Author
bawel30243
View
595
Download
56
Embed Size (px)
DESCRIPTION
epidemiologi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit merupakan salah satu gangguan kehidupan manusia yang telah di kenal
orang sejak dahulu. Pada mulanya, orang mendasarkan konsep terjadinya penyakit pada
adanya gangguan makhluk halus atau karena kemurkaan dari Yang Maha Pencipta.
Hingga saat ini, masih banyak keelompok masyarakat di Negara berkembang yang
menganut konsep tersebut. Di lain pihak, masih ada gangguan kesehatan atau penyakit
yang belum jelas penyebabnya maupun proses kejadiannya.
Pada tahap berikutnya, Hippocrates telah mengembangkan teori bahwa
timbulnya penyakit disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang meliputi air, udara,
tanah, cuaca, dan lain sebagainya. Namun demikian, dalam teori ini tidak dijelaskan
bagaimana kedudukan manusia dalam interaksi tersebut, serta tidak dijelaskan pula
faktor lingkungan yang menimbulkan penyakit.
Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog ditunjukkan pada riset etiologi. Riset
etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui penyebab-penyebab
penyakit, hubungan satu penyebab dengan penyebab lainnya, serta besarnya pengaruh
terhadap penyakit. Untuk membuat kesimpulan tentang penyebab penyakit, pertama-
tama kita perlu mengklasifikasi arti “kausalitas” dalam epiodemologi.
Dengan menggunakan statistik inferensi, adanya suatu gabungan adalah refleksi
dari suatu kondisi variasi faktor yang berhubungan untuk (dapat menjelaskan) variasi
kejadian penyakit, kemungkinan adanya peran lain. Hal ini biasa dikenal sebagai
asosiasi statistik. Pada era teknologi komputer ini perhitungan peluang (kemungkinan,
2
probabilitas) tidak hanya diformulasikan tetapi juga disimulasi (mengulang sampel dari
populasi yang terkenal).
Konsep dari kausal dan inferensi kausal telah diajarkan secara meluas pada
pengalaman belajar mandiri. Model dari kausasi yang menjelaskan penyebab dalam
sufficient cause dan komponennya mengiluminasi prinsip-prinsip penting seperti dalam
hal multikausal, hubungan kekuatan dari komponen penyebab pada prevalensi dari
komponen penyebab pelengkap dan interaksi antara komponen penyebab.
Para filosof menyetujui bahwa proporsi kausal tidak dapat dibuktikan, dan
menemukan aturan dari pembatasan pada semua filosofi dari inferensi kausal.
Meskipun, aturan logika, kepercayaan dan penelitian dalam mengevaluasi proporsi
kausal tidak tetap. Inferensi kausal dalam epidemiologi lebih baik dalam mengukur
suatu efek daripada proses criteria untuk menentukan apakah terdapat efek atau tidak.
2.1. Tujuan
2.1.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini agar penulis memahami prinsip
inferensi hubungan kausal dalam epidemiologi dan merupakan tugas dari mata kuliah
Epidemiologi Klinik.
2.1.2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu menjelaskan tetang :
1. Konsep Dasar Sehat dan Sakit
2. Inferensasi Kausa dan Konsep Kausalitas
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Sehat - Sakit
Sehat dan sakit adalah suatu kejadian yang merupakan rangkaian proses yang
berjalan terus-menerus dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana konsep sehat
sakit dapat dianggap bergerak dari suatu titik sehat ke titik sakit melalui satu garis
horizontal.
>>
Sehat Sakit
Pengertian Sakit dan Penyakit
1. Keterpaparan dan kerentanan
Terjadinya penyakit dapat dikatakan sebagai hasil interaksi antara factor
penjamu dengan factor agen. Untuk terjadi perubahan, factor agen memapar (melakukan
pemaparan) terhadapa penjamu, dan factor penjamu sendiri menjadi peka sakit
tergantung kepada kerentanannya.
Perubahan status sehat ke status sakit berkaitan dengan hasil keterpaparan yang
dilakukan oleh agen, dan kerentanan tubuh manusia dalam menghadapi keterpaparan
itu.
2. Hubungan penyebab dan penyakit
Dalam buku-buku kedokteran, kausa biasanya dibicarakan sebagai etiologi,
pathogenesis, mekanisme. Kausa sangat penting bagi para dokter praktisi dalam
4
memandu pendekatan tugas klinik untuk melakukan prevensi, diagnosis, dan
pengobatan.
Dalam epidemiologi, penyebab penyakit perlu diketahui dengan maksud untuk
mengetahui terjadinya penyakit dan berupaya mencegah beraksinya factor penyebab itu.
Beberapa factor yang berkaitan dengan terjadinya suatu penyakit dapat menciptakan
suatu model yang disebut “jaringan kausa” (web of causation).
3. Konsep penyebab dan proses terjadinya penyakit
Pengertian penyebab penyakit dalam epidemiologi berkembang dari rantai sebab
akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yakni proses interaksi antara manusia
(pejamu) dengan berbagai sifatnya (biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis dan
antropologis) dengan penyebab (agen) serta dengan lingkungan (environment).
