cincin trakea) sampai mencapai cabang
bronkus kanan dan kiri. Perhatikan adanya benda asing, busa darah, serta
keadaan selaput lendirnya.
6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (kartilago thyroidea) dan rawan
cincin (cartilage krikoidea)
Tulang lidah kadang ditemukan patah unilateral pada kasus pencekikan.
Tulang lidah terlebih dahulu dilepaskan dari jaringan sekitarnya dengan
menggunakan pinset dan gunting. Perhatikan adanya patah tulang,
resapan darah. Rawan gondok dan rawan cincin seringkali juga
menunjukan resapan darah pada kasus dengan kekerasan pada daerah
leher (pencekikan, penjeratan, gantung).
7. Arteria carotis interna
Arteria carotis communis dan interna biasanya tertinggal melekat pada
permukaan depan ruas tulang leher. Perhatikan adanya tanda kekerasan
pada sekitar arteria ini. Buka pula arteria ini dengan menggunting
dinding depannya dan perhatikan keadaan intima. Bila kekerasan daerah
leher mengenai arterian ini, kadang-kadang dapat ditemukan kerusakan
pada intima disamping terdapatnya resapan darah.
8. Kelenjar kacangan (tymus)
Thymus biasanya telah berganti menjadi thymic fat body pada orang
dewasa, namun kadang-kadang masih dapat ditemukan (pada status
thymicolymphaticus). Kelenjar kacangan terdapat melekat disebelah atas
kandung jantung. Pada permukaannya perhatikan akan adanya
perdarahan berbintik serta kemungkinan adanya kelainan lain.
9. Paru-paru
Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri. Tentukan permukaan
paru-paru. Pada paru yang mengalami emfisema, dapat ditemukan
cekungan bekas penekanan iga. Perhatikan warnanya, serta bintik
perdarahan, bercak perdarahan, akibat aspirasi darah kedalam alveoli
17
(tampak pada permukaan paru sebagai bercak berwarna merah-hitam
dangan batas tegas), resapan darah, luka, bulla dan sebagainya. Perabaan
paru yang normal terasa seperti meraba spons/ karet busa. Pada paru
dengan proses peradangan perabaan dapat menjadi padat atau keras.
Penampang paru diperiksa setelah melakukan pengirisan paru yang
dimulai dari apex sampai kebasal, dengan tangan kiri memegang paru
pad daerah hilus. Pada penampang paru ditentukan warnanya serta dicatat
kelainan yang mungkin ditemukan.
10. Jantung
Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepala tinju kanan
mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik
perdarahan. Lakukan pengukuran lingkar katup mitral serta penilaian
terhadap katup. Tebal otot kiri jantung diukur pada irisan tegak yang
dibuat 1 cm disebalah bawah katup pada dinding belakang. Dengan
gunting dinding depan bilik kiri dipotong menyusuri septum pada jarak ½
cm, terus kearah atas membuka juga dinding depan aorta dan memotong
katup semilunaris aorta. Lingkaran katup diukur dan daun katup dinilai.
Pada penampang irisan diperhatikan tebal dinding arteri, keadaan lumen
dan kemungkinan terdapatnya tromus. Septum jantung dibelah untuk
melihat kelainan otot, baik kelainan yang bersifat degenerative maupun
kelainan bawaan. Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa
adalah sebagai berikut. Ukuran jantung sebesar kepalan tangan kanan
mayat, berat sekitar 300gr, ukuran lingkaran katup serambi bilik kanan
sekitar 11 cm, kiri 9,5 cm, lingkar katup pulmonal sekitar 7 cm, dan aorta
6.5 cm. tebal oto bilik kanan 3-5 mm sedangkan yang kiri 14 mm.
11. Aorta thoracalis
Pengguntingan pada dinding belakang aorta thoracalis dapat
memperlihatkan permukaan dalam aorta. Perhatikan kemungkinan
terdapatnya deposit kapur, ateroma atau pembentukan aneurisma.
Kadang-kadang pada aorta dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan
merupakan resapan darah atau luka. Pada kasus kematian bunuh diri
dengan jalan menjatuhkan diri dari tempat tinggi. Bila korban mendarat
dengan kedua kaki terlebih dahulu. Seringkali ditemukan robekan
melintang pada aorta thoracalis.
18
12. Aorta abdominalis
Bloc organ perut dan panggul diletakkan diatas meja potong dengan
permukaan belakang menghadap ke atas. Aorta abdominalis digunting
dinding belakangnya mulai dari tempat pemotongan aa.iliaca comunis
kanan dan kiri. Perhatikan dinding aorta terhadap adanya penimbunan,
pekapuran, atau atheroma. Perhatikan pula muara dari pembuluh nadi
yang keluar dari aorta abdominalis ini, terutama muara aa.renalis kanan
dan kiri dibuka sampai memasuki ginjal. Perhatikan apakah terdapat
kelainan pada dinding pembuluh darah yang mungkin merupakan dasar
dideritanya hipertensi renal bagi yang bersangkutan.
