Upload
chindy-purbo
View
72
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
efa
Citation preview
RESIKO BUNUH DIRIA. PROSES TERJADINYA
MASALAH
1. Pengertian
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh pasien untuk
mengakhiri kehidupannya. Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000),
bunuh diri memiliki 4 pengertian, antara lain:
Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
Bunuh diri dilakukan dengan intensi
Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung
(pasif), misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan
kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel kereta api.
Tanda dan gejala :
Sedih
Marah
Putus asa
Tidak berdaya
Memeberikan isyarat verbal maupun non verbal
2. Penyebab
Secara universal: karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah.
Terbagi menjadi:
1. Faktor Genetik
2. Faktor Biologis lain
3. Faktor Psikososial & Lingkungan
Faktor genetik (berdasarkan penelitian):
1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang menjadi
kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan mood/depresi/
yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.
Faktor Biologis lain:
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
Stroke
Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
DiabetesPenyakit arteri koronaria
Kanker
HIV / AIDS
Faktor Psikososial & Lingkungan:
Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa
kehilangan objek berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif
thd diri, dan terakhir depresi.
Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang
berkembang, memandang rendah diri sendiri
Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya
sistem pendukung social
ETIOLOGI
Banyak penyebab tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri :
* Kegagalan beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stres
* Perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
* Perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
* Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
C. FAKTOR PREDISPOSISI
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), faktor predisposisi bunuh diri antara lain:
1. Diagnostik > 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri,
mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat
individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan apektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah rasa
bermusuhan, implisif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Seseorang yang baru mengalami kehilangan, perpisahan/perceraian, kehilangan yang dini
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko penting
untuk prilaku destruktif.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan depominersik menjadi
media proses yang dapat menimbulkan prilaku destrukif diri.
D. PRESIPITASI
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah :
· Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti.
· Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
· Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
· Cara untuk mengakhiri keputusasaan.
E. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala menurut fitria, nita (2009) :
o Mempunyai ide untuk bunuh diri
o Mengungkapkan keinginan untuk mati
o Impulsif
o Menunjukan perilaku yang mencurigakan
o Mendekati orang lain dengan ancaman
o Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
o Latar belakang keluarga
3. Akibat
Resiko bunuh diri dapat megakibatkan sebagai berikut :
Keputusasaan
Menyalahkan diri sendiri
Perasaan gagal dan tidak berharga
Perasaan tertekan
Insomnia yang menetap
Penurunan berat badan
Berbicara lamban, keletihan
Menarik diri dari lingkungan social
Pikiran dan rencana bunuh diri
Percobaan atau ancaman verbal
B. POHON MASALAH
Resiko bunuh diri
Harga diri rendah
PENATALAKSANAAN
Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat atau dikamar pertolongan darurat di
RS, dibagian penyakit dalam atau bagian bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka atau
keadaan keracunan, kesadaran penderita tidak selalu menentukan urgensi suatu tindakan medis.
Penentuan perawatan tidak tergantung pada faktor sosial tetapi berhubungan erat dengan
kriteria yang mencerminkan besarnya kemungkinan bunuh diri. Bila keadaan keracunan atau
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
terluka sudah dapat diatasi maka dapat dilakukan evaluasi psikiatri. Tidak adanya hubungan
beratnyagangguan badaniah dengan gangguan psikologik. Penting sekali dalam pengobatannya
untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan
terapi elektro konvulsi, obat obat terutama anti depresan dan psikoterapi.
G. PSIKOPATOLOGI
Semua prilaku bunuh diri adalah serius apapun tujuannya. Orang yang siap membunuh diri
adalah orang yang merencanakan kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana
spesifik dan mempunyai niat untuk melakukannya. Prilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi
3 kategori :
1. Ancaman bunuh diri
Peningkatan verbal/nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian, kurangnya respon positif
dapat ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat mengarah
pada kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan. Orang yang melakukan
percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati mungkin pada mati jika tanda-tanda
tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
Jakarta: EGC.
HARGA DIRI RENDAH
1. Definisi Harga Diri Rendah
Harga diri merupakan salah satu dimensi dari konsep diri. Harga diri adalah
proses evaluasi yang ditujukan indivu pada diri sendiri, yang nantinya berkaitan
dengan proses penerimaan individu terhadap dirinya. Dalam hal ini evaluasi akan
menggambarkan bagaimana penilaian individu tentang dirinya sendiri,
menunjukan penghargaan dan pengakuan atau tidak, serta menunjukkan sejauh
mana individu tersebut merasa mampu, sukses dan berharga. Secara singkat
harga diri diartikan sebagai penilaian terhadap diri tentang keberhargaan diri yang
di ekspresikan melalui sikap-sikap yang dianut individu.
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan
diri yang negative dan dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan
(Towsend, 1998).
Harga diri rendah kronis adalah evaluasi diri/perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negative dan dipertahankan dalam waktu yang lama (NANDA,
2005).
Individu cenderung untuk menilai dirinya negative dan merasa lebih rendah dari
orang lain (Depkes RI, 2000).
Harga diri rendah adalah perasaan negative terhadap diri sendiri, hilangnya
percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan (Keliat, 1998)
2. Faktor Predisposisi dan Presipitasi Harga Diri Rendah
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah kronis adalah penolakan
orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak
realistis.
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah adalah hilangnya sebagian
anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk tubuh, mengalami kegagalan,
serta menurunnya produktifitas. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis ini
dapat terjadi secara situasional maupun kronik (Direja, 2011).
Menurut Coopersmith (1967) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
harga diri, yaitu:
a. Penghargaan dan penerimaan dari orang-orang yang signifikan
Harga diri seseorang dipengaruhi oleh orang yang dianggap penting dalam
kehidupan individu yang bersangkutan (misal, orang tua)
b. Kelas Sosial dan Kesuksesan
Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat
tinggal.
c. Nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman
Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara
langsung melainkan disaring terlebih dahulu melalui tujuan dan nilai yang
dipegang oleh individu.
d. Cara individu dalam menghadapi evaluasi
Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang
dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan
penilaian negatif terhadap diri mereka.
3. Proses Terjadinya dan Pohon Masalah Harga Diri Rendah
Harga diri seseorang diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Gangguan
harga diri rendah akan terjadi jika kehilangan kasih sayang, perlakuan orang lain
yang mengancam dan hubungan interpersonal yang buruk. Tingkat harga diri
seseorang berada dalam rentang tinggi sampai rendah. Individu yang memiliki
harga diri tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi
secara efektif untuk berubah serta cenderung merasa aman. Individu yang
memiliki harga diri rendah melihat lingkungan dengan cara negative dan
menganggap sebagai ancaman (Direja, 2011).
Menurut Carpenito (2007), gangguan harga diri atau harga diri rendah
dapat terjadi secara:
• Situasional, yaitu suatu keadaan ketika individu yang sebelumnya memiliki harga
diri positif mengalami perasaan negatif mengenai diri dalam berespons terhadap
suatu kejadian (kehilangan, perubahan), misalnya harus operasi, kecelakaan,
dicerai suami/istri, putus sekolah, putus hubungan kerja, dll. Pada pasien yang di
rawat dapat terjadi harga diri rendah karena privasi yang kurang di perhatikan,
misalnya karena pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang
tidak sopan (pemasangan kateter, pemeriksaan perianal, dll), harapan akan
struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena di rawat / sakit
/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai.
• Kronik, yaitu keadaan ketika individu mengalami evaluasi diri negatif mengenai
kemampuan diri dalam waktu yang lama.
Harga diri rendah kronis terjadi akibat proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak diselesaikan atau dapat juga terjadi karena individu
tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien
sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi
respon negative mendorong individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu
berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha
menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa diri tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu
terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah
kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan
positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).
Pohon Masalah Harga Diri Rendah
Risiko tinggi perilaku kekerasan
↑
Perubahan persepsi sensori : halusinasi
↑
Isolasi sosial
↑
Harga diri rendah
↑
Koping individu tidak efektif
↑
Traumatik tumbuh kembang
4. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronik
Respon adaptif ResponMaladaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma.
Respon adaptif meliputi:
a. Aktualisasi diri
Pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman
yang sukses.
b. Konsep diri positif
Klien mampu pengalaman yang positif dalam perwujudan dirinya, dapat
mengidentifikasi kemampuan dan kelemahan secara jujur dalam menilai suatu
masalah sesuai norma-norma sosial dan kebudayaan suatu tempat jika
menyimpang merupakan respon maladaptive.
Respon maladaptive:
a. Harga diri rendah
Transisi antara adaptif dan maladaptive sehingga individu cenderung berfikir
kearah negative.
b. Kekacauan identitas
Aktualisasi Diri
Konsep Diri
Positif
HDR Kekacauan Identitas
Depersonalisasi
Kegagalan individu mengintegrasi aspek-aspek masa kanak-kanak dalam
pematangan aspek psikologis, kepribadian pada masa dewasa secara harmonis.
c. Depersonalisasi
Perasaan yang tidak realistis dan asing terhadap diri sendiri yang berhubungan
dengan kecemasan, kepanikan, dan tidak dapat membedakan dirinya dari orang
lain sehingga tidak dapat mengenali dirinya sendiri.
5. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah
Manifestasi yang bisa muncul pada klien gangguan jiwa dengan harga diri
rendah adalah (Fitria, 2009)
Mengkritik diri sendiri
Perasaan tidak mampu
Pandangan hidup yang pesimistis
Tidak menerima pujian
Penurunan produktifitas
Penolakan terhadap kemampuan diri
Kurang memperhatiakn perawatan diri
Berpakaian tidka rapi serta, selera makan berkurang, tidak berani menatap lawan
bicara
Lebih banyak menunduk
Bicara lambat dengan nada suara lemah
Coopersmith (1967) mengemukakan ciri-ciri individu sesuai dengan tingkat
harga dirinya:
• Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai,
sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali
menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak dirinya
sendiri dan tidak puas akan dirinya.
• Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya dan
kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain.
• Tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya
untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya.
• Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang
berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat mengekspresikan dirinya
dengan baik.
• Menganggap diri kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya
akan selalu mendapat haslil yang buruk, walaupun dia telah berusaha keras,
serta kurang dapat menerima segala perubahan dalam dirinya.
• Kurang memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang kurang
realisitis.
• Selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari
lingkungan.
6. Penatalaksanaan pada Klien Harga Diri Rendah
Menurut hawari (2001), terapi pada gangguan jiwa skizofrenia dewasa ini sudah
dikembangkan sehingga penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih
manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmaka
Adapun obat psikofarmaka yang ideal yaitu yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1) Dosis rendah dengan efektifitas terapi dalam waktu yang cukup singkat
2) Tidak ada efek samping kalaupun ada relative kecil
3) Dapat menghilangkan dalam waktu yang relative singkat, baik untuk gejala positif
maupun gejala negative skizofrenia
4) Lebih cepat memulihkan fungsi kogbiti
5) Tidak menyebabkan kantuk
6) Memperbaiki pola tidur
7) Tidak menyebabkan habituasi, adikasi dan dependensi
8) Tidak menyebabkan lemas otot.
Berbagai jenis obat psikofarmaka yang beredar dipasaran yang hanya diperoleh
dengan resep dokter, dapat dibagi dalan 2 golongan yaitu golongan generasi pertama
(typical) dan golongan kedua (atypical).Obat yang termasuk golongan generasi
pertama misalnya chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperidol. Obat yang
termasuk generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine,
Glanzapine, Zotatine, dan aripiprazole.
b. Psikoterapi
Therapy kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak mengasingkan diri
lagi karena bila ia menarik diri ia dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik.
Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
c. Therapy Kejang Listrik ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara artificial
dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang dipasang satu atau dua
temples. Therapi kejang listrik diberikan pada skizofrenia yang tidak mempan denga
terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
d. Keperawatan
Biasanya yang dilakukan yaitu Therapi modalitas/perilaku merupakan rencana
pengobatan untuk skizofrrenia yang ditujukan pada kemampuan dan kekurangan
klien.Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial.Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal.Therapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan
pada rencana dan masalah dalam hubungan kehidupan yang nyata.
Therapy aktivitas kelompok dibagi empat, yaitu therapy aktivitas kelompok
stimulasi kognitif/persepsi, theerapy aktivitas kelompok stimulasi sensori, therapi
aktivitas kelompok stimulasi realita dan therapy aktivitas kelompok sosialisasi. Dari
empat jenis therapy aktivitas kelompok diatas yang paling relevan dilakukan pada
individu dengan gangguan konsep diri harga diri rendah adalah therapyaktivitas
kelompok stimulasi persepsi. Therapy aktivitas kelompok (TAK) stimulasi persepsi
adalah therapy yang mengunakan aktivitas sebagai stimulasi dan terkait dengan
pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok, hasil diskusi
kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa: Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Depkes RI .
Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B.A. 1992. Hubungan Terapeutik Perawatan Klien. Jakarta: EGC.
Towsend, MC. 1998. Diagnosa Keperawatan Psiakiatri. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Direja AHS. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Hawari, Dadang. 2001. Keperawatan Kesehatan Holistik Pada Gangguan Jiwa
Skizofrenia. FKUI: Jakarta.
WAHAM
Konsep Dasar Waham
A. Pengertian
Proses berfikir meliputi proses pertimbangan ( judgment), pemahaman (comprehension),
ingatan serta penalaran ( reasoning ). Arus idea simbul atau asosiasi yang terarah kepada
tujuan dan yang di bangkitkan oleh suastu masalah atau tugas dan yang menghantarkan
kepada suatu penyelesaian yang terorientasi pada kenyataan merupakan proses berfikir yang
normal. Aspek proses berfikir dibedakan menjadi tiga bentuk yaitu bentuk pikiran, arus pikiran
dan isi pikir. Gangguan isi pikir dapat terjadi baik pada isi pikiran non verbal maupun pada isi
pikiran verbal diantaranya adalah waham. ( menurut marasmis 2005 hal.133)
Marasmis juga menekankan bahwa berbagai macam factor yang mempenngaruhi proses
pikir itu, umpamanya factor somatic ( gangguan otak, kelelahan). Factor fsikologi (gangguan
emosi, psiko, factor social, kegaduhan dan keadaan social yang lain) yang sangat
mempengaruhi ketahanan dan konsentrasi individu. Aspek proses pikir yaitu : bentuk pikir,
arus pikir dan isi pikir ditanbah dengan pertimbangan.
Kaplan dan Sadock (1998) mengatakan bahwa waham adalah keyakinan yang salah dan
menetap dan tidak dapat dibuktikan dalam kenyataan. Waham sedikitnya harus ada selama
sebelum dan sistematik dan tidak bizar ( dalam bentuk fragmentasi, respon, emosi pasien
terhadap system waham biasanya kongruen dan sesuai dengan isi waham itu. Pasien secara
relative biaanya bebas dari psikopatologi diluar wawasan system wahamnya. Awal mulanya
sering terjadi pada umur dewasa , menengah dan lanjut. ( hal 216)
David A Tomb (2004) beranggapan bahwa waham adalah suatu keyakinan kokoh yang
salah yang tidak sesuai dengan fakta dan keyakinan tersebut, mungkin aneh dan tetap
dipertahankan meskipun telah diberikan bukti-bukti yang jelas untuk mengoreksinya. Waham
sering ditemukan dalam gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada skizoprenia. Semakin akut psikosis semakin sering di temui waham
disorganisasi dan waham tidak sistematis. ( hal 27).
Waham adalah keyakinan tentang suatu isi pikir yang tidak sesuai dengan kenyataanya
atau tidak cocok dengan intelegensi dan latar belakang kebudayaan, biarpun dibuktikan
kemustahilan hal itu ( Marasmis 2005 hal 117).
Townsend 1998 mengatakan bahwa waham adalah istilah yang digunakan untuk
menunjukan ide-ide yang salah.
Dari pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa waham sebagai salah satu
perubahan proses khususnya isi pikir yang ditandai dengan keyakinan terhadap ide-ide, pikiran
yang tidak sesuai dengan kenyataan dan sulit diubah dengan logika atau bukti-bukti yang ada.
B. Jenis-Jenis Waham
adapun jenis-jenis waham menurut Marasmis, stuart and sundeen ( 1998) dan Keliat
(1998) waham terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
a. Waham agama : keyakinan klien terhjadap suatu agama secara berlebihan diucapkan
beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Waham kebesaran : klien yakin secara berlebihan bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuatan khusus diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
c. Waham somatic : klien meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya teganggu dan
terserang penyakit, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
d. Waham curiga : kecurigaan yang berlebihan dan tidak rasional dimana klien yakin
bahwa ada seseorang atau kelompok orang yang berusaha merugikan atau mencurigai
dirinya, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
e. Waham nihilistic : klien yakin bahwa dirinya sudah ridak ada di dunia atau sudah
meninggal, diucapkan beulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
f. Waham bizar
1. Sisip pikir : klien yakin ada ide pikiran orang lain yang dsisipkan di dalam pikiran
yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan
2. Siar pikir : klien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan
walaupun dia tidak menyatakan kepada orang tersebut, diucapkan beulang kali
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
3. Kontrol pikir : klien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.
C. Fase-Fase Waham
1. Lack of Selfesteen
- Tidak ada pengakuan lingkungan dan meningkatnya kesenjangan antara kenyataan
dan harapan. Ex : perceraian->berumah tangga tidak diterima oleh lingkungannya.
2. Control Internal Eksternal
- Mencoba berfikir rasional, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Ex : seseorang yang mencoba menutupi kekurangan
3. Environment support
- kerusakan control dan tidak berfungsi normal ditandai dengan tidak merasa
bersalah saat berbohong. Ex : seseorang yang mengaku dirinya adalah guru tari
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungan, klien merasa
didukung, klien menganggap hal yang dikatakan sebagai kebenaran, kerusakan
control diri dan tidak berfungsi normal (super ego)
4. Fisik Comforting
–klien merasa nyaman dengan kebohongannya
1. Fase Improving
- Jika tidak ada konfrontasi dan korelasi maka keyakinan yang salah akan meningkat.
Respon neurobiologist
Adapun rentang respon manusia terhadap stress yang menguraikan tentang respon
gangguan adaptif dan malladaptif dapat dijelaskan sebagai berikut ( stuart dan sundeen, 1998
hal 302) :
Rentang respon neurobiologis
Gangguan proses pikir/delusi/waham
Respon maladaptif maladaptif
Respon adaptif
Distorsi pikiran Pikiran logis
Persepsi akuratEmosi konsisten dengan pengalamanPrilaku sesuaiBerhubungan social
IlusiReaksi emosi berlebihan atau kurangPrilaku aneh Menarik diri
Halusinasi Sulit brespon emosiPrilaku disorganisasiIsolasi sosial
Dari rentang respon neurobiologis diatas dapat dijelaskan bila individu merespon secara
adaptif maka individu akan berfikir secara logis. Apabila individu berada pada keadaan
diantara adaptif dan maladaptif kadang-kadang pikiran menyimpang atau perubahan isi pikir
terganggu. Bila individu tidak mampu berfikir secara logis dan pikiran individu mulai
menyimpang maka ia makan berespon secara maladaptif dan ia akan mengalami gangguan isi
pikir : waham curiga.
Agar individu tidak berespon secara maladaptive maka setiap individu harus
mempunyai mekanisme pertahanan koping yang baik. Menurut seorang ahli medis dalam
penelitiannya memberikan definisi tentang mekanisme koping yaitu semua aktivita kognitif
dan motorik yang dilakukan oleh seseorang yangnn sakit untuk mempertahanakna intrgritas
tubuh dan psikisnya, memulihkan fungsi yang rusak dna membatasi adanya kerusakan yang
tidak bisa dipulihkan ( dipowski, 2009). Mekanisme koping dapat dibedakan menjadi dua yaitu
:
1. Reaksi yang berorientasi pada tugas, yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pad
atindakan untuk memenuhi secara reakstik tuntunan situasi stress.
a. Prilaku mnyuerang, digunakan untuk mengubah atau mengatasi hambatan
pemenuhan kebutuhan.
b. Prilaku menarik diri, digunakan baik secara fisik maupun psikologic untuk
memindahkan seseorang dari sumber stress.
c. Prilaku kompromi, digunakan untuk mengubah cara seseoprang mengoprasikan,
menmgganti tujuan atau mengorbankan aspek kebutuhan personal seseorang.
2. Mekanisme pertahana ego, merupakan mekanismne yang dapat membantu mengatasi
cenas ringan dan sedang, jika berlangsung pada tingkat sadar dan melibatkan penipuan
diri dan disorientasi realitas, maka mekanisme ini dapat merupakan respon maladaptive
terhadap stress. (Anonymous, 2009).
D. Psikopatologi Waham
Etiologi
Townsend (1998, hal 158) menagatakan bahwa ‘hal-hal yang menyebabkan gangguan
isi pikir : waham adalah ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain, panic, menekan rasa
takut stress yang berat yang mengancam ego yang lemah., kemungkinan factor herediter”.
Secara khusus factor penyebab timbulnya waham dapat diuraikan dalam beberapa teori yaitu :
a. Factor Predisposisi
Menurut Townsend (1998, hal 146-147) factor predisposisi dari perubahan isi
pikir : waham kebesaran dapat dibagi menjadi dua teori yang diuraikan sebagai
berikut :
1. Teori Biologis
a. Faktor-faktor genetic yang pasti mungkin terlibat dalam perkembangan
suatu kelainan ini adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan
kelainan yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).
b. Secara relative ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan
skizoprenia mungkin pada kenyataanya merupakan suaru kecacatan sejak
lahir terjadi pada bagian hipokampus otak. Pengamatan memperlihatkan
suatu kekacauan dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang
menderoita skizoprenia.
c. Teori biokimia menyatakan adanya peningkata dupamin neorotransmiter
yang dipertukarkan mengahasilkan gejala-gejala peningkatan aktifitas yang
berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya diobservasi
pada psikosis.
2. Teori Psikososial
a. Teori sistem keluarga Bawen dalam Townsend (1998) menggambarkan
perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Komflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam
anak akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansietas dan
suatu kondisi yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan
yang saling mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan anak-
anak. Anak harus meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan
masuk kepada masa dewasa, dimana di masa ini anak tidak akan mampu
memenuhi tugas perkembangan dewasanya.
b. Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan
menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak
menerima pesan-pesan yang membingungkan dan penuh konflik dan orang
tua tidak mampu membentuk rasa percaya tehadap orang lain.
c. Teoti psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego
yang lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling
mempengaruhi orang tua dan anak . karena ego menjadi lebih lemah
penggunaan mekanisme pertahanan itu pada waktu kecemasan yang ekstrem
mennjadi suatu yang maladaptive dan perilakunya sering kali merupakan
penampilan dan sekmen diri dalam kepribadian.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sundeen (1998, hal 310) factor presipitasi dari perubahan isi
pikir : waham kebesaran yaitu :
1. Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan nerobiologis yang maladaptive
termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan
isi informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
2. Stress lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
prilaku.
3. Pemicu gejala
Pemicu yang biasanta terdapat pada respon neurobiologist yang maladaptive
berhubungan denagn kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti :
gizi buruk, kurang tidur,infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkunag yang
penuh kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap penampilan, stress
agngguan dalam berhubungan interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaa,
kemiskinan, keputusasaan dan sebaigainya.
E. Proses terjadinya waham
Waham adalah anggapan tentang orang yang hypersensitif, dan mekanisme ego
spesifik, reaksi formasi dan penyangkalan. Klien dengan waham, menggunakan mekanisme
pertahanan reaksi formasi, penyangkalan dan proyeksi. Pada reaksi formasi, digunakan sebagai
pertahanan melawan agresi, kebutuhan, ketergantungan dan perasaan cinta. Kebutuhan akan
ketergantungan ditransformasikan menjadi kemandirian yang kokoh. Penyangkalan, digunakan
untuk menghindari kesadaran akan kenyataan yang menyakitkan. Proyeksi digunakan untuk
melindungi diri dari mengenal impuls yang tidak dapat diterima didalam dirinya sendiri.
Hypersensitifitas dan perasaan inferioritas, telah dihipotesiskan menyebabkan reaksi formasi
dan proyeksi, waham kebesaran dan superioritas. Waham juga dapat muncul dari hasil
pengembangan pikiran rahasia yang menggunakan fantasi sebagai cara untuk meningkatkan
harga diri mereka yang terluka. Waham kebesaran merupakan regresi perasaan maha kuasa
dari anak-anak, dimana perasaan akan kekuatan yang tidak dapat disangkal dan dihilangkan
(Kaplan dan Sadock, 1997).
Cameron, dalam Kaplan dan Sadock, (1997) menggambarkan 7 situasi yang memungkinkan
perkembangan waham, yaitu : peningkatan harapan, untuk mendapat terapi sadistik, situasi
yang meningkatkan ketidakpercayaan dan kecurigaan, isolasi sosial, situasi yang meningkatkan
kecemburuan, situasi yang memungkinkan menurunnya harga diri (harga diri rendah), situasi
yang menyebabkan seseorang melihat kecacatan dirinya pada orang lain, situasi yang
meningkatkan kemungkinan untuk perenungan tentang arti dan motivasi terhadap sesuatu.
F. Akibat dari Waham
Klien dengan waham dapat berakibat terjadinya resiko mencederai diri, orang lain dan
lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/
membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
G. Gejala- Gejala Waham
Menurut Kaplan dan Sadock (1997), kondisi klien yang mengalami waham adalah:
a. Status mental
1) Pada pemeriksaan status mental, menunjukan hasil yang sangat normal, kecuali bila
ada sistem waham abnormal yang jelas.
2) Mood klien konsisten dengan isi wahamnya.
3) Pada waham curiga, didapatkan perilaku pencuriga.
4) Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri,
mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
5) Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas
depresi ringan.
6) Klien dengan waham, tidak memiliki halusinasi yang menonjol/ menetap, kecuali
pada klien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa klien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.
b. Sensori dan kognisi
1) Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki waham
spesifik tentang waktu, tempat dan situasi.
2) Daya ingat dan proses kognitif klien adalah intak (utuh).
3) Klien waham hampir selalu memiliki insight (daya titik diri) yang jelek.
4) Klien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya. Keputusan
terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi klien adalah dengan menilai
perilaku masa lalu, masa sekarang dan yang direncanakan.
H. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Tatalaksana pengobatan skizofrenia paranoid mengacu pada penatalaksanaan
skizofrenia secara umum menurut Townsend (1998), Kaplan dan Sadock (1998) antara lain :
1) Anti Psikotik
Jenis- jenis obat antipsikotik antara lain :
a) Chlorpromazine
Untuk mengatasi psikosa, premidikasi dalam anestesi, dan mengurangi gejala emesis.
Untuk gangguan jiwa, dosis awal : 3×25 mg, kemudian dapat ditingkatkan supaya optimal,
dengan dosis tertinggi : 1000 mg/hari secara oral.
b) Trifluoperazine
Untuk terapi gangguan jiwa organik, dan gangguan psikotik menarik diri. Dosis awal : 3×1
mg, dan bertahap dinaikkan sampai 50 mg/hari.
c) Haloperidol
Untuk keadaan ansietas, ketegangan, psikosomatik, psikosis,dan mania. Dosis awal : 3×0,5
mg sampai 3 mg.
Obat antipsikotik merupakan obat terpilih yang mengatasi gangguan waham. Pada kondisi
gawat darurat, klien yang teragitasi parah, harus diberikan obat antipsikotik secara
intramuskular. Sedangkan jika klien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup dalam
waktu 6 minggu, anti psikotik dari kelas lain harus diberikan. Penyebab kegagalan pengobatan
yang paling sering adalah ketidakpatuhan klien minum obat. Kondisi ini harus diperhitungkan
oleh dokter dan perawat. Sedangkan terapi yang berhasil dapat ditandai adanya suatu
penyesuaian sosial, dan bukan hilangnya waham pada klien.
2) Anti parkinson
Triheksipenydil (Artane), untuk semua bentuk parkinsonisme, dan untuk menghilangkan reaksi
ekstrapiramidal akibat obat. Dosis yang digunakan : 1-15 mg/hari
Difehidamin
Dosis yang diberikan : 10- 400 mg/hari
3) Anti Depresan
Amitriptylin, untuk gejala depresi, depresi oleh karena ansietas, dan keluhan somatik. Dosis :
75-300 mg/hari.
Imipramin, untuk depresi dengan hambatan psikomotorik, dan depresi neurotik. Dosis awal :
25 mg/hari, dosis pemeliharaan : 50-75 mg/hari.
4) Anti Ansietas
Anti ansietas digunakan untuk mengotrol ansietas, kelainan somatroform, kelainan disosiatif,
kelainan kejang, dan untuk meringankan sementara gejala-gejala insomnia dan ansietas. Obat-
obat yang termasuk anti ansietas antara lain:
Fenobarbital : 16-320 mg/hari
Meprobamat : 200-2400 mg/hari
Klordiazepoksida : 15-100 mg/hari
b. Psikoterapi
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya. Terapi
individu lebih efektif dari pada terapi kelompok. Terapis tidak boleh mendukung ataupun
menentang waham, dan tidak boleh terus-menerus membicarakan tentang wahamnya. Terapis
harus tepat waktu, jujur dan membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang
dikembangkan adalah hubungan yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang
berlebihan dapat meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena disadari bahwa tidak
semua kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan
dengan wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan
konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan tes
realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus mampu
menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda pasti merasa
sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui setiap mis persepsi wahamnya,
sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya adalah membantu klien
memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi kurang kaku, perasaan kelemahan
dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan
kelemahan memasuki terapi, suatu hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas
terpeutik dapat dilakukan.
c. Terapi Keluarga
Pemberian terapi perlu menemui atau mendapatkan keluarga klien, sebagai sekutu
dalam proses pengobatan. Keluarga akan memperoleh manfaat dalam membantu ahli terapi
dan membantu perawatan klien.
HALUSINASIKonsep Halusinasi
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi salah yang diterima panca indera dan berasal dari stimulus
eksternal yang biasanya tidak diinterpretasikan ke dalam pengalaman. Persepsi
(ilusi). Akan tetapi, beberapa halusinasi dapat dipicu, misalnya seorang remaja lelaki
yang mendengar seorang polisi berbicara tentang dirinya saat ia mendengarkan music.
Halusinasi dapat terjadi pada indra apapun. Pada dasar nya halusinasi tidak selalu
berarti penyakit kejiwaan, halusinasi singkat terjadi setalah peristiwa kematian
(mendengar atau melihat orang yang sudah meninggal). Halusinasi patologis pada
dasarnya dikelompokkan berdasarkan modalitas sensorik yang terkena- pendengaran,
penglihatan, peraba, pengecapan dan penciuman. Halusinasi dapat sangat invasive,
sering muncul dan menyerang hampir semua fungsi normal, atau terjadi dalam situasi
dengan sedikit stimulus pada fungsi sehari-hari.
2.Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptif individu yang berada dalam rentang
respon neurobiologist (Stuart & Laraia, 2001). Ini merupakan respon persepsi paling
maladaptif. Jika individu yang sehat persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan
menginterprestasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca
indera (pendengaran, penglihatan, penghidu, pengecapan, dan perabaan), pasien
dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun sebenarnya
stimulus tersebut tidak ada.
Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena sesuatu hal
mengalami kelainan persepsi yaitu salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya
yang disebut sebagai ilusi. Pasien mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukannya
terhadap stimulus panca indera tidak akurat sesuai stimulus yang diterima. Rentang
respon halusinasi dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
ResponAdaptif Respon
Maladaptif
1. Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah maka dapat memecahkan masalah tersebut. Respon adaptif
berupa :
a. Pikiran logis adalah pikiran yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari hati
sesuai dengan pengalaman.
d. Perilaku sesuai adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan.
1. Psikososial
Respon psikososial, antaralain :
- Pikirankadangmenyimpang
- Ilusi- Emosionalberlebih
an- Perilakuganjil- Menarikdiri
- Pikiranlogis- Persepsiakurat- Emosikonsisten- Perilaku social- Hubungansosial
- Kelainanpikiran- Halusinasi- Tidakmampumeng
aturemosi- Ketidakaturan- Isolasi social.
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulka
nkekacauan/mengalami gangguan.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
sungguh terjadi (objeknyata), karena rangsangan pancaindera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilakutidakbiasaadalahsikapdantingkahlaku yang melebihibataskewajaran.
e. Menarikdiriyaitupercobaanuntukmenghindariinteraksi dengan orang lain
atauhubungan dengan orang lain.
2. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungannya. Respon maladaptif
yang sering ditemukan meliputi :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi ialah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan di
terima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang negatif
mengancam.
3.Penyebab
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Faktor Predisposisi
1) Biologis
a) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik
berhubungan dengan perilaku psikotik.
b) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan
masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya
skizofrenia.
c) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi
yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis,
ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-
mortem).
2) Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi
psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan
orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan,
konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi
disertai stres.
b) Faktor presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stresor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006). Menurut Stuart (2007),
faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi
serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak
untuk diinterpretasikan.
2) Stres Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stresor lingkungan untuk
menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3) Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stresor.
4.Tahapan halusinasi
Tahap karakteristik perilaku klien
1. Tahap I (comforting)
Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan
suatu kesenangan.
a. Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas.
c. Fikiran dan pengalaman sesori masih ada dalam control kesadaran non-psikotik
d. Mengerakkan bibir tanpa suara
e. Pergerakan mata yang cepat
f. Respon verbal yang lambat
g. Diam dan berkonsentrasi.
2. Tahap II (Condemning)
a. Menyalahkan
b. Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipasti
c. Pengalaman sensori menakutkan
d. Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
e. Mulai merasa kehilangan control
f. Menarik diri dari orang lain non psikotik
g. Terjadi peningkatan denyut jantung pernafasan dan tekanan darah
h. Perhatian dengan lingkungan berkurang
i. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
j. Kehilangan kemampuan.
3. Tahap III (Controling)
a. Mengontrol
b. Tingkat kecemasan berat
c. Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi
d. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)
e. Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik
f. Perintah halusinasi ditaati
g. Sulit berhubungan dengan orang lain
h. Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik
i. Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat.
4. Tahap IV (Conquering)
a. Klien sudah dikuasai oleh halusinasi
b. Klien panik pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti
perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada.
Tahapan, Karakteristik, dan Perilaku yang ditampilkan
Halusinasi menurut Rasmun (2001), itu dapat menjadi :
1. Halusinasi penglihatan (Visual, optic) : Tak berbentuk (sinar, kilapan atau pola
atau cahaya) atau yang berbentuk (orang, binatang, barang yang dikenal) baik itu yang
berwarna atau tidak).
2. Halusinasi pendengaran (akustik) : suara manusia, hewan, binatang, mesi,
barang, kejadian alamiah atau music.
3. Halusinasi penciuman (olfaktorius) : mencium sesuatu bau
4. Halusinasi pengecap (gustatorik) : Merasa / mengecap sesuatu.
5. Halusinasi Peraba (taktil) : merasa diraba, disentuh, ditiup, disinari atau seperti
ada ulat bergerak dibawah kulitnya.
6. Halusinasi Kinestetik : Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan atau
anggota badannya bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau phantomlimb).
7. Halusinasi Veseral : Perasaan tertentu timbul didalam tubuhnya.
8. Halusinasi Hipnagogik : Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tetapi
sebelum tidur persepsi sensorik bekerja salah.
9. Halusinasi hipnopompik : Seperti nomor 8, tetapi terjadi tepat sebelum
terbangun sama sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik
dalam impian yang normal.
10. Halusinasi hiterik : Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.
5.Tanda dan Gejala Halusinasi
Types of Hallucinations Sign and Symptoms
Auditory Hallucination Hearing one or more voices, experiencing 2 voices
talking about him in the third person, hear their
own thoughts spoken aloud, the voice keeping up
a running commentary on the person’s behavior,
more than 2 voices conversing with each other,
hearing “buzzing” or tones of varying pitch and
timbre, perceptions of music or unformed
mechanical, hearing a voice of commands, or
seashell-like noises.
Visual Hallucinations Formed images (people) or unformed images (e.g
flashes of light), vivid scenes with family
members, religious figures and/or animal, vision
of small animals and crawling insects, aura
symptoms : irregular colored crescent of light
with multi-colored edges in the center of the
visual field that gradually progress toward the
periphery which is lasting < 60 minutes.
Olfactory Hallucinations Smelling odor with no physical stimulation,
because of the odor clients may wash excessively,
overuse deodorants and perfumes, or become
socially withdrawn.
Gustatory Hallucinations Experiencing salivation, sensation of thirst, or
taste alteration.
Tactile Hallucinations Perception of insects crawling over or under the
skin (formication), stimulation of pressure on skin,
Somatic Hallucinations Perception of abnormal body sensations or
physical experience (e.g having sense of not
having a stomach while eating or the perception
that a hand has ‘turned to jelly’)
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Faktor Presipitasi
1) Sosial Budaya
Teori ini mengatakan bahwa stres lingkungan dapat menyebabkan terjadi respon
neurobiologis yang maladaptif, misalnya lingkungan yang penuh dengan kritik
(bermusuhan); kehilangan kemandirian dalam kehidupan, kehilangan harga diri,
kerusakan dalam hubungan interpersonal, kesepian, tekanan dalam pekerjaan, dan
kemiskinan.Teori ini mengatakan bahwa stres yang menumpuk dapat menunjang
terhadap nterjadinya ngangguan psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama
gangguan.
2) Biokimia
Dopamin, norepineprin, zat halusinogen dapat menyebabkan persepsi yang dingin oleh
klien sehingga klien cenderung membenarkan apa yang dikhayal.
b. Predisposisi
1) Faktor biologis
Adanya gangguan perkembangan otak khusus lobus provital, temporal dan limbik yang
disebabkan gangguan perkembangan dan fungsi susunan SSP. Sehingga menyebabkan
gangguan dalam belajar, berbicara dan daya ingat, serta perilaku menarik diri. Perilaku
menarik diri dapat menyebabkan seseorang tidak mau bersosialisasi sehingga
kemampuan dalam menilai dan berespon terhadap realita dapat hilang dan sulit
membedakan rangsangan internal dan eksternal.
2) Faktor psikologis
Halusinasi dapat terjadi pada orang yang memiliki keluarga yang overprotektif sangat
cemas. Hubungan dlam keluarga yang dingin dan tidak harmonis, perhatian dengan
orang lain yang sangat lebih atau sangat kurang sehingga menyebabkan koping individu
ketika menghadapi stres tidak adaptif.
3) Faktor sisial budaya
Kemiskinan dapat menjadi faktor halusinasi. Bila individu tidak memiliki koping yang
adaptif maka ia akan suka berhayal menjadi orang lain.
Pada proses pengkajian data penting yang perlu didapatkan adalah:
1) Jenis halusianasi
Ada beberapa jenis halusinasi pada pasien gangguan jiwa. Kira-kira 70% halusinasi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa adalah halusinasi dengar atau suara, 20% halusinasi
penglihatan, dan 10% halusinasi penghidu, pengecap, perabaan, senestik dan kinestik.
Mengkaji halusinasi dapat dilakukan dengan mengevaluasi perilaku pasien dan
menanyakan secara verbal apa yang sedang dialami oleh pasien.
2) Mengkaji Isi Halusinasi
Ini dapat dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata apabila
halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar. Atau apa bentuk bayangan yang
dilihat oleh pasien, bila jenis halusinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa yang
tercium untuk halusinasi penghidu, rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan,
atau merasakan apa dipermukaan tubuh bila halusinasi perabaan.
3) Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang
dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu
terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.
Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi
terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk pencegahan
terjadinya halusinasi. Informasi ini penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi
dan menentukan jika pasien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi. Ini dapat
dikaji dengan menanyakan kepada pasien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa
kali sehari, seminggu. Bila mungkin pasien diminta menjelaskan kapan persisnya waktu
terjadi halusinasi tersebut.
4) Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi pasien dapat dikaji
dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh pasien saat mengalami pengalaman
halusinasi. Apakah pasien masih dapat mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak
berdaya lagi terhadap halusinasi.
5) Fase halusinasi
Ada 4 fase dari halusinasi yang perlu dikaji:
a. Fase I
Klien pada fase ini mungkin terlihat melamun dan fokus pada hal-hal yang
menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stres, cara ini menolong untuk
sementara. Klien masih dapat mengontrol kesadarannya dan mengenal pemikiran ini
sebagai bagian dari dirinya.
b. Fase II
Ansietas meningkat berhubungan dengan pengalaman eksternal dan internal klien
berada pada tingkat pendengaran halusinasinya (listening).
c. Fase III
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol pemikiran klien, klien menjadi
terbiasa dengan halusinasi tersebut.
d. Fase IV
Fase ini klien tidak berdaya meleapaskan diri dari kontrol halusinasinya. Halusinasi
berubah menjadi ancaman, memerintah, memarahi atau menyerang. Klien tidak
mampu berhubungan dengan orang lain karena sibuk dengan khayalannya, menjadi
kronis bila tidak dilakukan intervensi secepatnya.
FORMAT PENGKAJIAN HALUSINASI
Persepsi:
Halusinasi
a. Pendengaran
b. Penglihatan
c. Perabaan
d. Pengecapan
e. Penghidung
Jelaskan
a. Isi
halusinasi :......................................................................................
b. Waktu
terjadinya :......................................................................................
c. Frekuensi
halusinasi :.....................................................................................
d. Respon
pasien :.....................................................................................
Masalah
keperawatan :................................................................................................
2. Diagnosa
1) Gangguan sensori persepsi (tipe: Penglihatan, Pendengaran, Kinestetik,
Gustatori, Taktil, Olfaktori) b.d Perubahan integrasi sensori,Perubahan penerimaan
sensori,Perubahan pengiriman sensori,Ketidakseimbangan biokimia,
Ketidakseimbangan elektrolit, Stimulus lingkungan berlebihan, Stimulus lingkungan
kurang memadai, Stress psikologis, d.d halusinasi
2) Risiko perilaku kekerasan pada orang lain b/d riwayat kekerasan terhadap orang lain
DAFTAR PUSTAKA
Deden, Darmawan dan Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa: Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publishing
Depkes RI. 2006. Standar Pelayanan Keperawatan Jiwa. Direktoral Jenderal Bina
Pelayanan Medik
Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi).Bandung: Refika Aditama
Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga,
Edisi 1, CV. Agung Seto; Jakarta
Brooker, Chris. (2005). Ensiklopedia Keperawatan (S. K. dr. Andry Hartono. dr. Brahm U.
Pendit. Ns. Dwi Widiarti, Trans. S. K. Estu Tiar Ed.): EGC Medical Publisher.
Gail Wiscarz Stuart, Sandra J. Sundeen. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.).
Jakarta: EGC Medical Publisher.
Laraia, Gail Wiscarz Stuart. Michele T. (2005). Principle and Practice of Psychiatric
Nursing (8th ed.): St Louis Mosby Book Inc.
LAPORAN PENDAHULUAN
“Isolasi Sosial”
1. Definisi Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi sosial merupakan upaya klien untuk
menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain
maupun komunikasi dengan orang lain (Yosep, 2009).
Meurut Keliat dalam Surtiningrum A (2010) isolasi sosial adalah upaya klien
untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang
lain maupun berkomunikasi dengan orang lain.
Menurut (Dalami dkk, 2009) isolasi sosial adalah gangguan hubungan
interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel dan
menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi orang dalam berhubungan.
Jadi isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang atai individu menghindari
untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan orang lain.
2. Etiologi Isolasi Sosial
Faktor-faktor yang mungkin menyebabkan isolasi sosial dibedakan menjadi 2,
yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
1. Faktor predisposisi
a. Faktor tumbuh kembang
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu
dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi,
maka akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah
tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih saying, perhatian,
dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak
aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa
ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada
orang lain maupun lingkungan dikemudian hari. Oleh karena itu, komunikasi
yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa
diperlakukan sebagai objek.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi penting dalam
mengembangkan gangguan tingkah laku seperti sikap bermusuhan/hostilitas,
sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak, selalu
mengkritik, menyalahkan, dan anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota
keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam
pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah,
ekspresi emosi yang tinggi, double bind, dua pesan yang bertentangan
disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya
meningkat
c. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh
karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti
anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.
d. Faktor biologis
Faktor genetik dapat berperan dalam respon sosial maladaptif. Penurunan
aktivitas neorotransmitter akan mengakibatkan perubahan mood dan
gangguan kecemasan. Menurut Townsend (2003, hlm.59) neurotransmitter
yang mempengaruhi pasien dengan isolasi sosial adalah sebagai berikut:
Dopamin
Fungsi dopamin sebagai pengaturan mood dan motivasi, sehingga apabila
dopamin menurun pasien akan mengalami penurunan mood dan motivasi.
Norepineprin
Norepineprin yang kurang dapat mempengaruhi kehilangan memori,
menarik diri dari masyarakat dan depresi
Serotonin
Pasien dengan menarik diri/ isolasi sosial, serotonin cenderung menurun
sehingga biasanya dijumpai tanda tanda seperti lemah, lesu dan malas
melakukan aktivitas
Asetokolin
Apabila terjadi penurunan asetokolin pada pasien dengan isolasi sosial
cenderung untuk menunjukkan tanda-tanda seperti malas, lemah dan lesu
(Stuart & Laria, 2005).
2. Faktor presipitasi
a. Faktor eksternal
Stress sosiokultural
Stress dapat ditimbulkan oleh karena menurunya stabilitas unit keluarga
seperti perceraian, berpisah dari orang yang berarti, kehilangan pasangan
pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit atau
di penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
a. Faktor internal
Stress Psikologis
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya.Tuntutan untuk berpisah dengan orang
terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan ansietas tingkat tinggi.
b. Penilaian Terhadap Stressor
Penilaian terhadap stressor individu sangat penting dalam hal ini. Rasa sedih
karena suatu kehilangan atau beberapa kehilangan dapat sangat besar
sehingga individu tidak tidak mau menghadapi kehilangan dimasa depan,
bukan mengambil resiko mengalami lebih banyak kesedihan. Respon ini lebih
mungkin terjadi jika individu mengalami kesulitan dalam tugas perkembangan
yang berkaitan dengan hubungan ((Stuart & Laria, 2005)
3. Rentang Respon Sosial
Menurut Stuart (2006) tentang respons klien ditinjau dari interaksinya dengan
lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon
adaptif dengan maladaptif sebagai berikut :
Menyendiri
Otonomi
Bekerjasama
Interdependen
Menarik diriDependensCuriga
ManipulasiImpulsifNarcissisme
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Berdasarkan gambar rentang respon sosial di atas, menarik diri
termasuk dalam transisi antara respon adaptif dengan maladaptif sehingga
individu cenderung berfikir kearah negatif.
1. Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang diterima oleh norma sosial dan kultural
dimana individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal.
a. Menyendiri (Solitude)
Respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara
mengevaluasi diri dan menentukan langkah berikutnya
b. Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide pikiran
dan perasaan dalam hubungan sosial
c. Bekerjasama (Mutuality)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima, merupakan kemampuan
individu yang saling membutuhkan satu sama lain
d. Interdependen
Kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal
2. Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial dan
kebudayaan suatu tempat.
a. Menarik diri
Seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina hubungan secara
terbuka dengan orang lain, merupakan gangguan yang terjadi apabila
seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain untuk
mencari ketenangan sementara waktu
b. Ketergantungan (Dependen)
Terjadi bila individu gagal mengembangkan rasa percaya diri atau
kemampuannya untuk berfungsi secara sukses sehinggan tergantung
dengan orang lain
c. Curiga
Seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang lain
d. Manipulasi
Seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek individu, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian dan berorientasi pada diri sendiri atau
pada tujuan, bukan berorientasi pada orang lain sehingga tidak dapat
membina hubungan sosial secara mendalam
e. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak
f. Narcissisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan marah
jika orang lain tidak mendukung.