Host
Environment Agent
Gambar 1 : Hubungan interaksi host, agent, dan environment
(Segitiga epidemiologi)
Dalam teori keseimbangan, interaksi antara ketiga unsur tersebut harus
dipertahankan keseimbangannya. Bila terjadi gangguan keseimbangan antara
ketiganya, akan menyebabkan timbulnya penyakit tertentu.
2.2. Inferensiasi Kausa dan Konsep Kausalitas
Dewasa ini perhatian utama para epidemiolog ditujukan kepada riset etiologi.
Riset etiologi adalah riset epidemiologi yang bertujuan mengetahui penyebab-penyebab
5
penyakit, hubungan satu penyebab penyakit dengan penyebab lainnya, serta besarnya
pengaruh terhadap penyakit. Untuk membuat kesimpulan tentang penyebab penyakit,
pertama-tama kita perlu mengklasifikasikan arti “kausalitas” dalam epidemiologi.
2.2.1. Konsep Kausasi
Riset tentang hubungan kausal sangat penting perannya bagi kesehatan
masyarakat dan kedokteran. Anjuran untuk tidak merokok dibuat berdasarkan temuan
ratusan riset yang membuktikan bahwa merokok adalah penyebab Ca paru. Para dokter
memberikan obat berdasarkan hasil uji klinik yang menemukan bahwa obat tersebut
memang memperbaiki kondisi pasien. Perencana kesehatan merencanakan penempatan
fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu komunitas dengan asumsi, bahwa fasilitas
tersebut akan menyebabkan perbaikan status kesehatan komunitas yang dilayani.
Apakah hubungan yang valid dapat dikatakan hubungan kausal? Tidak.
Betapapun bermaknanya hubungan secara statistik, dan bahkan betapapun validnya
hubungan itu, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan hubungan sebab-akibat. Untuk
sampai pada keputusan kausalitas harus dilakukan pertimbangan-pertimbangan yang
matang. Bagaimana caranya? Caranya adalah mengevaluasi hasil riset kita dengan
bukti-bukti riset lainnya, baik yang bersifat epidemiologik maupun nonepidemiologik.
Bradford Hill (1971) merumuskan kriteria umum yang memungkinkan para peneliti
menguji sejauh mana bukti-bukti itu mendukung hubungan kausal.
Dalam Modern Epidemiology, Rothman dan Greenland mengilustrasikan proses
pemahaman terhadap penyebab dengan deskripsi dari seorang bayi yang belajar
menggerakkan tombol yang menyebabkan lampu menyala. Tetapi apa yang kami ambil
6
sebagai penyebab tergantung pada tingkat dimana kita mencari pemahaman atau
konstituensi yang kami perlihatkan. Karena itu:
Seorang Ibu yang mengganti bola lampu yang terbakar mungkin akan melihat
bahwa tindakannya adalah penyebab dari menyalanya lampu, bukan karena dia
menolak fakta bahwa hal tersebut adalah efek dari dipasangnya tombol lampu
pada posisi menyala, tetapi karena fokus yang diamatinya berbeda.
Seorang ahli listrik yang mengganti sirkuit yang rusak mungkin akan
menyatakan bahwa hal tersebut adalah penyebab dari menyalanya lampu,
bukan karena dia menolak fakta pentingnya tombol lampu dan bola lampu,
tetapi karena fokus yang diamatinya berbeda.
Seorang ahli kabel yang memperbaiki transformer yang menyebabkan lampu
mati mungkin akan menyatakan bahwa penyebab dari menyalanya lampu
adalah karena dia membetulkan transformer tersebut.
Seorang agen layanan sosial yang mengatur pembayaran tagihan listrik
mungkin akan menganggap bahwa pembayaran tersebut adalah penyebab dari
menyalanya lampu, karena jika listrik diputus, maka tombol, sirkuit dan bola
lampu akan tidak berarti.
Seorang pegawai perusahaan listrik, pejabat politik menilai bahwa
perusahaan, para investor yang memasukkan dana, Bank Pemerintah yang
menurunkan tingkat suku bunga, politisi yang memotong pajak, dan penyedia
layanan kesehatan yang menyumbangkan pengembangan proses kelahiran
yang aman dan kesehatan mungkin akan menganggap bahwa tindakan mereka
adalah penyebab dari menyalanya lampu.
7
Slogan dari National Rifle Association “Senjata tidak membunuh orang, oranglah
yang membunuh orang lain” bukan merupakan pernyataan kesehatan, tetapi memberi
ilustrasi atas kompleksitas dari memproporsikan kausasi.
Mervyn Susser mengajukan bahwa untuk hubungan kausal, epidemiologi
memiliki atribut-atribut sebagai berikut: asosiasi, urutan waktu, dan arah. Sebuah kausa
adalah sesuatu yang diasosiasikan dengan efeknya, yang muncul sebelum atau paling
tidak pada saat yang bersamaan dengan efek tersebut, dan bertindak terhadap efeknya.
Dalam prinsipnya, sebuah kausa dapat diharuskan-tanpanya efek tidak akan muncul-
dan/atau memadai-dengannya efek akan muncul walaupun tidak ada atau ada faktor
lain yang terlibat di dalamnya. Dalam prakteknya, bagaimanapun, akan selalu mungkin
untuk mendapatkan faktor-faktor lain yang ada atau tidak ada yang mungkin dapat
mencegah efek, karena, seperti contoh tombol lampu di atas-asumsi-asumsi akan selalu
bermunculan. Kegagalan dalam membangun lima tahapan seperti di atas mungkin akan
menjadi penyebab yang memadai untuk kematian. Tetapi tetap dapat disanggah bahwa
kematian tidak akan terjadi jika ada pencegahan sebelumnya.
Rothman, telah merincikan komponen-komponen model kausal yang mencoba
untuk mengakomodasikan semua multiplisitas faktor tersebut, yang berkontribusi dalam
munculnya hasil. Dalam model Rothman tersebut, penyebab-penyebab yang memadai
diperlihatkan dalam lingkaran penuh (kue kausal), segmen-segmen memperlihatkan
komponen penyebab. Ketika semua komponen penyebab muncul, maka kausa yang
memadai telah lengkap dan hasil akan muncul. Ada kemungkinan dari munculnya lebih
dari satu penyebab yang memadai (misalnya lingkaran penuh) untuk hasil, maka hasil
akan muncul dalam banyak jalur. Komponen-komponen penyebab yang merupakan
bagian dari setiap kausa yang memadai juga dianggap sebagai penyebab. Periode
8
induksi untuk sebuah kejadian didefinisikan melalui relasi terhadap setiap komponen
khusus kausa, pada saat waktu yang dibutuhkan bagi komponen kausa yang tersisa juga
memunculkan diri. Maka, komponen kausa terakhir yang memiliki periode induksi nol.
Model ini sangat berguna untuk mengilustrasikan sejumlah konsep-konsep
epidemiologis, khususnya dalam hubungan dengan “sinergisme” dan “modifikasi efek”,
dan kita akan kembali lagi pada bab kemudian.
2.2.2. Hubungan Asosiasi
Hubungan asosiasi dalam bidang epidemiologi adalah keterikatan atau saling
pengaruh antara dua atau lebih variable. Hubungan tersebut dapat bersifat hubungan
sebab akibat maupun yang bukan hubungan sebab akibat. Sedangkan hubungan
keterikatan adalah hubungan antara variable, jika ada perubahan pada variable yang satu
(independent) maka akan mempengaruhi variabel yang lainnya (independent).
Hubungan asosiasi dalam epidemiologi dapat dibagi dalam 3 jenis, yakni
hubungan semu, hubungan non kausal dan hubungan kausal.
1. Hubungan semu
Hubungan semu adalah hubungan antara dua atau lebih variable yang bersifat
semu (tidak benar) palsu yang timbul karena factor kebetulan atau karena
adanya bias pada metode penelitian / cara penilaian yang dilakukan. Hubungan
semu dapat timbul karena beberapa factor:
a) Factor kebetulan yang mengikuti hokum probability (hukum peluang)
sehingga tampak ada hubungan yang erat dan memenuhi kaidah /
perhitungan statistik.
9
Keadaan seperti ini sering dijumpai pada penelitian random sampling, bila
hal ini timbul maka haruslah dilakukan berbagai pengamatan yang terpisah
atau pengamatan berulang kali. Disamping itu harus menggunakan uji
stastistik yang relevan.
b) Faktor kesalahan karena bias yang mungkin timbul pada penyusunan
kerangka penelitian (desain penelitian), pada perhitungan serta pada
penilaian terhadap faktor yang berpengaruh dan faktor risiko yang
mendorong proses terjadinya penyakit
c) Bias dapt terjadi pada pemilihan kelompok yang akan diteliti, mungkin tidak
mewakili populasi yang ingin di ketahui
d) Bias dapat terjadi pada pengamatan dimana cukup banyak anggota sampel
yang drop out atau menolak berpartisipasi sehingga kelompok yang tersisa
dalam sampel berbeda sifat-sifatnya (karakternya) dengan mereka yang tidak
ikut tersebut
2. Hubungan Asosiasi Bukan Kausal
Hubungan asosiasi bukan kausal adalah hubungan asosiasi yang bersifat bukan
hubungan sebab akibat, dimana variable ketiga tampaknya mempunyai
hubungan dengan salah satu variable yang terlibat dalam hubungan kausal, tetapi
unsur ketiga ini bukan sebagai factor penyebab.Dalam hubungan asosiasi bukan
kausal, kita dapat menjumpai berbagai bentuk hubungan yang dipenagruhi oleh
perjalanan waktu dan akibat yang timbul.
