9
Analogi dalam Hukum Pidana By admin | Published May 19, 2011 BAB I PENDAHULUAN Adapun asas legalitas pada hukum pidana positif baru dikenal oleh hukum positif sesudah Revolusi Perancis tahun 1978. sebelumnya hakim-hakim mempunyai kekuasaan besar. Mereka dapat menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah meskipun undang-undang tidak melarangnya, sehingga kekuasaan yang semena-mena dan mutlak ini menjadi salah satu faktor pecahnya r evolusi. Sesudah revolusi, asas legalitas diterapkan pada hukum Perancis. Asas ini kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Pada umumnya asas legalitas yang diterapkan pada hukum Perancis ini teliti sekali, yaitu tiap-tiap perbuatan pidana memil iki undang-und ang dan telah ditentukan hukumnya. Kekuasaan hakim tidak lebih dari berkuasa memberikan ampunan atau mengurangi hukuman, kekuasaannya hanya terbatas pada pelaksanaan hukuman. Penguasa  perundang-undanganlah yang berkuasa, mereka mengambil sistem batas tertinggi dan terendah pada tiap-tiap hukuman yang boleh dipilih oleh hakim atau dijatuhkan keduanya.  Namun, karena pengalaman dan kebutuhan masyarakat, cara penerapan asas legalitas itu menjadi berkembang, yaitu memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menghentikan  pelaksanaan hukuman (hukuman janggelan). Penguasa eksekutif juga diberi kekuasaan untuk memberi ampunan, mengurangi, dan membebaskan si terhukum dengan syarat-syarat tertentu. Asas legalitas masih dijunjung tinggi, tetapi perluasan dalam cara menjatuhkan hukuman yang sesuai tetap diperbolehk an, lalu penerapan asas legalitas menjadi lunak. Sejak permulaan abad ke-20 M. asas legalitas mulai dikritik oleh para sarjana, dengan alasan  bahwa asas tersebut tidak mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bahwa dapat mengorbankan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalamnya tidak mampu menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengganggu ketertiban masyarakat, karena orang- orang yang melanggar hukum, mempunyai macam-macam cara untuk menghindari dari ketentuan hukuman. Untuk itu, perlu dibuat undang-undang baru untuk melindungi masyarakat dari kejahatannya. Kritik terhadap asas legalitas ini mempunyai pengaruh yang cukup besar sehingga sistem hukum pidana Jerman sejak tahun 1935 memberi kekuasaan kepada hakim untuk menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah jika perbuatan itu merugikan masyarakat Jerman. Sejak tahun 1926 sistem hukum pidana Rusia tidak lagi memakai asas legalitas, sedangkan sistem hukum pidana Denmark membolehkan hakim untuk menj atuhkan hukuman terhadap satu perbuatan yang dipersamakan dengan pe rbuatan yang dilarang. Dan suatu sistem hukum pidana Inggris memakai cara yang mirip dengan sistem ta¶zir dalam masyarakat Islam, yaitu tidak terikat kuat oleh asas legalitas. ³(Marsum, 19 79: 5). Pada akhirnya para sarjana hukum positif memandang bahwa dalam menentukan macam  jarimah, tidak perlu menyebutkan tiap-tiap jarimah secara terperinci, tetapi cukup dengan menyebutkan penentuan secara umum terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang sehingga

Analogi Dalam Hukum Pidana

Embed Size (px)

Citation preview

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 1/9

 

Analogi dalam Hukum Pidana

By admin | Published May 19, 2011

BAB I

PENDAHULUAN

Adapun asas legalitas pada hukum pidana positif baru dikenal oleh hukum positif sesudahRevolusi Perancis tahun 1978. sebelumnya hakim-hakim mempunyai kekuasaan besar.

Mereka dapat menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah meskipun undang-undang tidak melarangnya, sehingga kekuasaan yang semena-mena dan mutlak ini menjadi salah satu

faktor pecahnya revolusi.