3. Tanda dan Gejala Isolasi Sosial
Tanda dan gejala isolasi sosial menurut Townsend (2009); NANDA (2007);
Keliat dkk (2005) dapat dikelompokan meliputi: fisik, kognitif, perilaku dan afektif.
a. Tanda dan gejala fisik
Tanda dan gejala fisik merupakan manifestasi respon fisiologis tubuh terhadap
masalah isolasi sosial ditandai dengan kurang energi, lemah,
insomnia/hipersomia, penurunan dan peningkatan nafsu makan, kurang tekun
kurang tekun bekerja & bersekolah, dan kesulitan melaksanakan tugas yang
komplek
b. Tanda dan gejala kognitif
Tanda dan gejala kognitif terkait dengan pemilihan jenis koping, reaksi emosi,
fisiologik dan emosi. Penilaian kognitif merupakan tanggapan klien terjadap
diri sendirim orang lain dan lingkungan (Stuart & LARIA, 2005). Hal ini ditandai
dnegan adanya perasaan kesepian dan ditolak oleh orang lain, tidak mampu
berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup.
Klien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa
tidak berdaya, dan merasa tidak berguna.
c. Tanda dan gejala perilaku
Klien dengan gangguan isolasi sosial akan berperilaku: kurangnya aktifitas,
menarik diri, tidak/jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak
memiliki teman dekat, melakukan tindakan berulang dan tidak
bermakna, kehilangan gerak dan minat, menjauh dari orang lain,
menunjukkan perilaku bermusuhan, menolak berhubungan dengan
orang lain, menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh kultur,
mengulang-ulang tindakan, tidak ada kontak mata, berdiam diri di
kamar.
b. Tanda dan gejala afektif
Tanda dan gejala afektif terkait dnegan respon emosi dalam menghadapi
masalah (Stuart & Laria, 2005). Tanda dan gejala emosi yang diperlihatkan
oleh klien dengan masalah isolasi sosial adalah merasa sedih, afek tumpul,
kurang motivasi, serta merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
Sedih karena kehilangan sesuatu yg berarti takut menghadapi
kehilangan berikutnya.
4. Pohon Masalah Isolasi Sosial
Ganggguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
5. Komplikasi Isolasi Sosial
ISOLASI SOSIAL
Gangguan Presepsi Sensori: Halusinasi
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakibat adanya terjadinya resiko
perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi
realitas yang maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap
lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu
yang nyata tanpa stimulus/rangsangan eksternal (Keliat, 2005).
6. Penatalaksanaan Isolasi Sosial
Tindakan media yang diberikan pada klien dengan gangguan isolasi sosial
adalah dengan pemberian terapi psikofarmaka (antipsikotik), peran perawat dalam
pemberian psikofarmaka adalah memberikan informasi klien tentang pemberian terapi,
dosis obat, waktu yang panjang untuk mendapatkan hasil yang efektif, serta efek
samping yang mungkin terjadi, dan diharapkan klien dapat melaporkan kondisinya bila
terjadi gejala-gejala efek samping dari obat antipsikotik, sehingga dapat segera diatasi
(Shives, 2005).
Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien isolasi sosial bertujuan untuk:
1) klien dapat memuali hubungan atau interaksi dengan orang lain; 2) klien dapat
mengembangkan dan meningkatkan hubungan/interaksi sosial dengan orang lain; 3)
klien mengikuti program pengobatan secara optimal (Workshop Keperawatan Jiwa,
2008). Setalah mendapatkan terapi medis dan keperawatan klien dapat meningkatkan
ketrampilan interaksi sosial, partisipasi/terlibat dalam kegiatan sosial, mengurangi rasa
kesendirian, dan menciptakan iklim sosial dalam keluarga.
Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien dilakukan secara
komprehensif meliputi terapi individu, kelompok, kelurga, maupun komunitas, baik
berupa terapi generalis maupun terapi psikososial (Psikoterapi). Terapi yang dapat
diberikan pada klien dengan ganggguan isolasi sosial adalah terapi aktifitas kelompok
sosialisasi (TAKS). TAKS yang diberikan pada klien isolasi sosial adalah TAK yang
terdiri dari 7 sesi. TAKS merupakan upaya untuk memfasilitasi kemampuan sosilaisasi
sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Tujuan umum TAKS yaitu klien
dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap, sehingga
klien dibantu untuk melakukan sosialisasi individu yang ada disekitar klien. Tujuan
khususnya adalah klien mampu memperkenalkan diri, mampu berkenalan dengan
anggota kelompok, mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok, mampu
menyampaikan dan memberikan topik percakapan, mampu menyampaikan dan
membicarakan masalah pribadi dengan orang lain, mampu bekerja sama dalam
permainan sosialisasi kelompok serta mampu menyampaikan pendapat tentang
manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan (Keliat & Akemat dalam Surtiningrum A,
2010).
Daftar pustaka
Yosep, I. 2009. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi), Refika Aditama; Bandung
Surtiningrum A, 2010. TESIS: Pengaruh Terapi Suportif Terhadap Kemampuan
Bersosialisasi Pada Klien Isolasi Sosial Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr
Amino Gunhoutomo Semarang. Fakultas Ilmu Keperawatan Program Magister
Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatab Jiwa Depok
Dalami dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa. Trans Info
Media. Jakarta.
MC Townsend. 2009. Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri, Pedoman
Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. EGC. Jakarta.
NANDA. 2007. Nursing Diagnosis: Definition & Clasification 2007-2008, NANDA
International Philadephia.
Keliat, BA & Akemat. 2005. Kperawatan Jiwa: Terapi Aktifitas Kelompok; EGC.
Jakarta
Stuart & Laria MT. 2005. Principle and practice of Psyhiatric Nursing Eight Edition,
Elseiver Mosby, St Louis Missouri, USA.
DEFISIT PERAWATAN DIRI
1. Definisi
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis,
kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan
perawatan diri. Defisit Perawatan Diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang
mengalami kelemahan kemampuan dalam melakukan/melewati aktivitas perawatan diri
secara mandiri.
Defisit perawatan diri adalah keadaan individu mengalami kerusakan fungsi
motorik atau fungsi kognitif, yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk
melakukan masing-masing dari kelima aktivitas perawatan diri (makan, mandi atau
higiene, berpakaian atau berhias, toileting, instrumental) (Carpenito, 2007).
Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktivitas perawatan diri
secara mandiri seperti mandi (hygiene), berpakaian/berhias, makan dan BAB/BAK
(toileting) (Fitria, 2009).
Defisit Perawatan Diri (Personal Hygiene) adalah suatu keadaan dimana
seseorang mengalami kerusakan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
(kegiatan hidup sendiri). Defisit Perawatan Diri merupakan akibat dari ketidak mampuan
seseorang dalam perawatan dirinya karena lupa akan caranya maupun ketidak tahuan
dalam perawatan diri. Kurang perawatan diri tampak dari ketidak mampuan merawat
kebersihan diri, makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang
Air Besar (BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri.
2. Klasifikasi
Adapun jenis dan karakteristik kurang perawatan diri menurut Nanda (2006)
meliputi :
a. Kurang perawatan diri mandi atau hygiene
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas mandi atau kebersihan diri
secara mandiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam
memperoleh atau mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi,
mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar
kamar mandi.
b. Kurang perawatan diri berpakaian atau berhias
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas berpakaian dan berhias untuk
diri sendiri, dengan batasan karakteristik ketidakmampuan klien dalam meletakkan
atau mengambil pakaian, menukar pakaian, mengenakan pakaian dalam, memilih
pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan kancing tarik, melepaskan
pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada tingkat yang
memuaskan, dan mengenakan sepatu.
c. Kurang perawatan diri makan
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas makan, dengan batasan
karakteristik ketidakmampuan klien dalam mempersiapkan makanan, menangani
perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan
makanan, membuka container, memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil
makanan dari wadah lalu memasukkannya ke mulut, melengkapi makan, mencerna
makanan menurut cara yang diterima masyarakat, mengambil cangkir atau gelas,
serta mencerna cukup makanan dengan aman.
d. Kurang perawatan diri toileting
Kerusakan kemampuan dalam memenuhi aktivitas toileting, dengan batasan
karakteristik ketidakmampuan klien dalam pergi ke toilet atau menggunakan pispot,
duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan
diri setelah BAB atau BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar kecil.
3. Etiologi
Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai berikut (Tarwoto dan Wartonah,
2000; Depkes, 2000 dan Wartonah, 2006):
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
Faktor Predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial :
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
Faktor presipitasi
a. Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
karena adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli terhadap kebersihannya.
b. Praktik sosial
Pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
c. Status sosioekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus dia harus
menjaga kebersihan kakinya. Yang merupakan faktor presipitasi defisit perawatan diri
adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perseptual, hambatan
lingkungan, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri (Nanda, 2006).
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti
penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
4. Tanda dan Gejala
a. Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan
Memperoleh/mendapatkan sumber air
Mengatur suhu atau aliran air mandi
Mendapatkan peralatan mandi
Mengeringkan tubuh serta keluar masuk kamar mandi
b. Berpakaian / berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potonggan
pakaian, menanggalkan pakaian, serta memperoleh atau menukar pakaian
Klien juga memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam, dan
memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, mengenakan kancing tarik,
menggunakan kaos kaki, melepas pakaian, mempertahankan penampilan pada
tingkat yang memuaskan.
c. Makan
Klien mempunyai ketidak mampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan
makanan , menangani perkakas, mengunyah makanan, menguunakan alat
tambahan, medapatkan makanan, membuka contrainer, memanipulasi makanna
dalam mulut, mengambil makanan dari wadah lalu memasukkan ke mulut,
melengkapi makanan, mencernamakanan menurut cara yang diterima masyarakat,
mengambil cangkir atau gelas,serta mencerna makanan secara cukup aman.
d. BAB/BAK
Klien memiliki keterbatasan / ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau
kamar kecil, duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting,
membersihkan diri setelah BAB dan BAK secara tepat, menyiram toilet atau kamar
kecil.
Menurut Depkes (2000) tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri
adalah:
a. Fisik
Badan bau, pakaian kotor
Rambut dan kulit kotor
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau
penampilan tidak rapi
b. Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif
Menarik diri, isolasi diri
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
c. Sosial
Interaksi kurang
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma
Cara makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu mandiri
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah
2) Malas untuk beraktivitas
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak – acakan
2) Badan dan pakaian kotor dan bau
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor
5) Kuku panjang dan tidak terawatt
5. Dampak
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene menurut Wartonah
(2006) yaitu :
a. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang sering terjadi adalah :
Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku.
b. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
6. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan
diri seimbang diri kadang tidak perawatan saat stress
Keterangan :
Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stressor dan mampu
berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatan diri.
Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stressor kadang klien
tidak memperhatikan perawatan dirinya.
Tidak melakukan perawatan diri, klien menyatakan dia tidak peduli dan tidak bias
melakukan perawatan saat stressor.
7. Diagnosa Keperawatan
Defisit Perawatan Diri : - kebersihan diri/mandi
- berdandan/berhias
- makan
- BAB/BAK
8. Rencana Intervensi
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri
sendiri adalah :
a. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
3) Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
b. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
1) Bantu klien merawat diri
2) Ajarkan ketrampilan secara bertahap
3) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
c. Ciptakan lingkungan yang mendukung
1) Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
2) Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
3) Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar mandi
yang dekat dan tertutup.
9. Asuhan Keperawatan
Berikut ini rencana asuhan keperawatan dari defisit perawatan diri (Keliat, 2006) :
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Intervensi
Tujuan Kriteria evaluasi
Defisit
Perawatan
Diri
TUM:
klien dapat
mandiri dalam
perawatan diri
TUK 1 :
Klien dapat
membina
hubungan saling
percaya dengan
perawat
Dalam berinteraksi
klien menunjukan
tanda-tanda percaya
pada perawat:
a. Wajah cerah,
tersenyum
b. Mau berkenalan
c. Ada kontak mata
d. Menerima
kehadiran
perawat
e. Bersedia
a. Berikan salam setiap
berinteraksi.
b. Perkenalkan nama, nama
panggilan perawat dan
tujuan perawat
berkenalan.
c. Tanyakan nama dan
panggilan kesukaan klien.
d. Tunjukan sikap jujur dan
menepati janji setiap kali
berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan dan
menceritakan
perasaannya
masalah yang dihadapi
klien.
f. Buat kontrak interaksi
yang jelas.
g. Dengarkan ungkapan
perasaan klien dengan
empati.
h. Penuhi kebutuhan dasar
klien.
TUK 2 :
Klien
mengetahui
pentingnya
perawatan diri
2.
Dalam 2 kali interaksi
klien menyebutkan:
a. Penyebab tidak
merawat diri
b. Manfaat menjaga
perawatan diri
c. Tanda-tanda
bersih dan rapi
d. Gangguan yang
dialami jika
perawatan diri
tidak diperhatikan
a. Bina hubungan saling
percaya dengan
menggunakan prinsip
komunikasi terapeutik.
b. Dorong klien
mengungkapkan
perasaan tentang
keadaan dan kebersihan
dirinya.
c. Dengarkan ungkapan
klien dengan empati.
d. Diskusikan bersama klien
pentingnya kebersihan diri
dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti
bersih dan tanda- tanda
bersih.
e. Diskusikan fungsi
kebersihan diri dengan
menggali pengetahuan
klien terhadap hal yang
berhubungan dengan
kebersihan diri.
f. Bantu klien
mengungkapkan arti
kebersihan diri dan tujuan
memelihara kebersihan
diri.
g. Beri reinforcement positif
setelah klien mampu
mengungkapkan arti
kebersihan diri.
TUK 3:
Klien
mengetahui cara
– cara
melakukan
perawatan diri
Klien dapat
menyebutkan
frekwensi dan
menjelaskan cara
menjaga perawatan
diri (mandi, gosok
gigi, keramas, ganti
pakaian, berhias,
gunting kuku)
a. Diskusikan dengan klien
frekwensi memelihara
kebersihan diri seperti:
mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2
kali sehari (sesudah
makan dan sebelum
tidur), keramas dan
menyisir rambut, gunting
kuku jika panjang
b. Diskusikan cara praktek
perawatan diri dengan
baik dan benar.
c. Berikan pujian untuk
setiap respon klien yang
positif.
TUK 4 :
Klien dapat
melakukan
kebersihan diri
dengan bantuan
perawat.
Klien berusaha untuk
memelihara
kebersihan diri
seperti:
a. mandi pakai
sabun dan
disiram pakai air
sampai bersih
b. mengganti
pakaian bersih
a. Motivasi klien untuk
mandi.
b. Beri kesempatan untuk
mandi, beri kesempatan
klien untuk
mendemonstrasikan cara
memelihara kebersihan
diri yang benar.
c. Anjurkan klien untuk
mengganti baju setiap
sehari–hari
c. merapikan
penampilan.
hari.
d. Kaji keinginan klien untuk
memotong kuku dan
merapikan rambut.
e. Kolaborasi dengan
perawat ruangan untuk
pengelolaan fasilitas
perawatan kebersihan diri,
seperti mandi dan
kebersihan kamar mandi.
f. Bekerjasama dengan
keluarga untuk
mengadakan fasilitas
kebersihan diri seperti
odol, sikat gigi, shampoo,
pakaian ganti, handuk dan
sandal.
g. Berikan pujian untuk
setiap respon klien yang
positif.
TUK 5 :
Klien dapat
melakukan
kebersihan
perawatan diri
secara mandiri.
Setelah satu minggu
klien dapat
melakukan
perawatan
kebersihan diri
secara rutin dan
teratur tanpa
anjuran, seperti
mandi pagi dan sore,
gosok gigi setelah
makan, keramas 2x
seminggu, ganti baju
setiap hari,
penampilan bersih
a. Monitor klien dalam
melakukan kebersihan diri
secara teratur, ingatkan
untuk mandi, menggosok
gigi, mencuci rambut,
menyisir, gosok gigi, ganti
baju, menggunting kuku
dan pakai sandal.
b. Berikan pujian untuk
setiap respon klien yang
positif.
dan rapi,
menggunting kuku
jika sudah panjang.
TUK 6 :
Klien dapat
dukungan
keluarga dalam
meningkatkan
kebersihan diri.
Kriteria evaluasi
a. Keluarga selalu
mengingatkan
hal–hal yang
berhubungan
dengan
kebersihan diri
b. keluarga
menyiapkan
sarana untuk
membantu klien
dalam menjaga
kebersihan diri
c. keluarga
membantu dan
membimbing klien
dalam menjaga
kebersihan diri.
a. Jelaskan pada keluarga
tentang penyebab kurang
minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
b. Diskusikan bersama
keluarga tentang
tindakanyang telah
dilakukan klien selama di
RS dalam menjaga
kebersihan dan kemajuan
yang telah dialami di RS.
c. Anjurkan keluarga untuk
memutuskan memberi
stimulasi terhadap
kemajuan yang telah
dialami di RS.
d. Jelaskan pada keluarga
tentang manfaat sarana
yang lengkap dalam
menjaga kebersihan diri
klien.
e. Anjurkan keluarga untuk
menyiapkan sarana dalam
menjaga kebersihan diri.
f. Diskusikan bersama
keluarga cara membantu
klien dalam menjaga
kebersihan diri.
g. Diskusikan dengan
keluarga mengenai hal
yang dilakukan misalnya:
mengingatkan pada waktu
mandi, sikat gigi, mandi,
keramas, dan lain-lain.
10. Pembagian Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Defisit Perawatan Diri
Pembagian strategi pelaksanaan tindakan keperawatan defisit perawatan diri menurut
Purba (2009) adalah sebagai berikut:
Tindakan Keperawatan Untuk
Pasien
Tindakan Keperawatan untuk
keluarga
SP 1
1. Menjelaskan pentingnya
kebersihan diri
2. Menjelaskan cara menjaga
kebersihan diri
3. Membantu pasien mempraktekkan
cara menjaga kebersihan diri
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan
SP 1
1. Menjelaskan masalah yang
dirasakan keluarga dalam
merawat pasien
2. Menjelaskan pengertian, tanda
dan gejala defisit perawatan diri
dan jenis defisit perawatan diri
yang dialami pasien, serta proses
terjadinya
3. Menjelaskan cara merawat
pasien dengan defisit perawatan
diri
SP 2
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Menjelaskan cara makan yang
baik
3. Membantu pasien mempraktekkan
cara makan yang baik
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
SP 2
1. Melatih keluarga mempraktekkan
cara merawat pasien dengan
defisit perawatan diri
2. Melatih keluarga melakukan cara
merawat langsung kepada pasien
defisit perawatan diri
SP 3 SP 3
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Menjelaskan cara eliminasi yang
baik
3. Membantu pasien mempraktekkan
cara eliminasi yang baik
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
1. Membantu keluarga membuat
jadwal aktivitas di rumah
termasuk minum obat (dischange
planning)
2. Menjelaskan follow up pasien
setelah pulang
SP 4
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien
2. Menjelaskan cara berdandan
3. Membantu pasien mempraktekkan
cara berdandan
4. Menganjurkan pasien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian
11. Evaluasi Strategi Pelaksanaan Komunikasi Defisit Perawatan Diri
Tanda- tanda strategi pelaksanaan komunikasi yang diberikan kepada klien defisit
perawatan diri berhasil menurut Purba (2009) adalah sebagai berikut:
a. Klien dapat menyebutkan:
1) Penyebab tidak merawat diri
2) Manfaat menjaga perawatan diri
3) Tanda-tanda bersih dan rapi
4) Gangguan yang dialami jika perawatan diri tidak diperhatikan.
b. Klien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri dalam hal:
1) Kebersihan diri
2) Berdandan
3) Makan
4) BAB/BAK
c. Keluarga memberi dukungan dalam melakukan perawatan diri:
1) Keluarga menyediakan alat-alat untuk perawatan diri
2) Keluarga ikut seta mendampingi klien dalam perawatan diri
No. Tujuan yang tercapai Klien Keluarga
1. Klien mampu berinteraksi
2. Klien mampu membina hubungan saling percaya
3. Klien mampu mengidentifikasi secara mandiri kemampuannya dalam melakukan kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB.
4. Klien mampu menjelaskan pentingnya kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB
5. Klien mampu menjelaskan cara menjaga kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB
6. Klien mamapu menyebutkan peralatan yang dibutuhkan untuk menjaga kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB
7. Klien mampu mempraktekan cara menjaga kebersihan diri, berdandan, makan dan BAK/BAB secara mandiri.
8. Keluaraga mampu dalam merawat klien dengan defisit perawatan diri.
9. Keluarga mampu menjelaskan tentang fasilitas kebersihan diri yang diperlukan oleh klien.
10. Keluarga terlibat untuk membantu klien menjaga kebersihan diri
11. Keluarga memfasilitasi pelaksanaan kemampuan yang masih dimiliki klien
12. Keluarga memotivasi klien untuk melakukan kegiatan yang sudah dilatih dan memberikan pujian atas keberhasilan klien
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Penerjemah
Monica Ester. Jakarta : EGC.
2. Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan Jiwa.
3. Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar Dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan Dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP) Untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat Bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
4. Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC.
5. Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
6. Nanda ( Budi Santosa : editor ). 2006. Panduan Diagnosa Nanda 2005 - 2006 ; Definisi
dan Klasifikasi. Jakarta : EGC.
7. Potter, P. A., & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental : konsep, proses, dan praktik.
Jakarta : EGC
8. Purba, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial dan
Gangguan Jiwa. Medan : USU Press.
9. Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
10. Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan Edisi 3. Jakarta :
Salemba Medika.
RESIKO PERILAKU KEKERASAN
1. DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik terhadap diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul terhadap
kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1998). Menurut
Patricia D. Barry (1998)
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan campuran
perasaan frustasi dan benci atau marah. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik
kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan adalah
suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik baik kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan (Townsend, 1998).
Resiko perilaku kekerasan adalah adanya kemungkinan seseorang melakukan
tindakan yang dapat mencederai orang lain dan lingkungan akibat ketidakmampuan
mengendalikan marah secara konstruktif (CMHN, 2006).
Resiko perilaku kekerasan atau agresif adalah perilaku yang menyertai marah
dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontol(Yosep, 2007).
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa perilaku kekerasan adalah ungkapan perasaan marah dan bermusuhan yang
mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana individu bisa berperilaku menyerang
atau melakukan suatu tindakan yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan.Sedangkan resiko perilaku kekerasan adalah adanya
kemungkinan seseorang melakukan tindakan dalam bentuk destruktif dan masih
terkontol.
2. Rentan Respon Marah
Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif, seperti rentang
respon kemarahan di bawah ini (yosep,2007)
1. Asertif adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan
tanpa menyakiti orang lain, akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan
menimbulkan masalah.
2. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak
realistis atau hambatan dalam proses pencapaian tujuan. Dalam keadaan ini tidak
ditemukan alternatif lain. Selanjutnya individu merasa tidak mampu mengungkapkan
perasaan dan terlihat pasif.
3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak
pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk
bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontol, perilaku yang tampak dapat
berupa : muka masam, bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasan.
5. Amuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri.
Individu dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.
3. Proses Terjadinya Marah
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari – hari yang harus dihadapi oleh
setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan dan terancam, kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu : 1) Mengungkapkan
secara verbal, 2) Menekan, 3) Menantang. Dari ketiga cara ini, cara yang pertama adalah
konstruktif sedang dua cara lain adalah destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang
akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila cara ini dipakai terus – menerus, maka
kemarahan dapat diekspresikan pada diri sendiri atau lingkungan dan akan tampak sebagai
depresi psikomatik atau agresi dan ngamuk.
Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal.
Stressor internal seperti penyakit hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor
eksternal bisa berasal dari ledekan, cacian, makian,hilangnya benda berharga, tertipu,
penggusuran, bencana dan sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan
atau gangguan pada sistem individu (Disruption & Loss). Hal yang terpenting adalah
bagaimana seorang individu memaknai setiap kejadian yang menyedihkan atau
menjengkelkan tersebut (Personal meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya : macet adalah waktu untuk
istirahat, penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih
persyarafan telinga (nervus auditorius) maka ia akan dapat melakukan kegiatan
secara positif (Compensatory act) dan tercapai perasaan lega (Resolution). Bila ia
gagal dalam memberikan makna menganggap segala sesuatunya sebagai ancaman
dan tidak mampu melakukan kegiatan positif (olah raga, menyapu atau baca puisi
saat dia marah dan sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak berdaya dan
sengsara (Helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (Anger).
Kemarahan yang diekpresikan keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang
konstruktif (Contruktive action) dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang
diekpresikan keluar (Expressed outward) dengan kegiatan yang destruktif (Destruktive
action) dapat menimbulkan perasaan bersalah dan menyesal (Guilt). Kemarahan
yang dipendam (Expressed inward) akan menimbulkan gejala psikosomatis (Poinful
symptom) (Yosep, 2007).
4. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi menurut (Stuart & Sundeen, 1995), berbagai pengalaman yang
dialami tiap orang yang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin terjadi atau
mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu :
1. Psikologi, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat
menyebabkan agresif atau amuk, masa kanak –kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanki penganiayaan dapat menyebabkan
gangguan jiwa pada usia dewasa atau remaja.
2. Biologis, respon biologis timbul karena kegiatan system syaraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin, sehingga tekanan darah meningkat, takhikardi, wajah
merah, pupil melebar dan frekuensi pengeluaran urinemeningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot
seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku dan reflek cepat. Hal ini
disebabkan energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
3. Perilaku, Reinforcement yang diterima saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini menstimulasi
individu mengadopsi perilaku kekerasan.
4. Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah –olah
perilaku kekerasan diterima (permissive).
5. Aspek spiritual, kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi ungkapan marah
individu. Aspek tersebut mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungan. Hal ini
bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Individu yang percaya
kepada Tuhan Yang Maha Esa, selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepadanya.
5. Etiologi
Penyebab terjadinya marah menurut Stuart & Sundeen (1995) : yaitu harga diri rendah
merupakan keadaan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri,
merasa gagal mencapai keinginan, gangguan ini dapat situasional maupun kronik. Bila
kondisi ini berlangsung terus tanpa kontrol, maka akan dapat menimbulkan perilaku
kekerasan.
6. Tanda Gejala
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien dibawa ke rumah sakit adalah
perilaku kekerasan di rumah. Menurut Boyd & Nihart, 1998. Klien dengan perilaku
kekerasan sering menunjukkan adanya tand gejala sebagai berikut:
a. Data Obyektif
1. Muka merah
2. Pandangan Tajam
3. Otot tegang
4. Nada suara tinggi
5. Berdebat
6. Sering pula tampak klien memakasakan kehendak
7. Merampas makanan, memukul jika tidak senang
b. Data Subjektif
1. Mengeluh perasaan terancam
2. Mengungkapkan perasaan tidak berguna
3. Mengungkapkan perasaan jengkel
4. Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar, merasa tercekik, dada
sesak, bingung.
7. Penatalaksanaan umum
a. Farmakoterapi
Klien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat.
Adapun pengobatan dengan neuroleptika yang mempunyai dosis efektif tinggi
contohnya Clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya.
Bila tidak ada dapat digunakan dosis efektif rendah, contohnya Trifluoperasine
estelasine, bila tidak ada juga maka dapat digunakan Transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya mempunyai efek
anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
b. Terapi Okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, terapi ini bukan pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca Koran, main catur
dapat pula dijadikan media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu
diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi
dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yangb harus dilakukan oleh petugas
terhadap rehabilitasi setelah dilakukannyan seleksi dan ditentukan program
kegiatannya.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberikan perawatan
langsung pada setiap keadaan(sehat-sakit) klien. Perawat membantu keluarga agar
dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan,
membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptive (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptive (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptive ke perilaku
adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan kieluarga dapat
ditingkatkan secara opti9mal. (Budi Anna Keliat,1992).
d. Terapi somatic
Menurut Depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic terapi
yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku
yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan melakukan tindankan yang
ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik
melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini ada awalnya
untukmenangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan
adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).
Daftar Pustaka
Direktorat Jendral Kes. Wa, 1998, Standar Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Edisi I,
Direktorat Kesehatan Jiwa RSJP, Bandung
Carpenito, L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta: EGC
Keliat B.A, 1998, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, ( Terjemahan ). Penerbit
Buku
Kedokteran , EGC, Jakarta.
Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
Stuart GW, Sundeen. 1998.Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.).
St.Louis Mosby Year Book
Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2000
Townsend, M.C. 1998. Buku saku Diagnosa Keperawatan pada Keoerawatan
Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC.