24
Pengelolaan Resiko Bunuh Diri Pada Pasien dengan Skizofrenia John Kasckow, 1,2 Kandi Felmet 1 and Sidney Zisool 3,4 1 MIRECC and Behavioral Health Service, VA Pittsburgh Health Care System, Pittsburgh, Pennsylvania, USA 2 Western Psychiatric Institute and Clinics, University of Pittsburgh Medical Center, Pittsburgh, Pennsylvania, USA 3 VA San Diego Health Care System, San Diego, California, USA 4 Department of Psychiatry, University of California, San Diego, California, USA Abstrak Pengelolaan resiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia menimbulkan banyak tantangan bagi para klinisi. Dibandingkan dengan populasi umum, pasien tersebut memiliki risiko 8,5 kali lebih besar untuk bunuh diri. Artikel ini meninjau literatur yang berhubungan dengan pasien skizofrenia yang berisiko bunuh diri. Sebuah pendekatan terintegrasi dari psikososial dan farmakologi untuk mengelola populasi pasien tersebut sangat dianjurkan. Meskipun terdapat bukti sederhana yang menunjukkan bahwa obat antipsikotik dapat memproteksi pasien dari resiko bunuh diri, bukti tersebut tampak pada penggunaan antipsikotik generasi kedua ,terutama clozapine, yang merupakan satu-satunya obat hanya disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk mencegah tindakan bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia. Selain itu,mengobati gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia merupakan komponen penting untuk mengurangi risiko bunuh diri . Sementara inhibitor selektif reseptor serotonin(SSRI) memperbaiki gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia, SSRI juga muncul untuk melemahkan pikiran 1 | CNSDrugs2011

Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Pengelolaan Resiko Bunuh Diri Pada Pasien dengan Skizofrenia

John Kasckow,1,2Kandi Felmet1 and Sidney Zisool3,4

1 MIRECC and Behavioral Health Service, VA Pittsburgh Health Care System, Pittsburgh,Pennsylvania, USA2 Western Psychiatric Institute and Clinics, University of Pittsburgh Medical Center, Pittsburgh,Pennsylvania, USA3 VA San Diego Health Care System, San Diego, California, USA4 Department of Psychiatry, University of California, San Diego, California, USA

Abstrak

Pengelolaan resiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia menimbulkan banyak tantangan bagi para klinisi. Dibandingkan dengan populasi umum, pasien tersebut memiliki risiko 8,5 kali lebih besar untuk bunuh diri. Artikel ini meninjau literatur yang berhubungan dengan pasien skizofrenia yang berisiko bunuh diri. Sebuah pendekatan terintegrasi dari psikososial dan farmakologi untuk mengelola populasi pasien tersebut sangat dianjurkan. Meskipun terdapat bukti sederhana yang menunjukkan bahwa obat antipsikotik dapat memproteksi pasien dari resiko bunuh diri, bukti tersebut tampak pada penggunaan antipsikotik generasi kedua ,terutama clozapine, yang merupakan satu-satunya obat hanya disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk mencegah tindakan bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia. Selain itu,mengobati gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia merupakan komponen penting untuk mengurangi risiko bunuh diri . Sementara inhibitor selektif reseptor serotonin(SSRI) memperbaiki gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia, SSRI juga muncul untuk melemahkan pikiran untuk bunuh diri. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk lebih mengefektifkan pengobatan secara lebih personal terhadap pemikiran bunuh diri dan tindakan dan pencegahan untuk bunuh diri terhadap pasien dengan skizofrenia.

Bunuh diri merupakan salah satu penyebab utama kematian dini di antara orang dengan skizofrenia. Penyelidikan epidemiologi telah membuktikan perilaku bunuh diri lebih sering terjadi pada pasien dengan skizofrenia dibandingkan pada populasi . Dibandingkan dengan populasi umum, pasien skizofrenia memiliki risiko bunuh diri 8,5 kali lebih besar, tingkat yang hanya dilampaui oleh orang-orang dengan gangguan suasana hati yang parah. Antara 40% dan 50%. Orang dengan skizofrenia dilaporkan memiliki keinginan untuk bunuh diri di beberapa titik dalam hidup mereka, 20-50% memiliki sejarah untuk melakukan usaha bunuh diri, dan 4-13% pada akhirnya melakukan bunuh diri. Banyak literatur menyatakan bahwa 9-13% pasien dengan skizofrenia telah melaksanakan tindakan bunuh diri . Namun, dalam sebuah artikel terbaru dari sebuah literatur mengenai bunuh diri dan skizofrenia, Palmer et al melaporkan

1 | CNSDrugs2011

Page 2: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

estimasi prevalensi secara keseluruhan bunuh diri dari 4,9%, yang menggambarkan cara yang berbeda untuk mengekspresikan tingkat bunuh diri.

Kebanyakan bunuh diri yang berhasil dilakukan terjadi saat pada proses awal penyakit. Namun, risiko perilaku bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia adalah seumur hidup . Individu dengan skizofrenia yang mencoba bunuh diri tampak lebih impulsif.

Pengobatan pasien dengan skizofrenia dan perilaku bunuh diri merupakan suatu tantangan . Artikel ini meninjau literatur yang berhubungan dengan pengobatan pasien skizofrenia dengan perilaku bunuh diri, berfokus pada pengobatan farmakologis, dengan tujuan membantu para profesional kesehatan jiwa untuk lebih memahami beberapa tantangan – tantangan dari pengobatan.

1. FaktorRisiko

Dalam rangka untuk mengurangi bunuh diri di kalangan orang-orang dengan skizofrenia, peneliti lebih sering memfokuskan diri pada faktor risiko. Hal ini melibatkan suatu identifikasi pada pasien yang paling berisiko untuk bunuh diri, sehingga akan lebih efektif menerapkan suatu intervensi yang sesuai. Faktor risiko termasuk diantaranya pernah melakukan percobaan bunuh diri sebelumnya, keinginan untuk berusaha mati lebih besar, putus asa, dan gejala psikotik.

