LAPORAN PENDAHULUAN
A. MASALAH UTAMA
Resiko bunuh diri
B. PERILAKU PERCOBAAN
BUNUH DIRI
1. Pengertian
Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui”
yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman
mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang
ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai
solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu
yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan
perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-
satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit
yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000).
Dari aliran eksistensial, Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup
semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan
melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000).
Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh
diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi
bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa
mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri
sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),
bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
Bunuh diri dilakukan dengan intensi
Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat dikatakan bahwa bunuh diri secara
umum adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian
atas suatu masalah.
Memiliki sedikit definisi yang berbeda, percobaan bunuh diri dan bunuh diri
yang berhasil dilakukan memiliki hubungan yang kompleks (Maris dkk.,2000). Hal
tersebut dikarenakan adanya interaksi dan komorbid antara etiologi kedua perilaku
tersebut. Di samping itu, kebanyakan pelaku bunuh diri melakukan beberapa percobaan
bunuh diri sebelum akhirnya berhasil bunuh diri. Beck (dalam Salkovskis, 1998)
mendefinisikan percobaan bunuh diri sebagai sebuah situasi dimana seseorang telah
melakukan sebuah perilaku yang sebenarnya atau kelihatannya mengancam hidup
dengan intensi menghabisi hidupnya, atau memperlihatkan intensi demikian, tetapi
belum berakibat pada kematian.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan percobaan bunuh diri adalah upaya
untuk membunuh diri sendiri dengan intensi mati tetapi belum berakibat pada kematian.
2. Metode Bunuh Diri
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri (dalam Maris dkk.,
2000). Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati.
Sedangkan pada fungsi yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna
khusus atau simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu:
a. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
b. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
c. senjata api dan peledak
d. menenggelamkan diri
e. melompat
f. memotong (menyayat dan menusuk)
Tanda dan gejala :
Sedih
Marah
Putus asa
Tidak berdaya
Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal
3. Penyebab
Bunuh diri bukanlah merupakan satu hal tetapi terdiri dari banyak fenomena
yang tumpang tindih. Oleh sebab itu, tidak ada satupun kasus bunuh diri yang memiliki
etiologi yang sama (Maris dkk.,2000). Schneidman menyebut bunuh diri sebagai hasil
dari “psychache”. Psychache merupakan rasa sakit dan derita yang tidak tertahankan
dalam jiwa dan pikiran. Rasa sakit tersebut pada dasarnya berasal dari jiwa seseorang
ketika merasakan secara berlebih rasa malu, rasa bersalah, penghinaan, kesepian,
ketakutan, kemarahan, kesedihan karena menua, atau berada dalam keadaan sekarat
(dalam Maris dkk., 2000). Di samping itu, Mann dari bidang psikiatri mengatakan
penyebab bunuh diri berada di otak, akibat kurangnya tingkat 5-HIAA, reseptor post-
sinapsis, dan pertanda biologis lainnya (dalam Maris dkk., 2000).
Tidak ada faktor tunggal pada kasus bunuh diri, setiap faktor yang ada saling
berinteraksi. Namun demikian, tidak berarti bahwa seorang individu yang melakukan
bunuh diri memiliki semua karakteristik di bawah ini. Berikut beberapa faktor
penyebab bunuh diri yang didasarkan pada kasus bunuh diri yang berbeda-beda tetapi
memiliki efek interaksi di antaranya (Maris, dalam Maris dkk.,2000; Meichenbaum,
2008):
a. Major-depressive illness, affective disorder
b. Penyalahgunaan obat-obatan (sebanyak 50% korban percobaan bunuh memiliki
level alkohol dalam darah yang positif)
c. Memiliki pikiran bunuh diri, berbicara dan mempersiapkan bunuh diri
d. Sejarah percobaan bunuh diri
e. Sejarah bunuh diri dalam keluarga
f. Isolasi, hidup sendiri, kehilangan dukungan, penolakan
g. Hopelessness dan cognitive rigidity
h. Stresor atau kejadian hidup yang negatif (masalah pekerjaan, pernikahan,
seksual, patologi keluarga, konflik interpersonal, kehilangan, berhubungan
dengan kelompok teman yang suicidal)
i. Kemarahan, agresi, dan impulsivitas
j. Rendahnya tingkat 5-HIAA
k. Key symptoms (anhedonia, impulsivitas, kecemasan / panik, insomnia global,
halusinasi perintah)
l. Suicidality (frekuensi, intensitas, durasi, rencana dan perilaku persiapan bunuh
diri)
m. Akses pada media untuk melukai diri sendiri
n. Penyakit fisik dan komplikasinya
o. Repetisi dan komorbid antara faktor-faktor di atas
Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan
masalah. Terbagi menjadi:
1) Faktor Genetik
2) Faktor Biologis lain
3) Faktor Psikososial & Lingkungan
1) Faktor Genetik (berdasarkan penelitian):
1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang
menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan
mood/depresi/ yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.
2) Faktor Biologis lain:
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan penjelasan biologis
yang tepat untuk perilaku bunuh diri. Beberapa peneliti percaya bahwa ada
gangguan pada level serotonin di otak, dimana serotonin diasosiasikan dengan
perilaku agresif dan kecemasan. Penelitian lain mengatakan bahwa perilaku
bunuh diri merupakan bawaan lahir, dimana orang yang suicidal mempunyai
keluarga yang juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Walaupun
demikian, hingga saat ini belum ada faktor biologis yang ditemukan
berhubungan secara langsung dengan perilaku bunuh diri.
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
Stroke
Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
DiabetesPenyakit arteri koronaria
Kanker
HIV / AIDS
3) Faktor Psikososial & Lingkungan:
Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003) mengidentifikasi tiga bentuk
penjelasan psikologis mengenai bunuh diri. Penjelasan yang pertama didasarkan
pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is murder turned around 180
degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri dengan kehilangan
seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis, individu yang beresiko
melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan orang yang hilang
tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini dan berharap untuk
menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut. Meskipun
individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan marah
dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu,
perilaku destruktif diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada dasarnya adalah
masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor kontribusi yang
sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness. Fokus
pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh suicidal
person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan dengan
penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali otomatis, tidak
disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin. Beberapa
diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif depresi
yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah
menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3
pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang
dirinya tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu
banyak darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif
yang disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang
menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri itu dipelajari.
Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu suicidal belajar
untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan sebaliknya
membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping itu,
sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi depresi.
Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup
lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini
individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum
mempelajari penilai budaya terhadap hidup dan mati.
Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)
mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku
bunuh diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting
pada perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya
adalah mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality
disorder, alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.
4) Faktor Sosiologis
Penjelasan yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang
perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya,
yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan
masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, &
Corr, 2003) membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:
Egoistic Suicide
Inidividu yang bunuh diri di sini adalah individu yang terisolasi dengan
masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan
underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku
bunuh diri.
Altruistic Suicide
Individu di sini mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada
situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan
masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan
demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan
kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar
dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok
dapat dipandang sebagai suatu tugas.
Anomic Suicide
Bunuh diri ini didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur
anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya
hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal
membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie
(tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam
situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir
cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak
mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.
Fatalistic Suicide
Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana
individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya
ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.
C. Pikiran Bunuh Diri (Suicidal Ideation)
1. Definisi Pikiran Bunuh Diri
Pikiran bunuh diri adalah pikiran untuk membunuh diri sendiri tanpa melakukan
bunuh diri secara eksplisit. Sedangkan suicide ideators adalah orang yang memikirkan
atau membentuk intensi untuk bunuh diri yang bervariasi derajat keseriusannya tetapi
tidak melakukan percobaan bunuh diri secara eksplisit atau bunuh diri (Maris
dkk.,2000). Pikiran bunuh diri bervariasi mulai dari yang non-spesifik (“Hidup ini tidak
berarti”), yang spesifik (“Saya berharap saya mati”), pikiran dengan intensi (“Saya akan
membunuh diri saya”), sampai pikiran yang berisi rencana (“Saya akan membunuh diri
saya sendiri dengan pistol”).
Pikiran bunuh diri paling sering diasosiasikan dengan gangguan depresi (Maris
dkk., 2000). De Catanzaro (dalam Maris dkk., 2000) menemukan bahwa antara 67%
hingga 84% pikiran bunuh diri bisa dijelaskan dengan masalah hubungan sosial dan
hubungan dengan lawan jenis, terutama yang berkaitan dengan loneliness dan perasaan
membebani keluarga. Adapun dua motivasi yang paling sering muncul dalam pikiran
bunuh diri adalah untuk melarikan diri dari masalah dalam kehidupan dan untuk
membalas dendam pada orang lain (Maris, dalam Maris dkk., 2000)
Intensi merupakan komponen yang penting dalam pikiran bunuh diri sekaligus
merupakan konsep dalam bunuh diri yang paling susah diukur (Maris dkk., 2000).
Jobes, Berman , dan Josselman telah mendaftar beberapa kriteria agar intensi bunuh diri
dapat diukur. Beberapa kriteria tersebut adalah pernyataan verbal yang eksplisit,
percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan, persiapan untuk mati, hopelessness, dan
lain sebagainya (dalam Maris dkk., 2000).
2. Karakteristik Pikiran Bunuh Diri
Ketika seseorang mengalami distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku
dan bias, penilaian menjadi absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan
menjadi susah diubah (Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat
bahwa kesalahan logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif
dan menyebabkan kesimpulan yang salah.
Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh diri
antara lain:
a. Executive Functioning: Cognitive Rigidity, Dichotomous thinking, dan
Deficient Problem-Solving
Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat
dirinya dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau
kematian, dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel
untuk mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang
memiliki pikiran bunuh diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk
penderitaannya. Marzuk, Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford,
2008), menyatakan bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang
mendasari dichotomous thinking dan problem-solving deficit.
Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or
white) thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk,
berhasil dan gagal, dan lain sebagainya.
Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (problem-solving
deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas, karena ketidakmampuan
menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan berhubungan dengan baik
dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal (Levenson & Neuringer,
dalam Ellis & Rutherford, 2008). Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis &
Rutherford, 2008) menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan
masalah interpersonal merupakan penghubung antara depresi, hopelessness, dan
intensi bunuh diri. Penyebab problem-solving deficit belum banyak dipelajari.
Namun, dua faktor yang pasti menentukan adalah overgeneral autobiographical
memory (Pollock & Williams, dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang
terdapat di otak. Overgeneral autobiographical memory berguna dalam
mengingat situasi masalah yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam
Ellis & Rutherford, 2008), menemukan bahwa pasien dengan sejarah
percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan ketidakberfungsian saraf yang
besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar pada pelaku percobaan yang high-
lethality.
b. Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian
negatif akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai
tujuannya. Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck
(dalam Ellis & Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan
penengah antara depresi dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga
berhubungan dengan perilaku bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar,
& Beck, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang
negatif dapat memprediksi munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis
& Rutherford, 2008).
c. Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan
pernyataan-pernyataan baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk
bertahan hidup. Individu yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk
menyatakan alasan untuk hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons
for Living) yang merupakan alat untuk membedakan alasan hidup pada individu
suicidal dan non-suicidal yang hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa
variabel, termasuk diantaranya intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, &
Nielsen, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
d. Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal
sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak
realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi
tiga jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis
untuk diri sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain), dan
socially prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya
sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan
self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
e. Konsep diri
Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri
adalah kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini
terbentuk dari pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian,
kemampuan, karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell,
Assanand, & DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann
mengemukakan bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu
mencari informasi yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-
verification) (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005).
Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan
penilaian keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang
manusia (Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara
positif (konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi,
begitu juga sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang
tua berperan dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative
diasosiasikan dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected
diasosiasikan dengan harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten
& Lloyd, 2006).
Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko
kecenderungan bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
f. Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi
merupakan prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis
& Rutherford, 2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang
secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya
berpikir ini terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk
aktif (reflection) (Chan, Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan
sebuah perbandingan pasif antara situasi sekarang dengan standar yang tidak
tercapai, sedangkan reflection merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus
pada diri dan bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom
depresi. Brooding dapat memprediksi terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi.
Sedangkan, reflection hingga saat ini masih diprediksikan sebagai faktor
protektif untuk pikiran bunuh diri.
g. Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman
yang pernah dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan
dengan depresi, posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan
bunuh diri menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical
memory dan menghasilkan autobiographical memory yang tidak jelas dan
umum (William & Broadbent, dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini
berkaitan dengan bunuh diri dalam 3 hal berikut: autobiographical memory
yang terlalu umum menyebabkan episode gangguan emosional yang menetap,
merusak kemampuan menyelesaikan masalah karena pengalaman masa lalu
tidak dapat digunakan sebagai referensi untuk strategi mengatasi masalah di
masa depan, dan merusak kemampuan individu untuk membayangkan masa
depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat hopelessness
dan kecenderungan bunuh diri pada individu.
4. Akibat
Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :
Keputusasaan
Menyalahkan diri sendiri
Perasaan gagal dan tidak berharga
Perasaan tertekan
Insomnia yang menetap
Penurunan berat badan
Berbicara lamban, keletihan
Menarik diri dari lingkungan social
Pikiran dan rencana bunuh diri
Percobaan atau ancaman verbal
D. POHON MASALAH
Resiko bunuh diri
Harga diri rendah
E. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI
1. Pengkajian Faktor Resiko Perilaku bunuh Diri
Jenis kelamin: resiko meningkat pada pria
Usia: lebih tua, masalah semakin banyak
Status perkawinan: menikah dapat menurunkan resiko, hidup sendiri merupakan
masalah.
Riwayat keluarga: meningkat apabila ada keluarga dengan percobaan bunuh diri
/ penyalahgunaan zat.
Pencetus ( peristiwa hidup yang baru terjadi): Kehilangan orang yang dicintai,
pengangguran, mendapat malu di lingkungan social.
Faktor kepribadian: lebih sering pada kepribadian introvert/menutup diri.
Lain – lain: Penelitian membuktikan bahwa ras kulit putih lebih beresiko
mengalami perilaku bunuh diri.
2. Masalah keperawatan
Resiko Perilaku bunuh diri
DS : menyatakan ingin bunuh diri / ingin mati saja, tak ada gunanya hidup.
DO : ada isyarat bunuh diri, ada ide bunuh diri, pernah mencoba bunuhdiri.
Koping maladaptive
DS : menyatakan putus asa dan tak berdaya, tidak bahagia, tak ada harapan.
DO : nampak sedih, mudah marah, gelisah, tidak dapat mengontrol impuls.
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Diagnosa 1 : Resiko bunuh diri
2. Tujuan umum : Klien tidak melakukan percobaan bunuh diri
3. Tujuan khusus :
b. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
Perkenalkan diri dengan klien
Tanggapi pembicaraan klien dengan sabar dan tidak menyangkal.
Bicara dengan tegas, jelas, dan jujur.
Bersifat hangat dan bersahabat.
Temani klien saat keinginan mencederai diri meningkat.
Klien dapat terlindung dari perilaku bunuh diri
Tindakan :
Jauhkan klien dari benda benda yang dapat membahayakan (pisau, silet,
gunting, tali, kaca, dan lain lain).
Tempatkan klien di ruangan yang tenang dan selalu terlihat oleh perawat.
Awasi klien secara ketat setiap saat.
Klien dapat mengekspresikan perasaannya
Tindakan:
Dengarkan keluhan yang dirasakan.
Bersikap empati untuk meningkatkan ungkapan keraguan, ketakutan dan
keputusasaan.
Beri dorongan untuk mengungkapkan mengapa dan bagaimana
harapannya.
Beri waktu dan kesempatan untuk menceritakan arti penderitaan,
kematian, dan lain lain.
Beri dukungan pada tindakan atau ucapan klien yang menunjukkan
keinginan untuk hidup.
Klien dapat meningkatkan harga diri
Tindakan:
Bantu untuk memahami bahwa klien dapat mengatasi keputusasaannya.
Kaji dan kerahkan sumber sumber internal individu.
Bantu mengidentifikasi sumber sumber harapan (misal: hubungan antar
sesama, keyakinan, hal hal untuk diselesaikan).
Klien dapat menggunakan koping yang adaptif
Tindakan:
Ajarkan untuk mengidentifikasi pengalaman pengalaman yang
menyenangkan setiap hari (misal : berjalan-jalan, membaca buku favorit,
menulis surat dll.)
Bantu untuk mengenali hal hal yang ia cintai dan yang ia sayang, dan
pentingnya terhadap kehidupan orang lain, mengesampingkan tentang
kegagalan dalam kesehatan.
Beri dorongan untuk berbagi keprihatinan pada orang lain yang
mempunyai suatu masalah dan atau penyakit yang sama dan telah
mempunyai pengalaman positif dalam mengatasi masalah tersebut
dengan koping yang efektif
1. Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: harga diri rendah
2. Tujuan umum : Klien tidak melakukan kekerasan
3. Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling
percaya.
Tindakan:
1.1. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat
dan jelaskan tujuan interaksi.
1.2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
1.3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan
dan aspek positif yang dimiliki.
Tindakan:
2.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2.2 Hindari penilaian negatif detiap pertemuan klien
2.3 Utamakan pemberian pujian yang realitas
3. Klien mampu menilai kemampuan yang
dapat digunakan untuk diri sendiri dan keluarga
Tindakan:
3.1 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3.2 Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah pulang ke rumah
4. Klien dapat merencanakan kegiatan yang
bermanfaat sesuai kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
4.1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan.
4.2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang klien lakukan.
