Download docx - Pemerolehan Bahasa

Transcript
Page 1: Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan Bahasa

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maha Besar Allah yang telah menciptakan kita sebagai makhluk yang paling sempurna.

Sebagai makhluk yang sempurna, kesempurnaan kita telah ada sejak kita berada di dalam

kandungan. Allah memfasilitasi kita dengan otak dan kemampuannya untuk mengatasi suatu

masalah. Dengan kemampuan itulah, kita bisa sejak kecil pula mulai belajar banyak dan belajar

memahami kata-kata.

Pemerolehan kata-kata atau bahasa telah terjadi ketika kita masih kanak-kanak.

Pemerolehan bahasa ini bersifat alamiah dan naluri. Yang menjadi bahasa pertama, yaitu bahasa

ibu. Bahasa ibu ini bukanlah bahasa yang rumit sehingga pada masa kanak-kanak inilah yang

akan mempengaruhi perkembangan bahasa pada masa-masa sesudahnya.

1.2 Masalah

Masalah dalam makalah ini adalah “Apa sajakah tahapan dalam pemerolehan bahasa dan

bagaimana seseorang memeroleh bahasa yang ditinjau dari 3 hipotesis, yaitu hipotesis nurani,

hipotesis tabula rasa, dan hipotesis kesemestaan kognitif ?”

1.3 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan dalam pemerolehan bahasa dan

bagaimana seseorang memperoleh bahasa. Selain itu sebagai bahan presentasi pada mata kuliah

Pemerolehan Bahasa, Prof. Dr.Hj. Ratu Wardarita,M.Pd. pada semester I Program Pascasarjana

Universitas PGRI Palembang.

BAB II

PEMBAHASAN

Page 2: Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa atau akusisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak

seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.

Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning).

Pemerolehan bahasa dapat diartikan sebagai periode seorang individu memperoleh

bahasa atau kosakata baru. Pemerolehan bahasa sangat banyak ditentukan oleh interaksi rumit

antar aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan social. Slobin (dalam

Iskandarwassid,2009:84) mengemukakan bahwa setiap pendekatan modern terhadap

pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh

anak, memanfaatkan kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam dalam interaksinya

dengan pengalaman-pengalaman fisik dan sosial.

Tidak ada makhluk lain yang mempunyai sesuatu seperti kemampuan-kemampuan

komunikatif kita sebagai insan manusia. Hipotesis ini ditunjang oleh kenyataan bahwa anak-anak

memperlihatkan suatu keseragaman dalam perkembangan linguistik mereka, yang melalui

sejumlah tahap pada usia-usia yang dapat diramalkan.

2.1 Tahapan-Tahapan Pemerolehan Bahasa

Sebelum kita membahas tentang hipotesis dalam pemerolehan bahasa, sebaiknya kita

tahu urutan-urutan pemerolehan bahasa oleh Mackey (dalam Iskandarwassid.2009:85) :

Umur 3 bulan

Anak mulai mengenal suara manusia, ingatan yang sederhana, tapi belum tampak. Segala sesuatu

masih terkait dengan apa yang dilihatnya.

Umur 6 bulan

Anak sudah mulai bisa membedakan antara nada yang “halus” dan “kasar”. Dia mulai membuat

vokal seperti “aĔĔ.aĔ..aĔĔaĔĔ.”

Umur 9 bulan

Page 3: Pemerolehan Bahasa

Anak mulai berinteraksi dengan isyarat. Dia mulai mengucapkan bermacam-macam suara dan

tidak jarang kita bisa mendengarnya sebagai suara yang aneh.

Umur 12 bulan

Anak mulai membuat reaksi terhadap perintah. Dia gemar mengeluarkan suara-suara dan bisa

diamati, adanya beberapa kata tertentu yang diucapkannya untuk mendapatkan sesuatu.

Umur 18 bulan

Anak mulai mengikuti petunjuk. Kosakatanya sudah mencapai sekitar 20.

Umur 2-3 tahun

Anak sudah bisa memahami pertanyaan dan perintah sederhana. Kosakatanya sedah mencapai

beberapa ratus. Anak sudah bisa mengutarakan isi hatinya dengan kalimat sederhana.

Umur 4-5 tahun

Pemahaman anak makin mantap walaupun masih sering bingung dalam hal-hal yang

menyangkut waktu. Anak mulai belajar berhitung dan kalimat-kalimat yang agak rumit mulai

digunakan.

Umur 6-8 tahun

Tidak ada kesukaran untuk memahami kalimat yang biasa dipakai orang dewasa sehari-hari.

Anak-anak mulai belajar membaca, yang akhirnya menambah pembendaharaan kata.

                Berbeda halnya dengan Tarigan (1988:14), perkembangan pemerolehan bahasa dibagi

atas 3 bagian, yaitu perkembangan prasekolah, ujar kombinatori, dan perkembangan masa

sekolah.

Perkembangan prasekolah

1. Tahap pralinguistik

Anak manusia secara pembawaan lahir “diperlengkapi” buat interaksi social pada umumnya dan

buat bahasa pada khususnya. (dalam Iskandarwassid). Terbukti bayi lebih menyukai  wajah

manusia atau gambarnya, kepada objek nyata aau gambarnya.Pada usia 2 bulan, anak memberi

respon yang berbeda-beda terhadap orang dan objek.

2. Tahap Satu Kata

Anak mampu mengekspresikan begitu banyak dengan kata-kata yang begitu sedikit.

3. Ujaran Kombinatori Permulaan

Page 4: Pemerolehan Bahasa

Ujaran kombinasi anak berkembang dari suatu system yang kebanyakan merupakan gabungan

dua atau tiga kata yang tidak berinfleksi, butir-butir yang berisi (nomina dan verba).

Perkembangan Ujaran Kombinatori

Perkembangan ini dibagi menjadi 3, yaitu peerkembangan negative (penyangkalan;

menggunakan kata ‘tidak/jangan’ di depan kalimat), perkembangan interogatif (pertanyaan),

perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.

Perkembangan Masa Sekolah

Perkembangan ini meliputi perkembangan struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan

kesadaran metalinguistik (pertumbuhan kemampuan untuk memikirkan, mempertimbangkan,

dan berbicara mengenai bahasa sebagai sandi atau kode formal).

Berikut tahapan perkembangan bahasa anak-anak menurut Jean Piaget (dalam Tarigan.1988:35)

Usia Tahap Perkembangan Bahasa

0.0-0.5 Tahap meraban (pralinguistik) pertama

0.5-1.0 Tahap meraban (pralinguistik) kedua : kata nonsens

1.0-2.0 Tahap linguistik I : holofraksis; kalimat satu kata

2.0-3.0 Tahap linguistik II : kalimat dua kata

3.0-4.0 Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa

4.0-5.0 Tahap linguistik IV : tata bahasa pradewasa

5.0- Tahap V : kompetensi penuh

Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa Anak Secara Linguistik

Schaerlaekens dalam Mar’at.2005 (dalam Yanris) membagi periode perkembangan

bahasa pada anak sebagai berikut.

Page 5: Pemerolehan Bahasa

1. Periode Pralingual

Umumnya dialami anak pada usia 0-1 tahun, anak belum mengucapkan bahasa hanya

mengeluarkan bunyi-bunyi yang merupakan reaksi terhadap situasi tertentu.

a. Tahap mendekut (cooing)

Anak mengeluarkan bunyi yang mirip vokal atau konsonan (/ a /).

b. Tahap berceloteh (babbling)

Anak mengeluarkan gabungan mirip vokal dan konsonan (/ p /, / b /, / m /).

2. Periode Lingual

Umumnya dialami anak pada usia 1-2,5 tahun, anak mulai mengucapkan kata-kata.

a. Tahap ujaran holofrastik

Anak mampu memproduksi satu kata yang dapat menyatakan lebih dari satu maksud.

b. Tahap ujaran telegrafik

Anak mampu memproduksi dua kata sebagai pernyataan suatu maksud.

c. Tahap lebih dari dua kata

Anak mulai memproduksi lebih dari dua kata dan menunjukkan perkembangan morfologis.

Komunikasinya pun tidak lagi bersifat egosentris.

3. Periode Diferensiasi

Umumnya dialami anak pada usia 2,5-5 tahun, anak dianggap telah menguasai bahasa ibu

dengan penguasaan tata bahasa pokok. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi mulai berjalan

baik. Anak juga mulai mampu mengkomunikasikan persepsi dan pengalamannya kepada orang

lain.

2.2 Pemerolehan Bahasa : Beberapa Hipotesis

Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa

pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua

proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung

secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi

yang terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses

menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian

mengamati atau memampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Penerbitan

melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis

Page 6: Pemerolehan Bahasa

proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi kemampuan linguistik

kanak-kanak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan

kemampuan menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam  linguistic generatif disebut

perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performansi.

Sejalan dengan teori Chomsky (dalam Chaer.2009: 168), kompetensi ini mencakup tiga

buah komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen

fonologi ke dalam pemerolehan sintaksis dan semantik termasuk juga pemerolehan leksikon atau

kosakata.

Beberapa teori atau hipotesis yang berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa :

1. Hipotesis Nurani (The Innateness Hypothesis)

Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap

pemerolehan bahasa kanak-kanak (dalam Chaer.2009). Di antara hasil pengamatan itu adalah

sebagai berikut.

1.       Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal ‘diperkenalkan’ pada

bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).

2.       Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak. Artinya baik

anak yang cerdas maupun anak yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.

3.       Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap, dan

jumlahnya sedikit.

4.       Bahasa yang tidak diajarkan kepada makhluk lain; hanya manusia yang dapat berbahasa.

5.       Proses perolehan bahasa oleh kanak-kanak dimana pun sesuai dengan jadual yang erat

kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak.

6.       Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal, namun dapat dikuasai kanak-

kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga tau empat tahun saja.

Mengenai hipotesis ini perlu dibedakan  adanya dua macam hipotesis nurani, yaitu

hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme. Hipotesis nurani bahasa merupakan

satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari

atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisasi manusia.

Page 7: Pemerolehan Bahasa

Hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh

manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum atau mekanisme nurani umum yang

berinteraksi dengan pengalaman.

Mengenai hipotesis nurani bahasa,Chomsky dan Miller (dalam Chaer.2009) mengatakan

adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu

dinamakannya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan

seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya. Cara kerja LAD dapat dijelaskan sebagai

berikut: apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja :

Sunda, Arab, Cina, dan sebagainya) ‘diberikan’ kepada LAD teori semantik generatif.

Yang penting untuk dikaji bukan hanya ucapan-ucapan saja melainkan juga pesan,

amanat, atau konsep yang terkandung dalam ucapan-ucapan itu (Campbell,1979). Tokoh utama

dalam pendekatan ini adalah Lois Bloom (dalam Chaer.2009) mengatakan bahwa ucapan kanak-

kanak mempunyai banyak penafsiran; dan orang dewasa (terutama ibu si kanak-kanak) pada

umumnya dapat menafsirkan ucapan kanak-kanak dengan tepat meskipun diucapkan dengan

sebuah kata. Misalnya, kanak-kanak mengucapkan kata ‘mimi’, maka orang dewasa menafsirkan

‘Saya mau minum’, inilah yang disebut holofrasis.

Ucapan holofrasis ini menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru sebagai bagian dari

versi hipotesis nurani yang menekankan pada komponen semantik. Dalam kaitan ini Mc. Neil

(dalam Chaer.2009) menyatakan bahwa struktur awal bahasa ini adalah stuktur awal bahasa

kanak-kanak di seluruh dunia adalah sama, meskipun budaya dan bahasa mereka berbeda.

Ucapan holofraksis kanak-kanak ini merupan bukti yang sugestif bahwa sebenarnya pada

tahap ucapan satu kata ini kanak-kanak telah mampu menyampaikan makna komunikasi dengan

hubungan-hubungan tata bahasa dasar. Bowerman (1973) mengumpulkan data-data ucapan

holofraksis dari Finlandia, Amerika, dan Samoa. Hasilnya menunjukkan bahwa ucapan awal

kanak-kanak itu dapat diuraikan berdasarkan tata bahasa dasar (struktur dalam), tanpa

transformasi.

2. Hipotesis Tabularasa

Page 8: Pemerolehan Bahasa

Tabularasa secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum diisi apa-apa.

Hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak pada waktu dilahirkan seperti kertas kosong,

yang nantinya akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada

mulanya dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empirisme lalu disebarluaskan oleh John

Watson (psikologi behaviorime).

Dalam hal ini, menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan-dalam-bahasa manusia

yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik

yang dialami dan diamati oleh manusia.Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap

bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk

dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus – Respon). Cara pembelajaran S - R yang terkemuka

adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi

menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.

Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung

dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons). Perilaku bahasa yang efektif

adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan

jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.

Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si

anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila suatu

ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena

pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat

terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.

B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior,1957

(dalam Safriandi.2009) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran

ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut

Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya.

Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak

menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang

cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.

Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa teori

yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru

yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard

Page 9: Pemerolehan Bahasa

juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung

aliran ini.

Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku berbahasa

seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang

itu. Seorang kanak-kanak yang sedang memperoleh sistem bunyi bahasa ibunya, pada mulanya

akan mengucapkan semua bunyi yang ada pada semua bahasa yang ada di dunia ini pada tahap

berceloteh (babbling period). Orang tua si bayi hanya ‘memberikan’ bunyi-bunyi yang ada

dalam bahasa ibunya saja, maka si bayi dilazimkan untuk meniru bunyi-bunyi dari bahasa ibunya

saja. Jika tiruannya itu betul atau mendekati ucapan orang tuanya, maka ia mendapat ‘hadiah’

dari ibunya berupa senyuman, ciuman, tawa, dan lain sebagainya. Bisa dikatakan bahasa kanak-

kanak berkembang setahap demi setahap, mulai dari bunyi, kata, frase, dan kalimat. Menurut

teori behaviorisme bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku.

Teori behaviorisme ini ditentang oleh kaum teori generatif transformasi karena tidak

mampu menerangkan proses pemerolehan bahasa (Simanjuntak,1987). Kritik dari pakar teori

generatif transformasi, terutama dari Chomsky (1959), membuat Jenkin (1964,1965)

melontarkan penjelasan mengenai kreativitas bahasa berdasarkan kerangka behaviorisme. Jenkin

memperkenalkan teori mediasi (penengah) yang disebut rantaian respons (response chaining).

Teori ini didasarkan pada prinsip mediasi yang diperkenalkan oleh Osgood. Tampak jelas bahwa

faktor penengah dimainkan oleh otak berperan penting dalam proses pembelajaran ‘rantaian

respon’ itu.

Menurut prinsip mediasi, jika seseorang telah mengenal hubungan antara meja dan kursi,

dan hubungan antara meja dan lantai, maka mengetahui hubungan antara kursi dan lantai akan

jauh lebih mudah.

Seseorang dapat mengeluarkan kalimat apabila orang lain mengeluarkan stimulus.

Menurut Skinner (1957) berbicara merupakan satu respon operan yang dilazimkan kepada suatu

stimulus dari dalam atau luar. Untuk menjelaskan hal ini, Skinner memperkenalkan sekumpulan

kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacts,

echoics, textuals, dan intraverbal operant.

a. Mand

Page 10: Pemerolehan Bahasa

Satu mand adalah satu operan bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat

menyingkirkan, merampas, dan menghabiskan. Di dalam tata bahasa mandsini sama dengan

kalimat imperaktif. Mands muncul sebagai kalimat imperaktif, permohonan, rayuan, hanya

apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Misalnya, kanak-kanak mengucap kata ‘susu’, hal

ini terjadi karena ada rasa haus atau lapar, anak tahu bahwa jika diucapkan kata itu, orang tua

langsung memberikannya (ganjaran). Mands memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan

dulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis

pengukuhan.

b. Tacts

Tacts adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. I

dalam tata bahasa tacts disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau

peristiwa.

c. Echoics

Echoics adalah suatu perilaku yang dipengaruhi oleh respon orang lain sebagai stimulus

dan kita meniru ucapan itu. Misalkan, seseorang mengucapkan mobil, maka kita akan merespon

mengucapkan mobil.

d. Tekstual

Tekstual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus yang tertulis sedemikian

rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi

yang dimaksud adalah hubungan semantik antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan

respon ucapan apabila membacanya secara langsung. Jadi, apabila kita melihat sebagai

stimulusnya kita memberi respons [kuciŋ].

e. Intraverbal Operant

Intraverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu

dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka

kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respon. Kata meja,

misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai stimulus akan

membangkitkan kata kembali sebagai responnya.

Page 11: Pemerolehan Bahasa

3. Hipotesis Kesemestaan Kognitif

Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenankan oleh Piaget.

Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan

struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur itu diperoleh kanak-kanak melalui interaksi

dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan ini secara garis besar

adalah sebagai berikut :

1. Antara 0 sampai 1,5 tahun (0:0-1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara

bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian diatur menjadi struktur-

struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini kanak-kanak mulai membangun

satu dunia benda-benda yang kekal, yang disebut kekekalan lazim. Maksudnya kanak-kanak

mulai sadar bahwa meskipun benda-benda yang pernah diamatinya atau disentuhnya hilang dari

pandangannya; namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini.

2. Setelah struktur aksi dinuranikan, kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang

terjadi antara 2-7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk representasi

simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar,

dll.

3. Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan presentasi simboliknya, bahasa kanak-kanak

mulai berkembang dengan mendapatkan nilai-nilai social. Struktur linguistik mulai dibentuk

berdasarkan bentuk kognitif umum yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.

Menurut Piaget (1955) ucapan holofraksis pertama selalu menyampaikan pola-pola yang

pada umumnya mengacu kepada kanak-kanak itu sendiri. Misalkan, seorang kanak-kanak usia

1,5 tahun mengucapkan kata ‘Panana’ (grand papa) jika dia menginginkan seseorang melakukan

sesuatu untuk dirinya seperti yang biasa dia lakukan kakeknya.

Berdasarkan pandangan Piaget, Sinclair-de Zwart (1973) mencoba merumuskan tahap-

tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut :

Pertama, kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya

untuk menyampaikan satu pola aksi.

Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan

memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik

orang dewasa untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama

Page 12: Pemerolehan Bahasa

dilakukan oleh orang lain. Di dalam pola aksi itu itu sudah terjalin unsur, yaitu agen,aksi, dan

penderita.

Ketiga, setelah tahap kedua di atas muncullah fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama,

yaitu subjek-predikat dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur :

Subjek – Verbal – Objek

Atau

Agen + Aksi + Penderita

Bisa dilihat dari penjelasan di atas bahwa hipotesis kesemestaan kognitif dalam psikologi

sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Dewasa ini, seperti juga

dalam linguistik, dalam kognitifisme  perhatian juga lebih ditujukan pada masalah makna

(sematik) serta peranannya dalam pemerolehan bahasa. Piaget maupun Mc. Namara sama-sama

berpendapat bahwa kanak-kanak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang

bukan linguistik. Setelah itu barulah mereka memperoleh lambang-lambang linguistik. Jadi,

pemerolehan bahasa tergantung pada pemerolehan proses-proses kognitif itu.

Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di

antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh

nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih

umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan

perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky

yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan

struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa.

Bahasa harus diperoleh secara alamiah.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan

kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir

sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya.

Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak

sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan

simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian

berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.

Page 13: Pemerolehan Bahasa

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemerolehan bahasa terjadi sejak kanak-kanak yang terus berkembang berdasarkan

perkembangan usia juga dipengaruhi oleh lingkungan atau faktor sosial di sekitarnya. Hal ini

terlihat dari hipotesis yang ada bahwa pemerolehan bahasa merupakan naluri yang ada sejak

lahir dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan usia.

3.2 Saran

Pemerolehan bahasa ini akan mempengaruhi perkembangan berbahasa seseorang

sehingga ketika masa kanak-kanak diharapkan ibu sebagai sumber pemerolehan bahasa dapat

memberikan pengalaman yang berharga pada kanak-kanak.

Bab I

Pendahuluan

            Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung didalam otak

seseorang kanak-kanak ketika di memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.

Pembelajaran bahas berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-

kanak mempelajari bahasa kedua, setelah ia mempelajari bahas pertamanya. Jadi, pemerolehan

bahasa berkenaan dengan bahasa pertama sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan

bahasa kedua.

            Ada dua proses terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa

pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses perfomansi. Kedua proses ini merupakan dua

Page 14: Pemerolehan Bahasa

proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung

secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat terjadinya proses perfomansi yang terdiri dari dua

proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan.

            Sejalan dengan teori Chomsky (1957,1965), kompetensi itu mencakup tiga komponen

tata bahasa yaitu komponen sintaksis, komponen semantic dan omponen fonologi. Oleh karena

itu pemerolehan bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan komponen tersebut. Ketiga

komponen tata bahasa ini tidaklah diperoleh  secara berasingan, yang satu terlepas dari yang lain,

melainkan diperoleh secara bersamaan.

Bab II

Pembahasan

A.   HIPOTESIS NURANI

Setiap bahasawan (penutur asli suatu bahasa) tentu mampu memahami dan membuat

(menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan”

atau menyimpan dalam nuraninya akan tata bahasa bahasanya itu menjadi kompetensi

bahasanya. Juga telah menguasai kemampuan-kemampuan memperformansi bahasa itu.

Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap

pemerolehan bahasa kanak-kanak  (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970). Diantara hasil

pengamatan itu adalah sebagai berikut :

1.    Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja “diperkenalkan”

pada bahasa ibunya itu. Maksudnya dia idak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).

2.    Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecenderungan kanak-kanak. Artinya,

baik anak yang cerdas maupun anak yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.

3.    Kalimat yang didengar kanak-kanak sering kali tidak gramatikal, tidak lengkap dan

jumlahnya sedikit.

Page 15: Pemerolehan Bahasa

4.    Bahasa tidak dapat diajarkan kepada mahluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.

5.    Prroses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimanapun sesuai dengan jadwal yang erat

kaitannya dalam proses pematangan jiwa kanak-kanak.

6.    Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai

kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat. Yakni waktu antara tiga atau mpat tahun saja.

Berdasarkan pengamatan diatas dapat disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi olh

suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat.

           

            Hipotesis nurani dibedakan menjadi dua yaitu :

1.    Hipotesis nurani bahasa.

Merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa

tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari

organisme manusia.

2.    Hipotesis nurani mekanisme.

Menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan

kognitif umun dn mechanism nurani umum yag berinteraksi dengan pengalaman.

            LAD (Language Acquisition Device) adalah alat khusus yang dimiliki setiap kanak-

kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa menurut Chomsky dan Miller (1957). Adapun cara kerja

dari alat ini dalah sebagai berikut :

Ucapan- ucapan bahasa  (input) X è LAD è tata bahasa formal X (output)

            Konsep LAD telah meransang penelitian pemerolehan bahasa sampai ketingkat yang

paling tinggi. pusat peratian pada mulanya diarahkan kepada pemerolehan komponen sentaksis

sedangkan semantic dan kognisi kurang diperhatikan. Hal ini tidak mengherankan karena teori

generative transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky memang hanya memusatkan

perhatian kepada keotonomian komponen sintaksis.

Page 16: Pemerolehan Bahasa

            Namun dalam perkembangan yang terakhir pengkajian peemerolehan bahasa sudah lebih

memperhatikan tiga buah unsure yang dulu kurang diperhatikan ole LAD yaitu :

a.    Korpus ucapan, yang kini dianggap berfungsi lebih daripada LAD saja.

b.    Peranan semantic yang lebih penting daripada sintaksis.

c.    Peranan perkembangan kognisi yang sangat menentukan dalam proses pemerolehan bahasa.

B.   HIPOTESIS TABULARASA.

Page 17: Pemerolehan Bahasa

Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”, dalam arti belum ditulisi apa-apa. Lalu,

hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas

kosong, yang nanti akan ditulisi atau didisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada

mulanya dikemukakan oleh John Locke yang kemudin dianut dan disebarluaskan oleh John

Watson.

Dalam hal ini menurut hipoesis tabularasa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang

tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa yang

dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme mnganggap

bahwa pengetahuan linguistic terdiri hanya dari hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara

pembelajaran S – R (stimulus – respon).

Menurut Skinner bebicara merupak suatu respon operan yang dilazimkan kepada sesuatu

stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan hal

ini skinner memperkrnalkan sekumpulan kategori respon bahasa yang hamir serupa fungsinya

dengan ucapan.

Adapun kategori tersebut antara lain :

a.    Mand

Kata man adalah akar dari kata command, demand, dan lain-lain. Kata mand adalah satu operan

bahasa dibawah pengaruh stimulus yang bersift menyingkirkan, merampas atau menghabiskan.

Mand ini muncul sebagai kalimat imperative, permohonan, atau rayuan, hanya apabila penutur

ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena karena dahulu kalimat seperti ini telah

pernah diamati oleh penutur ketika seseorang mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu

yang dirampas, disingkirkan atau diambil dari padanya.

b.    Tacts

Adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Didalam tata

bahasa tact ini dapat disamakan dengan menamai atau menyebut nama sesuatu benda atau

Page 18: Pemerolehan Bahasa

peristiwa. Umpamanya kalau kita melihat sebuah mobil sebagai stimulus maka kita akan

mengeluarkan satu tact “mobil” sebagai respon.

c.    Echoics

Adalah perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respon orang lain sebagai stimulus dan kita

meniru ucapan itu. Umpamanya seseorang mengatakan “mobil” maka stimulus itu akan

membuat kita mengucapkan kata “mobil” sebagai sebuah respon.

d.    Textual

Adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk

perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah

hubungan sistematik antara system penulisan atau bahasa dengan respon ucapan apabila

membacanya secara langsung. Jadi apabila kita melihat tulisan “kucing”  sebagai stimulus maka

kita mmberi respon (ejaan kata kucing).

e.    Intraverbal operant

Adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilakukan atau

dialami oleh penutur. Umpamanya kalau sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain

yang ada hubungannya akan diucapkan sebagai respon. Kata meja misalnya, akan

membangkitkan kata kursi, begitu juga kata terima kasih akan membangkitkan kata kembali

sebagai responnya.

C.   HIPOTESIS KESEMESTAAN KOGNITIF.

Dalam kognitifisme hipotesis ini yang diperkenalkan oleh Piaget telah digunakan sebagai dasar

untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak.

Page 19: Pemerolehan Bahasa

Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperolah berdasarkan

struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui

interaksi dengan benda-benda atau orang-orang disekitarnya.

Urutan pemerolehan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut :

1.    Antara usia 0 sampai 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara

bereaksi terhadap alam sekitarnya.

2.    Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memaski tahap representasi

kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun.

3.    Setelh tahap represntasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir, maka bahasa

anak-anak semakin berkembang dn dengan mendapat nilai-nilai sosialnya.

Tahap-tahap pemerolehan bahasa menurut Sinclair-de Zwart (1973) :

1.    Kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya

untuk menyampaikan satu pola aksi.

2.    Jika gabungan bunyi pendek ini dipahami, maka kana-kanak itu akan memakai seri bunyi

yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk

menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang

lain.

3.    Setelah tahap kedua muncullah funsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat

dan objek.

Dewasa ini, seperti juga dalam linguistic, dalam kognitifisme perhatian juga lbih ditujukan pada

masalah makna seperti peranannya dalam pemerolehan bahasa. Mc. Namara (1972) mengatakan

bahwa makna dan kode linguistic merupakan dua wujud yang berlainan. Kode linguistic terdiri

dari sekumpulan formatif dan alat sintaksis yang menpunyai fungsi untuk menghubungkan

makna dan system fonologi bahasa itu.