Selain itu, individu dengan penyakit yang sangat parah - seperti yang dibuktikan pada onset usia dini, perawatan yang lama, sering dirawat dan kambuh, dan penggunaan dosis tinggi dari pengobatan antipsikosis - juga berperan dalam meningkatkan risiko bunuh diri . Selain itu, pengaruh keadaan sosial juga sangat kuat meningkatkan perilaku bunuh diri. Keberadaan gejala depresi secara umum juga ditetapkan sebagai faktor resiko yang penting.

Sebagian besar dari kasus bunuh diri untuk pasien dengan skizofrenia terjadi dalam 10 tahun pertama setelah onset penyakit, dan 50% terjadi dalam 2 tahun pertama. Risiko tinggi tidak hanya terjadi pada tahun-tahun awal saat pasien pertama kali didiagnosa, namun mereka juga lebih mungkin untuk melakukan tindakan bunuh diri dalam beberapa minggu pertama atau bulan setelah keluar dari sakit. Misalnya, dalam satu seri, 80% pasien dengan skizofrenia yang bunuh diri melakukan tindakan bunuh diri dalam saat masih berada di rumah sakit atau 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Hubungan ini antara keluar dari rumah sakit dan bunuh diri dapat merupakan hasil dari ‘depresi postpsikotik’. Sering kali dalam skenario ini, diyakini bahwa orang dengan skizofrenia yang gejalanya berubah selama di rumah sakit akibat mendapatkan kesadaran yang meningkat akan keadaan hidup mereka, dan mengalami peningkatan yang sesuai dalam keputusasaannya, yang kemudian menimbulkan peningkatan risiko untuk bunuh diri

2 | CNSDrugs2011

Page 3: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

setelah keluar dari rumah sakit. Jika ini terjadi, peningkatan pemantauan dengan perawatan klinis dari dokter disiplin sangat diperlukan.

Hubungan antara bunuh diri, skizofrenia dan penyalahgunaan zat juga penting. Penyalahgunaan zat dan kecanduan alkohol dapat memperburuk keadaan impulsif serta isolasi sosial.

Faktor penting lain adalah ditemukannya hubungan positif antara durasi psikosis dan resiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia. Hal ini mendukung gagasan bahwa pengobatan dini diperlukan tidak hanya untuk mengurangi gejala dari penyakit tetapi juga dalam mencegah perilaku bunuh diri.

2 . Faktor demografi

Pria dengan skizofrenia lebih sering melakukan tindakan bunuh diri dibandingkan perempuan dengan skizofrenia. Tidak diketahui apakah peningkatan risiko ini terkait dengan perjalanan penyakit yang memburuk atau onset awal penyakit – keduanya sering diamati pada laki-laki. Keadaan onset awal penyakit dikombinasikan dengan keadaan penyakit yang lebih parah dapat menyebabkan hendaya pada sosial dan fungsi kerja, dan meningkatkan angka perawatan. Laki-laki dengan skizofrenia juga melakukan tindakan bunuh diri pada usia yang lebih muda dari perempuan dengan gangguan .Usia rata-rata pasien dengan skizofrenia yang melakukan tindakan bunuh diri sekitar 33 tahun, dengan satu studi yang mencatat risiko terbesar terjadi antara usia 20 dan 39 tahun, dan tercatata rentang yang lebih umum antara 22 dan 40 tahun. Angka yang lebih tinggi terlihat terjadi pada anak muda dengan skizofrenia yang bertentangan dengan tren yang terjadi di populasi umum. Namun, hal ini tidak berarti bahwa orang tua dengan skizofrenia tidak rentan terjadi, selama mereka juga memiliki keinginan untuk bunuh diri .

3. Penilaian dan Manajemen Awal

Pasien dengan skizofrenia memerlukan penilaian yang menyeluruh akan ide akan keinginan bunuh diri atau perilaku, risiko bunuh diri dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gejala bunuh diri. Setelah hal ini tercapai,keputusan klinis harus dilakukan sebagai pengaturan yang sesuai untuk mengobati pasien, baik rawat inap atau rawat jalan baik. Tujuan pengobatan adalah untuk (i) mengurangi gejala psikotik; (ii) mengurangi gejala depresi; (iii) mengurangi rasa demoralisasi dan keputusasaan pasien; (iv) menanamkan harapan; dan (v) mengatasi masalah lain seperti penyalahgunaan zat dan gangguan kecemasan. Sebuah pertimbangan yang menyeluruh harus terdiri dari berbagai perawatan yang tersedia dengan tujuan untuk menatalaksana masalah, yang mencakup pembatasan terhadap hal-hal yang merugikan diri. Terdapat data yang terbatas yang mendukung baik pendekatan psikososial dan farmakologi, sehingga klinisi mungkin memerlukan keputusan dasar tentang bagaimana memperlakukan keinginan bunuh diri pada data dari penelitian yang diarahkan pada pengelolaan 3 | CNSDrugs2011

Page 4: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

gangguan afektif. Jelas, setelah keluar dari rumah sakit, merupakan hal yang penting untuk mengatur program psikososial sebagai bagian dari rencana perawatan setelah hospitalisasi untuk menambah pengobatan farmakologis.

4. Staf Pendidikan Dalam Pengelolaan pada Pasien Bunuh Diri dengan Skizofrenia

Merupakan hal yang penting untuk menyadarkan staf medis mengenai cara terbaik untuk berinteraksi dengan pasien bunuh diri dengan skizofrenia. Faktor risiko untuk bunuh diri termasuk hubungan yang buruk dengan staf dan sulit mrnyrsuaikan dengan lingkungan perawatan. Sebuah komponen penting dari lingkungan perawatan adalah adanya staf siap mengatasi kecemasan dan keputusasaan pasien Hal ini juga penting bagi staf untuk menyadarkan bahwa pasien yang sulit ditarik atau paranoid harus dianggap sebagai pasien yang memiliki peningkatan risiko untuk bunuh diri. Farberow et al. menunjukkan bahwa pasien bunuh diri lebih sering menuntut personil rumah sakit dan mengkritik pengobatan dibandingkan pasien lain. Individu yang ingin bunuh diri lebih sering mengekspresikan ambivalensi tentang meninggalkan keamanan rumah sakit dan kebutuhan akan kesepakatan yang besar dari kepastian dan dukungan. Morgan dan Priest menggambarkan sebuah keadaan ‘terminal malignant alienation’, yang dihasilkan dari pasien yang berfluktuasi untuk bunuh diri dan menuntut yang berlebihan, yang menyebabkan adanya jarak dari pasien kepada staf, yang sering menimbulkan penolakan. Merupakan hal yang penting bagi staf untuk mempertahankan moral yang baik dalam situasi seperti ini.

5. Modalitas psikososial

Intervensi psikososial telah menunjukkan manfaat, yang secara umum, pada pasien dengan skizofrenia. Ada berbagai pendekatan psikososial yang tersedia untuk penatalaksanaan pasien bunuh diri dengan skizofrenia,dan derajat keefektifannya merupakan daerah yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Suatu pendekatan terpadu menggunakan beberapa modalitas psikososial dianggap sebagai praktek standar dalam mengobati pasien dengan skizofrenia. Sebuah percobaan 2 tahun, yang membandingkan perawatan biomedis/psikososial terpadu dengan farmakoterapi standar dan manajemen kasus pada pasien dengan onset akhir skizofrenia, juga telah mendukung penggunaan perawatan terpadu sebagai cara untuk meningkatkan hasil, termasuk hasil gejala positif dan negatif.

Pendekatan lain termasuk dukungan pekerjaan, intervensi keluarga, psikoedukasi, pengobatan komunitas asertif, pelatihan ketrampilan sosial dan terapi perilaku kognitif; yang terakhir muncul untuk meningkatkan tilikan, gejala positif dan gejala depresi dan perilaku bunuh diri.

4 | CNSDrugs2011

Page 5: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Pasien dengan skizofrenia jelas membutuhkan dukungan empati ketika mereka menunjukkan perilaku bunuh diri. Penyedia memerlukan pengakuan mengenai tingkat keputusasaan pasien, kehilangan dan masalah dengan kehidupan sehari-hari, melibatkan pasien untuk membangun tujuan-tujuan realistik. Penanganan sensitivitas distres subyektif dan keputusasaan juga merupakan hal yang penting, sejak keputusasaan menjadi faktor resiko yang penting untuk tindakan bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia. Cotton et al. Menekankan pentingnya penyediaan intervensi psikoterapeutik mendiskusikan kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, pengobatan, efek yang merugikan, isolasi sosial, keuangan dan stigma. Mereka juga mengarisbawahi pentingnya psikoterapi untuk membantu kelompok pasien ini untuk lebih mengerti bahwa putus asa memiliki pengaruh terhadap penyakit mereka. Sebagai tambahan, Mueser dan Berenbaun, meninjau sebuah percobaan kontrol psikoterapi pada kelompok pasien ini dan menyimpulkan bahwa psikoterapi orientasi realita memiliki pendekatan yang optimal. Harkavy-Freadman menawarkan sebuah diskusi komperhensif mengenai cara bagaimana klinisi dapat mengintervensi situasi yang krisis. Mereka mendiskusikan suatu pendekatan multi disiplin yang fleksibel dan pengobatan berorientasi pada krisis.

Suatu hasil yang biasa didapat pada pasien dengan skizofrenia adalah berkembangnya syndrome moralisasi. Sejalan dengan pasien yang lebih peka terhadap penyakit yang mereka alami dan konsekuensinya mereka mengembangkan keputusasaan mereka. Hal ini akan menimbulkan depresi dan perilaku bunuh diri. Restifo dkk , menguji validitas model ini pada 164 pasien. Mereka menilai depresi, fungsi premorbid, tilikan dan perilaku bunuh diri, dan menentukan bahwa interaksi dari pengaturan premorbid yang baik dan wawasan mengenai simtom depresi yang lebih parah. Lebih jauh lagi simtom psikologi dari depresi dapat digunakan untuk membedakan pasien yang mencoba untuk bunuh diri dengan pasien yang tidak mencoba untuk bunuh diri, sedangkan tidak pada simtom somatik.

Peningkatan kepatuhan terhadap follow up dan pengelolaan dukungan sosial merupakan komponen yang penting pada kelompok pasien ini. Sebagai tambahan, pengelolaan kepatuhan terhadap pengobatan antipsikotok merupakan komponen yang penting, pada pasien dengan skizofrenia secara umum. Mengubah kepatuhan yang buruk dengan pengobatan merupakan hal yang penting, sejak kepatuhan pengobatan yang buruk menunjukkan hubungan terhadap resiko bunuh diri. Misalnya suatu study yang menguji kepatuhan pengobatan dengan antipsikotik generasi ke dua terhadap masyarakat di dua provinsi canada, menunjukkan kepatuhan medikasi yang baik berhubungan dengan turunnya angka rawat inap. Disamping itu terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan yang buruk dengan resiko terjadinya bunuh diri dan kematian secara umum; pengaturan hazard resio ( HR ) terhada resiko dari bunuh diri adalah 0,68 dari perbandingan pengobatan yang baik dengan pengobatan yang buruk.

5 | CNSDrugs2011

Page 6: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Dengan demikian, pendekatan psikososial muncul menjadi sesuatu hal yang penting dalam sintom stabilisasi pada pasien bunuh diri dengan skizofrenia. Akan tetapi, dibutuhkan lebih banyak penelitian pada area ini.

