18
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Memuliakan Tamu Dan Mengutamakannya. a. Hadist yang menerangkan ِ ه ْ يَ لَ عُ ه ل ل ى اَ ّ لَ صِ ه ل ل اِ ولُ سَ ى رَ لِ اٌ ل ُ جَ رَ اء َ جَ ال َ قَ ةَ ر ْ يَ رُ ه ىِ بَ اْ + نَ ع ىِ / ذ َ ّ الَ وْ تَ ل ا َ قَ / فِ هِ 7 اَ سِ / نِ / ضْ عَ ب ىَ لِ اَ لَ سْ رَ اَ / ، قٌ دْ و ُ هْ جَ م ىِ ّ / بِ F اَ الَ قَ / فْ مَ ّ لَ سَ وَ ل ْ I ثِ مَ تَ ل ا َ قَ / ف ىَ ر ْ / خُ اَ ى لِ اَ لَ سْ رَ اَ ّ مُ I ثٌ اءَ مَ ّ لاِ ى اِ ذْ / ثِ ع اَ مِ ّ قَ حْ ل اِ بَ V كَ I ثَ عَ ب ىِ ذ ْ / ثِ ع ا َ مِ ّ قَ حْ ل ا ِ بَ V كَ I ثَ عَ ب ىِ / ذَ ّ الَ وَ لاَ V كِ لَ / دَ لْ I ثِ مَ ّ + نُ هُ ّ لُ كَ + نْ لُ ق ىَ ّ تَ حَ V كِ لَ / دٌ ل ُ جَ رَ ال َ قَ / ف ؟ُ ه ل ل اُ ه َ مِ حَ رَ ه َ لْ ثَ ّ ل ل ا اَ / ذ َ هُ / فْ يِ / ضُ يْ + نَ مَ ال َ قَ / فٌ اء َ مَ ّ لاِ اَ ال َ قَ / فِ ه ِ لْ جَ رَ ى لِ اِ ه ِ َ قَ لَ طْ / ي ا َ / قِ ه ل ل اَ لْ وُ سَ ا ر َ ا ب َ / بَ : اَ ال َ قَ / فِ ارَ صْ / يَ لاْ اَ + نِ مَ ال َ قِ ى/ ب اَ ثْ k بِ صَ تْ و ُ قَ ّ لاِ اَ : لاْ تَ ل ا َ قٌ ءْ ىَ I شِ V كَ ذ ْ / ثِ عْ ل َ هِ ه ِ َ 7 اَ رْ مِ F لاِ 3