Sesudah revolusi, asas legalitas diterapkan pada hukum Perancis. Asas ini kemudian diikutioleh negara-negara lain. Pada umumnya asas legalitas yang diterapkan pada hukum Perancis

ini teliti sekali, yaitu tiap-tiap perbuatan pidana memiliki undang-undang dan telahditentukan hukumnya. Kekuasaan hakim tidak lebih dari berkuasa memberikan ampunan atau

mengurangi hukuman, kekuasaannya hanya terbatas pada pelaksanaan hukuman. Penguasa

  perundang-undanganlah yang berkuasa, mereka mengambil sistem batas tertinggi dan

terendah pada tiap-tiap hukuman yang boleh dipilih oleh hakim atau dijatuhkan keduanya.

  Namun, karena pengalaman dan kebutuhan masyarakat, cara penerapan asas legalitas itu

menjadi berkembang, yaitu memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menghentikan

 pelaksanaan hukuman (hukuman janggelan). Penguasa eksekutif juga diberi kekuasaan untuk 

memberi ampunan, mengurangi, dan membebaskan si terhukum dengan syarat-syarat

tertentu. Asas legalitas masih dijunjung tinggi, tetapi perluasan dalam cara menjatuhkan

hukuman yang sesuai tetap diperbolehkan, lalu penerapan asas legalitas menjadi lunak.

Sejak permulaan abad ke-20 M. asas legalitas mulai dikritik oleh para sarjana, dengan alasan  bahwa asas tersebut tidak mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bahwa

dapat mengorbankan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalamnya tidak mampu

menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengganggu ketertiban masyarakat, karena orang-

orang yang melanggar hukum, mempunyai macam-macam cara untuk menghindari dari

ketentuan hukuman. Untuk itu, perlu dibuat undang-undang baru untuk melindungi

masyarakat dari kejahatannya.

Kritik terhadap asas legalitas ini mempunyai pengaruh yang cukup besar sehingga sistem

hukum pidana Jerman sejak tahun 1935 memberi kekuasaan kepada hakim untuk 

menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah jika perbuatan itu merugikan masyarakat

Jerman. Sejak tahun 1926 sistem hukum pidana Rusia tidak lagi memakai asas legalitas,

sedangkan sistem hukum pidana Denmark membolehkan hakim untuk menjatuhkan hukumanterhadap satu perbuatan yang dipersamakan dengan perbuatan yang dilarang. Dan suatusistem hukum pidana Inggris memakai cara yang mirip dengan sistem ta¶zir dalam

masyarakat Islam, yaitu tidak terikat kuat oleh asas legalitas. ³(Marsum, 1979: 5).

Pada akhirnya para sarjana hukum positif memandang bahwa dalam menentukan macam

  jarimah, tidak perlu menyebutkan tiap-tiap jarimah secara terperinci, tetapi cukup dengan

menyebutkan penentuan secara umum terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang sehingga

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 2/9

 

satu ketentuan dapat mencakup lebih dari satu jarimah dan si pelaku tidak dapat lepas dariketentuan yang bersifat elastis.

Dalam menentukan hukumnya, cukup dengan menyebutkan hukuman tertinggi sehingga

hakim mempunyai kekuasaan luas dalam menjatuhkan hukuman. Negara Indonesia juga

mengikuti asas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi:

³Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

 perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.  ́

Dalam hukum pidana Islam, ada tiga cara dalam menerapkan asas legalitas, yaitu:

1.  Pada jarimah-jarimah yang gawat dan yang sangat mempengaruhi keamanan dan

ketentraman masyarakat, yaitu jarimah-jarimah hudud dan qiyas diyat, asas legalitasdilaksanakan dengan teliti sekali, sehingga tiap-tiap jarimah hukumannya

dicantumkan satu per satu.2.  Pada jarimah-jarimah yang tidak begitu berbahaya, yaitu jarimah-jarimah ta¶zir pada

umumnya, syara¶¶ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi

hukuman, dan untuk hukuman jarima-jarimah tersebut, syara¶ hanya menyediakan

sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu hukuman yang sesuai bagi

 peristiwa pidana yang dihadapi.

3.  Pada jarimah-jarimah ta¶zir yang diancamkan hukuman untuk kemaslahatan umum,

syara¶ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan

macamnya jarimah, karena syari¶ah hanya membuat suatu nash (ketentuan) umum

yang dapat mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan

ketentraman masyarakat. (Ahmad Hanafi, 1986: 77-78)

Adapun pada hukum pidana positif, cara penerapan asas legalitas untuk semua jarimah adalah

sama, yaitu suatu hal yang menyebabkan timbulnya kritikan-kritikan terhadapnya. Pada

mulanya hukum pidana positif memakai cara pertama (dalam hukum pidana Islam) untuk semua perbuatan pidana, namun hal ini menyebabkan para juri atau hakim tidak mau

menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan yang tidak gawat setelah mereka mengingataturan-aturan pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan

demikian, hukum pidana positif mengambil cara yang kedua (dalam hukum pidana Islam),yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam

menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum.

Dalam sistem hukum pidana positif, seperti di Jerman dan Denmark, mereka mengambil juga

cara yang ketiga (dalam hukum pidana Islam) untuk beberapa perbuatan pidana tertentu.

Dari ketentuan di atas mengenai asas legalitas, yang ditinjau dari kedua hukum tersebut, yaitu

hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, terdapat persamaan dalam memegang prinsip,yaitu tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalamnash (undang-undang).

Perbedaannya dari segi hukuman adalah pada dasarnya hukum pidana Islam menentukan

  jenis hukuman secara jelas ± dalam hal ini ± hakim tidak mungkin untuk menciptakan

hukuman dari dirinya sendiri sebaliknya, pada hukum pidana positif, tiap perbuatan pidana

disediakan satu atau dua macam hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 3/9

 

terendah sehingga hakim dapat menjatuhkan dua hukuman atau satu hukuman yang terletak antar kedua batas tersebut.

Dari segi penerapannya, asas legalitas pada hukum pidana Islam telah diterapkan sejak Al-

Qur¶an diturunkan, sedangkan asas legalitas pada hukum pidana positif diterapkan pada ke-

18 yaitu sesudah Revolusi Perancis.

BAB II

PEMBAHASAN 

Analogi dalam Hukum Pidana

Yang dimaksud dengan penafsiran analogi ialah memperluas cakupan atau pengertian dari

ketentuan undang-undang. Analogi sangat erat hubungannya dengan penguraian pasa 1

KUHP. Dari ketentuan pasal 1 KUHP disimpulkan bahwa salah satu asas yang terkandung di

dalamnya adalah: ³Dilarang menggunakan analogi´. Persoalannya sekarang adalah apakah

 perbedaan antara penafsiran memperluas (extensive) dan penggunaan analogi? Bahkan, dapat

  juga dipersoalkan perbedaannya dengan metode penafsiran secara teologis dan sosiologis.

Terutama dua cara tersebut yang secara sepintas dapat diartikan sama-sama memperluas

 pengertian atau ketentyan undang-undang. Persoalan ini tambah ruwet lagi dengan timbulnyateori Paul Van Scholten yang mengemukakan ³penemuan hukum´ (rechts vinding) yang

dilakukan oleh para hakim (E. Y. Kanter, 1982: 68).

Asas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakananalogi (qiyas) yang pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara. Di Indonesia

dan negara Belanda pada umumnya masih mengakui prinsip ini ada juga beberapa sarjana

yang tidak dapat menyetujui, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers.

Prof. Scholten menolak adanya perbedaan analogi dan tafsiran extensief yang nyata-nyata

dibolehkan. Menurutnya ³Baik dalam hal tafsiran extensif maupun analogi, dasarnya adalah

sama, yaitu mencoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau

lebih abstrak) dari norma-norma yang ada, dan dari ini lalu diredusir menjadi aturan yang

 baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada)

Contoh dari tafsiran extensief ialah putusan HIR negeri Belanda tahun 1921, yangmenyebutkan bahwa pengertian goed (benda, barang) dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang

 pencurian), juga meliputi penggunaan daya listrik secara tidak sah itu sehingga dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut

Scholten menyatakan bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara tafsiran extensief dan

analogi, melainkan hanya soal gradasi saja, dan hal itu disetujui oleh Prof. van Hattum. Akan

tetapi, ia menolak tafsiran extensief ataupun analogi. Contoh bahwa HIR melepaskan

  pandangan hidup dunia yang metarialistis, di situ hanya didapati peralihan makna dari

 perkataan ³goed´

Menurut Prof Moeljatmo, S.H. dalam bukunya asas-asas hukum pidana, 1978, hlm. 18, daya  pencurian dan daya listrik dianggap sebagai goed karena tafsiran extensief ataupun karena

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 4/9

 

 peralihan makna perkataan goed itu hanya berlainan kata-kata saja. yang jelas ialah bahwagoed pada waktu W.V.S 1880 dibentuk, bermakna sebagai barang yang berwujud saja,

sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud.

Prof. Moeljatmo, S.H. tidak menyangkal bahwa tafsiran extensief itu sama sifatnya dengan

analogi, dan perbedaannya hanya soal gradasi saja. Namun, ada juga batas-batasnya yang

  jelas, manakah yang masih dapat dinamakan interpresti dan manakah yang meningkatmenjadi analogi sehingga diperbolehkan. Jadi, can Hattum dan Prof. Moeljatmo, S.H. sama-

sama menolak analogi, sedangkan perbedaannya adalah van Hattum tidak mengakui adanya

tafsiran extensief, sedangkan Prof. Moeljatmo, S.H. mengakui adanya tafsiran extensief.

Walaupun demikian, perbedaannya dengan analogi adalah jelas.

Batas ini menurut Prof Moeljatmo, S.H. dapat diketahui dari ucapan H.R. negeri Belanda,

dalam arrest-nya tahun 1934 (ada dikutip dalam buku Prof. Pompe: Handboek vh Ned,

Staprecht, 30 druk page 51). Menurutnya ³Suatu perkataan atau pengertian dalam wet

sepanjang perjalanan masa dapat berubah makna isinya sehingga berpegang pada tujuan

umum (algemene streking ). Wet  itu dapat dimasukkan pula dalam perkataan tadi yang

sebelumnya tidak masuk di situ sehingga hakim dapat memberikan sepenuh-penuhnya

dengan mengikuti pandangan hidup dalam masyarakat perihal patut atau tidak patutnya hal-hal tertentu´

Putusan tersebut mengenai pasal 286 KUHP yaitu bagi orang yang mengadakan hubungan

kelamin dengan wanita yang sedang pingsan atau tak berdaya; ia akan diancam dengan

hukuman penjara maksimal 3 tahun. Bila seseorang mengadakan hubungan kelamin dengan

wanita miring otaknya (idiot), apakah perbuatannya itu dapat dimasukkan dalam pasal

tersebut? H.R. menentukan bahwa pada pasal 286 dibentuk, jelaslah bahwa keadaan tak 

  berdaya itu menunjukkan pada jasmani yang tak berdaya (  physieke onmatcht ). Namun

demikian, makna onmatcht itu sepanjang perjalanan masa mungkin berubah. Kalau demikian

halnya, hakim harus mengikuti perubahan sehingga ia dapat memberi putusan yang tepat,

yaitu putusan yang up to date. Perubahan makna itu menurut alasan-alasan yang tidak perludisebut di sini, dalam pandangan H.R. tidak menunjukkan istilah tak berdaya sehingga

terdakwa tidak dapat dikenai pasal 286 tersebut dan ia harus dibebaskan

Pendapat Prof Moeljatmo, S.H. mengenai batas antara tafsiran yang extensief dan analogidapat ditentukan sebagai berikut:

³Dalam tafsiran extensief, kita berpegang pada aturan yang ada. Di situ ada perkataan yang

kita beri arti menurut makna yang hidup dari dalam masyarakat sekarang, dan bukan menurutmaknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Jika dibandingkan dengan makna ketika

aturan itu dibuat, makna yang pertama adalah lebih luas. Sungguhpun demikian, makna yang

lebih luas out pun secara objektif bersandar pada pandangan masyarakat mengenai perkataan

itu. Dalam menggunakan analog, pangkal pendirian kita ialah bahwa perbuatan yang menjadisoal itu tidak dapat dimasukkan dalam aturan yang ada. Namun demikian, perbuatan itumenurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula karena termasuk inti

dari aturan yang ada yang mirip dengan perbuatan itu. karena termasuk dalam inti aturanyang ada mirip dengan perbuatan itu. Karena termasuk dalam inti aturan yang ada, perbuatan

tadi dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi. Jadi, jika menggunakananalogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan tertentu bukan

lagi aturan yang ada, tetapi ratio, maksud, dan inti dari aturan yang ada´.

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 5/9

 

Jika dipandang demikian, meskipun dapat dikatakan bahwa tafsiran extensief dan analogi itu  pada hakikatnya sama dan hanya ada perbedaan gradual saja, bila dipandang dari sudut

  psikologi bagi orang yang menggunakannya, ada perbedaan besar di antara keduanya. Yang  pertama masih tetap berpegang pada bunyi aturan dan menuruti semua kata-katanya, pada

waktu terjadinya undang-undang dan pada waktu penggunaannya. Karena itu masih

dinamakan interprestasi, dan seperti halnya cara interprestasi yang lain, selalu memerlukan

 penggunaan undang-undang. Adapun yang kedua tidak lagi berpegang pada aturan yang ada,melainkan pada inti ratio darinya. Karena itu, menurut Prof Moeljatmo, S.H. ini bertentangan

dengan asas legalitas sebab asas ini mengkhususkan adanya suatu aturan sebagai dasar.

Menurut Prof Dr. Wirdjono Prodjodikoro S.H. (1981: 42), perbedaan antara penafsiran secara

extensief dan analogi sebagai berikut, ³seseorang dikatakan masih ada di bidang penafsiran

apabila dari kata-katanya tidak terlihat peraturan hukum tetapi dalam suatu cara pikiran,

dapat disimpulkan bahwa suatu kejadian atau peristiwa tertentu dimaksudkan turut diatur 

dalam suatu peraturan hukum. Adapun analogi terjadi apabila dengan suatu cara penafsiran

disimpulkan bahwa suatu kejadian atau peristiwa tertentu tidak turut di atur dalam suatu

 peraturan hukum, namun tetap dianggap tercakup dalam peraturan itu.

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas mengenai analogi dalam hukum pidanaadalah dilarang menggunakan analogi dalam penerapan hukum pidana. Menggunakan analogi

dalam hukum pidana berarti menganggap ³sesuatu´ termasuk dalam pengertian dari suatuistilah/ketentuan undang-undang hukum pidana karena ³sesuatu´ itu banyak sekali

kemiripannya atau kesamaannnya di istilah/ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain,analogi terjadi bilamana menganggap bahwa suatu peraturan hukum tertentu juga meliputi

hal yang banyak kemiripannya/kesamaannya dengan yang telah diatur, yang pada mulanyatidak demikian. analogi biasanya terjadi pada hal-hal yang saat pembuatan suatu peraturan

hukum, tidak terpikirkan atau tidak mungkin dikenal oleh pembuat undang-undang pada

zaman itu.

Di dalam KUHP, kita kenal adanya asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu:

1.  Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang

2.  Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)3.  Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

Dikalangan para sarjana, terdapat perbedaan pandangan tentang boleh tidaknya

menggunakan analogi, misalnya dalam kasus di atas tentang pencurian listrik, putusan H.R.tahun 1921 dalam pasal 362, dan putusan HIR di negeri Belanda tahun 1892 yang

menggunakan kawat telepon dengan kawat telegraf. Dalam kasus ini, Prof Moeljatmo S.H.

tidak mengakui penggunaan analogi, melainkan penggunaan extensief, dan saya setuju

terhadap pendapat Prof Moeljatmo S.H. karena KHUP kita mengandung asas legalitassebagaimana telah disebutkan di atas dan juga atas dasar alasan kekhawatiran akan suatutindakan hakim pidana yang sewenang-wenang.

Van Hattum tidak mengakui penggunaan analogi, juga tidak mengakui penggunaan tafsiran

extensief.

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 6/9

 

Taverne berpendapat bahwa penggunaan analogi telah dilakukan oleh H.R. yang disetujui.Pompe mengatakan antara lain ³Pada umumnya analogi diperbolehkan dalam hal

 penyempurnaan undang-undang.´ (E. Y. Kanter, 1982: 78)

Wirjono Prodjodikoro, S.H. (1981: 43) mengemukakan pandangannya dengan menuliskan

antara lain, ³tetapi dapat juga dimengerti bahwa tidak selalu memuaskan apabila setiap

analogi dilarang. Adakalanya dirasakan benar-benar sebagai adil apabila dalam suatu haltertentu diperbolehkan menggunakan analogi ³selanjutnya dikatakan´ ukuran boleh atau

tidaknya suatu analogi adalah apakah analogi anconcreto tidak bertentangan dengan yang

sekadar dapat diketahui dari maksud dan tujuan pembentukan undang-undang dalam

merumuskan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersangkutan.´

E. Y. Kanter S.H. dan S. R. Sianturi, S.H. (1982: 78) dalam bukunya asas-asas hukum pidana

di Indonesia dan penerapannya, mengatakan, ³Jika diperhatikan benar-benar, analogi

merupakan penyelundupan terhadap asas kedua memulai asas pertama pasal 1 ayat 1 KUHP.

Artinya ³sesuatu hal´ dianggap termasuk dalam pengertian peraturan hukum (undang-

undang) yang sudah ada. Dengan demikian, suatu hal itu dianggap sebagai peraturan hukum,

yang mulai berlaku sejak berlakunya peraturan hukum yang diboncenginya. Anggapan ini

adalah suatu konstruksi hukum, yang dikehendaki oleh mereka yang memegang teguh asaslegalitas, untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan baru´.

Adapun negara lain yang menganut analogi dan menerimanya secara tegas dalam undang-

undang pidana, yaitu Rusia, Jerman, dan Denmark.

Mr. Drs. E Utrecht (1986: 218) berpendapat, ³menolak analogi apriori berarti secara diam-

diam menganut suatu aliran positivitas yang sempit sekali tidak dapat disesuaikan dengan

zaman sekarang´

Dengan demikian, persoalan diterima atau tidaknya analogi dalam hukum pidana itu harus

diselesaikan menurut pertimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat,mengingat diakui atau tidaknya asas legalitas dalam perkembangan hukum pidana yang

 berlaku sekarang maupun yang akan datang.

Batas-Batas Berlakunya Perundang-Undangan Hukum Pidana Menurut Tempat

Terjadinya Perbuatan Pidana

Walaupun undang-undang pidana tidak menentukan secara jelas dan tegas mengenai ³tempat

kejadian´ suatu perbuatan pidana dan ³waktu terjadinya´ jelaslah bahwa tempat dan waktu

adalah sangat penting sebagaimana tertera dalam pasal 121jo pal 143 ayat (2) huruf b, Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengharuskan menyebut tempat

tempat dan waktu pembuatan pidana dalam dakwaan dengan ancaman batal demi hukum.

