Upload
hary-juana
View
331
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 1/9
Analogi dalam Hukum Pidana
By admin | Published May 19, 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Adapun asas legalitas pada hukum pidana positif baru dikenal oleh hukum positif sesudahRevolusi Perancis tahun 1978. sebelumnya hakim-hakim mempunyai kekuasaan besar.
Mereka dapat menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah meskipun undang-undang tidak melarangnya, sehingga kekuasaan yang semena-mena dan mutlak ini menjadi salah satu
faktor pecahnya revolusi.
Sesudah revolusi, asas legalitas diterapkan pada hukum Perancis. Asas ini kemudian diikutioleh negara-negara lain. Pada umumnya asas legalitas yang diterapkan pada hukum Perancis
ini teliti sekali, yaitu tiap-tiap perbuatan pidana memiliki undang-undang dan telahditentukan hukumnya. Kekuasaan hakim tidak lebih dari berkuasa memberikan ampunan atau
mengurangi hukuman, kekuasaannya hanya terbatas pada pelaksanaan hukuman. Penguasa
perundang-undanganlah yang berkuasa, mereka mengambil sistem batas tertinggi dan
terendah pada tiap-tiap hukuman yang boleh dipilih oleh hakim atau dijatuhkan keduanya.
Namun, karena pengalaman dan kebutuhan masyarakat, cara penerapan asas legalitas itu
menjadi berkembang, yaitu memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menghentikan
pelaksanaan hukuman (hukuman janggelan). Penguasa eksekutif juga diberi kekuasaan untuk
memberi ampunan, mengurangi, dan membebaskan si terhukum dengan syarat-syarat
tertentu. Asas legalitas masih dijunjung tinggi, tetapi perluasan dalam cara menjatuhkan
hukuman yang sesuai tetap diperbolehkan, lalu penerapan asas legalitas menjadi lunak.
Sejak permulaan abad ke-20 M. asas legalitas mulai dikritik oleh para sarjana, dengan alasan bahwa asas tersebut tidak mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bahwa
dapat mengorbankan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal di dalamnya tidak mampu
menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengganggu ketertiban masyarakat, karena orang-
orang yang melanggar hukum, mempunyai macam-macam cara untuk menghindari dari
ketentuan hukuman. Untuk itu, perlu dibuat undang-undang baru untuk melindungi
masyarakat dari kejahatannya.
Kritik terhadap asas legalitas ini mempunyai pengaruh yang cukup besar sehingga sistem
hukum pidana Jerman sejak tahun 1935 memberi kekuasaan kepada hakim untuk
menganggap suatu perbuatan sebagai jarimah jika perbuatan itu merugikan masyarakat
Jerman. Sejak tahun 1926 sistem hukum pidana Rusia tidak lagi memakai asas legalitas,
sedangkan sistem hukum pidana Denmark membolehkan hakim untuk menjatuhkan hukumanterhadap satu perbuatan yang dipersamakan dengan perbuatan yang dilarang. Dan suatusistem hukum pidana Inggris memakai cara yang mirip dengan sistem ta¶zir dalam
masyarakat Islam, yaitu tidak terikat kuat oleh asas legalitas. ³(Marsum, 1979: 5).
Pada akhirnya para sarjana hukum positif memandang bahwa dalam menentukan macam
jarimah, tidak perlu menyebutkan tiap-tiap jarimah secara terperinci, tetapi cukup dengan
menyebutkan penentuan secara umum terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang sehingga
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 2/9
satu ketentuan dapat mencakup lebih dari satu jarimah dan si pelaku tidak dapat lepas dariketentuan yang bersifat elastis.