13. Anak ginjal (glandula suprarenalis)
Anak ginjal kanan terletak di bagian mediokranial dari kutub atas ginjal
kanan, tertutup oleh jaringan lemak, berada antara permukaan belakang
hati dan permukaan bawah diafragma. Anak ginjal kemudian dibebaskan
dari jaringan sekitarnya dan diperiksa terhadap kemungkinan adanya
kelainan ukuran, resapan darah dan sebagainya. Anak ginjal kiri terletak
dibagian medio-kranial kiri kutub atas ginjal kiri, juga tertutup dalam
jaringan lemak, terletak antara ekor kelenjar liur perut (pankreas) dan
diafragma. Pada anak ginjal yang normal, pengguntingan anak ginjal
akan memberikan penampang dengan bagian korteks dan medula yang
tampak jelas.
14. Ginjal, ureter, dan kandung kencing
Adanya trauma yang mengenai daerah ginjal seringkali menyebabkan
resapan darah pada capsula. Dengan melakukan pengirisan di bagian
lateral kapsula, ginjal dapat dilepaskan. Pada ginjal yang mengalami
peradangan, simpai ginjal mungkin akan melekat erat dan sulit
dilepaskan. Setelah simpai ginjal dilepaskan, lakukan terlebih dahulu
pemeriksaan terhadap permukaan ginjal. Adakah kelainan berupa
resapan darah, luka-luka ataupun kista-kista retensi. Pada penampang
ginjal, perhatikan gambaran korteks dan medula spinalis. Juga
perhatikan pelvis renalis akan kemungkinan terdapatnya batu ginjal,
tanda peradangan, nanah dan sebagainya. Ureter dibuka dengan
meneruskan pembukaan pada pelvis renalis, terus mencapai vesika
urinaria. Perhatikan kemungkinan terdapatnya batu, ukuran penampang,
19
isi saluran serta keadaan mukosa. Kandung kencing dibuka dengan jalan
menggunting dinding depannya mengikuti bentuk huruf T. Perhatikan isi
serta selaput lendirnya.
15. Hati dan kandung empedu
Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati, yang pada keadaan
biasa menunjukkan permukaan yang rata dan licin, berwarna merah-
coklat. Kadang kala pada permukaan hati dapat ditemukan kelainan
berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang berbenjol-benjol,
bahkan abses. Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang
kenyal. Tepi hati biasanya tajam. Hati yang normal menunjukkan
penampang yang jelas gambaran hatinya. Pada hati yang telah lama
mengalami perbendungan dapat ditemukan gambaran hati pula.
Kandung empedu diperiksa ukurannya serta diraba akan kemungkinan
terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan
pada saluran empedu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan jalan
menekan kandung empedu ini sambil memperhatikan muaranya pada
duodenum (papilla vateri). Bila tampak cairan coklat-hijau keluar dari
muara tersebut, ini menandakan saluran empedu tidak tersumbat.
16. Limpa dan kelenjar getah bening
Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa yang normal menunjukkan
permukaan yang berkeriput, berwarna ungu dengan perabaan lunak
kenyal. Buatlah irisan penampang limpa, limpa normal mempunyai
gambaran limpa yang jelas, berwarna coklat-merah dan bila dikikis
dengan punggung pisau, akan ikut jaringan penampang limpa. Jangan
lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan
kelenjar getah bening regional yang membesar.
17. Lambung, usus halus dan usus besar.
Lambung dibuka dengan gunting curvatura mayor. Perhatikan isi
lambung dan simpan dalam botol atau kantong plastik bersih bila isi
lambung ingin diperlukan untuk pemeriksaan toksikologik atau
pemeriksaan laboratorik lainnya. Selaput lendir lambung diperiksa
terhadap kemungkinan adanya erosi, ulserasi, perdarahan/resapan darah.
Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta
20
kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta kemungkinan
terdapatnya kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.
18. Kelenjar liur perut (pancreas)
Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar liur perut ini dari
sekitarnya. Kelenjar liur perut yang normal menunjukkan warna kelabu
agak kekuningan, dengan permukaan yang berbelah-belah dan perabaan
yang kenyal. Perhatikan ukuran dan beratnya. Cata bila ada kelainan.
19. Otak besar, otak kecil, dan batang otak
Perhatikan permukaan luar dari otak dan cacat kelainan yang ditemukan.
Adakah perdarahan subdural, perdarahan subarakhnoid, kontusio
jaringan otak atau kadangkala bahkan sampai terjadi laserasi. Pada
oedema cerebri, gyrus otak akan tampak mendasar dan sulkus tampak
menyempit. Perhatikan pula kemungkinan terdapatnya tanda penekanan
yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada daerah
ventrak otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan
pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat
kelainan ateroma, adakah penipisan dinding akibat aneurysma, adakah
perdarahan. Bila terdapat perdarahan hebat, usahakan agar dapat
ditemukan sumber perdarahan tersebut. Perhatikan pula bentuk
serebelum. Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akibat edema
serebri misalnya, dapat terjadi herniasi serebllum ke arah foramen
magnum, sehingga bagian bawah serebellum tampak menonjol.
Pisahkan otak kecil dan otak besar dengan melakukan pemotongan pada
pedunculus serebri kanan dan kiri. Otak kecil ini kemudian dipisahkan
juga dari batang otak dengan melakukan pemotongan pada pedunculus
serebelli. Otak besar diletakkan dengan bagian ventral menghadap
pemeriksa. Lakukan pemotongan otak besar secara koronal/melintang,
perhatikan penampang irisan.
Tempat pemotongan haruslah sedemikian rupa sehingga struktur penting
dalam otak besar dapat diperiksa dengan teliti. Kelainan yang dapat
ditemukan pada penampang otak besar antara lain adalah: perdarahan
pada korteks akibat contusio cerebri, perdarahan berbintik pada
substansi putih akibat emboli, keracunan barbiturat serta keadaan lain
yang menimbulkan hipoksia jaringan otak. Infark jaringan otak, baik
21
yang bilateral maupun yang unilateral akibat gangguan perdarahan oleh
arteri, abses otak, perdarahan intracerebral akibat pecahnya a.
lenticulostriata dan sebagainya. Otak kecil diperiksa penampangnya
dengan membuat suatu irisan melintang, catatlah kelainan perdarahan,
perlunakan dan sebagainya yang mungkin ditemukan. Batang otak diiris
melintang mulai daerah pons, medulla oblongata sampai ke bagian
proksimal medulla spinalis. Perhatikan kemungkinan adanya perdarahan.
Adanya perdarahan di daerah batang otak biasanya mematikan.
20. Alat kelamin dalam (genitalia interna)
Pada mayat laki-laki, testis dapat dikeluarkan dari scrotum melalui
rongga perut. Jadi tidak dibuat irisan baru pada scrotum. Perhatikan
ukuran, konsistensinya serta kemungkinan ada resapan darah. Perhatikan
pula bentuk dan ukuran epididimis. Kelenjar prostat diperhatikan ukuran
dan konsistensinya. Pada mayat wanita, perhatikan bentuk serta ukuran
kedua indung telur, saluran telur dan uterus sendiri. Pada uterus
diperhatikan kemungkinan terdapatnya perdarahan, resapan darah
ataupun luka akibat tindakan abortus provokatus. Uterus dibuka dengan
membuat irisan berbentuk huruf T pada dinding depan melalui saluran
serviks serta muara kedua saluran telur pada fundus uteri. Perhatikan
keadaan selaput lendir uterus, tebal dinding, isi rongga rahim serta
kemungkinan terdapatnya kelainan lain.
21. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat/organ
Sebelum mengembalikan organ-organ (yang telah diperiksa secara
makroskopis) kembali ke dalam tubuh mayat, pertimbangkan terlebih
dahulu kemungkinan diperlukannya organ guna pemeriksaan
histopatologik. Potongan jaringan untuk pemeriksaan histopatologik
diambil dengan dengan tebal maksimal 5 mm. Usahakan mengambil
bagian organ di daerah perbatasan antara bagian yang normal dan yang
mengalami kelainan. Potongan ini kemudian dimasukkan ke dalam botol
yang berisi cairan fiksasi yang dapat merupakan larutan formalin 10%
(larutan formaldehida 4%) atau alkohol 90-96%, dengan jumlah cairan
fiksasi sekitar 20-30 kali volume potongan jaringan yanng diambil.
Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi
disesuaikan dengan kasus yang dihadapi serta ketentuan laboratorium
22
pemeriksa. Sedapat mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam botol
tersendiri. Bila diperlukan pengawetan, agar digunakan alkohol 90%.
Pada pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik, contoh bahan
pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan
hasil sementera autopsi atas kasus tersebut.
IV. Traumatologi1,4
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa) sedangkan yang dimaksudkan
dengan luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat
kekerasan. Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas
kekerasan yang bersifat mekanik (kekerasan oleh benda tajam atau tumpul dan
tembakan senjata api), fisika (suhu, listrik dan petir, perubahan tekanan udara,
akselerasi, akustik dan radiasi) dan kimia/korosif (asam atau basa kuat).
A. Luka akibat Kekerasan Benda Tumpul
1. Memar (kontusio, hematom)
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kutis/kulit akibat
pecahnya kapiler dan vena yang disebabkan oleh kekerasan tumpul. Letak,
bentuk dan luas memar dipengaruhi oleh besarnya kekerasan, jenis benda
penyebab, kondisi dan jenis jaringan, usia, jenis kelamin, corak dan warna
kulit, kerapuhan pembuluh darah serta penyakit yang diderita. Bila
kekerasan benda tumpul mengenai jaringan longgar seperti di daerah mata,
leher atau pada bayi dan usia lanjut, maka memar cenderung lebih luas.
Adanya jaringan longgar juga memungkinkan berpindahnya ‘memar’ ke
daerah yang lebih rendah akibat gravitasi seperti kekerasan benda tumpul
pada dahi menimbulkan hematom palpebra. Informasi mengenai bentuk
benda tumpul dapat diketahui jika ditemukan adanya ‘perdarahan tepi’
seperti bila tubuh korban terlindas ban.
Pada ‘perdarahan tepi’ perdarahan tidak dijumpai pada lokasi yang
bertekanan, tetapi perdarahan akan menepi sehingga bentuk perdarahan
sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang yang berdekatan
(cetakan negatif). Umur memar dapat dilihat dari perubahan warnanya.
Pada saat perlukaan, memar berwarna merah, lalu berubah menjadi ungu
atau hitam dan setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian
23
berubah menjadi kuning dalam 7 sampai 10 hari dan akhirnya menghilang
dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna terjadi mulai dari tepi ke arah
tengah. Hematom antemortem dapat dibedakan dari lebam mayat dengan
melakukan penyayatan kulit. Pada hematom antemortem akan dijumpai
adanya pembengkakan dan infiltrasi darah merah kehitaman dalam
jaringan, sedang pada lebam mayat warna merah tampak merata
2. Luka Lecet (ekskoriasi, abrasi)
Merupakan luka kulit yang superficial, akibat cedera pada epidermis
yang bersentuhan dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau
runcing. Walaupun kerusakannya minimal tetapi luka lecet dapat
memberikan petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada
alat-alat dalam tubuh. Sesuai mekanisme terjadinya luka lecet dibedakan
dalam 4 jenis, antaranya:
a. Luka lecet gores (scratch)
Diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser lapisan
permukaan kulit. Dari gambaran kedalaman luka pada kedua ujungnya
dapat ditentukan arah kekerasan yang terjadi.
b. Luka lecet serut (graze)
Adalah luka lecet yang terjadi akibat persentuhan kulit dengan
permukaan yang kasar dengan arah kekerasan sejajar/miring terhadap
kulit. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan epitel.
c. Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)
Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul secara
tegak lurus terhadap permukaan kulit. Bentuk luka lecet tekan
umumnya sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut.
Kulit pada luka lecet tekan tampak berupa daerah kulit yang kaku
dengan warna lebih gelap dari sekitarnya.
d. Luka lecet geser (friction abration)
Disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser,
misalnya pada kasus gantung atau jerat.
3. Luka robek (Vulnus laceratum)
24
Merupakan luka terbuka yang terjadi akibat kekerasan tumpul yang kuat
sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot. Ciri luka robek bentuk tidak
beraturan, tepi tidak rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka,
bentuk dasar luka tidak beraturan, akar rambut tampak hancur atau tercabut
bila kekerasannya di daerah yang berambut dan sering tampak luka lecet
atau memar di sekitar luka.
B. Luka Bakar
Terjadi akibat kontak kulit dengan benda bersuhu tinggi. Kerusakan kulit
yang terjadi bergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Kontak kulit dengan
air panas selama 2 detik mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1 mm dapat
mencapai 66 derajat celcius, sedangkan pada ledakan bensin dalam waktu
singkat mecpai suhu 47 derajat celcius, luka bakar sdah dapat terjadi pada suhu
43-47 deraajat celcius bila kontak cukup lama. Pelebaran kapiler bawah kulit
mulai terjadi pda saat suhu mecapai 35 derajat celcius selama 120 detik, vesike;
terjadi pada suhu 53-57 derajat celcius selama kontak 30-120 detik.
Luka bakar yang terjadi dapat dikategorikan ke dalam 4 derajat luka bakar
yaitu eritema, vesikel dan bula, nekrosis koagulatif, dan karbonisasi. Kematian
luka bakar dapat terjadi melalui pelbagai mekanisme, antara lain syok neurogen;
conmmotio neuro-vacularis, maupun gangguan permeabiitas akibat
pengelepasan histamine dan kehilangan NaCl kulit yang cepat (dehidrasi).
Pemaparan terhadap suhu rendah misalnya dipuncak gunung yang tinggi,
dapat menyebabkan kematian mendadak. Mekanisme kematian dapat
diakibatkan oleh kegagalan pusat pengatur suhu maupun akibat rendahnya
disosisasi Oxy-Hb. Bayi dan orang tua secara fisiologis kurang tanggap
terhadap dingin, demikian juga pada kelelahan, alcoholism, hipopituarism,
myoderma dan steatorrhoea. Pada kulit dpat terjadi luka yang terbagi menjadi
beberapa derajat kelainan; hiperemia, edema dan vesikel, nekrosis, dan
pembekuan disertai kerusakan jaringan.
C. Luka Akibat Trauma Listrik
Faktor yang berperan pada cedera listrik adalah teganggan (Volt), kuat arus
(ampere),tahanan kulit (ohm), luas dan lama kontak. Tegganngan rendah (<65
V) biasanya tidak berbahaya bagi manusia, tapi teganngan sedang (65-1000 V)
25
dapat memtikan. Banyaknya arus listrik yang mengalir ktubuh manusia
menentukan juga fasilitas seseorang. Makin basar arus makin berbahaya bagi
kelangsungan hidup. Selain factor-faktor kuat arus tahanan dan lama kontak, hal
lain yang penting diperhatikan adalah luas permukaan kontak. Suatu permukaan
kontak seluas 50 cm persegi ( kurang lebih telapak tangan) dapat mematikan
tanpa menimbulkan jejas listrik, karena pada kuat arus letal (100 mA),
kepadatan arus selebar telapak tangan tersebut hanya 2mA/cm persegi yang
tidak cukup besar untuk menimbulkan jejas listrik.
Kuat arus yang masih memngkinkan bagi tangan yang memegangnya untuk
melepaskan diri disbeut let go current yang besarnya berbeda-beda untk setiap
individu. Gambaran mikroskopis jejas listrik pada daerha kontak berupa
kerusakan lapisan tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol,
disekitarnya terdpat daerah yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi.
Bentuknya sering sesuai dengan benda penyebabnya. Metalisasi dapat juga
ditemukan pada jejas listrik. Sesuai dengan mekanisme terjadinya, gambaran
serupa jejas listrik secara makroskopik juga timbul akibat persentuhan kuit
dengan bena/logam panas (membara). Walaupun demikian keduanya dapat
dibedakan dengan pemeriksaan mikroskopis.
Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga dtimbulkan pada
kulit mayat/pasca mati (namun tanpa daerah hiperemi). Kematian dapat terjadi
karena fibrilasi ventrikel, kelumpuhn otot pernapasan dan kelumpuhan pusat
pernapasa.
V. Asfiksia1,5
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia. Target organ dari
asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron yang
memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan
bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
26
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan
seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu
strangulasi (Gantung /Hanging, penjeratan /Strangulation by Ligature,
pencekikan/Manual Strangulation), sufokasi, pembengkapan (Smothering), tenggelam
(Drowning), Crush Asphyxia, keracunan CO dan SN.
A. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia
Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian
belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga
bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada
lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan
faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.
Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi
darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada
pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan
tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di
27
dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan
plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-
sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada
minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum
sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada
kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu
diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali
dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
4. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat
asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada
jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak
pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim
fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia
B. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi
dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir
28
saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam
saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur
darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-
kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,
venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler
sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul
bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis
paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris,
kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
29
C. Gantung (hanging)
Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat
ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan
merupakan suatu bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan
dihasilkan dari seluruh atau sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh
seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang
relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami
tekanan.
1. Klasifikasi Gantung
Berdasarkan titik gantung dibagi menjadi penggantunga tipika dan
penggantungan atipikal. Penggantukan tipikal terjadi bila titik gantung terletak
di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri karotis paling besar.
Penggantungan atipikal, bila titik penggantungan terdapat di samping,
sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan
mengakibatkan hambatan.
Berdasarkan posisi tubuh dibagi menjadi penggantungan lengkap dan
pengggantungan parsial. Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban
aktif adalah seluruh berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang
menggantungkan diri dengan kaki mengambang dari lantai. Istilah
penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh
tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang
tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat
badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut
penggantungan parsial.
2. Cara dan Mekanisme Kematian Pada Kasus Gantung
Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah bunuh diri,
pembunuhan dan kecelakaan. Mekanisme kematian yang disebabkan oleh
gantung akibat penumpuan beban sebagian atau seluruh beban tubuh di leher
diantaranya adalah asfiksia, apopleksia, iskemia serebral, syok vasovagal,
fraktur atau dislokasi vertebra servikalis.
Asfiksia terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan
penyebab kematian yang paling sering. Apopleksia, tekanan pada pembuluh
darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak dan
30
mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Iskemia serebral disebabkan oleh
penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi arteri) yang
menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah
menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri
dengan gantung.
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang
menyebabkan henti jantung. Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada
hukuman gantung. Fraktur atau dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali
yang menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba
dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka akan mengakibatkan fraktur atau
dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan medulla oblongata dan
mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena fraktur adalah
vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.
3. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung
a. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah
Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda
penjeratan semakin jelas dan dalam. Bentuk jeratan pada kasus gantung
diri cenderung berjalan kiring (oblique) pada bagian depan leher, dimulai
pada leher bagian atas antara kartilago tiroid dengandagu, lalu berjalan
miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga Alur
jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran
(V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut: alur jeratan pucat, tepi alur jerat
coklat kemerahan, kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.Tanda
penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
mengkilat.
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas
jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda
penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas
penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua
kali.
Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung.
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena
31
dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada
kasus penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol
keluar, perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva.
Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan adanya penekanan pada
bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago thyroida.
Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam
mayat terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat
genitalia distal. Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada
kejadian asfiksia. Pada stadium apneu pusat pernapasan mengalami
depresi sehingga gerak napas menjadi sangat lemah dan berhenti.
Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter fungsieksresi
hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.
b. Pemeriksaan Dalam pada Jenazah.
Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Tanda-tanda asfiksia meliputi: terdapat bintik perdarahan
pada pelebaran pembuluh darah, kongesti pada bagian atas yaitu daerah
kepala, leher dan otak. Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat
kadar CO2 yang meninggi. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah
kulit dan otot. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan..
Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus pengantungan yang
disertai dengan tindak kekerasan. Pada pemeriksaan paru-paru serig
ditemui edema paru. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago
cricoid. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini
seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung
secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.
32
4. Perkiraan Cara Kematian
Perkiraan cara kematian, salah satunya bisa didapatkan dari menganalisis
tempat kerjadian perkara (TKP).
Tabel 2. Perkiraan Cara Kematian dari TKP1
Pembunuhan Bunuh Diri
Alat penjerat:
Simpul Biasanya simpul mati Simpul hidup
Jumlah lilitan Hanya satu Satu atau lebih
Arah Mendatar Serong ke atas
Jarak titik tumpu-simpul Dekat Jauh
Korban:
Jejas jerat Berjalan mendatar Meninggi kearah simpul
Luka perlawanan + -
Luka-luka lain Ada, sering di daerah leher Biasnaya tidak ada,
mungkin terdapat luka
percobaan lain
Jarak dari lantai Jauh Dekat, dapat tidak
tergantung
TKP:
Lokasi Bervariasi Tersembunyi
Kodisi Tidak teratur Tertatur
Pakaian Tak teratur, robek Rapih dan baik
Alat: Dari si pembunuh Berasal dari yang ada di
TKP
Surat peninggalan - +
Ruangan Tak teratur, terkunci dari dalam, dari luar
VI. Visum Et Repertum6
Pengertian arti harafiah dari Visum et Repertum yakni berasal dari kata “visual”
yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan.Sehingga jika digabungkan
dari arti harafiah ini adalah apa yang dilihat dan diketemukansehingga Visum et
Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan
sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau
33
fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut
pengetahuan yang sebaik-baiknya. Dalam Stbl tahun 1937 No 350 dikatakan bahwa
“visa et reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada
waktu menyelesaikan pelajarannya di Indonesia.
Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan
(termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah,
dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et
repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban
tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau
terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Visum et repertum dibuat secara
tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat
institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa
memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan
agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang
memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki
atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas
tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan
jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).
A. Bagian-Bagian Visum Et Repertum
Pada sudut kanan atas dituliskan alamat tujuan SPVR (Rumah sakit atau
dokter), dan tgl SPVR. Rumah sakit (Direktur): Kepala bagian / SMF Bedah,
Kepala bagian / SMF Obgyn, Kepala bagian / SMF Penyakit dalam, dan Kepala
bagian I.K.Forensik. Pada sudut kiri atas dituliskan alamat peminta VetR,
nomor surat, hal dan lampiran.
Pada bagian tengah disebutkan SPVR korban hidup / mati, identitas korban
(nama, umur, kelamin, kebangsaan, alamat, agama dan pekerjaan), peristiwanya
(modus operandi) antara lain luka karena . . . . . . . . . . . . . . . ., keracunan
(obat/racun . . . . . . . . . .), kesusilaan (perkosaan/perzinahan/cabul), mati karena
(listrik, tenggelam, senjata api/tajam/tumpul dsb).
Kata Projustitia dicantumkan disudut kiri atas, dan dengan demikian visum
et repertum tidak perlu bermaterai, sesuai dengan pasal 136 KUHAP. Pada
pendahuluan bagian ini memuat antara lain identitas pemohon visum et
repertum, identitas dokter yang memeriksa / membuat visum et repertum,
34
tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya), tanggal
dan jam dilakukannya pemeriksaan, identitas korban, keterangan dari penyidik
mengenai cara kematian, luka, dimana korban dirawat, waktu korban
meninggal, keterangan mengenai orang yang menyerahkan / mengantar korban
pada dokter dan waktu saat korban diterima dirumah sakit.
Pada bagian pemberitaan, dituliskan identitas korban menurut pemeriksaan
dokter, (umur, jenis kel,TB/BB), serta keadaan umum. Hasil pemeriksaan
berupa kelainan yang ditemukan pada korban, tindakan-tindakan / operasi yang
telah dilakukan dan hasil pemeriksaan tambahan juga dituliskan di bagian ini.
Syarat-syarat penulisannya adalah memakai bahasa Indonesia yg mudah
dimengerti orang awam, angka harus ditulis dengan hurup (4 cm ditulis empat
sentimeter), tidak dibenarkan menulis diagnose luka,(luka bacok, luka tembak
dll), luka harus dilukiskan dengan kata-kata, dan memuat hasil pemeriksaan
yang objektif (sesuai apa yang dilihat dan ditemukan).
Bagian kesimpulan berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa,
mengenai hasil pemeriksaan sesuai dgn pengetahuan yang sebaik-baiknya.
Seseorang melakukan pengamatan dengan kelima panca indera (pengelihatan,
pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan). Pada penutup, memuat kata
“Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada
waktu menerima jabatan”. Diakhiri dengan tanda tangan, nama lengkap/NIP
dokter.
B. Prosedur, Permintaan, Penerimaan, dan Peyerahan Visum et Repertum
Pihak yang berhak meminta Ver adalah: Penyidik, sesuai dengan pasal I
ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat negara untuk menjalankan undang-
undang. Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II. Tidak
dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat. Pada mayat harus
diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C. Syarat pembuat: harus seorang dokter
(dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut), di wilayah sendiri, memiliki
SIP, kesehatan baik.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
untuk membuat VeR korban hidup, yaitu: harus tertulis (tidak boleh secara
lisan), langsung menyerahkannya kepada dokter (tidak boleh dititip melalui
korban atau keluarganya dan tidak boleh melalui jasa pos), bukan kejadian yang
35
sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan Dokter, ada alasan mengapa korban
dibawa kepada dokter, ada identitas korban, ada identitas pemintanya,
mencantumkan tanggal permintaan, dan korban diantar oleh polisi atau jaksa.
Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter
untuk membuat VeR jenazah, yaitu: harus tertulis (tidak boleh secara lisan),
harus sedini mungkin, tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar,
ada keterangan terjadinya kejahatan, memberikan label dan segel pada salah
satu ibu jari kaki, ada identitas pemintanya, mencantumkan tanggal permintaan,
dan korban diantar oleh polisi.
Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal
dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang
mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR
kepada penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40
hari dan atas persetujuan penuntut umum. Lampiran visum meliputi: fotografi
forensic, identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut, penjelasan istilah
kedokteran, dan hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi,
mikrobiologi).
C. Contoh Visum et Repertum (korban meninggal)
RUMAH SAKIT UMUM DAERAHGROGOL PETAMBURAN
___________________________________________________________ Jakarta, 14 Desember 2015
PRO JUSTITIAVISUM ET REPERTUM
No. 04/TU.RSUDGP/I/2015
Berhubung dengan surat Saudara--------------------------------------------------------Nama : HENDRU -------------------------------------------------------------------Pangkat : AIPTU. Nrp. 030610088.--------------------------------------------------Alamat : Kepolisian Sektor Kota Jakarta,Jl.Tanjung Duren No.50 Jakarta -----Jabatan : An. Kepala.Kepolisian Sektor Grogol.-----------------------------------Yang kami terima pada tanggal; 04 Desember 2015, maka kami, Dr. Santhi SpF. Dokter Spesialis Forensik, Dokter pemerintah pada Rumah Sakit Umum Daerah Grogol Petamburan, telah melakukan pemeriksaan luar pada tanggal: 04 Desember 2015, pukul: 16.00 WIB dan pemeriksaan dalam pada tanggal: 04 Desember 2015, pukul: 16.30 WIB di rumah sakit tersebut di atas, atas jenazah yang menurut surat Saudara tersebut,----------------------------------------------------Bernama : Rudianto------------------------------------------------------------------Jenis kelamin : Laki-laki------------------------------------------------------------------Umur : 30 Tahun.----------------------------------------------------------------
36
Alamat : Jalan Tanjung Duren Selatan No. 50 Jakarta,-----------------------Bangsa : Indonesia ----------------------------------------------------------------Dengan dugaan meninggal karena : Pembunuhan. ------------------------------------Korban ditemukan/ meninggal : di selnya dengan kondisi tergantung dengan menggunakan tali dengan beberapa luka memar di tubuhnya.-----------------------
Korban dibawa ke kamar jenazah RSUD Grogol Jakarta,----------------------------
Oleh : Bertho, -Pangkat : AIPTU. Nrp. 030610088 , Dengan kendaraan No.Pol.: AG 1234 UA -------------------------------------------------------------------------------Pada tanggal: 03 Desember 2013,----------------------------Pukul : 11-30-----------
HASIL PEMERIKSAAN-----------------------------------------------------------------PEMERIKSAAN LUAR :----------------------------------------------------------------1. Korban seorang Laki-laki, Usia Tiga puluh tahun , Tinggi badan kurang
lebih seratus enam puluh lima centimeter, Berat badan lima puluh kilogram, keadaan gizi baik, warna kulit sawo matang. ------------------------------------
2. Lebam mayat dan kaku mayat positif. --------------------------------------------3. Korban berlabel dan tidak bersegel, keadaan gizi baik. -------------------------4. Pakaian baju tahanan lengkap dengan kaos polos dibagian dalamnya --------5. Kepala / leher : baik rambut hitam lurus.------------------------------------------
wajah terlihat adanya pembengkakan dan memar-------------------------------- di bawah leher ada bekas jerat dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut ke atas ------------------------------------------------------------
6. Dada : tidak ditemukan tanda kekerasan tumpul maupun tajam.---------------7. Perut : tidak ditemukan tanda kekerasan tumpul maupun tajam.--------------8. Punggung : ditemukan beberapa memar berbentuk dua garis sejajar --------9. Alat kelamin luar : didapati luka bar yang susai dengan jejas listirik ---------10. Anggota gerak atas : -----------------------------------------------------------------11. Anggota gerak bawah : luka bakar berbentuk bundar diameter sekitar 1cm--PEMERIKSAAN DALAM :--------------------------------------------------------------1. Kepala / leher : resapan darah yang luas di kulit kepaa, perdarahan yang tipis
di bawah seaput keras otak, sembab otak besar, sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri, patah ujung rawan gondok sisi kiri ---------------------------------
2. Dada : ------------------------------------------------------------------------------------paru dan jantung ditemukan sedikit binting-bintik pendarahan, sedikit busa halus di dalam saluran pernapasan ---------------------------------------------------perut :-------------------------------------------------------------------------------------
KESIMPULAN :---------------------------------------------------------------------------1. Korban seorang Laki-laki, Usia Tiga puluh tahun , Tinggi badan kurang lebih
seratus enam puluh lima centimeter, Berat badan lima puluh kilogram, keadaan gizi baik, warna kulit sawo matang, rambut lurus hitam, panjang kurang lebih lima centimeter. ---------------------------------------------------------
2. Pemeriksaan Luar : ditemukan bengkak dan memar pada daerah wajah, pada punggung terdapat beberapa memar berbentuk dua garis sejajar, di daerah paha di skitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar, jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut keatas -----------------------------------------------------------------------------
37
3. Pemeriksaan Dalam: perdarahan yang tipis di bawah selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher tetapi terdapat sedkit resapan di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik pendarahan di permukaan kedua paru dan jantung --------------------------------
Demikian Visum Et Repertum ini saya buat dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan.
Tanda tangan,
( Dr. Santhi, SpF. )NIP. 030610012
Kesimpulan
Ketika mendapati suatu kasus kematian yang dianggap tidak wajar atau
sekiranya memiliki kemungkinan kriminalitas, maka dapat dilakukan berbagai
prosedur yang terkait, termasuk peran dokter dalam melakukan pemeriksaan terhadap
jenazah. Seperti pada kasus kali ini, dimana didapati pria yang ditemukan meninggal
karena gantung diri namun ditemukan tanda-tanda kecurigaan terjadinya kekerasan,
maka dokter dapat melakukan pemeriksaan terhadap jenazah untuk menemukan
penyebab kematian yang sebenarnya. Dalam melakukan autopsi diperlukan
pengetahuan mengenai tanatologi dan traumatologi forensik. Selanjutnya dibuat
visum et repertum sesuai dengan hasil pemeriksaan yang ada.
Dari kasus diatas, sebelum korban ditemukan tergantung diduga korban telah
mengalami penganiayaan, hal ini dikarenakan adanya memar-mear dibagian wajah
dan punggung yang kemungkinan besar diakibatkan oleh benda tumpul. Selain itu,
ditemukan juga adanya luka bakar pada paha dan yang mengindikasikan adanya
penganiayaan. Bukan hanya itu, ditemukan juga luka bakar pada penis korban yang
kemungkinan diakibatkan oleh stungun. Setelah mengalami penganiayaan, barulah
korban digantung sampai mati. Cara kematian korban adalah tidak wajar karena ini
merupakan pembunuhan. Sebab kematiannya adalah karena penekanan saluran
pernafasan. Mekanisme kematiannya adalah karena asfiksia, yaitu akibat
terhambatnya aliran udara pernapasan akibat digantung.
38
Daftar Pustaka
1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. Ilmu kedokteran forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997.
2. Safitry O. Kompiasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2014.
3. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik. Teknik autopsi forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000.
4. Arif Mansjoer, Suprohaiti, Wahyu Ika, Wiwiek S. Ilmu Kedokteran Forensik. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Indonesia; Edisi ketiga, Jilid 2; Tahun 2000
5. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang: 2000.
6. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2014.
39