Manfaat mengetahui tempat tindak pidana adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai

apakah suatu tindak pidana terjadi di wilayah Indonesia atau di luar Indonesia (pasal 2 s.d. 8

KUHP0, pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadili suatu perkara. Di dalam

 perumusan KUHP, kita lihat pada pasal 156, pasal 492, pasal 167, dan pasal 495.

Tempat suatu tindak pidana, yaitu tempat pelaku melakukan tindak pidana yang ketika itu

telah sempurna pula semua unsur dari tindak pidana tersebut. Akan tetapi, suatu tindakan dan

akibat tindak pidana tidak selalu bersamaan tempat terjadinya, misalny, X menembak Y di

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 7/9

 

Bandung, kemudian Y meninggal di Medan, di sinilah timbul persoalan mengenai tempatterjadi perbuatan pidana.

Cara-cara yang lazim digunakan untuk pemecahannya adalah mengikuti salah satu pola dari 4

macam ajaran sebagai berikut:

1) Ajaran tindak badaniah, untuk menentukan tempat kejadian, pusat perhatian adalahtempat pelaku melakukan suatu tindak pidana, dan unsur-unsur tindak pidana itu sudah

sempurna.

2) Ajaran tentang bekerjanya alat. Tempat kejadian adalah tempat bekerjanya alat yang

digunakan dalam suatu tindak pidana dan telah membuat sempurna (menimbulkan) suatutindak pidana.

3) Ajaran akibat dari tindakan. Tempat kejadian tindak pidana adalah tempat terjadinya

suatu akibat yang merupakan penyempurnaan dari tindak pidana yang telah terjadi

4) Ajaran berbagai tempat tindak pidana. Menurut ajaran ini tempa tindak pidana adalahgabungan dari ketiga-tiganya atau dua di antara ajaran-ajaran tersebut di atas.

Batas-Batas Berlakuya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu terjadinya

perbuatan pidana

Waktu perbuatan pidana selalu sesuai dengan tempat perbuatan pidana. Artinya, di mana dan

kapan unsur perbuatan pidana telah sempurna, maka pada saat kesempurnaan itulah waktu  perbuatan pidana. Dengan memakai dasar dan mengikuti ajaran-ajaran tempat perbuatan

  pidana yang telah disebutkan di atas maka dalam ketentuan waktu terjadinya perbuatan  pidana pun, kita mengikuti salah satu ajaran tersebut guna memanfaatkan pengetahuan

tentang waktu perbuatan pidana.

Manfaat pengetahuan tentang waktu perbuatan pidana, menurut E. Y. Kante, S.H. dan S.R.Sianturi S.H. (1982: 116) ditemukan dalam undang-undang hukum pidana, antara lain:

1) Peranan waktu dalam pasal 1 KUHP

2) Umur petindak ketika melakukan suatu tindak pidana

3) Bagi seseorang yang tidak terus menerus gila, apakah pada saat melakukan tindak pidana,ia dalam keadaan gila atau tidak 

4) Kekadaluarsaan dalam penuntutan.

5) Batas waktu pengaduan atau penarikan pengaduan suatu delik aduan

6) Pengulangan tindak pidana tertentu

7) Apakah telah terjadi ³tertangkap tangan´ atau tidak, dan sebagainya.

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 8/9

 

Mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana di Indonesia menuruttempat dan waktu terjadinya perbuatan pidana dapat kita lihat dalam pasal-pasal KUHP

sebagai berikut:

Pasal 2 sampai 9 KUHP mengatur batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum

 pidana menurut tempat terjadinya perbuatan:

Dipandang dari sudut negara mengenai tempat terjadinya perbuatan ada dua pendirian yaitu:

1) Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadidi dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara

asing. Ini dinamakan asas territorial

2) Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yangdilakukan oleh warga negara, di mana saja, juga dilakukan di luar wilayah negara, dan ini

dinamakan asas personal sering disebut prinsip nasional yang aktif.