Page 20: Pemerolehan Bahasa

Meskipun berlainan, makna dan kode linguistic itu dialami dan diperoleh secrara bersamaan.

Dalam hal ini baik piaget maupun mc namara sama-sama berpendapat bahwa kana kanak itu

lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan linguistic.

Bab III         

       Penutup

KESIMPULAN :

A.   HIPOTESIS NURANI

Setiap bahasawan (penutur asli suatu bahasa) tentu mampu memahami dan membuat

(menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan”

atau menyimpan dalam nuraninya akan tata bahasa bahasanya itu menjadi kompetensi

bahasanya.

B.   HIPOTESIS TABULARASA.

Page 21: Pemerolehan Bahasa

Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”, dalam arti belum ditulisi apa-apa. Lalu,

hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas

kosong, yang nanti akan ditulisi atau didisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada

mulanya dikemukakan oleh John Locke yang kemudin dianut dan disebarluaskan oleh John

Watson.

C.   HIPOTESIS KESEMESTAAN KOGNITIF.

Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperolah berdasarkan

struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui

interaksi dengan benda-benda atau orang-orang disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer,Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta : Rineka Cipta.

Iskandarwassid dan Dadang Sunendar.2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. 

       Bandung: Remaja Rosda Karya.

Safriandi.2009. Pemerolehan Bahasa Pertama. Melalui

       http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/.

Tarigan, Henry Guntur.1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung : Angkasa.

Yanris.2009.Kelahiran Bahasa dan Pemerolehan Bahasa pada Anak. Melalui 

       http://yanris.wordpress.com/katalanjang/kelahiran-bahasa-dan-pemerolehan-

Page 22: Pemerolehan Bahasa

       bahasa-pada-anak/.

MENINGKATKAN KEMAHIRAN MEMBINA AYAT MAJMUK DALAM KALANGAN

MURID TAHUN 3 CEMERLANG

LILIES SURYANTI BINTI AZEMI

ABSTRACT

This study is an action reseach that aims to upgrade skill build compound sentence in Malay

language writing. I have realized that difficult students to build sentence if not being coached or

has not been granted stimulation material. Therefore, a study action was being conducted on a

group of Tahun student 3 Cemerlang in Sekolah Kebangsaan Islah, Kota Bharu to find and

prove effective method so that students more easily to build compound sentence. I has singled

Responds-Stimulus method “5W1H” to aid students build compound sentence that. Study this

was being conducted on 11 people student. All information that need to be analyzed in study this

was gained through diagnostic test, observation, document analysis, pre test and also post test.

Various forms of training build compound sentence in writing on a topic were given, among

them including building sentence based on serial pictures, building sentence based on single

picture and constructed sentence with use conjunction that given. Study findings showing skill

build compound sentence in writing about something topic grew by 30.4%. I hope study this able

to improve skill build compound sentence in year students Tiga Cemerlang.

Page 23: Pemerolehan Bahasa

1.0 Pengenalan

Menulis merupakan kemahiran asas yang perlu dikuasai oleh semua pelajar. Kemahiran

membina ayat adalah salah satu aspek penting dalam bahasa Melayu. Banyak kajian yang telah

dijalankan mendapati kebanyakan pelajar menghadapi masalah dalam penulisan terutamanya

dari aspek membina ayat dengan betul dan lengkap. Kebanyakan pelajar menghadapi masalah

menyusun idea dalam penulisan dan tidak dapat mengekspresi dengan baik untuk memastikan

penulisan mereka disiapkan mengikut tujuan yang telah ditetapkan. Hari ini, menulis terus

menjadi kelemahan paling ketara pelajar-pelajar sekolah. Walaupun skor pencapaian standard

telah meningkat dalam beberapa aspek, penulisan yang lemah terus menjadi masalah yang

menonjol. Hal ini kerana, semasa berlangsungnya pengajaran dan pembelajaran (P&P)

kemahiran menulis, didapati pelajar menghadapi masalah dalam pembinaan ayat jika bantuan

seperti gambar, kosa kata atau rangkai kata tidak disertakan. Masalah ini dikenal pasti apabila

pelajar tidak dapat membina ayat tentang sesuatu topik ketika sesi pengajaran dan juga

berdasarkan semakan buku latihan mereka. Setelah meneliti masalah yang dihadapi, saya

merasakan masalah utama yang perlu difokuskan ialah meningkatkan kemahiran membina ayat

majmuk. Hal ini kerana murid lebih cenderung untuk menulis ayat tunggal sahaja.

2.0 Fokus Kajian

Semasa menjalani latihan mengajar di sekolah, saya telah mengajar di kelas Tiga Cemerlang

yang terdiri daripada 41 orang pelajar yang tiada banyak masalah pembelajaran kerana mereka

antara pelajar yang pandai dan berada di kelas yang kedua daripada lapan kelas yang terdapat di

sekolah ini. Semasa menjalankan sesi pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas, saya telah

mendapati kebanyakan pelajar lebih suka membina ayat tunggal sahaja. Masalah ini jika

dibiarkan berlarutan akan mempengaruhi markah peperiksaan mereka, terutamanya pada

bahagian karangan.

            Pelajar yang membina ayat tunggal sahaja dalam bahagian penulisan akan menyebabkan

mereka tidak mendapat markah penuh semasa peperiksaan. Situasi ini tidak boleh dibiarkan

berlarutan kerana membina ayat adalah penting terutamanya untuk membolehkan pelajar

memperolehi keputusan peperiksaan yang cemerlang. Sekiranya masalah ini tidak diatasi,

Page 24: Pemerolehan Bahasa

kemungkinan peratus markah dalam penulisan bahasa Melayu nanti akan terjejas. Saya perlu

melakukan sesuatu untuk mengelakkan masalah ini dari berlarutan sehingga menjejaskan prestasi

pembelajaran pelajar. Oleh itu, saya perlu meningkatkan penguasaan pelajar dalam kemahiran

membina ayat majmuk dengan menggunakan kaedah Soalan-Respons “5W1H” melalui gambar

besiri, gambar tunggal dan kata hubung.  

Masih terdapat ramai pelajar yang bermasalah dalam membina ayat majmuk semasa sesi

pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas.  Melalui pemeriksaan buku latihan dan lembaran

kerja pelajar, didapati pelajar ketandusan idea dan  tidak dapat membina ayat majmuk yang

berkaitan dan bersesuaian dengan topik yang diberi. Isu ini perlu ditangani supaya tindakan yang

sewajarnya boleh diambil untuk membantu pelajar menjadi lebih arif dan bijak dalam penulisan.

            Saya merasakan bahawa masalah ini dapat diselesaikan dengan menggunakan kaedah dan

strategi yang sesuai. Hal ini berdasarkan kajian tentang masalah membina ayat majmuk yang

telah banyak dikaji oleh pengkaji-pengkaji yang terdahulu, antaranya ialah seperti Hartini

( 2005 ), Iskandar Muda ( 2005 ),  Harris Fadzilah ( 2002 ), Zalinawati ( 2006 ), Azizah dan

Samidon ( 2006 ), Habsah ( 2006 ) dan Masni dan Suen ( 2007 ). Sekolah yang saya jalani

latihan mengajar juga telah mengalami masalah yang sama iaitu pelajar didapati bermasalah

dalam aspek membina ayat terutamanya ayat majmuk. Hal ini dapat dikenal pasti semasa proses

pengajaran berlangsung, terutamanya semasa sesi kemahiran menulis. Walaupun masalah ini

wujud di sekolah tersebut, namun tidak ada individu yang bertanggungjawab untuk

melaksanakan kajian tentang masalah ini. Oleh itu, wajarlah kajian ini dilakukan bagi

Meningkatkan Kemahiran Membina Ayat Majmuk dalam Kalangan Pelajar Tahun Tiga

Cemerlang.

3.0 Objektif Kajian

Page 25: Pemerolehan Bahasa

Kajian ini bertujuan untuk :

1.     Untuk meningkatkan  kebolehan pelajar membina dan menulis ayat majmuk  dalam

penulisan tentang sesuatu topik.

2.     Untuk mengesan kaedah yang sesuai dalam penulisan tentang sesuatu topik.

3.     Untuk meningkatkan penguasaan pelajar dalam membina ayat majmuk melalui langkah-

langkah yang dilaksanakan.

4.0 Kumpulan Sasaran

Kajian ini telah dilakukan di Sekolah Kebangsaan Islah yang terletak di Bandar Kota Bharu.

Sekolah ini mempunyai lebih kurang 1600 orang pelajar dan dianggotai oleh barisan guru

seramai 86 orang iaitu 19 lelaki dan 67 orang perempuan. Sekolah ini mempunyai dua tahap iaitu

tahap satu dan tahap dua yang merangkumi tahun satu hingga tahun enam dan terdapat juga

pelajar pra sekolah. Setiap tahun mempunyai tujuh hingga lapan kelas dan pelajar di sekolah ini

belajar dalam satu sesi sahaja.

Sekumpulan 41 orang  pelajar tahun Tiga Cemerlang difokus untuk kajian ini iaitu terdiri

daripada 12 pelajar lelaki dan 29 pelajar perempuan.  Kumpulan  pelajar ini tergolong dalam

kumpulan baik, sederhana dan kumpulan lulus. Pelajar tahun Tiga Cemerlang ini merupakan

murid yang terdiri daripada pelbagai kebolehan. Disebabkan sekolah ini merupakan sebuah

sekolah yang besar dan kuantiti pelajar yang terdapat di dalam satu-satu kelas tersebut ramai,

maka semua pelajar bergaul bersama tanpa mengambil kira perbezaan kebolehan. Boleh

dikatakan kesemua pelajar yang terdapat di dalam kelas ini mempunyai latar belakang

sosioekonomi yang sederhana dan cuma terdapat seorang dua sahaja yang betul-betul agak

berstatus tinggi. Setelah berbincang dengan guru kelas tiga Cemerlang dan juga hasil ujian

Page 26: Pemerolehan Bahasa

diagnostik yang telah dijalankan, 11 pelajar bermasalah dari aspek membina ayat majmuk yang

terdapat dalam kelas ini diambil sebagai responden. 

5.0 Tindakan

5.1 Tinjauan Masalah

Saya mendapati bahawa pelajar lebih gemar membina ayat tunggal dan kegagalan mereka

membina ayat majmuk dengan baik dalam penulisan. Semasa berlangsungnya pengajaran dan

pembelajaran didapati pelajar menghadapi masalah dalam pembinaan ayat majmuk jika bantuan

seperti gambar, kosa kata atau rangkai kata tidak disertakan.  Amalan memberikan pelajar

gambar dan perbendaharaan kata semasa membina ayat dapat memudahkan proses pengajaran

dan pembelajaran di dalam bilik darjah tetapi pelajar masih lagi tidak dapat mengembangkan

ayat menjadi ayat majmuk yang lengkap. Keadaan ini dapat dilihat dengan jelas semasa

melaksanakan latihan di dalam kelas. Semasa tinjauan masalah dilakukan , pelajar didapati:-

a)     Lebih suka membina ayat tunggal sahaja.

b)    Membina ayat majmuk terhad kepada kata hubung yang mudah difahami oleh murid,

contohnya ‘dan’.

c)     Tidak tahu membina ayat majmuk dengan menggunakan kata hubung yang sesuai.

5.2 Pelaksanaan Tindakan

5.2.1 Kaedah Soalan-Respons “5W1H”

Saya telah memperkenalkan kaedah Soalan-Respons “5W1H” kepada responden dan meminta

mereka mengingatinya.  Perkataan yang mula-mula digunakan ialah “ siapa “ ( who ) atau siapa

yang terlibat dalam situasi tersebut. Saya meminta pelajar membayangkan siapa  atau subjek.

Page 27: Pemerolehan Bahasa

Kemudian pelajar di minta menamakan subjek tersebut. Sekiranya subjek tersebut manusia,

maka tuliskan nama orang itu dan sekiranya haiwan atau benda tuliskan juga namanya.

Seterusnya “ bila “ ( when ), saya meminta pelajar membayangkan bilakah kejadian  tersebut

berlaku iaitu dari aspek masa atau hari. Begitu juga dengan “ di mana “ ( where ), pelajar

dikehendaki memberi contoh tempat kejadian atau sesuatu peristiwa itu berlaku. Bagi perkataan

“ kenapa “ ( why ) pula, pelajar perlu menyatakan kenapa sesuatu peristiwa atau keadaan itu

terjadi. Kemudian, melalui perkataan “ apa “ ( what ), pelajar perlu menyoal diri mereka sendiri

tentang apakah peristiwa yang berlaku dan perkataan “ bagaimana “ ( how ) pula memerlukan

pelajar memikirkan bagaimana keadaan atau situasi yang berlaku.  Saya telah melaksanakan

kaedah ini sepanjang tempoh latihan mengajar iaitu mengambil masa kira-kira 10 minit bagi

setiap sesi untuk mengukuhkan ingatan pelajar. 

Siapa ( who ) : Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut?

Apa ( what ) : Apakah peristiwa yang berlaku?

Bila ( when ) : Bilakah kejadian  tersebut berlaku?  (dari aspek masa

atau     hari )

Di mana ( where ) : Contoh tempat kejadian atau sesuatu peristiwa itu

berlaku

Kenapa ( why ) : Kenapa sesuatu peristiwa atau keadaan itu terjadi?

Bagaimana ( how ) : Bagaimana keadaan atau situasi yang berlaku?

5.2.2 Latih tubi kaedah Soalan-Respons “5W1H” menggunakan gambar   bersiri.

Latihan ini memerlukan pelajar membina ayat majmuk berdasarkan gambar bersiri yang

diberi. Berlainan dengan apa yang pelajar biasa hadapi, para pelajar tidak diberi perbendaharaan

kata yang berkaitan tetapi pelajar perlu menggunakan teknik Soalan-Respons“5W1H” yang telah

diperkenalkan kepada mereka untuk membantu mereka mencari idea atau mengembangkan isi

yang terkandung dalam gambar, kemudian pelajar di minta membina ayat majmuk yang

Page 28: Pemerolehan Bahasa

bersesuaian dengan gambar yang diberi. Latihan ini dilaksanakan pada masa rehat dan juga masa

ketiadaan guru mata pelajaran.

5.2.3 Latih tubi kaedah Soalan-Respons “5W1H” menggunakan gambar tunggal.

Aktiviti pada strategi 3 memerlukan pelajar membina lima ayat majmuk berdasarkan gambar

tunggal. Bilangan ayat yang perlu ditulis oleh pelajar dihadkan oleh saya.  Gambar tunggal juga

diberi kepada para pelajar untuk membantu mereka mengembangkan idea dan ini juga dapat

menguji kemahiran berfikir para pelajar ke tahap yang lebih tinggi. Bagi memudahkan pelajar

mendapat idea dan mengembangkannya, saya telah meminta pelajar membulatkan gambar atau

situasi yang menunjukkan kata kerja. Kemudian barulah pelajar membina ayat dengan

menggunakan kata kerja tersebut. Pelajar juga diingatkan supaya menggunakan kaedah Soalan-

Respons “5W1H” semasa membina ayat. Saya telah menggunakan sesi pengajaran dan

pembelajaran dan juga masa rehat untuk melaksanakan latihan ini.

5.2.4 Latih tubi Soalan-Respons “5W1H” menggunakan kata hubung.

Strategi 4 memerlukan pelajar membina ayat majmuk berdasarkan kata hubung yang diberi.

Latihan ini bertujuan membimbing pelajar membina ayat majmuk dalam penulisan dan diharap

pelajar dapat menggunakan pelbagai kata hubung yang bersesuaian . Latihan ini telah dilakukan

pada masa terluang dan dilaksanakan di pusat sumber sekolah selama lebih kurang satu jam.

Saya berfungsi sebagai pembimbing pelajar dalam mengaplikasikan kaedah Soalan-

Respons “5W1H”.

6.0 Dapatan Kajian

Ujian Pra dan Ujian Pos yang dijalankan memberi hasil seperti berikut :

Jadual 6.1 : Perbezaan Pencapaian Ujian Pra dan Pos

Page 29: Pemerolehan Bahasa

Bil Nama Ujian Pra

(%)

Ujian Post

(%)

1 Ahmad Zakwan B. Esahak 53 85

2 Ahmad Zawawi B. Mohamad 53 68

3 Mohamad Hazril B. Mohd Aziz 63 98

4 Mohamad Waie Ajmal B. Mohd Azri 50 75

5 Muhammad Akief B. Abd Azid 48 88

6 Nor Aiman Alif B. Ishak 55 70

7 Wan Afiq Haikal B. Wan Mohamed Rizal 38 82

8 Nur Amni Syuhada Bt Azhan 63 85

9 Nur Anis Athirah Bt Shafulizam 38 85

10 Qistina Hanani Bt Rizal 55 87

11 Sarah Balqis Bt Muhamad Rosdi 58 85

Min = 52.1% 82.5%

Berdasarkan Jadual 6.1 di atas, terdapat perbezaan dalam markah pencapaian pelajar yang telah

menjalani proses tindakan yang dilaksanakan oleh saya. Jadual tersebut menunjukkan perbezaan

yang berlaku antara pencapaian ujian pra dan ujian pos. Min purata bagi ujian pra ialah sebanyak

52.1%, manakala min bagi ujian pos pula ialah sebanyak 82.5%. Beza min antara kedua-dua

ujian tersebut ialah sebanyak 30.4%. Oleh yang demikian, secara keseluruhannya min purata

pencapaian pelajar yang menjalani tindakan tersebut telah melonjak dari 52.1% kepada

82.5%.Dapatan peningkatan min purata dalam ujian pos telah membuktikan bahawa terdapat

perubahan pencapaian setiap murid dalam penguasaan kemahiran membina ayat majmuk.

Page 30: Pemerolehan Bahasa

7.0 Perbincangan

7.1 Rumusan

Pengukuhan yang berterusan penting untuk menambah baik penguasaan pelajar.

Penambahbaikan kajian tindakan ini perlu dilakukan bagi meningkatkan lagi penguasaan pelajar

dalam kemahiran membina ayat majmuk. Hal ini kerana kerana didapati ramai pelajar yang

melakukan kesilapan semasa menulis karangan iaitu dari aspek binaan ayat terutamanya ayat

majmuk dan ini akan menyebabkan mereka tidak dapat memperolehi markah yang

tinggi.  Semua pelajar sebenarnya mempunyai potensi untuk berjaya, namun kelemahan mereka

dalam penguasaan konsep menyebabkan mereka menghadapi masalah dalam aspek tersebut.

Tetapi melalui latihan yang berterusan saya yakin dan percaya bahawa pelajar ini akan berjaya.

Hal ini ditambah pula dengan minat dan kesungguhan yang ditunjukkan mereka semasa aktiviti

dijalankan.

Kesimpulannya, kajian yang dilakukan untuk meningkatkan penguasaan pelajar dalam

kemahiran membina ayat majmuk dengan menggunakan kaedah Soalan-Respons “5W1H” ini

telah berjaya membantu pelajar meningkatkan prestasi mereka. Diharap dengan kaedah yang

diperkenalkan ini pelajar dapat menguasai kemahiran menulis dengan baik dan seterusnya dapat

meningkatkan tahap pencapaian pelajar dalam mata pelajaran bahasa Melayu ke peringkat yang

lebih tinggi.

7.2 Cadangan Kajian Seterusnya

Page 31: Pemerolehan Bahasa

Aktiviti penyelidikan seumpama ini merupakan salah satu medium penting yang dapat diaplikasi

untuk mengenal pasti masalah yang dihadapi oleh para pelajar dan seterusnya dapatlah difikirkan

altenatif yang sewajarnya bagi menyelesaikan masalah tersebut. Kaedah yang diperkenalkan

kepada pelajar dilihat telah dapat membantu pelajar untuk meningkatkan penguasaan mereka

dalam kemahiran membina ayat. Namun demikian, latihan pengukuhan yang konsisten dan

berterusan haruslah diberikan oleh guru-guru bagi menambah kecekapan pelajar tersebut.

Kajian tindakan ini harus dijalankan dalam satu tempoh masa yang lebih panjang untuk

mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik.  Dalam jangka masa yang singkat, saya tidak

dapat memperkenalkan kaedah ini kepada semua pelajar. Oleh itu, diharap kajian ini dapat

dilaksanakan kepada semua pelajar supaya mereka juga mendapat manfaat yang sama dan dapat

membantu memudahkan mereka untuk menguasai kemahiran tersebut terutamanya bagi pelajar

yang akan menduduki peperiksaan besar seperti Ujian Penilaian Sekolah Rendah.

 Seterusnya, kajian juga boleh dijalankan berdasarkan beberapa pendekatan yang lain atau

dengan menggabungjalinkan pelbagai kaedah dan teknik supaya dapat meningkatkan

keberkesanan pengajaran dan pembelajaran pada masa akan datang. Kaedah yang diperkenalkan

ini juga boleh digunakan oleh pihak sekolah terutamanya untuk para pelajar yang lemah dalam

aspek kemahiran menulis. Selain itu, kajian tindakan ini juga dapat diperluaskan lagi skopnya

pada masa hadapan iaitu menerusi kajian tentang struktur ayat, perbendaharaan kata dan

sebagainya.

Sesungguhnya hal ini sangat penting kerana kemahiran menulis merupakan salah satu aspek

penting untuk menjamin masa depan para pelajar iaitu melalui ujian, peperiksaan dan

sebagainya. 

Page 32: Pemerolehan Bahasa

RUJUKAN

Rujukan Buku

Habsah bt Nan (2006). Teknik Four Wifes One Husband : Membina Ayat Penyata Berdasarkan

Gambar

Tunggal atau Bersiri. Jurnal Kajian Tindakan Guru IP Perlis : Jilid (1) / 2006‚ 35-56.

Hazina Zakariah (1989). Analisis Kesilapan Dalam Membuat Ayat di Kalangan Murid-

Murid. Jurnal

     Pendidikan MP Seri Kota. Kuala Lumpur : Bil (2) / Oktober 1989‚ 3-19.

Iskandar Muda (2005).  Penggunaan Latih Tubi Berdasarkan Gambar Bagi Meningkatkan

Pencapaian

     Dan Kebolehan Murid Tahun 5 Membina Ayat Bahasa Inggeris. Prosiding Seminar

Page 33: Pemerolehan Bahasa

 Penyelidikan Pendidikan IPBA 2005. 26-35

Nor Idayu (2005). Meningkatkan Kemahiran Membina Ayat Bahasa Inggeris Melalui Latih Tubi

     Menggunakan Tafsiran Gambar Dan Kata Kunci Bagi Murid Tahun 2. Prosiding

Seminar Penyelidikan Pendidikan IPBA 2005. 73-84

Raminah Hj Sabran (1987). Penilaian Pencapaian Murid-Murid Tahun 4 KBSR (Percubaan)

dalam

      Penguasaan Bahasa Malaysia (Pembinaan Ayat). Jurnal Pendidikan Guru BPG‚ KPM : Bil

(3)/ Julai 1987‚ 1- 24.

Rosmawati bt Sakdon (2003). Penggunaan 12 Langkah Strategik untuk Meningkatkan

     Pengetahuan dan Kemahiran Murid Menulis Ayat “Simple Present Tense”. Prosiding

Seminar Penyelidikan Pendidikan Kebangsaan. Jilid (1) / 187-195.

Hazina Zakariah (1989). Analisis Kesilapan Dalam Membuat Ayat di Kalangan Murid-

Murid. Jurnal

     Pendidikan MP Seri Kota. Kuala Lumpur : Bil (2) / Oktober 1989‚ 3-19.

Rujukan Internet

Page 34: Pemerolehan Bahasa

Azizah Othman dan Samidon Abdullah ( 2006 ). Meningkatkan kemahiran pelajar membina

ayat      mudah dengan struktur yang betul dalam bahasa Inggeris dengan menggunakan formula

P/NVPA/PO/S2CD/OP3/AF2. Diperoleh pada 28 Febuari 2010

daripadahttp://www.arjpnj.com/ktindak/files/binaayat.pdf.

Harris Fadzilah Kassim ( 2002 ).Masalah menulis karangan di kalangan pelajar-pelajar tingkatan

empat. Kertas Projek yang dikemukakan kepada Universiti Malaya sebagai memenuhi

sebahagian

daripada keperluan Ij azah Sarjana Pendidikan. Diperoleh pada 3 Mac 2010 dan dipetik daripada

jurnal http://apps.emoe.gov.my/ipba/ResearchPaper/IPBAProsiding2005.pdf

Hartini Binti Hussin ( 2005 ). Meningkatkan kemahiran merumus karangan bahasa Melayu

dalam kalangan murid tahun enam melalui permainan padanan kad. Prosiding Seminar

Penyelidikan

Pendidikan IPBA  2005. Diperoleh pada13 Febuari 2010 dan dipetik

daripadahttp://www.arjpnj.com/ktindak/index.php?

option=com_content&view=article&id=55:meningkatkan-kemahiran-membina-ayat-mudah,pdf

Zalinawati Othman ( 2006 ). Meningkatkan kemahiran membina ayat mudah dalam penulisan

bahasa Inggeris menggunakan Little Book. Jurnal Kajian Tindakan Negeri Johor 2006 Sekolah

Rendah.

Diperoleh pada 3 Febuari 2010 daripada http://www.arjpnj.com/ktindak/files/littlebook.pdf

Page 35: Pemerolehan Bahasa

POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL

BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA

Page 36: Pemerolehan Bahasa

Abstrak: Pola akuisisi atau pemerolehan bahasa pada manusia normal tentunya berbeda dengan

manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau afasia. Afasia sendiri memiliki berbagai

macam jenis yang salah satunya adalah afasia motorik kortikal. Penderitanya kehilangan

kemampuan mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Pola akuisisi bahasa pada

penderita afasia motorik kortikal ini akan dihubungkan dengan salah satu hipotesis pemerolehan

bahasa yaitu hipotesis tabularasa. Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia yang baru lahir

diibaratkan seperti kertas kosong.

Kata Kunci : akuisisi bahasa, afasia motorik kortikal, hipotesis tabularasa.

1. LATAR BELAKANG

Sungguh merupakan keagungan Tuhan yang tiada terkira. Dia yang menciptakan manusia

sebagai makhluk yang paling sempurna. Sebagai makhluk yang sempurna, manusia telah

dibekali berbagai kemampuan sejak dari ia dilahirkan. Salah satu kemampuan manusia yang

membedakan dan menjadi keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain ialah kemampuan

berbahasa. Dengan kemampuan itulah, sejak kecil manusia belajar memahami dan mengucapkan

kata-kata.

Akuisisi atau pemerolehan bahasa pada manusia normal merupakan pembahasan yang menarik

terkait dengan ranah ilmu kebahasaan. Namun akan lebih menarik lagi apabila yang dibahas

adalah mengenai akuisisi pada manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau yang dalam

istilah ilmiah disebut afasia. Akuisisi bahasa pada penderita afasia tentunya berbeda dengan

akuisisi bahasa pada manusia normal. Penderita afasia memiliki pola akuisisi sendiri sesuai

dengan tingkat kerusakan bagaian otak yang mengatur fungsi kebahasaan.

Artikel ini khusus membahas mengenai pola akuisisi bahasa yang ada pada penderita salah

satu dari jenis afasia (afasia motorik kortikal), dimana nantinya akan dijabarkan lebih lanjut.

