Upload
perpesanan
View
281
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
1/22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian keganasan hidung dan sinus paranasal tergolong
rendah, akan tetapi diagnosis dini kasus ini seringkali mengakibatkan keterlambatan
penatalaksanaan, sehingga memerlukan perhatian khusus oleh dokter umum maupun
ahli Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Dari data ditemukan bahwa keganasan
hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas tubuh, dan
3% dari keganasan di kepala dan leher. 1,2,5,10 Dengan predileksi tersering adalah di
sinus maksila (70-80%), diikuti sinus etmoid dan hidung (20-30%), sedangkan sinus
frontal dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%).1,4
Secara anatomis hidung dan sinus paranasal merupakan suatu struktur dan
rongga yang berhubungan erat. Keganasan di hidung dapat lebih cepat terlihat dan
menimbulkan gejala, tetapi keganasan di sinus yang merupakan rongga tersembunyi
di dalam tulang-tulang pembentuk wajah, tidak mungkin terlihat hanya melalui
pemeriksaan fisik biasa. Seringkali diagnosis baru ditegakkan setelah tumor sudah
merusak struktur di sekitarnya sehingga asal tumor sangat sulit ditentukan. 1
Hidung tersumbat, epistaksis dan rinorea merupakan gejala utama yang sering
dikeluhkan pasien. Gejala ini mirip dengan rhinitis dan sinusitis pada umumnya,
sehingga seringkali lewat dari pengamatan dokter pemeriksa. Gejala dan tanda klinis
serta beragamnya gambaran histologis keganasan ini, memerlukan pemeriksaan
histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya. Pemeriksaan radiologik
tomografi komputer (CT-Scan) atau MRI mempunyai peranan penting untuk
menentukan asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan.1
Umumnya keganasan hidung dan sinus paranasal ditemukan sudah berada dalam
stadium lanjut, sehingga penanganannya harus bersifat multidisiplin dengan bagian
yang terkait.1,2
1
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
2/22
1.1 Epidemologi
Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika
daripada di Amerika Serikat. Dibagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat
kedua yang paling umum dan kanker leher karsinoma nasoaring belakang. Pia yangterkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi ada
orag berusia 45 - 85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada
sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-
15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma
ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3
Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1
dala 100.000 orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi dalam putih, dan insiden
ada laki - laki adalah dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling sering hadir
dalam dekade kelima dan keenam usia.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI1,6
2
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
3/22
1. Hidung
Hidung dibagi menjadi vestibulum, dan rongga hidung karena struktur anatomis
keduanya berbeda. Vestibulum hidung yang merupakan pintu masuk ke rongga
hidung merupakan rongga hidung bagian anterior, diliputi oleh epitel kulit yang
mengandung rambut serta folikel rambut dan kelenjar sebasea. Bagian lateral
dibatasi oleh tulang rawan lateral bawah (lower lateral cartilages) dan bagian
medial, dibatasi kolumela septum.
Rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi, dimulai dari daerah
transisi antara epitel kulit vestibulum, mukosa hidung, dan ke belakang sampai ke
koana. Septum nasi sebagian besar dibentuk oleh tulang rawan septum di bagian
anterior dan bagian tulang di bagian posterior dibentuk oleh perpendicular tulang
etmoid yang juga membentuk kribriformis dan tulang vomer yang membentuk
bagian bawah septum. 1,6
Mukosa yang meliputi rongga hidung adalah epitel toraks berlapis semu
bersilia yang mengandung kelenjar serosa yang menghasilkan mukus. Epitel
olfaktorius menempati daerah yang paling superior dari rongga hidung yang
langsung berhubungan dengan saluran olfaktorius di daerah kribriformis. Dinding
lateral rongga hidung dibentuk oleh konka inferior, media dan superior. Di bawah
masing-masing konka terdapat meatus. Ostium duktus nasolakrimal terdapat di
meatus inferior. Bagian yang penting dari dinding lateral rongga hidung adalah
konka media yang di bawahnya terdapat meatus media dengan kompleks
osteomeatal dimana terdapat muara dari sinus-sinus anterior antara lain sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal. Konka superior yang kadang-kadang tidak
terbentuk, di bagian bawah terdapat meatus superior dimana terdapat ostia sinus
sfenoid dan etmoid posterior.
3
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
4/22
2. Sinus maksila1,6,9
Sinus maksila mulai berkembang pada usia 3 tahun dan berkembang cepat pada
usia 7-18 tahun mencapai ukuran dewasa sebesar 34 x 33 x 23 mm atau volume
rata-rata 14,75-15 mL. Sinus maksila (Antrum of Highmore) merupakan rongga
sinus terbesar, terletak di dalam tulang maksila (tulang pipi), jumlah sepasang, dan
umunya simetris. Sinus maksila berbentuk piramid dengan dasar dinding lateral
rongga hidung, dan puncaknya ke arah prosesus zygomatikus.
