BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah

Citation preview

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Domestik (Sewage atau Domestic Wastewater)

Limbah merupakan hasil buangan dari suatu proses produksi industri dan domestik (rumah tangga). Limbah domestik adalah limbah yang berasal dari hasil buangan rumah tangga dalam bentuk cair, gas, dan padat. Dalam air limbah terdapat bahan kimia yang sulit untuk dipisahkan (Putra, 2004). Satu meter kubik limbah domestik terdapat 500 gram zat padat terlarut, serta 250 gram zat padat yang tidak larut. Fraksi yang tidak larut mengandung kira-kira 125 gram material yang akan ditempatkan dalam fraksi cair selama 30 menit dalam kondisi diam. Sisa 125 gram akan tinggal dalam bentuk suspensi dalam waktu yang lama (Davis dan Cornwell, 2008). Limbah domestik sendiri terdiri dari sampah, air kakus (blackwater), dan air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water). Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah greywater dengan rata-rata volume yang dihasilkan per rumah tangga per hari adalah 60 liter (Aminatun, 2008).2.1.1 Karakteristik Limbah Domestik

Karakteristik air limbah domestik meliputi karakteristik fisika, kimia, dan biologi. Air limbah domestik mempunyai komposisi yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap saat, namun secara umum komposisi limbah domestik adalah seperti yang tertera pada Tabel 2.1.Tabel 2.1 Komposisi Air Limbah Domestik

ParameterKonsentrasi (mg/l)

KisaranRata-Rata

Fisik:

Zat padat, jumlah300-1.200700

Mudah mengendap50-200100

Tercampur100-400220

Tercampur, volatil70-300150

Terlarut250-850500

Terlarut, volatil100-300150

Kimia:

Karbon organik;

BOD100-400250

COD200-1.000500

TOD200-1.100500

TOC100-400250

Nitrogen;

Total (sebagai N)15-9040

Organik5-4025

Amonia10-5025

NitritNANA

NitratNANA

Fosfor;

Total (sebagai P)5-2012

Organik1-52

Anorganik5-1510

pH7-7,57

Kalsium30-5040

Klorida30-8550

Sulfat20-6015

(Sumber: Sundstrom dan Klei, 1997)2.2 Degradasi Senyawa Organik Secara Anaerobik dan Aerobik

Pengolahan secara biologi merupakan alternatif dalam pengolahan limbah sisa aktivitas kegiatan manusia, baik dalam kegiatan industri, pertanian atau peternakan, kegiatan komersial atau kegiatan domestik dengan menggunakan aktivis mikroorganisme (Indriyati, 1997). Proses yang digunakan termasuk trickling filter, lumpur aktif, dan rotary biological contactor. Menurut Metcalf dan Eddy (1991), dalam proses biologi yang memanfaatkan aktivitas mikrorganisme terjadi proses biokimia yang berlangsung dalam 2 (dua) lingkungan utama, yaitu:

1. Lingkungan aerob, yaitu lingkungan dengan jumlah oksigen terlarut (DO) di dalam air tersedia dalam jumlah yang cukup banyak sehingga oksigen menjadi faktor utama bagi proses yang berlangsung didalamnya. Reaksi yang terjadi pada proses aerobik:

2. Lingkungan anaerob, yaitu lingkungan dengan jumlah oksigen terlarut yang terbatas atau tidak ada. Reaksi yang terjadi pada proses anaerobik:

2.2.1 Mekanisme Pengolahan Aerobik

Proses aerobik dilakukan dengan kondisi adanya oksigen terlarut di dalam reaktor air limbah (Hadiwidodo dkk., 2012). Secara sederhana, pengolahan air limbah aerobik mengacu pada penghapusan polutan organik dalam air limbah oleh mikroorganisme yang memerlukan oksigen untuk bekerja. Air dan karbon dioksida merupakan produk akhir dari proses pengolahan air limbah aerobik. Mikroorganisme yang berkembang dalam lingkungan yang kaya oksigen (aerob) bekerja untuk mendegradasi air limbah. Terdapat 2 hal penting dalam proses ini, yakni proses pertumbuhan mikroorganisme dan proses degradasi komponen limbah dengan adanya oksigen. Mikroorganisme akan berkembang biak apabila jumlah makanan dan oksigen di dalam sistem cukup tersedia, sehingga pertumbuhan mikroorganisme dapat berlangsung secara konsisten. Konstituen dalam air limbah yang digunakan sebagai makanan oleh mikroorganisme adalah komponen pencemar di mana dalam limbah domestik didominasi oleh senyawa-senyawa nitrogen dalam bentuk protein hingga senyawa-senyawa nitrogen sederhana seperti amonia, nitrat dan nitrit. Sehingga siklus nitrogen efektif digunakan dalam pengolahan limbah domestik. Setelah makanan habis dipergunakan, maka jumlah kematian akan lebih besar dari jumlah pertumbuhannya, dan pada saat mikroorganisme menggunakan energi simpanan ATP untuk pernapasannya sampai ATP habis dan kemudian akan mati. Pada prakteknya ada 2 cara untuk menambahkan oksigen ke dalam air limbah yaitu:

1. Memasukkan udara ke dalam air melalui benda porous atau nozzle (udara yang dimasukan ke dalam air limbah melalui pompa tekan).

2. Memaksa air ke atas untuk berkontak dengan oksigen dilakukan dengan menggunakan pemutaran baling-baling (aerator) yang diletakkan pada permukaan air limbah. Akibat dari pemutaran ini, air limbah akan terangkat ke atas dan berkontak langsung dengan udara sekitarnya. Biasanya bila terdapat senyawa Nitrat organik, hasil akhir juga mengandung senyawa Nitrat dan terjadi penurunan pH.Oksidasi bahan organik menggunakan molekul oksigen sebagai aseptor elektron terakhir adalah proses utama yang menghasilkan energi kimia untuk mikroorganisme. Mikroba yang menggunakan oksigen sebagai aseptor elektron terakhir adalah mikroorganisme aerobik, sedangkan mikroba yang tidak menggunakan oksigen sebagai aseptor elektron disebut anaerobik. 2.2.2 Mekanisme Pengolahan Anaerobik.

Proses anaerob adalah proses yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme tanpa oksigen dalam hal ini adalah bakteri-bakteri denitrifikasi dalam mendegradasi turunan senyawa nitrogen dan dikonversi menjadi senyawa-senyawa nitrogen yang lebih sederhana hingga menjadi bentuk gas nitrogen. Proses pengolahan secara anaerobik telah digunakan untuk pengolahan limbah sisa kegiatan pertanian, peternakan dan limbah kegiatan industri (British Biogen, 2001).

Keuntungan penerapan pengolahan limbah secara anaerobik adalah lumpur yang dihasilkan lebih sedikit, tidak memerlukan lahan yang besar dan tidak membutuhkan energi untuk aerasi. Kekurangannya dalam sistem anaerobik adalah proses pertumbuhan mikroorganismenya lambat dibandingkan mikroorganisme yang tumbuh pada proses aerob (Rittman & Mc Carty, 2000).

Reaktor anaerobik dengan media tetap diperkenalkan oleh Young dan McCarty pada tahun 1967. Bioreaktor ini adalah reaktor yang terdiri dari tangki berisi bahan pembantu berupa material penyangga tetap atau media. Fungsi dari material penyangga/media ini adalah sebagai tempat menempel atau rumah mikroorganisme, sehingga mikroorganisme tidak ikut terbawa cairan sisa buangan atau efluent yang keluar dari reaktor. Tipe reaktor ini dapat mengolah limbah dengan waktu tinggal yang pendek dan beban organik yang tinggi.

Reaktor tipe Fixed Bed ini dapat dioperasikan secara aliran ke atas (upflow) atau aliran ke bawah (downflow) dengan dan tanpa resirkulasi efluen. Pada sistem aliran ke atas terjadi akumulasi mikroorganisme, sedangkan reaktor dengan aliran ke bawah, substrat masuk melalui bagian atas reaktor dan keluar melalui bagian bawah.2.3 Siklus Nitrogen

Gambar 2.1Daur Nitrogen di Alam (Tchobanoglous dan Burton, 1991)Nitrogen merupakan elemen yang penting bagi pertumbuhan mikroorganisme, tumbuhan, dan hewan. Senyawa kimia nitrogen sangat kompleks, karena nitrogen memiliki beberapa tahapan oksidasi yang dapat merubah senyawa kimia nitrogen. Proses oksidasi tersebut dipengaruhi oleh organisme hidup (Metcalf dan Eddy, 1991). Nitrogen dalam perairan terdapat dalam bentuk gas nitrogen (N2), amonia terlarut (NH3), ion amonium (NH4+), nitrit (NO2-), nitrat (NO3-), dan senyawa bentuk lain yang berasal dari masuknya nutrien akibat aktivitas pertanian, buangan domestik, limbah industri, limbah perikanan, peternakan, feses, serta urin dari ikan dan hewan lainnya (Goldman dan Horne, 1983). Mikroorganisme juga memanfaatkan amonia melalui proses nitrifikasi yang akan mengubah amonia menjadi nitrit kemudian nitrat yang tidak berbahaya. Nitrat ini akan digunakan kembali oleh alga dan tumbuhan air. Nitrat juga dapat diubah menjadi gas N2 oleh mikroorganisme melalui proses denitrifikasi (Duborrow dkk., 1997).2.3.1. Amonifikasi

Amonifikasi adalah proses oksidasi nitrogen organik menjadi amonium. Terdapat 2 bentuk amonia di air, yaitu yang terionisasi (amonium, NH4+) dan yang tidak terionisasi (amonia, NH3). Amonia yang tidak terionisasi berbahaya bagi organisme akuatik, karena bersifat toksik (Masser dkk., 1999). Nilai NH3 tergantung pada nilai pH dan suhu perairan (Van Wyk dan Scarpa, 1999; Masser dkk., 1999; Boyd, 1982). Semakin tinggi suhu dan pH air, persentase NH3 semakin tinggi (Boyd, 1990). Di alam, dalam daur nitrogen, nitrogen pada awalnya merupakan kombinasi bahan protein dan urea. Bentuk protein kemudian akan diuraikan oleh bakteri menjadi bentuk ammonia dengan reaksi amonifikasi, dengan reaksi sebagai berikut:

2.3.2. Nitrifikasi Nitrifikasi merupakan proses mikrobial yang mereduksi komponen nitrogen (amonia) menjadi nitrit dan nitrat (EPA, 2002). Nitrifikasi berlangsung melalui 2 tahapan reaksi, dimana pada tahap pertama oksidasi amonium menjadi nitrit yang dilakukan oleh mikroba pengoksidasi amonium (Nitrosomonas sp.), dan pada tahap kedua oksidasi nitrit oleh mikroba pengoksidasi nitrit (Nitrobacter sp.). Tahapan reaksi nitrifikasi menurut Spotte (1979) yaitu :

Pada tahap pertama

Pada tahap kedua

Menurut EPA (2002) pertumbuhan bakteri nitrifikasi dipengaruhi oleh konsentrasi amonia, suhu, pH, cahaya, konsentrasi oksigen, dan komposisi bakteri.

2.3.3. Denitrifikasi

Denitrifikasi merupakan proses dimana nitrat dan nitrit direduksi menjadi gas N2, yang pada akhirnya dilepas dari kolom air. Denitrifikasi ini merupakan proses penting untuk mengatur N (Keeney dkk., 1971). Menurut Woon (2007) proses denitrifikasi berlangsung dalam beberapa tahap, yaitu :

Salah satu produk gas pada proses denitrifikasi adalah gas N2O (nitrous oksida). Gas tersebut berpengaruh negatif terhadap lingkungan, yaitu sebagai salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca (pemanasan global). Secara alamiah gas tersebut diemisikan dari ekosistem perairan sungai, estuarin, dan daratan. Perairan sungai memberikan sumbangan sebesar 55%, estuarin 11%, dan daratan sebesar 33%. Laju denitrifikasi akan meningkat dengan meningkatnya kandungan nitrat pada sedimen (Widiyanto, 2005). Salah satu faktor yang mempengaruhi proses denitrifikasi adalah lingkungan. Lingkungan yang tepat bagi bakteri denitrifikasi adalah lingkungan dengan kandungan oksigen yang rendah atau tidak ada oksigen.2.4 Tahapan Pertumbuhan Mikroorganisme

Gambar 2.2Kurva Pertumbuhan Mikroorganisme (Tortora dkk., 2010)Ketika mikroorganisme atau bakteri diinokulasikan ke dalam media pertumbuhan cair dan populasinya dihitung pada interval tertentu, dimungkinkan untuk mengeplot sebuah kurva pertumbuhan bakteri yang menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme terhadap waktu seperti terlihat pada Gambar 2.2. Terdapat empat fase pertumbuhan, yaitu:2.4.1 Fase Adaptasi (Lag Phase)Kurun waktu ini merupakan penyesuaian bakteri. Pada fase ini pertambahan jumlah sel sangat kecil karena mikroorganisme tidak langsung bereproduksi dalam lingkungan yang baru. Waktu yang dibutuhkan fase adaptasi ini variatif mulai dari 1 jam bahkan bisa beberapa hari tergantung kondisi lingkungan mikroorganisme tersebut sebelum diinokulasikan, jumlah inokulum serta kondisi media dan kondisi inkubasi yang digunakan untuk pertumbuhan (Tortora dkk., 2010; Garbutt 1997).2.4.2 Fase Logaritmik (Log Phase) atau Fase EksponensialPada fase ini, sel mulai memperbanyak diri secara cepat untuk beberapa jam atau bahkan beberapa hari dengan kondisi pertumbuhan yang optimum, dan membelah dalam jumlah yang luar biasa. Laju pertumbuhan selama fase logaritmik ini ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu inkubasi, aktivitas air dan pH media penanaman (Garbutt 1997).2.4.3 Fase Pertumbuhan Statis (Stationary Phase)Dalam fase ini, laju pertumbuhan sel mulai berkurang dan laju kematian mulai menyamai kecepatan tumbuhnya, sehingga populasi mikroorganisme akan konstan. Penyebab fase eksponensial berhenti tumbuh dikarenakan oleh satu atau kombinasi dari beberapa hal, yaitu: zat makanan penting yang habis, akumulasi dari bahan beracun yang dihasilkan oleh metabolisme sel, serta perubahan pH yang drastis (Tortora dkk., 2010).2.4.4 Fase Kematian (Death Phase)Pada fase ini, laju kematian mulai melebihi laju pertumbuhan sel. Fase ini terus berlanjut hingga populasi sel menjadi sangat kecil bahkan hingga benar-benar mati seluruhnya (Tortora dkk., 2010).2.5 Trickling Filter2.5.1 Proses PengolahanPengolahan air limbah dengan proses trickling filter adalah proses pengolahan dengancaramenyebarkan air limbah ke dalam suatu tumpukan atau unggun media yang dapat terdiri dari bahan batu pecah (kerikil), bahan keramik, sisa tanur (slag), medium dari bahan plastik atau lainnya. Dengancarademikian maka pada permukaan medium akan tumbuh lapisan biologis (biofilm) berbentuk seperti lendir, dan lapisan biologis tersebut akan berkontak dengan air limbah dan akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah (Said, 2008).Proses pengolahan air limbah dengan sistem trickling filter pada dasarnya hampir sama dengan sistem lumpur aktif, di mana mikroorganisme berkembang-biak dan menempel pada permukaan media penyangga. Di dalam aplikasinya, proses pengolahan air limbah dengan sistem trickling filter secara garis besar ditunjukkan seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.3Diagram proses pengolahan air limbah dengan sistem trickling filter (Said, 2008)

Pada trickling filter konvensional, pertama-tama air limbah dialirkan ke dalam bak pengendapan awal untuk mengendapkan suspended solids (padatan tersuspensi), selanjutnya air limbah dialirkan ke bak trickling filter melalui pipa berlubang yang berputar, pada trickling filter konvensional. Pada saat kontak dengan media trickling filter, air limbah akan berkontak dengan mikroorganisme yang menempel pada permukaan media, dan mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah.