Page 37: Pemerolehan Bahasa

Selain itu, untuk memperkaya khazanah sekaligus memperkuat dasar penulisan artikel ini, maka

penulis menghubungkan dengan salah satu dari beberapa hipotesis pemerolehan bahasa yaitu

hipotetis tabularasa. Keterkaitan antara pola akuisisi bahasa, afasia motorik kortikal dan

hipotesis tabularasa seperti yang telah dikemukakan, akhirnya menarik perhatian penulis untuk

membuat artikel dengan judul “Pola Akuisisi Bahasa pada Penderita Afasia Motorik Kortikal

Berdasarkan Hipotesis Tabularasa”.

2. POLA AKUISISI BAHASA

Istilah akuisisi atau yang dalam bahasa Inggris disebut acquisition merupakan padanan dari

istilah pemerolehan. Pemerolehan yang dimaksud yakni proses penugasan bahasa yang

dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (Dardjowijojo, 2005:

225). Pemerolehan bahasa (language acquisition) sering kali disamakan dengan dengan

pembelajaran bahasa (learning acquisition). Namun yang membedakan adalah jika pada akuisisi

bahasa, anak mengalami proses di dalam otaknya untuk belajar menguasai bahasa ibunya (native

language/bahasa pertama/B1), maka pada pembelajaran bahasa anak mengalami proses belajar

menguasai suatu bahasa yang secara formal (diajari) di dalam kelas. Pembelajaran bahasa

berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua atau B2.

Manusia yang sedang memperoleh bahasa mengalami dua buah proses yakni proses kompetensi

dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang

berlangsung secara tidak disadari. Senada dengan itu, Shinta (2010) membagi proses kompetensi

menjadi (1) proses pemahaman, yaitu kemampuan atau kepandaian mempersepsi kalimat-kalimat

yang didengar dan (2) proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat baru, yaitu

kemampuan mengeluarkan atau memproduksi kalimat-kalimat sendiri. Proses penerbitan ini

selanjutnya diteruskan pada proses performansi yang dalam linguistik transformasi generatif

disebut juga perlakuan atau pelaksanaan bahasa. Kedua proses ini berlainan, namun saling

berkaitan karena proses kompetensi merupakan syarat terjadinya proses performansi. Anak yang

telah menguasai kedua proses ini dikatakan memiliki kemampuan linguistik.

Page 38: Pemerolehan Bahasa

3. AFASIA MOTORIK KORTIKAL

Kerusakan otak di hemisfer kiri daerah pusat berbahasa (speech area) pada seseorang yang cekat

tangan kanan (rightander) dapat menimbulkan gangguan berbahasa yang dinamakan afasia

(Yelia, 2012). Lebih lanjutnya Yelia menjelaskan bahwa afasia merupakan gangguan

penggunaan bahasa baik lisan maupun tulis. Afasia dapat mengenai modalitas bahasa yang

terdiri dari percakapan (spontaneus speech), pemahaman bahasa lisan (comprehension of spoken

language), pengulangan (repetition of spoken language), penamaan (confrontation naming),

membaca dan menulis.

Pada penderita afasia, tidak tentu semua modalitas bahasanya terganggu. Ada dua pola

afasia yaitu afasia sensorik dan afasia motorik. Namun yang akan dibahas dalam artikel ini

dikhususkan pada afasia motorik yang merupakan akibat dari terganggunya neuron (saraf)

motorik. Neuron motorik berfungsi suntuk meneruskan impuls dari sistem saraf pusat ke otot dan

kelenjar yang akan melakukan respon tubuh (Lestari, 2009: 290). Afasia motorik berkenaan

dengan terganggunya area berbahasa yang berhubungan dengan lobus frontal, lobus temporal,

dan lobus pariental di otak bagian Broca. Area ini terletak di belahan otak kiri yang merupakan

tempat kemampuan untuk menghasilkan bahasa. Afasia motorik sendiri dibedakan menjadi

menjadi beberapa macam dan salah satunya adalah afasia motorik kortikal.

Purwo (1989: 173) menjelaskan afasia motorik kortikal sebagai salah satu jenis gangguan

berbahasa dimana pederitanya kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan

menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan

dan bahasa tulisan, namun sama sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal. Meskipun

begitu, ia masih bisa menggunakan ekspresi visual yaitu melalui bahasa tulis dan bahasa isyarat.

Penyebab afasia pada umumnya atau lebih khususnya pada afasia motorik kortikal dapat berupa

terjadinya lesi pada area penghasil ujaran pada otak yaitu broca. Penyebab lainnya seperti yang

dikemukakan oleh Prameswari (2011) antara lain stroke, traumatis dan cedera otak. Ini

sependapat dengan Welly (2012), menurutnya afasia terjadi ketika terjadinya serangan stroke

yang membuat gangguan bahasa dan komunikasi pada otak. .Afasia ini berkembang secara

perlahan-lahan, seperti dalam kasus tumor otak atau progresif penyakit saraf misalnya penyakit

alzheimer atau parkinson. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh pendarahan tiba-tiba yang

Page 39: Pemerolehan Bahasa

terjadi di dalam otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang jarang dari fentanyl, yaitu

suatu opioid yang digunakan untuk mengontrol rasa sakit kepala kronis.

Gejala-gejala afasia motorik kortikal antara lain sebagai berikut (1) ketidakmampuan

mengucapkan, bukan karena kelumpuhan atau kelemahan otot; (2) ketidakmampuan untuk

berbicara spontan; (3) ketidakmampuan untuk membentuk kata-kata; (4) ketidakmampuan untuk

menyebut nama objek; dan (5) terbatasnya perilaku verbal. Adapun penanganan pada penderita

afasia motorik kortikal antara lain dengan perawatan selama beberapa periode di rumah sakit.

Penanganan afasia pada umumnya hampir selalu diteruskan ke ahli logopedia atau orang yang

alhi dalam bidang komunikasi.

4. POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL

Clark dalam (Indah, 2008: 50) melansir bahwa, fungsi bahasa yang paling utama sejak orang

belajar bahasa adalah untuk komunikasi. Belajar bahasa yang dimaksud di sini adalah belajar

bahasa pertama atau pemerolehan bahasa pertama. Komunikasi dengan bahasa dibedakan

menjadi dua macam aktivitas manusia yang mendasar, yaitu berbicara dan mendengarkan.

Kegiatan komunikasi akan berjalan lancar apabila tidak ada gangguan, khususnya gangguan

berbahasa seperti afasia motorik kortikal.

Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasanya penderita afasia motorik kortikal mengalami

kerusakan atau cidera pada otak bagian broca sehingga kehilangan kemampuan dalam

mengungkapkan isi pikiran melalui perkataan atau ekspresi verbal. Namun ia masih bisa

menggunakan ekspresi visual seperti isyarat dan menulis untuk mengungkapkan pikiran. Jika

dihubungkan dengan pola akuisisi seperti dalam proses kompetensi dan performansi, tentunya

akan berbeda dengan pola akuisisi pada manusia normal. Namun perlu diingat bahwa seseorang

yang menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh.

Proses kompetensi terdiri atas proses pemahaman dan penerbitan. Dalam proses pemahaman atau

memamahi informasi yang didengar, penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami

gangguan sehingga ia tetap dapat memahami suatu ujaran. Begitu pula halnya dalam proses

Page 40: Pemerolehan Bahasa

penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat sendiri, penderita tidak akan mengalami

kesulitan.

Proses kompetensi merupakan pijakan bagi proses performansi atau proses pelaksanaan tindak

ujaran. Proses kompetensi pada pendeita afasia motorik kortikal memang tidak terganggu,

namun pada proses performansi atau tindak ujar (ekspresi verbal) ia sama sekali tidak dapat

melakukan. Broca tidak mampu memproses dan menghasilkan tindak ujaran. Ketika

berkomunikasi, penderita afasia motorik kortikal nampak seperti orang bisu yang

mengungkapkan isi pikiran melalui isyarat atau tulisan sebagai bentuk performansinya dalam

mengekspresikan atau mengutarakan isi pikiran.

5. HIPOTESIS TABULARASA

Dalam proses akuisisi atau pemerolehan bahasa, dikenal tiga macam hipotesis yaitu hipotesis

nurani, hipotesis tabularasa dan hipotesis kesemestaan kognitif. Namun, dalam artikel ini hanya

akan membahas salah satunya saja yaitu hipotesis tabularasa.

Tabularasa secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulis apa-apa (Chaer, 2009:

172). Hipotesis yang pertama kali dikenalkan oleh tokoh empirisme bernama John Locke ini

mengatakan bahwa otak bayi yang baru lahir bagaikan kertas kosong yang nantinya akan diisi

dengan pengalaman-pengalaman yang didapatnya. Lebih lanjut Chaer menjelaskan, menurut

hipotesis tabularasa semua pengetahuan bahasa manusia yang nampak dalam perilaku berbahasa

merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh

manusia.

Hipotesis tabularasa sejalan dengan toeri behaviorisme yang menganggap bahwa pengetahuan

linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara

pembelajaran S – R (Stimulus – Respon). Menurut teori ini bahasa adalah sekumpulan tabiat-

tabiat atau perilaku-perilaku. Tabiat-tabiat inilah yang akan dituliskan pada “kertas kosong”

tabularasa. Setiap kalimat yang muncul dari hasil pemikiran manusia merupakan kalimat-

kalimat baru.

Page 41: Pemerolehan Bahasa

Skinner dalam (Chaer, 2009: 176-178) mengatakan bahwa berbicara merupakan satu respons

operan yang dilazimkan kepada suatu stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak

diketahui. Selanjutnya Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang

hampir serupa fungsinya dengan ucapan antara lain sebagai berikut.

(1) Mands, yaitu satu operant bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat

menyingkirkan, merampas atau menghabiskan. Mands muncul sebagai kalimat imperaktif

(bersifat memerintah) berupa permohonan atau rayuan hanya apabila penutur ingin

mendapatkan sesuatu. Misalnya, kanak-kanak mengucap kata ‘susu’, hal ini terjadi karena ada

rasa haus atau lapar, anak tahu bahwa jika diucapkan kata itu, orang tua langsung

memberikannya (ganjaran). Mands memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dulu yang

serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan.

(2) Tacts, yaitu benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus.

Dalam tata bahasa tacts disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau

peristiwa. Misalnya apabila melihat rumah sebagai stimulus maka yang keluar adalah kata

‘rumah’ sebagai respons. (3) Echoics, yaitu suatu perilaku yang dipengaruhi oleh respon orang

lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu. Misalkan, seseorang mengucapkan ‘rumah’,

maka kita akan merespon mengucapkan ‘rumah’. (4) Textual adalah perilaku berbahasa yang

diatur oleh stimulus yang tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai

korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan semantik

antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respon ucapan apabila membacanya secara

langsung. Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulusnya kita memberi respons

[kuciŋ]. (5) Intraverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa

terdahulu dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya sebuah kata dituliskan sebagai

stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respon.

Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai

stimulus akan membangkitkan kata kembali sebagai responnya.

6. POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL

BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA

Page 42: Pemerolehan Bahasa

Di atas telah dibahas mengenai penderita afasia motorik kortikal dan kaitannya dengan pola

akuisisi bahasa. Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal ini selanjutnya akan

dihubungkan dengan salah satu hipotesis pemerolehan bahasa yaitu tabularasa. Menurut

hipotesis ini manusia dianalogikan sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja atau

dengan kata lain manusia dapat memperoleh bahasa apa saja. Hal ini berlaku juga pada

penderita afasia motorik kortikal yang memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan isi pikiran

melalui bahasa khususnya bahasa verbal.

Seperti yang telah dibicarakan mengenai berbicara sebagai satu respon operan yang dilazimkan

kepada sesuatu stimulus dari dalam atau dari luar yang sebenarnya tidak jelas diketahui, maka

dalam bagian ini akan diterangkan mengenai masing-masing kategori respon bahasa. Kategori-

kategori respon bahasa di sini tentunya berlaku pada penderita afasia motorik kortikal.

Sebenarnya penderita afasia motorik kortikal juga mengalami hal yang sama dengan manusia

normal dalam menangkap stimulus. Namun yang membedakan ialah caranya merespon.

(1) Pada kategori mands, sebagai contoh apabila seseorang yang normal ingin mendapatkan

sesuatu yang berasal dari stimulus misalkan saja rasa lapar, maka sebagai respon ia akan

mengucapkan minta makan. Berbeda halnya dengan penderita afasia motorik kortikal yang tidak

dapat menggunakan ekspresi verbal. Ketika mendapat stimulus berupa rasa lapar maka ia akan

menggunakan bahasa isyarat dengan mengelus-elus perutnya atau menuliskan pada selembar

kertas. (2) Contoh untuk respon bahasa tacts, jika pada manusia normal yang mendapat stimulus

melihat sebuah mobil akan mengeluarkan tact “mobil” sebagai respon, maka pada penderita

afasia motorik kortikal tidak tidak dapat megeluarkan tact “mobil”. (3) Echois, pada kategori ini

apabila pada manusia normal mendengar dari orang lain kata “mobil” sebagai stimulus ia akan

menirukan, namun tidak bagi penderita afasia motorik kortikal. (4) Textual, pada manusia

normal ketika membaca tulisan misalnya saja <kucing> sebagai stimulus maka maka akan

memberi respon pengucapan [kuciŋ]. Ini tentu tidak dapat dilakukan oleh penderita afasia

motorik kotikal karena ia tidak dapat berbicara. (5) Intraverbal Operant, jika manusia normal

dapat dengan mudah memberikan respon dari suatu kata yang diucapkan seseorang sebagai

stimulus berupa kata yang memiliki hubungannya, maka penderita afasia motorik kortikal tidak

mampu.

Page 43: Pemerolehan Bahasa

Lima kategori respons di atas sebetulnya dapat dilakukan oleh penderita afasia motorik kortikal.

Namun atas keterbatasannya dalam ekspresi verbal maka respon yang ia berikan bukanlah

berupa perkataan atau ucapan, melainkan berupa isyarat atau melalui tulisan. Gangguan

berbahasa afasia motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap. Dengan

memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita

afasia masih bisa bekomunikasi dengannya (AIA, 2012).

Khusus untuk penderita afasia motorik kortikal, cara kita untuk dapat berkomunikasi tidaklah

sesulit berkomunikasi dengan penderita afasia yang memiliki tingkatan cedera lebih parah.

Apabila kita ingin mengatakan sesuatu, maka katakan saja seperti berbicara dengan orang yang

normal karena penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami masalah pada pemahaman

ujaran. Namun, kita dituntut harus bersabar karena untuk merespons stimulus kita yang berupa

ujaran, responsnya bukan berupa ujaran melainkan berupa bahasa isyarat atau tulisan.

7. KESIMPULAN

Dalam pola akuisisi bahasa terdapat dua buah proses yaitu proses kompetensi dan performansi.

Proses kompetensi berkenaan dengan pemahaman dan penerbitan kata-kata, sedangkan proses

performansi berkenaan dengan tindak ujaran.

Pola akuisisi bahasa pada manusia normal tentu saja berbeda dengan manusia yang menderita

afasia atau gangguan berbicara. Penderita afasia khususnya afasia motorik kortikal mengalami

lesi pada otak bagian broca yang merupakan tempat menghasilkan bahasa. Penyebab terjadinya

lesi ini dapat berupa serangan stroke, trauma maupun cedera otak akibat hantaman benda yang

mengenai bagian otak penghasil bahasa.

Penderita afasia motorik kortkal kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan

menggunakan perkataan. Ia masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan, namun sama

Page 44: Pemerolehan Bahasa

sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal. Meskipun begitu, ia masih bisa menggunakan

ekspresi visual yaitu melalui bahasa tulis dan bahasa isyarat.

Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal berkaitan dengan proses kompetensi

dan performansi berbeda dengan manusia normal. Pada proses kompetensi berupa pemahaman

dan penciptaan kalimat-kalimat ia tidak mengalami kesulitan, namun pada proses performansi

berupa tindak ujar (ekspresi verbal) ia mengalami kesulitan karena tidak ada tindak ujar yang

muncul.

Hipotesis tabularasa menganalogikan manusia sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja

atau dengan kata lain dapat memperoleh bahasa apa saja. Hipotesis ini berhubungan dengan teori

behaviorisme yang mengandalkan hubungan stimulus-respons dalam komunikasi berbahasa.

Dalam hipotetsis tabularasa dibahas mengenai lima kategori respons bahasa yaitu mands, tacts,

echois, textual dan intraverbal operant.

Hipotesis tabularasa yang berbicara banyak mengenai stimulus-respons terjadi pula pada

penderita afasia motorik kortikal. Namun yang membedakan prosesnya dengan manusia normal

adalah cara ia merespons stimulus. Ia memiliki keterbatasan dalam ekspresi verbal maka respon

yang ia berikan bukanlah berupa perkataan atau ucapan, melainkan berupa isyarat atau melalui

tulisan. Gangguan berbahasa afasia motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap.

Dengan memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan

penderita afasia masih bisa bekomunikasi dengannya.

DAFTAR PUSTAKA

Aphasia, Association International. 2012. “Apakah Afasia?”. (Online)

http://www.afasie.nl/aphasia/pdf/26/brochure1.pdf. Diakses 18 Desember 2012.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowijodjo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Page 45: Pemerolehan Bahasa

Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dab Isu Umum. Malang:

UIN-Malang Press.

Lestari, Endang Sri dan Idun Kistinnah. 2009. Biologi 2: Makhluk Hidup dan Lingkungannya.

Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Prameswari, Anggun. 2011. “Aphasia, Apa Lagi Sih?”. (Online)

http://a11no4.wordpress.com/tag/gangguan-pervasif/. Diakses 14 Desember 2012.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1989. Pertemuan Linguistik Lembaga Atma Jaya: Kedua. Jakarta:

Kanisius.

Shinta, Qorinta. 2010. “Pemerolehan Pragmatik dalam Bahasa Anak Studi Kasus Prinsip Kerja

Sama – Maksim Grice pada Anak Usia enam (6) Tahun”. (Online)

www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fbib1/article/download/423/pdf. Diakses 15 Desember 2012.

Welly. 2012. “Penyakit Afasia”. (Online) http://missyellarose.blogspot.com/2010/02/5-penyakit-

afasia.html. Diakses 15 Desember 2012.