Gambar 1. Anatomi sinus paranasal (lateral). Sumber: Netter FH. Paranasal sinuses. In: Netter FH.
Atlas of Human Anatomy. 3rdedition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 45
Atapnya merupakan dasar orbita, dan lantai sinus dibatasi oleh prosesus alveolar.
Dinding anterior yaitu fosa kanina, memisahkan sinus maksila dengan kulit pipi.
Kurang lebih 1 cm di bawah dinding orbita inferior terdapat foramen infraorbita
yang mengandung pembuluh darah, dan saraf infraorbita yang memperdarahi dan
mempersarafi gingiva, dentis kanina serta insisivus atas. Dinding posterior dibatasi
oleh fosa infratemporal, dan pterigomaksila berhubungan dengan arteri
sfenopalatina yang merupakan cabang terbesar dari arteri maksilaris interna.
3. Sinus etmoidalis
Sinus etmoidalis atau labirin merupakan rongga-rongga kecil, sehingga disebut
juga sel etmoid, mulai terbentuk pada bulan ke 3 - 4 kehidupan janin sebagai
proses evaginasi dinding lateral hidung di daerah meatus media (etmoid anterior)
dan meatus superior (etmoid posterior). Pada waktu lahir jumlahnya hanya 3-4 sel
dan cepat berkembang sampai mencapai jumlah 10-15 sel pada usia 12 tahun,
dengan total volume 14-15 ml. Sel etmoid terletak di pertengahan atas rongga
hidung dan medial rongga orbita.
4
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
5/22
a. b.
Gambar 2. Sinus paranasal. A. Potongan koronal. B. Potongan melintang. Sumber: Netter FH.
Paranasal sinuses. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3 rd edition. New Jersey: ICON Learning
Systems, 2003. p. 43-4
4. Sinus frontalis1,9
Sinus frontalis secara radiologis belum terlihat pada usia kurang dari 2 tahun, dan
terbentuk lengkap pada usia akhir belasan. Besar dan bentuk sinus frontal sangat
bervariasi, bahkan pada 5% populasi salah satu sisi sinus tidak berkembang.
Ukuran dewasa rata-rata 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6-7 ml. Sinus ini
berhubungan dengan rongga hidung melalui resesus frontal yang berjalan ke
bawah dan belakang dan bermuara di sebelah atas infudibulum, atau bermuara
langsung di meatus media. Lapisan diploik bagian tulang frontal (dahi) merupakan
batas anterior sinus frontal, sedangkan bagian posterior sinus dibentuk oleh lapisan
tulang yang padat yang memisahkan sinus frontal dari fosa kranii anterior.
5. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoidalis mencapai ukuran dewasa pada usia 12-15 tahun, dengan ukuran
14 x 14 x 12mm dan volume rata-rata 7,5ml.
Kedua sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum intersinus.
Sinus ini bermuara di meatus superior, berupa ostium kecil di resesus sfenoetmoid
yang berlokasi 10 mm di atas dasar sinus atau kurang-lebih 30 mm dari lantairongga hidung. Di atas sinus terdapat kelenjar hipofise dan saraf optikus,
5
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
6/22
sedangkan di lateral terdapat sinus kavernosus, fisura orbita superior dan arteri
karotis interna. Tulang yang membentuk sinus sfenoid merupakan tulang yang tipis
dan hanya diliputi oleh mukosa sehingga tindakan kuret harus dilakukan sangat
hati-hati karena dapat merusak struktur penting di sekitarnya.
6. Sistem Limfatik1
Pembuluh limfe di sinus paranasal
sangat sedikit sekali, sehingga
metastasis ke kelenjar limf regional
terjadi bila tumor primer sudah meluas
ke struktur di sekitar sinus paranasal
yang lebih banyak mengandung
jaringan limfatik seperti nasofaring,
mukosa pipi, palatum, kulit pipi dan
rongga hidung. Aliran limfe yang
berasal dari rongga hidung dan
palatum terutama menuju ke sistim
limfatik nasofaring selanjutnya menuju
ke kelenjar limf retrofaring dan faring
lateral di dasar tengkorak, sedangkan
aliran limf dari sinus paranasal sendiri
akan menuju ke kelenjar limf
parafaring dan retrofaring, selanjutnya
ke kelenjar subdigastrik.
Gambar 3. Aliran limfatik pada regio kepala dan
leher. Sumber: Netter FH. Lymphatic System:Head
and Neck Region. In: Netter FH. Atlas of Human
Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning
Systems, 2003. p. 6
6
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
7/22
2.2 PATOFISIOLOGI
2.3 HISTOPATOLOGI1,2,5,10
Tumor hidung dan sinus paranasal secara garis besar dikelompokkan menjadi tumor epitel,
non epitel dan metastasis tumor.
Tumor ganas epitel
Tumor ganas epitel yang sering dijumpai (sekitar 80-90%) adalah karsinoma sel
skuamosa, dengan lokasi tersering adalah di sinus maksila (70-80%), sinus etmoid 10-22%,
hidung sekitar 12%, sinus sfenoid sekitar 2% dan di sinus frontal yang paling jarang
ditemukan yaitu, kurang dari 1%, kemudian kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma
tanpa diferensiasi, dan lain-lain.1,2,6
Karsinoma sel skuamosa yang ditemukan umumnya berdifferensiasi baik, tumbuh
agak lambat dan jarang bermetastasis jauh atau regional. Adenokarsinoma dan adenosistik
karsinoma yang termasuk tumor epitel yang berasal dari kelenjar liur minor jumlahnya sekitar
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
8/22
10-14 %, sering ditemukan di sinus etmoid, maksila dan hidung. Tumor ini dibagi menjadi 2
jenis yaitu, gradasi rendah (low grade) dan gradasi tinggi (high grade) dengan tingkat
metastasis yang tinggi (30%). Low grade adenocarcinoma cenderung untuk terjadi rekurensi
lokal. Sedangkan sepertiga dari pasien dengan high grade adencarcinoma akan disertai
metastasis jauh. Pembagian histopatologis terbaru adenokarsinoma sinonasal adalah dengan
membaginya menjadi dua tipe yakni salivary gland-type adenocarcinoma dan non-salivary
gland-type adenocarcinoma yang kemudian dibagi lagi menjadi tipe intestinal dan non-
intestinal.11 Pendekatan untuk adenokarsinoma sinus paranasal meliputi reseksi kraniofasial
anterior, rinotomi lateral, dan teknik endonasal dengan atau tanpa radioterapi. Angka
bertahan hidup 5 tahun pada pasien pasca operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2,
28% untuk T3, dan 25% untuk lesi T4.5
Melanoma malignum dapat juga ditemukan di hidung dan sinus paranasal, paling
sering terdapat di rongga hidung, sinus etmoid, maksila dan frontal. Jumlahnya kira-kira 1%
dari seluruh keganasan di daerah ini. Tumor ini mudah residif dan sering bermetastasis jauh
secara limfogen dan hematogen.
Mukoepidermoid karsinoma sangat jarang ditemukan di daerah ini. Dari 400 kasus
karsinoma mukoepidermoid di kepala dan leher, hanya ditemukan 21 kasus yang terdapat di
hidung dan sinus paranasal. Tumor jenis ini cenderung di temukan dalam stadium lanjut dan
lebih dar-i 25% telah bermetastasis jauh.1
Tumor ganas non-epitel
Tumor ganas yang berasal dari mesoderm ini hanya menempati 5% dari seluruh keganasan di
hidung dan sinus paranasal. Termasuk dalam jenis ini antara lain, rabdomiosarkoma,
fibrosarkoma, ameloblastoma maligna, osteogenik sarcoma, plasmasitoma, dan limfoma
maligna. Secara keseluruhan tumor ganas non epitel ini sangat sulit diobati baik secara
pembedahan maupun dengan radiasi ataupun dengan kemoterapi sehingga prognosisnya
sangat buruk. Limfoma malignum biasanya jenis non Hodgkin's, dapat secara lokal tumbuh
di hidung dan sinus paranasal atau bagian dari lesi yang bersifat sistemik. 1,2
Metastasis tumor
Walaupun sangat jarang, hidung dan sinus paranasalis dapat merupakan tempat metastasis
jauh. Metastasis tumor hidung dan sinus paranasal menimbulkan gejala yang mirip dengan
tumor primer yang paling sering berasal dari payudara, ginjal dan karsinoma paru.
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
9/22
2.4 ARAH PERLUASAN TUMOR
Struktur anatomi kraniofasial yang kompleks dan hubungan yang sangat erat serta dekat
dengan organ vital, menyebabkan perluasan tumor primer hidung dan sinus paranasal
mengenai organ vital dan organ lainnya terjadi pada awal perjalanan penyakit ini. Sebagai
contoh, dari 80 % seluruh keganasan yang primernya di sinus maksila, kurang dari 25 %
kasus yang masih terbatas di sinus maksila pada saat pertama diagnosis ditegakkan.
Keganasan yang primernya di sinus etmoid jarang terjadi, sinus frontal dan sfenoid lebih
jarang lagi, biasanya sudah meluas ke organ sekitarnya.
Perluasan keganasan hidung dan sinus paranasal dapat bersifat lokal melalui perluasan
langsung atau regional dan metastasis jauh. Tumor primer yang masih kecil dan terbatas di
rongga hidung atau sinus sering tidak menimbulkan gejala sampai tumor tersebut meluas ke
sekitarnya. Tumor ganas di rongga hidung dapat meluas ke sisi lain dengan menimbulkan
destruksi septum, ke sinus maksila, etmoid, nasofaring, palatum atau lebih jauh lagi, meluas
ke sisi lain dengan menimbulkan destruksi septum, ke sinus maksila, etmoid, nasofaring,
palatum atau lebih jauh lagi, meluas ke rongga orbita atau fosa kranii anterior.
Tumor sinus maksila dapat meluas melalui fisura atau foramen disekitarnya. Ke
posterior dan lateral meluas ke fosa Pterigopalatina dan Infratemporal. Ke superior melalui
fisura orbita superior masuk ke rongga orbita. Ke fosa kranii media melalui foramen
rotundum, ke posterior ke pars petrosus tulang temporal atau ke rongga mulut melalui kanalis
palatina. 1
2.5 ETIOLOGI1,2,4,6
Berbagai faktor diajukan sebagai etiologi keganasan di hidung dan sinus paranasal.
Setelah terpapar bahan-bahan karsinogen diperlukan waktu laten kurang lebih 20-30 tahun
untuk dapat berkembang menjadi keganasan. Lebih dari 44% keganasan di hidung dan sinus
paranasal menunjukkan adanya paparan karsinogen industri maupun rumah tangga, seperti
nikel, kromium, larutan isopropil, gas hidrokarbon, dan debu serat organik. Bahan-bahan
kimia ini banyak terdapat pada industi kayu, kulit dan tekstil.1,4,6 Terpaparnya debu kayu pada
industri furnitur dan penggergajian kayu, menyebabkan insidens yang sangat tinggi terjadinya
adenokarsinoma di sinus etmoid, yaitu 1000 x lebih sering dibanding populasi normal. 1,2,5
Debu kayu tidak memiliki sifat mutagenik, akan tetapi apabila terakumulasi di mukosa dapat
mengakibatkan inflamasi kronis sehingga turnover rate mukosa meningkat dan pada akhirnya
memicu hiperplasia dan metaplasia mukosa yang dapat berlanjut menjadi keganasan.12
Ciri
gambaran histologisnya adalah adenokarsinoma tipe intestinal (golongan non-salivary gland-
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
10/22
type adenocarcinoma).12
Menurut Sakai, 80 % pasien dengan karsinoma sinus maksila mempunyai latar
belakang sinusitis kronis untuk berkembang menjadi keganasan adalah 36 kali lebih besar
dari orang sehat.4
2.6 GEJALA KLINIS1,2,4,5,10
Tumor primer di rongga hidung sulit diketahui apakah dimulai dari rongga hidung
atau perluasan tumor dari sinus maksila atau etmoid, sebab secara anatomis daerah tersebut
berhubungan. Hal yang sering dijumpai pertama kali pasien datang adalah bahwa tumor
sudah meluas mengenai seluruh rongga hidung dan sinus paranasal bahkan sudah mengenai
kulit pipi, palatum, orbita dan dasar tengkorak, sehingga secara klinis sangat sulit
menentukan asal tumor. Pada stadium yang lebih awal, gejala yang timbul tergantung dari
tempat asal dan perluasan tumor. Gejala yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan
peradangan kronis di hidung dan sinus paranasal sampai tumor tumbuh menjadi stadium
lanjut. Pada pasien yang lebih tua adanya keluhan hidung atau sinus yang bersifat unilateral
seperti poliposis atau keluhan sumbatan, epistaksis, anosmia harus dicurigai adanya
keganasan. Adanya rasa nyeri dan pembengkakkan dahi mungkin dapat disebabkan oleh
keganasan di sinus frontal. Keganasan di sinus sfenoid secara dini sulit dikenal, sampai tumor
ini keluar dari sinus sfenoid dan sering terlihat sebagai tumor nasofaring atau sfenoetmoid.
Gejala tersering pada keganasan di sinus maksila yaitu benjolan di pipi yang
menyebabkan asimetris wajah akibat perluasan tumor ke dinding sinus anterior. Lebih dari
50% keganasan di sinus maksila dan etmoid terdapat keluhan rinore dan nyeri di daerah pipi
atau pangkal hidung. Keganasan di sinus maksila, tumor dapat meluas ke superior dan masuk
rongga orbita sehingga menyebabkan proptosis, atau ke inferior menyebabkan keluhan gigi-
geligi berupa gigi goyang, bahkan tanggal, atau meluas ke posterior melalui rongga
pterigomaksila, masuk ke fosa kranii media dan menyebabkan gangguan neurologis.
Gejala mata terdapat pada 25% pasien yang disebabkan oleh perluasan tumor melalui
dinding orbita inferior atau melalui lamina papirasea. Gejala yang timbul berupa, diplopia,
berkurangnya visus dan eksoftalmus, bahkan pada stadium lanjut terjadi pelebaran jarak
antara kedua kantus medial mata. Rasa penuh di kelopak mata bawah dan epifora
menunjukkan keterlibatan rima orbita atau struktur lakrimalis. Pada stadium lanjut terdapat
gangguan neurologis karena kerusakan saraf-saraf kranial akibat perluasan tumor ke dasar
tengkorak.
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
11/22
2.7 DIAGNOSIS1,2,5
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis
keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada stadium awal sering berupa sumbatan, rinore,
epistaksis, nyeri di daerah sinus dan pembengkakan pipi yang juga merupakan gejala
peradangan umumnya. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal
stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang
dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan
faktor resiko.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik THT harus seteliti mungkin dengan penerangan yang cukup, baik dengan
alat-alat konvensional maupun dengan endoskopi. Adanya asimetri wajah atau proptosis
dapat disebabkan oleh pertumbuhan atau desakan tumor di hidung dan sinus paranasal.
Adanya massa di rongga hidung, harus dideskripsikan dengan lengkap baik warna,
permukaan, konsistensi, rapuh/tidak, mudah berdarah serta perluasannya. Jika dinding lateral
kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan rongga
mulut harus dilakukan apakah ada massa tumor di palatum atau sulkus gingivobukalis, bila
perlu digunakan sarung tangan untuk meraba apakah terdapat destruksi tulang palatum,
penonjolan atau gigi yang goyah.1,2
Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor yang berasal dari
sinus sfenoid atau perluasan tumor hidung ke posterior. Pemeriksaan lain yang harus
dilakukan adalah, pemeriksaan telinga, adakah otitis media atau tuli konduktif akibat masa
tumor yang menutup tuba Eustakius, pemeriksaan visus dan gerakan bolamata, pemeriksaan
saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher walaupun keganasan di hidung dan
sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening regional.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos sinus (posisi Waters atau lateral),
tomografi komputer (CT Scan) atau MRI. Pada lebih dari 60% kasus, adanya destruksi tulang
dapat terlihat pada foto polos, tetapi adanya invasi tumor ke jaringan lunak kurang jelas
terlihat. Kadang-kadang pada keganasan yang masih terbatas, dengan pemeriksaan foto
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
12/22
polos, masih terkesan normal. Perselubungan di rongga sinus sulit dibedakan dengan proses
peradangan. Sehingga penleriksaan foto polos untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal
sudah jarang digunakan.
CT Scan dan MRI dapat mengisi kekurangan pada foto polos, karena dengan jelas
dapat terlihat adanya destruksi tulang, besar dan perluasan tumor primer ke jaringan lunak,
sehingga derajat invasi tumor tergambarkan. Selain itu, dapat dinilai adanya metastasis ke
kelenjar getah bening regional. CT Scan lebih baik dalam memperlihatkan gambaran
destruksi tulang, sedangkan pada MRI adanya invasi ke jaringan lunak lebih jelas terlihat dan
lebih tidak invasif dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan.
a. b.
Gambar 4.a. Pasien dengan tumor sinonasal kiri. 4.b. Gambaran CT-Scan pasien 4.a. dengan keterlibatan seltumor pada kavum nasi kiri, antrum maksila, etmoid, dan orbita. Sumber: Fasunla AJ, Lasisi AO. Sinonasal
Malignancies: A 10-Year Review in a Tertiary Health Institution. JNMA;99:1407-10
Biopsi
Setiap keganasan hidung dan sinus paranasal harus dilakukan biopsi untuk
menegakkan diagnosis yang definitif dan merencanakan pengobatan. Pada umumnya pasien
datang sudah dalam stadium lanjut dan tumor sudah terdapat di rongga hidung bahkan sudahmenginfiltrasi kulit. Biopsi cukup dilakukan pada massa tumor yang terlihat dan mudah
dicapai. Jika dicurigai tumor jenis vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma, jangan
lakukan biopsi karena sulit untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Untuk kasus tumor
vaskuler, diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi.1,2
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
13/22
2.8 KLASIFIKASI STADIUM1,3,4,5,10
Klasifikasi stadium karsinoma sinus paranasal sampai saat ini masih kontroversial,
sedangkan untuk karsinoma sinus frontal dan sfenoid sampai saat ini belum ada sistim
klasifikasi stadium yang dipakai secara luas, karena keganasan di daerah ini sangat jarang
ditemukan.1,2,3 Onhgren tahun 1933, pertama sekali membuat sistim stadium keganasan di
sinus maksila , dengan membagi sinus maksila menjadi bagian Anteroinferior (Infrastruktur)
dan Postero superior (Suprastruktur) berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari angulus
mandibula ke kantus medial mata. Onhgren membuat korelasi secara umum yaitu, tumor
yang berasal dari bagian Supra struktur mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding
dari Infra struktur. Sissons tahun 1963, mengadopsi sistim TNM dan menambahkan uraian
daerah Onhgren. Sakai tahun 1985 mengusulkan sistim TNM dan sistim ini juga dipakai oleh
UICC dan AJCC. Klasifikasi stadium diatas hanya untuk keganasan di sinus maksila.1
Uraian lengkap yang terbaru dan banyak dipakai saat ini yaitu berdasarkan UICC
(Union Internationale Contre le Cancer) atau International Union Against Cancer edisi ke 6
tahun 2002s klasifikasi ini hanya untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga
hidung, serta harus dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Penulis sendiri mengambil
sumber dari AJCC Cancer Staging Manual sebagai sumber dalam pengklasifikasian yang
serupa dengan UICC dimana penilaian TNM didasari atas pemeriksaan fisik, dan penunjang
antara lain nasoendoskopi, foto Rontgen, CT-Scan, MRI, ataupun modalitas pencitraan
terkini lainnya.3
Klasifikasi TNM adalah sebagai berikut :
T Tumor Primer
TX Tumor primer tidak diketahui
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma insitu
Sinus Maksila
T1 Tumor terbatas di mukosa dan tidak ditemukan erosi atau destruksi tulang
T2 Tumor sudah mengakibatkan erosi atau destruksi tulang, meluas ke
palatum durum dan atau meatus media tanpa perluasan ke dinding
posterior sinus maksila dan tulang pterigoid
T3 Tumor sudah menginvasi salah satu organ : dinding posterior sinus
maksila, jaringan subkutan, dasar atau medial orbita, fossa pterigoid, sinus
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
14/22
etmoid
T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit
pipi, os pterigoid, fosa infratemporal, kribriformis, sinus sphenoid atau
frontal
T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/
intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf
trigeminal (V2), nasofaring atau klivus
Rongga hidung dan Sinus etmoid
T1 Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi sinus
etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang
T2 Tumor sudah meluas ke dua organ di rongga hidung atau ke dua sisi sinus
etmoid, atau meluas ke kompleks nasoetmoid, dengan atau tanpa invasi
tulang
T3 Tumor sudah meluas dan menginvasi dinding medial atau lantai orbita,
sinus maksila, palatum, daerah kribriformis
T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit
pipi atau hidung, os pterigoid, perluasan minimal ke fosa kranii anterior,
sinus sphenoid atau frontal
T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/
intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf
trigeminal (V2), nasofaring atau klivus
N = Kelenjar Getah Bening Regional
Nx adanya metastasis ke KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis ke salah satu kgb regional ipsilateral degan diameter terbesar
sama dengan atau kurang dari 3 sentimeter
N2 Metastasis ke salah satu kgb ipsilateral den-an diameter terbesar antara 3
cm Sampai 6 cm, atau multiple ipsilateral, atau bilateral atau kontra lateral
dengan diameter terbesar kurang dari 6 crn
N2a Metastasis ke salahsatu kgb ipsilateral dengan diameter terbesar antara 3
sampai 6 cm
N2b Metastasis ke kgb multiple ipsilateral dengan diameter terbesar kurang 6
cm
N2c Metastasis ke kgb bilateral atau kontralateral dengan diameter terbesar
sampai 6 cm
N3 Metastasis ke kgb dengan diameter terbesar lebih dari 6 cm
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
15/22
M = Metastasis Jauh
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
KLASIFIKASI STADIUM TNM
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium IIIT1,T2 N1 M0
T3 N0. N1 M0
Stadium IVaT1,T2,T3 N2 M0
T4a No, N1, N2 M0
Stadium IVbT4b Setiap N M0
Setiap T N3 M0Stadium IVc Setiap T Setiap N M1
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
16/22
2.9 PENGOBATAN1,4,5,6
Pembedahan
Pembedahan pada keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan modalitas utama dan
lebih sering bertujuan untuk pengobatan yang bersifat kuratif. Eksisi paliatif biasanya
dilakukan untuk tumor yang sangat besar untuk mengurangi nyeri dengan dekompresi
terhadap struktur penting atau debulking sebagai persiapan pemberian radiasi dan
kemoterapi. Pembedahan sebagai pengobatan tunggal pada keganasan di hidung dan sinus
paranasal, prognosis bertahan hidup selama 5 tahun mempunyai variasi luas antara 19
86%.5
Pada tumor yang terbatas di vestibulum, tumor dapat diangkat secara adekuat dengan
reseksi sebagian hidung, setelah reseksi defek dapat langsung di rekonstruksi dengan "local
flap" atau "forehead flap" pada defek yang lebih besar. Pada rinektomi, defek akan lebih
mudah ditutup dengan prostesis hidung. Tumor yang masih terbatas di dinding lateral hidung
dapat diangkat dengan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial
degloving". Bila tumor sudah meluas ke sinus maksila atau etmoid, dilakukan maksilektomi
medial dengan cara pendekatan rinotomi lateral. Bila tumor melibatkan lempeng kribiformis,
atap hidung atau etmoid, biasanya membutuhkan reseksi kraniofasial anterior.6
Tumor di septum nasi bila masih terbatas pada bagian anterior, dapat dilakukan eksisi
luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila telah meluas ke
vestibulum, dasar rongga hidung, eksisi luas masih dapat dilakukan dengan pendekatan
Weber-Fergusson atau Rinektomi total.