Air limbah yang masuk ke dalam bak trickling filter selanjutnya akan keluar melalui pipa under-drain yang ada di dasar bak dan keluar melalui saluran effluent. Dari saluran effluent dialirkan ke bak pengendapan akhir dan air limpasan dari bak pengendapan akhir adalah merupakan air olahan yang dapat dilepaskan ke badan air permukaan.Lumpur yang mengendap di dalam bak pengendapan akhir selanjutnya disirkulasikan ke inlet bak pengendapan awal. Gambar penampang bak trickling filter konvensional dapat ditunjukkan seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.4Penampang bak trickling filter konvensional (Said, 2008)

2.5.2 Jenis-Jenis Trickling FIlterTrickling filter diklasifikasi berdasarkan beban hirolik dan organiknya. Di dalam operasional trickling filter secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yakni trickling filter standar (low rate) dan trickling filter kecepatan tinggi (high rate). a.Trickling Filter Standar (Low Rate)

Trickling filter standar biasanya didesain untuk laju hidrolik dari 0,5 hingga 4 m3/m2.hari dan beban organik/BOD sebesar 0,08 - 0,4 kg/m3.hari. Jenis ini biasanya memiliki ketinggian bed 1,8 - 2,4 m dan berbentuk persegi empat atau lingkaran.

Selama operasi normal, sebuah kultur tipis tumbuh di dalam filter hingga terjadi perubahan temperatur atau aliran umpan melewati filter menyebabkan sebagian besar terjadi pengelupasan. Materi yang terkelupas stabil, mudah diselesaikan, berbentuk seperti humus, sering mengandung banyak cacing dan larva lalat filter (Canter, 2013).b.Trickling Filter Kecepatan Tinggi (High Rate)

Trickling filter kecepatan tinggi biasanya dideasin untuk beban yang lebih tinggi dibandingkan dengan trickling filter standar. Filter ini memiliki laju hidrolik dari 8 hingga 40 m3/m2.hari dan beban organik/BOD sebesar 0,4 4,7 kg/m3.hari. Jenis ini biasanya memiliki ketinggian bed 0,9 - 2,4 m dan berbentuk lingkaran.

Trickling filter kecepatan tinggi didesain untuk menerima aliran limbah secara kontinyu. Laju yang tinggi dari umpan diperoleh dari resirkulasi air limbah yang telah melewati trickling filter (Canter, 2013). Parameter disain untuk trickling filter standar dan trickling filter kecepatan tinggi ditunjukkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.2 Parameter desain Trickling FilterParameterTrickling FilterStandar

(Low Rate)Trickling Filter Kecepatan Tinggi

(High Rate)

Beban Hidrolik (m3/m2.hari)0,5 - 48 - 40

Beban BOD

(kg/m3.hari)0,08 - 0,40,4 - 4,7

Jumlah Mikroorganisme (kg/m3.media)4,75 - 7,13,3 - 6,5

Stabilitas ProsesStabilKurang Stabil

BOD Air Olahan

(kg/m3) 20Fluktuatif

Nitrat dalam Air OlahanTinggiRendah

Efisiensi Pengolahan(%)90 - 95 80

(Sumber: Said, 2008)

2.5.3 Masalah yang Sering Terjadi pada Proses Trickling Filter

Masalah yang sering timbul pada pengoperasian trickling filter adalah sering timbul lalat dan bau yang berasal dari reaktor. Sering terjadi pengelupasan lapisan biofilm dalam jumlah yang besar. Pengelupasan lapisan biofilm ini disebabkan karena perubahan beban hidrolik atau beban organik secara mendadak sehingga lapisan biofilm bagian dalam kurang oksigen dan suasana berubah menjadi asam karena menerima beban asam organik sehingga daya adhesiv dari biofilm berkurang sehingga terjadi pengelupasan. Cara mengatasi gangguan tersebut yakni dengan cara menurunkan debit air limbah yang masuk ke dalam reaktor atau dengan cara melakukan aerasi di dalam bak ekualisasi untuk menaikkan konsentrasi oksigen terlarut (MENLH, 2004). Cara mengatasi gangguan tersebut yakni dengan cara menurunkan debit air limbah yang masuk ke dalam reaktor atau dengan cara melakukan aerasi di dalam bak ekualisasi untuk menaikkan kensentrasi oksigen terlarut (Said, 2008).

