View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
UUD 1945 membagi wewenang pengujian peraturan perundang-undangan
dilakukan oleh lembaga kehakiman Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK). Hal tersebut ditunjukkan pada Pasal 24A Ayat (1) yang
menjelaskan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan Pasal 24C Ayat (1)
menjelaskan MK berwenang menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
Dalam pembagian pengujian peraturan perundang-undangan tersebut, MK,
melakukan Judicial Review Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar yang
biasa dikenal dengan nama constitutional review1. Di dalam praktiknya, contoh
constitutional review yang dilakukan MK ada dalam Putusan MK No. 2-3/PUU-
V/2007 yang menguji Pasal 80 ayat (1) huruf a ; Pasal 80 ayat (2) huruf a ; Pasal 80
ayat (3) huruf a ; Pasal 81 ayat (3) huruf a ; Pasal 82 ayat (1) huruf a ; Pasal 82 ayat
(2) huruf a ; Pasal 82 ayat (3) huruf a dalam UU No. 22 tahun 1997 terhadap Pasal
28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 mengenai hukuman mati untuk terpidana
1 Imam Soebechi, Hak Uji Materii, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hal. 121.
perkara narkoba, dan dalam Putusan tersebut telah dinyatakan bahwa, ancaman
pidana mati dalam Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 diatas , tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
19452.
Melihat pada praktik constitutional review yang dijalankan secara konstitusional
oleh MK, pada nyatanya praktik tersebut juga dijalankan oleh MA seperti contoh,
Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 yang menguji konstitusionalitas hukuman
mati terhadap UUD. Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 dengan terpidana
Hanky Gunawan, MA membatalkan hukuman mati dalam suatu perkara psikotropika
dan mengubah hukumannya menjadi 15 tahun penjara. Di dalam pertimbangan MA
di kasus Henky Gunawan adalah sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut MA berpendapat : Bahwa alasan-
alasan tersebut dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut
Bahwa dalam rangka penjatuhan pidana terhadap tindakan yang dilakukan
oleh Terdakwa, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu ;
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
berlaku umum bahwa mengenai berat ringannya/ukuran hukuman adalah
menjadi wewenang Judex Facti, bukan wewenang Judex Juris (tidak tunduk
pada kasasi) ;
Bahwa tujuan pemidanaan adalah bersifat edukatif, korektif dan preventif ;
Bahwa untuk menjaga disparitas hukuman terhadap tindak pidana yang sama
yang dilakukan oleh Terdakwa yang secara nyata telah dilakukan secara
bersama-sama dan terhadap pelaku yang lainnya telah mendapatkan putusan
yang sudah berkekuatan hukum tetap ;
2 Putusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007, Hal. 336.
Bahwa mendasari Declaration of Human Right article 3 : "everyone has the
right to life, liberty and security of person". Bahwa setiap orang berhak atas
kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.
Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang
Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989
tentang HAM yang berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan dan oleh siapa pun".
Bahwa dengan adanya klausul tidak dapat dikurangi dalam keadaan dan oleh
siapa pun dapat diartikan sebagai tidak dapat dikurangi, dan diabaikan oleh
siapa pun termasuk dalam hal ini oleh pejabat yang berwenang sekalipun,
tidak terkecuali oleh putusan Hakim/Putusan Pengadilan.
Bahwa dengan adanya kekhilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata oleh
Majelis Hakim dalam tingkat Kasasi dalam memutus perkara No. 455 K/
Pid.Sus/2007 tanggal 28
November 2007 serta demi memenuhi Rasa Keadilan dan Hak Asasi Manusia,
maka beralasan hukum apabila putusan Kasasi tersebut dibatalkan oleh
Majelis Peninjauan Kembali3
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas
menurut Majelis Peninjauan Kembali, terdapat cukup alasan untuk membatalkan
putusan MA Republik Indonesia No.455 K/Pid.Sus/2007, tanggal 28 November
2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.256/Pid/2007/PT.SBY, tanggal
11 Juli 2007 jo putusan Pengadian Negeri Surabaya
No.3412/Pid.B/2006/PN.SBY., tanggal 17 April 2006 dan MA akan mengadili
kembali perkara tersebut ;”.
