Pemerolehan Bahasa
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Maha Besar Allah yang telah menciptakan kita sebagai makhluk yang paling sempurna.
Sebagai makhluk yang sempurna, kesempurnaan kita telah ada sejak kita berada di dalam
kandungan. Allah memfasilitasi kita dengan otak dan kemampuannya untuk mengatasi suatu
masalah. Dengan kemampuan itulah, kita bisa sejak kecil pula mulai belajar banyak dan belajar
memahami kata-kata.
Pemerolehan kata-kata atau bahasa telah terjadi ketika kita masih kanak-kanak.
Pemerolehan bahasa ini bersifat alamiah dan naluri. Yang menjadi bahasa pertama, yaitu bahasa
ibu. Bahasa ibu ini bukanlah bahasa yang rumit sehingga pada masa kanak-kanak inilah yang
akan mempengaruhi perkembangan bahasa pada masa-masa sesudahnya.
1.2 Masalah
Masalah dalam makalah ini adalah “Apa sajakah tahapan dalam pemerolehan bahasa dan
bagaimana seseorang memeroleh bahasa yang ditinjau dari 3 hipotesis, yaitu hipotesis nurani,
hipotesis tabula rasa, dan hipotesis kesemestaan kognitif ?”
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan dalam pemerolehan bahasa dan
bagaimana seseorang memperoleh bahasa. Selain itu sebagai bahan presentasi pada mata kuliah
Pemerolehan Bahasa, Prof. Dr.Hj. Ratu Wardarita,M.Pd. pada semester I Program Pascasarjana
Universitas PGRI Palembang.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemerolehan bahasa atau akusisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak
seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning).
Pemerolehan bahasa dapat diartikan sebagai periode seorang individu memperoleh
bahasa atau kosakata baru. Pemerolehan bahasa sangat banyak ditentukan oleh interaksi rumit
antar aspek-aspek kematangan biologis, kognitif, dan social. Slobin (dalam
Iskandarwassid,2009:84) mengemukakan bahwa setiap pendekatan modern terhadap
pemerolehan bahasa akan menghadapi kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh
anak, memanfaatkan kapasitas bawaan sejak lahir yang beraneka ragam dalam interaksinya
dengan pengalaman-pengalaman fisik dan sosial.
Tidak ada makhluk lain yang mempunyai sesuatu seperti kemampuan-kemampuan
komunikatif kita sebagai insan manusia. Hipotesis ini ditunjang oleh kenyataan bahwa anak-anak
memperlihatkan suatu keseragaman dalam perkembangan linguistik mereka, yang melalui
sejumlah tahap pada usia-usia yang dapat diramalkan.
2.1 Tahapan-Tahapan Pemerolehan Bahasa
Sebelum kita membahas tentang hipotesis dalam pemerolehan bahasa, sebaiknya kita
tahu urutan-urutan pemerolehan bahasa oleh Mackey (dalam Iskandarwassid.2009:85) :
Umur 3 bulan
Anak mulai mengenal suara manusia, ingatan yang sederhana, tapi belum tampak. Segala sesuatu
masih terkait dengan apa yang dilihatnya.
Umur 6 bulan
Anak sudah mulai bisa membedakan antara nada yang “halus” dan “kasar”. Dia mulai membuat
vokal seperti “aĔĔ.aĔ..aĔĔaĔĔ.”
Umur 9 bulan
Anak mulai berinteraksi dengan isyarat. Dia mulai mengucapkan bermacam-macam suara dan
tidak jarang kita bisa mendengarnya sebagai suara yang aneh.
Umur 12 bulan
Anak mulai membuat reaksi terhadap perintah. Dia gemar mengeluarkan suara-suara dan bisa
diamati, adanya beberapa kata tertentu yang diucapkannya untuk mendapatkan sesuatu.
Umur 18 bulan
Anak mulai mengikuti petunjuk. Kosakatanya sudah mencapai sekitar 20.
Umur 2-3 tahun
Anak sudah bisa memahami pertanyaan dan perintah sederhana. Kosakatanya sedah mencapai
beberapa ratus. Anak sudah bisa mengutarakan isi hatinya dengan kalimat sederhana.
Umur 4-5 tahun
Pemahaman anak makin mantap walaupun masih sering bingung dalam hal-hal yang
menyangkut waktu. Anak mulai belajar berhitung dan kalimat-kalimat yang agak rumit mulai
digunakan.
Umur 6-8 tahun
Tidak ada kesukaran untuk memahami kalimat yang biasa dipakai orang dewasa sehari-hari.
Anak-anak mulai belajar membaca, yang akhirnya menambah pembendaharaan kata.
Berbeda halnya dengan Tarigan (1988:14), perkembangan pemerolehan bahasa dibagi
atas 3 bagian, yaitu perkembangan prasekolah, ujar kombinatori, dan perkembangan masa
sekolah.
Perkembangan prasekolah
1. Tahap pralinguistik
Anak manusia secara pembawaan lahir “diperlengkapi” buat interaksi social pada umumnya dan
buat bahasa pada khususnya. (dalam Iskandarwassid). Terbukti bayi lebih menyukai wajah
manusia atau gambarnya, kepada objek nyata aau gambarnya.Pada usia 2 bulan, anak memberi
respon yang berbeda-beda terhadap orang dan objek.
2. Tahap Satu Kata
Anak mampu mengekspresikan begitu banyak dengan kata-kata yang begitu sedikit.
3. Ujaran Kombinatori Permulaan
Ujaran kombinasi anak berkembang dari suatu system yang kebanyakan merupakan gabungan
dua atau tiga kata yang tidak berinfleksi, butir-butir yang berisi (nomina dan verba).
Perkembangan Ujaran Kombinatori
Perkembangan ini dibagi menjadi 3, yaitu peerkembangan negative (penyangkalan;
menggunakan kata ‘tidak/jangan’ di depan kalimat), perkembangan interogatif (pertanyaan),
perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi.
Perkembangan Masa Sekolah
Perkembangan ini meliputi perkembangan struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan
kesadaran metalinguistik (pertumbuhan kemampuan untuk memikirkan, mempertimbangkan,
dan berbicara mengenai bahasa sebagai sandi atau kode formal).
Berikut tahapan perkembangan bahasa anak-anak menurut Jean Piaget (dalam Tarigan.1988:35)
Usia Tahap Perkembangan Bahasa
0.0-0.5 Tahap meraban (pralinguistik) pertama
0.5-1.0 Tahap meraban (pralinguistik) kedua : kata nonsens
1.0-2.0 Tahap linguistik I : holofraksis; kalimat satu kata
2.0-3.0 Tahap linguistik II : kalimat dua kata
3.0-4.0 Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa
4.0-5.0 Tahap linguistik IV : tata bahasa pradewasa
5.0- Tahap V : kompetensi penuh
Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa Anak Secara Linguistik
Schaerlaekens dalam Mar’at.2005 (dalam Yanris) membagi periode perkembangan
bahasa pada anak sebagai berikut.
1. Periode Pralingual
Umumnya dialami anak pada usia 0-1 tahun, anak belum mengucapkan bahasa hanya
mengeluarkan bunyi-bunyi yang merupakan reaksi terhadap situasi tertentu.
a. Tahap mendekut (cooing)
Anak mengeluarkan bunyi yang mirip vokal atau konsonan (/ a /).
b. Tahap berceloteh (babbling)
Anak mengeluarkan gabungan mirip vokal dan konsonan (/ p /, / b /, / m /).
2. Periode Lingual
Umumnya dialami anak pada usia 1-2,5 tahun, anak mulai mengucapkan kata-kata.
a. Tahap ujaran holofrastik
Anak mampu memproduksi satu kata yang dapat menyatakan lebih dari satu maksud.
b. Tahap ujaran telegrafik
Anak mampu memproduksi dua kata sebagai pernyataan suatu maksud.
c. Tahap lebih dari dua kata
Anak mulai memproduksi lebih dari dua kata dan menunjukkan perkembangan morfologis.
Komunikasinya pun tidak lagi bersifat egosentris.
3. Periode Diferensiasi
Umumnya dialami anak pada usia 2,5-5 tahun, anak dianggap telah menguasai bahasa ibu
dengan penguasaan tata bahasa pokok. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi mulai berjalan
baik. Anak juga mulai mampu mengkomunikasikan persepsi dan pengalamannya kepada orang
lain.
2.2 Pemerolehan Bahasa : Beberapa Hipotesis
Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa
pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua
proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung
secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi
yang terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses
menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian
mengamati atau memampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Penerbitan
melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kedua jenis
proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi kemampuan linguistik
kanak-kanak itu. Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan
kemampuan menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistic generatif disebut
perlakuan, atau pelaksanaan bahasa, atau performansi.
Sejalan dengan teori Chomsky (dalam Chaer.2009: 168), kompetensi ini mencakup tiga
buah komponen tata bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen
fonologi ke dalam pemerolehan sintaksis dan semantik termasuk juga pemerolehan leksikon atau
kosakata.
Beberapa teori atau hipotesis yang berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa :
1. Hipotesis Nurani (The Innateness Hypothesis)
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap
pemerolehan bahasa kanak-kanak (dalam Chaer.2009). Di antara hasil pengamatan itu adalah
sebagai berikut.
1. Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal ‘diperkenalkan’ pada
bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
2. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak. Artinya baik
anak yang cerdas maupun anak yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
3. Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap, dan
jumlahnya sedikit.
4. Bahasa yang tidak diajarkan kepada makhluk lain; hanya manusia yang dapat berbahasa.
5. Proses perolehan bahasa oleh kanak-kanak dimana pun sesuai dengan jadual yang erat
kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak.
6. Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal, namun dapat dikuasai kanak-
kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga tau empat tahun saja.
Mengenai hipotesis ini perlu dibedakan adanya dua macam hipotesis nurani, yaitu
hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme. Hipotesis nurani bahasa merupakan
satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari
atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisasi manusia.
Hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh
manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum atau mekanisme nurani umum yang
berinteraksi dengan pengalaman.
Mengenai hipotesis nurani bahasa,Chomsky dan Miller (dalam Chaer.2009) mengatakan
adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu
dinamakannya language acquisition device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan
seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya. Cara kerja LAD dapat dijelaskan sebagai
berikut: apabila sejumlah ucapan yang cukup memadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja :
Sunda, Arab, Cina, dan sebagainya) ‘diberikan’ kepada LAD teori semantik generatif.
Yang penting untuk dikaji bukan hanya ucapan-ucapan saja melainkan juga pesan,
amanat, atau konsep yang terkandung dalam ucapan-ucapan itu (Campbell,1979). Tokoh utama
dalam pendekatan ini adalah Lois Bloom (dalam Chaer.2009) mengatakan bahwa ucapan kanak-
kanak mempunyai banyak penafsiran; dan orang dewasa (terutama ibu si kanak-kanak) pada
umumnya dapat menafsirkan ucapan kanak-kanak dengan tepat meskipun diucapkan dengan
sebuah kata. Misalnya, kanak-kanak mengucapkan kata ‘mimi’, maka orang dewasa menafsirkan
‘Saya mau minum’, inilah yang disebut holofrasis.
Ucapan holofrasis ini menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru sebagai bagian dari
versi hipotesis nurani yang menekankan pada komponen semantik. Dalam kaitan ini Mc. Neil
(dalam Chaer.2009) menyatakan bahwa struktur awal bahasa ini adalah stuktur awal bahasa
kanak-kanak di seluruh dunia adalah sama, meskipun budaya dan bahasa mereka berbeda.
Ucapan holofraksis kanak-kanak ini merupan bukti yang sugestif bahwa sebenarnya pada
tahap ucapan satu kata ini kanak-kanak telah mampu menyampaikan makna komunikasi dengan
hubungan-hubungan tata bahasa dasar. Bowerman (1973) mengumpulkan data-data ucapan
holofraksis dari Finlandia, Amerika, dan Samoa. Hasilnya menunjukkan bahwa ucapan awal
kanak-kanak itu dapat diuraikan berdasarkan tata bahasa dasar (struktur dalam), tanpa
transformasi.
2. Hipotesis Tabularasa
Tabularasa secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum diisi apa-apa.
Hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak pada waktu dilahirkan seperti kertas kosong,
yang nantinya akan ditulis atau diisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada
mulanya dikemukakan oleh John Locke seorang tokoh empirisme lalu disebarluaskan oleh John
Watson (psikologi behaviorime).
Dalam hal ini, menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan-dalam-bahasa manusia
yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik
yang dialami dan diamati oleh manusia.Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap
bahwa pengetahuan linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk
dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus – Respon). Cara pembelajaran S - R yang terkemuka
adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi
menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.
Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung
dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (respons). Perilaku bahasa yang efektif
adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan
jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.
Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si
anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila suatu
ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena
pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat
terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.
B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior,1957
(dalam Safriandi.2009) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran
ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut
Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya.
Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak
menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang
cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.
Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa teori
yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru
yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard
juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung
aliran ini.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa perilaku berbahasa
seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang
itu. Seorang kanak-kanak yang sedang memperoleh sistem bunyi bahasa ibunya, pada mulanya
akan mengucapkan semua bunyi yang ada pada semua bahasa yang ada di dunia ini pada tahap
berceloteh (babbling period). Orang tua si bayi hanya ‘memberikan’ bunyi-bunyi yang ada
dalam bahasa ibunya saja, maka si bayi dilazimkan untuk meniru bunyi-bunyi dari bahasa ibunya
saja. Jika tiruannya itu betul atau mendekati ucapan orang tuanya, maka ia mendapat ‘hadiah’
dari ibunya berupa senyuman, ciuman, tawa, dan lain sebagainya. Bisa dikatakan bahasa kanak-
kanak berkembang setahap demi setahap, mulai dari bunyi, kata, frase, dan kalimat. Menurut
teori behaviorisme bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau perilaku-perilaku.
Teori behaviorisme ini ditentang oleh kaum teori generatif transformasi karena tidak
mampu menerangkan proses pemerolehan bahasa (Simanjuntak,1987). Kritik dari pakar teori
generatif transformasi, terutama dari Chomsky (1959), membuat Jenkin (1964,1965)
melontarkan penjelasan mengenai kreativitas bahasa berdasarkan kerangka behaviorisme. Jenkin
memperkenalkan teori mediasi (penengah) yang disebut rantaian respons (response chaining).
Teori ini didasarkan pada prinsip mediasi yang diperkenalkan oleh Osgood. Tampak jelas bahwa
faktor penengah dimainkan oleh otak berperan penting dalam proses pembelajaran ‘rantaian
respon’ itu.
Menurut prinsip mediasi, jika seseorang telah mengenal hubungan antara meja dan kursi,
dan hubungan antara meja dan lantai, maka mengetahui hubungan antara kursi dan lantai akan
jauh lebih mudah.
Seseorang dapat mengeluarkan kalimat apabila orang lain mengeluarkan stimulus.
Menurut Skinner (1957) berbicara merupakan satu respon operan yang dilazimkan kepada suatu
stimulus dari dalam atau luar. Untuk menjelaskan hal ini, Skinner memperkenalkan sekumpulan
kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacts,
echoics, textuals, dan intraverbal operant.
a. Mand
Satu mand adalah satu operan bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat
menyingkirkan, merampas, dan menghabiskan. Di dalam tata bahasa mandsini sama dengan
kalimat imperaktif. Mands muncul sebagai kalimat imperaktif, permohonan, rayuan, hanya
apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Misalnya, kanak-kanak mengucap kata ‘susu’, hal
ini terjadi karena ada rasa haus atau lapar, anak tahu bahwa jika diucapkan kata itu, orang tua
langsung memberikannya (ganjaran). Mands memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan
dulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis
pengukuhan.
b. Tacts
Tacts adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. I
dalam tata bahasa tacts disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau
peristiwa.
c. Echoics
Echoics adalah suatu perilaku yang dipengaruhi oleh respon orang lain sebagai stimulus
dan kita meniru ucapan itu. Misalkan, seseorang mengucapkan mobil, maka kita akan merespon
mengucapkan mobil.
d. Tekstual
Tekstual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus yang tertulis sedemikian
rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi
yang dimaksud adalah hubungan semantik antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan
respon ucapan apabila membacanya secara langsung. Jadi, apabila kita melihat sebagai
stimulusnya kita memberi respons [kuciŋ].
e. Intraverbal Operant
Intraverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu
dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka
kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respon. Kata meja,
misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai stimulus akan
membangkitkan kata kembali sebagai responnya.
3. Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang diperkenankan oleh Piaget.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan
struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur itu diperoleh kanak-kanak melalui interaksi
dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan ini secara garis besar
adalah sebagai berikut :
1. Antara 0 sampai 1,5 tahun (0:0-1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara
bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian diatur menjadi struktur-
struktur akal (mental). Berdasarkan struktur-struktur akal ini kanak-kanak mulai membangun
satu dunia benda-benda yang kekal, yang disebut kekekalan lazim. Maksudnya kanak-kanak
mulai sadar bahwa meskipun benda-benda yang pernah diamatinya atau disentuhnya hilang dari
pandangannya; namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini.
2. Setelah struktur aksi dinuranikan, kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang
terjadi antara 2-7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk representasi
simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar,
dll.
3. Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan presentasi simboliknya, bahasa kanak-kanak
mulai berkembang dengan mendapatkan nilai-nilai social. Struktur linguistik mulai dibentuk
berdasarkan bentuk kognitif umum yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Menurut Piaget (1955) ucapan holofraksis pertama selalu menyampaikan pola-pola yang
pada umumnya mengacu kepada kanak-kanak itu sendiri. Misalkan, seorang kanak-kanak usia
1,5 tahun mengucapkan kata ‘Panana’ (grand papa) jika dia menginginkan seseorang melakukan
sesuatu untuk dirinya seperti yang biasa dia lakukan kakeknya.
Berdasarkan pandangan Piaget, Sinclair-de Zwart (1973) mencoba merumuskan tahap-
tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut :
Pertama, kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya
untuk menyampaikan satu pola aksi.
Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan
memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik
orang dewasa untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama
dilakukan oleh orang lain. Di dalam pola aksi itu itu sudah terjalin unsur, yaitu agen,aksi, dan
penderita.
Ketiga, setelah tahap kedua di atas muncullah fungsi-fungsi tata bahasa yang pertama,
yaitu subjek-predikat dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur :
Subjek – Verbal – Objek
Atau
Agen + Aksi + Penderita
Bisa dilihat dari penjelasan di atas bahwa hipotesis kesemestaan kognitif dalam psikologi
sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam linguistik. Dewasa ini, seperti juga
dalam linguistik, dalam kognitifisme perhatian juga lebih ditujukan pada masalah makna
(sematik) serta peranannya dalam pemerolehan bahasa. Piaget maupun Mc. Namara sama-sama
berpendapat bahwa kanak-kanak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang
bukan linguistik. Setelah itu barulah mereka memperoleh lambang-lambang linguistik. Jadi,
pemerolehan bahasa tergantung pada pemerolehan proses-proses kognitif itu.
Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di
antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh
nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih
umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan
perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky
yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan
struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa.
Bahasa harus diperoleh secara alamiah.
Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan
kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir
sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya.
Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak
sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan
simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian
berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerolehan bahasa terjadi sejak kanak-kanak yang terus berkembang berdasarkan
perkembangan usia juga dipengaruhi oleh lingkungan atau faktor sosial di sekitarnya. Hal ini
terlihat dari hipotesis yang ada bahwa pemerolehan bahasa merupakan naluri yang ada sejak
lahir dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan usia.
3.2 Saran
Pemerolehan bahasa ini akan mempengaruhi perkembangan berbahasa seseorang
sehingga ketika masa kanak-kanak diharapkan ibu sebagai sumber pemerolehan bahasa dapat
memberikan pengalaman yang berharga pada kanak-kanak.
Bab I
Pendahuluan
Pemerolehan bahasa atau akuisisi adalah proses yang berlangsung didalam otak
seseorang kanak-kanak ketika di memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya.
Pembelajaran bahas berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seseorang kanak-
kanak mempelajari bahasa kedua, setelah ia mempelajari bahas pertamanya. Jadi, pemerolehan
bahasa berkenaan dengan bahasa pertama sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan
bahasa kedua.
Ada dua proses terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa
pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses perfomansi. Kedua proses ini merupakan dua
proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang berlangsung
secara tidak disadari. Proses ini menjadi syarat terjadinya proses perfomansi yang terdiri dari dua
proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan.
Sejalan dengan teori Chomsky (1957,1965), kompetensi itu mencakup tiga komponen
tata bahasa yaitu komponen sintaksis, komponen semantic dan omponen fonologi. Oleh karena
itu pemerolehan bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan komponen tersebut. Ketiga
komponen tata bahasa ini tidaklah diperoleh secara berasingan, yang satu terlepas dari yang lain,
melainkan diperoleh secara bersamaan.
Bab II
Pembahasan
A. HIPOTESIS NURANI
Setiap bahasawan (penutur asli suatu bahasa) tentu mampu memahami dan membuat
(menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan”
atau menyimpan dalam nuraninya akan tata bahasa bahasanya itu menjadi kompetensi
bahasanya. Juga telah menguasai kemampuan-kemampuan memperformansi bahasa itu.
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap
pemerolehan bahasa kanak-kanak (Lenneberg, 1967, Chomsky, 1970). Diantara hasil
pengamatan itu adalah sebagai berikut :
1. Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja “diperkenalkan”
pada bahasa ibunya itu. Maksudnya dia idak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
2. Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecenderungan kanak-kanak. Artinya,
baik anak yang cerdas maupun anak yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
3. Kalimat yang didengar kanak-kanak sering kali tidak gramatikal, tidak lengkap dan
jumlahnya sedikit.
4. Bahasa tidak dapat diajarkan kepada mahluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
5. Prroses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dimanapun sesuai dengan jadwal yang erat
kaitannya dalam proses pematangan jiwa kanak-kanak.
6. Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai
kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat. Yakni waktu antara tiga atau mpat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan diatas dapat disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi olh
suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat.
Hipotesis nurani dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Hipotesis nurani bahasa.
Merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa
tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari
organisme manusia.
2. Hipotesis nurani mekanisme.
Menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan
kognitif umun dn mechanism nurani umum yag berinteraksi dengan pengalaman.
LAD (Language Acquisition Device) adalah alat khusus yang dimiliki setiap kanak-
kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa menurut Chomsky dan Miller (1957). Adapun cara kerja
dari alat ini dalah sebagai berikut :
Ucapan- ucapan bahasa (input) X è LAD è tata bahasa formal X (output)
Konsep LAD telah meransang penelitian pemerolehan bahasa sampai ketingkat yang
paling tinggi. pusat peratian pada mulanya diarahkan kepada pemerolehan komponen sentaksis
sedangkan semantic dan kognisi kurang diperhatikan. Hal ini tidak mengherankan karena teori
generative transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky memang hanya memusatkan
perhatian kepada keotonomian komponen sintaksis.
Namun dalam perkembangan yang terakhir pengkajian peemerolehan bahasa sudah lebih
memperhatikan tiga buah unsure yang dulu kurang diperhatikan ole LAD yaitu :
a. Korpus ucapan, yang kini dianggap berfungsi lebih daripada LAD saja.
b. Peranan semantic yang lebih penting daripada sintaksis.
c. Peranan perkembangan kognisi yang sangat menentukan dalam proses pemerolehan bahasa.
B. HIPOTESIS TABULARASA.
Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”, dalam arti belum ditulisi apa-apa. Lalu,
hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas
kosong, yang nanti akan ditulisi atau didisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada
mulanya dikemukakan oleh John Locke yang kemudin dianut dan disebarluaskan oleh John
Watson.
Dalam hal ini menurut hipoesis tabularasa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang
tampak dalam perilaku berbahasa adalah merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa yang
dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme mnganggap
bahwa pengetahuan linguistic terdiri hanya dari hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara
pembelajaran S – R (stimulus – respon).
Menurut Skinner bebicara merupak suatu respon operan yang dilazimkan kepada sesuatu
stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan hal
ini skinner memperkrnalkan sekumpulan kategori respon bahasa yang hamir serupa fungsinya
dengan ucapan.
Adapun kategori tersebut antara lain :
a. Mand
Kata man adalah akar dari kata command, demand, dan lain-lain. Kata mand adalah satu operan
bahasa dibawah pengaruh stimulus yang bersift menyingkirkan, merampas atau menghabiskan.
Mand ini muncul sebagai kalimat imperative, permohonan, atau rayuan, hanya apabila penutur
ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena karena dahulu kalimat seperti ini telah
pernah diamati oleh penutur ketika seseorang mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu
yang dirampas, disingkirkan atau diambil dari padanya.
b. Tacts
Adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Didalam tata
bahasa tact ini dapat disamakan dengan menamai atau menyebut nama sesuatu benda atau
peristiwa. Umpamanya kalau kita melihat sebuah mobil sebagai stimulus maka kita akan
mengeluarkan satu tact “mobil” sebagai respon.
c. Echoics
Adalah perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respon orang lain sebagai stimulus dan kita
meniru ucapan itu. Umpamanya seseorang mengatakan “mobil” maka stimulus itu akan
membuat kita mengucapkan kata “mobil” sebagai sebuah respon.
d. Textual
Adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk
perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah
hubungan sistematik antara system penulisan atau bahasa dengan respon ucapan apabila
membacanya secara langsung. Jadi apabila kita melihat tulisan “kucing” sebagai stimulus maka
kita mmberi respon (ejaan kata kucing).
e. Intraverbal operant
Adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilakukan atau
dialami oleh penutur. Umpamanya kalau sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain
yang ada hubungannya akan diucapkan sebagai respon. Kata meja misalnya, akan
membangkitkan kata kursi, begitu juga kata terima kasih akan membangkitkan kata kembali
sebagai responnya.
C. HIPOTESIS KESEMESTAAN KOGNITIF.
Dalam kognitifisme hipotesis ini yang diperkenalkan oleh Piaget telah digunakan sebagai dasar
untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperolah berdasarkan
struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui
interaksi dengan benda-benda atau orang-orang disekitarnya.
Urutan pemerolehan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut :
1. Antara usia 0 sampai 1,5 tahun kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara
bereaksi terhadap alam sekitarnya.
2. Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memaski tahap representasi
kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun.
3. Setelh tahap represntasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir, maka bahasa
anak-anak semakin berkembang dn dengan mendapat nilai-nilai sosialnya.
Tahap-tahap pemerolehan bahasa menurut Sinclair-de Zwart (1973) :
1. Kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya
untuk menyampaikan satu pola aksi.
2. Jika gabungan bunyi pendek ini dipahami, maka kana-kanak itu akan memakai seri bunyi
yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk
menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang
lain.
3. Setelah tahap kedua muncullah funsi-fungsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat
dan objek.
Dewasa ini, seperti juga dalam linguistic, dalam kognitifisme perhatian juga lbih ditujukan pada
masalah makna seperti peranannya dalam pemerolehan bahasa. Mc. Namara (1972) mengatakan
bahwa makna dan kode linguistic merupakan dua wujud yang berlainan. Kode linguistic terdiri
dari sekumpulan formatif dan alat sintaksis yang menpunyai fungsi untuk menghubungkan
makna dan system fonologi bahasa itu.
Meskipun berlainan, makna dan kode linguistic itu dialami dan diperoleh secrara bersamaan.
Dalam hal ini baik piaget maupun mc namara sama-sama berpendapat bahwa kana kanak itu
lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan linguistic.
Bab III
Penutup
KESIMPULAN :
A. HIPOTESIS NURANI
Setiap bahasawan (penutur asli suatu bahasa) tentu mampu memahami dan membuat
(menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan”
atau menyimpan dalam nuraninya akan tata bahasa bahasanya itu menjadi kompetensi
bahasanya.
B. HIPOTESIS TABULARASA.
Tabularasa secara harfiah berarti “kertas kosong”, dalam arti belum ditulisi apa-apa. Lalu,
hipotesis tabularasa ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas
kosong, yang nanti akan ditulisi atau didisi dengan pengalaman-pengalaman. Hipotesis ini pada
mulanya dikemukakan oleh John Locke yang kemudin dianut dan disebarluaskan oleh John
Watson.
C. HIPOTESIS KESEMESTAAN KOGNITIF.
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperolah berdasarkan
struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui
interaksi dengan benda-benda atau orang-orang disekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer,Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta : Rineka Cipta.
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar.2009. Strategi Pembelajaran Bahasa.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Safriandi.2009. Pemerolehan Bahasa Pertama. Melalui
http://nahulinguistik.wordpress.com/2009/04/14/pemerolehan-bahasa-pertama/.
Tarigan, Henry Guntur.1988. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung : Angkasa.
Yanris.2009.Kelahiran Bahasa dan Pemerolehan Bahasa pada Anak. Melalui
http://yanris.wordpress.com/katalanjang/kelahiran-bahasa-dan-pemerolehan-
bahasa-pada-anak/.
MENINGKATKAN KEMAHIRAN MEMBINA AYAT MAJMUK DALAM KALANGAN
MURID TAHUN 3 CEMERLANG
LILIES SURYANTI BINTI AZEMI
ABSTRACT
This study is an action reseach that aims to upgrade skill build compound sentence in Malay
language writing. I have realized that difficult students to build sentence if not being coached or
has not been granted stimulation material. Therefore, a study action was being conducted on a
group of Tahun student 3 Cemerlang in Sekolah Kebangsaan Islah, Kota Bharu to find and
prove effective method so that students more easily to build compound sentence. I has singled
Responds-Stimulus method “5W1H” to aid students build compound sentence that. Study this
was being conducted on 11 people student. All information that need to be analyzed in study this
was gained through diagnostic test, observation, document analysis, pre test and also post test.
Various forms of training build compound sentence in writing on a topic were given, among
them including building sentence based on serial pictures, building sentence based on single
picture and constructed sentence with use conjunction that given. Study findings showing skill
build compound sentence in writing about something topic grew by 30.4%. I hope study this able
to improve skill build compound sentence in year students Tiga Cemerlang.
1.0 Pengenalan
Menulis merupakan kemahiran asas yang perlu dikuasai oleh semua pelajar. Kemahiran
membina ayat adalah salah satu aspek penting dalam bahasa Melayu. Banyak kajian yang telah
dijalankan mendapati kebanyakan pelajar menghadapi masalah dalam penulisan terutamanya
dari aspek membina ayat dengan betul dan lengkap. Kebanyakan pelajar menghadapi masalah
menyusun idea dalam penulisan dan tidak dapat mengekspresi dengan baik untuk memastikan
penulisan mereka disiapkan mengikut tujuan yang telah ditetapkan. Hari ini, menulis terus
menjadi kelemahan paling ketara pelajar-pelajar sekolah. Walaupun skor pencapaian standard
telah meningkat dalam beberapa aspek, penulisan yang lemah terus menjadi masalah yang
menonjol. Hal ini kerana, semasa berlangsungnya pengajaran dan pembelajaran (P&P)
kemahiran menulis, didapati pelajar menghadapi masalah dalam pembinaan ayat jika bantuan
seperti gambar, kosa kata atau rangkai kata tidak disertakan. Masalah ini dikenal pasti apabila
pelajar tidak dapat membina ayat tentang sesuatu topik ketika sesi pengajaran dan juga
berdasarkan semakan buku latihan mereka. Setelah meneliti masalah yang dihadapi, saya
merasakan masalah utama yang perlu difokuskan ialah meningkatkan kemahiran membina ayat
majmuk. Hal ini kerana murid lebih cenderung untuk menulis ayat tunggal sahaja.
2.0 Fokus Kajian
Semasa menjalani latihan mengajar di sekolah, saya telah mengajar di kelas Tiga Cemerlang
yang terdiri daripada 41 orang pelajar yang tiada banyak masalah pembelajaran kerana mereka
antara pelajar yang pandai dan berada di kelas yang kedua daripada lapan kelas yang terdapat di
sekolah ini. Semasa menjalankan sesi pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas, saya telah
mendapati kebanyakan pelajar lebih suka membina ayat tunggal sahaja. Masalah ini jika
dibiarkan berlarutan akan mempengaruhi markah peperiksaan mereka, terutamanya pada
bahagian karangan.
Pelajar yang membina ayat tunggal sahaja dalam bahagian penulisan akan menyebabkan
mereka tidak mendapat markah penuh semasa peperiksaan. Situasi ini tidak boleh dibiarkan
berlarutan kerana membina ayat adalah penting terutamanya untuk membolehkan pelajar
memperolehi keputusan peperiksaan yang cemerlang. Sekiranya masalah ini tidak diatasi,
kemungkinan peratus markah dalam penulisan bahasa Melayu nanti akan terjejas. Saya perlu
melakukan sesuatu untuk mengelakkan masalah ini dari berlarutan sehingga menjejaskan prestasi
pembelajaran pelajar. Oleh itu, saya perlu meningkatkan penguasaan pelajar dalam kemahiran
membina ayat majmuk dengan menggunakan kaedah Soalan-Respons “5W1H” melalui gambar
besiri, gambar tunggal dan kata hubung.
Masih terdapat ramai pelajar yang bermasalah dalam membina ayat majmuk semasa sesi
pengajaran dan pembelajaran di dalam kelas. Melalui pemeriksaan buku latihan dan lembaran
kerja pelajar, didapati pelajar ketandusan idea dan tidak dapat membina ayat majmuk yang
berkaitan dan bersesuaian dengan topik yang diberi. Isu ini perlu ditangani supaya tindakan yang
sewajarnya boleh diambil untuk membantu pelajar menjadi lebih arif dan bijak dalam penulisan.
Saya merasakan bahawa masalah ini dapat diselesaikan dengan menggunakan kaedah dan
strategi yang sesuai. Hal ini berdasarkan kajian tentang masalah membina ayat majmuk yang
telah banyak dikaji oleh pengkaji-pengkaji yang terdahulu, antaranya ialah seperti Hartini
( 2005 ), Iskandar Muda ( 2005 ), Harris Fadzilah ( 2002 ), Zalinawati ( 2006 ), Azizah dan
Samidon ( 2006 ), Habsah ( 2006 ) dan Masni dan Suen ( 2007 ). Sekolah yang saya jalani
latihan mengajar juga telah mengalami masalah yang sama iaitu pelajar didapati bermasalah
dalam aspek membina ayat terutamanya ayat majmuk. Hal ini dapat dikenal pasti semasa proses
pengajaran berlangsung, terutamanya semasa sesi kemahiran menulis. Walaupun masalah ini
wujud di sekolah tersebut, namun tidak ada individu yang bertanggungjawab untuk
melaksanakan kajian tentang masalah ini. Oleh itu, wajarlah kajian ini dilakukan bagi
Meningkatkan Kemahiran Membina Ayat Majmuk dalam Kalangan Pelajar Tahun Tiga
Cemerlang.
3.0 Objektif Kajian
Kajian ini bertujuan untuk :
1. Untuk meningkatkan kebolehan pelajar membina dan menulis ayat majmuk dalam
penulisan tentang sesuatu topik.
2. Untuk mengesan kaedah yang sesuai dalam penulisan tentang sesuatu topik.
3. Untuk meningkatkan penguasaan pelajar dalam membina ayat majmuk melalui langkah-
langkah yang dilaksanakan.
4.0 Kumpulan Sasaran
Kajian ini telah dilakukan di Sekolah Kebangsaan Islah yang terletak di Bandar Kota Bharu.
Sekolah ini mempunyai lebih kurang 1600 orang pelajar dan dianggotai oleh barisan guru
seramai 86 orang iaitu 19 lelaki dan 67 orang perempuan. Sekolah ini mempunyai dua tahap iaitu
tahap satu dan tahap dua yang merangkumi tahun satu hingga tahun enam dan terdapat juga
pelajar pra sekolah. Setiap tahun mempunyai tujuh hingga lapan kelas dan pelajar di sekolah ini
belajar dalam satu sesi sahaja.
Sekumpulan 41 orang pelajar tahun Tiga Cemerlang difokus untuk kajian ini iaitu terdiri
daripada 12 pelajar lelaki dan 29 pelajar perempuan. Kumpulan pelajar ini tergolong dalam
kumpulan baik, sederhana dan kumpulan lulus. Pelajar tahun Tiga Cemerlang ini merupakan
murid yang terdiri daripada pelbagai kebolehan. Disebabkan sekolah ini merupakan sebuah
sekolah yang besar dan kuantiti pelajar yang terdapat di dalam satu-satu kelas tersebut ramai,
maka semua pelajar bergaul bersama tanpa mengambil kira perbezaan kebolehan. Boleh
dikatakan kesemua pelajar yang terdapat di dalam kelas ini mempunyai latar belakang
sosioekonomi yang sederhana dan cuma terdapat seorang dua sahaja yang betul-betul agak
berstatus tinggi. Setelah berbincang dengan guru kelas tiga Cemerlang dan juga hasil ujian
diagnostik yang telah dijalankan, 11 pelajar bermasalah dari aspek membina ayat majmuk yang
terdapat dalam kelas ini diambil sebagai responden.
5.0 Tindakan
5.1 Tinjauan Masalah
Saya mendapati bahawa pelajar lebih gemar membina ayat tunggal dan kegagalan mereka
membina ayat majmuk dengan baik dalam penulisan. Semasa berlangsungnya pengajaran dan
pembelajaran didapati pelajar menghadapi masalah dalam pembinaan ayat majmuk jika bantuan
seperti gambar, kosa kata atau rangkai kata tidak disertakan. Amalan memberikan pelajar
gambar dan perbendaharaan kata semasa membina ayat dapat memudahkan proses pengajaran
dan pembelajaran di dalam bilik darjah tetapi pelajar masih lagi tidak dapat mengembangkan
ayat menjadi ayat majmuk yang lengkap. Keadaan ini dapat dilihat dengan jelas semasa
melaksanakan latihan di dalam kelas. Semasa tinjauan masalah dilakukan , pelajar didapati:-
a) Lebih suka membina ayat tunggal sahaja.
b) Membina ayat majmuk terhad kepada kata hubung yang mudah difahami oleh murid,
contohnya ‘dan’.
c) Tidak tahu membina ayat majmuk dengan menggunakan kata hubung yang sesuai.
5.2 Pelaksanaan Tindakan
5.2.1 Kaedah Soalan-Respons “5W1H”
Saya telah memperkenalkan kaedah Soalan-Respons “5W1H” kepada responden dan meminta
mereka mengingatinya. Perkataan yang mula-mula digunakan ialah “ siapa “ ( who ) atau siapa
yang terlibat dalam situasi tersebut. Saya meminta pelajar membayangkan siapa atau subjek.
Kemudian pelajar di minta menamakan subjek tersebut. Sekiranya subjek tersebut manusia,
maka tuliskan nama orang itu dan sekiranya haiwan atau benda tuliskan juga namanya.
Seterusnya “ bila “ ( when ), saya meminta pelajar membayangkan bilakah kejadian tersebut
berlaku iaitu dari aspek masa atau hari. Begitu juga dengan “ di mana “ ( where ), pelajar
dikehendaki memberi contoh tempat kejadian atau sesuatu peristiwa itu berlaku. Bagi perkataan
“ kenapa “ ( why ) pula, pelajar perlu menyatakan kenapa sesuatu peristiwa atau keadaan itu
terjadi. Kemudian, melalui perkataan “ apa “ ( what ), pelajar perlu menyoal diri mereka sendiri
tentang apakah peristiwa yang berlaku dan perkataan “ bagaimana “ ( how ) pula memerlukan
pelajar memikirkan bagaimana keadaan atau situasi yang berlaku. Saya telah melaksanakan
kaedah ini sepanjang tempoh latihan mengajar iaitu mengambil masa kira-kira 10 minit bagi
setiap sesi untuk mengukuhkan ingatan pelajar.
Siapa ( who ) : Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut?
Apa ( what ) : Apakah peristiwa yang berlaku?
Bila ( when ) : Bilakah kejadian tersebut berlaku? (dari aspek masa
atau hari )
Di mana ( where ) : Contoh tempat kejadian atau sesuatu peristiwa itu
berlaku
Kenapa ( why ) : Kenapa sesuatu peristiwa atau keadaan itu terjadi?
Bagaimana ( how ) : Bagaimana keadaan atau situasi yang berlaku?
5.2.2 Latih tubi kaedah Soalan-Respons “5W1H” menggunakan gambar bersiri.
Latihan ini memerlukan pelajar membina ayat majmuk berdasarkan gambar bersiri yang
diberi. Berlainan dengan apa yang pelajar biasa hadapi, para pelajar tidak diberi perbendaharaan
kata yang berkaitan tetapi pelajar perlu menggunakan teknik Soalan-Respons“5W1H” yang telah
diperkenalkan kepada mereka untuk membantu mereka mencari idea atau mengembangkan isi
yang terkandung dalam gambar, kemudian pelajar di minta membina ayat majmuk yang
bersesuaian dengan gambar yang diberi. Latihan ini dilaksanakan pada masa rehat dan juga masa
ketiadaan guru mata pelajaran.
5.2.3 Latih tubi kaedah Soalan-Respons “5W1H” menggunakan gambar tunggal.
Aktiviti pada strategi 3 memerlukan pelajar membina lima ayat majmuk berdasarkan gambar
tunggal. Bilangan ayat yang perlu ditulis oleh pelajar dihadkan oleh saya. Gambar tunggal juga
diberi kepada para pelajar untuk membantu mereka mengembangkan idea dan ini juga dapat
menguji kemahiran berfikir para pelajar ke tahap yang lebih tinggi. Bagi memudahkan pelajar
mendapat idea dan mengembangkannya, saya telah meminta pelajar membulatkan gambar atau
situasi yang menunjukkan kata kerja. Kemudian barulah pelajar membina ayat dengan
menggunakan kata kerja tersebut. Pelajar juga diingatkan supaya menggunakan kaedah Soalan-
Respons “5W1H” semasa membina ayat. Saya telah menggunakan sesi pengajaran dan
pembelajaran dan juga masa rehat untuk melaksanakan latihan ini.
5.2.4 Latih tubi Soalan-Respons “5W1H” menggunakan kata hubung.
Strategi 4 memerlukan pelajar membina ayat majmuk berdasarkan kata hubung yang diberi.
Latihan ini bertujuan membimbing pelajar membina ayat majmuk dalam penulisan dan diharap
pelajar dapat menggunakan pelbagai kata hubung yang bersesuaian . Latihan ini telah dilakukan
pada masa terluang dan dilaksanakan di pusat sumber sekolah selama lebih kurang satu jam.
Saya berfungsi sebagai pembimbing pelajar dalam mengaplikasikan kaedah Soalan-
Respons “5W1H”.
6.0 Dapatan Kajian
Ujian Pra dan Ujian Pos yang dijalankan memberi hasil seperti berikut :
Jadual 6.1 : Perbezaan Pencapaian Ujian Pra dan Pos
Bil Nama Ujian Pra
(%)
Ujian Post
(%)
1 Ahmad Zakwan B. Esahak 53 85
2 Ahmad Zawawi B. Mohamad 53 68
3 Mohamad Hazril B. Mohd Aziz 63 98
4 Mohamad Waie Ajmal B. Mohd Azri 50 75
5 Muhammad Akief B. Abd Azid 48 88
6 Nor Aiman Alif B. Ishak 55 70
7 Wan Afiq Haikal B. Wan Mohamed Rizal 38 82
8 Nur Amni Syuhada Bt Azhan 63 85
9 Nur Anis Athirah Bt Shafulizam 38 85
10 Qistina Hanani Bt Rizal 55 87
11 Sarah Balqis Bt Muhamad Rosdi 58 85
Min = 52.1% 82.5%
Berdasarkan Jadual 6.1 di atas, terdapat perbezaan dalam markah pencapaian pelajar yang telah
menjalani proses tindakan yang dilaksanakan oleh saya. Jadual tersebut menunjukkan perbezaan
yang berlaku antara pencapaian ujian pra dan ujian pos. Min purata bagi ujian pra ialah sebanyak
52.1%, manakala min bagi ujian pos pula ialah sebanyak 82.5%. Beza min antara kedua-dua
ujian tersebut ialah sebanyak 30.4%. Oleh yang demikian, secara keseluruhannya min purata
pencapaian pelajar yang menjalani tindakan tersebut telah melonjak dari 52.1% kepada
82.5%.Dapatan peningkatan min purata dalam ujian pos telah membuktikan bahawa terdapat
perubahan pencapaian setiap murid dalam penguasaan kemahiran membina ayat majmuk.
7.0 Perbincangan
7.1 Rumusan
Pengukuhan yang berterusan penting untuk menambah baik penguasaan pelajar.
Penambahbaikan kajian tindakan ini perlu dilakukan bagi meningkatkan lagi penguasaan pelajar
dalam kemahiran membina ayat majmuk. Hal ini kerana kerana didapati ramai pelajar yang
melakukan kesilapan semasa menulis karangan iaitu dari aspek binaan ayat terutamanya ayat
majmuk dan ini akan menyebabkan mereka tidak dapat memperolehi markah yang
tinggi. Semua pelajar sebenarnya mempunyai potensi untuk berjaya, namun kelemahan mereka
dalam penguasaan konsep menyebabkan mereka menghadapi masalah dalam aspek tersebut.
Tetapi melalui latihan yang berterusan saya yakin dan percaya bahawa pelajar ini akan berjaya.
Hal ini ditambah pula dengan minat dan kesungguhan yang ditunjukkan mereka semasa aktiviti
dijalankan.
