99
RESIKO BUNUH DIRI A. PROSES TERJADINYA MASALAH 1. Pengertian Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain: Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional Bunuh diri dilakukan dengan intensi Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api. Tanda dan gejala : Sedih Marah Putus asa Tidak berdaya Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal 2. Penyebab Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah. Terbagi menjadi: 1. Faktor Genetik

Lp Resiko Bunuh Diri

Embed Size (px)

DESCRIPTION

efa

Citation preview

Page 1: Lp Resiko Bunuh Diri

RESIKO BUNUH DIRIA. PROSES TERJADINYA

MASALAH

1. Pengertian

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk

mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),

bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:

Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional

Bunuh diri dilakukan dengan intensi

Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri

Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung

(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan

kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.

Tanda dan gejala :

Sedih

Marah

Putus asa

Tidak berdaya

Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal

2. Penyebab

Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah.

Terbagi menjadi:

1. Faktor Genetik

2. Faktor Biologis lain

3. Faktor Psikososial & Lingkungan

Faktor genetik (berdasarkan penelitian):

1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang menjadi

kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan mood/depresi/

yang pernah melakukan upaya bunuh diri.

Page 2: Lp Resiko Bunuh Diri

Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.

Faktor Biologis lain:

Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:

Stroke

Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)

DiabetesPenyakit arteri koronaria

Kanker

HIV / AIDS

Faktor Psikososial & Lingkungan:

Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa

kehilangan objek berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif

thd diri, dan terakhir depresi.

Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang

berkembang, memandang rendah diri sendiri

Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya

sistem pendukung social

ETIOLOGI

Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri :

* Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres

* Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal

melakukan hubungan yang berarti.

* Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri

sendiri.

* Cara untuk mengakhiri keputusasaan.

C. FAKTOR PREDISPOSISI

Menurut Stuart dan Sundeen (1997), faktor predisposisi bunuh diri antara lain:

1. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,

mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat

individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif, penyalahgunaan zat, dan

skizofrenia.

Page 3: Lp Resiko Bunuh Diri

2. Sifat kepribadian

Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah rasa

bermusuhan, implisif dan depresi.

3. Lingkungan psikososial

Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini

dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan

bunuh diri.

4. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko penting

untuk prilaku destruktif.

5. Faktor biokimia

Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan depominersik menjadi

media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.

D. PRESIPITASI

Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah :

· Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal

melakukan hubungan yang berarti.

· Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.

· Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri

sendiri.

· Cara untuk mengakhiri keputusasaan.

E. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dan gejala menurut fitria, nita (2009) :

o Mempunyai ide untuk bunuh diri

o Mengungkapkan keinginan untuk mati

o Impulsif

o Menunjukan perilaku yang mencurigakan

Page 4: Lp Resiko Bunuh Diri

o Mendekati orang lain dengan ancaman

o Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan

o Latar belakang keluarga

3. Akibat

Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :

Keputusasaan

Menyalahkan diri sendiri

Perasaan gagal dan tidak berharga

Perasaan tertekan

Insomnia yang menetap

Penurunan berat badan

Berbicara lamban, keletihan

Menarik diri dari lingkungan social

Pikiran dan rencana bunuh diri

Percobaan atau ancaman verbal

B. POHON MASALAH

Resiko bunuh diri

Harga diri rendah

PENATALAKSANAAN

                                                     

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar pertolongan       darurat di

RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau

keadaan keracunan, kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis.

Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan

kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan keracunan atau

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Page 5: Lp Resiko Bunuh Diri

terluka sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan

beratnyagangguan badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya

untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan

terapi elektro konvulsi, obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi.

G.    PSIKOPATOLOGI

Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap membunuh diri

adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana

spesifik dan mempunyai niat untuk melakukannya. Prilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi

3 kategori :

1.      Ancaman bunuh diri

Peningkatan verbal/nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri.

Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian, kurangnya respon positif

dapat ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.

2.      Upaya bunuh diri

Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarah

pada kematian jika tidak dicegah.

3.      Bunuh diri

Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan. Orang yang melakukan

percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati mungkin pada mati jika tanda-tanda

tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.

Jakarta: EGC.

Page 6: Lp Resiko Bunuh Diri

HARGA DIRI RENDAH

1. Definisi Harga Diri Rendah

Harga diri merupakan salah satu dimensi dari konsep diri. Harga diri adalah

proses evaluasi yang ditujukan indivu pada diri sendiri, yang nantinya berkaitan

dengan proses penerimaan individu terhadap dirinya. Dalam hal ini evaluasi akan

menggambarkan bagaimana penilaian individu tentang dirinya sendiri,

menunjukan penghargaan dan pengakuan atau tidak, serta menunjukkan sejauh

mana individu tersebut merasa mampu, sukses dan berharga. Secara singkat

harga diri diartikan sebagai penilaian terhadap diri tentang keberhargaan diri yang

di ekspresikan melalui sikap-sikap yang dianut individu.

Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan

diri yang negative dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan

(Towsend, 1998).

Harga diri rendah kronis adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau

kemampuan diri yang negative dan dipertahankan dalam waktu yang lama (NANDA,

2005).

Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa lebih rendah dari

orang lain (Depkes RI, 2000).

Harga diri rendah adalah perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya

percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998)

2. Faktor Predisposisi dan Presipitasi Harga Diri Rendah

Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan

orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai

tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak

realistis.

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian

anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,

Page 7: Lp Resiko Bunuh Diri

serta menurunnya produktifitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini

dapat terjadi secara situasional maupun kronik (Direja, 2011).

Menurut Coopersmith (1967) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

harga diri, yaitu:

a. Penghargaan dan penerimaan dari orang-orang yang signifikan

Harga diri seseorang dipengaruhi oleh orang yang dianggap penting dalam

kehidupan individu yang bersangkutan (misal, orang tua)

b. Kelas Sosial dan Kesuksesan

Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat

tinggal.

c. Nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman

Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara

langsung melainkan disaring terlebih dahulu melalui tujuan dan nilai yang

dipegang oleh individu.

d. Cara individu dalam menghadapi evaluasi

Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang

dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan

penilaian negatif terhadap diri mereka.

3. Proses Terjadinya dan Pohon Masalah Harga Diri Rendah

Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan

harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain

yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri

seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki

harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi

secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang

memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negative dan

menganggap sebagai ancaman (Direja, 2011).

Menurut Carpenito (2007), gangguan harga diri atau harga diri rendah

dapat terjadi secara:

Page 8: Lp Resiko Bunuh Diri

• Situasional, yaitu suatu keadaan ketika individu yang sebelumnya memiliki harga

diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespons terhadap

suatu kejadian (kehilangan, perubahan), misalnya harus operasi, kecelakaan,

dicerai suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja, dll. Pada pasien yang di

rawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi yang kurang di perhatikan,

misalnya karena pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang

tidak sopan (pemasangan kateter, pemeriksaan perianal, dll), harapan akan

struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena di rawat / sakit

/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai.

• Kronik, yaitu keadaan ketika individu mengalami evaluasi diri negatif mengenai

kemampuan diri dalam waktu yang lama.

Harga diri rendah kronis terjadi akibat proses kelanjutan dari harga diri

rendah situasional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu

tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien

sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi

respon negative mendorong individu menjadi harga diri rendah.

Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu

berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha

menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak

mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu

terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah

kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan

positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan

mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).

Pohon Masalah Harga Diri Rendah

Risiko tinggi perilaku kekerasan

Perubahan persepsi sensori : halusinasi

Page 9: Lp Resiko Bunuh Diri

Isolasi sosial

Harga diri rendah

Koping individu tidak efektif

Traumatik tumbuh kembang

4. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronik

Respon adaptif ResponMaladaptif

Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma.

Respon adaptif meliputi:

a. Aktualisasi diri

Pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman

yang sukses.

b. Konsep diri positif

Klien mampu pengalaman yang positif dalam perwujudan dirinya, dapat

mengidentifikasi kemampuan dan kelemahan secara jujur dalam menilai suatu

masalah sesuai norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat jika

menyimpang merupakan respon maladaptive.

Respon maladaptive:

a. Harga diri rendah

Transisi antara adaptif dan maladaptive sehingga individu cenderung berfikir

kearah negative.

b. Kekacauan identitas

Aktualisasi Diri

Konsep Diri

Positif

HDR Kekacauan Identitas

Depersonalisasi

Page 10: Lp Resiko Bunuh Diri

Kegagalan individu mengintegrasi aspek-aspek masa kanak-kanak dalam

pematangan aspek psikologis, kepribadian pada masa dewasa secara harmonis.

c. Depersonalisasi

Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan

dengan kecemasan, kepanikan, dan tidak dapat membedakan dirinya dari orang

lain sehingga tidak dapat mengenali dirinya sendiri.

5. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah

Manifestasi yang bisa muncul pada klien gangguan jiwa dengan harga diri

rendah adalah (Fitria, 2009)

Mengkritik diri sendiri

Perasaan tidak mampu

Pandangan hidup yang pesimistis

Tidak menerima pujian

Penurunan produktifitas

Penolakan terhadap kemampuan diri

Kurang memperhatiakn perawatan diri

Berpakaian tidka rapi serta, selera makan berkurang, tidak berani menatap lawan

bicara

Lebih banyak menunduk

Bicara lambat dengan nada suara lemah

Coopersmith (1967) mengemukakan ciri-ciri individu sesuai dengan tingkat

harga dirinya:

• Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai,

sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali

menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak dirinya

sendiri dan tidak puas akan dirinya.

• Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya dan

kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain.

• Tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya

untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya.

Page 11: Lp Resiko Bunuh Diri

• Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang

berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat mengekspresikan dirinya

dengan baik.

• Menganggap diri kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya

akan selalu mendapat haslil yang buruk, walaupun dia telah berusaha keras,

serta kurang dapat menerima segala perubahan dalam dirinya.

• Kurang memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang kurang

realisitis.

• Selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari

lingkungan.

6. Penatalaksanaan pada Klien Harga Diri Rendah

Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah

dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih

manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :

a.    Psikofarmaka 

Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut:

1)   Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat

2)   Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil

3)   Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif

maupun gejala negative skizofrenia

4)   Lebih cepat memulihkan fungsi kogbiti

5)   Tidak menyebabkan kantuk

6)   Memperbaiki pola tidur

7)   Tidak menyebabkan habituasi, adikasi dan dependensi

8)   Tidak menyebabkan lemas otot.

Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh

dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama

(typical) dan golongan kedua (atypical).Obat yang termasuk golongan generasi

pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang

termasuk generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine,

Glanzapine, Zotatine, dan aripiprazole.

b.    Psikoterapi

Page 12: Lp Resiko Bunuh Diri

Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang

lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri

lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.

Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.

c.    Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)

ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial

dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua

temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga

terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.

d.   Keperawatan

Biasanya yang dilakukan yaitu Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana

pengobatan untuk skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan

klien.Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan

kemampuan sosial.Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam

komunikasi interpersonal.Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan

pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata.

Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok

stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori, therapi

aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi. Dari

empat jenis therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada

individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas

kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi

adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan

pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi

kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.

Page 13: Lp Resiko Bunuh Diri

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa: Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa. Jakarta:

Depkes RI .

Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.

Keliat, B.A. 1992. Hubungan Terapeutik Perawatan Klien. Jakarta: EGC.

Towsend, MC. 1998. Diagnosa Keperawatan Psiakiatri. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Direja AHS. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Hawari, Dadang. 2001. Keperawatan Kesehatan Holistik Pada Gangguan Jiwa

Skizofrenia. FKUI: Jakarta.

Page 14: Lp Resiko Bunuh Diri

WAHAM

Konsep Dasar Waham

A. Pengertian

Proses berfikir meliputi proses pertimbangan ( judgment), pemahaman (comprehension),

ingatan serta penalaran ( reasoning ). Arus idea simbul atau asosiasi yang terarah kepada

tujuan dan yang di bangkitkan oleh suastu masalah atau tugas dan yang menghantarkan

kepada suatu penyelesaian yang terorientasi pada kenyataan merupakan proses berfikir yang

normal. Aspek proses berfikir dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu bentuk pikiran, arus pikiran

dan isi pikir. Gangguan isi pikir dapat terjadi baik pada isi pikiran non verbal maupun pada isi

pikiran verbal diantaranya adalah waham. ( menurut marasmis 2005 hal.133)

Marasmis juga menekankan bahwa berbagai macam factor yang mempenngaruhi proses

pikir itu, umpamanya factor somatic ( gangguan otak, kelelahan). Factor fsikologi (gangguan

emosi, psiko, factor social, kegaduhan dan keadaan social yang lain) yang sangat

mempengaruhi ketahanan dan konsentrasi individu. Aspek proses pikir yaitu : bentuk pikir,

arus pikir dan isi pikir ditanbah dengan pertimbangan.

Kaplan dan Sadock (1998) mengatakan bahwa waham adalah keyakinan yang salah dan

menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan. Waham sedikitnya harus ada selama

sebelum dan sistematik dan tidak bizar ( dalam bentuk fragmentasi, respon, emosi pasien

terhadap system waham biasanya kongruen dan sesuai dengan isi waham itu. Pasien secara

relative biaanya bebas dari psikopatologi diluar wawasan system wahamnya. Awal mulanya

sering terjadi pada umur dewasa , menengah dan lanjut. ( hal 216)

David A Tomb (2004) beranggapan bahwa waham adalah suatu keyakinan kokoh yang

salah yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut, mungkin aneh dan tetap

dipertahankan meskipun telah diberikan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham

sering ditemukan dalam gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

ditemukan pada skizoprenia. Semakin akut psikosis semakin sering di temui waham

disorganisasi dan waham tidak sistematis. ( hal 27).

Page 15: Lp Resiko Bunuh Diri

Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikir yang tidak sesuai dengan kenyataanya

atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan, biarpun dibuktikan

kemustahilan hal itu ( Marasmis 2005 hal 117).

Townsend 1998 mengatakan bahwa waham adalah istilah yang digunakan untuk

menunjukan ide-ide yang salah.

Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa waham sebagai salah satu

perubahan proses khususnya isi pikir yang ditandai dengan keyakinan terhadap ide-ide, pikiran

yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diubah dengan logika atau bukti-bukti yang ada.

B. Jenis-Jenis Waham

adapun jenis-jenis waham menurut Marasmis, stuart and sundeen ( 1998) dan Keliat

(1998) waham terbagi atas beberapa jenis, yaitu:

a. Waham agama : keyakinan klien terhjadap suatu agama secara berlebihan diucapkan

beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

b. Waham kebesaran : klien yakin secara berlebihan bahwa ia memiliki kebesaran atau

kekuatan khusus diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

c. Waham somatic : klien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya teganggu dan

terserang penyakit, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

d. Waham curiga : kecurigaan yang berlebihan dan tidak rasional dimana klien yakin

bahwa ada seseorang atau kelompok orang yang berusaha merugikan atau mencurigai

dirinya, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

e. Waham nihilistic : klien yakin bahwa dirinya sudah ridak ada di dunia atau sudah

meninggal, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

f. Waham bizar

1. Sisip pikir : klien yakin ada ide pikiran orang lain yang dsisipkan di dalam pikiran

yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan

2. Siar pikir : klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan

walaupun dia tidak menyatakan kepada orang tersebut, diucapkan beulang kali

tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.

3. Kontrol pikir : klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.

Page 16: Lp Resiko Bunuh Diri

C. Fase-Fase Waham

1. Lack of Selfesteen

- Tidak ada pengakuan lingkungan dan meningkatnya kesenjangan antara kenyataan

dan harapan. Ex : perceraian->berumah tangga tidak diterima oleh lingkungannya.

2. Control Internal Eksternal

- Mencoba berfikir rasional, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan

kenyataan. Ex : seseorang yang mencoba menutupi kekurangan

3. Environment support

- kerusakan control dan tidak berfungsi normal ditandai dengan tidak merasa

bersalah saat berbohong. Ex : seseorang yang mengaku dirinya adalah guru tari

Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungan, klien merasa

didukung, klien menganggap hal yang dikatakan sebagai kebenaran, kerusakan

control diri dan tidak berfungsi normal (super ego)

4. Fisik Comforting

–klien merasa nyaman dengan kebohongannya

1. Fase Improving

- Jika tidak ada konfrontasi dan korelasi maka keyakinan yang salah akan meningkat.

Respon neurobiologist

Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan tentang respon

gangguan adaptif dan malladaptif dapat dijelaskan sebagai berikut ( stuart dan sundeen, 1998

hal 302) :

Rentang respon neurobiologis

Gangguan proses pikir/delusi/waham

Respon maladaptif maladaptif

Respon adaptif

Distorsi pikiran Pikiran logis

Persepsi akuratEmosi konsisten dengan pengalamanPrilaku sesuaiBerhubungan social

IlusiReaksi emosi berlebihan atau kurangPrilaku aneh Menarik diri

Halusinasi Sulit brespon emosiPrilaku disorganisasiIsolasi sosial

Page 17: Lp Resiko Bunuh Diri

Dari rentang respon neurobiologis diatas dapat dijelaskan bila individu merespon secara

adaptif maka individu akan berfikir secara logis. Apabila individu berada pada keadaan

diantara adaptif dan maladaptif kadang-kadang pikiran menyimpang atau perubahan isi pikir

terganggu. Bila individu tidak mampu berfikir secara logis dan pikiran individu mulai

menyimpang maka ia makan berespon secara maladaptif dan ia akan mengalami gangguan isi

pikir : waham curiga.

Agar individu tidak berespon secara maladaptive maka setiap individu harus

mempunyai mekanisme pertahanan koping yang baik. Menurut seorang ahli medis dalam

penelitiannya memberikan definisi tentang mekanisme koping yaitu semua aktivita kognitif

dan motorik yang dilakukan oleh seseorang yangnn sakit untuk mempertahanakna intrgritas

tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak dna membatasi adanya kerusakan yang

tidak bisa dipulihkan ( dipowski, 2009). Mekanisme koping dapat dibedakan menjadi dua yaitu

:

1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pad

atindakan untuk memenuhi secara reakstik tuntunan situasi stress.

a. Prilaku mnyuerang, digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan

pemenuhan kebutuhan.

b. Prilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun psikologic untuk

memindahkan seseorang dari sumber stress.

c. Prilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara seseoprang mengoprasikan,

menmgganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.