Di dalam pertimbangan oleh MA tersebut menyatakan bahwa hukuman mati
untuk terpidana narkotika adalah inkonstitusional karena melanggar hak asasi
manusia, yang pada kenyataannya, MK sebelumnya dalam Putusan MK No. 2-3/PUU-
V/2007 telah dinyatakan bahwa, ancaman pidana mati dalam pasal-pasal Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997, tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini
3 Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 K/Pid.Sus/2011, hal 53-54.
menunjukkan MA telah melakukan pengujian UUD 1945 yang dimana itu merupakan
kewenangan dari MK, menurut Pasal 24A UUD 1945.
Secara teori dalam ranah peradilan konstitusi, untuk pengujian peraturan
perundang-undangan atau Judicial Review ada 2 sistem yang biasa dianut oleh
berbagai negara di dunia, ada sistem desentralistik, ada sistem sentralistik. Sistem
desentralistik, yang biasa dianut oleh AS, dimana kewenangan Judicial Review
dilaksanakan secara berjenjang. MA dan peradilan-peradilan yang berada dibawahnya
berwenang memutus perkara-perkara Judicial Review. Meski dilakukan oleh banyak
peradilan, namun semuanya masih dalam satu atap di bawah naungan MA. Kedua
adalah sistem Sentralistik, yang biasa dianut oleh negara seperti Austria, yakni hanya
ada satu lembaga yang berwenang melakukan Judicial Review. Seluruh produk
perundang-undangan diuji oleh satu lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi
Austria4.
Negara-negara di ranah peradilan konstitusionalnya menganut sistem sentralistik
biasa negara tersebut menganut sistem civil law, namun apabila negara-negara
penganut sistem desentralistik dalam peradilan konstitusionalnya biasa menganut
sistem hukum common law. Dalam sistem hukum civil law istilah “code” (Undang-
Undang) adalah sekumpulan klausula dan prinsip hukum umum yang otoritatif,
komprehensif dan sistematis yang dimuat dalam kitab atau bagian yang disusun
4 Ali Marwan, Konsep Judicial Review dan Pelembagaannya di Berbagai Negara, Setara Press,
Malang, 2017, Hal. 49-50.
secara logis sesuai dengan hukum terkait. Karakter dalam sistem hukum civil law
salah satunya adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh hakim
dan oleh penegak hukum lainnya mengacu pada Kitab Undang-Undang atau
Perundang-undangan, sehingga Undang-Undang menjadi sumber hukum yang utama
atau sebaliknya hakim tidak terikat pada preseden atau yurisprudensi5. Lalu
kewenangan untuk melaksanakan hak menguji (toetsingsrecht) pada beberapa negara
yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) dilakukan oleh suatu
lembaga yang dikenal sebagai lembaga Mahkamah Konstitusi atau Constitutional
Court. Tata cara pengujian yang hanya dilakukan oleh satu Mahkamah dikenal
sebagai sistem sentralisasi, sedangkan metode pengujiannya disebut principaliter6.
Sistem hukum common law memiliki tiga karakter, yaitu pertama, yurisprudensi
dianut sebagai sumber hukum utama, kedua dianutnya prinsip stare decicis, dan
ketiga dianutnya adversary system dalam peradilan7. Pada beberapa negara dengan
sistem hukum Anglo Saxon (common law), pelaksanaan Judicial Review dilakukan
oleh hakim melalui kasus konkret yang dihadapinya dalam pengadilan. Hal tersebut
merupakan sistem desentralisasi dan metode pengujiannya disebut incidenter8.
Apa yang telah terjadi di kasus Henky Gunawan, MA menerapkan seperti yang
ada di Amerika Serikat (AS), di AS yang menerapkan sistem desentralistik dan salah
5 H. Z Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke 2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013,
Hal. 80. 6 Fatmawati, Hak Menguji (TOETSINGSRECHT), Cetakan 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005,
Hal. 37. 7 H. Z Asikin, Loc.Cit, Hal. 82.
8 Fatmawati, Loc.Cit, Hal. 38.
satu negara penerap sistem hukum common law dimana setiap pengadilan yang
kepadanya suatu kasus diajukan harus memeriksa argumentasi atau dalil-dalil para
pihak mengenai kesesuaian Undang-Undang yang berlaku terhadap kasus itu dengan
konstitusi. Jika hakim atau pengadilan yang bersangkutan berkesimpulan bahwa
Undang-Undang itu bertentangan dengan konstitusi, maka ia akan membatalkan
Undang-Undang tersebut9. Sementara itu di Indonesia yang wewenangnya seperti
wewenang Supreme Court AS dalam hal membatalkan Undang-Undang merupakan
MK.