10
3. Hubungan Asosiasi Kausal
Hubungan asosiasi kausal adalah hubungan antara dua atau lebih variable, salah
satu atau lebih diantara variable tersebut merupakan variable penyebab kausal
(primer dan sekunder) terhadap terjadinya variable lainnya sebagai hasil akhir
dari suatu proses terjadinya penyakit. Untuk menilai hubungan asosiasi suatu
hasil pengamatan perlu diperhatikan berbagai hal tersebut dibawah ini:
a) Perlu dianalisis secara cermat apakah hubungan asosiasi tersebut masuk
akal atau tidak
b) Harus dianalisis apakah hubungan semua asosiasi yang dijumpai pada
pengamatan cukup kuat, sehingga memiliki kemaknaan secara biologis
c) Perlu diperhatikan secara mutlak bahwa hubungan asosiasi yang diamati
harus didukung oleh uji statistik yang sesuai
d) Harus diperhatikan secara seksama apakah hubungan asosiasi dari suatu
pengamatan epidemiologis tidak dipengaruhi oleh factor kesalahan atau bias
e) Harus dianalisis secara jelas apakah hubungan asosiasi dari hasil
pengamatan epidemiologis tidak dipengaruhi oleh factor lain dimana factor
tersebut ikut mempengaruhi nilai risk yang mendorong hubungan asosiasi
tersebut
2.2.3. Model Kausalitas
Riset tentang hubungan kausal sangat penting perannya bagi kesehatan
masyarakat dan kedokteran. Anjuran untuk tidak merokok dibuat berdasarkan temuan
ratusan riset yang membuktikan bahwa merokok adalah penyebab ca paru. Para dokter
memberikan obat berdasarkan hasil uji klinik yang menemukan bahwa obat tersebut
11
memang memperbaiki kondisi pasien. Perencana kasehatan merencanakan penempatan
fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu komunitas dengan asumsi, bahwa fasilitas akan
menyebabkan perbaikan status kesehatan komunitas yang dilayani.
Pada prinsipnya terdapat dua pendekatan yang mengetahui hubungan sebab-
akibat antara faktor yang diteliti dan penyakit, yaitu:
(1) Pendekatan determinisme
Dalam pendekatan detirminisme, hubungan antara variable dependen (penyakit)
dan variabel independen (faktor penelitian) berjalan sempurna, persis dengan yang
digambarkan pada model matematik. Disini diasumsikan tidak terdapat satu jenis
kesalahan (error) pun yang mempengaruhi sifat hubungan kedua variabel itu.
Contoh: postulat henle-koch.
(2) Pendekatan Probabilitas
Pendekatan probabilitas, di lain pihak, memberikan ruang terhadap kemungkinan
terjadinya kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat acak (sampling error), bias,
maupun kerancuan (confounding). Dalam pendekatan probabilitas digunakan teori
statistik untuk meyakinkan apakah terdapat hubungan yang valid antara faktor
penelitian dan penyakit. Penaksiran hubungan yang valid adalah penaksiran
hubungan yang telah memperhitungkan faktor peluang, bias dan kerancuan. Contoh
dalam mempelajari hubungan antara tekanan darah dan umur ,orang-orang yang
seumur belum tentu memiliki tekanan darah yang sama. Tetapi, dengan metode
statistik yang layak, kita dapat menyimpulkan bahwa, secara rata-rata tekanan darah
meningkat dengan bertambahnya umur. Dengan model statistik bahkan kita dapat
meramalkan tekanan darah untuk suatu umur tertentu.
12
2.2.4. Model Determinasi Murni
Dengan model detirminisme murni, hubungan kausal antara faktor X (agen) dan
faktor Y (penyakit) digambarkan memiliki bentuk yang konstan, satu lawan satu,
sehingga satu faktor dapat memprediksi kejadian satu faktor lainnya dengan
sempurna.Perhatikan gambar 2.1 yang memperlihatkan model kausasi tunggal. Dengan
model kausasi tunggal, sebuah agen X dikatakan sebagai penyebab penyakit Y, jika
hubungan X dan Y memiliki spesifisitas akibat, dan spesifisitas penyebab. Dengan
spesifisitas akibat dimaksudkan, penyakit Y adalah satu-satunya akibat dari agen X.
Dengan spesifisitas penyebab dimaksudkan, hanya dengan adanya agen X. dengan
spesifisitas penyebab dimaksudkan, hanya dengan adanya agen X dapat terjadi penyakit
Y (disebut, necessarycause); dan cukup dengan agen X dapat terjadi dapat terjadi
penyakit Y (disebut, sufficientcause).
Gambar 2.1 Model Kausasi Tunggal
Model determinisme pertama kali di peragakan oleh Jacob henle. Pada tahun 1840, atau
kurang lebih 40 tahun sebelum para mikrobiolog berhasil mengisolasi dan
menumbuhkan bakteri dalam kultur untuk pertama kali, ia membuat model kausasi yang
melibatkan relasi antara sebuah agen sebagai penyebab dan sebuah hasil sebagai akibat.
Model kausal itu dilanjutkan muridnya, Robert Koch pada tahun 1882, untuk
menjelaskan hubungan basil tuberculosis dan penyakit tuberkolosis.
13
Model kausalitas itu dinyatakan dalam tiga postulat yang dikenal sebagai
postulat henle-koch (Rivers, 1937). Suatu agen adalah penyebab penyakit apabila ketiga
syarat berikut di penuhi:
(1) Agen tersebut selalu di jumpai pada setiap kasus penyakit yang diteliti
(necessarycause), pada keadaan yang sesuai.
(2) Agen tersebut hanya mengakibatkan penyakit yang diteliti, tidak
menyebabkan penyakit lain (spetifitas efek).
(3) Jika agen diisolasi sempurna dari tubuh, dan berulang-ulang ditumbuhkan
dalam kultur yang murni, ia dapat menginduksi terjadinya penyakit (sufficient
cause).
2.2.5. Model Determinasi Dengan Modifikasi
Apakah model kausasi tunggal dapat diterapkan paada semua penyakit? Mari
kita kaji dengan beberapa contoh. Spesifitas penyebab mudah dijumpai pada penyakit-
penyakit tumor yang langka. Angiosarkoma hati, misalnya, sebegitu jauh diketahui
terjadinya hanya dan cukup bila terdapat paparan dengan vinil klorida. Demikian
pula,adenokasinoma vagina pada anak perempuan terjadi hanya dan cukup bila ibunya
terpaparhormon DES (diethylstilbestrol) sewaktu hamil. Sekarang bagaimana dengan
etiologi penyakit-penyakit lain pada umumnya? Tampaknya syarat spesifisitas penyebab
dan spesifisitas efek terlalu sulit untuk dipenuhi pada sebagian besar penyakit.
2.2.6. Penyebab Majemuk
Telah banyak bukti empiric dan keyakinan teoretik bahwa padaumumnya
penyakit memiliki lebih dari sebuah penyabab. Pada penyakit non-infeksi, tak ada satu
14
faktorpun dapat mengakibatkan penyakit secara sendiri. Jika seorang ingin terkena ca
paru,maka ia tidak dapat mewujudkannya dengan hanya merokok. Demikian pula
dengan penyakit infeksi. Kehadiran agen-agen mikroba ternyata tidak selalu disertai
dengan tanda dan gejala yang merupakkan ciri-ciri dari penyakit tersebut (dobus,1965).
Ini berarti, sebuah agen tidak menyebabkan perubahan patologik dengan sendirinya.
Pengaruh agen sangat tergantung dengan beberapa faktor lainnya, termasuk defisiensi
gizi, paparan bahanracun, stress emosional, dan bahkan lingkungan sosial yang lebih
kompleks. Perhatikan gambar 2.2 penyakit tuberkolosis disebabkan oleh infeksi basil
tuberculosis dalam tubuh manusia. Tetapi infeksi oleh basil tuberculosis tidak selalu
menghasilkan tuberculosis klinik. Hanya sedikit proporsi orang yang terinfeksi oleh
basil mengalami penyakit secara klinik.Artinya, basil tuberklosis merupakan necessary
cause, tetapi bukan sufficient cause. Ada sejumlah faktor lain yang bersama-sama
dengan basil tersebut menciptakan keadaan yang mencukupi terjadinya tuberculosis
klinik. Faktor-faktor tersebut adalah nutrisi yang buruk, keadaan lingkungan yang
buruk, umur dan faktor genetic. Faktor-faktor tersebut menjalankan peran yang
menginduksi dan mempromosi terjadinya tuberkulisis klinik. Keadaan yang di butuhkan
untuk terjadinya penyakit, disebut necessary condition, sedangkan keadaan yang cukup
membuat terjadinya penyakit disebut sufficient condition. Peran faktor - faktor
penyebab dalam model kausalitas majemuk di atas bersifat kumulatif, dimana keadaan
yang mencukupi terjadinya tuberculosis klinik hanya bisa diciptakan secara bersama-
sama. Jadi, masing - masing faktor merupakan necessary cause, tapi tidak sufficient
cause.
15
Peran faktor-faktor penyebab dapat juga bersifat independen/alternative. Gambar
2.2 memperlihatkan, penyakit A disebabkan faktor 1, faktor 2, faktor 3, secara sendiri.
Artinya, masing-masing faktor itu bersifat necessary cause, sekaligus sufficient cause.
Gambar 2.2 Model Kausasi Faktor Majemuk Alternatif
2.2.7. Efek Majemuk
Banyak bukti-bukti mendukung keyakinan bahwa sebuah faktor dapat
memberikan lebih dari sebuah efek. Contoh: merokok menyebabkan ca paru,
tetapi juga ca buli-buli, ca esophagus,ca rongga mulut, penyakit crohn, penyakit jantung
koroner,emfisema, bronchitis kronik, kematian prenatal, dan penyakit periodontal.
2.2.8. Beberapa Model Kausasi Majemuk
Sejumlah epidemiolog mengklarifikasi faktor “penyebab” penyakit, dan
membuat model yang menggambarkan relasi faktor-faktor tersebut dengan penyaki.
Beberapa model yang terkenal adalah:
1. Klaster Faktor Penyebab
Rothman (1976) mengemukankan konsep relasi faktor-faktor penyebab dan
penyakit, yang di sebut klaster faktor penyebab (cluster of causal faktors). Dengan
16
model ini, penyebab yang mencukupi bukanlah faktor tunggal, tetapi sejumlah faktor
yang membentik sebuah kelompok yang disebut klaster. Tiap klaster faktor penyebab
mengakibatkan sebuah penyakit. Faktot-faktor dalam satu klaster saling berinteraksi dan
saling tergantung, untuk menimbulkan pengaruh klaster itu. Tetapi, antara satu faktor
dan faktor lainnya dari klaster yang berlainan tidak saling tergantung. Sebuah faktor
penyeab bisa hadir satu klaster , maupun sejumlah klaster lainnya. Faktor penyebab
yang hadir pada stu atau lebih (tetapi tidak semua) klaster, dan memungkinkan
terjadinya penyakit pada semua klasterdi sebut necessary cause (rothman, 1976).
2.Segitiga Epidemiologi
Model ini menggambarkan relasi tiga komponen penyebab penyakit yaitu
penjamu, agen dan lingkungan dalam bentuk segitiga. Untuk memprediksi pola
penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing
komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubahkeseimbangan ketiga
komponen, dengan akibat menaikkan atau menurunkan kejadian penyakit. Model
segitiga cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi. Sebab peran agen (yakni,
mikroba) mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungannya. Tetapi, bagai mana
dengan penyakit non-infeksi, seperti skizofrenia, penyakit jantung kroner (PJK) dan
atritisrematoid? Etiologi penyakit non-infeksi pada umumnya tidak dihubungkan
dengan peran agen yang spesifik. Kalaupun bisa di identifikasi, para epidemiolog lebih
suka memandang agen sebagai bagian integral dari lingkungan secara keseluruhan
(biologic,sosial dan fisik). Karena itu berkembang model-model yang lebih
memperhatikan interaksi majemuk antara penjamu dan lingkungan, ketimbang penekan
berlebihan kepada peran agen.
17
3.Jala-Jala Kausasi
Model ini di cetuskan oleh mc. mahon dan pugh (1970). Prinsipnya adalah,
setiap efek (yakni, penyakit) tak pernah tergantung kepada sebuah faktor penyebab,
tetapi tergantung pada sejumlah faktor dalam rangkaian kausalitas sebelumnya. Faktor-
faktor penyebab itu disebut promoter dan inhibitor.
4.Model Roda
Model ini menggambarkan hubungan manusia dan lingkungan sebagai roda.
Roda tersebut terdiri atas manusia dengan substansi genetik pada bagian intinya, dan
komponen lingkungan biologi, sosial, fisik mengelilingi penjamu. Ukuran komponen
roda bersifat relatif, tergantung problem spesifik penyakit yang bersangkutan. Contoh:
pada penyakit herediter, proporsi inti genetik relatif besar, sedang pada penyakit
campak, status imunitas penjamu serta lingkungan biologic lebih penting ketimbang
faktor genetik.
2.2.9. Kriteria Kausasi
Baik pendekatan detirminisme maupun probabilitas membutuhkan pertimbangan
yang mendalam untuk sampai pada keputusan hubungan kausal. Pertimbangan itu bersifat
kualitatif ketimbang kuantitatif. Akhir tahun 1950-an danawal tahun 1960-an para
epidemiolog telah menyadari pentingnya rumusan kriteriaumum yang dapat di pakai
sebagi pedoman, yang walaupun mungkin belum mencukupi tetapi amat di butuhkan
para penelitiuntuk memutuskan adanya hubungan kausal, berdasarkan bukti-bukti dari
berbagai riset.
18
Kriteria kausalitas yang dikenal dirumuskan oleh Bradford hill(1971), sebagai
berikut:
1. Kekuatan Asosiasi.
Makin kuat hubungan paparan dan penyakit, makin kuat pula keyakinan bahwa
hubungan tersebut bersifat kausal. Sebab, makin kuat hubungan paparan dan
penyakit sebagaimana yang teramati, makin kecil kemungkinan bahwa
penaksiran hubungan itu di pengaruhi oleh kesalahan acak maupun kesalahan
sistematik yang tidak terduga atau tak terkontrol. Sebaliknya, hubungan yang
lemah kita dapat menduga bahwa peran peluang, bias dan kerancuan cukup
besar untuk mengakibatkan distorsi hasil.
2. Konsistensi.
Makin konsisten dengan riset-riset lainnya yang dilakukan pada populasi dan
lingkungan yang berbeda, makin kuat pula keyakinan hubungan kausal. Kriteria
konsistensi juga sangat penting untuk meyakinkan masyarakat peneliti tentang
hubungan kausal. Contoh: merokok baru diyakini sebagai penyebab ca paru
setelah dibuktikan melalui ribuan riset yang dilakukan pada berbagai populasi
negara dan waktu. Sebaliknya,inkonsistensi temuan tidak dapat dengan
sendirinya dianggap sebagai non-kausal. Sebab dalam banyak hal, agen
penyebab baru dapat mewujudkan pengaruhnya terhadap penyakit, jika terdapat
aksi penyebab komplementer yang menciptakan kondisi yang mencukupi untuk
terjadinya penyakit tersebut. padahal, kondisi yang mencukupi itu tidak selalu
dapat dipenuhi pada setiap situasi. Selain itu, inkonsistensi bisa terjadi karena
adanya “artefak”, baik yang berasal dari fluktuasi acak maupun bias
dalam pelaksanaan riset.
19
3. Spesifisitas.
Makin spesifik efek paparan, makin kuat kesimpulan hubungan kausal. Begitu
pula, makin spesifik “penyebab” , makin kuat kesimpulan hubungan kausal.
Celakanya, kriteria spesifitas acapkali diekspoitir para simpatisan perokok (dan
pecandu rokok) untuk menyanggah hubungan sebab akibat antara kebiasaan
merokok dan ca paru. Argumentasi mereka, hubungan merokok dan ca paru
tidak spesifik, sebab rokok juga mengakibatkan sejumlah penyakitlain seperti
penyakit jantung koroner, ca mulut, ca nasofaring, ca esofagus, emfisema,
bronchitis kronik, kematian prenatal dan sebagainya. Argumentasi ini
sesungguhnya tidak kuat, sebab asap dan partikulat rokok tembakau terdiri dari
puluhan komponen seperti nikotin, tar, benzipiren, karbon monoksida, dan lain-
lain. Sehingga spesifisitas hubungan harus dianalisis perkomponen tersebut.
Dilain pihak, kriteria spesifisitas itu sendiri tampaknya tidak memiliki landasan
yang kuat. Pengalaman hidup kita berulang ulang mengajarkan, bahwa satu
peristiwa dapat mengakibatkan berbagai peristiwa lainnya.
4. Kronologi Waktu.
Hubungan kausal harus menunjukkan sekuen waktu yang jelas,yaitu paparan
faktor penelitian (anteseden) mendahului kajadian penyakit (konsekuen).
5. Efek Dosis-Respons.
Perubahan intensitas paparan yang selalu diikuti oleh perubahan frekuensi
penyakit menguatkan kesimpulan hubungan kausal. Contoh: Apabila risiko
terkena ca paru meningkat dengan bertambahnya jumlah rokok yang diisap per
hari, maka keyakinan hubungan kausal antara merokok dan ca paru makin kuat
20
pula. Sebaliknya, tidak terpenuhi kriteria dosis respons tidak menyingkirkan
kemungkinan hubungan kausal (rothman, 1986) sebab, dikenal konsep nilai
ambang dan tingkatsaturasi (lepowski, 1978). Selama nilai ambang atau tingkat
saturasi belum dicapai olehdosis yang diberikan, maka perubahan dosis tidak
akan diikuti perubahan kejadian penyakit. Selain itu, teramatinya hubungan
dosis respons tidak selalu dapat diartikanhubungan sebab akibat. Perubahan
frekuensi penyakit pada setiap perubahan intensitas paparan dapat juga di
sebabkan bias yang bersifat gradual (weiss, 1981).
6. Kredibilitas Biologik Suatu Hipotesis.
Keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit makin kuat jika ada
dukungan pengetahuan biologik. Namun demikian, ketiadaan dukungan
pengetahuan biologik tidak dapat dengan sendirinya dikatakan bukan hubungan
non-kasual. Sebab seringkali pengetahuan biologi yang tersedia “tertinggal”,
sehingga tidak dapat menjelaskan hasil pengamatan suatu riset. Secara umum
dapat dikatakan, makin terbatas pengetahuan biologik tentang hubungan antara
paparan dan penyakit, makin kurang aman untuk memutuskan bahwa hubungan
itunon-kasual.
7. Koherensi.
Makin koheren dengan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit,makin
kuat keyakinan hubungan kausal antara paparan dan penyakit. Kriteria koherensi
menegaskan pentingnya kriteria konsistensi dan kredibilitas biologik.
21
8. Bukti Eksperimen.
Dukungan temuan riset eksperimental memperkuat kasimpulan hubungan
kausal. Blalock (1971) dan suser (1973) mengemukakan, bahwa hubungan
kausal dapat di yakinkan melalui bukti-bukti eksperimental, jika perubahan
variabel independen (faktor penelitian) selalu di ikuti oleh perubahan fariabel
dependen (penyakit). Dalam peraktek, pembuktian eksperimental, seringkali
tidak praktis, tdaklayak, atau bahkan tidak etis, terutama jika menyangkut faktor-
faktor penelitian yangbersifat merugikan manusia (misalnya, merokok, paparan
bahan-bahan kimia, obet-obetyang di hipotesiskan teratogenik).
9. Analogi.
Kriteria analogi kurang kuat untuk mendukung hubungan kasual. Sebab
imajinasi para ilmuan tentu akan banyak mencetuskan gagasan-gagasan
analogik, dengan akibat analogi menjadi tidak spesifik untuk di pakai sebagai
dasar dukungan hubungan kausal. Pada beberapa situasi, kriteria analogi
memang bisa dipakai, misalnya: jikas ebuah obat menyebabkan cacat lahir,
maka bukan tidak mungkin obat lain yang mempunyai sifat farmakologi
yang serupa akan memberikan akibat yang sama. Kesembilan kriteria di atas
sangat membantu kita dalam menentukan apakahsuatu paparan atau karekteristik
merupakan penyebab suatu penyakit. Meski demikian, penyerapannya tidak
semudah yang diuraikan. Hill sendiri mengingatkan, tidak satupun kriteria diatas
bersifat necessary (mutlak di perlukan) maupun sufficient (mencukupi). Terlalu
mengandalkan salah satu kriteria tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya
menghasilkan kesimpulan yang keliru. Dalam hal ini kerendahan hati Hill terlalu
berlebihan. Kriteria keempat, yakni kronologi waktu, kiranya tak bisa di bantah
22
merupakan kriteria yang mutlak di perlukan (sine qua non). Jika penyebab tidak
mendahului akibat,maka adakah diantara kita yang berani mengatakan bahwa
hubungan tersebut bersifat kausal.
Kesembilan kriteria diatas sangat membantu kita dalam menentukan apakah suatu
paparan atau karakteristik merupakan penyebab suatu penyakit. Meski demikian,
penerapannya tidak semudah yang diuraikan. Hill sendiri mengingatkan, tidak satupun
kriteria diatas bersifat necessary (mutlak diperlukan) maupun sufficient (mencukupi).