Pembedahan sinus paranasal, pertama kali diperkenalkan oleh Lizars pada tahun 1822
yang pertama kali melakukan maksilektomi.1 Beberapa modifikasi maksilektomi dapat
dilakukan yaitu maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral, maksilektomi
parsial maupun total, dan maksilektomi radikal yang sekaligus melakukan eksentrasi obita.
Maksilektomi medial bermanfaat untuk tumor hidung dan sinus etmoid yang mengenai pula
dinding medial antrum. Maksilektomi partial dilakukan untuk mengangkat tumor yang
mengenai bagian superior atau inferior antrum.4 Sejak saat itu mulai dilakukan pembedahan
radikal sinus maksila, berupa maksilektomi radikal dengan dan tanpa eksentrasi orbita.
Dalam 20 tahun terakhir, maksilektomi radikal mulai ditinggalkan dan diganti dengan
maksilektomi parsial, terutama dengan makin pesatnya perkembangan pemeriksaan radiologi
seperti CT-Scan dan MRI sehingga perluasan tumor dapat diketahui dengan akurat. Saat ini
maksilektomi total (pengangkatan seluruh maksila) dengan atau tanpa eksentrasi orbita hanya
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
17/22
dilakukan pada tumor yang sudah meluas ke gingiva-alveolar, palatum durum, daerah
pterigoid atau ke rongga orbita.1
Tumor sinus maksila stadium I dan II masih dapat diangkat dengan maksilektomi
partial dengan pendekatan rinotomi lateral atau "midfacial degloving", sedangkan bila
stadium III, harus dilakukan maksilektomi total dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan
dikombinasikan dengan radiasi pasca operasi. Jika tumor telah mencapai periorbita,
diperlukan operasi radikal termasuk eksentrasi orbita. Eksentrasi orbita dilakukan bila
terdapat infiltrasi luas ke rongga orbita. Menurut Harrison, eksentrasi perlu dilakukan jika
terdapat proptosis bola mata, hambatan gerak bola mata,dan jelas terdapat destruksi tulang.
Indikasi mutlak adalah jika tumor telah menginfiltrasi periorbita, sel etmoid posterior dan
apeks orbita. 1,4
Pada tumor stadium IVa , tumor masih dapat diangkat dengan maksilektomi total
dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasi dengan kraniotomi anterior, pendekatan
ini disebut reseksi kraniofasial. Tumor stadium IVb, masih dapat diangkat walaupun sifatnya
debulking dan dilanjutkan dengan radiasi atau kombinasi dengan kemoterapi. Bila terdapat
metastasis ke kgb regional seharusnya dilakukan dulu diseksi kgb leher. Pada tumor stadium
IVc (lanjut), pembedahan hanya bersifat paliatif.
Tumor sinus etmoid stadium I (masih terbatas di mukosa), dapat diangkat dengan
pendekatan etmoidektomi ekstranasal atau secara endoskopik intranasal. Pada stadium yang
lebih lanjut, pendekatannya seperti tumor di sinus maksila.1,4
Rekonstruksi dan rehabilitasi2,5
Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan rekonstruksi
dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan dan berbicara dengan
baik, di samping perbaikan kosmetis melalui operasi bedah plastik. Dengan tindakan-
tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.
Radioterapi1,5,6,7
Respon radioterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal bervariasi, tergantung dari
stadium dan jenis histopatologis tumor. Radiasi dapat digunakan sebagai terapi tunggal, pada
kasus keganasan limforetikuler seperti limfoma malignum, midline granuloma atau pada
kasus kondisi buruk atau menolak untuk tindakan bedah. Radiasi juga dapat diberikan setelah
pembedahan sebagai ajuvan pada kasus dimana tumor sulit diangkat secara total, atau dengan
batas yang tidak bebas tumor, atau sebagai terapi paliatif untuk mengurangi nyeri dan
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
18/22
menghentikan perdarahan pada tumor stadium lanjut. Pada umumnya, dosis radiasi yang
diperlukan adalah 50 Gy.
Kemoterapi1,5
Kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal umumnya sebagai terapi paliatif
untuk mengurangi nyeri, obstruksi dengan mengecilkan tumor, atau pada kasus stadium
lanjut dengan metastasis jauh. Kemoterapi dapat bersifat ajuvan setelah pembedahan atau
radiasi untuk mencegah metastasis jauh, atau neo-ajuvan sebelum pembedahan untuk
mempertahankan organ yang terkena tumor, walaupun manfaat masih banyak diperdebatkan.
Untuk keganasan terutama karsinoma kepala dan leher umumnya, kombinasi cisplatin,
methotrexate, dan 5 fluoro-urasil merupakan obat pilihan yang paling banyak digunakan.
Menurut Samant et al (2004), penggunaaan Cisplatin intraarterial disertai radiasi pada
keganasan sinus paranasal dapat meningkatkan angka bertahan hidup 5 tahun menjadi 53%.