Indonesia pada dasarnya penganut sistem civil law pada kasus di atas praktik MA
mengikuti praktik yang dilakukan Supreme Court AS, dimana sistem hukum AS yang
menganut paham atau tradisi common law, sangat jelas bahwa peranan seorang hakim
menjadi faktor utama atau sangat determinan dalam proses pembentukan hukum
menurut asas precedent atau yurisprudensi. Hal ini sejalan dengan doktrin klasik yang
berlaku dalam sistem common law, dimana lazim dikenal dengan judge-made law,
atau hukum merupakan buatan para hakim itu sendiri yang tercermin di dalam
putusan atas suatu perkara yang disidangkan10
. Indonesia yang merupakan penganut
sistem civil law dan penerap sentralistik dalam peradilan konstitusionalnya,
dibuktikan dengan memiliki Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan sengketa pelaksanaan
9 Ali Marwan, Konsep Judicial Review dan Pelembagaannya di Berbagai Negara, Setara Press,
Malang, 2017, Hal. 64. 10
King Sulaiman, Teori Perundang Undangan Dan Aspek Pengujiannya, Thafa Media, Yogyakarta,
2017, Hal. 177.
kaidah konstitusi yang telah ditentukan oleh UUD 1945, lalu dikatakan pula bahwa
fungsi ideal MK di Indonesia sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi11
.
Walaupun demikian, Indonesia dengan sistem civil law yang menerapkan sistem
sentralistik atau AS dengan status common law yang menerapkan sistem
desentralistik tidak dapat menggeser peran hakim dalam melakukan interpretasi
konstitusi, pada dasarnya semua hakim di berbagai negara berperan untuk
menegakkan hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Kata “hukum” di Pasal tersebut bukan
terbatas pada peraturan perundang-undangan saja melainkan hukum secara
keseluruhan, nilai-nilai yang tidak tertulis dan tertulis, pentingnya peran hakim dalam
melakukan interpretasi dikarenakan tidak semua hukum terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan, bahwa disamping peraturan perundang-undangan terdapat
sumber-sumber lain dari mana hakim mengambil hukum12
. Menurut Hans Kelsen
fungsi pengadilan yang harus menerapkan norma-norma umum dari hukum statuta
dan hukum kebiasaan ke dalam kasus kasus konkret13
, maka dari itu hakim harus
melakukan itu semua hal di atas karena kewajiban dari seorang hakim yang harus
menegakan hukum dan praktik yang dilakukan MA dalam melakukan constitutional
review adalah salah satu praktik penegakkan hukum (termasuk konstitusi) oleh
11
Soimin, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
2013, Hal. 65. 12
L.J Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradyana Paramita, Jakarta, 2008, Hal. 385. 13
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Penerjemah : Raisul Muttaqien, Cetakan ke
11, Nusamedia, Bandung, 2016, Hal, 205.
hakim, hakim dimana pun lembaganya, pengadilan negri, pengadilan tinggi atau
dimanapun harus menegakkan hukum pada arti luas seperti penjelasan diatas, karena
peran hakim yaitu dapat mewujudkan hukum (dalam arti konkret) melalui putusan
hakim. Hanya hakim yang yang membuat ketentuan Undang-Undang (hukum) yang
abstrak menjadi suatu kenyataan, lalu hakim bukan hanya menetapkan hukum bagi
yang berperkara, tetapi dapat menciptakan hukum yang berlaku untuk umum14
, jadi
akan terbayang apabila hakim memakai dasar yang sudah tahu itu bertentangan
dengan konstitusi (hukum) untuk mewujudkan hukum yang abstrak menjadi suatu
kenyataan.
Pandangan di lembaga kehakiman di AS, Supreme Court pada dasarnya dianggap
sebagai lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the United
States of America) yang bertanggungjawab menjamin agar norma dasar yang
terkandung di dalamnya sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan. Dengan
sendirinya, menurut John Marshall, segala Undang-Undang buatan Kongres, apabila
bertentangan dengan konstitusi sebagai „the supreme law of the land” harus
dinyatakan „null and void‟. Lalu sebagai lembaga penerap sistem sentralisasi
pengadilan disana ditekankan pengadilan harus memiliki kekuatan yang lebih luas
untuk menjatuhkan Undang-Undang federal atau negara yang tidak adil15
. Dan
hakim-hakim Supreme Court ditekankan juga sebuah paham bahwa putusan
14
Efendi Jonaedi. Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, Prenadamedia, Depok, 2018, Hal.
233. 15
Jimly Asshiddiqie. 2012. Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi. Makalah. Dalam : The Three “E” Lecture Series, @america di Pasific Place level 3, 18
Juni.
pengadilan merupakan interpretasi dari konstitusi jadi sudah keharusan untuk
menjunjung tinggi, menegakkan supremasi atau keunggulan dari konstitusi dengan
cara menyatakan bahwa suatu peraturan adalah inkonstitusional dan menolak untuk
memakainya16
.
Kemudian implikasi dari praktik yang dilakukan MA tetap tidak menghilangkan
adanya MK karena akibat dari putusan yang dikeluarkan oleh MA dan MK berbeda,
MA yang putusannya berakibat lebih kepada tidak memakai Undang-Undang tersebut
sebagai dasar putusannya. Sementara constitutional review oleh MK berakibat
pembatalan suatu Undang-Undang.
B. Rumusan Masalah
Apakah MA dapat melakukan constitutional review melalui kasus konkrit yakni,
menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar?
C. Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini, untuk mengungkapkan basis legitimasi
praktik Constitutional Review yang dilakukan MA melalui kasus konkrit yang
praktiknya konkuren dengan yang dilakukan oleh MK, dengan mengambil teori
bahwa Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Terkait dengan
16
Lawrence Baum, The Supreme Court, Congressional Quarterly, Edisi ke 3, Washington D.C, 1989,
Hal. 19.
tujuan tersebut maka tujuan lebih spesifik dari penelitian ini sebagai breakdown dari
tesis penulisan adalah :
1. Menjelaskan bahwa UUD 1945 yang merupakan supreme law di Indonesia
sehingga sudah sewajarnya apabila pengadilan berwenang menguji Undang-
Undang terhadap Undang Undang Dasar.
2. Menjelaskan penerapan hukum tersebut kepada MA dalam praktik
Constitutional Review
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis sebagai berikut :
Hasil Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam memperkaya wawasan tentang dasar-dasar keabsahan praktik yang
dilakukan MA dalam melakukan Constitutional Review melalui kasus konkrit.
Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran
terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan masalah penerapan
Constitutional Review yang dilakukan MA demi mewujudkan kemerdekaan
kekuasaan kehakiman untuk menegakkan Hukum dan Keadilan.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan permasalahan
pada penelitian ini dengan melakukan pendekatan konseptual yang beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum,
lalu melakukan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap
kasus-kasus yang berkaitan dengan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi
putusan pengadilan, pendekatan historis yang dilakukan dengan menelaah latar
belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang
dihadapi, serta melakukan pendekatan Undang-Undang yang dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum 17
.
F. Sistematika Penulisan
Bab I dari penelitian hukum ini berisi pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, dan rumusan masalah serta tujuan penelitian. Disamping ketiga komponen
tersebut, dalam Bab 1 juga dikemuakan manfaat penelitian, dan metodelogi
penelitian.
Bab II berisi pembahasan mengenai penguraian dasar hukum mengapa MA dapat
melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Lalu penjelasan
mengapa undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu,
17
P. M Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Cetakan ke 3, Jakarta, 2005, Hal., 93-95.
dijelaskan pula mengapa setiap lembaga peradilan, dimanapun harus tanggap apabila
ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945.
Penempatan Bab II dalam menguraikan hal-hal tersebut tidak lain untuk memberikan
gambaran bahwa UUD 1945 merupakan hukum yang lebih tinggi dari undang undang
dan sudah seharusnya setiap lembaga peradilan manapun yang menemukan peraturan
atau dalil-dalil yang bertentangan dengan UUD 1945 sudah selayaknya tidak
memakai Undang-Undang tersebut.
Bab III dari penelitian hukum ini berisi implikasi dari hukum tersebut kepada
praktik MA dalam melakukan Constitutional Review melalui kasus konkrit.
Bab IV dari penelitian hukum ini berisi kesimpulan dari seluruh penelitian yang
telah dilakukan serta penutup untuk penelitian ini, untuk menutup penelitian yang
telah dilakukan. Supaya menyatakan bahwa penelitian telah selesai
Recommended