2. Mekanisme pertahana ego, merupakan mekanismne yang dapat membantu mengatasi

cenas ringan dan sedang, jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan

diri dan disorientasi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptive

terhadap stress. (Anonymous, 2009).

D. Psikopatologi Waham

Etiologi

Page 18: Lp Resiko Bunuh Diri

Townsend (1998, hal 158) menagatakan bahwa ‘hal-hal yang menyebabkan gangguan

isi pikir : waham adalah ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain, panic, menekan rasa

takut stress yang berat yang mengancam ego yang lemah., kemungkinan factor herediter”.

Secara khusus factor penyebab timbulnya waham dapat diuraikan dalam beberapa teori yaitu :

a. Factor Predisposisi

Menurut Townsend (1998, hal 146-147) factor predisposisi dari perubahan isi

pikir : waham kebesaran dapat dibagi menjadi dua teori yang diuraikan sebagai

berikut :

1. Teori Biologis

a. Faktor-faktor genetic yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan

suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan

kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).

b. Secara relative ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan

skizoprenia mungkin pada kenyataanya merupakan suaru kecacatan sejak

lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan

suatu kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang

menderoita skizoprenia.

c. Teori biokimia menyatakan adanya peningkata dupamin neorotransmiter

yang dipertukarkan mengahasilkan gejala-gejala peningkatan aktifitas yang

berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya diobservasi

pada psikosis.

2. Teori Psikososial

a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Townsend (1998) menggambarkan

perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.

Komflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam

anak akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansietas dan

suatu kondisi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan

yang saling mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan anak-

anak. Anak harus meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan

masuk kepada masa dewasa, dimana di masa ini anak tidak akan mampu

memenuhi tugas perkembangan dewasanya.

Page 19: Lp Resiko Bunuh Diri

b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan

menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak

menerima pesan-pesan yang membingungkan dan penuh konflik dan orang

tua tidak mampu membentuk rasa percaya tehadap orang lain.

c. Teoti psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego

yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling

mempengaruhi orang tua dan anak . karena ego menjadi lebih lemah

penggunaan mekanisme pertahanan itu pada waktu kecemasan yang ekstrem

mennjadi suatu yang maladaptive dan perilakunya sering kali merupakan

penampilan dan sekmen diri dalam kepribadian.

b. Faktor Presipitasi

Menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal 310) factor presipitasi dari perubahan isi

pikir : waham kebesaran yaitu :

1. Biologis

Stressor biologis yang berhubungan dengan nerobiologis yang maladaptive

termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan

isi informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.

2. Stress lingkungan

Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang

berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan

prilaku.

3. Pemicu gejala

Pemicu yang biasanta terdapat pada respon neurobiologist yang maladaptive

berhubungan denagn kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti :

gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkunag yang

penuh kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap penampilan, stress

agngguan dalam berhubungan interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaa,

kemiskinan, keputusasaan dan sebaigainya.

E. Proses terjadinya waham

Page 20: Lp Resiko Bunuh Diri

     Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego

spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham, menggunakan mekanisme

pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi, digunakan sebagai

pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan cinta. Kebutuhan akan

ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang kokoh. Penyangkalan, digunakan

untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk

melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak dapat diterima didalam dirinya sendiri.

Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas, telah dihipotesiskan menyebabkan reaksi formasi

dan proyeksi, waham kebesaran dan superioritas. Waham juga dapat muncul dari hasil

pengembangan pikiran rahasia yang menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan

harga diri mereka yang terluka. Waham kebesaran merupakan regresi perasaan maha kuasa

dari anak-anak, dimana perasaan akan kekuatan yang tidak dapat disangkal dan dihilangkan

(Kaplan dan Sadock, 1997).

     Cameron, dalam Kaplan dan Sadock, (1997) menggambarkan 7 situasi yang memungkinkan

perkembangan waham, yaitu : peningkatan harapan, untuk mendapat terapi sadistik, situasi

yang meningkatkan ketidakpercayaan dan kecurigaan, isolasi sosial, situasi yang meningkatkan

kecemburuan, situasi yang memungkinkan menurunnya harga diri (harga diri rendah), situasi

yang menyebabkan seseorang melihat kecacatan dirinya pada orang lain, situasi yang

meningkatkan kemungkinan untuk perenungan tentang arti dan motivasi terhadap sesuatu.

F. Akibat dari Waham

Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan

lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/

membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.

G. Gejala- Gejala Waham

Menurut Kaplan dan Sadock (1997), kondisi klien yang mengalami waham adalah:

a. Status mental

1)      Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal, kecuali bila

ada sistem waham abnormal yang jelas.

2)      Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.

Page 21: Lp Resiko Bunuh Diri

3)      Pada waham curiga, didapatkan perilaku pencuriga.

4)  Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri,

mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.

5)      Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas

depresi ringan.

6)    Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap, kecuali

pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan

ditemukan halusinasi dengar.

b. Sensori dan kognisi

1)  Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki waham

spesifik tentang waktu, tempat dan situasi.

2)  Daya ingat dan proses kognitif klien adalah intak (utuh).

3)  Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek.

4)  Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya. Keputusan

terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah dengan menilai

perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.

H. Penatalaksanaan

a.    Farmakoterapi

Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan

skizofrenia secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara lain :

1)    Anti Psikotik

Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :

a)    Chlorpromazine

Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala emesis.

Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal,

dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.

b)    Trifluoperazine

Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis awal : 3×1

mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.

c)    Haloperidol

Page 22: Lp Resiko Bunuh Diri

Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis awal : 3×0,5

mg sampai 3 mg.

Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi

gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara

intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup dalam

waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan

yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan

oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai adanya suatu

penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.

2)    Anti parkinson

Triheksipenydil (Artane), untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi

ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari

Difehidamin

Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari

3)    Anti Depresan

Amitriptylin, untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis :

75-300 mg/hari.

Imipramin, untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal :

25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.

4)    Anti Ansietas

Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform, kelainan disosiatif,

kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-gejala insomnia dan ansietas. Obat-

obat yang termasuk anti ansietas antara lain:

Fenobarbital         : 16-320 mg/hari

Meprobamat        : 200-2400 mg/hari

Klordiazepoksida    : 15-100 mg/hari

b.    Psikoterapi

Page 23: Lp Resiko Bunuh Diri

Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya. Terapi

individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun

menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang wahamnya. Terapis

harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang

dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang

berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena disadari bahwa tidak

semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan

dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan

konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes

realitas.

Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus mampu

menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda pasti merasa

sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui setiap mis persepsi wahamnya,

sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien

memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan

dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan

kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas

terpeutik dapat dilakukan.

c.    Terapi Keluarga

Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien, sebagai sekutu

dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu ahli terapi

dan membantu perawatan klien.

Page 24: Lp Resiko Bunuh Diri

HALUSINASIKonsep Halusinasi

1. Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indera dan berasal dari stimulus

eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan ke dalam pengalaman. Persepsi

(ilusi). Akan tetapi, beberapa halusinasi dapat dipicu, misalnya seorang remaja lelaki

yang mendengar seorang polisi berbicara tentang dirinya saat ia mendengarkan music.

Halusinasi dapat terjadi pada indra apapun. Pada dasar nya halusinasi tidak selalu

berarti penyakit kejiwaan, halusinasi singkat terjadi setalah peristiwa kematian

(mendengar atau melihat orang yang sudah meninggal). Halusinasi patologis pada

dasarnya dikelompokkan berdasarkan modalitas sensorik yang terkena- pendengaran,

penglihatan, peraba, pengecapan dan penciuman. Halusinasi dapat sangat invasive,

sering muncul dan menyerang hampir semua fungsi normal, atau terjadi dalam situasi

dengan sedikit stimulus pada fungsi sehari-hari.

2.Rentang Respon Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang

respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini merupakan respon persepsi paling

maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan

menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca

indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien

dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya

stimulus tersebut tidak ada.

Page 25: Lp Resiko Bunuh Diri

Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal

mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya

yang disebut sebagai ilusi. Pasien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya

terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima. Rentang

respon halusinasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

ResponAdaptif Respon

Maladaptif

1. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma

sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika

menghadapi suatu masalah maka dapat memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif

berupa :

a. Pikiran logis adalah pikiran yang mengarah pada kenyataan.

b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari hati

sesuai dengan pengalaman.

d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas

kewajaran.

e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan

lingkungan.

1. Psikososial

Respon psikososial, antaralain :

- Pikirankadangmenyimpang

- Ilusi- Emosionalberlebih

an- Perilakuganjil- Menarikdiri

- Pikiranlogis- Persepsiakurat- Emosikonsisten- Perilaku social- Hubungansosial

- Kelainanpikiran- Halusinasi- Tidakmampumeng

aturemosi- Ketidakaturan- Isolasi social.