BAB II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

etika bertamu dan menjamu

Citation preview

14

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Memuliakan Tamu Dan Mengutamakannya.a. Hadist yang menerangkan : : : .Dari abu Hurairah ra katanya: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Lalu dia berkata. aku dalam kesulitan (susah hidup dan lapar). Maka beliau bawa orang itu kerumah istri beliau satu persatu, menanyakan kalau-kalau mereka ada sedia makanan. Para istri beliau menjawab demi Allah yang mengutus Anda dengan yang haq, aku tidak sedia apa-apa selain air.begitulah jawaban mereka masing-masing. Lalu bersabda beliau kepada para sahabat. siapa besedia menerima tamu malam ini niscaya dia diberi rahmat oleh Allah taala. Maka berdirilah seorang laki-laki Anshor seraya berkata: Aku ya Rasulullah! maka dibawalah orang itu kerumahnya.diabertanya kepada istrinya, adakah engkau sedia makanan? jawab istrinya, tidak ada kecuali makanan anak-anak. Katanya bujuklah mereka dengan apa saja. Bila tamu kita telah masuk. Tunjukkan kepadanya bahwa kita makan bersamanya, bila dia telah mulai makan, berdirilah kedekat lampu lalu padamkan. Maka duduklah mereka, dan sang tamupun makanlah. Setelah subuh. Sahabat tersebut bertemu nabi saw. Lalu kata beliau. Allah kagum dengan cara kamu berdua melayani tamu kalian tadi malam. HR. Bukhori 1966. Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami. (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad).b. Pemahaman secara TekstualDalam hadis dijelaskan bahwa Nabi memerintahkan menghormati dan menjamu tamu, serta mengasihi golongan yang lebih kecil.c. Pemahaman secara KontekstualApa saja yang kamu miliki maka berikanlah untuk menghormati tamu, walaupun itu sangat merugikan kamu sendiri. Dan hormatilah orang-orang yang ada di sekeliling kamu baik yang sudah tua maupun yang masih muda.d. Istimbat HukumBagi seorang yang tamu atau yang ditamui, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Barangsiapa yang diundang maka datangilah! (HR. Abu Dawud dan Ahmad)Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:a) Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.b) Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.c) Orang yang mengundang adalah muslim.d) Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang yang mengundang, tidak bagi yang diundang.e) Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.f) Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.g) Tamu adalah anugerah karena tamu membawa berkah tersendiri, sehingga dalam islam ditegaskan melalui Al-Quran maupun Al-Hadist secara panjang lebar, entah tamu tersebut bertujuan baik maupun jelek, maka menurut hemat kami hormatilah semua tamu yang datang kerumahmu, karena itu, kita harus selalu Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu tersebut untuk memberikan makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah taala berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim alaihis salam bersama tamu-tamunya yang diterangkan dalam Al-Quran: Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-pen) sambil berkata: Tidakkah kalian makan? (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27), maka posisi tamu disini sangat penting untuk diperhatikan, di hormati dan di layani sebaik-baik mungkin.h) Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Beliau bersabda,Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal. (HR. Bukhari-Muslim)i) Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.2.2 Tata cara bertamu dan menerima tamu 1. Adab bertamua. Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama muslim.b. Ucapkanlah salam kepada orang yang ditamuic. Tersenyumlah, karena tersenyum adalah ibadahd. Jagalah tingkah laku dan gunakan akhlak yang terpujie. Berbuatlah yang tidak bertentangan dengan syariatf. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah menghendaki tinggal bersama mereka.2. Adab menerima tamua. Berniatlah menerima tamu Allahb. Jawablah salam orang yang bertamu tersebutc. Hormatilah semampunya dan jangan berlebih-lebihand. Ajaklah bicara dengan sopan dan santune. Persilahkan pulang atau menginapf. Mengantarkan pulang sampai pintu pagarDari pemaparan diatas bahwa Tamu adalah raja maka hormatilah tamu tersebut dengan sekuat tenagamu, dan menghormati tamu itu hukumnya wajib.3. Pendapat Para UlamaBertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang shalih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : Hadits ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.Berkata Imam Qutaibah, bila Imam Malik keluar menyambut tamunya beliau berpakaian indah, memakai sifat mata, wewangian dan membagi bagikan kipas kepada masing masing tamunya, ia adalah Imam yang sangat berwibawa, majelis dirumahnya selalu hening dan tak ada suara keras dan tak pula ada yang berani mengeraskan suaranya, ruangan beliau dipenuhi kesejukan dan ketenangan, dan beliau dimakamkan di kuburan Baqi

2.3 Bercermin Kepada Nabi Ibrahim Dalam Menjamu TamuSaling berkunjung sesama kerabat, teman maupun sejawat merupakan kebiasaan yang tak bisa dihindari. Keinginan berkunjung dan dikunjungi selalu ada harapan. Demikianlah, suatu saat kita akan kedatangan tamu, baik diundang maupun tidak. Bahkan pada momen-momen tertentu, kedatangan tamu sangat gencar.Islam mengajarkan bagi siapa saja yang menjadi tuan rumah, supaya menghormati tamu. Penghormatan itu tidak sebatas pada tutur kata yang halus untuk menyambutnya, akan tetapi, juga dengan perbuatan yang menyenangkan. Misalnya dengan memberikan jamuan, meski hanya sekedarnya. Sikap memuliakan tamu, bukan hanya mencerminkan kemuliaan hati tuan rumah kepada tamu-tamunya. Memuliakan tamu, juga menjadi salah satu tanda tingkat keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Dengan jamuan yang disuguhkan, ia berharap pahala dan balasan dari Allah pada hari Kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya" [HR al-Bukhri dan Muslim]Imam Ahmad rahimahullah dan sejumlah ulama lainnya, seperti dikutip oleh Ibnu Katsr rahimahullah, berpendapat wajibnya memberikan dhiyaafah (jamuan) kepada orang yang singgah (tamu). Hal ini berdasarkan ayat di atas dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Lihat Tafsir Ibni Katsr, 7/420].Saking besarnya hak tamu, ada tarhb bagi orang yang tidak mengindahkan tamunya. kata Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak menjamu tamu". [HR Ahmad. Lihat ash-Shahhah, no. 2434].

Menjamu Tamu, Merupakan Sunnah Nabi Ibrahim Memberi jamuan kepada tamu, merupakan kebiasaan sudah berkembang sejak lama, sebelum risalah Nabi Muhammad n diturunkan. Yang pertama kali melakukan perbuatan yang mulia ini, ialah Nabi Ibrhiim Khallur Rahmn Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:

"Orang yang pertama kali memberi suguhan kepada tamu adalah Ibrhm. [Lihat ash-Shahhah, 725].

Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan, "Sesungguhnya memberi jamuan kepada tamu (dhiyfah) termasuk sunnah (tradisi) Nabi Ibrhm yang Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan umatnya untuk mengikuti millah (ajaran) beliau. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menceritakan kisah ini (surat adz-Dzriyt, Pen.) sebagai pujian dan sanjungan bagi beliau". [1]

Memang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan umatnya, dititahkan untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrhm Alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrhm seorang yang hanif," dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [an-Nahl/16:123].

Berikut ini, pemaparan singkat yang dilakukan oleh Nabi Ibraahim Alaihissalam saat memuliakan para tamunya. Imam Ibnu Katsiir rahimahullah secara khusus mengatakan: "Ayat-ayat ini mengatur tata-cara menjamu tamu", dan mari kita perhatikan satu-persatu.

1. Menjawab ucapan salam dari tamu dengan jawaban yang lebih sempurna.

2. Nabi Ibrhm Alaihissalam tidak bertanya terlebih dahulu: "Apakah kalian mau hidangan dari kami?"

3. Nabi Ibrhm Alaihissalam bersegera menyuguhkan makanan kepada tamu. Dikatakan oleh Syaikh as-Sa'di bahwa sebaik-baik kebajikan ialah yang disegerakan. Karena itu, Nabi Ibrhm Alaihissalam cepat-cepat menyuguhkan jamuan kepada para tamunya.

4. Menyuguhkan makanan terbaik yang beliau miliki, Yakni, daging anak sapi yang gemuk dan dibakar. Pada mulanya, daging tersebut tidak diperuntukkan untuk tamu. Akan tetapi, ketika ada tamu yang datang, maka apa yang sudah ada, beliau hidangkan kepada para tamu. Meski demikian, hal ini tidak mengurangi penghormatan Nabi Ibrhm Alaihissallam kepada tamu-tamunya.

5. Menyediakan stok bahan di dalam rumah, sehingga beliau Alaihissallam tidak perlu membeli di pasar atau di tetangga.

6. Nabi Ibrhm Alahissallam mendekatkan jamuan kepada para tamu dengan meletakkan jamuan makanan di hadapan mereka. Tidak menaruhnya di tempat yang berjarak dan terpisah dari tamu, hingga harus meminta para tamunya untuk mendekati tempat tersebut, dengan memanggil, -misalnya- "kemarilah, wahai para tamu". Cara ini untuk lebih meringankan para tamu.

7. Nabi Ibrhm Alaihissallam melayani tamu-tamunya sendiri. Tidak meminta bantuan orang lain, apalagi meminta tamu untuk membantunya, karena meminta bantuan kepada tamu termasuk perbuatan yang tidak etis.

8. Bertutur kata sopan dan lembut kepada tamu, terutama tatkala menyuguhkan jamuan. Dalam hal ini, Nabi Ibrhm Alaihissallam menawarkannya dengan lembut: "Sudikah kalian menikmati makanan kami (silahkan kamu makan)?" Beliau Alaihissalam tidak menggunakan nada perintah, seperti: "Ayo, makan". Oleh karena itu, sebagai tuan rumah, seseorang harus memilih tutur kata simpatik lagi lembut, sesuai dengan situasinya.

Intinya, tuan rumah seharusnya memuliakan tamu, yaitu dengan memberikan perlakuan yang baik kepada tamunya. Allah menceritakan perihal mereka di rumah Nabi Ibrhm Alaihissalam dengan sifat mukramn (memperoleh kemuliaan).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrhm (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaman," Ibrhm menjawab: "Salamun" (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka, dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar), lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrhm berkata: "Silahkan kamu makan". [adz-Dzriyt/51:24-27].

Demikianlah yang diajarkan oleh Nabiyyullah Ibrhm Alaihissalam kepada umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Alaihissalam pantas menjadi teladan bagi umat manusia. Allah memuji dalam firman-Nya:

"Sesungguhnya Ibrhm adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Rabb), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar ternasuk orang-orang yang shalih". [an-Nahl/16:120-122]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrhm Alaihissalam :

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrhm seorang yang hanif," dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb". [an-Nahl/16:123].

Tidak Memaksakan Diri Dalam Memberi Jamuan Kepada TamuMenjadi tuan rumah, memang seharusnya memberikan istimewa pelayanan kepada tamunya. Tetapi, jamuan yang disuguhkan kepada tamu, tidak sepantasnya dilakukan di luar batas kemampuannya. Sehingga sebagai tuan rumah tidak merasa berat atau memaksakan diri. Hingga mengusahakan ragam hidangan yang mungkin saja anggota keluarga belum pernah menikmatinya. Atau menikmatinya hanya saat momen-momen tertentu saja dan tidak sering.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang seseorang melakukan perbuatan yang dapat merepotkan diri sendiri. Melalui pemberitaan dari salah seorang sahabat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melarang takalluf dalam masalah ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Janganlah seseorang memaksakan diri (untuk melayani) tamunya dengan sesuatu yang tidak ia sanggupi". [Riwayat Abu Nu'aim, al Khathiib dan ad-Dailami. Lihat juga ash-Shahhah, no. 2440)]

Pengertian takalluf sederhananya mengandung unsur pemaksaan diri dan pengusahaan di luar batas kemampuan. Imam al-Hkim meriwayatkan dari A'masy dari Syaqq, ia berkata: Saya dan temanku mendatangi Salmn Radhiyallahu 'anhu. Kemudian ia menyuguhkan roti dan garam kepada kami sembari berkata :

"Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melarang kami untuk berbuat takalluf, niscaya saya akan mengusahakannya".

Dikatakan oleh Syaikh al-Albni rahimahullah, bahwasanya hadits-hadits di atas dikuatkan oleh makna umum hadits di bawah ini:

Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Kami pernah bersama 'Umar Radhiyallahu 'anhu , ia berkata: "Kami dilarang dari perbuatan yang memaksakan diri". [HR al-Bukhri, no. 6749].[3]

Awas Kedustaan Dalam PenyambutanDalam point ini, perlu kiranya disampaikan sebuah tanbh (catatan) bagi para tuan rumah yang sedang menjamu tamu-tamunya. Terutama kaum ibu. Karena terkadang, muncul gejala kedustaan saat menjamu tamu.

Misalnya, manakala tamu menyaksikan berbagai menu dan makanan tersaji di meja, kemudian sang tamu berkomentar misalnya- "wah repot amat nih," maka tuan rumah meresponnya dengan berkata: "wah tak repot," padahal, tuan rumah benar-benar mengalami kerepotan dalam mempersiapkan sajian tersebut, bahkan sampai harus pergi ke pasar membeli bahan-bahan makanan, kalang-kabut dalam mempersiapkannya, dan lain-lain.

Atau ketika menyaksikan tamu bergegas mohon pamit padahal belum lama duduk, tuan rumah (ada yang) berkata: "Wah, belum dibuatkan minuman, kok sudah mau pulang?" Perkataan atau ungkapan sejenis ini, jika hanya sebatas buah bibir saja, maka perkataan tersebut sudah termasuk dalam kategori berbuat dusta.

Memang betul, tidak semua tuan rumah melakukan sebagaimana perbuatan ini. Namun, lantaran berkembangnya gejala basa-basi di sebagian daerah, permasalahan ini perlu untuk diperhatikan. Wallahu a'lam. (Abu Minhal)

Footnote[1]. At-Taisr, 889. [2]. Dinukil dari Tafsr Ibnu Katsr (7/421), dan lihat juga Tafsr as-Sa'di, hlm. 889-890.[3]. Ash Shahhah 5/570 pada pembahasan an nahyu 'an at-takalluf lidh-dhaif (larangan berbuat memaksakan diri untuk tamu).3