Dalam menentukan hukumnya, cukup dengan menyebutkan hukuman tertinggi sehingga
hakim mempunyai kekuasaan luas dalam menjatuhkan hukuman. Negara Indonesia juga
mengikuti asas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi:
³Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. ́
Dalam hukum pidana Islam, ada tiga cara dalam menerapkan asas legalitas, yaitu:
1. Pada jarimah-jarimah yang gawat dan yang sangat mempengaruhi keamanan dan
ketentraman masyarakat, yaitu jarimah-jarimah hudud dan qiyas diyat, asas legalitasdilaksanakan dengan teliti sekali, sehingga tiap-tiap jarimah hukumannya
dicantumkan satu per satu.2. Pada jarimah-jarimah yang tidak begitu berbahaya, yaitu jarimah-jarimah ta¶zir pada
umumnya, syara¶¶ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi
hukuman, dan untuk hukuman jarima-jarimah tersebut, syara¶ hanya menyediakan
sejumlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu hukuman yang sesuai bagi
peristiwa pidana yang dihadapi.
3. Pada jarimah-jarimah ta¶zir yang diancamkan hukuman untuk kemaslahatan umum,
syara¶ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan
macamnya jarimah, karena syari¶ah hanya membuat suatu nash (ketentuan) umum
yang dapat mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan
ketentraman masyarakat. (Ahmad Hanafi, 1986: 77-78)
Adapun pada hukum pidana positif, cara penerapan asas legalitas untuk semua jarimah adalah
sama, yaitu suatu hal yang menyebabkan timbulnya kritikan-kritikan terhadapnya. Pada
mulanya hukum pidana positif memakai cara pertama (dalam hukum pidana Islam) untuk semua perbuatan pidana, namun hal ini menyebabkan para juri atau hakim tidak mau
menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan yang tidak gawat setelah mereka mengingataturan-aturan pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan
demikian, hukum pidana positif mengambil cara yang kedua (dalam hukum pidana Islam),yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam
menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum.
Dalam sistem hukum pidana positif, seperti di Jerman dan Denmark, mereka mengambil juga
cara yang ketiga (dalam hukum pidana Islam) untuk beberapa perbuatan pidana tertentu.
Dari ketentuan di atas mengenai asas legalitas, yang ditinjau dari kedua hukum tersebut, yaitu
hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, terdapat persamaan dalam memegang prinsip,yaitu tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalamnash (undang-undang).
Perbedaannya dari segi hukuman adalah pada dasarnya hukum pidana Islam menentukan
jenis hukuman secara jelas ± dalam hal ini ± hakim tidak mungkin untuk menciptakan
hukuman dari dirinya sendiri sebaliknya, pada hukum pidana positif, tiap perbuatan pidana
disediakan satu atau dua macam hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 3/9
terendah sehingga hakim dapat menjatuhkan dua hukuman atau satu hukuman yang terletak antar kedua batas tersebut.
Dari segi penerapannya, asas legalitas pada hukum pidana Islam telah diterapkan sejak Al-
Qur¶an diturunkan, sedangkan asas legalitas pada hukum pidana positif diterapkan pada ke-
18 yaitu sesudah Revolusi Perancis.
BAB II
PEMBAHASAN
Analogi dalam Hukum Pidana
Yang dimaksud dengan penafsiran analogi ialah memperluas cakupan atau pengertian dari
ketentuan undang-undang. Analogi sangat erat hubungannya dengan penguraian pasa 1
KUHP. Dari ketentuan pasal 1 KUHP disimpulkan bahwa salah satu asas yang terkandung di
dalamnya adalah: ³Dilarang menggunakan analogi´. Persoalannya sekarang adalah apakah
perbedaan antara penafsiran memperluas (extensive) dan penggunaan analogi? Bahkan, dapat
juga dipersoalkan perbedaannya dengan metode penafsiran secara teologis dan sosiologis.
Terutama dua cara tersebut yang secara sepintas dapat diartikan sama-sama memperluas
pengertian atau ketentyan undang-undang. Persoalan ini tambah ruwet lagi dengan timbulnyateori Paul Van Scholten yang mengemukakan ³penemuan hukum´ (rechts vinding) yang
dilakukan oleh para hakim (E. Y. Kanter, 1982: 68).
Asas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakananalogi (qiyas) yang pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara. Di Indonesia
dan negara Belanda pada umumnya masih mengakui prinsip ini ada juga beberapa sarjana
yang tidak dapat menyetujui, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers.
Prof. Scholten menolak adanya perbedaan analogi dan tafsiran extensief yang nyata-nyata
dibolehkan. Menurutnya ³Baik dalam hal tafsiran extensif maupun analogi, dasarnya adalah
sama, yaitu mencoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau
lebih abstrak) dari norma-norma yang ada, dan dari ini lalu diredusir menjadi aturan yang
baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada)
Contoh dari tafsiran extensief ialah putusan HIR negeri Belanda tahun 1921, yangmenyebutkan bahwa pengertian goed (benda, barang) dalam pasal 362 KUHP (pasal tentang
pencurian), juga meliputi penggunaan daya listrik secara tidak sah itu sehingga dapat dikenai pasal 362 KUHP tersebut
Scholten menyatakan bahwa tidak ada perbedaan prinsipil antara tafsiran extensief dan
analogi, melainkan hanya soal gradasi saja, dan hal itu disetujui oleh Prof. van Hattum. Akan
tetapi, ia menolak tafsiran extensief ataupun analogi. Contoh bahwa HIR melepaskan
pandangan hidup dunia yang metarialistis, di situ hanya didapati peralihan makna dari
perkataan ³goed´
Menurut Prof Moeljatmo, S.H. dalam bukunya asas-asas hukum pidana, 1978, hlm. 18, daya pencurian dan daya listrik dianggap sebagai goed karena tafsiran extensief ataupun karena
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 4/9
peralihan makna perkataan goed itu hanya berlainan kata-kata saja. yang jelas ialah bahwagoed pada waktu W.V.S 1880 dibentuk, bermakna sebagai barang yang berwujud saja,
sedangkan maknanya pada masa sekarang juga meliputi barang yang tidak berwujud.
Prof. Moeljatmo, S.H. tidak menyangkal bahwa tafsiran extensief itu sama sifatnya dengan
analogi, dan perbedaannya hanya soal gradasi saja. Namun, ada juga batas-batasnya yang
jelas, manakah yang masih dapat dinamakan interpresti dan manakah yang meningkatmenjadi analogi sehingga diperbolehkan. Jadi, can Hattum dan Prof. Moeljatmo, S.H. sama-
sama menolak analogi, sedangkan perbedaannya adalah van Hattum tidak mengakui adanya
tafsiran extensief, sedangkan Prof. Moeljatmo, S.H. mengakui adanya tafsiran extensief.
Walaupun demikian, perbedaannya dengan analogi adalah jelas.
Batas ini menurut Prof Moeljatmo, S.H. dapat diketahui dari ucapan H.R. negeri Belanda,
dalam arrest-nya tahun 1934 (ada dikutip dalam buku Prof. Pompe: Handboek vh Ned,
Staprecht, 30 druk page 51). Menurutnya ³Suatu perkataan atau pengertian dalam wet
sepanjang perjalanan masa dapat berubah makna isinya sehingga berpegang pada tujuan
umum (algemene streking ). Wet itu dapat dimasukkan pula dalam perkataan tadi yang
sebelumnya tidak masuk di situ sehingga hakim dapat memberikan sepenuh-penuhnya
dengan mengikuti pandangan hidup dalam masyarakat perihal patut atau tidak patutnya hal-hal tertentu´
Putusan tersebut mengenai pasal 286 KUHP yaitu bagi orang yang mengadakan hubungan
kelamin dengan wanita yang sedang pingsan atau tak berdaya; ia akan diancam dengan
hukuman penjara maksimal 3 tahun. Bila seseorang mengadakan hubungan kelamin dengan
wanita miring otaknya (idiot), apakah perbuatannya itu dapat dimasukkan dalam pasal
tersebut? H.R. menentukan bahwa pada pasal 286 dibentuk, jelaslah bahwa keadaan tak
berdaya itu menunjukkan pada jasmani yang tak berdaya ( physieke onmatcht ). Namun
demikian, makna onmatcht itu sepanjang perjalanan masa mungkin berubah. Kalau demikian
halnya, hakim harus mengikuti perubahan sehingga ia dapat memberi putusan yang tepat,
yaitu putusan yang up to date. Perubahan makna itu menurut alasan-alasan yang tidak perludisebut di sini, dalam pandangan H.R. tidak menunjukkan istilah tak berdaya sehingga
terdakwa tidak dapat dikenai pasal 286 tersebut dan ia harus dibebaskan
Pendapat Prof Moeljatmo, S.H. mengenai batas antara tafsiran yang extensief dan analogidapat ditentukan sebagai berikut:
³Dalam tafsiran extensief, kita berpegang pada aturan yang ada. Di situ ada perkataan yang
kita beri arti menurut makna yang hidup dari dalam masyarakat sekarang, dan bukan menurutmaknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Jika dibandingkan dengan makna ketika
aturan itu dibuat, makna yang pertama adalah lebih luas. Sungguhpun demikian, makna yang
lebih luas out pun secara objektif bersandar pada pandangan masyarakat mengenai perkataan
itu. Dalam menggunakan analog, pangkal pendirian kita ialah bahwa perbuatan yang menjadisoal itu tidak dapat dimasukkan dalam aturan yang ada. Namun demikian, perbuatan itumenurut pandangan hakim seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula karena termasuk inti
dari aturan yang ada yang mirip dengan perbuatan itu. karena termasuk dalam inti aturanyang ada mirip dengan perbuatan itu. Karena termasuk dalam inti aturan yang ada, perbuatan
tadi dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi. Jadi, jika menggunakananalogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada suatu perbuatan tertentu bukan
lagi aturan yang ada, tetapi ratio, maksud, dan inti dari aturan yang ada´.
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 5/9
Jika dipandang demikian, meskipun dapat dikatakan bahwa tafsiran extensief dan analogi itu pada hakikatnya sama dan hanya ada perbedaan gradual saja, bila dipandang dari sudut
psikologi bagi orang yang menggunakannya, ada perbedaan besar di antara keduanya. Yang pertama masih tetap berpegang pada bunyi aturan dan menuruti semua kata-katanya, pada
waktu terjadinya undang-undang dan pada waktu penggunaannya. Karena itu masih
dinamakan interprestasi, dan seperti halnya cara interprestasi yang lain, selalu memerlukan
penggunaan undang-undang. Adapun yang kedua tidak lagi berpegang pada aturan yang ada,melainkan pada inti ratio darinya. Karena itu, menurut Prof Moeljatmo, S.H. ini bertentangan
dengan asas legalitas sebab asas ini mengkhususkan adanya suatu aturan sebagai dasar.
Menurut Prof Dr. Wirdjono Prodjodikoro S.H. (1981: 42), perbedaan antara penafsiran secara
extensief dan analogi sebagai berikut, ³seseorang dikatakan masih ada di bidang penafsiran
apabila dari kata-katanya tidak terlihat peraturan hukum tetapi dalam suatu cara pikiran,
dapat disimpulkan bahwa suatu kejadian atau peristiwa tertentu dimaksudkan turut diatur
dalam suatu peraturan hukum. Adapun analogi terjadi apabila dengan suatu cara penafsiran
disimpulkan bahwa suatu kejadian atau peristiwa tertentu tidak turut di atur dalam suatu
peraturan hukum, namun tetap dianggap tercakup dalam peraturan itu.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas mengenai analogi dalam hukum pidanaadalah dilarang menggunakan analogi dalam penerapan hukum pidana. Menggunakan analogi
dalam hukum pidana berarti menganggap ³sesuatu´ termasuk dalam pengertian dari suatuistilah/ketentuan undang-undang hukum pidana karena ³sesuatu´ itu banyak sekali
kemiripannya atau kesamaannnya di istilah/ketentuan tersebut. Dengan perkataan lain,analogi terjadi bilamana menganggap bahwa suatu peraturan hukum tertentu juga meliputi
hal yang banyak kemiripannya/kesamaannya dengan yang telah diatur, yang pada mulanyatidak demikian. analogi biasanya terjadi pada hal-hal yang saat pembuatan suatu peraturan
hukum, tidak terpikirkan atau tidak mungkin dikenal oleh pembuat undang-undang pada
zaman itu.
Di dalam KUHP, kita kenal adanya asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas)3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Dikalangan para sarjana, terdapat perbedaan pandangan tentang boleh tidaknya
menggunakan analogi, misalnya dalam kasus di atas tentang pencurian listrik, putusan H.R.tahun 1921 dalam pasal 362, dan putusan HIR di negeri Belanda tahun 1892 yang
menggunakan kawat telepon dengan kawat telegraf. Dalam kasus ini, Prof Moeljatmo S.H.
tidak mengakui penggunaan analogi, melainkan penggunaan extensief, dan saya setuju
terhadap pendapat Prof Moeljatmo S.H. karena KHUP kita mengandung asas legalitassebagaimana telah disebutkan di atas dan juga atas dasar alasan kekhawatiran akan suatutindakan hakim pidana yang sewenang-wenang.
Van Hattum tidak mengakui penggunaan analogi, juga tidak mengakui penggunaan tafsiran
extensief.
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 6/9
Taverne berpendapat bahwa penggunaan analogi telah dilakukan oleh H.R. yang disetujui.Pompe mengatakan antara lain ³Pada umumnya analogi diperbolehkan dalam hal
penyempurnaan undang-undang.´ (E. Y. Kanter, 1982: 78)
Wirjono Prodjodikoro, S.H. (1981: 43) mengemukakan pandangannya dengan menuliskan
antara lain, ³tetapi dapat juga dimengerti bahwa tidak selalu memuaskan apabila setiap
analogi dilarang. Adakalanya dirasakan benar-benar sebagai adil apabila dalam suatu haltertentu diperbolehkan menggunakan analogi ³selanjutnya dikatakan´ ukuran boleh atau
tidaknya suatu analogi adalah apakah analogi anconcreto tidak bertentangan dengan yang
sekadar dapat diketahui dari maksud dan tujuan pembentukan undang-undang dalam
merumuskan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersangkutan.´
E. Y. Kanter S.H. dan S. R. Sianturi, S.H. (1982: 78) dalam bukunya asas-asas hukum pidana
di Indonesia dan penerapannya, mengatakan, ³Jika diperhatikan benar-benar, analogi
merupakan penyelundupan terhadap asas kedua memulai asas pertama pasal 1 ayat 1 KUHP.
Artinya ³sesuatu hal´ dianggap termasuk dalam pengertian peraturan hukum (undang-
undang) yang sudah ada. Dengan demikian, suatu hal itu dianggap sebagai peraturan hukum,
yang mulai berlaku sejak berlakunya peraturan hukum yang diboncenginya. Anggapan ini
adalah suatu konstruksi hukum, yang dikehendaki oleh mereka yang memegang teguh asaslegalitas, untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan baru´.
Adapun negara lain yang menganut analogi dan menerimanya secara tegas dalam undang-
undang pidana, yaitu Rusia, Jerman, dan Denmark.
Mr. Drs. E Utrecht (1986: 218) berpendapat, ³menolak analogi apriori berarti secara diam-
diam menganut suatu aliran positivitas yang sempit sekali tidak dapat disesuaikan dengan
zaman sekarang´
Dengan demikian, persoalan diterima atau tidaknya analogi dalam hukum pidana itu harus
diselesaikan menurut pertimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat,mengingat diakui atau tidaknya asas legalitas dalam perkembangan hukum pidana yang
berlaku sekarang maupun yang akan datang.
Batas-Batas Berlakunya Perundang-Undangan Hukum Pidana Menurut Tempat
Terjadinya Perbuatan Pidana
Walaupun undang-undang pidana tidak menentukan secara jelas dan tegas mengenai ³tempat
kejadian´ suatu perbuatan pidana dan ³waktu terjadinya´ jelaslah bahwa tempat dan waktu
adalah sangat penting sebagaimana tertera dalam pasal 121jo pal 143 ayat (2) huruf b, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengharuskan menyebut tempat
tempat dan waktu pembuatan pidana dalam dakwaan dengan ancaman batal demi hukum.
Manfaat mengetahui tempat tindak pidana adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai
apakah suatu tindak pidana terjadi di wilayah Indonesia atau di luar Indonesia (pasal 2 s.d. 8
KUHP0, pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadili suatu perkara. Di dalam
perumusan KUHP, kita lihat pada pasal 156, pasal 492, pasal 167, dan pasal 495.
Tempat suatu tindak pidana, yaitu tempat pelaku melakukan tindak pidana yang ketika itu
telah sempurna pula semua unsur dari tindak pidana tersebut. Akan tetapi, suatu tindakan dan
akibat tindak pidana tidak selalu bersamaan tempat terjadinya, misalny, X menembak Y di
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 7/9
Bandung, kemudian Y meninggal di Medan, di sinilah timbul persoalan mengenai tempatterjadi perbuatan pidana.
Cara-cara yang lazim digunakan untuk pemecahannya adalah mengikuti salah satu pola dari 4
macam ajaran sebagai berikut:
1) Ajaran tindak badaniah, untuk menentukan tempat kejadian, pusat perhatian adalahtempat pelaku melakukan suatu tindak pidana, dan unsur-unsur tindak pidana itu sudah
sempurna.
2) Ajaran tentang bekerjanya alat. Tempat kejadian adalah tempat bekerjanya alat yang
digunakan dalam suatu tindak pidana dan telah membuat sempurna (menimbulkan) suatutindak pidana.
3) Ajaran akibat dari tindakan. Tempat kejadian tindak pidana adalah tempat terjadinya
suatu akibat yang merupakan penyempurnaan dari tindak pidana yang telah terjadi
4) Ajaran berbagai tempat tindak pidana. Menurut ajaran ini tempa tindak pidana adalahgabungan dari ketiga-tiganya atau dua di antara ajaran-ajaran tersebut di atas.
Batas-Batas Berlakuya perundang-undangan hukum pidana menurut waktu terjadinya
perbuatan pidana
Waktu perbuatan pidana selalu sesuai dengan tempat perbuatan pidana. Artinya, di mana dan
kapan unsur perbuatan pidana telah sempurna, maka pada saat kesempurnaan itulah waktu perbuatan pidana. Dengan memakai dasar dan mengikuti ajaran-ajaran tempat perbuatan
pidana yang telah disebutkan di atas maka dalam ketentuan waktu terjadinya perbuatan pidana pun, kita mengikuti salah satu ajaran tersebut guna memanfaatkan pengetahuan
tentang waktu perbuatan pidana.
Manfaat pengetahuan tentang waktu perbuatan pidana, menurut E. Y. Kante, S.H. dan S.R.Sianturi S.H. (1982: 116) ditemukan dalam undang-undang hukum pidana, antara lain:
1) Peranan waktu dalam pasal 1 KUHP
2) Umur petindak ketika melakukan suatu tindak pidana
3) Bagi seseorang yang tidak terus menerus gila, apakah pada saat melakukan tindak pidana,ia dalam keadaan gila atau tidak
4) Kekadaluarsaan dalam penuntutan.
5) Batas waktu pengaduan atau penarikan pengaduan suatu delik aduan
6) Pengulangan tindak pidana tertentu
7) Apakah telah terjadi ³tertangkap tangan´ atau tidak, dan sebagainya.
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 8/9
Mengenai batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum pidana di Indonesia menuruttempat dan waktu terjadinya perbuatan pidana dapat kita lihat dalam pasal-pasal KUHP
sebagai berikut:
Pasal 2 sampai 9 KUHP mengatur batas-batas berlakunya perundang-undangan hukum
pidana menurut tempat terjadinya perbuatan:
Dipandang dari sudut negara mengenai tempat terjadinya perbuatan ada dua pendirian yaitu:
1) Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadidi dalam wilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara
asing. Ini dinamakan asas territorial
2) Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yangdilakukan oleh warga negara, di mana saja, juga dilakukan di luar wilayah negara, dan ini
dinamakan asas personal sering disebut prinsip nasional yang aktif.
Dalam asas pertama, pada pokoknya terletak pada terjadinya perbuatan di wilayah negara.Dalam hal ini, siapakah yang melakukannya. Siapa yang melakukan perbuatan yang dilarang
oleh aturan hukum pidana, apakah itu warga negara atau orang-orang asing, tidak menjadi
soal. Adapun di dalam asas yang kedua, titik beratnya adalah pada orang yang melakukan
perbuatan pidana, sedangkan tempat terjadinya delik tidak penting.
Prof. Moeljano, S.H. dalam bukunya asas-asas hukum pidana halaman 26 mengatakan ³asas
pertamalah yang pada masa ini lazim dipakai oleh kebanyakan negara, termasuk Indonesia.sudah sewajarnya bila tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara harus tunduk
pada peraturan-peraturan negara tersebut. Adapun azas kedua tidak mungkin lagi digunakansepenuhnya apabila warga negara berada di dalam wilayah negara lain yang yang
kedudukannya gecoordineed, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan
kedaulatan negara ini bila ada orang asing di dalam berada di wilayah negara yanggesubordineerd, artinya yang sama-sama berdaulat, karena bertentangan dengan kedaulatan
negara ini bila orang asing di dalam wilayahnya tidak di adili menurut hukum negara itu.
hanya jika orang itu berada di wilayah negara yang gesubordineerd dengan negaranya sendiri.
Asas ini dapat digunakan. Sebagai contoh ialah sewaktu penduduk Jepang di sini (Indonesia).
orang-orang Jepang tidak tunduk pada perundang-undangan hukum pidana yang berlaku di
Indonesia, tetapi KUHP Jepang. Dahulu orang-orang Inggris atau Tiongkok sewaktu negeri
tersebut berada di bawah pengaruh negara-negara Barat, mereka mempunyai hak
exterrioterial, artinya dipandang berada di luar territorial negara tempat mereka berdiam,
sehingga tidak harus mengikuti peraturan yang dikenakan oleh negara Barat.
Meskipun demikian, sekarang masih ada negara yang memakai azas personal ini, meskipun
hanya secara formal belaka, yaitu Jerman. Pasal 3 strafgestzbuch Jerman menentukan: hukum pidana Jerman berlaku bagi perbuatan tiap-tiap warga negara maupun di negara lain. Kadidengan tegas dipegang teguh, prinsip ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak mungkin.
Oleh karena itu, ayat 2 azas tadi perlu diperkecil ruang lingkupnya hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang tidak diancam pidana.
Dalam pasal 3 ayat 2 itu dinyatakan: perbuatan yang dilakukan di negeri lain, dengan
mengingat keadaan khusus di tempat itu tidak mencakup dalam unrecht yang dapat dipidana.
5/7/2018 Analogi Dalam Hukum Pidana - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/analogi-dalam-hukum-pidana 9/9
Dengan kata lain, terhadap seorang pidana, dapat diberlakukan hukum pidana Perancis jika iadituntut oleh Pengadilan Perancis.
Akan tetapi, jika perbuatan itu menurut hukum pidana Perancis bukan perbuatan pidana,
sedangkan menurut hukum pidana Jerman adalah perbuatan pidana, maka jika orang Jerman
itu kembali ke Jerman, ia dapat dituntut karena perbuatan pidana yang dilakukan di Perancis
itu berlaku menurut hukum pidana Jerman.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, MA 1986. A sas- A sas Hukum Pidana Islam, Cetakan Ketiga, Jakarta: Bulan
Bintang.
Andi Hamzah, SH. DR. 1986. Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
_________. 1984. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan. CetakanPertama, Ghalia Indonesia.
Bambang Poermono, SH. 1981. A sas-asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, Ghalia
Indonesia.
Pipin Syarifin, SH. 2000. Hukum Pidana di Indonesia. Cetakan Pertama. Bandung: CV.
Pustaka Setia.