Page 26: Lp Resiko Bunuh Diri

a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulka

nkekacauan/mengalami gangguan.

b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang

sungguh terjadi (objeknyata), karena rangsangan pancaindera.

c. Emosi berlebihan atau berkurang.

d. Perilakutidakbiasaadalahsikapdantingkahlaku yang melebihibataskewajaran.

e. Menarikdiriyaitupercobaanuntukmenghindariinteraksi dengan orang lain

atauhubungan dengan orang lain.

2. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang

menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungannya. Respon maladaptif

yang sering ditemukan meliputi :

a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun

tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.

b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang

tidak realita atau tidak ada.

c. Kerusakan proses emosi ialah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.

d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.

e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan di

terima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang negatif

mengancam.

3.Penyebab

Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:

a. Faktor Predisposisi

1) Biologis

a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas

dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik

berhubungan dengan perilaku psikotik.

Page 27: Lp Resiko Bunuh Diri

b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan

masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya

skizofrenia.

c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi

yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,

ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil

(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-

mortem).

2) Psikologis

Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi

psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan

orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.

3) Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,

konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi

disertai stres.

b) Faktor presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya

hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan

tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat

mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut Stuart (2007),

faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi

serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan

Page 28: Lp Resiko Bunuh Diri

ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak

untuk diinterpretasikan.

2) Stres Lingkungan

Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk

menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3) Sumber Koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stresor.

4.Tahapan halusinasi

Tahap karakteristik perilaku klien

1. Tahap I (comforting)

Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan

suatu kesenangan.

a. Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.

b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.

c. Fikiran dan pengalaman sesori masih ada dalam control kesadaran non-psikotik

d. Mengerakkan bibir tanpa suara

e. Pergerakan mata yang cepat

f. Respon verbal yang lambat

g. Diam dan berkonsentrasi.

2. Tahap II (Condemning)

a. Menyalahkan

b. Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipasti

c. Pengalaman sensori menakutkan

Page 29: Lp Resiko Bunuh Diri

d. Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut

e. Mulai merasa kehilangan control

f. Menarik diri dari orang lain non psikotik

g. Terjadi peningkatan denyut jantung pernafasan dan tekanan darah

h. Perhatian dengan lingkungan berkurang

i. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja

j. Kehilangan kemampuan.

3. Tahap III (Controling)

a. Mengontrol

b. Tingkat kecemasan berat

c. Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi

d. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)

e. Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik

f. Perintah halusinasi ditaati

g. Sulit berhubungan dengan orang lain

h. Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik

i. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat.

4. Tahap IV (Conquering)

a. Klien sudah dikuasai oleh halusinasi

b. Klien panik pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti

perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada.

Tahapan, Karakteristik, dan Perilaku yang ditampilkan

Page 30: Lp Resiko Bunuh Diri

Halusinasi menurut Rasmun (2001), itu dapat menjadi :

1. Halusinasi penglihatan (Visual, optic) : Tak berbentuk (sinar, kilapan atau pola

atau cahaya) atau yang berbentuk (orang, binatang, barang yang dikenal) baik itu yang

berwarna atau tidak).

Page 31: Lp Resiko Bunuh Diri

2. Halusinasi pendengaran (akustik) : suara manusia, hewan, binatang, mesi,

barang, kejadian alamiah atau music.

3. Halusinasi penciuman (olfaktorius) : mencium sesuatu bau

4. Halusinasi pengecap (gustatorik) : Merasa / mengecap sesuatu.

5. Halusinasi Peraba (taktil) : merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau seperti

ada ulat bergerak dibawah kulitnya.

6. Halusinasi Kinestetik : Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan atau

anggota badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau phantomlimb).

7. Halusinasi Veseral : Perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya.

8. Halusinasi Hipnagogik : Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tetapi

sebelum tidur persepsi sensorik bekerja salah.

9. Halusinasi hipnopompik : Seperti nomor 8, tetapi terjadi tepat sebelum

terbangun sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik

dalam impian yang normal.

10. Halusinasi hiterik : Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.

5.Tanda dan Gejala Halusinasi

Types of Hallucinations Sign and Symptoms

Auditory Hallucination Hearing one or more voices, experiencing 2 voices

talking about him in the third person, hear their

own thoughts spoken aloud, the voice keeping up

a running commentary on the person’s behavior,

more than 2 voices conversing with each other,

hearing “buzzing” or tones of varying pitch and

timbre, perceptions of music or unformed

mechanical, hearing a voice of commands, or

seashell-like noises.

Visual Hallucinations Formed images (people) or unformed images (e.g

flashes of light), vivid scenes with family

Page 32: Lp Resiko Bunuh Diri

members, religious figures and/or animal, vision

of small animals and crawling insects, aura

symptoms : irregular colored crescent of light

with multi-colored edges in the center of the

visual field that gradually progress toward the

periphery which is lasting < 60 minutes.

Olfactory Hallucinations Smelling odor with no physical stimulation,

because of the odor clients may wash excessively,

overuse deodorants and perfumes, or become

socially withdrawn.

Gustatory Hallucinations Experiencing salivation, sensation of thirst, or

taste alteration.

Tactile Hallucinations Perception of insects crawling over or under the

skin (formication), stimulation of pressure on skin,

Somatic Hallucinations Perception of abnormal body sensations or

physical experience (e.g having sense of not

having a stomach while eating or the perception

that a hand has ‘turned to jelly’)

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Page 33: Lp Resiko Bunuh Diri

a. Faktor Presipitasi

1) Sosial Budaya

Teori ini mengatakan bahwa stres lingkungan dapat menyebabkan terjadi respon

neurobiologis yang maladaptif, misalnya lingkungan yang penuh dengan kritik

(bermusuhan); kehilangan kemandirian dalam kehidupan, kehilangan harga diri,

kerusakan dalam hubungan interpersonal, kesepian, tekanan dalam pekerjaan, dan

kemiskinan.Teori ini mengatakan bahwa stres yang menumpuk dapat menunjang

terhadap nterjadinya ngangguan psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama

gangguan.

2) Biokimia

Dopamin, norepineprin, zat halusinogen dapat menyebabkan persepsi yang dingin oleh

klien sehingga klien cenderung membenarkan apa yang dikhayal.

b. Predisposisi

1) Faktor biologis

Adanya gangguan perkembangan otak khusus lobus provital, temporal dan limbik yang

disebabkan gangguan perkembangan dan fungsi susunan SSP. Sehingga menyebabkan

gangguan dalam belajar, berbicara dan daya ingat, serta perilaku menarik diri. Perilaku

menarik diri dapat menyebabkan seseorang tidak mau bersosialisasi sehingga

kemampuan dalam menilai dan berespon terhadap realita dapat hilang dan sulit

membedakan rangsangan internal dan eksternal.

2) Faktor psikologis

Halusinasi dapat terjadi pada orang yang memiliki keluarga yang overprotektif sangat

cemas. Hubungan dlam keluarga yang dingin dan tidak harmonis, perhatian dengan

orang lain yang sangat lebih atau sangat kurang sehingga menyebabkan koping individu

ketika menghadapi stres tidak adaptif.

3) Faktor sisial budaya

Kemiskinan dapat menjadi faktor halusinasi. Bila individu tidak memiliki koping yang

adaptif maka ia akan suka berhayal menjadi orang lain.

Page 34: Lp Resiko Bunuh Diri

Pada proses pengkajian data penting yang perlu didapatkan adalah:

1) Jenis halusianasi

Ada beberapa jenis halusinasi pada pasien gangguan jiwa. Kira-kira 70% halusinasi yang

dialami oleh pasien gangguan jiwa adalah halusinasi dengar atau suara, 20% halusinasi

penglihatan, dan 10% halusinasi penghidu, pengecap, perabaan, senestik dan kinestik.

Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengevaluasi perilaku pasien dan

menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh pasien.

2) Mengkaji Isi Halusinasi

Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila

halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Atau apa bentuk bayangan yang

dilihat oleh pasien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang

tercium untuk halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan,

atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan.

3) Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi

Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang

dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu

terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.

Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi

terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan

terjadinya halusinasi. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi

dan menentukan jika pasien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi. Ini dapat

dikaji dengan menanyakan kepada pasien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa

kali sehari, seminggu. Bila mungkin pasien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu

terjadi halusinasi tersebut.

4) Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi

Page 35: Lp Resiko Bunuh Diri

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi pasien dapat dikaji

dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh pasien saat mengalami pengalaman

halusinasi. Apakah pasien masih dapat mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak

berdaya lagi terhadap halusinasi.

5) Fase halusinasi

Ada 4 fase dari halusinasi yang perlu dikaji:

a. Fase I

Klien pada fase ini mungkin terlihat melamun dan fokus pada hal-hal yang

menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stres, cara ini menolong untuk

sementara. Klien masih dapat mengontrol kesadarannya dan mengenal pemikiran ini

sebagai bagian dari dirinya.

b. Fase II

Ansietas meningkat berhubungan dengan pengalaman eksternal dan internal klien

berada pada tingkat pendengaran halusinasinya (listening).

c. Fase III

Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol pemikiran klien, klien menjadi

terbiasa dengan halusinasi tersebut.

d. Fase IV

Fase ini klien tidak berdaya meleapaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi

berubah menjadi ancaman, memerintah, memarahi atau menyerang. Klien tidak

mampu berhubungan dengan orang lain karena sibuk dengan khayalannya, menjadi

kronis bila tidak dilakukan intervensi secepatnya.

FORMAT PENGKAJIAN HALUSINASI

Persepsi:

Halusinasi

a. Pendengaran

Page 36: Lp Resiko Bunuh Diri

b. Penglihatan

c. Perabaan

d. Pengecapan

e. Penghidung

Jelaskan

a. Isi

halusinasi :......................................................................................

b. Waktu

terjadinya :......................................................................................

c. Frekuensi

halusinasi :.....................................................................................

d. Respon

pasien :.....................................................................................

Masalah

keperawatan :................................................................................................

2. Diagnosa

1) Gangguan sensori persepsi (tipe: Penglihatan, Pendengaran, Kinestetik,

Gustatori, Taktil, Olfaktori) b.d Perubahan integrasi sensori,Perubahan penerimaan

sensori,Perubahan pengiriman sensori,Ketidakseimbangan biokimia,

Ketidakseimbangan elektrolit, Stimulus lingkungan berlebihan, Stimulus lingkungan

kurang memadai, Stress psikologis, d.d halusinasi

2) Risiko perilaku kekerasan pada orang lain b/d riwayat kekerasan terhadap orang lain

Page 37: Lp Resiko Bunuh Diri
Page 38: Lp Resiko Bunuh Diri

DAFTAR PUSTAKA

Deden, Darmawan dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja

Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Depkes RI. 2006. Standar Pelayanan Keperawatan Jiwa. Direktoral Jenderal Bina

Pelayanan Medik

Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi).Bandung: Refika Aditama

Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga,

Edisi 1, CV. Agung Seto; Jakarta

Brooker, Chris. (2005). Ensiklopedia Keperawatan (S. K. dr. Andry Hartono. dr. Brahm U.

Pendit. Ns. Dwi Widiarti, Trans. S. K. Estu Tiar Ed.): EGC Medical Publisher.

Gail Wiscarz Stuart, Sandra J. Sundeen. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.).

Jakarta: EGC Medical Publisher.

Laraia, Gail Wiscarz Stuart. Michele T. (2005). Principle and Practice of Psychiatric

Nursing (8th ed.): St Louis Mosby Book Inc.

Page 39: Lp Resiko Bunuh Diri

LAPORAN PENDAHULUAN

“Isolasi Sosial”

1. Definisi Isolasi Sosial

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan

atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.

Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina

hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk

menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain

maupun komunikasi dengan orang lain (Yosep, 2009).

Meurut Keliat dalam Surtiningrum A (2010) isolasi sosial adalah upaya klien

untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang

lain maupun berkomunikasi dengan orang lain.

Menurut (Dalami dkk, 2009) isolasi sosial adalah gangguan hubungan

interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel dan

menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi orang dalam berhubungan.

Jadi isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang atai individu menghindari

untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain.

2. Etiologi Isolasi Sosial

Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan isolasi sosial dibedakan menjadi 2,

yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.

1. Faktor predisposisi

a. Faktor tumbuh kembang

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu

dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,

maka akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah

tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin

hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih saying, perhatian,

dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak

aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa

ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada

orang lain maupun lingkungan dikemudian hari. Oleh karena itu, komunikasi

Page 40: Lp Resiko Bunuh Diri

yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa

diperlakukan sebagai objek.

b. Faktor komunikasi dalam keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi penting dalam

mengembangkan gangguan tingkah laku seperti sikap bermusuhan/hostilitas,

sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak, selalu

mengkritik, menyalahkan, dan anak tidak diberi kesempatan untuk

mengungkapkan pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota

keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam

pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah,

ekspresi emosi yang tinggi, double bind, dua pesan yang bertentangan

disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya

meningkat

c. Faktor sosial budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor

pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh

karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti

anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

d. Faktor biologis

Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. Penurunan

aktivitas neorotransmitter akan mengakibatkan perubahan mood dan

gangguan kecemasan. Menurut Townsend (2003, hlm.59) neurotransmitter

yang mempengaruhi pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:

Dopamin

Fungsi dopamin sebagai pengaturan mood dan motivasi, sehingga apabila

dopamin menurun pasien akan mengalami penurunan mood dan motivasi.

Norepineprin

Norepineprin yang kurang dapat mempengaruhi kehilangan memori,

menarik diri dari masyarakat dan depresi

Serotonin

Pasien dengan menarik diri/ isolasi sosial, serotonin cenderung menurun

sehingga biasanya dijumpai tanda tanda seperti lemah, lesu dan malas

melakukan aktivitas

Asetokolin

Page 41: Lp Resiko Bunuh Diri

Apabila terjadi penurunan asetokolin pada pasien dengan isolasi sosial

cenderung untuk menunjukkan tanda-tanda seperti malas, lemah dan lesu

(Stuart & Laria, 2005).

2. Faktor presipitasi

a. Faktor eksternal

Stress sosiokultural

Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunya stabilitas unit keluarga

seperti perceraian, berpisah dari orang yang berarti, kehilangan pasangan

pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit atau

di penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

a. Faktor internal

Stress Psikologis

Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan

kemampuan untuk mengatasinya.Tuntutan untuk berpisah dengan orang

terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan

ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.

b. Penilaian Terhadap Stressor

Penilaian terhadap stressor individu sangat penting dalam hal ini. Rasa sedih

karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar

sehingga individu tidak tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan,

bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih

mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan

yang berkaitan dengan hubungan ((Stuart & Laria, 2005)

3. Rentang Respon Sosial

Menurut Stuart (2006) tentang respons klien ditinjau dari interaksinya dengan

lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon

adaptif dengan maladaptif sebagai berikut :

Menyendiri

Otonomi

Bekerjasama

Interdependen

Menarik diriDependensCuriga

ManipulasiImpulsifNarcissisme

Page 42: Lp Resiko Bunuh Diri

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Berdasarkan gambar rentang respon sosial di atas, menarik diri

termasuk dalam transisi antara respon adaptif dengan maladaptif sehingga

individu cenderung berfikir kearah negatif.

1. Adaptif

Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural

dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.

a. Menyendiri (Solitude)

Respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah

dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara

mengevaluasi diri dan menentukan langkah berikutnya

b. Otonomi

Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran

dan perasaan dalam hubungan sosial

c. Bekerjasama (Mutuality)

Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut

mampu untuk saling memberi dan menerima, merupakan kemampuan

individu yang saling membutuhkan satu sama lain

d. Interdependen

Kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam

membina hubungan interpersonal

2. Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam

menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan

kebudayaan suatu tempat.

a. Menarik diri

Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara

terbuka dengan orang lain, merupakan gangguan yang terjadi apabila

seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk

mencari ketenangan sementara waktu

b. Ketergantungan (Dependen)

Page 43: Lp Resiko Bunuh Diri

Terjadi bila individu gagal mengembangkan rasa percaya diri atau

kemampuannya untuk berfungsi secara sukses sehinggan tergantung

dengan orang lain

c. Curiga

Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain

d. Manipulasi

Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu, hubungan

terpusat pada masalah pengendalian dan berorientasi pada diri sendiri atau

pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain sehingga tidak dapat

membina hubungan sosial secara mendalam

e. Impulsif

Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari

pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan

cenderung memaksakan kehendak

f. Narcissisme

Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan

penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah

jika orang lain tidak mendukung.

3. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial

Tanda dan gejala isolasi sosial menurut Townsend (2009); NANDA (2007);

Keliat dkk (2005) dapat dikelompokan meliputi: fisik, kognitif, perilaku dan afektif.

a. Tanda dan gejala fisik

Tanda dan gejala fisik merupakan manifestasi respon fisiologis tubuh terhadap

masalah isolasi sosial ditandai dengan kurang energi, lemah,

insomnia/hipersomia, penurunan dan peningkatan nafsu makan, kurang tekun

kurang tekun bekerja & bersekolah, dan kesulitan melaksanakan tugas yang

komplek

b. Tanda dan gejala kognitif

Tanda dan gejala kognitif terkait dengan pemilihan jenis koping, reaksi emosi,

fisiologik dan emosi. Penilaian kognitif merupakan tanggapan klien terjadap

diri sendirim orang lain dan lingkungan (Stuart & LARIA, 2005). Hal ini ditandai

dnegan adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain, tidak mampu

berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup.

Page 44: Lp Resiko Bunuh Diri

Klien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa

tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.

c. Tanda dan gejala perilaku

Klien dengan gangguan isolasi sosial akan berperilaku: kurangnya aktifitas,

menarik diri, tidak/jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak

memiliki teman dekat, melakukan tindakan berulang dan tidak

bermakna, kehilangan gerak dan minat, menjauh dari orang lain,

menunjukkan perilaku bermusuhan, menolak berhubungan dengan

orang lain, menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh kultur,

mengulang-ulang tindakan, tidak ada kontak mata, berdiam diri di

kamar.

b. Tanda dan gejala afektif

Tanda dan gejala afektif terkait dnegan respon emosi dalam menghadapi

masalah (Stuart & Laria, 2005). Tanda dan gejala emosi yang diperlihatkan

oleh klien dengan masalah isolasi sosial adalah merasa sedih, afek tumpul,

kurang motivasi, serta merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.

Sedih karena kehilangan sesuatu yg berarti takut menghadapi

kehilangan berikutnya.

4. Pohon Masalah Isolasi Sosial

Ganggguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah

5. Komplikasi Isolasi Sosial

ISOLASI SOSIAL

Gangguan Presepsi Sensori: Halusinasi

Page 45: Lp Resiko Bunuh Diri

Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko

perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi

realitas yang maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap

lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu

yang nyata tanpa stimulus/rangsangan eksternal (Keliat, 2005).

6. Penatalaksanaan Isolasi Sosial

Tindakan media yang diberikan pada klien dengan gangguan isolasi sosial

adalah dengan pemberian terapi psikofarmaka (antipsikotik), peran perawat dalam

pemberian psikofarmaka adalah memberikan informasi klien tentang pemberian terapi,

dosis obat, waktu yang panjang untuk mendapatkan hasil yang efektif, serta efek

samping yang mungkin terjadi, dan diharapkan klien dapat melaporkan kondisinya bila

terjadi gejala-gejala efek samping dari obat antipsikotik, sehingga dapat segera diatasi

(Shives, 2005).

Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien isolasi sosial bertujuan untuk:

1) klien dapat memuali hubungan atau interaksi dengan orang lain; 2) klien dapat

mengembangkan dan meningkatkan hubungan/interaksi sosial dengan orang lain; 3)

klien mengikuti program pengobatan secara optimal (Workshop Keperawatan Jiwa,

2008). Setalah mendapatkan terapi medis dan keperawatan klien dapat meningkatkan

ketrampilan interaksi sosial, partisipasi/terlibat dalam kegiatan sosial, mengurangi rasa

kesendirian, dan menciptakan iklim sosial dalam keluarga.

Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien dilakukan secara

komprehensif meliputi terapi individu, kelompok, kelurga, maupun komunitas, baik

berupa terapi generalis maupun terapi psikososial (Psikoterapi). Terapi yang dapat

diberikan pada klien dengan ganggguan isolasi sosial adalah terapi aktifitas kelompok

sosialisasi (TAKS). TAKS yang diberikan pada klien isolasi sosial adalah TAK yang

terdiri dari 7 sesi. TAKS merupakan upaya untuk memfasilitasi kemampuan sosilaisasi

sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Tujuan umum TAKS yaitu klien

dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap, sehingga

klien dibantu untuk melakukan sosialisasi individu yang ada disekitar klien. Tujuan

khususnya adalah klien mampu memperkenalkan diri, mampu berkenalan dengan

anggota kelompok, mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok, mampu

menyampaikan dan memberikan topik percakapan, mampu menyampaikan dan

membicarakan masalah pribadi dengan orang lain, mampu bekerja sama dalam

Page 46: Lp Resiko Bunuh Diri

permainan sosialisasi kelompok serta mampu menyampaikan pendapat tentang

manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan (Keliat & Akemat dalam Surtiningrum A,

2010).

Daftar pustaka

Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi), Refika Aditama; Bandung

Surtiningrum A, 2010. TESIS: Pengaruh Terapi Suportif Terhadap Kemampuan

Bersosialisasi Pada Klien Isolasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr

Amino Gunhoutomo Semarang. Fakultas Ilmu Keperawatan Program Magister

Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatab Jiwa Depok

Dalami dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Trans Info

Media. Jakarta.

MC Townsend. 2009. Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman

Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. EGC. Jakarta.

Page 47: Lp Resiko Bunuh Diri

NANDA. 2007. Nursing Diagnosis: Definition & Clasification 2007-2008, NANDA

International Philadephia.

Keliat, BA & Akemat. 2005. Kperawatan Jiwa: Terapi Aktifitas Kelompok; EGC.

Jakarta

Stuart & Laria MT. 2005. Principle and practice of Psyhiatric Nursing Eight Edition,

Elseiver Mosby, St Louis Missouri, USA.

Page 48: Lp Resiko Bunuh Diri

DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Definisi

Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk

memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis,

kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan

perawatan diri. Defisit Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang

mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan/melewati aktivitas perawatan diri

secara mandiri.

Defisit perawatan diri adalah keadaan individu mengalami kerusakan fungsi

motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk

melakukan masing-masing dari kelima aktivitas perawatan diri (makan, mandi atau

higiene, berpakaian atau berhias, toileting, instrumental) (Carpenito, 2007).

Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang yang mengalami

kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri

secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK

(toileting) (Fitria, 2009).

Defisit Perawatan Diri (Personal Hygiene) adalah suatu keadaan dimana

seseorang mengalami kerusakan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan

(kegiatan hidup sendiri). Defisit Perawatan Diri merupakan akibat dari ketidak mampuan

seseorang dalam perawatan dirinya karena lupa akan caranya maupun ketidak tahuan

dalam perawatan diri. Kurang perawatan diri tampak dari ketidak mampuan merawat

kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang

Air Besar (BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri.

2. Klasifikasi

Adapun jenis dan karakteristik kurang perawatan diri menurut Nanda (2006)

meliputi :

a. Kurang perawatan diri mandi atau hygiene

Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas mandi atau kebersihan diri

secara mandiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam

memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,

mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar

kamar mandi.

Page 49: Lp Resiko Bunuh Diri

b. Kurang perawatan diri berpakaian atau berhias

Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas berpakaian dan berhias untuk

diri sendiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam meletakkan

atau mengambil pakaian, menukar pakaian, mengenakan pakaian dalam, memilih

pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan

pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang

memuaskan, dan mengenakan sepatu.

c. Kurang perawatan diri makan

Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas makan, dengan batasan

karakteristik ketidakmampuan klien dalam mempersiapkan makanan, menangani

perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan

makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil

makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna

makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas,

serta mencerna cukup makanan dengan aman.

d. Kurang perawatan diri toileting

Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas toileting, dengan batasan

karakteristik ketidakmampuan klien dalam pergi ke toilet atau menggunakan pispot,

duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan

diri setelah BAB atau BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.

3. Etiologi

Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut (Tarwoto dan Wartonah,

2000; Depkes, 2000 dan Wartonah, 2006):

a. Kelelahan fisik

b. Penurunan kesadaran

Faktor Predisposisi

a. Perkembangan

Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif

terganggu.

b. Biologis

Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.

c. Kemampuan realitas turun

Page 50: Lp Resiko Bunuh Diri

Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan

ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.

d. Sosial :

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi

lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

Faktor presipitasi

a. Body image

Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya

karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.

b. Praktik sosial

Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi

perubahan pola personal hygiene.

c. Status sosioekonomi

Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,

sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.

d. Pengetahuan

Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat

meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus dia harus

menjaga kebersihan kakinya. Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri

adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, hambatan

lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan

individu kurang mampu melakukan perawatan diri (Nanda, 2006).

e. Budaya

Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.

f. Kebiasaan seseorang

Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti

penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.

g. Kondisi fisik atau psikis

Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu

bantuan untuk melakukannya.

4. Tanda dan Gejala

a. Mandi/Hygiene

Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan

Page 51: Lp Resiko Bunuh Diri

Memperoleh/mendapatkan sumber air

Mengatur suhu atau aliran air mandi

Mendapatkan peralatan mandi

Mengeringkan tubuh serta keluar masuk kamar mandi

b. Berpakaian / berhias

Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potonggan

pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian

Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, dan

memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, mengenakan kancing tarik,

menggunakan kaos kaki, melepas pakaian, mempertahankan penampilan pada

tingkat yang memuaskan.

c. Makan

Klien mempunyai ketidak mampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan

makanan , menangani perkakas, mengunyah makanan, menguunakan alat

tambahan, medapatkan makanan, membuka contrainer, memanipulasi makanna

dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkan ke mulut,

melengkapi makanan, mencernamakanan menurut cara yang diterima masyarakat,

mengambil cangkir atau gelas,serta mencerna makanan secara cukup aman.

d. BAB/BAK

Klien memiliki keterbatasan / ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau

kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting,

membersihkan diri setelah BAB dan BAK secara tepat, menyiram toilet atau kamar

kecil.

Menurut Depkes (2000) tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri

adalah:

a. Fisik

Badan bau, pakaian kotor

Rambut dan kulit kotor

Kuku panjang dan kotor

Gigi kotor disertai mulut bau

penampilan tidak rapi

b. Psikologis

Malas, tidak ada inisiatif

Page 52: Lp Resiko Bunuh Diri

Menarik diri, isolasi diri

Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina

c. Sosial

Interaksi kurang

Kegiatan kurang

Tidak mampu berperilaku sesuai norma

Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan

mandi tidak mampu mandiri

Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :

a. Data subyektif

1) Pasien merasa lemah

2) Malas untuk beraktivitas

3) Merasa tidak berdaya.

b. Data obyektif

1) Rambut kotor, acak – acakan

2) Badan dan pakaian kotor dan bau

3) Mulut dan gigi bau.

4) Kulit kusam dan kotor

5) Kuku panjang dan tidak terawatt

5. Dampak

Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut Wartonah

(2006) yaitu :

a. Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya

kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah :

Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan

telinga dan gangguan fisik pada kuku.

b. Dampak psikososial

Page 53: Lp Resiko Bunuh Diri

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan

kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,

aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.

6. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan

diri seimbang diri kadang tidak perawatan saat stress

Keterangan :

Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu

berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih

melakukan perawatan diri.

Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stressor kadang klien

tidak memperhatikan perawatan dirinya.

Tidak melakukan perawatan diri, klien menyatakan dia tidak peduli dan tidak bias

melakukan perawatan saat stressor.

7. Diagnosa Keperawatan

Defisit Perawatan Diri : - kebersihan diri/mandi

- berdandan/berhias

- makan

- BAB/BAK

8. Rencana Intervensi

Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri

sendiri adalah :

a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri

1) Bina hubungan saling percaya.

2) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.

3) Kuatkan kemampuan klien merawat diri.

Page 54: Lp Resiko Bunuh Diri

b. Membimbing dan menolong klien merawat diri.

1) Bantu klien merawat diri

2) Ajarkan ketrampilan secara bertahap

3) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari

c. Ciptakan lingkungan yang mendukung

1) Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.

2) Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.

3) Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar mandi

yang dekat dan tertutup.

9. Asuhan Keperawatan

Berikut ini rencana asuhan keperawatan dari defisit perawatan diri (Keliat, 2006) :

Diagnosa

Keperawatan

Perencanaan Intervensi

Tujuan Kriteria evaluasi

Defisit

Perawatan

Diri

TUM:

klien dapat

mandiri dalam

perawatan diri

TUK 1 :

Klien dapat

membina

hubungan saling

percaya dengan

perawat

Dalam berinteraksi

klien menunjukan

tanda-tanda percaya

pada perawat:

a. Wajah cerah,

tersenyum

b. Mau berkenalan

c. Ada kontak mata

d. Menerima

kehadiran

perawat

e. Bersedia

a. Berikan salam setiap

berinteraksi.

b. Perkenalkan nama, nama

panggilan perawat dan

tujuan perawat

berkenalan.

c. Tanyakan nama dan

panggilan kesukaan klien.

d. Tunjukan sikap jujur dan

menepati janji setiap kali

berinteraksi.

e. Tanyakan perasaan dan

Page 55: Lp Resiko Bunuh Diri

menceritakan

perasaannya

masalah yang dihadapi

klien.

f. Buat kontrak interaksi

yang jelas.

g. Dengarkan ungkapan

perasaan klien dengan

empati.

h. Penuhi kebutuhan dasar

klien.

TUK 2 :

Klien

mengetahui

pentingnya

perawatan diri

2.

Dalam 2 kali interaksi

klien menyebutkan:

a. Penyebab tidak

merawat diri

b. Manfaat menjaga

perawatan diri

c. Tanda-tanda

bersih dan rapi

d. Gangguan yang

dialami jika

perawatan diri

tidak diperhatikan

a. Bina hubungan saling

percaya dengan

menggunakan prinsip

komunikasi terapeutik.

b. Dorong klien

mengungkapkan

perasaan tentang

keadaan dan kebersihan

dirinya.

c. Dengarkan ungkapan

klien dengan empati.

d. Diskusikan bersama klien

pentingnya kebersihan diri

dengan cara menjelaskan

pengertian tentang arti

bersih dan tanda- tanda

bersih.

e. Diskusikan fungsi

kebersihan diri dengan

menggali pengetahuan

klien terhadap hal yang

berhubungan dengan

kebersihan diri.

f. Bantu klien

Page 56: Lp Resiko Bunuh Diri

mengungkapkan arti

kebersihan diri dan tujuan

memelihara kebersihan

diri.

g. Beri reinforcement positif

setelah klien mampu

mengungkapkan arti

kebersihan diri.

TUK 3:

Klien

mengetahui cara

– cara

melakukan

perawatan diri

Klien dapat

menyebutkan

frekwensi dan

menjelaskan cara

menjaga perawatan

diri (mandi, gosok

gigi, keramas, ganti

pakaian, berhias,

gunting kuku)

a. Diskusikan dengan klien

frekwensi memelihara

kebersihan diri seperti:

mandi 2 kali pagi dan

sore, sikat gigi minimal 2

kali sehari (sesudah

makan dan sebelum

tidur), keramas dan

menyisir rambut, gunting

kuku jika panjang

b. Diskusikan cara praktek

perawatan diri dengan

baik dan benar.

c. Berikan pujian untuk

setiap respon klien yang

positif.

TUK 4 :

Klien dapat

melakukan

kebersihan diri

dengan bantuan

perawat.

Klien berusaha untuk

memelihara

kebersihan diri

seperti:

a. mandi pakai

sabun dan

disiram pakai air

sampai bersih

b. mengganti

pakaian bersih

a. Motivasi klien untuk

mandi.

b. Beri kesempatan untuk

mandi, beri kesempatan

klien untuk

mendemonstrasikan cara

memelihara kebersihan

diri yang benar.

c. Anjurkan klien untuk

mengganti baju setiap

Page 57: Lp Resiko Bunuh Diri

sehari–hari

c. merapikan

penampilan.

hari.

d. Kaji keinginan klien untuk

memotong kuku dan

merapikan rambut.

e. Kolaborasi dengan

perawat ruangan untuk

pengelolaan fasilitas

perawatan kebersihan diri,

seperti mandi dan

kebersihan kamar mandi.

f. Bekerjasama dengan

keluarga untuk

mengadakan fasilitas

kebersihan diri seperti

odol, sikat gigi, shampoo,

pakaian ganti, handuk dan

sandal.

g. Berikan pujian untuk

setiap respon klien yang

positif.

TUK 5 :

Klien dapat

melakukan

kebersihan

perawatan diri

secara mandiri.

Setelah satu minggu

klien dapat

melakukan

perawatan

kebersihan diri

secara rutin dan

teratur tanpa

anjuran, seperti

mandi pagi dan sore,

gosok gigi setelah

makan, keramas 2x

seminggu, ganti baju

setiap hari,

penampilan bersih

a. Monitor klien dalam

melakukan kebersihan diri

secara teratur, ingatkan

untuk mandi, menggosok

gigi, mencuci rambut,

menyisir, gosok gigi, ganti

baju, menggunting kuku

dan pakai sandal.

b. Berikan pujian untuk

setiap respon klien yang

positif.

Page 58: Lp Resiko Bunuh Diri

dan rapi,

menggunting kuku

jika sudah panjang.

TUK 6 :

Klien dapat

dukungan

keluarga dalam

meningkatkan

kebersihan diri.

Kriteria evaluasi

a. Keluarga selalu

mengingatkan

hal–hal yang

berhubungan

dengan

kebersihan diri

b. keluarga

menyiapkan

sarana untuk

membantu klien

dalam menjaga

kebersihan diri

c. keluarga

membantu dan

membimbing klien

dalam menjaga

kebersihan diri.

a. Jelaskan pada keluarga

tentang penyebab kurang

minatnya klien menjaga

kebersihan diri.

b. Diskusikan bersama

keluarga tentang

tindakanyang telah

dilakukan klien selama di

RS dalam menjaga

kebersihan dan kemajuan

yang telah dialami di RS.

c. Anjurkan keluarga untuk

memutuskan memberi

stimulasi terhadap

kemajuan yang telah

dialami di RS.

d. Jelaskan pada keluarga

tentang manfaat sarana

yang lengkap dalam

menjaga kebersihan diri

klien.

e. Anjurkan keluarga untuk

menyiapkan sarana dalam

menjaga kebersihan diri.

f. Diskusikan bersama

keluarga cara membantu

klien dalam menjaga

kebersihan diri.

g. Diskusikan dengan

keluarga mengenai hal

Page 59: Lp Resiko Bunuh Diri

yang dilakukan misalnya:

mengingatkan pada waktu

mandi, sikat gigi, mandi,

keramas, dan lain-lain.

10. Pembagian Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri

Pembagian strategi pelaksanaan tindakan keperawatan defisit perawatan diri menurut

Purba (2009) adalah sebagai berikut:

Tindakan Keperawatan Untuk

Pasien

Tindakan Keperawatan untuk

keluarga

SP 1

1. Menjelaskan pentingnya

kebersihan diri

2. Menjelaskan cara menjaga

kebersihan diri

3. Membantu pasien mempraktekkan

cara menjaga kebersihan diri

4. Menganjurkan pasien

memasukkan dalam jadwal

kegiatan

SP 1

1. Menjelaskan masalah yang

dirasakan keluarga dalam

merawat pasien

2. Menjelaskan pengertian, tanda

dan gejala defisit perawatan diri

dan jenis defisit perawatan diri

yang dialami pasien, serta proses

terjadinya

3. Menjelaskan cara merawat

pasien dengan defisit perawatan

diri

SP 2

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan

harian pasien

2. Menjelaskan cara makan yang

baik

3. Membantu pasien mempraktekkan

cara makan yang baik

4. Menganjurkan pasien

memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian

SP 2

1. Melatih keluarga mempraktekkan

cara merawat pasien dengan

defisit perawatan diri

2. Melatih keluarga melakukan cara

merawat langsung kepada pasien

defisit perawatan diri

SP 3 SP 3

Page 60: Lp Resiko Bunuh Diri

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan

harian pasien

2. Menjelaskan cara eliminasi yang

baik

3. Membantu pasien mempraktekkan

cara eliminasi yang baik

4. Menganjurkan pasien

memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian

1. Membantu keluarga membuat

jadwal aktivitas di rumah

termasuk minum obat (dischange

planning)