Dalam asas pertama, pada pokoknya terletak pada terjadinya perbuatan di wilayah negara.Dalam hal ini, siapakah yang melakukannya. Siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang

oleh aturan hukum pidana, apakah itu warga negara atau orang-orang asing, tidak menjadi

soal. Adapun di dalam asas yang kedua, titik beratnya adalah pada orang yang melakukan

 perbuatan pidana, sedangkan tempat terjadinya delik tidak penting.

Prof. Moeljano, S.H. dalam bukunya asas-asas hukum pidana halaman 26 mengatakan ³asas

 pertamalah yang pada masa ini lazim dipakai oleh kebanyakan negara, termasuk Indonesia.sudah sewajarnya bila tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara harus tunduk 

 pada peraturan-peraturan negara tersebut. Adapun azas kedua tidak mungkin lagi digunakansepenuhnya apabila warga negara berada di dalam wilayah negara lain yang yang

kedudukannya gecoordineed, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan

kedaulatan negara ini bila ada orang asing di dalam berada di wilayah negara yanggesubordineerd, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan kedaulatan

negara ini bila orang asing di dalam wilayahnya tidak di adili menurut hukum negara itu.

hanya jika orang itu berada di wilayah negara yang gesubordineerd dengan negaranya sendiri.

Asas ini dapat digunakan. Sebagai contoh ialah sewaktu penduduk Jepang di sini (Indonesia).

orang-orang Jepang tidak tunduk pada perundang-undangan hukum pidana yang berlaku di

Indonesia, tetapi KUHP Jepang. Dahulu orang-orang Inggris atau Tiongkok sewaktu negeri

tersebut berada di bawah pengaruh negara-negara Barat, mereka mempunyai hak 

exterrioterial, artinya dipandang berada di luar territorial negara tempat mereka berdiam,

sehingga tidak harus mengikuti peraturan yang dikenakan oleh negara Barat.

Meskipun demikian, sekarang masih ada negara yang memakai azas personal ini, meskipun

hanya secara formal belaka, yaitu Jerman. Pasal 3 strafgestzbuch Jerman menentukan: hukum pidana Jerman berlaku bagi perbuatan tiap-tiap warga negara maupun di negara lain. Kadidengan tegas dipegang teguh, prinsip ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak mungkin.

Oleh karena itu, ayat 2 azas tadi perlu diperkecil ruang lingkupnya hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang tidak diancam pidana.

Dalam pasal 3 ayat 2 itu dinyatakan: perbuatan yang dilakukan di negeri lain, dengan

mengingat keadaan khusus di tempat itu tidak mencakup dalam unrecht yang dapat dipidana.

5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 9/9

 

Dengan kata lain, terhadap seorang pidana, dapat diberlakukan hukum pidana Perancis jika iadituntut oleh Pengadilan Perancis.

Akan tetapi, jika perbuatan itu menurut hukum pidana Perancis bukan perbuatan pidana,

sedangkan menurut hukum pidana Jerman adalah perbuatan pidana, maka jika orang Jerman

itu kembali ke Jerman, ia dapat dituntut karena perbuatan pidana yang dilakukan di Perancis

itu berlaku menurut hukum pidana Jerman.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, MA 1986.  A sas- A  sas Hukum Pidana Islam, Cetakan Ketiga, Jakarta: Bulan

Bintang.

Andi Hamzah, SH. DR. 1986. Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.

 _________. 1984.  Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. CetakanPertama, Ghalia Indonesia.

Bambang Poermono, SH. 1981.  A  sas-asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Ghalia

Indonesia.

Pipin Syarifin, SH. 2000. Hukum Pidana di Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: CV.

Pustaka Setia.