6. Pendekatan Farmakologi

Pada bagian ini, kami akan mengawali diskusi tentang penggunaan anti psikotik untuk mentatalaksana pasien bunuh diri dengan skizofrenia; lau kami akan mendiskusikan penambahan anti depresan pada antipsikotik. Satu jenis agen yang tidak dipelajari dengan dalam adalah moodstabilizer, termasuk litium, sering digunakan oleh klinisi pada populasi pasien ini. Terdapat banyak bukti yang mendukug efikasi dari litium dalam mengurangi perilaku bunuh diri pada pasien dengan gangguan bipolar; akan tetapi, sangat sedikit bukti untuk mendukung pengunaan litium sebagai keuntungan dalam tatalaksana pasien skizofrenia secara umum atau untuk mengurangi perilaku bunuh diri pada pasien ini.

6.1 Antipsikotik - Generasi Pertama

Walaupun antipsikotik generasi pertama berhasil mengobati gejala positif, namun obat ini tidak dapat mengurangi resiko bunuh diri. Tingkatan bunuh diri ditentukan pada tahun 1975 dan taun 1992 menunjukkan tidak ada perubahan yang bermakna, meskipun penggunaan antipskotik telah ditingkatkan pada beberapa waktu pemberian. Secara umum, literatur mengenai efek dari anti psikoti generasi pertama , tidak secara konsisten menentukan apakah agen tersebut membantu pasien yang ingin bunuh diri. Ketidak konsistenan ini, berhubungan dengan beberapa fator metodelogikal, termasuk disain retrospektif yang terbanyak pada studi ini, gagal untuk mengidentifikasi faktor pembaur, co-morbiditas, medikasi multipel dan ketidak adanya randomnisasi dalam pengobatan.

Secara umum, telah ditemukan suatu ketidak jelas hubungan efek - dosis dengan perilaku bunuh diri untuk obat antipsikotik generasi pertama. Sebagai contoh, tidak ada perbedaan pemberian dosis harian antara pasien yang berhasil melakukan bunuh diri, dan yang tidak berhasil. Serta, dengan satu pengecualian, hasil dari penelitian menyatakan bahwa tidak ada persamaan yang bermakna dari perubahan perilaku bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia saat diobati dengan dosis rendah atau, alternatif, dosis tinggi dari antipsikotik generasi pertama.

Satu tinjauan menyelidiki efek dari antipsikotik generasi pertama pada angka tingkat bunuh diri dan menunjukkan hanya sedikit manfaat pada pasien skizofrenia. Berkaitan dengan dosis, beberapa dari tinjauan penelitian retrospektif terakhir menggunakan antipsikotik dosis tinggi; meskipun dosis tinggi dapat diindikasikan sesuai keparahan penyakit atau resistensi pengobatan; baik kasus yang berat dan gejala yang berulang dapat meningkatkan resiko bunuh diri diantara pasien dengan skizofren. Ini dapat juga menunjukkan bahwa inkonsistensi yang terpantau dapat menunjukkan interaksi dari bias seleks; sebagai contoh, pasien dengan gejala lebih berat yang menerima dosis yang lebih tinggi dapat terjadi efek samping ( gejal 6 | CNSDrugs2011

Page 7: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

ekstrapiramidal ), yang mana dapat berkontribusi terhadap resiko bunuh diri. Peningkatan rata – rata jumlah efek samping yang terlihat selama penggunaan dosis tinggi dapat berkaitan dengan dysphoria, subjek distress yang memburuk, agitasi dan perilaku bunuh diri.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya suatu efek yang secara umum menguntugkan dari efek antipsikotik generasi pertama pada risiko bunuh diri . Wilkinson dan Bacon, contohnya, menemukan suatu penurunan dari usaha – usaha bunuh diri pada pasien yang mendapat obat – obatan anti psikotik. Selanjutnya, dalam penelitian prospektif kasus – control, Johnson dan rekan-rekan menemukan perilaku yang lebih merugikan diri sendiri setelah menghentikan depot antipsikotik dalam 18 bulan, ketika dibandingkan dengan pasien yang diterapi dengan obat. Hal ini menunjukkan bahwa antipsikotik memiliki efek protektif pada perilaku bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia. Penelitian lain dari Finlandia memeriksa autopsi psikologis pada korban bunuh diri , yang mana penderita skizofrenia telah mendapat efek antibunuh diri dari antipsikotik generasi pertama. Dalam penelitian tersebut, kebanyakan pasien dengan skizofrenia, meninggal karena bunuh diri akibat mendapat dosis yang tidak adekuat dari terapi antipsikotik atau yang tidak patuh pada resep yang telah diberikan.

6.2 Antipsikotik - Generasi Kedua

Dibandingkan dengan agen antipsikotik generasi pertama, agen generasi kedua (dan terutama clozapine) tampaknya lebih efektif dalam mengurangi risiko bunuh diri. Meskipun dia sana tidak ada prospective, randomize, control studi, yang membandingkan efek dari antipsikotik generasi pertama dan kedua terhadap perilaku bunuh diri , satu studi retrospektif kecil menunjukkan bahwa pasien yang memakai obat antipsikotik generasi pertama lebih mungkin mencoba bunuh diri, sementara itu yang tidak – berusaha bunuh diri, lebih dimungkinkan ketika mendapat agen anti psikotik generasi.

Beberapa penelitian menguji berbagai generasi kedua agen seperti risperidone dan olanzapine dapat di kombinasikan. 5 tahun pertama, penelitian retrospektif, casecontrolmenyimpulkan bahwa adanya penurunan tingkat upaya bunuh diri dengan obat antipsikotik generasi kedua. Dalam penelitian ini, Indeks kelompok terdiri dari pasien yang mencobabunuh diri sebelum masuk; kelompok kontrol terdiri pengakuan berikutnya pasien denganskizofrenia (atau gangguan schizoaffective), cocok untuk seks dan usia, yang tidak mencoba bunuh diri. Di antara 378 pasien yang mencoba bunuh diri (indeks kelompok), 16,1% diberi antipsikotik generasi kedua, sementara 37% dari kelompok kontrol sama-sama terkena (p = 0,0001). Hal ini menunjukkan efek pelindung dan menghasilkan rasio odds 3,54 (95% CI 2,4, 5,3).

7 | CNSDrugs2011

Page 8: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Dua meta-analisis memeriksa tingkatandari usaha bunuh diri atau bunuh diri yang telah terjadi secara random, double-blind, placebo-controlled studi yang melibatkan pengobatan baik risperidone, quetiapine atau olanzapine: tidak ada perbedaan yang dicatat . Pada tujuannya , tidak ada data yang sistematis lain yang tersedia untuk efek agen antipsikotik generasi tujuannya, selain clozapine, pada bunuh diri perilaku. Selanjutnya, semua percobaan ini dibatasi oleh laporan yang bedurasi singkat, di samping itu, pasien dengan risiko tinggi perilaku bunuh diri dikeluarkan dari percobaan ini.

6.2.1Clozapine

Berasal dari penelitian yang berfokus pada clozapin, bukti terbaik mendukung penggunaan agen generasi ke dua untuk mengobati pasien dengan skizofrenia dan perilaku bunuh diri. Clozapine pertama kali dilaporkan dapat mengurangi tingkat bunuh diri pada penelitian di antara treatment - refractory pada 88 pasien dengan skizofrenia atau gangguan schizoafektif. Dalam percobaan ini, 2 tahun sebelum memulai terapi clozapine,ada 22 percobaan bunuh diri yang dilaporkan, sementara di 2 tahun setelah dimulainya pengobatan clozapine, tingkat bunuh diri menurun sebesar 88%.

Spivak et al .'melakukan penelitian selama 1-tahun. berupa treatment - refractory pasien dengan skizofrenia, dan mencatat bahwa pasien yang diobati dengan clozapine lebih baik dari pada antipsikotik generasi pertama telah mengurangi upaya bunuh diri (p <0,05) dan menurunkan impulsif (p <0,05) dan agresivitas (p <0,01).Walker et al.t melakukan analisis retrospektif pada angka kematian dan kesakitan dari lebih dari 67000 pasien yang mendapat pengobatan berupa clozapin the Clozaril® NationalRegistry (sebuah database dari semua pasien yang memakai clozapine, yang dikelola oleh Novartis Pharmaceuticals Corporation, East Hanover, NJ, USA), National Death Index and Social Security Administration databases. Dengan analisis tersebut, penulis menunjukkan adanya pengurangan kematian karena bunuh diri sebesar 83 % di antara saati ini yang menggunakan clozapin dibandingkan dengan mereka yang menggunakan clozapine dan kemudian berhenti.

Data menunjukkan bahwa resiko kematian oleh bunuh diri meningkat setelah penghentian pemberian clozapine. Studi lain dari the Clozaril® National Registry data menunjukkan bahwa ada 0,0157% per tahun kejadian bunuh diri pada pasien yang diobati dengan clozapin versus tingginya angka (0,4-0,8% per tahun) dalam penelitian lain yang menggunakan agen antipsikotik.

Sementara kebanyakan studi menunjukkan clozapine yang penting dalam mengurangi risiko bunuh diri pada pasien dengan Administrasi skizofrenia, salah satu Veteran ' Studi tidak

8 | CNSDrugs2011

Page 9: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

mendukung efek yang signifikan, meskipun ada kecenderungan memihak clozapine.Penelitian ini, bagaimanapun, tidak cocok dengan perbandingan kelompok pada variabel yang terkait dengan risiko bunuh diri dan tindak lanjut. Selanjutnya, sepertiga sampel yang diterima clozapine untuk <6 bulan, meskipun periode follow-up adalah 5-6 tahun.

The InterSePT (International Suicide Prevention) adalah, sebuah studi multisenter yang bersifat internasional, prospektif, yang membandingkan efek dari olanzepin dengan klozapin pada perilaku bunuh diri selama 2 tahun. Menggunakan desain open-label,percobaan ini merekrut pasien dengan skizofrenia atau gangguan skizoafektif yang berisiko tinggi untuk perilaku bunuh diri (memiliki usaha bunuh diri sebelumnya atau keinginan bunuh diri saat ini). Mereka diacak baik dengan clozapine (300-900 mg / hari, n = 479) atau olanzapine (10-20mg/hari, n = 477). Subjek diikuti pada interval yang sama pada kedua kelompok; penilaian klinis yang dilakukan oleh penilaian buta. Hasil dari penelitian menyertakan perilaku bunuh diri (bunuh diri atau upaya penyelesaian) atau rawat inap untuk mencegah bunuh diri, yang berlabel peristiwa tipe 1. Peristiwa tipe 2 termasuk pasien yang menunjukkan memburuknya bunuh diri dari dasar, menggunakan subskala keparahan bunuh diri dari Clinical Global Impression (CGI) (CGI). Penelitian ini juga melibatkan dewan independen pemantauan bunuh diri yang terdiri dari sebuah panel pakar internasional dalam mengelola pasien bunuh diri. Panel ini secara buta memberikan tugas grup pengobatan.

Peningkatan pada hasil telah diamati dengan clozapine dibandingkan dengan olanzapine (gambar 1).Hal ini termasuk perbaikan dalam perilaku bunuh diri (HR 0,76; 95% CI 0,58, 0,97, p-0,03), usaha bunuh diri(p = 0,03), jumlah yang memerlukan rawat inap (P = 0,05), intervensi yang diperlukan untuk mencegah bunuh diri (p = 0,01) dan penggunaan adjunctive antidepresan (p = 0,01), serta anxiolytics (P = 0,03). Dengan demikian, hasil penelitian menunjukkan clozapine yang dikaitkan dengan sedikit signifikan peristiwa tipe 1 dan tipe 2. Meskipun kelompok olanzapine secara signifikan lebih mendapat antidepresi dan obat-obatan ansioliti secara bersamaan, pengobatan dengan clozapine mengurangi upaya bunuh diri yang serius dan rawat inap untuk mencegah bunuh diri dengan 26%. Jumlah yang diperlukan untuk mengobati adalah 12 mendukung dari clozapine. InterSePT juga menunjukkan bahwa keparahan yang menyertai gejala parkinsonian adalah salah satu dari empat faktor utama yang diteliti padasebagian besar perilaku bunuh diri dalam kohort ini.

9 | CNSDrugs2011

Page 10: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Setelah InterSePT terdapat studi tambahan yang fokus pada penggunaan clozapine untuk mengobati pasien bunuh diri dengan skizofrenia. Modestinet al. menggunakan gambar, cermin, desain retrospektif dengan pasien yang dirawat di rumah sakit dan menemukan 88% penurunan dalam risiko bunuh diri dan penurunan 12 kali lipat dalam risiko perilaku bunuh diri selama periode pengobatan clozapine yang terus menerus. Pada pasien yang dihentikan pangobatan clozapine, tingkat perilaku bunuh diri meningkat dengan tingkat dasar. Penelitian ini juga dikendalikan untuk kontak klinis. Pada tahun 2005, Hennen dan Baldessarini, meneliti studi yang menunjukkan tingkat bunuh diri yang kontras atau upaya bunuh diri oleh pasien psikotik yang diobati dengan clozapine dibandingkan agen yang lain. Di antara enam penelitian, metaanalisis efek-acak menentukan bahwa ada risiko yang lebih rendah untik perilaku bunuh diri dengan relatif clozapine terhadap perawatan lainnya (rasio risiko 3,3; 95% CI 1,7, 6,3; p <0,0001). Untuk bunuh diri yang berhasil dilakukan, rasio risiko adalah 2,9 (95% CI 1,5, 5,7, p = 0,002). Para penulis juga menyimpulkan bahwa temuan itu tidak konsisten secara kuantitatif; lebih jauh lagi, mereka berkomentar bahwa percobaan acak yang tersedia tidak menemukan penurunan risiko bunuh diri yang komplit dan penelitian acak tambahan diperlukan.

10 | CNSDrugs2011

Page 11: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Tiihonen et al. melakukan sebuah studi follow-up selama 11-tahun mengenai kematian pada pasien dengan skizofrenia di Finlandia, yang disebut studi FIN11 Penyebab spesifik mortalitas pada 66881 pasien dibandingkan dengan total penduduk (5,2 juta) dari tahun 1996 sampai 2006. Dataset ini terkait dengan penggunaan obat antipsikotik dan membandingkan penyebab semua kematian pasien dengan skizofrenia pada rawat jalan pada perawatan saat ini atau dengan paparan kumulatif terhadap setiap obat antipsikotik dengan yang tidak terpapar obat antipsikotik. Penulis juga membandingkan enam paparan paling sering digunakan untuk obat antipsikotik (termasuk haloperidol, risperidone dan quetiapine) dengan paparan perphenazine. Kesenjangan dalam harapan hidup antara pasien dengan skizofrenia dan masyarakat umum tidak melebar antara 1996 dan 2006 (25 vs 22,5 tahun) meskipun terjadi peningkatan penggunaan antipsikotik generasi kedua selama periode ini. Dibandingkan dengan perphenazine, risiko tertinggi kematian secara keseluruhan adalah dengan quetiapine (HR yang disesuaikan1,41; 95% CI 1,09, 1,82).Resiko terendah adalah untuk clozapine (HR 0,74; 95% CI 0,60, 0,91; p = 0,0045 untuk clozapine vs perphenazine dan p <0,0001 untuk semua obat anti psikotik lain).

Paparan kumulatif jangka panjang (yaitu 7-11 tahun) untuk setiap pengobatan antipsikotik dikaitkan dengan kematian lebih rendah dibandingkan dengan tidak menggunakan obat (HR 0,81; 95% CI 0,77, 0,84). Pada pasien yang menerima 1 atau lebih resep obat anti psikotik, terdapat hubungan terbalik antara kematian dan durasi kumulatif digunakan (HR 0,991; 95% CI 0,985, 0,997). Jadi, pengobatan jangka panjang dengan obat antipsikotik dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menggunakan antipsikotik digunakan. Selanjutnya, obat generasi kedua tampaknya menjadi kelompok heterogen dengan hal kematian: tampak clozapine dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah dari antipsikotik yang lain.

De Hert et al. memberi komentar pada penelitian Tiihoneng dan mencatat sejumlah masalah metodologikal; 1. Laporan yang tidak lengkap 2. Dipertanyakan kelompok obat dan perbandingannya 3. Kurangnya control untuk potensi pembaur 4. pengucilan kematian yang terjadi selama rawat inap, kecuali 64 % dari kematian. De Hert dkk , menyimpulkan bahwa rancangan yang baik, prosperktif dan study mortalitas jelas diperlukan untuk mengukur secara langsung factor resiko relevan yang diketahui.

Tampaknya bahwa penggunaan clozapine pada pasien berisiko tinggi untuk bunuh diri sangat bermanfaat . BPOM Amerika Serikat telah memasukkan perilaku bunuh diri pada skizofrenia sebagai indikasi pengobatan clozapin. Selain itu, American Psychiatric Association kini telah memasukkan pengobatan pasien dengan skizofrenia ke dalam panduan praktis mereka, merekomendasikan antipsikotik generasi pertama digunakan hanya diperlukan pada individu yang ingin bunuh diri yang membutuhkan depot obat antipsikotik. The Texas Medication Algorithm Project merekomendasikan penggunaan clozapine pada pasien bunuh diri.