4.3. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai
kondisi dan kemampuan
Tindakan :
5.1. Beri klien kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
6. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung
yang ada
Tindakan :
6.1 Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
6.2 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
6.3 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
6.4 Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
1. Diagnosa : Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
2. Tujuan umum :
- Pasien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Tujuan khusus :
- Pasien mendapatkan perlindungan dari lingkungannya
- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya
- Pasien mampu meningkatkan harga dirinya
- Pasien mampu menggunakan cara penyelesaiaan masalah yang baik
4. Tindakan :
- Mendikusikan cara mengatasi keinginan mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
- Meningkatkan harga diri pasien dengan cara :
o Memberikan kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya
o Memberikan pujian jika pasien dapat mengatakan perasaan yang positif
o Meyakinkan pasien bahawa dirinya penting
o Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
o Merencanakan yang dapat pasien lakukan
- Tingkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara :
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya
o Mendiskusikan dengan pasien efektfitas masing-masing cara penyelesian
masalah
o Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang lebih
baik
c. RENCANA TINDAKAN KPERAWATAN
a. Ancaman atau percobaan bunuh diri
1. Intervensi pada pasien
i. Tujuan keperawatan
Pasien tetap aman dan selamat.
ii. Tindakan keperawatan
Melindubgi pasien dengan cara:
Temani pasien terus-menerus sampai pasein dapat dipindahkan ke
tempat yang aman
Jauhkan semua benda yang berbahaya (misalnya: pisau, silet, gelas, dan
tali pinggang)
Periksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya jika pasien
mendapatkan obatnya.
Dengan lembut, jelaskan pada pasien bahwa anda akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.
Lampiran
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
STRATEGI PELAKSANAAN RESIKO BUNUH DIRI
A. Kondisi Klien
Sedih, marah, putus asa, tidak berdaya, memberikan isyarat verbal maupun non verbal
B. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
C. Tujuan
1) Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya
2) Pasien dapat mengungkapkan perasaanya
3) Pasien dapat meningkatkan harga dirinya
4) Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik
D. Tindakan Keperawatan
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan meminta
bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
b) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif.
c) Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien
e) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan
masalahnya
b) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing
cara penyelesaian masalah
c) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan
masalah yang lebih baik
E. Strategi Pelaksanaan
SP 1: Percakapan untuk melindungi pasien dari percobaan bunuh diri
Melindungi pasien dari percobaan bunuh diri.
Orientasi:
”Selamat pagi Pak, kenalkan saya Agung Nugroho, biasa di pangil Agung, saya
mahasiswa Keperawatan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang bertugas di
ruang ini, saya dinas pagi dari jam 7 pagi – 2 siang .”
”Bagaimana perasaan A hari ini? ”
” Bagaimana kalau kita bercakap – cakap tentang apa yang A rasakan selama ini.
Dimana dan berapa lama kita bicara?”
Kerja
”Bagaimana perasaan A setelah ini terjadi? Apakah dengan bencana ini A paling
merasa menderita di dunia ini? Apakah A pernah kehilangan kepercayaan diri? Apakah
A merasa tidak berharga atau bahkan lebih rendah dari pada orang lain? Apakah A
merasa bersalah atau mempersalahkan diri sendiri? Apakah A sering mengalami
kesulitan berkonsentrasi? Apakah A berniat unutuk menyakiti diri sendiri? Ingin bunuh
diri atau berharap A mati? Apakah A pernah mencoba bunuh diri? Apa sebabnya,
bagaimana caranya? Apa yang A rasakan?”
”Baiklah, tampaknya A membutuhkan pertolongan segera karena ada keinginan untuk
mengakhiri hidup. Saya perlu memeriksa seluruh isi kamar A ini untuk memastikan
tidak ada benda – benda yang membahayakan A)”
”Karena A tampaknya mash memilikikeinginan yang kuat untuk mengakhiri hidup A,
saya tidak akan membiarkan A sendiri”
”Apa yang A lakukan jika keinginan bunuh diri muncul?”
”Kalau keninginan itu muncul, maka akan mengatasinya A harus langsung minta
bantuan kepada perawat di ruangan ini dan juga keluarga atau teman yang sedang
besuk. Jadi A jangan sendirian ya, katakan kepada teman perawat, keluarga atau teman
jika ada dorongan untuk mengakhiri kehidupan.”
”Saya percaya A dapat mengatasi masalah.”
Terminasi :
”Bagaimana perasaan A sekarang setelah mengetahui cara mengatasi perasaan ingin
bunuh diri?”
” Coba A sebutkan lagi cara tersebut!”
”Saya akan menemani A terus sampapi keinginan bunuh diri hilang.” (jangan
meninggalkan pasien).
Daftar Pustaka
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.