Author
rahmansetiawan77
View
695
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kedokteran
BAB I
PENDAHULUAN
Studi epidemiologi terbanyak dilakukan untuk menyelidiki hubungan antara
faktor dan penyakit, yang lebih disukai adalah eliminasi (atau kontrol) efek dari
faktor-faktor lain. Uji penggabungan banyak dibentuk sejalan dengan statistik
inferensi. Namun gabungan yang ditemukan pada beberapa studi tidak dapat
langsung dikatakan sebagai kumpulan penyebab. Investigator akan meyakinkan
pembaca, dengan beragam pembuktian dan gabungan yang ditemukan nyata dan
dapat menjadi suatu gabungan penyebab dengan mempertimbangkan kriteria
penyebab spesifik.
Dengan menggunakan statistik inferensi, adanya suatu gabungan adalah
refleksi dari suatu kondisi variasi faktor yang berhubungan untuk (dapat menjelaskan)
variasi kejadian penyakit, kemungkinan adanya peran lain. Hal ini biasa dikenal
sebagai asosiasi statistik. Pada era teknologi komputer ini perhitungan peluang
(kemungkinan, probabilitas) tidak hanya diformulasikan tetapi juga disimulasi
(mengulang sampel dari populasi yang terkenal).
Kesimpulan kausal sangat penting secara fundamental untuk memajukan
pengetahuan ilmiah. Pendirian Popper adalah dalam sifat akhirnya, setiap teori itu
tentatif. Setiap teori dapat secara potensial dapat dijatuhkan oleh data yang tidak
cocok yang tidak mungkin dijadikan pertanyaan. Maka berbagai sudut pandang,
pengetahuan ilmiah dan kemajuannya selalu melalui beragam percobaan untuk
menyangkal teori-teori yang telah ada.
1
Dengan memperhatikan isu-isu dalam kesimpulan kausal dalam epidemiologi,
walaupun, akan sangat berguna untuk membuat pembedaan antara kesimpulan yang
ditujukan untuk mendirikan etiologi dan kesimpulan yang ditujukan untuk
mendapatkan keputusan tindakan atau keputusan tidak ada tindakan. Pendirian
Popper kurang bisa diaplikasikan dalam kesimpulan kausal untuk mendukung
pembuatan-keputusan, karena pentingnya tindakan sesuai dengan waktu. Walaupun
keputusan individual dan kolektif seringkali didasarkan pada konsiderasi selain dari
pengetahuan ilmiah, dan bahkan tanpa data kausal valid sekalipun, kesimpulan kausal
sangat fundamental dalam pembuatan-keputusan. Lebih jauh lagi, penilaian
kausalitas-akhirnya oleh kewenangan pemerintah dan publik yang lebih besar-
merupakan basis kritis untuk resolusi dari isu-isu kontroversial, misalnya,
pembatasan produk-produk seperti tembakau, saccharin, kopi, kontrasepsi oral,
senjata genggam; kontrol polusi dan seterusnya.
Semua kerja ilmiah itu tidak lengkap-apakah itu eksperimental ataupun
observasional. Semua kerja ilmiah itu berkemungkinan untuk ditumbangkan atau
dimodifikasi oleh pengetahuan yang lebih maju. Yang mana tidak memberikan kita
kebebasan untuk mengabaikan pengetahuan yag telah kita miliki, atau menangguhkan
tindakan yang tampaknya dibutuhkan setiap waktu.
Konsep dari kausal dan inferensi kausal telah diajarkan secara meluas pada
pengalaman belajar mandiri. Model dari kausasi yang menjelaskan penyebab dalam
sufficient cause dan komponennya mengiluminasi prinsip-prinsip penting seperti
dalam hal multikausal, hubungan kekuatan dari komponen penyebab pada prevalensi
dari komponen penyebab pelengkap dan interaksi antara komponen penyebab.
2
Para filosof menyetujui bahwa proporsi kausal tidak dapat dibuktikan, dan
menemukan aturan dari pembatasan pada semua filosofi dari inferensi kausal.
Meskipun, aturan logika, kepercayaan dan penelitian dalam mengevaluasi proporsi
kausal tidak tetap. Inferensi kausal dalam epidemiologi lebih baik dalam mengukur
suatu efek daripada proses criteria untuk menentukan apakah terdapat efek atau tidak.
Apa yang dimaksud dengan kausasi? Walaupun diantara mereka yang
mempelajari kausasi sebagai objek kerja, konsepnya diajarkan secara meluas, dan
dicobled bersama dari pengalaman terdahulu. Sebagai generasi muda, setiap orang
berkembang dan menguji sebuah penemuan dari penjelasan kausal yang telah ada dan
memicu untuk lebih mengontrol kejadian tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dari epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari
penyakit dan status kesehatan pada populasi manusia. Tujuan riset epidemiologi
adalah:
(1) Mendeskripsikan keadaan penyakit dan status kesehatan pada populasi dengan
cara menghitung frekuensi penyakit dan penyebarannya pada berbagai
kelompok individu/populasi, tempat, dan waktu;
(2) Menjelaskan etiologi penyakit dengan cata mengidentifikasi faktor-faktor
“penyebab” penyakit;
(3) Meramalkan kejadian penyakit dan status kesehatan pada populasi; dan
(4) Mengendalikan distribusi penyakit pada populasi dengan cara mencegah
kejadian baru, memberantas kasus yang ada, memperpanjang hidup penderita
penyakit, dan meningkatkan status kesehatan penderita penyakit.
3
Bagaimana tujuan-tujuan riset tersebut dapat dicapai? Bagaimana
epistemologi (filosofi pengetahuan) yang mendasari riset epidemiologi modern? Apa
prosedur dan metode yang digunakan dalam riset epidemiologi? Bagaimana metode
inferensi kausal dalam riset etiologi? Bagaimana konsep kausalitas? Kita akan segera
mengupas pokok-pokok bahasan tersebut.
4
BAB II
INFERENSI KAUSAL DALAM EPIDEMIOLOGI
II.1. FILOSOFI DAN INFERENSI ILMIAH
Filosofi adalah penyelidikan bebas dari keterbatasan pengetahuan manusia
serta kategorisasi umum pengalaman dan realitas. Filosofi sepanjang sejarah
mencakup dua hal pokok yang berkaitan: keyakinan agama dan moral di satu pihak,
dan penyelidikan pengetahuan positif di lain pihak. Cabang filsafat yang berurusan
dengan teori, hakikat, dan lingkup pengetahuan disebut epistemologi.
Abad ketujuh belas merupakan era konflik religi. Teologi Kristen harus
mempertahankan diri dari pembantahan dan penyanggahan dalam segala bentuknya.
Doktrin di Eropa Barat mengalami disintegrasi. Pada saat yang sama penyelidikan
pengetahuan positif memasuki tahapan baru dan semangat baru. Bidang-bidang baru
ilmu pengetahuan dibuka oleh Galileo, Copernicus, Kepler, dan masih banyak lagi.
Secara bertahap menjadi jelas, proses di alam harus diterangkan dengan hukum-
hukum alam yang diekspresikan secara kuantitatif. Kunci pemahaman alam diperoleh
melalui penerapan matematika dan metode pengukuran yang teliti. Konsep alam
Aristoteles tentang system dan hirarki benda-benda alam berdasarkan pembedaan
kualitatif mulai dipandang tidak memadai lagi. Galileo dikutuk gereja karena
menyangkal teori ortodoks Aristoteles tentang gerak benda. Keyakinan kosmologik
Kristen abad pertengahan makin digoyang dengan temuan Copernicus dan Kepler
mengenai system tata surya, yang menentang keyakinan pada zaman itu bahwa
manusia di bumi adalah pusat alam dan moral.
5
Epidemiologi sebagai sebuah disiplin ilmu terapan sangat dipengaruhi oleh
dua aliran filosofi: rasionalisme dan empirisme. Aliran rasionalisme menggunakan
logika deduktif, yaitu bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dimulai dengan
aksioma yang bersifat umum dan kita anggap sebagai benar, kemudian
dikembangkan menjadi kesimpulan-kesimpulan yang lebih spesifik, disertai
argumentasi yang kuat bahwa tiap-tiap langkah logik itu tidak bertentangan dengan
aksioma yang sudah dianggap benar.
Faham rasionalisme yang telah dirintis oleh Plato (427-347 SM) di jaman
Yunani Kuno dan mencapai puncaknya pada abad ketujuh belas yang disebut Era
Penalaran (The Age Reason), dengan filsuf antara lain Descartez, Galileo, Hobbes,
Spinoza dan Liebniz (Hampshire, 1962). Rene Descartez (1596-1650) dianggap
sebagai filsuf rasionalis modern pertama yang berhasil membebaskan diri dari cara
berfikir Yunani Kuno, Romawi dan Abad Pertengahan. Descartez adalah filsuf
sekaligus matematisi, dan lebih suka menyendiri agar dapat berfikir jernih ketimbang
melibatkan diri kepada urusan-urusan politik dan kemasyarakatan. Sebagai seorang
Katolik yang loyal, ia tidak melihat perlunya mempertentangkan agama dan ilmu
pengetahuan modern. Salah seorang sahabatnya adalah matematisi besar di jamannya,
yaitu Fermat. Descartez memberikan contoh matematika sebagai paradigma
pengetahuan yang dibangun dengan jelas dan pasti (“clarity and distinctness”).
Menurut Descartes, pengetahuan berkembang langkah demi langkah dari sebuah
konklusi tak terbantahkan ke konklusi lainnya. Suatu rumus baru matematik
dikatakan sahih, sebab tidak bertentangan dengan aksioma yang telah dikatakan
benar.
6
Sampai kini rasionalisme masih digunakan dalam epidemiologi, untuk
mengembangkan teori-teori tentang penyakit. Fenomena dipelajari melalui abstraksi-
abstraksi, menggunakan model matematik. Eksistensi epidemiologi teoritik yang
menggunakan logika deduktif itu diakui sebagai sebuah subdisiplin ilmu
epidemiologi (Kleinbaum et al., 1982).
Karl Popper (1902- ), filsuf abad ke duapuluh beraliran rasionalis kritis,
bahkan “melestarikan” elemen-elemen rasionalisme dalam konsep pemikirannya
yang disebut hipotetiko-deduktif. Dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery
(1968), Popper menegaskan syarat-syarat pertumbuhan pengetahuan dimulai dengan
merumuskan hipotesis melalui pemikiran deduktif dan imajinasi kreatif, lalu hipotesis
itu diuji dengan keras dan disanggah; penyanggahan itu dipergunakan untuk
merumuskan hipotesis baru dan teori baru. Jadi pengamatan empirik ditujukan untuk
membuktikan kesalahan (refutation, falsification) teori dan gagasan, bukannya untuk
membenarkan teori dan gagasan (justification, corroboration, confirmation).
Falsifikasi teori selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis baru,
menyempurnakan pengetahuan, dan pengujian hipotesis baru. Demikian seterusnya.
Jadi, menurutPopper, tujuan pengulangan riset (replikasi) adalah untuk menambah
bukti-bukti kesalahan hipotesis, dan bukanyya untk memperkuat bukti-bukti
kebenaran hipotesis. Hanya dengan demikian peneliti dapat menyempurnakan
hipotesis dan membuat generalisasi dari temuan-temuannya untuk membangun
pengetahuan baru (Buck, 1975).
Pengetahuan yang dikembangkan hanya berdasarkan akal, persepsi dan
argumentasi abstrak manusia terhadap fenomena alam menimbulkan skeptisme
7
diantara para filsuf modern. Maka lahirlah doktrin empirisme yang dirintis olehh
Francis Bacon, John Lock, David Hume, John Stuart Mill, dan Immanuel Kant.
Menurut doktrin empirisme, ilmu pengetahuan tidak akan memiliki kaitan dengan
dunia realitas jika hanya dikembangkan berdasarkan penalaran akal. Ilmu
pengetahuan harus memiliki hubungan dengan dunia nyata melalui inferensi induktif
temuan-temuan empirik. Ciri-ciri aliran empirisme adalah penggunaan logika
induktif. Suatu inferensi disebut induktif bila bertolak dari pengamatan-pengamatan
partikular/tunggal, untuk dapat dibuat suatu kesimpulan yang bersifat universal.
Karya Francis Bacon berjudul “ Novum Organum” (1620) dan “Advancement
of Learning” (1605) telah menjadikan filsuf Inggris itu simbol metode logika
induktif. Filsuf yang menggemari persepsi warna dan benda konkrit itu tidak melihat
relevansi argumentasi abstrak untuk memahami alam. Untuk membentuk
pengetahuan, ia tidak menggunakan logika yang dipakai Descartez, Spinoza dan
Liebniz, tetapi menggunakan metode yang disebut empirisme murni dan
eksperimentasi. Bacon tidak menggunakan penalaran priori untuk mencari kebenaran
pasti. Pengetahuan dibentuk melalui pengamatan-pengamatan benda dan peristiwa
khusus, lalu bergerak menuju generalisasi yang makin luas. Pernyataan-pernyataan
umum tidak seperti matematika, dapat dibuktikan salah melalui eksperimen. Dengan
demikian generalisasi yang dibuat masih bersifat mungkin. Astronomi adalah contoh
ilmu pengetahuan yang berkembang menurut aliran empirisme. Dalam astronomi,
pengamatan terhadap perubahan posisi benda langit digunakan untuk memprediksi
jarak benda langit itu terhadap bumi. Kecintaannya kepada alam menyebabkan Bacon
lebih dipandang sebagai naturalis ketimbang filsuf.
8
John Lock mempublikasikan karyanya berjudul “Essay”. Ia membawa
empirisme yang telah dikembangkan Bacon, menyeberang selat Channel ke Eropa
Daratan, sehingga aliran itu menjadi doktrin penting di abad kedelapanbelas di benua
itu.
Hume dan Kant berhasil mempengaruhi sebagian besar filsuf Inggris dan
Amerika Serikat bahwa metafisika deduktif bersifat kosong. Menurut mereka, tidak
ada satu kesimpulanpun tentang sifat benda dapat dituntaskan hanya berdasarkan
argumentasi a priori. Namun demikian, Hume melontarkan autokritik tentang
empirisme. Ia mengingatkan, bahwa logika dalam membuat kesimpulan induktif
tidaklah sekuat logika dalam membuat kesimpulan deduktif. Proses logika induktif
sendiri, lanjut Hume, tidak akan pernah mampu memapankan hubungan antara sebab
akibat. Pengalaman dan hasil pengamatan empirik tunggal saja tidak cukup untuk
membuat kesimpulan fundamental dan universal tentang hubungan kausal, meskipun
pengamatan tungal itu diulangi berkali-kali dengan hasil yang konsisten. Sebagai
contoh, peristiwa A diikuti peristiwa B pada suatu kesempatan. Dari kenyataan
tersebut tidak dapat ditarik kesimpulan logik bahwa peristiwa A akan diikuti oleh
peristiwa B lagi pada kesempatan lain. Kesimpulan serupa tak bisa ditarik dari dua
pengamatan semacam itu – tidak pula dari dua puluh pengamatan atau bahkan dua
ribu pengamatan serupa (Taryadi, 1991). Kekurangan logika induktif ini dikenal
sebagai “problem Hume”. Dari situ Hume menyimpulkan, konstitusi psikologik kita
sedemikian rupa sehingga tidak bisa tidak kita berfikir menurut prinsip induksi, tetapi
memang tidak mungkin membuktikan validitas prosedur induktif. Keabsahan fondasi
9
semua ilmu yang tidak dapat ditunjukkan dengan prosedur induktif telah
menyebabkan filsuf empirik menjadi skeptik, irasional, atau bahkan mistik.
Popper mengakui kekuatan skeptisisme Hume. Para verifikasionis atau
induktivis memang akan bersusah payah dalam kesia-siaan untuk menemukan
argumen positif yang sah untuk mendukung keyakinan mereka. Dengan teorinya
yang disebut metode pengujian deduktif (deductive method of testing), atau oleh
Rothman (1986) disebut metode hipotetiko-deduktif, Popper mengajukan beberapa
solusi atas problem Hume. Pertama, yang penting bukan mengejar kepercayaan atau
keyakinan teori melalui induksi empirik, melainkan pilihan (preferensi) yang kritis,
dan problem kita adalah bagaimana menemukan teori yang lebih baik dan yang lebih
berani daripada sebelumnya. Kedua, mengawinkan elemen-elemen penting
rasionalisme dan empirisme, Ia menegaskan pentingnya logika deduktif untuk
merumuskan hipotesis sebaik-baiknya, sekaligus menempatkan riset empirik sebagai
penambah bukti-bukti kesalahan hipotesis yang berbeda dengan sebelumnya,
bukanya untuk mengulang-ulangi pembenaran hipotesis. Popper menegaskan
pentingnya penyempurnaan (refinement) teori dan hipotesis, melalui mekanisme
penyingkiran kesalahan (error elimination). Ketiga, hipotesis itu sendiri tidak harus
memiliki substansi empirik untuk dapat dikatakan sahih. Ketergantungan para
induktiviskepada logika induktif-menurut Popper-disebabkan pencampuradukan
antara psikologi pengetahuan dan logika pengetahuan. Psikologi pengetahuan
berurusan dengan fakta empirik, sedang logika pengetahuan hanya memperhatikan
hubungan-hubungan yang logik. Popper ingin memerangi psikologisme dalam
epistemologi, yang mengintroduksi problem Hume itu. Maka, pernyataan hipotetik
10
tanpa substansi empirik, dan oleh karena itu tidak bisa dianggap tidak valid, dan tidak
harus diuji secara empirik (Rothman, 1986; Taryadi, 1991).
Filsafat Popper menyadarkan kita tentang pentingnya perumusan dan
penyempurnaan hipotesis dalam riset empirik. Tidak jarang peneliti terjebak dalam
problem-problem berikut:
(1) Replikasi penelitian yang berlebihan (redudancy) tanpa memberikan
penjelasan baru tentang kesalahan hipotesis;
(2) Pengandalan berlabihan kepada teknologi komputer yang “canggih”, sehingga
yang diperoleh adalah rumusan hipotesis yang “kering” dan tentu saja bukan
yang terbaik;
(3) Hipotesis yang terlalu luas atau terlalu sempit sehingga sulit diuji dengan
metode epidemiologi;
(4) Peneliti yang cepat puas dan tidak berusaha mengumpulkan data empirik baru
tatkala temuannya membenarkan hipotesis.
II.2. METODE ILMIAH
Baik aliran rasionalisme maupun empirisme digunakan dalam riset
epidemiologi modern. Teori epidemiologi yang dibangun melalui abstraksi model
matematik memang penting untuk mempelajari fenomena, namun eliminasi kesalahan
untuk menyempurnakan pengetahuan tentang kejadian dan etiologi penyakit tidak
mungkin dilakukan tanpa adanya hubungan (link) yang membandingkan produk
model deduksi dengan pengamatan-pengamatan.
11
Lantas bagaimana filosofi itu diterjemahkan dalam metode ilmiah? Kerangka
konsep metode ilmiah perlu dibuat. Sebab hanya dengan kerangka konsep yang jelas,
maka epidemiologi dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dan melakukan
evaluasi tentang hasil riset satu dengan lainnya. Kleinbaum et al. (1982) telah
membuat konsep metode ilmiah yang cocok digunakan untuk riset epidemiologi.
Perhatikan Gambar 1. tentang konsep metode ilmiah untuk studi epidemiologi. Untuk
menjawab pertanyaan penelitian, pertama-tama peneliti merumuskan hipotesis
konseptual. Hipotesis konseptual dirumuskan melalui dua jalan:
(1) Deduksi teori, pengetahuan, aksioma; atau
(2) Rekonseptualisasi dan penyempurnaan hipotesis sebelumnya.
Agar dapat diuji (testable) melalui riset empirik, maka hipotesis konseptual
perlu perlu dioperasionalisasikan menjadi hipotesis operasional. Berbeda dengan
hipotesis konseptual yang masih bersifat abstrak, pernyataan dalam hipotesis
operasional harus konkrit, terukur, dan terkait dengan rancangan penelitian.
Rancangan penelitian adalah perencanaan spesifik tentang metode empirik yang
digunakan untuk menerjemahkan hipotesis konseptual menjadi hipotesis yang dapat
diuji. Contoh: jika hipotesis konseptual menyatakan: “Kontrasepsi oral (OC)
meningkatkan risiko terkena infark otot jantung (MI)”, maka salah satu hipotesis
operasionalnya mungkin sebagai berikut: “Wanita berumur 15-49 tahun, yang tinggal
di propinsi A, yang dengan kuisioner tahun 1995 diketahui memakai OC, akan
memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami MI dalam waktu 10 tahun
berikutnya daripada wanita yang tidak memakai OC”.
12
Peran rancangan studi sangat krusial dalam riset epidemiologi. Rancangan
studi harus mampu menghilangkan kesenjangan antara hipotesis konseptual dan
hipotesis operasional. Oleh karena itu karakter dan kelemahan setiap rancangan studi
perlu diketahui dengan baik. Sebab hanya dengan demikian bisa dicegah distorsi
antara apa yang diinterpretasikan dalam hipotesis operasional. Pada umumnya,
distorsi akibat rancangan studi yang direncanakan dengan buruk tidak dapat
diperbaiki dengan analisis statistik.
Setelah metode riset ditentukan dengan jelas, tahap berikutnya adalah
mengumpulkan data, sesuai dengan protokol. Data mentah diolah dalam format yang
siap digunakan, dirangkum selayaknya, dan dianalisis dengan cara pengujian
hipotesis operasional. Dengan manggunakan hasil riset dan kriteria inferensi kausal,
kita membuat inferensi kausal untuk menyanggah dan menyempurnakan hipotesis
dan teori yang berlaku sebelumnya, atau merumuskan hipotesis baru. Jadi riset
empirik menghasilkan hipotesis baru, dan hipotesis baru diuji kebenarannya melalui
riset empirik berikutnya. Demikian seterusnya siklus metode ilmiah dalam riset
epidemiologi.
13
Gambar 1. siklus konsep metode ilmiah untuk studi epidemiologi (hibridisasi metode
ilmiah Kleinbaum et al., 1982, dan pemikiran Popper dalam bukunya The Logic of
Scientific Discovery, 1968).
II.3. METODE DAN PROSEDUR
Riset epidemiologi adalah riset empirik kuantitatif. Oleh karena itu dilakukan
tiga jenis kegiatan kuantifikasi, yaitu:
(1) Pengukuran variabel (acak);
(2) Estimasi parameter populasi;
(3) Uji statistik terhadap sebuah atau lebih hipotesis dan
14
Teori/Pengetahuan/Aksioma
Eliminasi kesalahan teori/ penyempurnaan hipotesis
Deduksi teori/aksioma/penyempurnaan hipotesis
Kesimpulan dan interpretasi
Hipotesis konseptual
Penarikan inferensi Rancangan studi
Temuan-temuanempirik
Hipotesis operasional
Analisis dataPengumpulan data:
Observasi sistematik, eksperimentasi
Data/hasil observasi
(4) Membuat perbandingan antar kelompok/populasi.
PENGUKURAN. Pengukuran adalah pemberian nilai ataukategori variabel kepada
suatu unit observasi (yakni, subyek penelitian). Variabel itu tentunya adalah variabel
yang menjadi perhatian penelitian. Variabel dalam riset epidemiologi lazimnya
diukur dalam skala yang “sederhana:, yakni dikotomi (misalnya, sakit dan tidak sakit;
terpapar dan tak terpapar). Tujuan profil simplisitas itu adalah agar temuan-temuan
penelitian bisa diukur, dianalisis, dan diterjemahkan dalam implikasi praktis dengan
mudah dan jelas, serta untuk menghindari misinterpretasi. Oleh karena itulah data
pengamatan.pengukuran lazimnya disajikan dalam tabel “standar” 2 x 2. meskipun
demikian, variabel dalam riset epidemiologi bisa juga diukur dalam skala kontinu
(misalnya, umur)
Tergantung tujuan dan desain penelitian, variabel independen dalam riset
epidemiologi merupakan paparan, perlakuan, atau intervensi. Tergantung konteks
bahasan, variabel independen secara silih berganti disebut juga faktor penelitian,
“penyebab”, prediktor, variabel bebas, dan variabel pengaruh. Faktor penelitian dapat
berasal dari orang (psikologik, perilaku, biologik, atau genetik), atau dari lingkungan
(fisik, kimia, atau sosial). Sedang variabel dependen yang menjadi perhatian dalam
riset epidemiologi adalah penyakit atau status kesehatan. Variabel dependen secara
silih berganti disebut juga akibat, variabel hasil, variabel kesudahan, variabel respons,
variabel tak bebas, variabel terikat, variabel terpengaruh, atau resultante.
15
ESTIMASI. Estimasi parameter populasi adalah menaksir parameter populasi
dengan suatu nilai rangkuman. Parameter yang ditaksir misalnya frekuensi penyakit
pada suatu populasi dengan ukuran insidensi kumulatif (IC); laju penyakit pada suatu
populasi dengan ukuran laju insidensi (ID); risiko relatif (RR) untuk terjangkit antara
populasi yang terpapar dan tak terpapar; beda risiko (RD) untuk terjangkit penyakit
antara populasi yang terpapar dan tak terpapar; dan sebagainya. Contoh: Menaksir
laju insidensi Ca buli-buli di sebuah industri selama tahun 1996, atau perbedaan laju
insidensi antara dua industri.
UJI STATISTIK. Uji statistik menilai sejauh mana peran peluang (kesalahan
pencuplikan) mempengaruhi temuan-temuan kita sebagaimana terlihat pada penaksir.
Statistik uji dihitung dari data, lalu dibandingkan dengan distribusi teoritik yang
memuat karakter statistik uji pada hipotesis nol (yakni, tidak ada perbedaan antar
kelompok studi). Hasilnya lazim dinyatakan dalam kemaknaan statistik, yang artinya
probabilitas menolaj hipotesis nol yang sesungguhnya benar. Contoh: Menguji
apakah laju insidensi Ca buli-buli di sebuah industri zat pewarna (misalnya, auramin,
magenta) berbeda secara bermakna daripada laju insidensi pada populasi indonesia,
atau berbeda daripada laju insidensi di industri lainnya.
Meskipun bukan satu-satunya pijakan, epidemiologi banyak mengandalkan
teori probabilitas/teori statistik untuk menganalisis dan menafsirkan hubungan kausal.
Penerapan teori statistik sangat membantu dalam riset epidemiologi yang bersifat
empirik. Tetapi, penggunaan teori statistik juga ada batasnya. Sebagai contoh:
Dengan riset etiologi Ca buli-buli kita dapat meramalkan banyaknya kasus yang akan
16
terjadi pada karyawan yang terpapar zat pewarna pada suatu industri dalam satu
tahun, tetapi tidak dapat memastikan karyawan mana diantara yang terpapar akan
benar-benar menderita Ca buli-buli. Dengan keterbatasan teori probabilitas, maka
hubungan faktor dan penyakit harus dipelajari pula dengan model lain, misalnya
model determinisme.
PERBANDINGAN. Metode lainnya yang juga khas epidemiologi adalah
penggunaan perbandingan antar kelompok studi, antar waktu, dan antar studi.
Perbandingan itu dilakukan untuk mengetahui besarnya dan menguji hubungan
statistik antara faktor yaang dicurigai penyebab dan penyakit. Faktor yang dicurigai
sebagai penyebab, selanjutnya akan kita sebut faktor penelitian, paparan, perlakuan,
intervensi, prediktor, atau variabel independen. Faktor penelitian berasal dari orang
(psikologik, perilaku, biologik, atau genetik), atau dari lingkungan (fisik, kimia, atau
sosial). Sedang akibat yang dihipotesiskan disebut penyakit, atau variabel hasil,
variabel respons, atau variabel dependen.
II.4. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT
Seorang yang sehat kemudian menjadi sakit akan mengalami perubahan-
perubahan patologik didalam tubuhnya. Lamanya perubahan patologik hingga orang
tersebut kelihatan sakit bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya.
Demikian pula akibat yang dialami seseorang setelah ia sakit bervariasi antara satu
penyakit dengan penyakit lainnya. Ada yang sembuh dengan sendirinya, ada yang
cacat, ada yang meninggal. Perjalanan penyakit yang alami (artinya, tanpa
17
pengobatan apapun) sejak dari keadaan yang sehat hingga timbulnya akibat penyakit,
dinamakan riwayat ilmiah penyakit. Tiap penyakit membutuhkan riwayat alamiah
masing-masing
Meskipun tiap penyakit mempunyai riwayat alamiah, namun kerangka konsep
yang bersifat umum perlu dibuat untuk mendeskripsikan riwayat perjalanan penyakit
pada umumnya. Perhatikanlah Gambar 2. tentang riwayat alamiah penyakit.
Berdasarkan kerangka umum riwayat alamiah penyakit, kita dapat membagi lingkup
riset epidemiologi kedalam tiga kategori:
(1) Riset etiologik bertujuan menemukan faktor-faktor penyebab penyakit,
hubungan satu dengan lainnya, dan besarnya pengaruh terhadap penyakit;
(2) Riset prognostik bertujuan mempelajari faktor-faktor yang berperan dalam
mengubah penyakit menuju terminal penyakit, dan meramalkan durasi
menuju terminal penyakit; dan
(3) Riset intervensi bertujuan mengevaluasi efikasi atau efektivitas intervensi,
baik yang sifatnya pencegahan primer, pencegahan sekunder, atau pencegahan
tersier.
Riwayat alamiah penyakit terdiri dari empat fase (Rothman, 1981; Mausner
dan Kramer, 1985): (1) Fase rentan; (2) Fase presimtomatik; (3) Fase klinik; (4) Fase
terminal.
FASE RENTAN. Fase rentan adalah tahap berlangsungnya proses etiologik, dimana
faktor penyebab pertama untuk pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Disini
18
faktor penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan
dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit nantinya. Contoh: kolesterol LDL (low
density lipoprotein) yang tinggi mengakibatkan kemungkinan kejadian penyakit
jantung koroner (PJK); kebiasaan merokok meningkatkan probabilitas kejadian
tuberkulosis klinik; paparan radiasi sinar-X meningkatkan kemungkinan kejadian
leukemia; dan sebagainya.
Faktor penyebab pertama diatas termasuk faktor risiko. Faktor risiko adalah
faktor yang kehadirannya meningkatkan probabilitas kejadian penyakit, sebelum
penyakit tersebut mencapai fase ireversibilitas. Suatu faktor yang mempunyai
hubungan kausal dapat dikatakan faktor risiko, meski hubungan itu tidak langsung
atau belum diketahui mekanismenya. Karena hasil-hasil riset kita tentang penyebab
penyakit pada umumnya masih bersifat mungkin, maka pada umumnya para
epidemiolog lebih menyukai menggunakan kata faktor risiko ketimbang faktor
penyebab (kausa) untuk menerangkan suatu variabel yang meningkatkan probabilitas
individuuntuk mengalami penyakit (Kleinbaum et al., 1982). Contoh: umur dan
merokok dikenal luas sebagai determinan penyakit belum dimengerti dengan jelas.
Sebaliknya, membawa korek api bukan merupakan faktor risiko bagi Ca paru,
meskipun dapat dianggap sebagai faktor pengganti (yang tidak tepat) tentang status
kebiasaan merokok.
Faktor risiko dapa berubah atau tetap. Jenis pekerjaan, kebiasaan makan,
kebiasaan merokok, dan perilaku seksual adalah faktor-faktor risiko yang dapat
berubah. Sehingga seorang perokok dapat dibujuk untuk menghentikan kebiasaan
merokok, agar terhindar dari kemungkinan menderita Ca paru; orang yang aktivitas
19
seksualnya tinggi dianjurkan menerapkan seks aman untuk mengurangi risiko
kejadian AIDS; dan sebagainya. Sedang faktor umur, gender, ras dan riwayat
keluarga adalah faktor-faktor risiko yang penting, tetapi tidak dapat berubah.
Identifikasi faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah tetap diperlukan, agar dapat
dilakukan tindakan-tindakan pengawasan medik secara lebih ketat dan pembuatan
kebijakan yang dibutuhkan untuk melindungi orang-orang yang memiliki faktor-
faktor risiko itu. Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog adalah penelitian
etiologi penyakit, yaitu meneliti kemungkinan pengaruh faktor-faktor biologik,
lingkungan, dan perilaku manusia terhadap kejadian penyakit.
Perlu diketahui, adanya hubungan statistik yang kuat antara sebuah faktor
risiko dan penyakit tidak dapat ditafsirkan bahwa semua orang memiliki faktor risiko
tersebut pasti mengalami penyakit. Keterbatasan kemampuan kita mengidentifikasi
semua faktor-faktor yang meningkatkan risiko penyakit menyebabkan keterbatasan
kemampuan kita meramalkan dengan tepat, apakah seseorang akan menderita
penyakit tersebut atau tidak.
Ada sejumlah faktor yang kehadirannya justru menurunkan probabilitas
kejadian penyakit, faktor-faktor itu disebut faktor protektif. Contoh: kebiasaan makan
ikan laut (yang mengandung klesterol HDL) menurunkan probabilitas kejadian PJK.
FASE PRESIMTOMATIK. Tahap presimtomatik adalah tahap berlangsungnya
proses perubahan patologik yang diakhiri dengan keadaan ireversibel (yaitu,
manifestasi penyakit tidak dapat dihindari lagi). Disini belumterjadi manifestasi
penyakit, tetapi telah terjadi tingkat perubahan patologik yang siap untuk dideteksi
20
tanda dan gejalanya pada tahap berikutnya. Contoh: perubahan aterosklerosis arteria
koronaria sebelum seseorang memperlihatkan tanda dan gejala PJK; perubahan
malignansi jaringan yang ireversibel; dan sebagainya.
FASE KLINIK. Fase klinik adalah tahap dimana perubahan patologik pada organ
telah cukup banyak, sehingga tanda dan gejala penyakit mulai dapat dideteksi. Disini
telah terjadi menifestasi klinik penyakit. Mausner dan Kramer (1985) menganjurkan
pembagian yang lebih rinci lagi tahap ini, agar manajemen kasus dan riset
epidemiologi dapat dilakukan dngan lebih akurat. Tergantung kepada
jenispenyakitnya, subklasifikasi dapat dilakukan berdasarkan aspek morfologik,
fungsi, atau terapetik.
Dewasa ini masih banyak penyakit yang belum diketahui dengan jelas riwayat
alaiahnya, terutama pada tahap klinik. Sebagai contoh, apa sebabnya ada orang yang
mempunyai sejumlah faktor risiko, tetapi tidak mengalami manifestasi klinik. Agar
dapat memahami sebabnya dengan lebih jelas, akhir-akhir ini banyak epidemiolog
melakukan riset tindak lanjut (follow up) pada keompok besar subyek penelitian
selama beberapa waktu. Dengan rancangan riset longitudinal dan prospektif
sedemikian itu maka peneliti dapat mengamati dan mengukur perubahan dan
perkembangan penyakit yang terjadi dengan lebih baik.
FASE TERMINAL. Fase terminal adalah tahap dimana mulai terlihat akibat dari
penyakit. Akibat penyakit mungkin sembuh spontan, sembuh dengan terapi, remisi
(kambuh), perubahan beratnya penyakit, kecacatan, atau kematian. Contoh:
21
poliomyelitis tipe paralitik membawa akibat paralisis, tipe bulber membawa akibat
kematian, dan sebagainya.
Beberapa konsep dan parameter yang perlu dikenal dalam riwayat alamiah
penyakit adalah :
(1) Masa inkubasi;
(2) Fase induksi;
(3) Fase promosi;
(4) Promotor;
(5) Faktor deteksi;
(6) Durasi penyakit;
(7) Faktor prognostik;
(8) Kronisitas;
(9) Pencegahan.
Masa inkubasi (masa laten) adalah periode waktu sejak masuknya penyebab
awal pada pejamu hingga timbulnya manifestasi klinik. Masa inkubasi terdiri dari dua
fase: (1) Fase induksi; dan (2) Fase promosi. Fase induksi berlangsung sejak
bertemunya faktor penyebab awal dengan pejamu, hingga proses patologik yang
ireversibel hinga timbulnya tanda dan gejala klinik. Dalam praktek, perubahan-
perubahan yang ireversibel berlangsung cepat dan sulit diketahui, sehingga kedua
fase ini sering disatukan sebagai masa inkubasi. Untuk penyakit menahun, masa
inkubasi biasanya disebut masa laten (Fox et al., 1970; Rothman, 1981; Kelsey et al.,
1986).
22
Faktor-faktor yang sejak proses patologik yang ireversibel secara etiologik
berperan penting untuk menimbulkan tanda dan gejala klinik, disebut promotor.
Sedang faktor-faktor yang dikenal sejak proses patologik yang ireversibel hingga
terdeteksinya penyakit secara klinik, tetapi tidak berperan penting untuk
menimbulkan tanda dan gejala klinik, disebut faktor deteksi (Kleinbaum et al., 1982).
Jadi promotor mempercepat (atau memperlambat, inhibitor) proses penyakit yang
sesungguhnya; sedang faktor deteksi hanya mengubah probabilitas kasus.
Durasi penyakit adalah periode waktu sejak penyakit terdeteksi secara klinik
hingga timbulnya akibat penyakit (MacMahon dan Pugh, 1970). Konsep yang peting
berkaitan dengan durasi penyakit adalah faktor prognostik. Faktor prognostik adalah
faktor-faktor yang diyakini mempunyai hubungan dengan probabilitas kasus untuk
berkembang menjadi betuk terminal penyakit, baik sembuh, sekuela, tambah berat,
cacat, atau meninggal (Kleinbaum et al., 1982). Riset yang mempelajari peran faktor-
faktor prognostik dan peramalan durasi penyakit disebut riset prognostik, misalnya
analisis kesintasan. Karena dikenal konsep masa laten dan durasi, maka kronisitas
penyakit memiliki dua pengertian, yaitu panjangnya masa laten di satu pihak dan
durasi penyakit di pihak lain.
Tujuan riset intervensi adalah mengevaluasi efikasi atau efektivitas intervensi,
yang dapat berupa pencegahan primer, pencegahan sekunder, atau pencegahan tersier
(Caplan, 1967). Pencegahan primer adalah mencegah atau menunda kejadian baru
penyakit. Intervensinya adalah deteksi dini penyakit dan pengobatan segera.
Pencegahan tersier adalah memperingan akibat penyakit, mencegah disfungsi sisa,
23
mengurangi kecacatan, atau memperpanjang hidup. Inetrvensinya adalah pengobatan
dan rehabilitasi. Ketiga tujuan riset intervensi disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Riwayat alamiah penyakit
II.5. INFERENSI KAUSAL DAN MODEL KAUSALITAS
Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog ditujukan kepada riset etiologi.
Riset etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui penyebab-
penyebab penyakit, hubungan satu penyebab penyakit dengan penyebab lainnya, serta
besarnya pengaruh terhadap penyakit. Untuk membuat kesimpulan tentang penyebab
penyakit, pertama-tama kita perlu mengklasifikasikan arti “kausalitas” dalam
epidemiologi.
24
Diperkenalkannya faktor penyebab sebagai penyakit
pertama
Dimulainya proses patologik
(penyakit menjadi ireversibel)
Penyakit terdeteksi secara klinik (tampak
tanda dan gejala)
Akibat penyakit (perubahan status
atau kematian)
Pencegahan Primer
Pencegahan Sekunder
Pencegahan Tersier
Riset Intervensi
Fase Rentan Fase Presimtomatik Fase Klinik Fase Terminal
Induksi Promosi Ekspresi
Periode Laten Durasi
Riset Etiologik Riset Prognostik
KONSEP KAUSASI. Riset tentang hubungan kausal sangat penting perannya bagi
kesehatan masyarakat dan kedokteran. Anjuran untuk tidak merokok dibuat
berdasarkan temuan ratusan riset yang membuktikan bahwa merokok adalah
penyebab Ca paru. Para dokter memberikan obat berdasarkan hasil uji klinik yang
menemukan bahwa obat tersebut memang memperbaiki kondisi pasien. Perencana
kesehatan merencanakan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu
komunitas dengan asumsi, bahwa fasilitas tersebut akan menyebabkan perbaikan
status kesehatan komunitas yang dilayani.
Pada prinsipnya terdapat dua pendekatan untuk mengetahui hubungan sebab-
akibat antara faktor yang diteliti dan penyakit, yaitu: (1) Pendekatan determinisme;
dan (2) Pendekatan probabilitas. Dalam pendekatan determinisme, hubungan antara
variabel dependen (penyakit) dan variabel independen (faktor penelitian) berjalan
sempurna, persis dengan yang digambarkan pada model matematik. Disini
diasumsikan tidak terdapat satu jenis kesalahan (error) pun yang mempengaruhi sifat
hubungan kedua variabel itu. Contoh: Postulat Henle-Koch. Pendekatan probabilitas,
di lain pihak, memberikan ruang terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan-
kesalahan, baik yang bersifat acak (sampling error), bias, maupun kerancuan
(confounding). Dalam pendekatan probabilitas digunakan teori statistik unuk
meyakinkan apakah terdapat hubungan yang valid antara faktor penelitian dan
penyakit. Penaksiran hubungan yang valid adalah penaksiran hubungan yang telah
memperhiungkan faktor peluang, bias dan kerancuan. Contoh: dalam mempelajari
hubungan antara tekanan darah dan umur, orang-orang yang seumur belum tentu
memiliki tekanan darah yang sama. Tetapi dengan metode statistik yang layak, kita
25
dapat menyimpulkan bahwa, secara rata-rata, tekanan darah meningkat dengan
bertambahnya umur. Dengan model statistik bahkan kita dapat meramalkan tekanan
darah untuk suatu umur tertentu.
Apakah hubungan yang valid dapat dikatakan hubungan kausal? Tidak.
Betapapun bermaknanya hubungan secara statistik, dan bahkan betapapun validnya
hubungan itu, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan hubungan sebab-akibat. Untuk
sampai pada keputusan kausalitas harus dilakukan pertimbangan-pertimbangan yang
matang. Bagaimana caranya? Caranya adalah mengevaluasi hasil riset kita dengan
bukti-bukti riset lainnya, baik yang bersifat epidemiologik maupun
nonepidemiologik. Bradford Hill (1971) merumuskan kriteria umum yang
memungkinkan para peneliti menguji sejauh mana bukti-bukti itu mendukung
hubungan kausal.
Dalam Modern Epidemiology, Rothman dan Greenland mengilustrasikan
proses pemahaman terhadap penyebab dengan deskripsi dari seorang bayi yang
belajar menggerakkan tombol yang menyebabkan lampu menyala. Tetapi apa yang
kami ambil sebagai penyebab tergantung pada tingkat dimana kita mencari
pemahaman atau konstituensi yang kami perlihatkan. Karena itu:
Seorang Ibu yang mengganti bola lampu yang terbakar mungkin akan melihat
bahwa tindakannya adalah penyebab dari menyalanya lampu, bukan karena dia
menolak fakta bahwa hal tersebut adalah efek dari dipasangnya tombol lampu
pada posisi menyala, tetapi karena fokus yang diamatinya berbeda.
Seorang ahli listrik yang mengganti sirkuit yang rusak mungkin akan
menyatakan bahwa hal tersebut adalah penyebab dari menyalanya lampu, bukan
26
karena dia menolak fakta pentingnya tombol lampu dan bola lampu, tetapi
karena fokus yang diamatinya berbeda.
Seorang ahli kabel yang memperbaiki transformer yang menyebabkan lampu
mati mungkin akan menyatakan bahwa penyebab dari menyalanya lampu
adalah karena dia membetulkan transformer tersebut.
Seorang agen layanan sosial yang mengatur pembayaran tagihan listrik
mungkin akan menganggap bahwa pembayaran tersebut adalah penyebab dari
menyalanya lampu, karena jika listrik diputus, maka tombol, sirkuit dan bola
lampu akan tidak berarti.
Seorang pegawai perusahaan listrik, pejabat politik menilai bahwa
perusahaan, para investor yang memasukkan dana, Bank Pemerintah yang
menurunkan tingkat suku bunga, politisi yang memotong pajak, dan penyedia
layanan kesehatan yang menyumbangkan pengembangan proses kelahiran
yang aman dan kesehatan mungkin akan menganggap bahwa tindakan mereka
adalah penyebab dari menyalanya lampu.
Slogan dari National Rifle Association “Senjata tidak membunuh orang,
oranglah yang membunuh orang lain” bukan merupakan pernyataan kesehatan, tetapi
memberi ilustrasi atas kompleksitas dari memproporsikan kausasi.
Mervyn Susser mengajukan bahwa untuk hubungan kausal, epidemiologi
memiliki atribut-atribut sebagai berikut: asosiasi, urutan waktu, dan arah. Sebuah
kausa adalah sesuatu yang diasosiasikan dengan efeknya, yang muncul sebelum atau
paling tidak pada saat yang bersamaan dengan efek tersebut, dan bertindak terhadap
efeknya. Dalam prinsipnya, sebuah kausa dapat diharuskan-tanpanya efek tidak
27
akan muncul-dan/atau memadai-dengannya efek akan muncul walaupun tidak ada
atau ada faktor lain yang terlibat di dalamnya. Dalam prakteknya, bagaimanapun,
akan selalu mungkin untuk mendapatkan faktor-faktor lain yang ada atau tidak ada
yang mungkin dapat mencegah efek, karena, seperti contoh tombol lampu di atas-
asumsi-asumsi akan selalu bermunculan. Kegagalan dalam membangun lima tahapan
seperti di atas mungkin akan menjadi penyebab yang memadai untuk kematian.
Tetapi tetap dapat disanggah bahwa kematian tidak akan terjadi jika ada pencegahan
sebelumnya.
Rothman, telah merincikan komponen-komponen model kausal yang
mencoba untuk mengakomodasikan semua multiplisitas faktor tersebut, yang
berkontribusi dalam munculnya hasil. Dalam model Rothman tersebut, penyebab-
penyebab yang memadai diperlihatkan dalam lingkaran penuh (kue kausal), segmen-
segmen memperlihatkan komponen penyebab. Ketika semua komponen penyebab
muncul, maka kausa yang memadai telah lengkap dan hasil akan muncul. Ada
kemungkinan dari munculnya lebih dari satu penyebab yang memadai (misalnya
lingkaran penuh) untuk hasil, maka hasil akan muncul dalam banyak jalur.
Komponen-komponen penyebab yang merupakan bagian dari setiap kausa yang
memadai juga dianggap sebagai penyebab. Periode induksi untuk sebuah kejadian
didefinisikan melalui relasi terhadap setiap komponen khusus kausa, pada saat waktu
yang dibutuhkan bagi komponen kausa yang tersisa juga memunculkan diri. Maka,
komponen kausa terakhir yang memiliki periode induksi nol. Model ini sangat
berguna untuk mengilustrasikan sejumlah konsep-konsep epidemiologis, khususnya
28
dalam hubungan dengan “sinergisme” dan “modifikasi efek”, dan kita akan kembali
lagi pada bab kemudian.
KONSEP PENYEBAB
Terdapat 2 tipe penyebab: Necessary cause dan Sufficient cause. Necessary
cause mengacu kepada faktor-faktor yang harus ada dari suatu penyakit dan tidak ada
bila tidak terkena penyakit tertentu. Sufficient cause adalah faktor itu sendiri yang
dapat menimbulkan penyakit, dengan tidak memperdulikan adanya faktor-faktor lain.
Necessary dan sufficient
Faktor yang harus ada pada suatu penyakit dan tidak ada bila tidak terkena penyakit
pada seseorang.
Necessary tapi bukan sufficient
A sendiri tidak dapat menimbulkan penyakit. Namun kekurangan A tidak akan
menimbulkan penyakit sebagaimana mestinya.
A + B + C Penyakit
29
A Penyakit
Tidak ada penyakitTidak ada A
Sufficient tapi bukan necessary
Terdapat beberapa faktor yang mungkin mencetuskan penyakit yang sama dan A
adalah salah satunya.
A
B
C
Bukan Sufficient ataupun Necessary
A + B
C + D
E + F + G
Tiap-tiap dari A, B, C, sampai G disebut komponen penyebab.
Sebagian besar penyakit adalah: Kanker paru, CHD, tuberkulosis, atau problem
kesehatan lain seperti kecelakaan,dll.
Evaluasi faktor-faktor penting yang dicurigai
Metode epidemiologi yang dilakukan untuk mengevaluasi bagaimana peran faktor
yang dicurigai dalam menyebabkan penyakit yang khas sangatlah sulit untuk
mendapatkan efek nyata pada faktor tunggal, khususnya pada penyakit-penyakit yang
multi faktorial.
30
Penyakit
Penyakit
Anggaplah suatu penyakit, misalnya X adalah suatu penyakit multifaktorial dan
disebabkan oleh faktor yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula. Sebagai contoh
dengan adanya A + B + C + D dapat menimbulkan X. Namun, kombinasi lain seperti
A + B + C + E, atau A + E + G + H lebih berat menimbulkan X. Secara sederhana,
dapat diasumsikan bahwa peran tiap-tiap faktor dalam menimbulkan penyakit adalah
cukup penting dan tidak ada overlapping dari bentuk penyebab yang berbeda pada
populasi yang sama.
Sufficient cause I
A B
C D
Sufficient cause II
A E
B C
Sufficient cause III
A F
G H
Dapat kita lihat bahwa A adalah necessary, tapi tidak sufficient, sedangkan faktor lain
tidak necessary ataupun sufficient. Idealnya, jika kita tahu tentang seluruh kombinasi
ini, perubahan pada A akan merubah pula penyakit tersebut pada semua situasi.
31
Penyakit X
Penyakit X
Penyakit X
Anggapan tersebut dalam komunitas, pola penyebabnya disebut pola tipe I.
Sayangnya D adalah paparan yang jarang, sedangkan A, B dan C seringkali terjadi.
Bila studi kita menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan penyakit X dalam
komunitas ini, kita akan menumukan bahwa D merupakan faktor yang kuat dalam
meimbulkan penyakit X, sedangkan A, B dan C tidak menunjukkan faktor yang lebih
kuat. Alasannya adalah pada kelompok non penyakit (kontrol), terdapat tiga faktor
yang mungkin ada dan karena kombinasi dari ketiganya tidak cukup untuk
meimbulkan penyakit, maka keberadaan D menjadi pencetus terjadinya penyakit.
Jadi, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa D merupakan faktor yang
bermakna terhadap timbulnya penyakit dan mungkin pada saat tersebut, faktor A, B
dan C tidak diketahui (kontras terhadap fakta adalah A merupakan necessary cause
dan sufficient cause ketika D tidak).
MODEL DETERMINISME MURNI. Dengan model determinisme murni,
hubungan kausal antara faktor X (agen) dan faktor Y (penyakit) digambarkan
memiliki bentuk yang konstan, unik, satu lawan satu, sehingga satu faktor dapat
memprediksi kejadian satu faktor lainnya dengan sempurna. Perhatikan Gambar 3.
yang memperlihatkan model kausasi tunggal. Dengan model kausasi tunggal, sebuah
agen X dikatakan sebagai penyebab penyakit Y, jika hubungan X dan Y memiliki
spesifisitas akibat, dan spesifisitas penyebab. Dengan spesifisitas akibat
dimaksudkan, penyakit Y adalah satu-satunya akibat dari agen X. dengan spesifisitas
penyebab dimaksudkan, hanya dengan adanya agen X dapat terjadi penyakit Y
32
(disebut, necessary cause); dan cukup dengan agen X dapat terjadi penyakit Y
(disebut, sufficient cause).
Gambar 3. Model kausasi tunggal
Model determinisme pertama kali diperagakan oleh Jacob Henle. Pada tahun
1840, atau kurang lebih 40 tahun sebelum para mikrobiolog berhasil mengisolasi dan
menumbuhkan bakteri dalam kultur untuk pertama kali, ia membuat model kausasi
yang melibatkan relasi antara sebuah agen sebagai penyebab dan sebuah hasil sebagai
akibat. Model kausal itu dilanjutkan muridnya, Robert Koch pada tahun 1882, untuk
menjelaskan hubungan basil tuberkulosis dan penyakit tuberkulosis. Model kausalitas
itu dinyatakan dalam tiga postulat yang terkenal sebagai Postulat Henle-Koch
(Rivers, 1973). Suatu agen adalah penyebab penyakit apabila ketiga syarat berikut
dipenuhi:
(1) Agen tersebut selalu dijumpai pada setiap kasus penyakit yang diteliti
(necessary cause), pada keadaan yang sesuai;
(2) Agen tersebut hanya mengakibatkan penyakit yang diteliti, tidak mengakibatkan
penyakit lain (spesifitas efek);
(3) Jika agen diisolasi sempurna dari tubuh, dan berulang-ulang ditumbuhkan pada
kultur yang murni, ia dapat menginduksi terjadinya penyakit (sufficient cause).
33
Faktor X Penyakit Y
MODEL DETERMINISME DENGAN MODIFIKASI. Apakah model kausasi
tunggal dapat diterapkan pada semua penyakit? Mari kita kaji dengan beberapa
contoh. Spesifisitas penyakit mudah dijumpai pada penyakit-penyakit tumor yang
langka. Angiosarkoma hati, misalnya, sebegitu jauh diketahui terjadi hanya dan
cukup bila terdapat paparan dengan vinil klorida. Demikian pula, adenokarsinoma
vagina pada anak perempuan terjadinya hanya dan cukup bila ibunya terpapar
hormon DES (diethylstilbestrol) sewaktu hamil. Sekarang bagaimana dengan etiologi
penyakit-penyakit lain pada umumnya? Tampaknya syarat spesifisitas penyebab dan
spesifisitas efek terlalu sulit untuk dipenuhi pada sebagian besar penyakit.
PENYEBAB MAJEMUK. Telah banyak bukti empirik dan keyakinan teoritik
bahwa pada umumnya penyakit memiliki lebih dari sebuah penyebab. Pada penyakit
non-infeksi, tak ada satu faktorpun dapat mengakibatkan penyakit secara sendiri. Jika
seseorang ingin terkena Ca paru, maka ia tidak dapat mewujudkannya dengan hanya
merokok. Demikian pula dengan penyakit infeksi. Kehadiran agen-agen mikroba
ternyata tidak selalu disertai dengan tanda dan gejala yang merupakan ciri-ciri cari
penyakit tersebut (Dubos, 1965). Ini berarti, sebuah agen tidak menyebabkan
perubahan patologik dengan sendirinya. Pengaruh agen sangat tergantung kepada
beberapa faktor lainnya, termasuk defisiensi gizi, paparan bahan racun, stres
emosional, dan bahkan lingkungan sosial yang lebih kompleks. Perhatikan Gambar 4.
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh infeksi basil tuberkulosa dalam tubuh manusia.
Tatapi infeksi oleh basil tuberkulosis tidak selalu menghasilkan tuberkulosis klinik.
Hanya sedikit proporsi orang yang terinfeksi oleh basil mengalami penyakit secara
34
klinik. Artinya, basil tuberkulosis merupakan necessary cause, tetapi bukan sufficient
cause. Ada sejumlah faktor lain yang bersama-sama dengan basil tersebut
menciptakan keadaan yang mencukupi terjadinya tuberkulosis klinik. Faktor-faktor
tersebut adalah nutrisi yang buruk, keadaan lingkungan yang buruk, umur, dan faktor
genetik. Faktor-faktor tersebut menjalankan peranyya menginduksi dan mempromosi
terjadinya tuberkulosis klinik. Keadaan yang dibutuhkan untuk terjadinya penyakit,
disebut necessary condition; sedang keadaan yang cukup membuat terjadinya
penyakit disebut sufficient condition.
Gambar 4. model kausasi majemuk kumulatif. Contoh: etiologi tuberkulosis klinik.
Peran faktor-faktor penyebab dalam model kausalitas majemuk diatas bersifat
kumulatif, di mana keadaan yang mencukupi terjadinya tuberkulosis klinik hanya
bisa diciptakan secara bersama-sama. Jadi, masing-masing faktor merupakan
35
Infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosa
Gizi buruk
Umur
Faktor genetik?
Keadaan lingkungan
+
+
+
+
Reaksi pada tingkat seluler
Tuberkulosis klinik
necessary cause, tetapi tidak sufficient cause. Peran faktor-faktor penyebab dapat
juga bersifat independen/alternatif. Gambar 5. memperlihatkan, penyakit A
disebabkan faktor 1, faktor 2, faktor 3, secara sendiri. Artinya, masing-masing faktor
itu bersifat necessary cause, sekaligus sufficient cause.
Gambar 5. Model kausasi faktor majemuk alternatif
EFEK MAJEMUK. Banyak bukti-bukti mendukung keyakinan bahwa sebuah faktor
dapat memberikan lebih dari sebuah efek. Contoh: merokok menyebabkan Ca paru,
tetapi juga Ca buli-buli, Ca esofagus, Ca rongga mulut, penyakit Crohn, penyakit
janung koroner, emfisema, bronkitis kronik, kematian perinatal, dan penyakit
periodontal.
BEBERAPA MODEL KAUSASI MAJEMUK. Sejumlah epidemiolog
mengklasifikasi faktor “penyebab” penyakit, dan membuat model yang
menggambarkan relasi faktor-faktor tersebut dengan penyakit. Beberapa model yang
terkenal adalah:
(1) Klaster faktor penyebab;
36
Faktor 1
Faktor 2
Faktor 3
Reaksi pada tingkat seluler
Penyakit A
(2) Segitiga epidemiologi;
(3) Jala-jala kausasi; dan
(4) Model roda.
KLASTER FAKTOR PENYEBAB. Rothman (1976) mengemukakan konsep relasi
faktor-faktor penyebab dan penyakit, yang disebut klaster faktor penyebab (cluster of
causal factors). Dengan model ini, penyebab yang mencukupi bukankah faktor
tunggal, tetapi sejumlah faktor yang membentuk sebuah kelompok yang disebut
klaster. Tiap klaster faktor penyebab mengakibatkan sebuah penyakit. Faktor-faktor
dalam satu klaster saling berinteraksi dan saling tergantung, untuk menimbulkan
pengaruh klaster itu. Tetapi, antara satu faktor dan faktor lainnya dari klaster yang
saling berlainan tidak saling tergantung. Sebuah faktor penyebab bisa hadir pada satu
klaster maupun pada sejumlah klaster lainnya. Faktor penyebab yang hadir pada satu
atau lebih (tetapi tidak semua) klaster, dan memungkinkan terjadinya penyakit pada
klaster itu, siebut contributory cause atau penyebab penyumbang (Reigelman, 1979).
Sedang faktor yang selalu hadir di klaster manapun, dan memungkinkan terjadinya
penyakit pada semua klaster, disebut necessary cause (Rothman, 1976).
SEGITIGA EPIDEMIOLOGI. Model ini menggambarkan relasi tida komponen
penyebab penyakit-yaitu penjamu, agen dan lingkungan-dalam bentuk segitiga.
Perhatikan gambar 6. Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan
perlunya analisis dan pemahaman masing-masing kompnen. Perubahan pada satu
komponen akan mengubah keseimbangan ketiga komponen, dengan akibat
37
menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit. Model segitiga cocok untuk
menerangkan penyebab penyakit infeksi. Sebab peran agen (yakni, mikroba) mudah
diisolasikan dengan jelas dari lingkungannya. Tetapi, bagaimana dengan penyakit
non-infeksi, seperti skizofrenia, penyakit jantung koroner (PJK) dan artritis
reumatoid? Etiologi penyakit non-infeksi pada umumnya tidak duhubungkan dengan
peran agen yang spesifik. Kalaupun bisa diidentifikasi, para epidemiolog lebih suka
memandang agen sebagai bagian integral dari lingkungan secara keseluruhan
(biologik, sosial dan fisik). Karena itu, berkembang model-model yang lebih
memperhatikan interaksi majemuk antara pejamu dan lingkungan, ketimbang
penekanan berlebihan kepada para agen.
Gambar 6. Model segitiga epidemiologi
JALA-JALA KAUSASI. Model ini dicetuskan oleh MacMahon dan Pugh (1970).
Prinsipnya adalah, setiap efek (yakni, penyakit) tak pernah tergantung kepada sebuah
faktor penyebab, tetapi tergantung kepada sejumlah faktor dalam rangkaian kausalitas
sebelumnya. Faktor-faktor penyebab itu disebut promotor dan inhibitor. Gambar 7.
menyajikan model jala-jala kausasi
38
Penjamu
Agen Lingkungan
Gambar 7. Model jala-jala kausasi
MODEL RODA. Model ini menggambarkan hubungan manusia dan lingkungannya
sebagai roda. Terlihat pada gambar 8. roda tersebut terdiri atas manusia dengan
substansi genetik pada bagian intinya, dan komponen lingkungan biologi, sosial, fisik
mengelilingi penjamu. Ukuran komponen roda bersifat relatif, tergantung problem
spesifik penyakit yang bersangkutan. Contoh: pada penyakit herediter, proporsi inti
39
Keadaan biologik awal
Akibat I
Akibat II
Akibat III(manifestasi klinik)
InhibitorPromotor
Inhibitor 1
Inhibitor 2
Inhibitor 3
Promotor 1
Promotor 2
Promotor 3
Promotor 4
Promotor 5
Promotor 6
Promotor 7
Promotor 8
Promotor 9
genetik relatif besar; sedang pada penyakit campak, status imunitas penjamu serta
lingkungan biologik lebih penting ketimbang faktor genetik.
Gambar 8. Model roda untuk menggambarkan hubungan interaktif manusia-
lingkungan
II.6. KESIMPULAN STATISTIK DAN KESIMPULAN KAUSAL
Kesimpulan statistik tidak sama dengan kesimpulan kausal, walaupun
memang ada paralelisme dalam proses penyimpulan itu sendiri, dan kesimpulan
statistik secara umum memakai data yang dievaluasi untuk digunakan bagi
pembentukan kesimpulan kausal. Dalam kesimpulan statistik, data dari sampel yang
diobservasi dipergunakan untuk menyimpulkan tentang populasi yang mana telah
40
Penjamu(Manusia)
Lingkungan fisik
Lingkungan sosial
Lingkungan biologi
Inti genetik
ditentukan sebelumnya. Model statistik, diekspresikan dengan hipotesis kosong (H0),
kemudian “diuji” terhadap data. Berdasarkan data, model statistik dapat diterima atau
ditolak sebagai eksplanasi yang memadai dari data. Penolakan merupakan pernyataan
yang lebih kuat dan biasanya didasari oleh kriteria yang lebih keras (tingkat
signifikansi 5% berarti hasil yang sama kuatnya dengan yang diobservasi akan
muncul dengan kemungkinan hanya 5%dari waktu keseluruan, sementara tingkat
80% dari kekuata statistik berari ada hubungan nyata yang tampaknya tidak
“signifikan” 20% pada saat yang sama). Tetapi dengan mengeluarkan eksplanasi yang
berbasis pada kesempatan tidak serta merta mendirikan sebuah kausalitas, karean ada
beberapa banyak kemungkinan lainnya untuk sebab-sebab non-kausal bagi asosiasi
yang ada. Asosiasi tersebut harus cukup meyakinkan dan merefleksikan beberapa
keanehan-keanehan dalam kelompok kajian, masalah dengan pengukuran terhadap
penyakit atau bukaan terhadap penyakit, atau efek dari beberapa faktor lainnyta dapat
berdampak pada penyakit DAN dugaan kausa. Bahkan, dugaan faktor resiko dapat
saja muncul SETELAH (bahkan sebagai hasil dari) penyakit. Dalam kesimpulan
kausal, seseorang yang meneliti struktur dan hasil dari banyak investigasi dalam
percobaannya untuk melakukan penaksiran, jika mungkin, akan menghilangkan
semua sebab-sebab non-kausal yang mungkin ada untuk asosiasi yang telah diamati
II.7. PENGARUH PENGETAHUAN DAN PARADIGMA
Karena kesimpulan kasual adalah proses dari pencarian sebab yang masuk
akal, maka dikondisikan oleh apa yang diyakini benar adanya dan bisa
mengungkapkan konsep-konsep penyakit. Konsep-konsep ini berdasar kepada
41
pengetahuan pada saat itu, demikian juga semua ketidakacuhan dan keyakinan-
keyakinan yang keliru.
Anggap saja dalam satu kasus agen-agen mikrobial. Rumus-rumus Henle-
Koch (1884) untuk mengimplikasi bakteria sebagai penyebab dari penyakit adalah:
1. Parasit (bentuk asli) yang harus didapati pada semua yang terkena penyakit
2. Parasit tidak boleh muncul pada orang sehat
3. Parasit dapat diisolasi, dibiakkan dan dapat menyebabkan perpindahan penyakit
ke orang lain.
Telah menjadi model yang sangat berhasil bagi penyakit-penyakit seperti
anthrax, tuberculosis, dan tetanus. Tetapi, dalil-dalil ini belum memadai bagi banyak
penyakit lainnya, terutama penyakit-penyakit viral, karena (Rivers, 1937; Evans
1978):
1. Produksi penyakit mungkin memerlukan faktor pendukung
2. Virus tidak dapat dibiakkan seperti bakteria karena virus membutuhkan sel-sel
hidup untuk bertumbuh
3. Virus-virus patogenis dapat muncul tanpa penyakit klinis (infeksi sub-klinis,
keadaan pembawa).
Ketika patogen-patogen ini tidak terlalu beracun atau tidak mematikan dimana
kehadiran patogen tersebut selalu membawa penyakit, maka kita harus
memperhitungkan faktor-faktor ganda dan “jaringan” kausasi.
42
II.8. KRITERIA KESIMPULAN KAUSAL DALAM EPIDEMIOLOGI
Baik pendekatan determinisme maupun probabilitas membutuhkan
pertimbangan yang mendalam untuk sampai pada keputusan hubungan kausal.
Pertimbangan itu lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Akhir tahun 1950-an
dan awal tahun 1960-an para epidemiolog telah menyadari pentingnya dirumuskan
kriteria umum yang dapat dipakai sebagai pedoman, yang walaupun mungkin belum
mencukupi tetapi amat dibutuhkan para peneliti untuk memutuskan adanya hubungan
kausal, berdasarkan bukti-bukti dari berbagai riset.
Kriteria untuk kesimpulan kausal menjadi isu yang penting dan kontroversial
dengan dibentuknya Advisory Comitte pertama untuk Surgeon General on Health
Consequences of Smoking. Pada laporan lembaga ini di tahun 1964, komite ini
memperlihatkan daftar “kriteria epidemiologis untuk kausalitas” yang mana oleh Sir
Austin Bradford Hill kemudian diurai lagi dalam tulisan klasiknya tahun 1965
President Address to the newly formed Section of Occupational Medicine dari Royal
Society. Kriteria yang dibuat Hill secara luas diketahui sebagai basis untuk
menyimpulkan kausal-kausal. Kriteria kausalitas yang terkenal dirumuskan oleh
Bradford Hill (1971), sebagai berikut: (1) Kekuatan asosiasi; (2) Konsistensi; (3)
Spesifisitas; (4) Kronologis waktu; (5) Efek dosis respons; (6) Hipotesis yang masuk
akal secara biologik; (7) Koherensi bukti-bukti; (8) bukti-bukti eksperimen; dan (9)
Analogi.
1. Kekuatan Asosiasi. Makin kuat hubungan paparan dan penyakit, makin kuat pula
keyakinan bahwa hubungan tersebut bersifat kausal. Sebab, makin kuat hubungan
43
paparan dan penyakit sebagaimana yang teramati, makin kecil kemungkinan
bahwa penaksiran hubungan itu dipengaruhi oleh kesalahan acak maupun
kesalahan sistematik yang tidak terduga atau tak terkontrol. Sebaliknya, hubungan
yang lemah tidak dengan sendirinya dapat dianggap tidak ada hubungan kausal.
Hanya saja, pada hubungan yang lemah kita dapat menduga bahwa peran peluang,
bias dan kerancuan cukup besar untuk menghasilkan distorsi hasil.
Insiden penyakit seharusnya lebih bermakna pada yang terpapar
daripada yang tidak terpapar. Jika perbedaan insiden pada dua kelompok tinggi
(diukur dengan resiko relatif yang mana lebih tinggi dari satu), kemungkinan
faktor sebagai penyebab penyakit dapat ditentukan. Pada studi case kontrol,
hipotesis penyebab penyakit seharusnya lebih sering terjadi pada yang terpapar.
Kekuatan gabungan saat itu ada pada waktu odds ratio, yang mana odds ratio
terpapar pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Sebagai contoh, seorang perokok akan lebih tinggi 10 kali terkena resiko
penyakit (angka kejadian seorang perokok adalah 10 kali dari angka kejadian
seorang yang bukan perokok), dan faktor lainnya (seperti umur, jenis kelamin,
alkohol, dll) yang konstan, merokok lebih mudah menjadi penyebab penyakit,
bila dibandingkan dengan faktor lainnya yang menunjukkan peningkatan resiko
hanya 1,5-2 kali. Namun, hal ini tidak berarti bahwa faktor gabungan yang tidak
terlalu kuat tidak pernah menjadi penyebab penyakit hanya seperti kasus
tersebut,agak sulit menyangkal efek dari faktor-faktor yang lain atau penjelasan
alternatif yang mungkin diduga sebagai penyebab tidak langsung.
44
2. Konsistensi. Makin konsisten dengan riset-riset lainna yang dilakukan pada
populasi dan lingkungan yang berbeda, makin kuat pula keyakinan hubungan
kausal. Kriteria konsistensi juga sangat penting untuk meyakinkan masyarakat
peneliti tentang hubungan kausal. Contoh: merokok baru diyakini sebagai
penyebab Ca paru setelah dibuktikan melalui ribuan riset yang dilakukan pada
berbagai populasi, negara, dan waktu. Sebaliknya, inkonsistensi temuan tidak
dapat dengan sendirinya sebagai non-kausal. Sebab dalam banyak hal, agen
penyebab baru dapat mewujudkan pengaruhnya terhadap penyakit, jika terdapat
aksi penyebab komplementer yang menciptakan kondisi yang mencukupi untuk
terjadinya penyakit tersebut. Padahal, kondisi yang mencukupi itu tidak selalu
dapat dipenuhi pada setiap situasi. Selain itu, inkonsistensi bisa terjadi karena
adanya ”artefak”, baik yang berasal dari fluktuasi acak maupun bias dalam
pelaksanaan riset.
Gabungan antara hipotesis penyebab dan penyakit dapat ditemukan pada
populasi yang bervariasi dengan metode studi yang berbeda. Terdapat suatu tipe
konfirmasi dari hasil studi pada populasi yang berbeda pula. Di laboratorium,
konfirmasi mungkin dibuat dengan lebih memakai replikasi dari hewan-hewan
dengan tipe yang berbeda, untuk melihat efek yang tampak. Mempelajari data dari
populasi yang berbeda penting pada masa dilusi efek bias yang mungkin ada pada
suatu studi, meningkatkan jumlah sampel, memperbaiki representatif, dll. Jadi
mencari dari studi yang bervariasi dapat digunakan untuk meneliti pentingnya
gabungan.
45
3. Spesifisitas. Makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan
kausal. Begitu pula, makin spesifik ”penyebab”, makin kuat kesimpulan
hubungan kausal. Celakanya, kriteria spesifisitas acapkali dieksploitir para
simpatisan perokok (dan pecandu rokok) untuk menyanggah hubungan sebab
akibat antara kebiasaan merokok dan Ca paru. Argumentasi mereka, hubungan
merokok dan Ca paru tidak spesifik, sebab merokok juga mengakibatkan
sejumlah penyakit lain seperti penyakit jantung koroner, Ca mulut, Ca nasofaring,
Ca esofagus, emfisema, bronkhitis kronik, kematian perinatal dan sebagainya.
Argumentasi itu sesungguhnya tidak kuat, sebab asap dan partikulat rokok
tembakau terdiri dari puluhan komponen, seperti nikotin, tar, benzipiren, karbon
monoksida, dan lain-lain.sehingga spesifisitas hubungan harus dianalisis per
komponen tersebut. Di lainipihak, kriteria spesifisitas itu sendiri tampaknya tidak
memiliki landasan yang kuat. Pengalaman hidup kita berulang-ulang
mengajarkan, bahwa satu peristiwa dapat mengakibatkan berbagai peristiwa
lainnya.
4. Kronologi waktu. Hubungan kausal harus menunjukkan sekuen waktu yang
jelas, yaitu paparan faktor penelitian (anteseden) mendahului kejadian penyakit
(konsekuen). Jika suatu faktor adalah penyebab suatu penyakit, maka ia harus ada
sebelum terjadinya penyakit. Namun, dalam beberapa studi, rangkaian waktu
kejadian tidak tampak jelas. Waktu yang berkesinambungan adalah bukti terbaik
dalam studi prospektif dimana semua subjek menentukan. Mulai terpapar dicatat
dan onset penyakit diperhatikan. Hanya saja, tidak setiap hipotesis penyebab
46
dapat memberikan bukti pada perjalanan waktu selain besarnya biaya selama
follow up dan panjangnya durasi periode induksi.