2.5.4 Kriteria Bahan Isian Trickling FilterTabel 2.3 Beberapa Jenis Media yang Digunakan dalam Trickling Filter dan sifatnya

(Sumber: Daigger dan Boltz, 2011)Media trickling filter yang ideal, memiliki kriteria dengan area permukaan spesifik yang tinggi, biaya rendah, daya tahan tinggi, dan porositas cukup tinggi untuk menghindari penyumbatan dan menaikkan ventilasi. media trickling filter memiliki berbagai macam jenis dan bentuk termasuk batu, random (sintetis), vertical-flow (sintetis), dan cross-flow (sintetis). Kedua media vertical-flow dan cross-flow ini dibuat dengan lembaran plastik halus dan/atau bergelombang. Media sintetis lain yang tersedia, meskipun tidak umum digunakan, yang strip plastik yang menggantung vertikal. bilah kayu yang telah dimodifikasi juga telah digunakan, tetapi terkadang tidak dipertimbangkan karena biaya tinggi atau persediaan yang terbatas (Daigger dan Boltz, 2011).2.6 Serat Sabut Kelapa

Gambar 2.5Produk Turunan Pengolahan Sabut Kelapa (Nurmaulita, 2010)

Serat sabut kelapa, atau dalam perdagangan dunia dikenal sebagai Coco Fiber, Coir Fiber, Coir Mats dan Rugs, merupakan produk hasil pengolahan sabut kelapa. Sabut kelapa merupakan bahan berserat dengan ketebalan sekitar 5 cm dan merupakan bagian terluar dari buah kelapa. Sabut kelapa terdiri dari kulit ari, serat dan sekam (dust). Secara tradisional serat sabut kelapa hanya dimanfaatkan untuk bahan pembuat sapu, keset, tali dan alat-alat rumah tangga lain. Perkembangan teknologi, sifat fisika-kimia serat, dan kesadaran konsumen untuk kembali ke bahan alami, membuat serat sabut kelapa dimanfaatkan menjadi bahan baku industry karpet, jok, dashboard kendaraan, dll (Milawarni, 2013; Ramadhani 2011). Produk Turunan Pengolahan Sabut Kelapa dapat dilihat pada Gambar 2.4 di atas.

Dilihat sifat fisisnya sabut kelapa terdiri dari serat kasar dan halus dan tidak kaku. Dari sifat mekaniknya, sabut kelapa memiliki kekuatan tarik yang berbeda antara serat kasar dan halusnya, serta sabut kelapa memiliki sifat yang lentur. Hasil uji komposisi serat sabut kelapa berdasarkan SNI yang dilakukan Sarana Riset dan Standarisasi dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut:Tabel 2.4 Komposisi Serat Sabut KelapaParameterHasil Uji Komposisi (%)Metode Uji

Kadar Abu2,02SNI 14-1031-1989

Kadar Lignin (Metode Klason)31,48SNI 14-0492-1990

Kadar Sari3,41SNI 14-1032-1989

Kadar Alfa Selulosa32,64SNI 14-0444-1989

Kadar Total Selulosa55,34Metoda Internal BBPK

Kadar Pentosan sebagai Hemiselulosa22,70SNI 01-1561-1989

Kelarutan dalam NaOH 1%20,48SNI 19-1938-1990

(Sumber: Nurmaulita, 2010)

Pengujian morfologis serat sabut kelapa yang dilakukan oleh Sunariyo (2008) dihasilkan sebagai berikut:

Tabel 2.5 Morfologi Serat Sabut Kelapa

ParameterHasil Uji Morfologi

Panjang Serat Minimal0.37 m

Panjang Serat Maksimal2.49 m

Panjang Serat Rata-rata1.20 m

Diamater Luar (D)23.23 m

Diameter dalam (l)13.26 m

Tebal Dinding (W)4.99 m

Bilangan Runkel (2xW/l)0.75

Kelangsingan (LD) x 100055.53

Kekakuan (W/D)0.21

Kelenturan (l/D)0.57

Muhisiep ratio (D2-i2/D2 x 100)67.42

(Sumber: Sunario, 2008)5