2.10 PROGNOSIS1,2
Sedikit dan tidak khasnya gejala yang ditimbulkan pada keganasan hidung dan sinus
paranasal menyebabkan sangat jarang pasien datang dalam keadaan stadium dini. Faktor yang
mempengaruhi prognosis antara lain perbedaan diagnosis histology, asal tumor primer,
perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi
adjuvant yang diberikan, status imunologis, lamanya follow-up dan banyak lagi. 2 Umumnya
pasien datang dalam stadium lanjut, tumor sudah meluas ke seluruh struktur hidung dan sinus
paranasal, sehingga asal tumor tidak diketahui dan sulit mengangkat tumor secara "en bloc".
Hal ini menyebabkan prognosis penyakit sampai saat ini masih buruk. Sampai beberapa
dekade terakhir, belum tampak peningkatan yang bermakna terhadap angka bertahan hidup
(survival rates) pada seluruh keganasan hidung dan sinus paranasal. Angka bertahan hidup
selama 5 tahun rerata seluruh keganasan sinus maksila berkisar antara 20-50%, hal yang sama
juga berlaku untuk keganasan sinus paranasal lainnya.1 Tapi dengan pengobatan yang agresif
dan multimodalitas, angka bertahan hidup 5 tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk
seluruh stadium tumor.
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
19/22
2.11 KOMPLIKASI 7, 9
Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan
rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS,
infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya.
1) Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan. Masalah ini
dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan
aktif dicatat sampai setelah operasi. Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan
posterior dapat dibakar, dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan
perdarahan. Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu
dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan.
2) CSF kebocoran
Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak. Manajemen yang
tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin
di mulut, tanda halo, atau tanda reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran
dapat dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes
untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh
beberapa hari untuk hasil untuk diproses.
Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan untuk
5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika resolusi tidak terjadi,
intervensi bedah harus digunakan, termasuk menambal dengan allograft kulit, tulang
turbinate, dan mukosa hidung. Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk
menutup kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk
kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk
memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan
mengintegrasikan.
3) Epiphora
Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada
saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta
lacrimalis, karung, atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus
lakrimal jika terkoyak atau rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak
lanjut dacryocystorhinostomy endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan.
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
20/22
4) Diplopia
Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan
kerucut orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah
komplikasi ini, tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan
teliti rekonstruksi. Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling
sederhana untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh
jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi. Konsultasi
Oftalmologi adalah standar perawatan.
5) Rekonstruksi
Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi. Sebuah
flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi
struktur vital, atau prostetik wajah dapat digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan
untuk meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim
dan pasien adalah keharusan.
Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling penting dan
dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar. Hasil ini harus
ditangani pada awalnya dan secara berkelanjutan.
7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
21/22
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Armiyanto. Keganasan hidung dan sinus paranasal. Dibawakan pada Satelit
Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Hotel
Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT FKUI/RSCM.
2. Roezin A, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.178-81.
3. American Joint Committee on Cancer (AJCC). Nasal Cavity and Paranasal Sinuses.
In : Greene FL, Page DL, et al. AJCC Cancer Staging Handbook. 6th ed. Philadelphia
: Lippincott-Raven, 2002. H.39.
4. Roezin A. Terapi bedah tumor ganas sinus maksila. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah
PERHATI. Jakarta: The Indonesian Otorhinolaringological Society, 1995: 1139-47
5. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In : Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD. Head and neck surgery-Otolaryngology.4th ed. vol 2.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h.1481-1498.
6. Rassekh CH. Nose and paranasal sinus. In : Close LG, Larson DL, Shsh JP.
Essentials of head and neck oncology. New York : Thieme, 1998.h.125-134.
7. Susworo R. Radioterapi pada kasus kanker kavum nasi dan sinus paranasal. In :
Dasar-Dasar Radioterapi dan Tatalaksana radioterapi penyakit Kanker. Jakarta: UI-
Press, 2006; hal 64-76
8. Dhillon RS, East CA.An illustrated color text : Ear, Nose and Throat and head andneck surgery.2nd ed. Philadelphia : Churchill-Livingstone, 2000. h. 30-6
9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.145-9.
10. Shao W, Vasanth A. Malignant tumor of the nasal cavity. Diperbarui: 16 November
2007. Diunduh dari http://www.emedicine.com tanggal 17 Juli 2008.
http://www.emedicine.com/http://www.emedicine.com/7/29/2019 Carsinoma Sinonasal
22/22
11. Leivo I. Update on Sinonasal Adenocarcinoma: Classification and Advances in
Immunophenotype and Molecular Genetic Make-Up. Diperbarui: 28 November 2007.
Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.
12. Escuredo PJ, Llorente JL, et al. Genetic and clinical aspects of wood dust related
intestinal-type sinonasal adenocarcinoma: a review. Diperbarui: 17 Juni 2008.
Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.
http://www.springerlink.com/http://www.springerlink.com/http://www.springerlink.com/http://www.springerlink.com/