5. Efek dosis-respons. Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh
perubahan frekuensi penyakit menguatkan kesimpulan hubungan kausal. Contoh:
Apabila risiko terkena ca paru meningkat dengan bertambahnya jumlah batang
sigaret yang diisap perhari, maka keyakinan hubungan kausal antara merokok dan
Ca paru makin kuat pula. Sebaliknya, tidak terpenuhinya kriteria dosis-respons
tidak menyingkirkan kemungkinan hubungan kausal (Rothman, 1896). Sebab,
dikenal konsep nilai ambang dan tingkat saturasi (Lepowski, 1978). Selama nilai
ambang atau tingkat saturasi belum dicapai oleh dosis yang diberikan, maka
perubahan dosis tidak akan diikuti perubahan kejadian penyakit. Selain itu,
teramatinya hubungan dosis-respons tidak selalu dapat diartikan hubungan sebab
akibat. Perubahan frekuensi penyakit pada setiap perubahan intensitas paparan
dapat juga disebabkan bias yang bersifat gradual (Weiss, 1981).
Jika suatu faktor ternyata merupakan penyebab suatu penyakit, dosis
yang lebih besar atau lamanya paparan, kemungkinan untuk terjadinya penyakit
lebih besar pula. Sebagai contoh, jika terpapar debu silika adalah penyebab
penyakit, maka subjek yang terpapar debu silika konsentrasi tinggi akan
meningkatkan perkembangan frekwensi penyakit (atau penyakit berkembang
lebih cepat) dibanding subjek yang terpapar debu silika dengan konsentrasi
rendah. Hal ini adalah pola umum kejadian penyakit sejak dari intensitas kecil
agen mungkin tidak dapat menimbulkan epidemi pada host yang resisten, tapi
47
sejumlah besar agen akan menimbulkannya. Jadi pola dosis-respon dapat
menyokong hipotesis faktor penyebab.
6. Kredibilitas biologik suatu hipotesis. Keyakinan hubungan antara paparan dan
penyakit makin kuat jika ada dukungan pengetahuan biologik. Namun demikian,
ketiadaan dukungan pengetahuan biologik tidak dapat dengan sendirinya
dikatakan bukan hubungan non-kausal. Sebab acapkali pengetahuan biologi yang
tersedia/ada”tertinggal”, sehingga tidak dapat menjelaskan hasil pengalaman
suatu riset. Secara umum dapat dikatakan, makin terbatas pengetahuan biologik
tentang hubungan antara paparan dan penyakit, makin kurang aman untuk
memutuskan bahwa hubungan itu non-kausal.
Kepercayaan terhadap suatu peyebab dan efek bila ada suatu
pengetahuan atau postulat mekanisme biologi yang mana paparan mungkin
beralasan dapat mengubah resiko perkembangan penyakit. Perkembangan
penyakit setelah adanya paparan diduga sebagai faktor seharusnya mengikuti
reaksi fisiologi manusia. Pada beberapa instansi, perjalanan fisiologi beberapa
faktor penyebab penyakit, mungkin tidak dapat ditegakkan dengan baik, sejak
respon fisiologi tubuh manusia masih terbanyak dikontrol faktor genetik, DNA,
yang hanya sebagian kecil diketahui oleh pengetahuan modern. Selanjutnya
pengulangan gabungan ditemukan dalam studi yang berbeda mungkin dapat
menjadi bukti pembenaran terhadap biologi molekuler.
7. Koherensi. Makin koheren dengan pengetahuan tentang riwayat alamiah
penyakit, makin kuat keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit.
48
Kriteria koherensi menegaskan pentingnya kriteria konsistensi dan kredibilitas
biologik.
8. Bukti eksperimen. Dukungan temuan riset eksperimental memperkuat
kesimpulan hubungan kausal. Blalock (1971) dan Susser (1973) mengemukakan,
bahwa hubungan kausal dapat diyakinkan melalui bukti-bukti eksperimental, jika
perubahan variabel independen (faktor penelitian) selalu diikuti oleh perubahan
variabel dependen (penyakit). Dalam praktek, pembuktian eksperimental
seringkali tidak praktis, tidak layak, atau bahkan tidak etis, terutama jika
menyangkut faktor-faktor penelitian yang bersifat merugikan manusia (misalnya,
merokok, paparan bahan-bahan kimia, obat-obat yang dihipotesiskan teratogenik).
9. Analogi. Kriteria analogi kurang kuat untuk mendukung hubungan kausal. Sebab
imajinasi para ilmuwan tentu akan banyak mencetuskan gagasan-gagasan
analogik, dengan akibat analogi menajdi tidak spesifik untuk dipakai sebagai
dasar dukunganhubungan kausal. Pada beberapa situasi, kriteria analogi memang
bisa dipakai, misalnya: jika sebuah obat mengakibatkan cacat lahir, maka bukan
tidak mungkin obat lain yang mempunyai sifat farmakologi serupa akan
memberikan akibat yang sama.
Kesembilan kriteria diatas sangat membantu kita dalam menentukan apakah suatu
paparan atau karakteristik merupakan penyebab suatu penyakit. Meski demikian,
penerapannya tidak semudah yang diuraikan. Hill sendiri mengingatkan, tidak
satupun kriteria diatas bersifat necessary (mutlak diperlukan) maupun sufficient
(mencukupi). Terlalu mengandalkan salah satu kriteria tanpa mempertimbangkan
49
aspek-aspek lain akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Dalam hal ini
kerendahan hati Hill terlalu berlebihan. Kriteria keempat, yakni kronologi waktu,
kiranya tidak bisa dibantah merupakan kriteia yang mutlak diperlukan (sine qua non).
Jika penyebab tidak mendahului akibat, maka adakah diantara kita yang berani
mengatakan bahwa hubungan tersebut bersifat kausal?
Di dalam suatu penelitian epidemiologi terdapat beberapa kriteria penyebab yang
dapat dipertimbangkan, antara lain:
1. Hipotesis penyebab seharusnya terdistribusi secara sama pada suatu populasi jka
tidak ada intervensi atau pencegahan,
2. Insiden penyakit secara signifikan harus lebih tinggi pada orang yang terpapar
dibanding dengan orang yang tidak terpapar,
3. Hipotesis penyebab pada yang terpapar harus lebih mudah terkena penyakit
dibanding tidak terkena penyakit,
4. Kasus penyakit harus mengikuti suatu paparan untuk hipotesis penyebab,
5. Dosis yang lebih besar dan/atau paparan yang lama terhadap penyebab, lebih
besar kemungkinannya untuk menderita penyakit,
6. Pada beberapa penyakit atau kondisi, spektrum dari respon host sejalan dengan
paparan untuk hipotesis penyebab selama suatu gradien biologi logik dari ringan
ke berat,
7. Gabungan antara penyebab dan penyakit harus ditemukan pada populasi yang
sama bila digunakan studi dengan metode yang berbeda atau pada populasi yang
bervariasi jika metode pembuktian digunakan secara konsisten,
50
8. Penjelasan lain untuk gabungan yang diluar ketetapan,
9. Metode kontrol digunakan untuk mengubah atau memodifikasi penyebab atau
mengubah atau kontrol vektor (atau vehikel) membawa penyakit dapat
menurunkan insiden penyakit,
10. Pencegahan, kontrol dan modifikasi reaksi individual terhadap penyakit dengan
mengurangi kemampuan penyebab, penyakit harus menurun atau berubah pada
populasi (seperti imunisasi, obat penurun kolesterol),
11. Penyakit harus terjadi dengan angka lebih tinggi pada percobaan (percobaan
binatang) jika kemungkinan terpapar penyebab sama dengan yang tidak terpapar.
Semua hubungan efek penyebab dan penemuan melibatkan keilmuan, medik,
biologi dan epidemiologi.
51
BAB III
KESIMPULAN
Karya ilmiah apapun tidak seharusnya disikapi dengan keangkuhan sebagai
memiliki kebenaran paripurna dan abadi. ”Kebenaran” karya ilmiah dapat saja
dibuktikan salah, dijatuhkan, atau paling tidak direvisi oleh temuan yanglebih baru.
Sebab hanya dengan sikap demikian pengetahuan ilmiah dapat berkembang. Namun,
kenyataan itu bukan merupakan alasan untuk dengan bebas mengabaikan
pengetahuan yang telah kita miliki. Di samping itu, skeptisme terhadap validitas
suatu pengetahuan yang oleh para induktivis-empirik mungkin dikatakan ”prematur”
bukan merupakan alasan (yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan
manusiawi untuk menunda melakukan intervensi kesehatan, baik preventif, protektif,
maupun kuratif, yang pada kenyataannya sangat dibutuhkan segera oleh masyarakat.
Validitas suatu pengetahuan dapat diuji dalam suatu riset epidemiologi
dengan rancangan studi yang tepat. Dengan menggunakan hasil riset dan kriteria
inferensi kausal, kita membuat inferensi kausal untuk menyanggah dan
menyempurnakan hipotesis dan teori yang berlaku sebelumnya, atau merumuskan
hipotesis baru.
Riset tentang hubungan kausal sangat penting perannya bagi kesehatan
masyarakat dan kedokteran. Para dokter memberikan obat berdasarkan hasil uji klinik
yang menemukan bahwa obat tersebut memang memperbaiki kondisi pasien.
Perencana kesehatan merencanakan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan pada
52
suatu komunitas dengan asumsi, bahwa fasilitas tersebut akan menyebabkan
perbaikan status kesehatan komunitas yang dilayani.
Baik pendekatan determinisme maupun probabilitas membutuhkan
pertimbangan yang mendalam untuk sampai pada keputusan hubungan kausal.
Pertimbangan itu lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Akhir tahun 1950-an
dan awal tahun 1960-an para epidemiolog telah menyadari pentingnya dirumuskan
kriteria umum yang dapat dipakai sebagai pedoman, yang walaupun mungkin belum
mencukupi tetapi amat dibutuhkan para peneliti untuk memutuskan adanya hubungan
kausal, berdasarkan bukti-bukti dari berbagai riset.
Kriteria kausalitas yang terkenal dirumuskan oleh Bradford Hill (1971),
sebagai berikut: Kekuatan asosiasi, Konsistensi, Spesifisitas, Kronologis waktu, Efek
dosis respons, Hipotesis yang masuk akal secara biologik, Koherensi bukti-bukti,
Bukti-bukti eksperimen, dan Analogi.
53
DAFTAR PUSTAKA
Evan AS (1976) Yale J Biol Med 49:175-95.
Hennekens CH,Buring JE. Epidemiology in Medicine.Little,Brown & Co.,1987.
Lilienfeld DE, stolley PD. Foundations of Epidemiology.3rd ed., Oxford University
Press,1994.
Murti, Bhisma. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Surakarta:. Gajah Mada
University Press: 1995
Rothman KJ. Modern Epidemiology.Little,Brown & Co.,1986.
Rothman, Kenneth J. Causation and Causal Inference in Epidemiology. Diperoleh
dari http://ridwanamiruddin.wordpress.com/2007/071/inferensi-kausal-epid-
rothman. diakses pada: 7 September 2007.
54