Kesimpulannya, kajian yang dilakukan untuk meningkatkan penguasaan pelajar dalam
kemahiran membina ayat majmuk dengan menggunakan kaedah Soalan-Respons “5W1H” ini
telah berjaya membantu pelajar meningkatkan prestasi mereka. Diharap dengan kaedah yang
diperkenalkan ini pelajar dapat menguasai kemahiran menulis dengan baik dan seterusnya dapat
meningkatkan tahap pencapaian pelajar dalam mata pelajaran bahasa Melayu ke peringkat yang
lebih tinggi.
7.2 Cadangan Kajian Seterusnya
Aktiviti penyelidikan seumpama ini merupakan salah satu medium penting yang dapat diaplikasi
untuk mengenal pasti masalah yang dihadapi oleh para pelajar dan seterusnya dapatlah difikirkan
altenatif yang sewajarnya bagi menyelesaikan masalah tersebut. Kaedah yang diperkenalkan
kepada pelajar dilihat telah dapat membantu pelajar untuk meningkatkan penguasaan mereka
dalam kemahiran membina ayat. Namun demikian, latihan pengukuhan yang konsisten dan
berterusan haruslah diberikan oleh guru-guru bagi menambah kecekapan pelajar tersebut.
Kajian tindakan ini harus dijalankan dalam satu tempoh masa yang lebih panjang untuk
mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik. Dalam jangka masa yang singkat, saya tidak
dapat memperkenalkan kaedah ini kepada semua pelajar. Oleh itu, diharap kajian ini dapat
dilaksanakan kepada semua pelajar supaya mereka juga mendapat manfaat yang sama dan dapat
membantu memudahkan mereka untuk menguasai kemahiran tersebut terutamanya bagi pelajar
yang akan menduduki peperiksaan besar seperti Ujian Penilaian Sekolah Rendah.
Seterusnya, kajian juga boleh dijalankan berdasarkan beberapa pendekatan yang lain atau
dengan menggabungjalinkan pelbagai kaedah dan teknik supaya dapat meningkatkan
keberkesanan pengajaran dan pembelajaran pada masa akan datang. Kaedah yang diperkenalkan
ini juga boleh digunakan oleh pihak sekolah terutamanya untuk para pelajar yang lemah dalam
aspek kemahiran menulis. Selain itu, kajian tindakan ini juga dapat diperluaskan lagi skopnya
pada masa hadapan iaitu menerusi kajian tentang struktur ayat, perbendaharaan kata dan
sebagainya.
Sesungguhnya hal ini sangat penting kerana kemahiran menulis merupakan salah satu aspek
penting untuk menjamin masa depan para pelajar iaitu melalui ujian, peperiksaan dan
sebagainya.
RUJUKAN
Rujukan Buku
Habsah bt Nan (2006). Teknik Four Wifes One Husband : Membina Ayat Penyata Berdasarkan
Gambar
Tunggal atau Bersiri. Jurnal Kajian Tindakan Guru IP Perlis : Jilid (1) / 2006‚ 35-56.
Hazina Zakariah (1989). Analisis Kesilapan Dalam Membuat Ayat di Kalangan Murid-
Murid. Jurnal
Pendidikan MP Seri Kota. Kuala Lumpur : Bil (2) / Oktober 1989‚ 3-19.
Iskandar Muda (2005). Penggunaan Latih Tubi Berdasarkan Gambar Bagi Meningkatkan
Pencapaian
Dan Kebolehan Murid Tahun 5 Membina Ayat Bahasa Inggeris. Prosiding Seminar
Penyelidikan Pendidikan IPBA 2005. 26-35
Nor Idayu (2005). Meningkatkan Kemahiran Membina Ayat Bahasa Inggeris Melalui Latih Tubi
Menggunakan Tafsiran Gambar Dan Kata Kunci Bagi Murid Tahun 2. Prosiding
Seminar Penyelidikan Pendidikan IPBA 2005. 73-84
Raminah Hj Sabran (1987). Penilaian Pencapaian Murid-Murid Tahun 4 KBSR (Percubaan)
dalam
Penguasaan Bahasa Malaysia (Pembinaan Ayat). Jurnal Pendidikan Guru BPG‚ KPM : Bil
(3)/ Julai 1987‚ 1- 24.
Rosmawati bt Sakdon (2003). Penggunaan 12 Langkah Strategik untuk Meningkatkan
Pengetahuan dan Kemahiran Murid Menulis Ayat “Simple Present Tense”. Prosiding
Seminar Penyelidikan Pendidikan Kebangsaan. Jilid (1) / 187-195.
Hazina Zakariah (1989). Analisis Kesilapan Dalam Membuat Ayat di Kalangan Murid-
Murid. Jurnal
Pendidikan MP Seri Kota. Kuala Lumpur : Bil (2) / Oktober 1989‚ 3-19.
Rujukan Internet
Azizah Othman dan Samidon Abdullah ( 2006 ). Meningkatkan kemahiran pelajar membina
ayat mudah dengan struktur yang betul dalam bahasa Inggeris dengan menggunakan formula
P/NVPA/PO/S2CD/OP3/AF2. Diperoleh pada 28 Febuari 2010
daripadahttp://www.arjpnj.com/ktindak/files/binaayat.pdf.
Harris Fadzilah Kassim ( 2002 ).Masalah menulis karangan di kalangan pelajar-pelajar tingkatan
empat. Kertas Projek yang dikemukakan kepada Universiti Malaya sebagai memenuhi
sebahagian
daripada keperluan Ij azah Sarjana Pendidikan. Diperoleh pada 3 Mac 2010 dan dipetik daripada
jurnal http://apps.emoe.gov.my/ipba/ResearchPaper/IPBAProsiding2005.pdf
Hartini Binti Hussin ( 2005 ). Meningkatkan kemahiran merumus karangan bahasa Melayu
dalam kalangan murid tahun enam melalui permainan padanan kad. Prosiding Seminar
Penyelidikan
Pendidikan IPBA 2005. Diperoleh pada13 Febuari 2010 dan dipetik
daripadahttp://www.arjpnj.com/ktindak/index.php?
option=com_content&view=article&id=55:meningkatkan-kemahiran-membina-ayat-mudah,pdf
Zalinawati Othman ( 2006 ). Meningkatkan kemahiran membina ayat mudah dalam penulisan
bahasa Inggeris menggunakan Little Book. Jurnal Kajian Tindakan Negeri Johor 2006 Sekolah
Rendah.
Diperoleh pada 3 Febuari 2010 daripada http://www.arjpnj.com/ktindak/files/littlebook.pdf
POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL
BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA
Abstrak: Pola akuisisi atau pemerolehan bahasa pada manusia normal tentunya berbeda dengan
manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau afasia. Afasia sendiri memiliki berbagai
macam jenis yang salah satunya adalah afasia motorik kortikal. Penderitanya kehilangan
kemampuan mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Pola akuisisi bahasa pada
penderita afasia motorik kortikal ini akan dihubungkan dengan salah satu hipotesis pemerolehan
bahasa yaitu hipotesis tabularasa. Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia yang baru lahir
diibaratkan seperti kertas kosong.
Kata Kunci : akuisisi bahasa, afasia motorik kortikal, hipotesis tabularasa.
1. LATAR BELAKANG
Sungguh merupakan keagungan Tuhan yang tiada terkira. Dia yang menciptakan manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna. Sebagai makhluk yang sempurna, manusia telah
dibekali berbagai kemampuan sejak dari ia dilahirkan. Salah satu kemampuan manusia yang
membedakan dan menjadi keunggulan dibandingkan dengan makhluk lain ialah kemampuan
berbahasa. Dengan kemampuan itulah, sejak kecil manusia belajar memahami dan mengucapkan
kata-kata.
Akuisisi atau pemerolehan bahasa pada manusia normal merupakan pembahasan yang menarik
terkait dengan ranah ilmu kebahasaan. Namun akan lebih menarik lagi apabila yang dibahas
adalah mengenai akuisisi pada manusia yang mengalami gangguan berbahasa atau yang dalam
istilah ilmiah disebut afasia. Akuisisi bahasa pada penderita afasia tentunya berbeda dengan
akuisisi bahasa pada manusia normal. Penderita afasia memiliki pola akuisisi sendiri sesuai
dengan tingkat kerusakan bagaian otak yang mengatur fungsi kebahasaan.
Artikel ini khusus membahas mengenai pola akuisisi bahasa yang ada pada penderita salah
satu dari jenis afasia (afasia motorik kortikal), dimana nantinya akan dijabarkan lebih lanjut.
Selain itu, untuk memperkaya khazanah sekaligus memperkuat dasar penulisan artikel ini, maka
penulis menghubungkan dengan salah satu dari beberapa hipotesis pemerolehan bahasa yaitu
hipotetis tabularasa. Keterkaitan antara pola akuisisi bahasa, afasia motorik kortikal dan
hipotesis tabularasa seperti yang telah dikemukakan, akhirnya menarik perhatian penulis untuk
membuat artikel dengan judul “Pola Akuisisi Bahasa pada Penderita Afasia Motorik Kortikal
Berdasarkan Hipotesis Tabularasa”.
2. POLA AKUISISI BAHASA
Istilah akuisisi atau yang dalam bahasa Inggris disebut acquisition merupakan padanan dari
istilah pemerolehan. Pemerolehan yang dimaksud yakni proses penugasan bahasa yang
dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (Dardjowijojo, 2005:
225). Pemerolehan bahasa (language acquisition) sering kali disamakan dengan dengan
pembelajaran bahasa (learning acquisition). Namun yang membedakan adalah jika pada akuisisi
bahasa, anak mengalami proses di dalam otaknya untuk belajar menguasai bahasa ibunya (native
language/bahasa pertama/B1), maka pada pembelajaran bahasa anak mengalami proses belajar
menguasai suatu bahasa yang secara formal (diajari) di dalam kelas. Pembelajaran bahasa
berkaitan dengan pemerolehan bahasa kedua atau B2.
Manusia yang sedang memperoleh bahasa mengalami dua buah proses yakni proses kompetensi
dan proses performansi. Proses kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang
berlangsung secara tidak disadari. Senada dengan itu, Shinta (2010) membagi proses kompetensi
menjadi (1) proses pemahaman, yaitu kemampuan atau kepandaian mempersepsi kalimat-kalimat
yang didengar dan (2) proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat baru, yaitu
kemampuan mengeluarkan atau memproduksi kalimat-kalimat sendiri. Proses penerbitan ini
selanjutnya diteruskan pada proses performansi yang dalam linguistik transformasi generatif
disebut juga perlakuan atau pelaksanaan bahasa. Kedua proses ini berlainan, namun saling
berkaitan karena proses kompetensi merupakan syarat terjadinya proses performansi. Anak yang
telah menguasai kedua proses ini dikatakan memiliki kemampuan linguistik.
3. AFASIA MOTORIK KORTIKAL
Kerusakan otak di hemisfer kiri daerah pusat berbahasa (speech area) pada seseorang yang cekat
tangan kanan (rightander) dapat menimbulkan gangguan berbahasa yang dinamakan afasia
(Yelia, 2012). Lebih lanjutnya Yelia menjelaskan bahwa afasia merupakan gangguan
penggunaan bahasa baik lisan maupun tulis. Afasia dapat mengenai modalitas bahasa yang
terdiri dari percakapan (spontaneus speech), pemahaman bahasa lisan (comprehension of spoken
language), pengulangan (repetition of spoken language), penamaan (confrontation naming),
membaca dan menulis.
Pada penderita afasia, tidak tentu semua modalitas bahasanya terganggu. Ada dua pola
afasia yaitu afasia sensorik dan afasia motorik. Namun yang akan dibahas dalam artikel ini
dikhususkan pada afasia motorik yang merupakan akibat dari terganggunya neuron (saraf)
motorik. Neuron motorik berfungsi suntuk meneruskan impuls dari sistem saraf pusat ke otot dan
kelenjar yang akan melakukan respon tubuh (Lestari, 2009: 290). Afasia motorik berkenaan
dengan terganggunya area berbahasa yang berhubungan dengan lobus frontal, lobus temporal,
dan lobus pariental di otak bagian Broca. Area ini terletak di belahan otak kiri yang merupakan
tempat kemampuan untuk menghasilkan bahasa. Afasia motorik sendiri dibedakan menjadi
menjadi beberapa macam dan salah satunya adalah afasia motorik kortikal.
Purwo (1989: 173) menjelaskan afasia motorik kortikal sebagai salah satu jenis gangguan
berbahasa dimana pederitanya kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan
menggunakan perkataan. Penderita afasia motorik kortikal ini masih bisa mengerti bahasa lisan
dan bahasa tulisan, namun sama sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal. Meskipun
begitu, ia masih bisa menggunakan ekspresi visual yaitu melalui bahasa tulis dan bahasa isyarat.
Penyebab afasia pada umumnya atau lebih khususnya pada afasia motorik kortikal dapat berupa
terjadinya lesi pada area penghasil ujaran pada otak yaitu broca. Penyebab lainnya seperti yang
dikemukakan oleh Prameswari (2011) antara lain stroke, traumatis dan cedera otak. Ini
sependapat dengan Welly (2012), menurutnya afasia terjadi ketika terjadinya serangan stroke
yang membuat gangguan bahasa dan komunikasi pada otak. .Afasia ini berkembang secara
perlahan-lahan, seperti dalam kasus tumor otak atau progresif penyakit saraf misalnya penyakit
alzheimer atau parkinson. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh pendarahan tiba-tiba yang
terjadi di dalam otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping yang jarang dari fentanyl, yaitu
suatu opioid yang digunakan untuk mengontrol rasa sakit kepala kronis.
Gejala-gejala afasia motorik kortikal antara lain sebagai berikut (1) ketidakmampuan
mengucapkan, bukan karena kelumpuhan atau kelemahan otot; (2) ketidakmampuan untuk
berbicara spontan; (3) ketidakmampuan untuk membentuk kata-kata; (4) ketidakmampuan untuk
menyebut nama objek; dan (5) terbatasnya perilaku verbal. Adapun penanganan pada penderita
afasia motorik kortikal antara lain dengan perawatan selama beberapa periode di rumah sakit.
Penanganan afasia pada umumnya hampir selalu diteruskan ke ahli logopedia atau orang yang
alhi dalam bidang komunikasi.
4. POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL
Clark dalam (Indah, 2008: 50) melansir bahwa, fungsi bahasa yang paling utama sejak orang
belajar bahasa adalah untuk komunikasi. Belajar bahasa yang dimaksud di sini adalah belajar
bahasa pertama atau pemerolehan bahasa pertama. Komunikasi dengan bahasa dibedakan
menjadi dua macam aktivitas manusia yang mendasar, yaitu berbicara dan mendengarkan.
Kegiatan komunikasi akan berjalan lancar apabila tidak ada gangguan, khususnya gangguan
berbahasa seperti afasia motorik kortikal.
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasanya penderita afasia motorik kortikal mengalami
kerusakan atau cidera pada otak bagian broca sehingga kehilangan kemampuan dalam
mengungkapkan isi pikiran melalui perkataan atau ekspresi verbal. Namun ia masih bisa
menggunakan ekspresi visual seperti isyarat dan menulis untuk mengungkapkan pikiran. Jika
dihubungkan dengan pola akuisisi seperti dalam proses kompetensi dan performansi, tentunya
akan berbeda dengan pola akuisisi pada manusia normal. Namun perlu diingat bahwa seseorang
yang menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh.
Proses kompetensi terdiri atas proses pemahaman dan penerbitan. Dalam proses pemahaman atau
memamahi informasi yang didengar, penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami
gangguan sehingga ia tetap dapat memahami suatu ujaran. Begitu pula halnya dalam proses
penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat sendiri, penderita tidak akan mengalami
kesulitan.
Proses kompetensi merupakan pijakan bagi proses performansi atau proses pelaksanaan tindak
ujaran. Proses kompetensi pada pendeita afasia motorik kortikal memang tidak terganggu,
namun pada proses performansi atau tindak ujar (ekspresi verbal) ia sama sekali tidak dapat
melakukan. Broca tidak mampu memproses dan menghasilkan tindak ujaran. Ketika
berkomunikasi, penderita afasia motorik kortikal nampak seperti orang bisu yang
mengungkapkan isi pikiran melalui isyarat atau tulisan sebagai bentuk performansinya dalam
mengekspresikan atau mengutarakan isi pikiran.
5. HIPOTESIS TABULARASA
Dalam proses akuisisi atau pemerolehan bahasa, dikenal tiga macam hipotesis yaitu hipotesis
nurani, hipotesis tabularasa dan hipotesis kesemestaan kognitif. Namun, dalam artikel ini hanya
akan membahas salah satunya saja yaitu hipotesis tabularasa.
Tabularasa secara harfiah berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulis apa-apa (Chaer, 2009:
172). Hipotesis yang pertama kali dikenalkan oleh tokoh empirisme bernama John Locke ini
mengatakan bahwa otak bayi yang baru lahir bagaikan kertas kosong yang nantinya akan diisi
dengan pengalaman-pengalaman yang didapatnya. Lebih lanjut Chaer menjelaskan, menurut
hipotesis tabularasa semua pengetahuan bahasa manusia yang nampak dalam perilaku berbahasa
merupakan hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh
manusia.
Hipotesis tabularasa sejalan dengan toeri behaviorisme yang menganggap bahwa pengetahuan
linguistik terdiri hanya dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara
pembelajaran S – R (Stimulus – Respon). Menurut teori ini bahasa adalah sekumpulan tabiat-
tabiat atau perilaku-perilaku. Tabiat-tabiat inilah yang akan dituliskan pada “kertas kosong”
tabularasa. Setiap kalimat yang muncul dari hasil pemikiran manusia merupakan kalimat-
kalimat baru.
Skinner dalam (Chaer, 2009: 176-178) mengatakan bahwa berbicara merupakan satu respons
operan yang dilazimkan kepada suatu stimulus dari dalam atau dari luar, yang sebenarnya tidak
diketahui. Selanjutnya Skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang
hampir serupa fungsinya dengan ucapan antara lain sebagai berikut.
(1) Mands, yaitu satu operant bahasa di bawah pengaruh stimulus yang bersifat
menyingkirkan, merampas atau menghabiskan. Mands muncul sebagai kalimat imperaktif
(bersifat memerintah) berupa permohonan atau rayuan hanya apabila penutur ingin
mendapatkan sesuatu. Misalnya, kanak-kanak mengucap kata ‘susu’, hal ini terjadi karena ada
rasa haus atau lapar, anak tahu bahwa jika diucapkan kata itu, orang tua langsung
memberikannya (ganjaran). Mands memerlukan satu interaksi khusus antara keadaan dulu yang
serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan.
(2) Tacts, yaitu benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus.
Dalam tata bahasa tacts disamakan dengan menamai atau menyebut nama suatu benda atau
peristiwa. Misalnya apabila melihat rumah sebagai stimulus maka yang keluar adalah kata
‘rumah’ sebagai respons. (3) Echoics, yaitu suatu perilaku yang dipengaruhi oleh respon orang
lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu. Misalkan, seseorang mengucapkan ‘rumah’,
maka kita akan merespon mengucapkan ‘rumah’. (4) Textual adalah perilaku berbahasa yang
diatur oleh stimulus yang tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai
korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud adalah hubungan semantik
antara sistem penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respon ucapan apabila membacanya secara
langsung. Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulusnya kita memberi respons
[kuciŋ]. (5) Intraverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa
terdahulu dilakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya sebuah kata dituliskan sebagai
stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respon.
Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai
stimulus akan membangkitkan kata kembali sebagai responnya.
6. POLA AKUISISI BAHASA PADA PENDERITA AFASIA MOTORIK KORTIKAL
BERDASARKAN HIPOTESIS TABULARASA
Di atas telah dibahas mengenai penderita afasia motorik kortikal dan kaitannya dengan pola
akuisisi bahasa. Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal ini selanjutnya akan
dihubungkan dengan salah satu hipotesis pemerolehan bahasa yaitu tabularasa. Menurut
hipotesis ini manusia dianalogikan sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja atau
dengan kata lain manusia dapat memperoleh bahasa apa saja. Hal ini berlaku juga pada
penderita afasia motorik kortikal yang memiliki keterbatasan dalam mengungkapkan isi pikiran
melalui bahasa khususnya bahasa verbal.
Seperti yang telah dibicarakan mengenai berbicara sebagai satu respon operan yang dilazimkan
kepada sesuatu stimulus dari dalam atau dari luar yang sebenarnya tidak jelas diketahui, maka
dalam bagian ini akan diterangkan mengenai masing-masing kategori respon bahasa. Kategori-
kategori respon bahasa di sini tentunya berlaku pada penderita afasia motorik kortikal.
Sebenarnya penderita afasia motorik kortikal juga mengalami hal yang sama dengan manusia
normal dalam menangkap stimulus. Namun yang membedakan ialah caranya merespon.
(1) Pada kategori mands, sebagai contoh apabila seseorang yang normal ingin mendapatkan
sesuatu yang berasal dari stimulus misalkan saja rasa lapar, maka sebagai respon ia akan
mengucapkan minta makan. Berbeda halnya dengan penderita afasia motorik kortikal yang tidak
dapat menggunakan ekspresi verbal. Ketika mendapat stimulus berupa rasa lapar maka ia akan
menggunakan bahasa isyarat dengan mengelus-elus perutnya atau menuliskan pada selembar
kertas. (2) Contoh untuk respon bahasa tacts, jika pada manusia normal yang mendapat stimulus
melihat sebuah mobil akan mengeluarkan tact “mobil” sebagai respon, maka pada penderita
afasia motorik kortikal tidak tidak dapat megeluarkan tact “mobil”. (3) Echois, pada kategori ini
apabila pada manusia normal mendengar dari orang lain kata “mobil” sebagai stimulus ia akan
menirukan, namun tidak bagi penderita afasia motorik kortikal. (4) Textual, pada manusia
normal ketika membaca tulisan misalnya saja <kucing> sebagai stimulus maka maka akan
memberi respon pengucapan [kuciŋ]. Ini tentu tidak dapat dilakukan oleh penderita afasia
motorik kotikal karena ia tidak dapat berbicara. (5) Intraverbal Operant, jika manusia normal
dapat dengan mudah memberikan respon dari suatu kata yang diucapkan seseorang sebagai
stimulus berupa kata yang memiliki hubungannya, maka penderita afasia motorik kortikal tidak
mampu.
Lima kategori respons di atas sebetulnya dapat dilakukan oleh penderita afasia motorik kortikal.
Namun atas keterbatasannya dalam ekspresi verbal maka respon yang ia berikan bukanlah
berupa perkataan atau ucapan, melainkan berupa isyarat atau melalui tulisan. Gangguan
berbahasa afasia motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap. Dengan
memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan penderita
afasia masih bisa bekomunikasi dengannya (AIA, 2012).
Khusus untuk penderita afasia motorik kortikal, cara kita untuk dapat berkomunikasi tidaklah
sesulit berkomunikasi dengan penderita afasia yang memiliki tingkatan cedera lebih parah.
Apabila kita ingin mengatakan sesuatu, maka katakan saja seperti berbicara dengan orang yang
normal karena penderita afasia motorik kortikal tidak mengalami masalah pada pemahaman
ujaran. Namun, kita dituntut harus bersabar karena untuk merespons stimulus kita yang berupa
ujaran, responsnya bukan berupa ujaran melainkan berupa bahasa isyarat atau tulisan.
7. KESIMPULAN
Dalam pola akuisisi bahasa terdapat dua buah proses yaitu proses kompetensi dan performansi.
Proses kompetensi berkenaan dengan pemahaman dan penerbitan kata-kata, sedangkan proses
performansi berkenaan dengan tindak ujaran.
Pola akuisisi bahasa pada manusia normal tentu saja berbeda dengan manusia yang menderita
afasia atau gangguan berbicara. Penderita afasia khususnya afasia motorik kortikal mengalami
lesi pada otak bagian broca yang merupakan tempat menghasilkan bahasa. Penyebab terjadinya
lesi ini dapat berupa serangan stroke, trauma maupun cedera otak akibat hantaman benda yang
mengenai bagian otak penghasil bahasa.
Penderita afasia motorik kortkal kehilangan kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan
menggunakan perkataan. Ia masih bisa mengerti bahasa lisan dan bahasa tulisan, namun sama
sekali tidak bisa menggunakan ekspresi verbal. Meskipun begitu, ia masih bisa menggunakan
ekspresi visual yaitu melalui bahasa tulis dan bahasa isyarat.
Pola akuisisi bahasa pada penderita afasia motorik kortikal berkaitan dengan proses kompetensi
dan performansi berbeda dengan manusia normal. Pada proses kompetensi berupa pemahaman
dan penciptaan kalimat-kalimat ia tidak mengalami kesulitan, namun pada proses performansi
berupa tindak ujar (ekspresi verbal) ia mengalami kesulitan karena tidak ada tindak ujar yang
muncul.
Hipotesis tabularasa menganalogikan manusia sebagai kertas kosong yang dapat ditulisi apa saja
atau dengan kata lain dapat memperoleh bahasa apa saja. Hipotesis ini berhubungan dengan teori
behaviorisme yang mengandalkan hubungan stimulus-respons dalam komunikasi berbahasa.
Dalam hipotetsis tabularasa dibahas mengenai lima kategori respons bahasa yaitu mands, tacts,
echois, textual dan intraverbal operant.
Hipotesis tabularasa yang berbicara banyak mengenai stimulus-respons terjadi pula pada
penderita afasia motorik kortikal. Namun yang membedakan prosesnya dengan manusia normal
adalah cara ia merespons stimulus. Ia memiliki keterbatasan dalam ekspresi verbal maka respon
yang ia berikan bukanlah berupa perkataan atau ucapan, melainkan berupa isyarat atau melalui
tulisan. Gangguan berbahasa afasia motorik kortikal memngubah cara seseorang dalam bersikap.
Dengan memanfaatkan secara optimal kemungkinan komunikasi yang masih ada, lingkungan
penderita afasia masih bisa bekomunikasi dengannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aphasia, Association International. 2012. “Apakah Afasia?”. (Online)
http://www.afasie.nl/aphasia/pdf/26/brochure1.pdf. Diakses 18 Desember 2012.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowijodjo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indah, Rohmani Nur dan Abdurrahman. 2008. Psikolinguistik: Konsep dab Isu Umum. Malang:
UIN-Malang Press.
Lestari, Endang Sri dan Idun Kistinnah. 2009. Biologi 2: Makhluk Hidup dan Lingkungannya.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Prameswari, Anggun. 2011. “Aphasia, Apa Lagi Sih?”. (Online)
http://a11no4.wordpress.com/tag/gangguan-pervasif/. Diakses 14 Desember 2012.
Purwo, Bambang Kaswanti. 1989. Pertemuan Linguistik Lembaga Atma Jaya: Kedua. Jakarta:
Kanisius.
Shinta, Qorinta. 2010. “Pemerolehan Pragmatik dalam Bahasa Anak Studi Kasus Prinsip Kerja
Sama – Maksim Grice pada Anak Usia enam (6) Tahun”. (Online)
www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fbib1/article/download/423/pdf. Diakses 15 Desember 2012.
Welly. 2012. “Penyakit Afasia”. (Online) http://missyellarose.blogspot.com/2010/02/5-penyakit-
afasia.html. Diakses 15 Desember 2012.