11 | CNSDrugs2011

Page 12: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Meskipun banyak bukti langsung dan tidak langsung mendukung penggunaan clozapine untuk mengelola bunuh diri pasien dengan skizofrenia, clozapine masih kurang dimanfaatkan. Selain manfaat klinis langsung, clozapin juga dikaitkan sedikit gejala ekstrapiramidal dan resiko tardive dyskinesia yang lebih rendah dibandingkan antipsikotik lainnya. Apabilahanya melihat efek samping hematologikal, diperkirakan bahwa satu dari 10.000 pasien yang ditatalaksana dengan clozapine akan meninggal karena agranulositosis; diantara pasien berisiko tinggi untuk bunuh diri, sekitar 1 dari 10-20 akan meninggal karena bunuh diri. Jadi, risiko relatif dari penggunaan clozapine hanyalah ketika membandingkan risiko bunuh diri dengan risiko dari agranulositosis. Di sisi lain, kebutuhan untuk pemantauan hematologis jangka panjang jelas memberi beban pada pasien dan pengasuh. Meskipun frekuensi pemantauan di AS telah menurun untuk setiap minggu setelah 6 bulan,hal ini masih beban. Clozapine juga memiliki potensi untuk efek samping serius lainnya seperti kejang, berat badan meningkat, gangguan metabolik dan sedasi. Ketika membuat keputusan klinis, penyedia perlu memikirkan resiko ini sebagai pertimbangan.

Dua hal lain yang harus dipertimbangkan ketika menggunakan clozapine adalah bahwa mungkin diperlukan waktu beberapa bulan agar efek menjadi jelas dan dosis tinggi mungkin diperlukan. Penggunaan dosis tinggi berkaitan dengan risiko efek samping yang lebih tinggi . Pada tahun 2003, sebuah panel ahli pencegahan bunuh diri mengadakan konferensi konsensus mengenai penggunaan clozapine. Meraka membuat suatu algoritma mengenai tatalaksana efektif bagi skizofrenai dengan bunuh diri dan pasien skizoafektif. Namun, algoritma ini tidak mempertimbangkan kemunculan akatisia. Hal ini penting untuk dipertimbangkan, karena akatisia tidak hanya dapat menyebabkan berkurangnya kualitas hidup tetapi dapat juga meningkatkan risiko bunuh diri .

6.3 Penatalaksanaan Gejala Depresi Pada Pasien Dengan Skizofrenia

Talaksanaan gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia adalah hal yang penting, karena gejala depresi merupakan suatu resiko terhadap perilaku bunuh diri pada pasein dengan skizofrenia. Tentu saja, saat mengevaluasi pasien dengan skizofrenia diperlukan pertimbangan untuk penyebab gejala depresi yang reversible, seperti penyalahgunaan obat atau penarikan dari obat-obatan terlarang atau dysphoria dan akatisia sekunder untuk obat antipsikotik. Sebagai tambahan, pendekatan farmakologi pada pasien skizofrenia tidak menjadi satu – satunya pengobatan yang tersedia; walaupun sudah ada sedikit penelitian yang meneliti hal ini, intervensi psikososial juga dianggap menjadi cara penting untuk meningkatkan terapi farmakologis .

Siris et al. melakukan survei internasional mengenai depresi pada skizofrenia, menggunakan 48-item kuesioner; yang terdiri dari fixed-respon pertanyaan dan pertanyaan dirangsang dengan skenario kasus. Mereka melaporkan bahwa praktisi meresepkan antidepresan

12 | CNSDrugs2011

Page 13: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

untuk 30% dari pasien rawat inap dan 43% dari pasien rawat jalan pada pasien skizofrenia sebagai cara untuk meningkatkan pengobatan antipsikotik ketika menatalaksana gejala depresi. Lebih lanjut , Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) adalah resep yang paling sering diresepkan dan lebih sering dikombinasikan dengan antipsikotik generasi kedua dengan SSRI. Menariknya, satu per empat psikiater jarang atau tidak pernah meresepkan obat antidepresi pada pasien dengan skizofrenia, mungkin kewaspadaan terhadap kemungkinan peningkatan gejala psikotik atau taidak ada kepastian mengenai manfaat dibandingkan resikonya.

Pedoman pengobatan depresi pada pasien dengan skizofrenia oleh American Psychiatric Association merekomendasikan dokter untuk menggunakan obat antidepresan untuk gangguan depresi mayor komorbid sindromal, hal ini juga berlaku pada pasien dengan gangguan schizoaffective. Pedoman ini menyatakan bahwa antidepresan harus digunakan ketika gangguan depresi utama memberat, ketika menyebabkan gangguan yang signifikan atau bila mengganggu fungsi. Dalam mengobati gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia, pertama-tama dokter harus memaksimalkan dosis dan durasi dari obat antipsikotik, terutama jika pasien menggunakan obat antipsikotik generasi kedua, semenjak agen generasi kedua mungkin mengandung agen antidepresan. Klinisi juga harus waspada terhadap kemungkinan interaksi farmakokinetik. Sebagai contoh, clozapine dan fluvoxamine dapat menunjukkan interaksi yang signifikan.

Tahun 1999 Expert Treatment Guidelines untuk skizofrenia merekomendasikan bahwa, pasien dengan skizofrenia dan depresi postpsikotik, SSRI harus menjadi agen lini pertama, jika hal ini tidak membantu, disarankan dokter untuk mencoba venlafaxine terlebih dulu dan kemudian buproprion jika venlafaxine tidak membantu. Pedoman ini menyatakan bahwa para klinisi harus mencoba menggunakan antidepresan untuk jangka waktu minimal 6 bulan. Antidepresan Trisiklik (TCAs) menjadi pilihan. Terdapat dua pengacakan, studi kontrol placebo dengan imipramine sebagai agen untuk meningkatkan antipsikotik dan uji coba ini menunjukkan imipramine mungkin berguna dalam akut dan pemeliharaan pengobatan depresi postpsychotic.

