24
Pendekatan Upaya Bunuh Diri Dengan Insektisida Willy Kurniawan / 102009074 Email: [email protected] / CN: 081905957257 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat Penangangan Kegawatdaruratan Pada prinsipnya untuk menangani keracunan ada beberapa hal yang perlu dilakukan karena keracunan merupakan suatu kegawat daruratan. Beberapa langkah yang perlu diperhatikan pada keracunan adalah: Menentukan penyebab keracunan Penanganan yang baik memerlukan diagnosis yang tepat, tapi seringkali banyak penderita keracunan pada awalnya tidak menunjukkan gejala klinis yang khas, ditambah pula mungkin penderita tidak menyadari bahwa dirinya telah terkena racun sehingga pada setiap kasus keracunan identifikasi penyebab keracunan harus dilakukan dengan baik, agar pengobatan dengan antidotum dapat dilaksanakan sesegera mungkin.

Bunuh diri (1)

Embed Size (px)

Citation preview

Pendekatan Upaya Bunuh Diri Dengan InsektisidaWilly Kurniawan / 102009074Email: [email protected] / CN: 081905957257Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta BaratPenangangan Kegawatdaruratan Pada prinsipnya untuk menangani keracunan ada beberapa hal yang perlu dilakukan karena keracunan merupakan suatu kegawat daruratan. Beberapa langkah yang perlu diperhatikan pada keracunan adalah: Menentukan penyebab keracunanPenanganan yang baik memerlukan diagnosis yang tepat, tapi seringkali banyak penderita keracunan pada awalnya tidak menunjukkan gejala klinis yang khas, ditambah pula mungkin penderita tidak menyadari bahwa dirinya telah terkena racun sehingga pada setiap kasus keracunan identifikasi penyebab keracunan harus dilakukan dengan baik, agar pengobatan dengan antidotum dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Anamnesis bisa dilakukan pada penderita keracunan bila memungkinkan atau kepada pembawa pasien. Dalam skenario ini anamnesis ditujukkan terutama pada pembawa pasien karena pasien datang dalam keadaan tidak sadar. Dari anamnesis bisa mengarahkan kita kepada penyebab keracunan. Pada keracunan accidental mungkin racun penyebabnya dapat diketahui oleh penderita sendiri, pada kasus keracunan yang terjadi pada bunuh diri informasi dapat diperoleh dari keluarga, kawan maupun orang disekelilingnya, ada atau tidak kotak atau kaleng suatu zat disekitar pasien ketika ditemukan, bila kotak atau kaleng racun dibawa perlu dilihat untuk mengetahui kandungan dari racun tersebut sehingga penyebab keracunan bisa segera diketahui dan terapi dapat dilakukan sesegara ungkin. Perlu juga untuk diketahui sudah berapa lama pasien keracunan, untuk mengetahui apakah obat masih didalam lambung atau sudah masuk kedalam usus. Bila dari hasil anamnesis tidak dapat menentukan penyebab terjadinya keracunan perlu dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui penyebab terjadinya keracunan, beberapa keracunan dapat tampak dalam pemeriksaan fisik misalnya dalam kasus keracunan terjadi karena insektisida maka kita akan melihat efek parasimpatik yang berlebihan yang tampak dengan adanya miosis pupil, hiperlakrimasi, hipersalivasi, berkeringat, dispneu, bradikardi. Tentu gejala ini tidak spesifik sehingga terkadang diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyebab terjadinya keracunan. Pemeriksaan enzim asetilkolinesterase dapat dilakukan untuk melihat apakah benar terjadi keracunan insektisida. Penurunan enzim asetilkolinesterase mengarahkan diagnosis pada keracunan organofosfat. Bau mulut pasien juga perlu diperhatikan apabila pasien datang dengan kecurigan keracunan insektisida karena dari bau insektisida masih dapat tercium pada pasien. Mencegah absorbsi lebih lanjutYang pertama harus dipikirkan pada keracunan melalui zat secara oral adalah kemungkinan masih terdapatnya racun didalam lambung. Umumnya sisa makanan masih terdapat dalam lambung selama 4 jam. Ada 3 jalan untuk mengeluarkannya yaitu dengan menimbulkan muntah, membilas lambung dan memberi pencahar. Muntah dapat ditimbulkan dengan merangsang dinding belakang pharynx atau dengan pemberian: Apomorfin: 5 10 mg subkutan Larutan CuSO4 oral; 0,25 gram dalam 100ml air Larutan ZnSO4 oral; 1-2 gram dalam 200 ml air Mustard dapat diberikan dua sendok makan dalam segelas air hangat 1-2 sendok makan garam dapur dalam air hangat (tidak terlalu baik karena dapat menimbulkan penyerapan garam yang berlebihan).

Bila penderita dalam keadaan koma, tindakan untuk menimbulkan muntah harus hati-hati karena resiko untuk mengalami aspirasi sangat tinggi. Lebih baik lakukan lavage lambung dengan hati-hati. Zat yang bersifat korosif merupakan kontraindikasi untuk lavage lambung karena bahaya robekan pada oespohagus dan lambung. Bilas lambung dengan pipa karet berdiamter besar dianggap lebih berguna sebab memungkinkan keluarnya tablet yang belum hancur. Untuk lavage lambung dapat dipergunakan air, larutan kalium permanganate, asam asetat/asam sitrat 5%, dan larutan bikarbonat 5%. Pembilasan lambung perlu diulang 20 kali dengan cairan kira-kira 100-200 cc tiap kali. Simptomatik-suportifGejala yang timbul pada keracunan organofosfat pada umumnya terjadi karena adanya efek asetilkolin yang berlebihan pada reseptor muskarinik, nikotinik dan sistem saraf pusat. Beberapa gejala yang dapat timbul karena keracunan organofosfat dapat dilihat di tabel dibawah ini:

Tabel. Gejala keracunan organofosfat Efek Gejala

1. MuskarinikSalivasi, lakrimasi, berkeringat, urinasi, diareKejang perut, nausea dan vomitusBradikardiMiosis

2. NikotinikMyalgia, tremor, paralisis, dispneu

3. Sistem saraf pusatBingung, gelisah, insomnia, neurosisSakit kepalaEmosi tidak stabilBicara terbata-bataKelemahan umumKonvulsiDepresi pernafasan dan gangguan jantungKoma

Dalam skenario pasien datang dalam keadaan kejang dan koma, beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki simptomatik pasien akan dijelaskan dibawah ini: Kejang: konvulsi ringan tidak memerlukan tindakan khusus, bila keadaan menjadi berat dapat diberikan obat antikonvulsi seperti diazepam. Diazepam disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5mg/menit diazepam intravena secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Diazepam 0,5mg atau 1mg/kgBB tidak bermanfaat diberikan pada pasien dewasa. Koma: koma merupakan gejala yang sering ditemukan pada keracunan. Tidak dilakukan pengobatan khusus terhadap koma, satu-satunya koma yang perlu segera diatasi adalah koma yang disebabkan oleh keracunan opioid yaitu dengan menggunakan antagonist opioid.Perawatan suportif untuk pasien yang mengalami keracunan inseteksida diantaranya adalah: Merubah posisi pasien yang kejang dalam posisi lateral decubitus kiri untuk mencegah terjadinya aspirasi Perubahan letak untuk mencegah decubitus Penghisapan secret dari mulut dan endotrakeal tube Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit Memberi antidotumAntidotum untuk keracunan organofosfat atau insektisida golongan fosfoester lain (DDVP, diazonin, malation, dan parathion) adalah dengan memberikan sulfas atropine 2 gram secara IM diulangi tiap 10-15 menit sampai terlihat gejala atropinisasi (parasimpatomilitik), observasi penderita dan bila gejala kembali ulangi pemberian atropine. Berikan juga praidoksim 1000 mg IV perlahan-lahan bila ada.Antidotum untuk keracunan insektisida golongan karbamat (karbaril, Baygon) pada umumnya sama dengan antidotum pada keracunan organofosfat. Antidotum untuk keracunan insektisida golongan organoklorin misalnya aldrin, BHC, DDT, dieldrin, endrin, klordan, tiodan, dan toksifen sampai saat ini belum ada tindakan dilakukan hanya berupa tindakan untuk mengurangi gejala simptomatik. Bunuh Diri Bunuh diri suicide berasal dari bahasa Latin yang berarti membunuh diri sendiri. Keadaan ini termasuk dalam kegawat daruratan dalam bidang psikiatri karena bila berhasil dapat mengakibatkan kematian pada orang yang mencoba bunuh diri selain itu percobaan bunuh diri menunjukkan adanya keinginan kuat untuk bunuh diri yang mungkin akan dilakukan kembali bila percobaan bunuh diri sebelumnya tidak berhasil. 1. EpidemiologiSetiap tahun lebih dari 30.000 orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat. Angka percobaan bunuh diri kira-kira 650.000. Kira-kira terdapat 85 orang yang bunuh diri dalam sehari di AS, sekitar 1 bunuh diri dalam 20 menit. Angka bunuh diri di AS rata-rata antara 12,5 per 100.000 di abad ke-20, dengan angka 17,4 per 100.0000 selama masa perang tahun 1930, pada tahun itu angka depresi berat juga sangat tinggi. Di Amerika Serikat bunuh diri menempati peringkat ke sembilan penyebab kematian. 2. Faktor ResikoBeberapa faktor resiko yang dianggap memperngaruhi kejadian bunuh diri adalah sebagai berikut: Jenis KelaminLaki-laki melakukan bunuh diri empat kali lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, suatu angka yang stabil hampir pada semua usia. Meskipun demikian, perempuan empat kali lebih besar kemungkinan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan laki-laki. UsiaAngka bunuh diri meningkat seiring dengan bertambah usia dan menegaskan makna dari krisis usia pertengahan. Pada laki-laki puncak usia untuk melakukan bunuh diri setelah usia 45 tahun, pada perempuan pada usia 55 tahun. Orang yang lebih berusia melakukan percobaan bunuh diri lebih sedikit dibandingkan dengan orang berusia lebih muda tetapi angka keberhasilan bunuh diri lebih tinggi. Angka untuk usia diatas 75 tahun lebih tinggi tiga kali dibandingkan angka bunuh diri pada orang muda.Meskipun demikian, angka kejadian bunuh diri, meningkat paling cepat di antara orang muda, terutama pada laki-laki berusia 15 hingga 24 tahun. Angka bunuh diri pada perempuan dengan kisaran umur yang sama memiliki peningkatan yang lebih lambat. Di antara laki-laki berusia 25 34 tahun angka peningkatan kejadian bunuh diri meningkat sebesar 30% selama decade terakhir. Sebagian besar bunuh diri terdapat pada orang-orang berusia 15 hingga 44 tahun. RasDua dari tiap tiga bunuh diri dilakukan oleh laki-laki kulit putih. Angka bunuh diri pada orang kulit putih dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ras lain; namun angka ini saat ini dipertanyakan karena terjadi peningkatan angka kejadian bunuh diri pada ras berkulit hitam. Angka bunuh diri pada pria berkulit putih berkisat antara 19,6 per 100.000 orang, sedangkan pada pria berkulit hitam berkisar antara 12,5. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian bunuh diri pada perempuan berkulit putih berkisar antar 4,8 per 100.000 penduduk, sementara perempuan berkulit hitam memiliki angka kejadian bunuh diri sebesar 2,4 per 100.000. AgamaSecara historis, angka bunuh diri diantara populasi Katholik Roma lebih rendah dibandingkan dengan angka populasi Protestan dan Yahudi. Status perkawinanPerkawinan yang dilengkapi oleh anak mengurangi resiko bunuh diri secara signifikan. Angka bunuh diri untuk orang yang menikah adalah 11 per 100.000, sementara untuk orang yang lajang memiliki angka kejadia 2 kali lipat dari pada orang yang menikah atau berkisar 22 per 100.000 orang. Meskipun demikian, orang yang sudah pernah menikah sebelumnya dan saat ini melajang menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak pernah menikah yaitu 24 per 100.000 pada janda atau duda, dan 40 per 100.000 pada orang yang bercerai, dengan lelaki yang bercerai 69 per 100.000, dibandingkan dengan perempuan 18 per 100.000. Bunuh diri terjadi lebih sering pada orang yang terisolasi secara sosial dan memiliki riwayat keluarga yang pernah bunuh diri (percobaan atau sesungguhnya). PekerjaanSemakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar resiko untuk bunuh diri, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan resiko untuk bunuh diri. Pekerjaan secara umumnya dapat melindungi orang untuk bunuh diri. Diantara tingkat pekerjaam, professional seperti dokter, dahulu dianggap memiliki resiko untuk bunuh diri paling tinggi, tetapi studi terkini yang paling baik menemukan tidak ada resiko bunuh diri yang meningkat untuk dokter laki-laki kulitdi Amerika Serikat. Angka bunuh diri per tahun kira-kira 36 per 100.000, yang kurang lebih sama dengan angka bunuh diri pada laki-laki kulit putih berusia diatas 25 tahun. Sebaliknya data dari Skandinavia dan Inggris menunjukkan bahwa angka bunuh diri untuk dokter laki-laki dua sampai tiga kali lebih tinggi dari angka bunuh diri yang diteukan pada populasi laki-laki umum dengan usia yang sama. populasi khusu yang memiliki resiko adalah musisi, dokter gigim petugas penegak hukum, pengacara dan agen asuransi. Bunuh diri lebih tinggi pada penganggur dibandingkan dengan orang yang bekerja. Angka bunuh diri meningkat selamam resesi ekonomi dan menurun selama waktu perang dan saat banyak orang yang dipekerjakan. Profesi DokterDokter perempuan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri dibandingkan dengan perempuan lain. Di Amerika Serikat angka bunuh diri tiap tahun untuk dokter perempuan adalah kira-kira 41 per 100.000, dibandingkan dengan 12 per 100.000 pada perempuan kulit puth di atas usia 25 tahun. Demikian juga di Inggris dan Wales, angka bunuh diri untuk dokter perempuan yang tidak menikah adalah 2,5 kali dari angka bunuh diri pada perempuan tidak menikah pada populasi umum.Sejumlah studi menunjukkan bahwa dokter yang melakukan bunuh diri memiliki gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang paling lazim diantara dokter dan korban bunuh diri dokter adalah gangguan depresif dan ketergantungan zat. Beberapa bukti menunjukkan bahwa dokter perempuan memiliki resiko seumur hidup untuk mengalami gangguan mood. Seorang dokter yang melakukan bunuh diri sering mengalami kesulitan profesi, pribadi atau keluarga baru-baru ini. Dokter perempuan dan laki-laki melakukan bunuh diri lebih sering secara signifikan dengan overdosis zat yang lebih jarang dengan senjata dibandingkan orang-orang di populasi umum, ketersediaan obat dan pengetahuan mengenai toksisitas merupakan faktor penting didalam bunuh diri oleh dokter.Diantara dokter, psikiater dianggap memiliki risiko paling tinggi, diikuti oleh oftalmologis dan anestesiologis, tetapi kecendrungannya sama pada semua spesialis. Metode Bunuh Diri Angka keberhasilan laki-laki bunuh diri pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan wanita karena metode bunuh diri pada pria menggunakan senjata api, gantung diri, atau lompat dari tempat tinggi. Perempuan lazimnya melakukan bunuh diri dengan metode mengkonsumsi zat psikoaktif secara berlebihan atau racun, dengan metode ini angka keberhasilan akan lebih kecil. Kesehatan FisikHubungan penyakit dan kesehatan fisik dengan bunuh diri cukup bermakna. Perawatan medis sebelumnya merupakan indicator resiko bunuh diri yang berhubungan positif: 32% orang yang melakukan bunuh diri pernah mendapatkan perhatian medis dalam 6 bulan sebelum kematiannya. Studi postmortem menunjukkan 25-75% korban bunuh diri memiliki penyakit fisik, dan penyakit fisik merupakan faktor yang turut berperan pada hampir 50% bunuh diri.Penyakit fisik yang cukup berperan dalam mencetuskan upaya bunuh diri adalah hilangnya mobilitas, terutama ketika aktivitas fisik penting bagi pekerjaan dan kesengangan, kecacatan dan nyeri yang sulit untuk sembuh atau nyeri kronis. Disamping efek langsung penyakit, efek sekundernya misalnya gangguan hubungan dan hilangnya status pekerjaan merupakan faktor prognostic yang buruk.Obat-obatan tertentu dapat menimbulkan depresi yang dapat mencetuskan terjadinya bunuh diri pada beberapa kasus. Di antara obat-bat ini adalah reserpine (serpasil, kortikosteroid, antihipertensi, dan beberapa agen antikanker (sitostastik)). Kesehatan jiwaFaktor psikiatrik yang sangat bermakna dalam bunuh diri mencakup penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofernia dan gangguan jiwa lainnya. Hampir 95% orang yang melakukan atau mencoba bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa. Gangguan depresif berperan di dalam 80% dari angka ini, skizofernia 10% dan demensia atau delirium 5%. Diantara semua orang dengan gangguan jiwa 25% mengalami ketergantungan alkohol dan memiliki diagnose ganda. Orang dengan depresi yang disertai dengan waham memiliki resiko paling tinggi untuk melakukan bunuh diri. Risiko bunuh diri pada orang depresi kira-kira 15% dan 25% bila orang tersebut memiliki kecendrungan untuk melakukan tindakan kekerasan. Perilaku Bunuh Diri SebelumnyaPercobaan bunuh diri sebelumnya mungkin merupakan indicator terbaik bahwa pasien memiliki peningkatan resiko untuk bunuh diri. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kira-kira 40% pasien depresi yang bunuh diri pernah mencobanya sebelumnya. Risiko percobaan bunuh diri paling tinggi dalam 3 bulan setelah percobaan pertama. Pelaku bunuh diri yang dinilai memiliki niat bunuh diri yang tinggi paling sering adalah laki-laki, lebih tuam lajang atau berpisahm dan tinggal sendiri. Tabel Evaluasi risiko bunuh diri

VariabelRisiko TinggiRisiko Rendah

Demografik dan profil sosial Usia Jenis kelamin Status perkawinan Status pekerjaan Hubungan interpersonal Latar belakang keluarga Lebih dari 45 tahun Laki-laki Bercerai Tidak bekerja Penuh konflik Kacau atau penuh konflik Dibawah 45 tahun Perempuan Menikah Bekerja Stabil Stabil

Kesehatan Fisik

Jiwa

Penyakit kronis Hipokondriak Asupan zat berlebih

Depresi berat Psikosis Gangguan kepribadian Penyalah gunaan zat Putus asa Kesehatan baik Merasa sehat Penggunaan zat rendah

Depresi ringan

Neurosis

Kepribadian normal

Peminum sosial

Optimisme

Aktivitas bunuh diri Gagasan bunuh diri Percobaan bunuh diri

Sering, dalam, lama Beberapa kali Direncanakan Kecil kemungkinan diselamatkan Keinginan mati yang tidak ambigu Komunikasi diinternalisasikan Metode lethal dan tesedia Jarang, rendah dan singkat Percobaan pertama Impulsive Penyelamatan dapat dilakukan Keinginan utama untuk berubah Komunikasi dieksternalisasikan Metode tidak lethal dan tidak mudah tersedia

Sumber Pribadi

Sosial

Pencapaian buruk Tilikan buruk Tidak ada efek atau terkontrol buruk Hubungan buruk Terisolasi secara sosial Keluarga tidak responsif Pencapaian baik Tilikan baik Ada afek dan dikontrol dengan sesuai Hubungan baik Terintegrasi secara sosiall Keluarga perhatian

3. Etiologi Ada 3 pendekatan penyebab terjadinya bunuh diri yaitu berdasarkan faktor sosiologis, faktor psikologis dan biologis: Faktor sosiologis: didukung oleh teori Durkheim. Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial yaitu egoistic, altruistic dan anomik. Bunuh diri egositik berlaku bagi mereka yang tidak terintegrasi kuat ke dalam kelompok sosial manapun. Bunuh diri altruistik berlaku untuk mereka yang rentan terhadap bunuh diri karena integrasi mereka yang berlebihan kedalam kelompok, dengan bunuh diri merupakan perkembangan integrasi. Bunuh diri anomik berlaku bagi orang yang integrasinya ke dalam masyarakat yang terganggu sehingga mereka tidak dapat menikuti norma perilaku yag lazim. Faktor psikologis, faktor psikologis ditunjang oleh banyak teori para ahli diantaranya yaitu: Teori Freud. Sigmund Freud mengajukan tilikan psikologis pertama mengenai bunuh diri. Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri menunjukkan agresi yang diarahkan untuk melawan objek cinta yang diintrojeksikan serta catched secara ambivalen. Freud meragukan bahwa ada bunuh diri tanpa keinginan untuk membunuh orang lain yang ditekan sebelumnya. Teori Menninger. Teori Menninger dibangun atas gagasan Freud, Karl Meninger berpendapat bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan yang dibalik ke dalam diri sendiri karena kemarahan pasien pada orang lain. Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada diri sendiri ditambah tiga komponen permusuhan didalam bunuh diri yaitu keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh dan keinginan untuk mati. Teori Terkini. Ahli bunuh diri kontemporer tidak mengajurkan bahwa struktur kepribadian atau psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri. Mereka yakin bahwa banyak yang dapat dipelajari dari psikodinamik pasien bunuh diri dari khayalan mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatya jika mereka bunuh diri. Khayalan seperti ini sering mencakup keinginan untuk balas dendam, kekuatan, kendali, atau hukuman: penebusan kesalahan, pengorbanan, ganti rugi, kabur atau tidur: penyelamatan, kelahiran kembali, penyatuan kembali dengan kematian atau suatu kehidupan baru. Faktor BiologisBerkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam perilaku bunuh diri. Suatu kelompok di Institut Karolinska di Swedia adalah yang pertama memperhatikan adanya konsentrasi metabolit serotonin 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan serebrospinal (CSS) lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Studi neurokimia postmortem melaporkan adanya penurunan serotonin dibatang otak atau korteks frontalis korban bunuh diri. Hal ini juga didukung dengan studi reseptor postmortem yang melaporkan bahwa perubahan bermakna di tempat pengikatan serotonin prasinaps dan pascasinaps pada korban bunuh diri. Faktor GenetikPerilaku bunuh diri, seperti gangguan psikiatrik lainnya, cenderung menurun di dalam keluarga. Pada pasien psikiatrik, riwayat bunuh diri di dalam keluarga meningkatkan resiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil pada sebagian besar kelompok diagnostik. Studi tonggak pada tahun 1991 menyelidiki 176 pasangan kembar yang salah satunya melakukan bunuh diri. Dalam sembilan dari pasangan kembar ini, kedua kembar telah melakukan bunuh diri. Tujuh dari sembilan pasangan ini yang bersamaan bunuh diri ditemukan pada 114 pasangan kembar dizigot. Perbedaan kedua kelompok kembar untuk bunuh diri bersaaan adalah 11,3 banding 1,8. Studi Genetik MolekulerTrythopan hydroxylase (TPH) adalah enzim yang terlibat di dalam biosintesis serotonin. Suatu polimorfisme di dalam gen TPH manusia akan memperngaruhi kosentrasi 5-HIAA di dalam CSS, rendahnya kada 5-HIAA ini sangat erat hubungannya dengan resiko bunuh diri. 4. PenatalaksanaanSebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat dicegah. Beberapa pasien mengalami penderitaan yang sangat berat dan kuat atau sangat kronis dan tidak responsif terhadap pengobatan yang menyebabkan mereka bunuh diri dianggap sebagai tidak dapat dicegah. Beberapa pasien lainnya mengalami gangguan kepribadian yang parah, sangat impulsive, dan melakukan bunuh diri dalam cara yang tampaknya impulsive, seringkali jika disforik atau terintoksikasi. Bukti-bukti bahwa penilaian atau terapi yang tidak adekuatadalah berhubungan dengan bunuh diri menyatakan bahwa sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik kemungkinan dapat dicegah.Keputusan untuk merawat atau tidaknya pasien yang berusaha bunuh diri adalah keputusan yang penting. Tidak semua pasien perlu rawat inap, beberapa dapat diobati melalui rawat jalan. Akan tetapi, tidak adanya system pendukung sosial yang kuat, suatu riwayat perilaku impulsive, dan rencana tindakan bunuh diri adalah indikasi untuk perawatan di rumah sakit. Dalam rumah sakit, pasien mungkin mendapatkan medikasi, antidepresan, terapi individual, terapi kelompok, dan terapi keluarga adalah tersedia; dan pasien mendapatkan dukungan sosial rumah sakit dan merasa aman. Tindakan terapeutik lain tergantung pada diagnosis dasar pasien. Sebagai contoh, jika ketergantungan alcohol adalah masalah yang berkaitan , terapi harus diarahkan untuk menghilangkan maslaah tersebut. Walaupun pasien yang diklasifikasikan memiliki gagasan bunuh diri memiliki prognosis yang lebih baik, pasien yang secara kronis mencoba bunuh diri adalah sukar untuk diobati. Terapi elektrokonvulsif (ECT) mungkin diperlukan untuk bebrapa pasien yang terdepresi parah, yang mungkin memerlukan beberapa kali pengobatan.Tindakan yang berguna untuk terapi pasien rawat inap yang mencoba bunuh diri dan mengalami depresi adalah memeriksa barang-barang pasien dan secara berulang mencari eksaserbasi gagasan bunuh diri. Psikoterapi suportif oleh dokter psikiatrik menunjukkan perhatian dan dapat menghilangkan beberapa penderitaan kuat yang dialami pasien. Beberapa pasien mampu untuk menerima pendapat bahwa mereka menderit akaibat penyakit yand diketahui dan bahwa mereka kemungkinan sembuh lengkap. Pasien harus diminta supaya jangan membuat keputusan hidup yang besar saat mereka tertekan untuk bunuh diri, Karena keputusan tersebut sering ditentukan secara morbid dan mungkin tidak dapat ditarik kembali. Akibat dari keputusan yang buruk tersebut dapat menyebabkan rasa bersalah dan kesengsaraan lebih lanjut bila pasien sudah pulih.5. PencegahanPencegahan untuk kasus bunuh diri tergantung daripada faktor resiko yang memungkikan pasien melakukan percobaan bunuh diri. Beberapa faktor resiko tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan pencegahan seperti usia, jenis kelamin, ras. Namun ada juga beberapa faktor resiko yang dapat kita lakukan pencegahan agar resiko terjadinya bunuh diri dapat dikurangi. Pasien yang terisolasi dari lingkungan sosial atau yang tidak dapat bergaul dengan baik merupakan salah satu fakor resiko untuk melakukan bunuh diri. Pencegahan yang dapat diupayakan untuk mengurangi faktor resiko ini adalah dengan membangun lingkungan sosial yang baik untuk orang-orang yang tidak dapat bersosialisasi dengan baik, orang-orang yang sudah ada tanda-tanda untuk melakukan bunuh diri, atau orang yang sudah pernah mencoba untuk membunuh diri dan tidak berhasil. Untuk membangun lingkungan sosial yang baik dan mendukung paling baik dimulai dari keluarga pasien, sebagai seorang dokter kita perlu menjelaskan mengenai keadaan pasien dan bagaimana seharusnya keluarga bertindak terhadap pasien. Untuk membangun lingkungan sosial yang mendukung memang tidak mudah, apalagi bila penderita tidak memiliki sanak keluarga dan teman atau kerabat. Tapi dapat diupayakan dengan terapi kelompok, dimana kelompok-kelompok orang yang mungkin pernah melakukan bunuh diri melakukan sharing dan bersosialisasi sehingga melatih mereka untuk bersosialisasi dengan baik.Salah satu faktor resiko untuk bunuh diri yang lain adalah pekerjaan, tidak bekerja merupakan faktor resiko untuk bunuh diri. Sudah banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa pekerjaan mengurangi kemungkinan bunuh diri. Upaya untuk memberikan pekerjaan kepada pasien yang bunuh diri memang tidak mudah, terutama di Indonesia yang angka pengangguran masih cukup tinggi dan lingkuan kerja yang terbatas. Tetapi pekerjaan disini tidak hanya berarti bekerja tetapi dapat diartikan juga dengan kesibukan. Dokter perempuan merupakan suatu faktor resiko bunuh diri yang terjadi karena profesi pekerjaan, ini tampak kontras dengan salah satu faktor resiko diatas. Tingginya tuntutan kepada dokter pada beberapa tahun terakhir mungkin merupakan pencetus meningkatnya angka bunuh diri pada dokter perempuan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa pekerjaan dokter tidak langsung mengakibatkan bunuh diri tetapi karena pekerjaan dokter meningkatkan angka depresi yang kemudian meningkatkan angka bunuh diri pada dokter perempuan, sehingga ini dapat dicegah dengan mencegah terjadinya depresi, diagnosis dini dan terapi yang memadai untuk depresifnya, dengan demikian maka angka bunuh diri juga akan turun.Metode dengan menggunakan senjata api merupakan metode bunuh diri yang paling lethal karena sering kali ditembakkan ke kepala yang sangat vital. Di Indonesia sendiri senjata api tidak diijinkan beredar bebas sehingga angka kejadian bunuh diri dengan menggunakan senjata api sangat jarang. Beberapa metode lain misalnya dengan menggunakan gantung diri atau meminum racun memang tidak mudah untuk dicegah karena alat-alat untuk penunjang bunuh diri ini sangat mudah didapatkan dan tersedia hampir dimanapun.Kesehatan fisik yang terganggu terutama adanya kecacatan, gangguan mobilitas, penyakit yang tidak kunjung sembuh merupakan pencetus terjadinya bunuh diri. Dari hasil penelitian juga diketahui pasien dengan gangguan kesehatan fisik seperti diatas memiliki kemungkinan mengalami depresi yang kemudian dapat mengakibatkan terjadinya bunuh diri. Untuk pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah dan mengobati keadaan depresi dengan baik dan meningkatkan keadaan sosial yang mendukung pasien.Gangguan psikiatri seperti gangguan depresif, skizofernia dan ketergantungan zat-zat adiktif juga merupakan penyebab terjadinya bunuh diri. Sehingga perlu dilakukan intervensi medis yang memadai untuk mencegah terjadinya bunuh diri.

Daftar Pustaka1. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Elysabeth. Farmakologi dan dan terapi edisi 5 (cetak ulang dengan perbaikian, 2008). Jakarta: Departemen Farmakologi dan Teraupetik FK UI. 2007.(h):820-422. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock buku ajar psikatri klinis edisi 2. Jakarta: EGC. 2010.(h).418-333. Harrison P, Geddes J, Sharpe M. Psychiatry 9th edition. Oxford: Blackwell Pubslihing. 2006.(h):36-414. Goldman HH. Review of general psychiatry third edition. USA: a Lange Medical Book. 2000.(h): 470-7.