68
Pemeriksaan Forensik pada Kasus Pembunuhan Melisa 102011340 Agatha Ismail 102012094 Sendy Jayanti 102012186 Vania Rafelia 102012251 Michael Laban 102012285 Arwi Wijaya 102012294 Ivanalia Soli Deo 102012359 Filzah Atikah binti Johamin 102012491 B9 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA Koresponden: [email protected] Pendahuluan Ilmu kedokteran forensik disebut juga ilmu kedokteran kehakiman, merupakan salah satu mata ajaran wajib dalam rangkaian pendidikan kedokteran di Indonesia, dimana peraturan perundangan mewajibkan setiap dokter baik dokter, dokter spesialis kedokteran forensik, spesialis klinik untuk membantu melaksanakan pemeriksaan kedokteran forensik bagi kepentingan peradilan bilamana diminta oleh polisi penyidik. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan. 1 Pada kesempatan kali ini didapati kasus mengenai seseosok mayat laki-laki yang dikirimkan ke Bagian Kedokteran Forensik FKUI/RSCM oleh sebuah Polsek di Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putri yang kebetulan anak dari seorang 1

Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

forensik kedokteran

Citation preview

Page 1: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

Pemeriksaan Forensik pada Kasus Pembunuhan Melisa 102011340

Agatha Ismail 102012094Sendy Jayanti 102012186Vania Rafelia 102012251Michael Laban 102012285Arwi Wijaya 102012294

Ivanalia Soli Deo 102012359Filzah Atikah binti Johamin 102012491

B9FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANAKoresponden: [email protected]

Pendahuluan

Ilmu kedokteran forensik disebut juga ilmu kedokteran kehakiman, merupakan

salah satu mata ajaran wajib dalam rangkaian pendidikan kedokteran di Indonesia,

dimana peraturan perundangan mewajibkan setiap dokter baik dokter, dokter spesialis

kedokteran forensik, spesialis klinik untuk membantu melaksanakan pemeriksaan

kedokteran forensik bagi kepentingan peradilan bilamana diminta oleh polisi

penyidik. Dengan demikian, dalam penegakan keadilan yang menyangkut tubuh,

kesehatan dan nyawa manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan Ilmu Kedokteran

Forensik dan Medikolegal yang dimilikinya amat diperlukan.1

Pada kesempatan kali ini didapati kasus mengenai seseosok mayat laki-laki

yang dikirimkan ke Bagian Kedokteran Forensik FKUI/RSCM oleh sebuah Polsek di

Jakarta. Ia adalah tersangka pelaku pemerkosaan terhadap seorang remaja putri yang

kebetulan anak dari seorang pejabat kepolisian. Berita yang dituliskan di dalam surat

permintaan visum et repertum adalah bahwa laki-laki ini mati karena gantung diri di

dalam sel tahanan Polsek. Pemeriksaan yang dilakukan keesokan harinya menemukan

bahwa pada wajah mayat terdapat pembengkakan dan memar, pada punggungnya

terdapat beberapa memar berbentuk dua garis sejajar (railway hematome) dan di

daerah paha di sekitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar berbentuk bundar

berukuran diameter kira-kira satu sentimeter.

Di ujung penisnya tedapat luka bakar yang sesuai dengan jejas listrik.

Sementara itu terdapat pula jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah

kiri belakang yang membentuk sudut ke atas. Pemeriksaan bedah jenazah menemukan

resapan darah yang luas di kulit kepla, perdarahan yang tipis dibawah selput keras

1

Page 2: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

otak, sebab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher tetapi sedikit

resapan darah di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit

busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik pendarahan di permukaan

kedua paru dan jantung. Tidak terdapat patah tulang. Dokter mengambil beberapa

contoh jaringan untuk pemeriksaan laboratorium. Keluarga korban datang ke dokter

dan menanyakan tentang sebab-sebab kematian korban karena mereka mencurigai

adanya tindakan kekerasan selama di tahanan Polsek. Mereka melihat sendiri adanya

memar-memar di tubuh korban.

Untuk menyelesaikan kasus tersebut, perlu diketahui dan ditelusuri mengikut

alur bermula dari aspek hukum dan prosedur medikolegal, pemeriksaan medis berkait

traumatologi dan thanatologi, intepretasi temuan kesimpulan untuk menyatakan cara

mati dan sebab mati dan yang terakhir laporan hasil pemeriksaan. Diharapan melalui

makalah ini, mahasiswa FK Ukrida dapat lebih mengerti mengenai hal-hal tersebut

dan kemudian dapat mengaplikasikannya dalam kasus yang diterima sehari-hari.

Pembahasan

I. Aspek Hukum Medikolegal2

A. KUHP pasal 133

1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangini

seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada kedokteran kehakiman atau dokter dan

atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas

untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan

bedah mayat.

3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter

pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh

penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuatkan

identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diilekatkan pada ibu

jari kaki atau bagian lain badan mayat.

2

Page 3: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

B. KUHP pasal 224

Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-

undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-

undang yang harus dipenuhinya, diancam:

1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan;

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

II. Tanatologi1

Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari

kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang

mempengaruhi perubahan tersebut. Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah tentang

mati yaitu mati somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati

otak (mati batang otak).

Mati somatis disebut juga mati klinis yang terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga

sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan

sistem pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan

refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak

ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada auskultasi.

Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistem

kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan

peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut

masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,

tersengat aliran listrik dan tenggelam. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian

organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya

tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya

kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan. Pengetahuan ini

penting dalam transplantasi organ.

Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali

batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan

dan kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati otak (mati batang otak)

adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial yang irreversible,

termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang

3

Page 4: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

otak) maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan

hidup lagi, sehingga alat bantu dapat dihentikan.

A. Tanda Kematian Tidak Pasti dan Kematian Pasti

Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada

seseorang berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh

mayat. Perubahan tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa

menit kemudian, misalnya kerja jantung dan peredaran darah berhenti,

pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata menghilang, kulit

pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati

yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda

tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis

atau lividitas pascamati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh,

pembusukan, mummifikasi dan adiposera.

Tanda Kematian Tidak Pasti

1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi,

auskultasi).

2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.

3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena

mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.

4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah

menyebabkan kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang

menjadi tampak lebih muda. Kelemasan otot sesaat setelah kematian

disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-daerah

yang tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang

terlentang.

5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah

kematian. Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan

kemudian menetap.

6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang

masih dapat dihilangkan dengan meneteskan air.

4

Page 5: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

Tanda Pasti Kematian

1. Lebam Mayat (livor mortis)

Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah

akibat gaya tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk

bercak berwarna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali

pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya

aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat

biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya

bertambah dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum

waktu ini, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan dan dapat

berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih cepat dan

sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh tersebut dilakukan

dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun setelah 24 jam,

darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir

dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang

dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya

pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh bertimbunnya sel-

sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah lagi. Selain itu,

kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit perpindahan

tersebut.

Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian; memperkirakan

sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO

atau CN, warna kecoklatan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal;

mengetahui perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam

mayat yang menetap; dan memperkirakan saat kematian.

Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat belum

menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah

beberapa saat akan terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan perut.

Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada penekanan

menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat pemeriksaan.

Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh darah,

maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah

akibat trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan

5

Page 6: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

kemudian disiram dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar

pada lebam mayat, sedangkan pada resapan darah tidak menghilang.

2. Kaku Mayat (rigor mortis)

Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme

tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang

menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP.

Selama masih terdapat ATP maka serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila

cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan

miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.

Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai

tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-

otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku

mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat

menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang

dalam urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan

serabut otot, tetapi jika sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi

teregang, maka saat kaku mayat terbentuk akan terjadi pemendekan otot.

Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas

fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot

kecil dan suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk

menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian.

Terdapat kekakuan pada mayatyang menyerupai kaku mayat, antara lain :

a. Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekauan otot

yang terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm

sesungguhnya merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas

sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah

akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat

pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat

sebelum meninggal. Cadaveric spasm ini jarang dijumpai, tetapi

sering terjadi dalam masa perang. Kepentingan medikolegalnya adalah

menunjukkkan sikap terakhir masa hidupnya. Misalnya, tangan yang

menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam,

tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.

6

Page 7: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

b. Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh

panas. Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah

robek). Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada

heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek sehingga

menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap

petinju (pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti

tertentu bagi sikap semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara

kematian.

c. Cold stiffening, yaitu kekauan tubuh akibat lingkungan dingin,

sehingga terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi,

pemadatan jaringan lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi

ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.

3. Penurunan Suhu Tubuh (algor mortis)

Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu

benda ke benda yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi

dan konveksi. Grafik penurunan suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva

sigmoid atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan suhu dipengaruhi oleh

suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh dan

pakaian. Selain itu, suhu saat mati perlu diketahui untuk perhitungan perkiraan

saat kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang

rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus,

posisi terlentang, tidak berpakaian atau berpakaian tipis, dan pada umumnya

orang tua serta anak kecil.

Penelitian akhir-akhir ini cenderung untuk memperkirakan saat mati

melalui pengukuran suhu tubuh pada lingkungan yang menetap di Tempat

Kejadian Perkara (TKP). Caranya adalah dengan melakukan 4-5 kali

penentuan suhu rectal dengan interval waktu yang sama (minimal 15 menit).

Suhu lingkungan diukur dan dianggap konstan karena faktor-faktor

lingkungan dibuat menetap, sedangkan suhu saat mati dianggap 37oC bila

tidak ada penyakit demam. Penelitian membuktikan bahwa perubahan suhu

lingkungan kurang dari 2oC tidak mengakibatkan perubahan yang bermakna.

Dari angka-angka di atas, dengan menggunakan rumus atau grafik dapat

7

Page 8: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

ditentukan waktu antara saat mati dengan saat pemeriksaan. Saat ini telah

tersedia program komputer guna penghitungan saat mati melalui cara ini.

4. Pembusukan (decomposition, putrefaction)

Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis

dan kerja bakteri. Autolisis adalah perlunakan dan pencairan jaringan yang

terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim

yang dilepaskan sel pasca mati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan

jaringan. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam

tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri

tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang

terutama adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk

gas-gas alkana, H2S dan HCN, serta asam amino dan asam lemak.

Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca mati berupa warna

kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih cair

dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan

ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met-hemoglobin. Secara bertahap warna

kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun

mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti melebar dan

berwarna hijau kehitaman.

Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi

cairan kemerahan berbau busuk. Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di

dalam lambung dan usus, akan mengakibatkan tegangnya perut dan keluarnya

cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Gas yang terdapat di dalam jaringan

dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik (krepitasi). Gas ini

menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan

terbesar terdapat di daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan

payudara. Tubuh berada dalam sikap seperti petinju (pugilistic attitude), yaitu

kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah fleksi akibat terkumpulnya gas

pembusukan di dalam rongga sendi.

Selanjutnya, rambut menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas,

wajah mengembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata

membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak dan sering terjulur

di antara gigi. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban,

8

Page 9: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

sehingga tidak dapat lagi dikenali oleh keluarga. Hewan pengerat akan

merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca mati, terutama bila mayat

dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan binatang pengerat

khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi.

Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan nyata,

yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat

ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung

dan di antara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva

dalam waktu 24 jam. Dengan identifikasi spesies, lalat dan mengukur panjang

larva, maka dapat diketahui usia larva tersebut, yang dapat dipergunakan

untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi bahwa lalat biasanya

secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan tidak lagi dapat

mengusir lalat yang hinggap).

Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang

berbeda. Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus,

usus, menjadi ungu kecoklatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan,

endokardium dan intima pembuluh darah juga kemerahan, akibat hemolisis

darah. Difusi empedu dari kandung empedu mengakibatkan warna coklat

kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi berongga seperti

spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat dalam akan mengerut.

Prostat dan uterus non-gravid merupakan organ padat yang paling lama

bertahan terhadap perubahan pembusukan.

Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26.5oC

hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup, banyak

bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis.

Media tempat mayat terdapat juga berperan. Mayat yang terdapat di udara

akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang terdapat dalam air atau

dalam tanah. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk, karena hanya

memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang

cepat dan bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.

5. Adiposera atau Lilin Mayat

Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau

berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca

9

Page 10: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

mati. Dulu disebut sebagai saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai

karena penunjukan sifat-sifat di antara lemak dan lilin.

Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk

oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam

lemak jenuh pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat,

jaringan saraf yang termumifikasi dan kristal-kristal sferis dengan gambaran

radial. Adiposera terapung di air, bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan

nyala kuning, larut dalam alkohol dan eter.

Adiposera dapat terbentuk di sembarang lemak tubuh, bahkan di dalam

hati, tetapi lemak superficial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan

berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh

atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera.

Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan

hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab

kematian masih dimungkinkan.

Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah

kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang meghambat adalah

air yang mengalir yang membuang elektrolit. Udara yang dingin menghambat

pembentukan, sedangkan suhu yang hangat akan mempercepat. Invasi bakteri

endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan mempercepat

pembentukannya.

Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena derajat

keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung

kira-kira 0.5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati

dapat naik menjadi 20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada

saat ini, adiposera menjadi jelas secara makroskopik sebagai bahan berwana

putih kelabu yang menggantikan atau menginfiltrasi bagian-bagian lunak

tubuh. Pada stadium awal pembentukannya sebelum makroskopik jelas,

adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmitat.

6. Mummifikasi

Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang

cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat

menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,

10

Page 11: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

berwarna gelap, berkeriput dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat

berkembang pada lingkungan yang kering. Mummifikasi terjadi bila suhu

hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan

waktu yang lama (12-14 minggu). Mummifikasi jarang dijumpai pada cuaca

yang normal.

B. Perkiraan Waktu Kematian

Selain dari melihat tanda-tanda perubahan pada mayat seperti di atas,

beberapa perubahan lain dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati.

Diantaranya dapat dilihat dari perubahan pada mata, lambung, rambut, kuku,

cairan serebrospinal, dsb.

1. Perubahan pada Mata

Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea

akan berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan

dasar di tepi kornea (traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi

lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan

dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai lapisan lebih

dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini

terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup

maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan

dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas.

Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi

pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil

dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat

kematian hingga 15 jam pasca mati. Hingga 30 menit pasca mati tampak

kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus optikus. Kemudian hingga 1

jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi. Selama 2 jam

pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning.

Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada

saat itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar

belakang merah dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam

pasca mati menjadi kabur dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat.

Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur dan hanya pembuluh-

pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan latar

11

Page 12: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

belakang kuning kelabu. Dalam waktu 7 – 10 jam pasca mati akan mencapai

tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus

hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh

darah yang tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran

pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna

coklat gelap.

2. Perubahan Pada Lambung

Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat

digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan

saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam

membuat keputusan. Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung

dapat digunakan untuk menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah

makan makanan tersebut.

3. Perubahan pada Rambut dan Kuku

Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari,

panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan

saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai

kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia

mencukur. Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang

diperkirakan sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan

saat kematian bila dapat diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong

kuku.

4. Perubahan Cairan Serebrospinal dan Cairan Vitreus

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian

belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%

menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan

10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan

30 jam. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup

akurat untuk memperkirakan saat kematian antara 24 – 100 jam pasca mati.

12

Page 13: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

5. Kadar Komponen Darah

Kadar komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis darah

pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut semasa

hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri,

serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan

fungsi tubuh selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam

darah bahkan sebelum kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan

perubahan dalam darah yang dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati

dengan lebih tepat.

6. Reaksi Supravital

Rekasi supravital yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang

masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa

uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya rangsang listrik

masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit pasca mati

dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60-90 menit pasca mati,

sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1

jam pasca mati.

III. Otopsi3

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, autopsi berasal dari kata Auto

(sendiri) dan Opsis (melihat). Yang dimaksud dengan Autopsi adalah pemeriksaan

terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun bagian

dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera,

melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebabnya

serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan

dengan penyebab kematian. Jika pada pemeriksaan ditemukan beberapa jenis kelainan

bersama-sama, maka dilakuakn penentuan kelainan mana yang merupakan penyebab

kematian, serta apakah kelianan yang lain turut mempunyai andil dalam terjadinya

kematian tesebut.

13

Page 14: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

A. Pemeriksaan Luar

Bagian pertama dari teknik otopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika

pemeriksaan luar adalah :

1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan

pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama

berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin.

Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah, harus

tetap ada pada tubuh mayat.

2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya

bercak/pengotoran) dari penutup mayat.

3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya

bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.

4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas

sampai di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi

bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran,

merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada.

Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran

atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.

5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk

serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.

6. Mencatat benda di samping mayat.

7. Mencatat perubahan tanatologi

a. Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.

b. Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada

tidaknya spasme kadaverik.

c. Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu

ruangan pada saat tersebut.

d. Pembusukan.

e. Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.

8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan

umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan,

disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut.

14

Page 15: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas

khusus, meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit,

anomali dan cacat pada tubuh.

10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut.

Rambut kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara

memotong dan mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi

kulit kepala yang berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantungan

yang telah ditandai sesuai tempat pengambilannya.

11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda

kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata,

warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak

perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik.

Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil,

bandingkan kiri dan kanan.

12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.

13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi

dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu,

kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya.

14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran

pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara

menyeluruh.

15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan

bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita

dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang

sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka,

benda asing, darah dan lain-lain.

16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus,

sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain

pada tubuh.

17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka

pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka,

lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah

kedua tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa

15

Page 16: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

patokan, antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah

melalui tulang belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan

garis mendatar melalui pusat.

B. Pemeriksaan Dalam

Pemeriksaan organ/alat tubuh biasanya dimulai dari lidah, oesofagus, trakea

dan seterusnya sampai meliputi seluruh alat tubuh. Otak biasanya diperiksa

terakhir.

1. Lidah

Pada lidah, perhatikan permukaan lidah, adakah kelainan bekas gigitan,

baik yang baru maupun yang lama. Bekas gigitan yang berulang dapat

ditemukan pada penderita epilepsy. Bekas gigitan ini dapat pula terlihat

pada penampang lidah. Pengirisan lidah sebaiknya tidak sampai teriris

putus, agar setelah selesai autopsy, mayat masih tampak berlidah utuh.

2. Tonsil

Perhatikan permukaan maupun penampang tonsil, adakah selaput,

gambaran infeksi, nanah dan sebagainya. Ditemukannya tonsilektomi

kadang kadang membantu dalam identifikasi.

3. Kelenjar gondok

Untuk melihat kelenjar gondok dengan baik, otot-otot leher terlebih

dahulu dilepaskan dari perlekatannya disebelah belakang. Dengan pinset

bergigi pada tangan kiri, ujung bawah otot-otot leher dijepit dan sedikit

diangkat, dengan gunting pada tangan kanan, otot leher dibebaskan dari

bagian posterior. Setelah otot leher ini terangkat, maka kelenjar gondok

akan tampak jelas dan dapat dilepaskan dari perlekatannya dari rawan

gondok dan trakea. Perhatikan ukuran dan beratnya. Periksa apakah

permukaannya rata, catat warnanya, adakah perdarahan berbintik atau

resapan darah. Lakukan pengirisan dibagian lateral pada kedua bagian

kelenjar gondok dan catat perangai penampang kelenjar ini.

4. Kerongkongan (esophagus)

Esophagus dibuka dengan jalan menggunting sepanjang dinding

belakang. Perhatikan adanya benda benda asing, keadaan selaput lender

serta kelainan yang mungkin ditemukan (misalnya striktura atau varises).

16

Page 17: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

5. Batang tenggorok (trakea)

Pemeriksaan dimulai pada mulut atas batang tenggorok, dimulai pada

epiglottis. Perhatikan adakah edema, benda asing, perdarahan dan

kelainan lain. Perhatikan pula pita suara dan kotak suara. Pembukaan

trakea dilakukan dengan melakukan pengguntingan dinding belakang

(bagian jaringan ikat pada cincin trakea) sampai mencapai cabang

bronkus kanan dan kiri. Perhatikan adanya benda asing, busa darah, serta

keadaan selaput lendirnya.

6. Tulang lidah (os hyoid), rawan gondok (kartilago thyroidea) dan rawan

cincin (cartilage krikoidea)

Tulang lidah kadang ditemukan patah unilateral pada kasus pencekikan.

Tulang lidah terlebih dahulu dilepaskan dari jaringan sekitarnya dengan

menggunakan pinset dan gunting. Perhatikan adanya patah tulang,

resapan darah. Rawan gondok dan rawan cincin seringkali juga

menunjukan resapan darah pada kasus dengan kekerasan pada daerah

leher (pencekikan, penjeratan, gantung).

7. Arteria carotis interna

Arteria carotis communis dan interna biasanya tertinggal melekat pada

permukaan depan ruas tulang leher. Perhatikan adanya tanda kekerasan

pada sekitar arteria ini. Buka pula arteria ini dengan menggunting

dinding depannya dan perhatikan keadaan intima. Bila kekerasan daerah

leher mengenai arterian ini, kadang-kadang dapat ditemukan kerusakan

pada intima disamping terdapatnya resapan darah.

8. Kelenjar kacangan (tymus)

Thymus biasanya telah berganti menjadi thymic fat body pada orang

dewasa, namun kadang-kadang masih dapat ditemukan (pada status

thymicolymphaticus). Kelenjar kacangan terdapat melekat disebelah atas

kandung jantung. Pada permukaannya perhatikan akan adanya

perdarahan berbintik serta kemungkinan adanya kelainan lain.

9. Paru-paru

Kedua paru masing-masing diperiksa tersendiri. Tentukan permukaan

paru-paru. Pada paru yang mengalami emfisema, dapat ditemukan

cekungan bekas penekanan iga. Perhatikan warnanya, serta bintik

perdarahan, bercak perdarahan, akibat aspirasi darah kedalam alveoli

17

Page 18: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

(tampak pada permukaan paru sebagai bercak berwarna merah-hitam

dangan batas tegas), resapan darah, luka, bulla dan sebagainya. Perabaan

paru yang normal terasa seperti meraba spons/ karet busa. Pada paru

dengan proses peradangan perabaan dapat menjadi padat atau keras.

Penampang paru diperiksa setelah melakukan pengirisan paru yang

dimulai dari apex sampai kebasal, dengan tangan kiri memegang paru

pad daerah hilus. Pada penampang paru ditentukan warnanya serta dicatat

kelainan yang mungkin ditemukan.

10. Jantung

Perhatikan besarnya jantung, bandingkan dengan kepala tinju kanan

mayat. Perhatikan akan adanya resapan darah, luka atau bintik-bintik

perdarahan. Lakukan pengukuran lingkar katup mitral serta penilaian

terhadap katup. Tebal otot kiri jantung diukur pada irisan tegak yang

dibuat 1 cm disebalah bawah katup pada dinding belakang. Dengan

gunting dinding depan bilik kiri dipotong menyusuri septum pada jarak ½

cm, terus kearah atas membuka juga dinding depan aorta dan memotong

katup semilunaris aorta. Lingkaran katup diukur dan daun katup dinilai.

Pada penampang irisan diperhatikan tebal dinding arteri, keadaan lumen

dan kemungkinan terdapatnya tromus. Septum jantung dibelah untuk

melihat kelainan otot, baik kelainan yang bersifat degenerative maupun

kelainan bawaan. Nilai pengukuran pada jantung normal orang dewasa

adalah sebagai berikut. Ukuran jantung sebesar kepalan tangan kanan

mayat, berat sekitar 300gr, ukuran lingkaran katup serambi bilik kanan

sekitar 11 cm, kiri 9,5 cm, lingkar katup pulmonal sekitar 7 cm, dan aorta

6.5 cm. tebal oto bilik kanan 3-5 mm sedangkan yang kiri 14 mm.

11. Aorta thoracalis

Pengguntingan pada dinding belakang aorta thoracalis dapat

memperlihatkan permukaan dalam aorta. Perhatikan kemungkinan

terdapatnya deposit kapur, ateroma atau pembentukan aneurisma.

Kadang-kadang pada aorta dapat ditemukan tanda-tanda kekerasan

merupakan resapan darah atau luka. Pada kasus kematian bunuh diri

dengan jalan menjatuhkan diri dari tempat tinggi. Bila korban mendarat

dengan kedua kaki terlebih dahulu. Seringkali ditemukan robekan

melintang pada aorta thoracalis.

18

Page 19: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

12. Aorta abdominalis

Bloc organ perut dan panggul diletakkan diatas meja potong dengan

permukaan belakang menghadap ke atas. Aorta abdominalis digunting

dinding belakangnya mulai dari tempat pemotongan aa.iliaca comunis

kanan dan kiri. Perhatikan dinding aorta terhadap adanya penimbunan,

pekapuran, atau atheroma. Perhatikan pula muara dari pembuluh nadi

yang keluar dari aorta abdominalis ini, terutama muara aa.renalis kanan

dan kiri dibuka sampai memasuki ginjal. Perhatikan apakah terdapat

kelainan pada dinding pembuluh darah yang mungkin merupakan dasar

dideritanya hipertensi renal bagi yang bersangkutan.

13. Anak ginjal (glandula suprarenalis)

Anak ginjal kanan terletak di bagian mediokranial dari kutub atas ginjal

kanan, tertutup oleh jaringan lemak, berada antara permukaan belakang

hati dan permukaan bawah diafragma. Anak ginjal kemudian dibebaskan

dari jaringan sekitarnya dan diperiksa terhadap kemungkinan adanya

kelainan ukuran, resapan darah dan sebagainya. Anak ginjal kiri terletak

dibagian medio-kranial kiri kutub atas ginjal kiri, juga tertutup dalam

jaringan lemak, terletak antara ekor kelenjar liur perut (pankreas) dan

diafragma. Pada anak ginjal yang normal, pengguntingan anak ginjal

akan memberikan penampang dengan bagian korteks dan medula yang

tampak jelas.

14. Ginjal, ureter, dan kandung kencing

Adanya trauma yang mengenai daerah ginjal seringkali menyebabkan

resapan darah pada capsula. Dengan melakukan pengirisan di bagian

lateral kapsula, ginjal dapat dilepaskan. Pada ginjal yang mengalami

peradangan, simpai ginjal mungkin akan melekat erat dan sulit

dilepaskan. Setelah simpai ginjal dilepaskan, lakukan terlebih dahulu

pemeriksaan terhadap permukaan ginjal. Adakah kelainan berupa

resapan darah, luka-luka ataupun kista-kista retensi. Pada penampang

ginjal, perhatikan gambaran korteks dan medula spinalis. Juga

perhatikan pelvis renalis akan kemungkinan terdapatnya batu ginjal,

tanda peradangan, nanah dan sebagainya. Ureter dibuka dengan

meneruskan pembukaan pada pelvis renalis, terus mencapai vesika

urinaria. Perhatikan kemungkinan terdapatnya batu, ukuran penampang,

19

Page 20: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

isi saluran serta keadaan mukosa. Kandung kencing dibuka dengan jalan

menggunting dinding depannya mengikuti bentuk huruf T. Perhatikan isi

serta selaput lendirnya.

15. Hati dan kandung empedu

Pemeriksaan dilakukan terhadap permukaan hati, yang pada keadaan

biasa menunjukkan permukaan yang rata dan licin, berwarna merah-

coklat. Kadang kala pada permukaan hati dapat ditemukan kelainan

berupa jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang berbenjol-benjol,

bahkan abses. Pada perabaan, hati normal memberikan perabaan yang

kenyal. Tepi hati biasanya tajam. Hati yang normal menunjukkan

penampang yang jelas gambaran hatinya. Pada hati yang telah lama

mengalami perbendungan dapat ditemukan gambaran hati pula.

Kandung empedu diperiksa ukurannya serta diraba akan kemungkinan

terdapatnya batu empedu. Untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan

pada saluran empedu, dapat dilakukan pemeriksaan dengan jalan

menekan kandung empedu ini sambil memperhatikan muaranya pada

duodenum (papilla vateri). Bila tampak cairan coklat-hijau keluar dari

muara tersebut, ini menandakan saluran empedu tidak tersumbat.

16. Limpa dan kelenjar getah bening

Limpa dilepaskan dari sekitarnya. Limpa yang normal menunjukkan

permukaan yang berkeriput, berwarna ungu dengan perabaan lunak

kenyal. Buatlah irisan penampang limpa, limpa normal mempunyai

gambaran limpa yang jelas, berwarna coklat-merah dan bila dikikis

dengan punggung pisau, akan ikut jaringan penampang limpa. Jangan

lupa mencatat ukuran dan berat limpa. Catat pula bila ditemukan

kelenjar getah bening regional yang membesar.

17. Lambung, usus halus dan usus besar.

Lambung dibuka dengan gunting curvatura mayor. Perhatikan isi

lambung dan simpan dalam botol atau kantong plastik bersih bila isi

lambung ingin diperlukan untuk pemeriksaan toksikologik atau

pemeriksaan laboratorik lainnya. Selaput lendir lambung diperiksa

terhadap kemungkinan adanya erosi, ulserasi, perdarahan/resapan darah.

Usus diperiksa akan kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta

20

Page 21: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

kemungkinan terdapat darah dalam lumen serta kemungkinan

terdapatnya kelainan bersifat ulseratif, polip dan lain-lain.

18. Kelenjar liur perut (pancreas)

Pertama-tama lepaskan lebih dahulu kelenjar liur perut ini dari

sekitarnya. Kelenjar liur perut yang normal menunjukkan warna kelabu

agak kekuningan, dengan permukaan yang berbelah-belah dan perabaan

yang kenyal. Perhatikan ukuran dan beratnya. Cata bila ada kelainan.

19. Otak besar, otak kecil, dan batang otak

Perhatikan permukaan luar dari otak dan cacat kelainan yang ditemukan.

Adakah perdarahan subdural, perdarahan subarakhnoid, kontusio

jaringan otak atau kadangkala bahkan sampai terjadi laserasi. Pada

oedema cerebri, gyrus otak akan tampak mendasar dan sulkus tampak

menyempit. Perhatikan pula kemungkinan terdapatnya tanda penekanan

yang menyebabkan sebagian permukaan otak menjadi datar. Pada daerah

ventrak otak, perhatikan keadaan sirkulus Willisi. Nilai keadaan

pembuluh darah pada sirkulus, adakah penebalan dinding akibat

kelainan ateroma, adakah penipisan dinding akibat aneurysma, adakah

perdarahan. Bila terdapat perdarahan hebat, usahakan agar dapat

ditemukan sumber perdarahan tersebut. Perhatikan pula bentuk

serebelum. Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akibat edema

serebri misalnya, dapat terjadi herniasi serebllum ke arah foramen

magnum, sehingga bagian bawah serebellum tampak menonjol.

Pisahkan otak kecil dan otak besar dengan melakukan pemotongan pada

pedunculus serebri kanan dan kiri. Otak kecil ini kemudian dipisahkan

juga dari batang otak dengan melakukan pemotongan pada pedunculus

serebelli. Otak besar diletakkan dengan bagian ventral menghadap

pemeriksa. Lakukan pemotongan otak besar secara koronal/melintang,

perhatikan penampang irisan.

Tempat pemotongan haruslah sedemikian rupa sehingga struktur penting

dalam otak besar dapat diperiksa dengan teliti. Kelainan yang dapat

ditemukan pada penampang otak besar antara lain adalah: perdarahan

pada korteks akibat contusio cerebri, perdarahan berbintik pada

substansi putih akibat emboli, keracunan barbiturat serta keadaan lain

yang menimbulkan hipoksia jaringan otak. Infark jaringan otak, baik

21

Page 22: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

yang bilateral maupun yang unilateral akibat gangguan perdarahan oleh

arteri, abses otak, perdarahan intracerebral akibat pecahnya a.

lenticulostriata dan sebagainya. Otak kecil diperiksa penampangnya

dengan membuat suatu irisan melintang, catatlah kelainan perdarahan,

perlunakan dan sebagainya yang mungkin ditemukan. Batang otak diiris

melintang mulai daerah pons, medulla oblongata sampai ke bagian

proksimal medulla spinalis. Perhatikan kemungkinan adanya perdarahan.

Adanya perdarahan di daerah batang otak biasanya mematikan.

20. Alat kelamin dalam (genitalia interna)

Pada mayat laki-laki, testis dapat dikeluarkan dari scrotum melalui

rongga perut. Jadi tidak dibuat irisan baru pada scrotum. Perhatikan

ukuran, konsistensinya serta kemungkinan ada resapan darah. Perhatikan

pula bentuk dan ukuran epididimis. Kelenjar prostat diperhatikan ukuran

dan konsistensinya. Pada mayat wanita, perhatikan bentuk serta ukuran

kedua indung telur, saluran telur dan uterus sendiri. Pada uterus

diperhatikan kemungkinan terdapatnya perdarahan, resapan darah

ataupun luka akibat tindakan abortus provokatus. Uterus dibuka dengan

membuat irisan berbentuk huruf T pada dinding depan melalui saluran

serviks serta muara kedua saluran telur pada fundus uteri. Perhatikan

keadaan selaput lendir uterus, tebal dinding, isi rongga rahim serta

kemungkinan terdapatnya kelainan lain.

21. Timbang dan catatlah berat masing-masing alat/organ

Sebelum mengembalikan organ-organ (yang telah diperiksa secara

makroskopis) kembali ke dalam tubuh mayat, pertimbangkan terlebih

dahulu kemungkinan diperlukannya organ guna pemeriksaan

histopatologik. Potongan jaringan untuk pemeriksaan histopatologik

diambil dengan dengan tebal maksimal 5 mm. Usahakan mengambil

bagian organ di daerah perbatasan antara bagian yang normal dan yang

mengalami kelainan. Potongan ini kemudian dimasukkan ke dalam botol

yang berisi cairan fiksasi yang dapat merupakan larutan formalin 10%

(larutan formaldehida 4%) atau alkohol 90-96%, dengan jumlah cairan

fiksasi sekitar 20-30 kali volume potongan jaringan yanng diambil.

Jumlah organ yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi

disesuaikan dengan kasus yang dihadapi serta ketentuan laboratorium

22

Page 23: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

pemeriksa. Sedapat mungkin setiap jenis organ ditaruh dalam botol

tersendiri. Bila diperlukan pengawetan, agar digunakan alkohol 90%.

Pada pengiriman bahan untuk pemeriksaan toksikologik, contoh bahan

pengawet agar juga turut dikirimkan di samping keterangan klinik dan

hasil sementera autopsi atas kasus tersebut.

IV. Traumatologi1,4

Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta

hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa) sedangkan yang dimaksudkan

dengan luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat

kekerasan. Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas

kekerasan yang bersifat mekanik (kekerasan oleh benda tajam atau tumpul dan

tembakan senjata api), fisika (suhu, listrik dan petir, perubahan tekanan udara,

akselerasi, akustik dan radiasi) dan kimia/korosif (asam atau basa kuat).

A. Luka akibat Kekerasan Benda Tumpul

1. Memar (kontusio, hematom)

Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kutis/kulit akibat

pecahnya kapiler dan vena yang disebabkan oleh kekerasan tumpul. Letak,

bentuk dan luas memar dipengaruhi oleh besarnya kekerasan, jenis benda

penyebab, kondisi dan jenis jaringan, usia, jenis kelamin, corak dan warna

kulit, kerapuhan pembuluh darah serta penyakit yang diderita. Bila

kekerasan benda tumpul mengenai jaringan longgar seperti di daerah mata,

leher atau pada bayi dan usia lanjut, maka memar cenderung lebih luas.

Adanya jaringan longgar juga memungkinkan berpindahnya ‘memar’ ke

daerah yang lebih rendah akibat gravitasi seperti kekerasan benda tumpul

pada dahi menimbulkan hematom palpebra. Informasi mengenai bentuk

benda tumpul dapat diketahui jika ditemukan adanya ‘perdarahan tepi’

seperti bila tubuh korban terlindas ban.

Pada ‘perdarahan tepi’ perdarahan tidak dijumpai pada lokasi yang

bertekanan, tetapi perdarahan akan menepi sehingga bentuk perdarahan

sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang yang berdekatan

(cetakan negatif). Umur memar dapat dilihat dari perubahan warnanya.

Pada saat perlukaan, memar berwarna merah, lalu berubah menjadi ungu

atau hitam dan setelah 4 sampai 5 hari akan berwarna hijau yang kemudian

23

Page 24: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

berubah menjadi kuning dalam 7 sampai 10 hari dan akhirnya menghilang

dalam 14 sampai 15 hari. Perubahan warna terjadi mulai dari tepi ke arah

tengah. Hematom antemortem dapat dibedakan dari lebam mayat dengan

melakukan penyayatan kulit. Pada hematom antemortem akan dijumpai

adanya pembengkakan dan infiltrasi darah merah kehitaman dalam

jaringan, sedang pada lebam mayat warna merah tampak merata

2. Luka Lecet (ekskoriasi, abrasi)

Merupakan luka kulit yang superficial, akibat cedera pada epidermis

yang bersentuhan dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau

runcing. Walaupun kerusakannya minimal tetapi luka lecet dapat

memberikan petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada

alat-alat dalam tubuh. Sesuai mekanisme terjadinya luka lecet dibedakan

dalam 4 jenis, antaranya:

a. Luka lecet gores (scratch)

Diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser lapisan

permukaan kulit. Dari gambaran kedalaman luka pada kedua ujungnya

dapat ditentukan arah kekerasan yang terjadi.

b. Luka lecet serut (graze)

Adalah luka lecet yang terjadi akibat persentuhan kulit dengan

permukaan yang kasar dengan arah kekerasan sejajar/miring terhadap

kulit. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan epitel.

c. Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)

Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul secara

tegak lurus terhadap permukaan kulit. Bentuk luka lecet tekan

umumnya sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut.

Kulit pada luka lecet tekan tampak berupa daerah kulit yang kaku

dengan warna lebih gelap dari sekitarnya.

d. Luka lecet geser (friction abration)

Disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser,

misalnya pada kasus gantung atau jerat.

3. Luka robek (Vulnus laceratum)

24

Page 25: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

Merupakan luka terbuka yang terjadi akibat kekerasan tumpul yang kuat

sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot. Ciri luka robek bentuk tidak

beraturan, tepi tidak rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka,

bentuk dasar luka tidak beraturan, akar rambut tampak hancur atau tercabut

bila kekerasannya di daerah yang berambut dan sering tampak luka lecet

atau memar di sekitar luka.

B. Luka Bakar

Terjadi akibat kontak kulit dengan benda bersuhu tinggi. Kerusakan kulit

yang terjadi bergantung pada tinggi suhu dan lama kontak. Kontak kulit dengan

air panas selama 2 detik mengakibatkan suhu kulit pada kedalaman 1 mm dapat

mencapai 66 derajat celcius, sedangkan pada ledakan bensin dalam waktu

singkat mecpai suhu 47 derajat celcius, luka bakar sdah dapat terjadi pada suhu

43-47 deraajat celcius bila kontak cukup lama. Pelebaran kapiler bawah kulit

mulai terjadi pda saat suhu mecapai 35 derajat celcius selama 120 detik, vesike;

terjadi pada suhu 53-57 derajat celcius selama kontak 30-120 detik.

Luka bakar yang terjadi dapat dikategorikan ke dalam 4 derajat luka bakar

yaitu eritema, vesikel dan bula, nekrosis koagulatif, dan karbonisasi. Kematian

luka bakar dapat terjadi melalui pelbagai mekanisme, antara lain syok neurogen;

conmmotio neuro-vacularis, maupun gangguan permeabiitas akibat

pengelepasan histamine dan kehilangan NaCl kulit yang cepat (dehidrasi).

Pemaparan terhadap suhu rendah misalnya dipuncak gunung yang tinggi,

dapat menyebabkan kematian mendadak. Mekanisme kematian dapat

diakibatkan oleh kegagalan pusat pengatur suhu maupun akibat rendahnya

disosisasi Oxy-Hb. Bayi dan orang tua secara fisiologis kurang tanggap

terhadap dingin, demikian juga pada kelelahan, alcoholism, hipopituarism,

myoderma dan steatorrhoea. Pada kulit dpat terjadi luka yang terbagi menjadi

beberapa derajat kelainan; hiperemia, edema dan vesikel, nekrosis, dan

pembekuan disertai kerusakan jaringan.

C. Luka Akibat Trauma Listrik

Faktor yang berperan pada cedera listrik adalah teganggan (Volt), kuat arus

(ampere),tahanan kulit (ohm), luas dan lama kontak. Tegganngan rendah (<65

V) biasanya tidak berbahaya bagi manusia, tapi teganngan sedang (65-1000 V)

25

Page 26: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

dapat memtikan. Banyaknya arus listrik yang mengalir ktubuh manusia

menentukan juga fasilitas seseorang. Makin basar arus makin berbahaya bagi

kelangsungan hidup. Selain factor-faktor kuat arus tahanan dan lama kontak, hal

lain yang penting diperhatikan adalah luas permukaan kontak. Suatu permukaan

kontak seluas 50 cm persegi ( kurang lebih telapak tangan) dapat mematikan

tanpa menimbulkan jejas listrik, karena pada kuat arus letal (100 mA),

kepadatan arus selebar telapak tangan tersebut hanya 2mA/cm persegi yang

tidak cukup besar untuk menimbulkan jejas listrik.

Kuat arus yang masih memngkinkan bagi tangan yang memegangnya untuk

melepaskan diri disbeut let go current yang besarnya berbeda-beda untk setiap

individu. Gambaran mikroskopis jejas listrik pada daerha kontak berupa

kerusakan lapisan tanduk kulit sebagai luka bakar dengan tepi yang menonjol,

disekitarnya terdpat daerah yang pucat dikelilingi oleh kulit yang hiperemi.

Bentuknya sering sesuai dengan benda penyebabnya. Metalisasi dapat juga

ditemukan pada jejas listrik. Sesuai dengan mekanisme terjadinya, gambaran

serupa jejas listrik secara makroskopik juga timbul akibat persentuhan kuit

dengan bena/logam panas (membara). Walaupun demikian keduanya dapat

dibedakan dengan pemeriksaan mikroskopis.

Jejas listrik bukanlah tanda intravital karena dapat juga dtimbulkan pada

kulit mayat/pasca mati (namun tanpa daerah hiperemi). Kematian dapat terjadi

karena fibrilasi ventrikel, kelumpuhn otot pernapasan dan kelumpuhan pusat

pernapasa.

V. Asfiksia1,5

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan

pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)

disertai dengan peningkatan karbondioksida (hiperkapneu). Dengan demikian organ

tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian.

Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia. Target organ dari

asfiksia adalah otak dan didalam otak sel targetnya adalah neuron yang

memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap defisiensi oksigen. Kerentanan

bergantung pada pembuluh darah dan jenis neuron yang berbeda.

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:

26

Page 27: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan

seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti

fibrosis paru.

b. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang

mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;

sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan

sebagainya.

c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,

misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat

molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu

strangulasi (Gantung /Hanging, penjeratan /Strangulation by Ligature,

pencekikan/Manual Strangulation), sufokasi, pembengkapan (Smothering), tenggelam

(Drowning), Crush Asphyxia, keracunan CO dan SN.

A. Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat

asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:

1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)

Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang

menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada

jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian

belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga

bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada

lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan

faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

2. Kongesti dan Oedema

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie.

Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi

darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada

pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di

27

Page 28: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan

plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-

sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).

3. Sianosis

Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir

yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak

berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada

minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum

sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada

kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu

diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan

hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali

dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

4. Tetap cairnya darah

Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang

tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat

asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada

jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak

pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim

fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia

B. Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia

Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.

2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan

merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.

Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi

dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan

mudah mengalir.

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan

aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir

28

Page 29: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam

saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur

darah akibat pecahnya kapiler.

5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,

misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-

kadang dijumpai pula di kulit wajah.

6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah

konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya

tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena,

venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler

sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul

bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.

Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:

1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang

meningkat paska kematian.

2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.

3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga

menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak

mengeluarkan darah.

4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian

belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis

paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris,

kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa

epiglotis dan daerah sub-glotis.

5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan

hipoksia.

6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur

laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian

belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

29

Page 30: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

C. Gantung (hanging)

Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan, daya jerat

ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala. Penggantungan

merupakan suatu bentuk penjeratan (strangulasi) dengan tali ikat dimana tekanan

dihasilkan dari seluruh atau sebagian berat tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh

seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang

relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami

tekanan.

1. Klasifikasi Gantung

Berdasarkan titik gantung dibagi menjadi penggantunga tipika dan

penggantungan atipikal. Penggantukan tipikal terjadi bila titik gantung terletak

di atas daerah oksiput dan tekanan pada arteri karotis paling besar.

Penggantungan atipikal, bila titik penggantungan terdapat di samping,

sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan

mengakibatkan hambatan.

Berdasarkan posisi tubuh dibagi menjadi penggantungan lengkap dan

pengggantungan parsial. Istilah penggantungan lengkap digunakan jika beban

aktif adalah seluruh berat badan tubuh, yaitu terjadi pada orang yang

menggantungkan diri dengan kaki mengambang dari lantai. Istilah

penggantungan parsial digunakan jika beban berat badan tubuh

tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali, misalnya pada korban yang

tergantung dengan posisi berlutut atau berbaring. Pada kasus tersebut, berat

badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut

penggantungan parsial.

2. Cara dan Mekanisme Kematian Pada Kasus Gantung

Cara kematian pada kasus gantung diantaranya adalah bunuh diri,

pembunuhan dan kecelakaan. Mekanisme kematian yang disebabkan oleh

gantung akibat penumpuan beban sebagian atau seluruh beban tubuh di leher

diantaranya adalah asfiksia, apopleksia, iskemia serebral, syok vasovagal,

fraktur atau dislokasi vertebra servikalis.

Asfiksia terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan

penyebab kematian yang paling sering. Apopleksia, tekanan pada pembuluh

darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darahotak dan

30

Page 31: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Iskemia serebral disebabkan oleh

penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri (oklusi arteri) yang

menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak. Gambar dibawah

menunjukkan gambaran rontgen pada wanita yang berupaya bunuh diri

dengan gantung.

Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan refleks vagal yang

menyebabkan henti jantung. Fraktur vertebra servikalis sering terjadi pada

hukuman gantung. Fraktur atau dislokasi terjadi pada keadaan dimana tali

yang menjerat leher cukup panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba

dijatuhkan dari ketinggian 1,5-2 meter maka akan mengakibatkan fraktur atau

dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan medulla oblongata dan

mengakibatkan tehentinya pernafasan. Yang biasa terkena fraktur adalah

vertebra servikalis ke-2 dan ke-3.

3. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung

a. Pemeriksaan Luar Pada Jenazah

Tanda penjeratan jelas dan dalam. Semakin kecil tali maka tanda

penjeratan semakin jelas dan dalam. Bentuk jeratan pada kasus gantung

diri cenderung berjalan kiring (oblique) pada bagian depan leher, dimulai

pada leher bagian atas antara kartilago tiroid dengandagu, lalu berjalan

miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang telinga Alur

jeratan pada leher korban penggantungan (hanging) berbentuk lingkaran

(V shape). Ciri-ciri jejas sebagai berikut: alur jeratan pucat, tepi alur jerat

coklat kemerahan, kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.Tanda

penjeratan berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan

mengkilat.

Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah

telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telingae.Pinggiran jejas

jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasif.Jumlah tanda

penjeratanTerkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas

penjeratan. Hal ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua

kali.

Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung.

Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena

31

Page 32: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada

kasus penggantungan tanda-tanda asfiksia berupa mata menonjol

keluar, perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva.

Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan adanya penekanan pada

bagian bawah leher yaitu bagian bawah kartilago thyroida.

Jika penggantungan setelah kematian berlangsung lama maka lebam

mayat terlihat pada bagian tubuh bawah, anggota badan distal serta alat

genitalia distal. Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada

kejadian asfiksia. Pada stadium apneu pusat pernapasan mengalami

depresi sehingga gerak napas menjadi sangat lemah dan berhenti.

Penderita menjadi tidak sadar dan karena kontrol spingter fungsieksresi

hilang akibat kerusakan otak maka terjadi pengeluaran urin dan feses.

b. Pemeriksaan Dalam pada Jenazah.

Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi

ataupun ruptur. Tanda-tanda asfiksia meliputi: terdapat bintik perdarahan

pada pelebaran pembuluh darah, kongesti pada bagian atas yaitu daerah

kepala, leher dan otak. Ditemukan darah lebih gelap dan encer akibat

kadar CO2 yang meninggi. Terdapat resapan darah pada jaringan dibawah

kulit dan otot. Terdapat memar atau ruptur pada beberapa keadaan..

Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus pengantungan yang

disertai dengan tindak kekerasan. Pada pemeriksaan paru-paru serig

ditemui edema paru. Mungkin terdapat patah tulang hyoid atau kartilago

cricoid. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini

seringkali terjadi pada korban hukum gantung dimana korban tergantung

secara penuh dan tertitis jauh dari lantai.

32

Page 33: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

4. Perkiraan Cara Kematian

Perkiraan cara kematian, salah satunya bisa didapatkan dari menganalisis

tempat kerjadian perkara (TKP).

Tabel 2. Perkiraan Cara Kematian dari TKP1

Pembunuhan Bunuh Diri

Alat penjerat:

Simpul Biasanya simpul mati Simpul hidup

Jumlah lilitan Hanya satu Satu atau lebih

Arah Mendatar Serong ke atas

Jarak titik tumpu-simpul Dekat Jauh

Korban:

Jejas jerat Berjalan mendatar Meninggi kearah simpul

Luka perlawanan + -

Luka-luka lain Ada, sering di daerah leher Biasnaya tidak ada,

mungkin terdapat luka

percobaan lain

Jarak dari lantai Jauh Dekat, dapat tidak

tergantung

TKP:

Lokasi Bervariasi Tersembunyi

Kodisi Tidak teratur Tertatur

Pakaian Tak teratur, robek Rapih dan baik

Alat: Dari si pembunuh Berasal dari yang ada di

TKP

Surat peninggalan - +

Ruangan Tak teratur, terkunci dari dalam, dari luar

VI. Visum Et Repertum6

Pengertian arti harafiah dari Visum et Repertum yakni berasal dari kata “visual”

yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan.Sehingga jika digabungkan

dari arti harafiah ini adalah apa yang dilihat dan diketemukansehingga Visum et

Repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan

sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau

33

Page 34: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut

pengetahuan yang sebaik-baiknya. Dalam Stbl tahun 1937 No 350 dikatakan bahwa

“visa et reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada

waktu menyelesaikan pelajarannya di Indonesia.

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan

(termasuk keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah,

dan visum et repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et

repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban

tindak pidana, sedangkan jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau

terdakwa atau saksi lain dari suatu tindak pidana. Visum et repertum dibuat secara

tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat

institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa

memuat singkatan dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan

agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang

memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki

atau bagian tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas

tertulis jenis pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan

jenazah) atau pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).

A. Bagian-Bagian Visum Et Repertum

Pada sudut kanan atas dituliskan alamat tujuan SPVR (Rumah sakit atau

dokter), dan tgl SPVR. Rumah sakit (Direktur): Kepala bagian / SMF Bedah,

Kepala bagian / SMF Obgyn, Kepala bagian / SMF Penyakit dalam, dan Kepala

bagian I.K.Forensik. Pada sudut kiri atas dituliskan alamat peminta VetR,

nomor surat, hal dan lampiran.

Pada bagian tengah disebutkan SPVR korban hidup / mati, identitas korban

(nama, umur, kelamin, kebangsaan, alamat, agama dan pekerjaan), peristiwanya

(modus operandi) antara lain luka karena . . . . . . . . . . . . . . . ., keracunan

(obat/racun . . . . . . . . . .), kesusilaan (perkosaan/perzinahan/cabul), mati karena

(listrik, tenggelam, senjata api/tajam/tumpul dsb).

Kata Projustitia dicantumkan disudut kiri atas, dan dengan demikian visum

et repertum tidak perlu bermaterai, sesuai dengan pasal 136 KUHAP. Pada

pendahuluan bagian ini memuat antara lain identitas pemohon visum et

repertum, identitas dokter yang memeriksa / membuat visum et repertum,

34

Page 35: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

tempat dilakukannya pemeriksaan (misalnya rumah sakit X Surabaya), tanggal

dan jam dilakukannya pemeriksaan, identitas korban, keterangan dari penyidik

mengenai cara kematian, luka, dimana korban dirawat, waktu korban

meninggal, keterangan mengenai orang yang menyerahkan / mengantar korban

pada dokter dan waktu saat korban diterima dirumah sakit.

Pada bagian pemberitaan, dituliskan identitas korban menurut pemeriksaan

dokter, (umur, jenis kel,TB/BB), serta keadaan umum. Hasil pemeriksaan

berupa kelainan yang ditemukan pada korban, tindakan-tindakan / operasi yang

telah dilakukan dan hasil pemeriksaan tambahan juga dituliskan di bagian ini.

Syarat-syarat penulisannya adalah memakai bahasa Indonesia yg mudah

dimengerti orang awam, angka harus ditulis dengan hurup (4 cm ditulis empat

sentimeter), tidak dibenarkan menulis diagnose luka,(luka bacok, luka tembak

dll), luka harus dilukiskan dengan kata-kata, dan memuat hasil pemeriksaan

yang objektif (sesuai apa yang dilihat dan ditemukan).

Bagian kesimpulan berupa pendapat pribadi dari dokter yang memeriksa,

mengenai hasil pemeriksaan sesuai dgn pengetahuan yang sebaik-baiknya.

Seseorang melakukan pengamatan dengan kelima panca indera (pengelihatan,

pendengaran, perasa, penciuman dan perabaan). Pada penutup, memuat kata

“Demikianlah visum et repertum ini dibuat dengan mengingat sumpah pada

waktu menerima jabatan”. Diakhiri dengan tanda tangan, nama lengkap/NIP

dokter.

B. Prosedur, Permintaan, Penerimaan, dan Peyerahan Visum et Repertum

Pihak yang berhak meminta Ver adalah: Penyidik, sesuai dengan pasal I

ayat 1, yaitu pihak kepolisian yang diangkat negara untuk menjalankan undang-

undang. Di wilayah sendiri, kecuali ada permintaan dari Pemda Tk II. Tidak

dibenarkan meminta visum pada perkara yang telah lewat. Pada mayat harus

diberi label, sesuai KUHP 133 ayat C. Syarat pembuat: harus seorang dokter

(dokter gigi hanya terbatas pada gigi dan mulut), di wilayah sendiri, memiliki

SIP, kesehatan baik.

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter

untuk membuat VeR korban hidup, yaitu: harus tertulis (tidak boleh secara

lisan), langsung menyerahkannya kepada dokter (tidak boleh dititip melalui

korban atau keluarganya dan tidak boleh melalui jasa pos), bukan kejadian yang

35

Page 36: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

sudah lewat sebab termasuk rahasia jabatan Dokter, ada alasan mengapa korban

dibawa kepada dokter, ada identitas korban, ada identitas pemintanya,

mencantumkan tanggal permintaan, dan korban diantar oleh polisi atau jaksa.

Ada 8 hal yang harus diperhatikan saat pihak berwenang meminta dokter

untuk membuat VeR jenazah, yaitu: harus tertulis (tidak boleh secara lisan),

harus sedini mungkin, tidak bisa permintaannya hanya untuk pemeriksaan luar,

ada keterangan terjadinya kejahatan, memberikan label dan segel pada salah

satu ibu jari kaki, ada identitas pemintanya, mencantumkan tanggal permintaan,

dan korban diantar oleh polisi.

Saat menerima permintaan membuat VeR, dokter harus mencatat tanggal

dan jam, penerimaan surat permintaan, dan mencatat nama petugas yang

mengantar korban. Batas waktu bagi dokter untuk menyerahkan hasil VeR

kepada penyidik selama 20 hari. Bila belum selesai, batas waktunya menjadi 40

hari dan atas persetujuan penuntut umum. Lampiran visum meliputi: fotografi

forensic, identitas, kelainan-kelainan pada gambar tersebut, penjelasan istilah

kedokteran, dan hasil pemeriksaan lab forensik (toksikologi, patologi, sitologi,

mikrobiologi).

C. Contoh Visum et Repertum (korban meninggal)

RUMAH SAKIT UMUM DAERAHGROGOL PETAMBURAN

___________________________________________________________ Jakarta, 14 Desember 2015

PRO JUSTITIAVISUM ET REPERTUM

No. 04/TU.RSUDGP/I/2015

Berhubung dengan surat Saudara--------------------------------------------------------Nama : HENDRU -------------------------------------------------------------------Pangkat : AIPTU. Nrp. 030610088.--------------------------------------------------Alamat : Kepolisian Sektor Kota Jakarta,Jl.Tanjung Duren No.50 Jakarta -----Jabatan : An. Kepala.Kepolisian Sektor Grogol.-----------------------------------Yang kami terima pada tanggal; 04 Desember 2015, maka kami, Dr. Santhi SpF. Dokter Spesialis Forensik, Dokter pemerintah pada Rumah Sakit Umum Daerah Grogol Petamburan, telah melakukan pemeriksaan luar pada tanggal: 04 Desember 2015, pukul: 16.00 WIB dan pemeriksaan dalam pada tanggal: 04 Desember 2015, pukul: 16.30 WIB di rumah sakit tersebut di atas, atas jenazah yang menurut surat Saudara tersebut,----------------------------------------------------Bernama : Rudianto------------------------------------------------------------------Jenis kelamin : Laki-laki------------------------------------------------------------------Umur : 30 Tahun.----------------------------------------------------------------

36

Page 37: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

Alamat : Jalan Tanjung Duren Selatan No. 50 Jakarta,-----------------------Bangsa : Indonesia ----------------------------------------------------------------Dengan dugaan meninggal karena : Pembunuhan. ------------------------------------Korban ditemukan/ meninggal : di selnya dengan kondisi tergantung dengan menggunakan tali dengan beberapa luka memar di tubuhnya.-----------------------

Korban dibawa ke kamar jenazah RSUD Grogol Jakarta,----------------------------

Oleh : Bertho, -Pangkat : AIPTU. Nrp. 030610088 , Dengan kendaraan No.Pol.: AG 1234 UA -------------------------------------------------------------------------------Pada tanggal: 03 Desember 2013,----------------------------Pukul : 11-30-----------

HASIL PEMERIKSAAN-----------------------------------------------------------------PEMERIKSAAN LUAR :----------------------------------------------------------------1. Korban seorang Laki-laki, Usia Tiga puluh tahun , Tinggi badan kurang

lebih seratus enam puluh lima centimeter, Berat badan lima puluh kilogram, keadaan gizi baik, warna kulit sawo matang. ------------------------------------

2. Lebam mayat dan kaku mayat positif. --------------------------------------------3. Korban berlabel dan tidak bersegel, keadaan gizi baik. -------------------------4. Pakaian baju tahanan lengkap dengan kaos polos dibagian dalamnya --------5. Kepala / leher : baik rambut hitam lurus.------------------------------------------

wajah terlihat adanya pembengkakan dan memar-------------------------------- di bawah leher ada bekas jerat dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut ke atas ------------------------------------------------------------

6. Dada : tidak ditemukan tanda kekerasan tumpul maupun tajam.---------------7. Perut : tidak ditemukan tanda kekerasan tumpul maupun tajam.--------------8. Punggung : ditemukan beberapa memar berbentuk dua garis sejajar --------9. Alat kelamin luar : didapati luka bar yang susai dengan jejas listirik ---------10. Anggota gerak atas : -----------------------------------------------------------------11. Anggota gerak bawah : luka bakar berbentuk bundar diameter sekitar 1cm--PEMERIKSAAN DALAM :--------------------------------------------------------------1. Kepala / leher : resapan darah yang luas di kulit kepaa, perdarahan yang tipis

di bawah seaput keras otak, sembab otak besar, sedikit resapan darah di otot leher sisi kiri, patah ujung rawan gondok sisi kiri ---------------------------------

2. Dada : ------------------------------------------------------------------------------------paru dan jantung ditemukan sedikit binting-bintik pendarahan, sedikit busa halus di dalam saluran pernapasan ---------------------------------------------------perut :-------------------------------------------------------------------------------------

KESIMPULAN :---------------------------------------------------------------------------1. Korban seorang Laki-laki, Usia Tiga puluh tahun , Tinggi badan kurang lebih

seratus enam puluh lima centimeter, Berat badan lima puluh kilogram, keadaan gizi baik, warna kulit sawo matang, rambut lurus hitam, panjang kurang lebih lima centimeter. ---------------------------------------------------------

2. Pemeriksaan Luar : ditemukan bengkak dan memar pada daerah wajah, pada punggung terdapat beberapa memar berbentuk dua garis sejajar, di daerah paha di skitar kemaluannya terdapat beberapa luka bakar, jejas jerat yang melingkari leher dengan simpul di daerah kiri belakang yang membentuk sudut keatas -----------------------------------------------------------------------------

37

Page 38: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

3. Pemeriksaan Dalam: perdarahan yang tipis di bawah selaput keras otak, sembab otak besar, tidak terdapat resapan darah di kulit leher tetapi terdapat sedkit resapan di otot leher sisi kiri dan patah ujung rawan gondok sisi kiri, sedikit busa halus di dalam saluran napas, dan sedikit bintik-bintik pendarahan di permukaan kedua paru dan jantung --------------------------------

Demikian Visum Et Repertum ini saya buat dengan mengingat sumpah waktu menerima jabatan.

Tanda tangan,

( Dr. Santhi, SpF. )NIP. 030610012

Kesimpulan

Ketika mendapati suatu kasus kematian yang dianggap tidak wajar atau

sekiranya memiliki kemungkinan kriminalitas, maka dapat dilakukan berbagai

prosedur yang terkait, termasuk peran dokter dalam melakukan pemeriksaan terhadap

jenazah. Seperti pada kasus kali ini, dimana didapati pria yang ditemukan meninggal

karena gantung diri namun ditemukan tanda-tanda kecurigaan terjadinya kekerasan,

maka dokter dapat melakukan pemeriksaan terhadap jenazah untuk menemukan

penyebab kematian yang sebenarnya. Dalam melakukan autopsi diperlukan

pengetahuan mengenai tanatologi dan traumatologi forensik. Selanjutnya dibuat

visum et repertum sesuai dengan hasil pemeriksaan yang ada.

Dari kasus diatas, sebelum korban ditemukan tergantung diduga korban telah

mengalami penganiayaan, hal ini dikarenakan adanya memar-mear dibagian wajah

dan punggung yang kemungkinan besar diakibatkan oleh benda tumpul. Selain itu,

ditemukan juga adanya luka bakar pada paha dan yang mengindikasikan adanya

penganiayaan. Bukan hanya itu, ditemukan juga luka bakar pada penis korban yang

kemungkinan diakibatkan oleh stungun. Setelah mengalami penganiayaan, barulah

korban digantung sampai mati. Cara kematian korban adalah tidak wajar karena ini

merupakan pembunuhan. Sebab kematiannya adalah karena penekanan saluran

pernafasan. Mekanisme kematiannya adalah karena asfiksia, yaitu akibat

terhambatnya aliran udara pernapasan akibat digantung.

38

Page 39: Pemeriksaan Forensik Pada Kasus Pembunuhan

Daftar Pustaka

1. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, dkk. Ilmu kedokteran forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997.

2. Safitry O. Kompiasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2014.

3. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik. Teknik autopsi forensik. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000.

4. Arif Mansjoer, Suprohaiti, Wahyu Ika, Wiwiek S. Ilmu Kedokteran Forensik. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Indonesia; Edisi ketiga, Jilid 2; Tahun 2000

5. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang: 2000.

6. Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka. Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2014.

39