6.3.1 Penggunaan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)

Bukti kuat yang mendukung penggunaan antidepresan dalam mengobati gejala depresi pada pasien dengan skizofrenia adalah penggunaan SSRI, dan penelitian baru-baru ini telah memberikan bukti yang mendukung penggunaan SSRI sebagai agen potensial yang dapat membantu mengobati gejala bunuh diri. Telah dipublikasikan, tinjuan yang setara, double-blind, percobaan placebo-controlled yang memeriksa SSRI sebagai gejala pengobatan depresi pada pasien dengan skizofrenia diringkas dalam tabel I.

13 | CNSDrugs2011

Page 14: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Sertraline digunakan untuk mengobati pasien dengan remisi skizofrenia dan depresi berat, namun tidak ada manfaat lebih dibandingkan placebo. Dengan fluoksetin, dua studi menunjukkan tidak ada manfaat atas plasebo dalam pengobatan gejala depresi . Namun, studi lain dengan fiuoxetine menunjukkan sedikit dan secara statistik penurunan gejala depresi signifikan. Selain itu, studi dengan fluvoxamine menunjukkan efek positif hanya pada gejala negative. Satu studi menemukan citalopram memiliki efek bermanfaat pada tingkat keparahan

penyakit dan rasa kesejahteraan subjektif .

Sebuah percobaan tambahan citalopram dengan desain crossover menyatakan bahwa citalopram menurunkan frekuensi insiden agresif pada 19 kekerasan kronis pasien dengan skizofrenia. Semua uji coba terhadap SSRI dibatasi oleh ukuran sampel kecil, membuat hasil interpretasi kurang jelas. Selain itu, perilaku bunuh diri adalah tidak langsung dinilai dalam uji coba tersebut.

Percobaan ketiga dari citalopram adalah control acak yang meneliti efek dari citalopram dalam sampel yang jauh lebih besar dari pasien dengan skizofrenia atau gangguan skizoafektif

14 | CNSDrugs2011

Page 15: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

dan gejala depresi sub-syndromal. Partisipan 198 yang berusia >40 tahun secara acak menerima citalopram atau plasebo. Dalam mengubah depresi, penambahan dengan citalopram secara signifikan lebih efektif dibandingkan plasebo dalam 198 peserta. Sejumlah kebutuhan yang diperlukan untuk mengobati gejala depresi dengan perbaikan gejala adalah didasarkan enam dasar pada skor The Hamilton Rating Scale for Depression (HAM-D) dan Calgary Depression Rating Scale (CDRs). Tidak ada kejadian buruk pada partisipan yang lebih sering menerima citalopram.

Dalam uji coba yang sama pada pasien dengan gejala depresi sub-sindromal, para peneliti memeriksa respon dari perilaku bunuh diri terhadap pengobatan citalopram. Empatpuluhtujuh persen peserta telah sebelumnya memiliki upaya bunuh diri dan 21% menyatakan keinginan bunuh diri berdasarkan criteria dari skala CGI-Severity of Suicide (CGI-SS). Dalam 12 minggu, penambahan citalopram dikaitkan dengan partisipan yang memiliki skor lebih rendah secara signifikan dalam the Beck Hopelessness Scale dibandingkan dengan penambahan plasebo (4,21 vs 4,98; p <0,05), dan menurunkan skor pada InterSePT Scale untuk Suicidal Ideation (ISST; 17,7% vs 38,7%, p <0,005) dan 3 item dari Ham-D, untuk penilaian bunuh diri (14,4% vs 22,6%, p <0,05).

Ketika membandingkan subset dari peserta yang menunjukkan tidak ada keinginan untuk bunuh diri pada awalnya (N = 114) dengan mereka yang punya keinginan bunuh diri pada awalnya (n = 55), tidak ada perbedaan yang signifikan antara dua kelompok berkaitan tanpa memandang 'kegawatan’ terhadap keinginan pada akhir pengobatan. Namun, di antara peserta dengan keinginan bunuh diri pada dasarnya, lebih sedikit peserta diobati dengan penambahan citalopram memiliki endpoint ide bunuh diri pada ISST tersebut (28,6% vs 66,7%, p <0,05). Selain itu, 75% dari responden depresi pada dasarnya menunjukkan tidak ada keinginan bunuh diri pada kunjungan terakhir pada ISST dibandingkan dengan 31.4% dari non-responden (p <0,05). Dengan menggunakan CGI-SS, 84% dari responden depresi tidak memiliki endpoint untuk keinginan bunuh diri dibandingkan dengan 31,3% dari non-responden (p <0,05). Dalampeserta yang dasarnya keinginan bunuh diri, pengobatan antidepresan mengurangi keinginan bunuh diri, terutama pada mereka yang gejala depresinya memiliki respon terhadap pengobatan. Studi ini menunjukkan mungkin ada peran anti-bunuh diri pada obat antidepresan dalam populasi pasien .

7. Kesimpulan

Pengobatan pasien bunuh diri dengan diagnosis skizofrenia melibatkan penilaian yang teliti dari berbagai faktor risiko dan perumusan yang komprehensif mengenai rencana yang aman yang melibatkan intervensi biopsikososial. Hal ini meliputi pembangunan jaringan dukungan sosial pasien dukungan dan memberikan ketrampilan penanggulangan positif.

15 | CNSDrugs2011

Page 16: Mengelola Resiko Bunuh Diri Pada Pasien

Selanjutnya, pendekatan psikososial dan farmakologi yang diterapkan dalam jangka panjang harus membantu meminimalkan risiko bunuh diri. Ada beberapa saran mengenai antipsikotik generasi pertama dapat menjadi pelindung, namun mungkin tidak seluas beberapa antipsikotik generasi kedua, terutama clozapine. Akan tetapi, penggunaan clozapine harus hati-hati mempertimbangkan beban potensial yang merugikan. Pada akhirnya, mengingat bahwa gejala depresi tampaknya menjadi faktor risiko untuk bunuh diri, penambahan antidepresan pada pasien dengan depresi syndromal atau sub-syndromal merupakan strategi yang menjanjikan.

16 | CNSDrugs2011