Terlalu mengandalkan salah satu kriteria tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain
akan menghasilkan kesimpulan yang keliru. Dalam hal ini kerendahan hati Hill terlalu
berlebihan. Kriteria keempat, yakni kronologi waktu, kiranya tidak bisa dibantah
merupakan kriteia yang mutlak diperlukan (sine qua non). Jika penyebab tidak
mendahului akibat, maka adakah diantara kita yang berani mengatakan bahwa
hubungan tersebut bersifat kausal?
Di dalam suatu penelitian epidemiologi terdapat beberapa kriteria penyebab yang
dapat dipertimbangkan, antara lain:
1. Hipotesis penyebab seharusnya terdistribusi secara sama pada suatu populasi
jka tidak ada intervensi atau pencegahan,
2. Insiden penyakit secara signifikan harus lebih tinggi pada orang yang terpapar
dibanding dengan orang yang tidak terpapar,
3. Hipotesis penyebab pada yang terpapar harus lebih mudah terkena penyakit
dibanding tidak terkena penyakit,
4. Kasus penyakit harus mengikuti suatu paparan untuk hipotesis penyebab,
23
5. Dosis yang lebih besar dan/atau paparan yang lama terhadap penyebab, lebih
besar kemungkinannya untuk menderita penyakit,
6. Pada beberapa penyakit atau kondisi, spektrum dari respon host sejalan
dengan paparan untuk hipotesis penyebab selama suatu gradien biologi logik
dari ringan ke berat,
7. Gabungan antara penyebab dan penyakit harus ditemukan pada populasi yang
sama bila digunakan studi dengan metode yang berbeda atau pada populasi
yang bervariasi jika metode pembuktian digunakan secara konsisten,
8. Penjelasan lain untuk gabungan yang diluar ketetapan,
9. Metode kontrol digunakan untuk mengubah atau memodifikasi penyebab atau
mengubah atau kontrol vektor (atau vehikel) membawa penyakit dapat
menurunkan insiden penyakit,
10. Pencegahan, kontrol dan modifikasi reaksi individual terhadap penyakit
dengan mengurangi kemampuan penyebab, penyakit harus menurun atau
berubah pada populasi (seperti imunisasi, obat penurun kolesterol),
11. Penyakit harus terjadi dengan angka lebih tinggi pada percobaan (percobaan
binatang) jika kemungkinan terpapar penyebab sama dengan yang tidak
terpapar. Semua hubungan efek penyebab dan penemuan melibatkan
keilmuan, medik, biologi dan epidemiologi.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sehat dan sakit adalah suatu kejadian yang merupakan rangkaian proses yang
berjalan terus-menerus dalam kehidupan masyarakat. Terjadinya penyakit dapat
dikatakan sebagai hasil interaksi antara factor penjamu dengan faktor agen. Untuk
terjadi perubahan, faktor agen memapar (melakukan pemaparan) terhadapa penjamu,
dan faktor penjamu sendiri menjadi peka sakit tergantung kepada kerentanannya.
Riset tentang hubungan kausal sangat penting perannya bagi kesehatan
masyarakat dan kedokteran. Para dokter memberikan obat berdasarkan hasil uji klinik
yang menemukan bahwa obat tersebut memang memperbaiki kondisi pasien. Perencana
kesehatan merencanakan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan pada suatu
komunitas dengan asumsi, bahwa fasilitas tersebut akan menyebabkan perbaikan status
kesehatan komunitas yang dilayani.
Baik pendekatan determinisme maupun probabilitas membutuhkan
pertimbangan yang mendalam untuk sampai pada keputusan hubungan kausal.
Pertimbangan itu lebih bersifat kualitatif ketimbang kuantitatif. Akhir tahun 1950-an
dan awal tahun 1960-an para epidemiolog telah menyadari pentingnya dirumuskan
kriteria umum yang dapat dipakai sebagai pedoman, yang walaupun mungkin belum
mencukupi tetapi amat dibutuhkan para peneliti untuk memutuskan adanya hubungan
kausal, berdasarkan bukti-bukti dari berbagai riset.
Kriteria kausalitas yang terkenal dirumuskan oleh Bradford Hill (1971), sebagai
berikut: Kekuatan asosiasi, Konsistensi, Spesifisitas, Kronologis waktu, Efek dosis
25
respons, Hipotesis yang masuk akal secara biologik, Koherensi bukti-bukti, Bukti-bukti
eksperimen, dan Analogi.
26
DAFTAR PUSTAKA
Kunthi Nugrahoeni, Dyan, 2012, Konsep Dasar Epidemiologi, Jakarta : EGC
Nasry Noor N, 2008, Epidemiologi, Jakarta : Rineka Cipta
Timmredi, Thomas C, 2005, Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi 2, Jakarta : EGC
Soeparto, Pitono, dkk, 1998, Epidemiologi Klinis, Surabaya : Gramik FK Unair
Fletcher, Robert H,dkk 1996, Clinical Epidemiology The Essentials, North Carolina
27
MAKALAH EPIDEMIOLOGI KLINIS
“Prinsip Inferensi Hubungan Kausal”
Oleh :
KELOMPOK I
Reni Yusman
Dini Anggraini Dhilon
Dewi Susilawati
Suci Syahril
PROGRAM PASCA SARJANA KEBIDANANUNIVERSITAS ANDALAS PADANG
TAHUN 2014