2. Menjelaskan follow up pasien

setelah pulang

SP 4

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan

harian pasien

2. Menjelaskan cara berdandan

3. Membantu pasien mempraktekkan

cara berdandan

4. Menganjurkan pasien

memasukkan dalam jadwal

kegiatan harian

11. Evaluasi Strategi Pelaksanaan Komunikasi Defisit Perawatan Diri

Tanda- tanda strategi pelaksanaan komunikasi yang diberikan kepada klien defisit

perawatan diri berhasil menurut Purba (2009) adalah sebagai berikut:

a. Klien dapat menyebutkan:

1) Penyebab tidak merawat diri

2) Manfaat menjaga perawatan diri

3) Tanda-tanda bersih dan rapi

4) Gangguan yang dialami jika perawatan diri tidak diperhatikan.

b. Klien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri dalam hal:

1) Kebersihan diri

2) Berdandan

3) Makan

4) BAB/BAK

c. Keluarga memberi dukungan dalam melakukan perawatan diri:

1) Keluarga menyediakan alat-alat untuk perawatan diri

Page 61: Lp Resiko Bunuh Diri

2) Keluarga ikut seta mendampingi klien dalam perawatan diri

No. Tujuan yang tercapai Klien Keluarga

1. Klien mampu berinteraksi

2. Klien mampu membina hubungan saling percaya

3. Klien mampu mengidentifikasi secara mandiri kemampuannya dalam melakukan kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB.

4. Klien mampu menjelaskan pentingnya kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB

5. Klien mampu menjelaskan cara menjaga kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB

6. Klien mamapu menyebutkan peralatan yang dibutuhkan untuk menjaga kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB

7. Klien mampu mempraktekan cara menjaga kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB secara mandiri.

8. Keluaraga mampu dalam merawat klien dengan defisit perawatan diri.

9. Keluarga mampu menjelaskan tentang fasilitas kebersihan diri yang diperlukan oleh klien.

10. Keluarga terlibat untuk membantu klien menjaga kebersihan diri

11. Keluarga memfasilitasi pelaksanaan kemampuan yang masih dimiliki klien

12. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan yang sudah dilatih dan memberikan pujian atas keberhasilan klien

Page 62: Lp Resiko Bunuh Diri

DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Penerjemah

Monica Ester. Jakarta : EGC.

2. Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan Jiwa.

3. Fitria, Nita. (2009).  Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan  Dan

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7  Diagnosis

Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

4. Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC.

5. Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

6. Nanda ( Budi Santosa : editor ). 2006. Panduan Diagnosa Nanda 2005 - 2006 ; Definisi

dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.

7. Potter, P. A., & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental : konsep, proses, dan praktik.

Jakarta : EGC

8. Purba, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan

Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.

9. Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.

10. Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 3. Jakarta :

Salemba Medika.

Page 63: Lp Resiko Bunuh Diri

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

1. DEFINISI

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri, orang lain

maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul terhadap

kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1998). Menurut

Patricia D. Barry (1998)

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran

perasaan frustasi dan benci atau marah. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan

dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik

kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan adalah

suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat

membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain maupun

lingkungan (Townsend, 1998).

Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang melakukan

tindakan yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan akibat ketidakmampuan

mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN, 2006).

Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah

dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih

terkontol(Yosep, 2007).

Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan

bahwa perilaku kekerasan adalah ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang

mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang

atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain

maupun lingkungan.Sedangkan resiko perilaku kekerasan adalah adanya

kemungkinan seseorang melakukan tindakan dalam bentuk destruktif dan masih

terkontol.

2. Rentan Respon Marah

Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif, seperti rentang

respon kemarahan di bawah ini (yosep,2007)

Page 64: Lp Resiko Bunuh Diri

1. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan

tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan

menimbulkan masalah.

2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak

realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini tidak

ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu mengungkapkan

perasaan dan terlihat pasif.

3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak

pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.

4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk

bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang tampak dapat

berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.

5. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri.

Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.

3. Proses Terjadinya Marah

Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang harus dihadapi oleh

setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak

menyenangkan dan terancam, kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.

Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu : 1) Mengungkapkan

secara verbal, 2) Menekan, 3) Menantang. Dari ketiga cara ini, cara yang pertama adalah

konstruktif sedang dua cara lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang

akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus – menerus, maka

kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai

depresi psikomatik atau agresi dan ngamuk.

Page 65: Lp Resiko Bunuh Diri

Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal.

Stressor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor

eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian,hilangnya benda berharga, tertipu,

penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan

atau gangguan pada sistem individu (Disruption & Loss). Hal yang terpenting adalah

bagaimana seorang individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau

menjengkelkan tersebut (Personal meaning).

Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk

istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih

persyarafan telinga (nervus auditorius) maka ia akan dapat melakukan kegiatan

secara positif (Compensatory act) dan tercapai perasaan lega (Resolution). Bila ia

gagal dalam memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman

dan tidak mampu melakukan kegiatan positif (olah raga, menyapu atau baca puisi

saat dia marah dan sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan

sengsara (Helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (Anger).

Page 66: Lp Resiko Bunuh Diri

Kemarahan yang diekpresikan keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang

konstruktif (Contruktive action) dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang

diekpresikan keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang destruktif (Destruktive

action) dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (Guilt). Kemarahan

yang dipendam (Expressed inward) akan menimbulkan gejala psikosomatis (Poinful

symptom) (Yosep, 2007).

4. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi menurut (Stuart & Sundeen, 1995), berbagai pengalaman yang

dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi atau

mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu :

1. Psikologi, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat

menyebabkan agresif atau amuk, masa kanak –kanak yang tidak menyenangkan

yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanki penganiayaan dapat menyebabkan

gangguan jiwa pada usia dewasa atau remaja.

2. Biologis, respon biologis timbul karena kegiatan system syaraf otonom bereaksi

terhadap sekresi epineprin, sehingga tekanan darah meningkat, takhikardi, wajah

merah, pupil melebar dan frekuensi pengeluaran urinemeningkat. Ada gejala yang

sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot

seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku dan reflek cepat. Hal ini

disebabkan energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.

3. Perilaku, Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan, sering

mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi

individu mengadopsi perilaku kekerasan.

4. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol

sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah –olah

perilaku kekerasan diterima (permissive).

5. Aspek spiritual, kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi ungkapan marah

individu. Aspek tersebut mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal ini

bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang

dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya

kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepadanya.

Page 67: Lp Resiko Bunuh Diri

5. Etiologi

Penyebab terjadinya marah menurut Stuart & Sundeen (1995) : yaitu harga diri rendah

merupakan keadaan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,

merasa gagal mencapai keinginan, gangguan ini dapat situasional maupun kronik. Bila

kondisi ini berlangsung terus tanpa kontrol, maka akan dapat menimbulkan perilaku

kekerasan.

6. Tanda Gejala

Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa ke rumah sakit adalah

perilaku kekerasan di rumah. Menurut Boyd & Nihart, 1998. Klien dengan perilaku

kekerasan sering menunjukkan adanya tand gejala sebagai berikut:

a. Data Obyektif

1. Muka merah

2. Pandangan Tajam

3. Otot tegang

4. Nada suara tinggi

5. Berdebat

6. Sering pula tampak klien memakasakan kehendak

7. Merampas makanan, memukul jika tidak senang

b. Data Subjektif

1. Mengeluh perasaan terancam

2. Mengungkapkan perasaan tidak berguna

3. Mengungkapkan perasaan jengkel

4. Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar, merasa tercekik, dada

sesak, bingung.

7. Penatalaksanaan umum

a. Farmakoterapi

Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.

Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi

contohnya Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya.

Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine

estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti

Page 68: Lp Resiko Bunuh Diri

psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek

anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.

b.   Terapi Okupasi

Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian

pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan

mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus

diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur

dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu

diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi

dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas

terhadap rehabilitasi setelah dilakukannyan seleksi dan ditentukan program

kegiatannya.

c.    Peran serta keluarga

Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan

langsung pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar

dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan,

membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,

menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada

pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan

dapat mencegah perilaku maladaptive (pencegahan primer), menanggulangi perilaku

maladaptive (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku

adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan kieluarga dapat

ditingkatkan secara opti9mal. (Budi Anna Keliat,1992).

d. Terapi somatic

Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi

yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku

yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang

ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien

e. Terapi kejang listrik

Page 69: Lp Resiko Bunuh Diri

Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi

kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik

melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya

untukmenangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan

adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

Daftar Pustaka

Direktorat Jendral Kes. Wa, 1998, Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,

Edisi I,

Direktorat Kesehatan Jiwa RSJP, Bandung

Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC

Keliat B.A, 1998, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, ( Terjemahan ). Penerbit

Buku

Kedokteran , EGC, Jakarta.

Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

Stuart GW, Sundeen. 1998.Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).

St.Louis Mosby Year Book

Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP

Bandung, 2000

Page 70: Lp Resiko Bunuh Diri

Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan

Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC.