19
4 Universitas Indonesia BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Xilitol Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon. Senyawa ini secara luas digunakan pada industri makanan dan kimia. Xilitol memiliki sifat antikariogenik, menguatkan gigi, dan remineralisasi gigi (Domínguez, Jose, Noelia, & Sandra, 2012). Xilitol terdapat pada berbagai macam buah dan sayuran seperti raspberry, strawberry, jamur, kembang kol, jagung, anggur, dan pisang dalam jumlah yang sangat kecil (Chen, Zi-Hua, Sanfeng, & Wensheng, 2010; Parajo, Herminia, & Jose, 1998). Xilitol telah digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan pemanis untuk menggantikan sukrosa, serta digunakan pada permen karet, mint, dan pasta gigi karena maanfaat klinisnya. Xilitol telah menarik perhatian karena potensialnya yang memiliki tingkat kemanisan yang hampir sama dengan sukrosa. Namun, mengandung kalori yang lebih rendah yaitu 2,4 kal/g dibandingkan dengan sukrosa 4,0 kal/g (Granstrom, Ken, & Matti, 2007). 2.1.1 Sifat Fisika dan Kimia Xilitol (British Pharmacopeia, 2009) [Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006] Gambar 2.1 Struktur xilitol Nama kimia : Xilitol Rumus kimia : C 5 H 12 O 5 Berat molekul : 152,15 g/mol

BAB II

  • Upload
    urufaho

  • View
    28

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

xylitol

Citation preview

Page 1: BAB II

4 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Xilitol

Xilitol merupakan senyawa gula polialkohol dengan lima atom karbon.

Senyawa ini secara luas digunakan pada industri makanan dan kimia. Xilitol

memiliki sifat antikariogenik, menguatkan gigi, dan remineralisasi gigi

(Domínguez, Jose, Noelia, & Sandra, 2012). Xilitol terdapat pada berbagai macam

buah dan sayuran seperti raspberry, strawberry, jamur, kembang kol, jagung,

anggur, dan pisang dalam jumlah yang sangat kecil (Chen, Zi-Hua, Sanfeng, &

Wensheng, 2010; Parajo, Herminia, & Jose, 1998).

Xilitol telah digunakan sebagai bahan tambahan makanan dan pemanis

untuk menggantikan sukrosa, serta digunakan pada permen karet, mint, dan pasta

gigi karena maanfaat klinisnya. Xilitol telah menarik perhatian karena

potensialnya yang memiliki tingkat kemanisan yang hampir sama dengan sukrosa.

Namun, mengandung kalori yang lebih rendah yaitu 2,4 kal/g dibandingkan

dengan sukrosa 4,0 kal/g (Granstrom, Ken, & Matti, 2007).

2.1.1 Sifat Fisika dan Kimia Xilitol (British Pharmacopeia, 2009)

[Sumber: Rowe, Sheskey, & Owen, 2006]

Gambar 2.1 Struktur xilitol

Nama kimia : Xilitol

Rumus kimia : C5H12O5

Berat molekul : 152,15 g/mol

Page 2: BAB II

5

Universitas Indonesia

Titik leleh : 92-96 oC

Titik didih : 216 oC

Densitas : 1,52 g/cm3

Karakteristik : serbuk kristal atau kristal berwarna putih, sangat larut dalam air,

larut dalam etanol 96%

2.1.2 Manfaat Xilitol

Xilitol secara luas digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan

kesehatan. Sejak tahun 1960-an xilitol telah digunakan di Jerman, Swiss, Uni

Soviet, dan Jepang sebagai pemanis untuk penderita diabetes. U.S Food and Drug

Administration (FDA) telah menyetujui penggunaan xilitol sebagai diet makanan

pada tahun 1963. FDA mengijinkan penambahan xilitol pada selai untuk diet

khusus (Mäkinen, 2000).

Xilitol memiliki banyak keuntungan sebagai bahan tambahan makanan

dan tidak menyebabkan reaksi Maillard karena tidak bereaksi dengan asam amino

yang memungkinkan penggunaan untuk nutrisi parenteral. Ketika digunakan

dalam diet, xilitol tidak menyebabkan obesitas. Xilitol dalam formulasi makanan

dapat meningkatkan warna dan rasa tanpa menyebabkan perubahan sifat fisik

selama penyimpanan. Xilitol dapat digunakan untuk memperbaiki gangguan

katabolik (lipolisis perifer, stimulasi glukoneogenesis, degradasi protein otot) dan

berkontribusi pada efek anabolik (Parajo, Herminia, & Jose, 1998). Ketika

digunakan sebagai eksipien, xilitol dapat memberikan sensasi yang menyegarkan

(Rowe, Sheskey, & Owen, 2006). Selain itu, xilitol juga bersifat sebagai pemanis

anti kariogenik sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesehatan mulut dan

pencegahan karies gigi (Nigam & Singh, 1995).

2.1.3 Produksi Xilitol

Xilitol terdapat secara alami dengan jumlah yang kecil dalam berbagai

macam sayur dan buah. Namun, ekstraksi dari sumber tersebut dianggap tidak

komersial. Produksi secara kimiawi melalui hidrogenisasi katalitik D-xilosa yang

didapatkan dari hidrolisis hemiselulosa dengan bantuan katalis logam pada suhu

Page 3: BAB II

6

Universitas Indonesia

80-140 oC dan tekanan 50 atm (Hyvönen, Koivistoinen, & Voirol, 1982; Parajo,

Herminia, & Jose, 1998).

Xilan dikonversi menjadi xilosa melalui hidrolisis dan kemudian

dihidrogenasi menjadi xilitol. Xilitol kemudian dimurnikan dan dikristalisasi.

Sebagai fraksi hemiselulosa yang mengandung gula lainnya, dibutuhkan

pemurnian yang intensif untuk didapatkan xilitol yang murni. Produksi xilitol

secara kimiawi relatif mahal karena proses pemurnian yang berulang-ulang serta

prosesnya dibutuhkan tekanan yang tinggi. Sejak saat itu dikembangkan produksi

xilitol yang lebih ekonomis dengan menggunakan mikroorganisme (Nigam &

Singh, 1995; Parajo, Herminia, & Jose, 1998).

Produksi xilitol secara bioteknologi melalui proses fermentasi

memanfaatkan bakteri, kapang, dan khamir untuk mengkonversi xilosa menjadi

xilitol. Proses secara bioteknologi ini memiliki beberapa keuntungan yaitu reaksi

reduksinya selektif terhadap xilosa. Reaksinya berlangsung pada suhu dan tekanan

yang rendah, biayanya murah karena berasal dari mikroorganisme (Granstrom,

Ken, Matti, 2007; Parajo, Herminia, & Jose, 1998).

Pada bakteri, konversi D-xilosa menjadi D-xilulosa dikatalisis oleh xilosa

isomerase secara langsung. Xilosa isomerase juga ditemukan pada C. boidinii,

Malbranchea pulchella, and Meurospora crassa. Pada sebagian besar jamur dan

khamir, konversi D-xilosa menjadi D-xilulosa membutuhkan dua tahap. Pertama,

D-xilosa direduksi menjadi xilitol oleh NADH- atau NADPH-dependent xilosa

reduktase. Xilitol ini kemudian disekresikan sebagai metabolit atau dioksidasi

lebih lanjut menjadi D-xilulosa oleh NAD- atau NADP-dependent xilitol

dehidrogenase (Chen, Zi-Hua, Sanfeng, & Wensheng, 2010).

Page 4: BAB II

7

Universitas Indonesia

[Sumber: Ghindea, Ortansa, Ileana, Ana-Maria, & Tatiana, 2010, telah diolah kembali]

Gambar 2.2 Jalur metabolisme D-xilosa pada khamir

2.2 Xilosa

Xilosa merupakan aldopentosa, suatu monosakarida yang tersusun dari

lima buah atom karbon dengan gugus aldehid. Xilosa dihasilkan dari bahan-bahan

yang mengandung hemiselulosa yang terdapat dalam kayu ataupun bahan lainnya

dengan cara hidrolisis (Sjöström, 1995). Xilosa merupakan suatu pentosa dengan

rumus formula C5H10O5. Xilosa banyak terdapat dalam jambu biji, pir, blackberry,

loganberry, raspberry, brokoli, bayam, terong, kacang polong, kacang hijau, lidah

buaya, okra, kubis dan jagung. Di alam, xilosa ditemukan dalam bentuk

polisakarida sebagai xilan, arabinoxilan, glukoronoarabinoxilan, xiloglukan, dan

xilogalakturonan. Xilosa dapat digunakan untuk membantu mendiagnosa masalah

usus kecil dalam menyerap nutrisi, vitamin dan mineral yang ada pada makanan

(Wicklow, 2012).

Page 5: BAB II

8

Universitas Indonesia

[Sumber: British pharmacopeia, 2009)

Gambar 2.3 Struktur xilosa

2.3 Eceng Gondok

[Sumber: Téllez, Elsa, Gloria, Eva, Ricardo, & Juan, 2008]

Gambar 2.4 Eceng gondok

Eceng gondok atau yang dikenal dengan nama latin Eichhornia crassipes

merupakan tanaman invasif yang dapat menyebabkan masalah lingkungan.

Tanaman ini pertama kali ditemukan pada tahun 1983 oleh C. Von Martius yang

sedang mempelajari flora Brazil. Pada saat ini eceng gondok tersebar pada daerah

tropis dan subtropis karena aktivitas manusia pada jaman dahulu. Masalah utama

pada eceng gondok adalah karena tingkat pertumbuhannya yang cepat,

kemampuannya yang unggul dalam bersaing dengan tanaman air lainnya, serta

kemudahan propagasi (Téllez, Elsa, Gloria, Eva, Ricardo, & Juan, 2008).

Page 6: BAB II

9

Universitas Indonesia

[Sumber: Téllez, Elsa, Gloria, Eva, Ricardo, & Juan, 2008]

Gambar 2.5 Penyebaran eceng gondok

Eceng gondok merupakan tanaman yang prevalensinya tinggi di Indonesia

yang dikenal sebagai gulma. Eceng gondok kurang dimanfaatkan oleh

masyarakat. Namun, tanaman ini memiliki beberapa aplikasi seperti produksi

kertas, kerajinan tangan, dan tali (Ayudhya, Tanawut, Thikamporn, Ponpitak, &

Virapong, 2007). Tanaman ini memiliki kandungan hemiselulosa 30-55% dari

bobot kering (Nigam, 2002), sedangkan menurut Singh, Gaurav, Majumderb, dan

Sanjoy (2011) eceng gondok mengandung selulosa 18,4%; hemiselulosa 49,2%;

dan lignin 3,55% sehingga dapat dimaanfaatkan untuk produksi xilitol. Komposisi

rata-rata eceng gondok dapat dilihat dari Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komposisi rata-rata eceng gondok

Kandungan % dari berat basah

Total padatan 5,0 – 7,6

Kelembaban 92,8 – 95,0

Padatan yang menguap (% dari total padatan) 4,2 – 6,1 (89,0 – 82,0)

Komponen organik (% dari total padatan)

Hemiselulosa 48,70 ± 0,027

Selulosa 18,20 ± 0,012

Lignin 3,50 ± 0,004

Protein kasar 13,30 ± 0,020 [Sumber: Nigam, 2002, telah diolah kembali]

Page 7: BAB II

10

Universitas Indonesia

2.4 Lignoselulosa

Lignoselulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel

tumbuhan. Sebagian besar lignoselulosa terdiri atas polimer yang saling

berhubungan yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selulosa membentuk

skeleton yang dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa memiliki

komponen dasar gula dan senyawa lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk

menghasilkan produk yang bermanfaat seperti etanol, xilitol, bahan tambahan

makanan, asam amino, dan enzim (Mussatto & Teixeira, 2010).

2.4.1 Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan polimer heterogen linier dan bercabang yang

umumnya terdiri dari lima gula yang berbeda yaitu L-arabinosa, D-galaktosa, D-

glukosa, D-manosa, dan D-xilosa, serta komponen lain seperti asetat, glukuronat,

dan asam ferulat. Rantai belakang hemiselulosa dapat berbentuk homopolimer

(umumnya terdiri dari satu unit gula) atau suatu heteropolimer (campuran gula

yang berbeda). Berdasarkan gula pada rantai belakang, hemiselulosa

diklasifikasikan menjadi xilan, manan, glukan, glukuronoxilan, arabinoxilan,

glukomanan, galaktomanan, galaktoglukomanan, β-glukan, dan xiloglukan

(Mussatto & Teixeira, 2010). Kandungan hemiselulosa dalam lignoselulosa

sekitar 25-35% dan mudah terhidrolisis menjadi gula fermentasi (Saha & Cotta,

2007).

2.4.2 Selulosa

. Selulosa merupakan homopolisakarida yang terdiri dari unit-unit β-D-

glukopiranosa dengan ikatan β-1,4-glikosida. Selulosa merupakan komponen

dasar lignoselulosa dengan komposisi sekitar 40-50% dari bobot kering (Joshi,

Megh, Dinita, Jarina, Rajani, & Lakshmaiah, 2011). Selulosa tersusun atas

polimer linier dan memiliki kecenderungan membentuk ikatan hidrogen

intramolekuler dan intermolekuler. Selulosa alami mempunyai bentuk amorf dan

kristalin serta bersifat tidak larut dalam kebanyakan pelarut. Selulosa dapat

dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan enzim atau asam (Howard,

Abotsi, Jansen van Rensburg, & Howard. S, 2003)

Page 8: BAB II

11

Universitas Indonesia

2.4.3 Lignin

Lignin merupakan komponen ketiga utama dari lignoselulosa dengan

komposisi sekitar 20-30%. Lignin merupakan polimer kompleks unit-unit fenil

propana yaitu p-kumaril, koniferil, dan sinafil. Lignin terikat kuat pada selulosa

dan hemiselulosa dan fungsinya adalah untuk memberikan kekakuan pada dinding

sel, memberikan impermeabiltas, dan sebagai barier terhadap serangan mikroba

(Joshi, Megh, Dinita, Jarina, Rajani, & Lakshmaiah 2011). Karena konfigurasi

molekulnya, lignin sangat tahan terhadap degradasi kimiawi dan enzimatik

(Howard, Abotsi, Jansen van Rensburg, & Howard. S, 2003; Palmqvist & Hahn-

Hagerdal, 2000).

2.5 Hidrolisis

Hidrolisis merupakan pemecahan molekul besar menjadi molekul yang

lebih kecil dengan penambahan molekul air. Polisakarida akan terbentuk menjadi

monomer-monomer penyusunnya melalui proses hidrolisis. Untuk mempercepat

hidrolisis, ditambahkan senyawa lain sebagai katalis yaitu berupa asam, basa, atau

enzim (Lowry, 1987).

Hidrolisis kimia dengan menambahkan asam pada lignoselulosa selama

periode dan temperatur tertentu, menghasilkan monomer gula dari selulosa dan

hemiselulosa. Hidrolisis sempurna dari selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan

hemiselulosa mengasilkan pentosa dan heksosa. Hemiselulosa sebagian besar

terdiri dari manosa sehingga gula yang dihasilkan paling banyak umumnya xilosa

(Taherzadeh & Karimi, 2007).

Asam yang umumnya digunakan untuk hidrolisis lignoselulosa adalah

asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat. Proses hidrolisis dengan menggunakan

asam sulfat ada dua cara, pertama dengan menggunakan asam sulfat konsentrasi

tinggi pada suhu rendah dan yang kedua dengan menggunakan asam sulfat encer

yang beroperasi pada suhu yang tinggi. Cara kedua merupakan cara yang paling

umum digunakan tetapi menghasilkan produk samping yang relatif besar (Joshi,

Megh, Dinita, Jarina, Rajani, & Lakshmaiah 2011). Produk samping tersebut yaitu

Page 9: BAB II

12

Universitas Indonesia

senyawa furfural, fenolat, dan asam asetat (Carvalheiro, Duarte, Lopes, Parajo,

Pereira, & Girio, 2004)

Penelitian yang dilakukan oleh Lee dan Jeffries (2011) yaitu

membandingkan efek penggunaan katalis asam pada hidrolisis lignoselulosa

seperti asam sulfat, asam maleat, dan sam oksalat. Asam maleat dan asam oksalat

mampu menghasilkan monomer gula yang lebih banyak daripada oligomer dan

meninggalkan residu yang lebih sedikit dari fraksi selulosa, hal itu berarti asam

dikarboksilat sangat selektif untuk hemiselulosa.

2.6 Khamir

2.6.1 Gambaran umum dan morfologi khamir

Khamir merupakan eukariot ber sel satu (uniseluler), tidak berfilamen,

berbentuk oval atau bulat, tidak berflagel, dan ukurannya lebih besar

dibandingkan sel bakteri dengan panjang dari 2 - 3 μm hingga 20 - 50 μm dan

lebar 1 – 10 μm. Khamir bereproduksi dengat pertunasan (budding), pada proses

budding tumbuh sel baru yang kecil dari sel induk kemudian tumbuh membesar

dan memisahkan diri dari sel induk (Walker & White, 2005; Rehm & Reed,

1993). Bentuk – bentuk sel khamir dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Page 10: BAB II

13

Universitas Indonesia

Tabel 2.2 Bentuk-bentuk sel khamir

Bentuk sel Deskripsi Contoh khamir

Ellips Sel berbentuk oval Saccharomyces

Silindris Sel memanjang dengan ujung Schizosaccharomyces

Apikulat Sel berbentuk lemon Hanseniaspora,

Saccharomydes

Ogival Sel memanjang yang membulat

pada satu ujung dan meruncing

pada ujung yang lain

Dekkera, Brettanomyces

Bentuk botol

(Flask shaped)

Sel yang sedang membelah

dengan pertunasan

Pytosporum

Bentuk beraneka

ragam

Segitiga

Kurva

Sferis

Batang

Trigonopsis

Cryptococus

Debaromyces

Sterigmatomyces

Pseudofhia Rantai pada sel khamir yang

mengalami pertunasan dan

memanjang tanpa terjadi

pelepasan

Candida

Hifa Sel berfilamen yang bercabang

terbentuk akibat germ tube

Candida albicans

Dimorfik Khamir yang tumbuh secara

vegetatif baik sebagai khamir

maupun fungi berfilamen

Candida albicans

Saccharomyces

fibuligera

Kluyveromyces

marxianus

Malassezia furfur

Yarrowia lipopytica

Histoplasma capsulatum

[Sumber: Walker & White, 2005, telah diolah kembali]

Page 11: BAB II

14

Universitas Indonesia

2.6.2 Pertumbuhan Khamir

[Sumber: Walker & White, 2005]

Gambar 2.6 Pertunasan sel khamir dengan SEM (Scanning Electron Micrograph)

Khamir membutuhkan kondisi yang sesuai untuk dapat bereproduksi,

kondisi tersebut dipengaruhi oleh temperatur, nutrien, pH dan senyawa penunjang

lainnya. Khamir membutuhkan nutrisi yang sederhana dan dapat bertahan hidup

dengan baik pada kondisi aerob jika terdapat glukosa, garam ammonium, ion

anorganik dan beberapa faktor pertumbuhan. Makronutrien dibutuhkan dalam

konsentrasi milimolar, terdiri dari sumber karbon, nitrogen, oksigen, sulfur,

fosfor, kalium, magnesium. Sedangkan mikronutrien dibutuhkan dalam

konsentrasi mikromolar, terdiri dari trace element seperti kalsium, tembaga, besi,

mangan, dan zinc untuk pertumbuhan sel. (Walker & White, 2005).

Dalam kondisi aerob, khamir akan mengasimilasi gula dan nitrogen

anorganik ke dalam tubuhnya dan menggandakan diri dan beratnya setiap dua jam

sekali Sedangkan dalam kondisi anaerob, khamir akan memfermentasi karbon

dioksida dan alkohol berlebih (Becze, 1955).

Pertumbuhan pada khamir dapat digambarkan melalui suatu kurva

pertumbuhan. Kurva tersebut diperoleh dari menghitung kekeruhan media pada

khamir dalam waktu tertentu. Kurva pertumbuhan khamir memiliki beberapa fase

(Gandjar, Sjamsuridzal, & Oetari, 2006) antara lain:

Page 12: BAB II

15

Universitas Indonesia

1. Fase lag, yaitu fase penyesuaian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan

enzim-enzim untuk mengurai substrat

2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi

fase aktif

3. Fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat

banyak, aktivitas sel meningkat, dan fase ini merupakan fase yang penting

dalam kehidupan khamir

4. Fase deselerasi, merupakan akhir dari fase eksponensial, yaitu waktu sel-

sel mulai kurang aktif membelah. Pada fase ini, dapat dipanen biomassa

sel atau senyawa-senyawa yang tidak diperlukan lagi oleh sel

5. Fase stasioner, yaitu fase ketika jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel

yang mati relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus

yang horizontal

6. Fase kematian dipercepat, yaitu ketika jumlah sel-sel yang mati atau tidak

aktif sama sekali lebih banyak dari pada sel-sel yang masih hidup

2.6.3 Debaryomyces hansenii

Debaryomyces hansenii dapat ditemukan di habitat dengan aktivitas air

yang rendah, seperti air laut. Selain itu juga dapat diisolasi dari keju, daging,

anggur, bir, buah dan tanah. D.hansenii merupakan salah satu khamir berminyak

dengan akumulasi lipid mencapai 70% dari biomassa dan metabolismenya

didominasi oleh jalur metabolisme lipid. D.hansenii sangat heterogen, seperti

variasi kemampuan untuk mengasimilasi dan memfermentasi berbagai sumber

karbon, perbedaan aktivitas ekspresi protease dan lipase serta kondisi

pertumbuhan yang optimal. Untuk mengkonversi xilosa menjadi xilitol,

D.hansenii telah dimanfaatkan selama beberapa dekade. Jumlah hasil biokonversi

oleh D. hansenii didapatkan mirip atau lebih besar dibandingkan produsen xilitol

lain yang sering digunakan seperti Candida sp, C. guilliermondii, dan C.

parasilosis (Breuer & Hams, 2006).

Page 13: BAB II

16

Universitas Indonesia

[Sumber: Breuer & Harms, 2006, telah diolah kembali]

Gambar 2.7 Skema metabolisme xilosa oleh D. Hansenii

2.7 Media Fermentasi

Komposisi media yang digunakan untuk kultivasi mikroorganisme

merupakan sesuatu yang penting baik untuk skala laboratorium maupun untuk

proses fermentasi skala industri. Hal tersebut dapat berdampak pada hasil analisis

galur dan kinerja galur. Pada skala laboratorium, relatif mudah untuh

menumbuhkan pada media kultur yang kompleks seperti malt extract atau potato

dextrose agar (PDA). Keduanya kaya akan karbon dan berada pada rentang pH

asam. Media kultivasi didesain untuk merefleksikan komposisi utama dan

kapasitas biosintetik pada sel mikroba. Ketika komposisi utamanya relatif sama,

kapasitas biosintesis mikroba dapat sangat berbeda (Hahn-Hägerdal, Kaisa,

Christer, Marie, Johann, & Willem, 2005; Walker & White, 2005).

D-xilosa

xilitol

xilulosa

xilulosa-5-fosfat Jalur pentosa fosfat

reaksi penyusunan kembali

6-fosfat-glukonat

glukosa-6-fosfat fruktosa-6-fosfat

gliseraldehid-3-fosfat

etanol piruvat biomassa

Page 14: BAB II

17

Universitas Indonesia

Komponen-komponen yang penting pada media kultivasi antara lain:

1. Sumber karbon

Sumber karbon dibutuhkan untuk menyediakan energi untuk sel

sekaligus menjadi materi pertumbuhan dan materi sintesis metabolit

primer dan sekunder.

2. Sumber nitrogen

Sumber nitrogen dibutuhkan untuk tumbuh dan mensintesis

komponen seperti protein dan asam nukleat. Jumlah nitrogen dalam media

akan menentukan biomassa yang akan didapatkan untuk beberapa jenis

sel.

3. Substrat lain

Komponen penting lain yang digunakan untuk sel tumbuh dan

berfungsi secara sesuai seperti garam-garam anorganik (McNeil & Harvey,

2008).

Trace element atau mikronutrien merupakan komponen-komponen lain

yang dapat ditambahkan. Hal tersebut berkaitan dengan aktivitas enzim sebagai

katalis dan juga pertumbuhan sel. Beberapa sel tidak dapat membuat faktor

pertumbuhannya sehingga media yang digunakan harus ditambahkan faktor

pertumbuhan yang diperlukan. Kedua komponen ini ditambahkan ke dalam media

dalam jumlah kecil. (McNeil & Harvey, 2008; Walker & White, 2005)

Untuk media kultivasi khamir, pada umumnya yang paling sering

digunakan adalah Yeast Extract-Peptone (YP). YP adalah medium yang terbuat

dari ektrak khamir dan pepton. Medium ini mengandung semua komponen yang

dibutuhkan untuk propagasi sel termasuk zat untuk biosintesis dan sering

digunakan pada fase inisial fermentasi dimana diperlukan inokulum dalam jumlah

besar (Hahn-Hägerdal, Kaisa, Christer, Marie, Johann, & Willem, 2005)

Page 15: BAB II

18

Universitas Indonesia

Komposisi media Yeast Extract-Peptone (YP):

NH4Cl 0,4 g

KH2PO4 0,1 g

K2HPO4 0,1 g

MgSO4.7H2O 0,05 g

FeSO4.7H2O 0,005 g

Ekstak khamir 0,4 g

Aquadest ad 100 mL

pH disesuaikan hingga mencapai 6 (Suryadi, Tohoru, Nobuyaki, Shinsuke,

& Yoshiki, 2000)

2.8 Analisis Biomassa secara Turbidimetri

Pengukuran turbidimetri adalah penjumlahan cahaya yang diabsorbsi dan

diteruskan oleh medium, sel dan partikel lain. Pengukuran biasanya dilakukan

pada panjang gelombang 600-700 nm dimana absorbsi cahaya oleh komponen sel

minimum. Pengukuran harus dilakukan menggunakan alat spektrofotometer yang

sama. Konversi nilai hasil pengukuran turbidimetri dan bobot sel kering akan

memberikan nilai yang bervariasi bergantung pada komposisi dan bentuk sel serta

komposisi media (Rehm & Reed, 1993).

2.9 Respon Surface Method

Response Surface Method (RSM) merupakan suatu metode gabungan

antara teknik matematika dan teknik statistik, digunakan untuk membuat model

dan menganalisa suatu respon y yang dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas

untuk mengoptimalkan respon tersebut. Hubungan antara respon y dan variabel

bebas x adalah (Bradley, 2007):

y = (1)

dimana:

y = variabel terikat sebagai fungsi dari

= variabel bebas sebagai respon dari y

ε = error

Page 16: BAB II

19

Universitas Indonesia

2.9.1 Central Composite Design

Disain ini terdiri dari (Khuri & Siuli, 2010):

1. Disain faktorial lengkap (atau fraksi) dari 2k

dengan level yang

dikodekan sebagai -1, 1. Disain ini disebut bagian faktorial.

2. Sebuah bagian aksial terdiri dari 2k yang diatur sedemikian rupa

sehingga dua titik pada masing - masing sumbu variabel kontrol pada

jarak α dari pusat disain (dipilih sebagai titik pada sistem koordinat

asal)

3. Titik pusat n0

Pada Gambar 2.8 menunujukkan disain yang melibatkan titik faktorial (2k),

titik aksial (2k) dan satu titik pusat (n0). Sehingga jumlah titik (n) = 2k

+ 2k + n0

[Sumber : Lundstedt et al., 1998, telah diolah kembali]

Gambar 2.8 Central Composite Design untuk 3 variabel

2.10 Metode Analisis Xilosa dan Xilitol Secara Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi

Metode analisis xilosa dan xilitol secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(KCKT) menggunakan kolom yang cocok untuk pemisahan diikuti dengan deteksi

spesifik pemisahan senyawa secara individual. Berbagai jenis kolom telah

titik faktorial

titik aksial

titik pusat

Page 17: BAB II

20

Universitas Indonesia

digunakan untuk pemisahan D-xilitol dari karbohidrat dan poliol gula lainnya

antara lain kolom amino-based carbohydrate, kolom asam organik HPX-87H,

kolom TSK amide 80 dan kolom ion-exclusion. Berbagai jenis metode deteksi,

antara lain deteksi Ultra-Violet (UV), deteksi elektrokimia, deteksi reflective

index (RI), dan deteksi evaporative light-scattering (ELS) digunakan untuk

metode secara KCKT. D-xilitol tidak memiliki gugus kromofor yang dibutuhkan

untuk deteksi dengan UV. Sehingga, metode deteksi KCKT yang kurang sensitif

seperti reflective index (RI) dan evaporative light-scattering (ELS) adalah yang

paling sering digunakan. Batas deteksi dan sensitifitas tergantuk pada jenis

detektor. Metode deteksi RI dan ELS memiliki batas antara 0.05 - 1.2 μg/injeksi.

Metode deteksi amperometric dapat juga digunakan secara efisien ketika

digunakan dengan kromatografi ion menggunakan kolom Dionex dan pH fase

gerak lebih dari 12 (Chen, Zi-Hua, Sanfeng, & Wensheng, 2010).

2.10.1 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi merupakan teknik pemisahan campuran berdasarkan atas

perbedaan distribusi dari komponen – komponen campuran tersebut diantara dua

fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Kromatografi cair kinerja tinggi atau High –

performance liquid chromatography (HPLC) merupakan teknik analisis yang

paling sering digunakan dan perkembangannya paling cepat dalam kimia analitik

(Harmita, 2006).

Metode dalam kromatografi cair dibagi atas dua macam:

1. Kromatografi cair retensif

Pemisahan dicapai melalui interaksi antara zat terlarut dengan

fase diam. Tipe ini mencakup fase normal, fase terbalik, dan

kromatografi ion.

2. Kromatografi cair non retensif

Pemisahan yang dicapai tergantung kepada perbedaan besar

molekul zat terlarut dimana terjadi interaksi antara zat terlarut dengan

pori-pori yang terdapat di permukaan fase diam. Tipe ini dikenal

sebagai kromatografi ekslusi.

Page 18: BAB II

21

Universitas Indonesia

Analisis dengan menggunakan KCKT keuntungannya adalah (Harmita,

2006)

a. Waktu analisis cepat

b. Daya pisahnya baik

c. Peka; kepekaannya sangat tergantung pada jenis detektor pada jenis

detektor dan eluen

d. Pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi

e. Kolomnya dapat digunakan kembali

f. Dapat digunakan untuk molekul yang besar maupun yang kecil

g. Mudah untuk memperoleh cuplikan kembali

Alat KCKT terdiri dari beberapa bagian, yaitu pompa, injektor, kolom,

detektor, dan integrator.

[Sumber : Adamovics, 1997, telah diolah kembali]

Gambar 2.9 Diagram alat kromatografi cair kinerja tinggi

2.10.2 Detektor Indeks Bias (RID = Refractive Index Detectors)

Detektor indeks bias (RID) memberikan respon berdasarkan perubahan

indeks bias yang disebabkan cuplikan (Harmita, 2006). Detektor indeks bias

(RID) mengukur perbedaan indeks bias antara fase diam dengan fase gerak.

Ruang pencampuran

Pompa

Kromatogram

Integrator Detektor

Monitor

Katup dual-port

Wadah pelarut

Injektor

Katup multiport

Kolom analitik

Kolom guard

Page 19: BAB II

22

Universitas Indonesia

Sensitivitasnya rendah (0,01-0,1µg) dan peka terhadap perubahan suhu dan laju

alir sehingga perlu dikontrol (± 0,001 ◦C) agar sensitivitasnya tetap baik (Vogel,

1989). Deteksinya bersifat universal dan sering digunakan untuk analisis gula,

trigliserida, asam organik, eksipien farmasi, dan polimer (Dong, 2006).